i
DAFTAR TABEL
1 Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot
Muka Air Tanah Dangkal 7
2 Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot
Muka Air Tanah Sedang 7
3 Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot
Muka Air Tanah Dalam 8
4 Hasil Analisis Vegetasi Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot Selection
Spesies Jelutung dan Ramin 8
5 Hasil Analisis Vegetasi Semai dan Tumbuhan Bawah Plot Permudaan
Alam atau Natural Regeneration 8
6 Hasil Analisis Vegetasi Semai dan Tumbuhan Bawah Plot Selection
Spesies Punak dan Meranti 9
ii
1
I PENDAHULUAN
Gambut Bekas Terbakar di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera
Selatan, Indonesia.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan vegetasi dan tingkat
suksesi vegetasi pada lahan gambut pasca kebakaran di Kabupaten Ogan Komering
Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia.
II TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu kondisi terbakarnya hutan dan lahan
yang diakibatkan oleh sumber api, oksigen dan bagian di hutan dan lahan yang
mudah terbakar menyebabkan hutan dan lahan rusak serta mengalami penurunan
fungsi ekonomis dan lingkungan. Kebakaran hutan sering kali menyebabkan
bencana asap yang dapat mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat sekitar
(BNPB 2012). Kebakaran hutan dan lahan gambut adalah suatu peristiwa
kebakaran di kawasan gambut baik alami maupun oleh perbuatan manusia yang
ditandai dengan penjalaran api dengan bebas serta mengkonsumsi bahan bakar
hutan dan lahan yang dilalui (Adinugroho et al. 2006).
Lahan gambut pada kondisi alami tidak mudah terbakar karena sifatnya yang
menyerupai spons, yakni menyerap dan menahan air secara maksimal sehingga
pada musim hujan dan musim kemarau tidak ada perbedaan kondisi yang
ekstrim. Namun, apabila kondisi lahan gambut tersebut sudah mulai terganggu
akibat adanya konversi lahan menyebabkan keseimbangan ekologisnya akan
terganggu. Musim kemarau membuat kondisi di lahan gambut sangat kering
sampai kedalaman tertentu dan mudah terbakar. Gambut mengandung bahan
bakar (sisa tumbuhan) sampai di bawah permukaan tanah secara lambat dan sulit
dideteksi, dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan
sehingga bisa berlangsung lama (WWF 2010). Kebakaran hutan dan lahan paling
banyak disebabkan oleh perilaku manusia, baik disengaja, maupun akibat
kelalaian manusia. Kebakaran hutan dan lahan sebagian kecil disebabkan oleh
alam (petir atau lava gunung berapi).
3
Hutan gambut bekas terbakar didefinisikan sebagai hutan gambut yang telah
mengalami kebakaran karena gangguan alami (natural disturbance) disertai
pemicu kebakarannya (Dharmawan et al. 2013). Hutan yang terbakar memiliki
kemampuan untuk memulihkan ekosistemnya secara alami melalui proses
suksesi (Odum 1969). Regenerasi alami hutan setelah terbakar dapat terjadi
karena kemampuan tumbuh biji dan adanya bantuan penyebar biji umumnya
dibantu oleh penyebar biji. Areal gambut bekas terbakar memiliki kemampuan
untuk memperbaiki dirinya dengan cara suksesi (sekunder) alami. Suksesi ini
biasanya ditandai oleh hadirnya jenis-jenis tumbuhan pionir yang pada akhirnya
akan membentuk vegetasi semak belukar, akan tetapi kemunculan kembali jenis
pepohonan asal sulit sekali dijumpai pada areal bekas terbakar
(Gunawan et al. 2016).
Dampak kebakaran di hutan rawa gambut berpengaruh terhadap kepadatan
semai dan pancang, dimana di area rawa gambut yang terbakar lebih rendah
kepadatannya dari pada area-area yang tidak terbakar. Perbedaan densitas semai
yang signifikan tidak ditemukan antara hutan Dipterocarpaceae dataran rendah
yang terbakar dan yang tidak terbakar bagaimanapun mereka memiliki perbedaan
yang besar dalam komposisi komunitas semai. Keberhasilan semai akan
tergantung pada tingginya kebakaran yang akan meningkatkan konsentrasi nutrisi
tanah. Sejarah kerusakan dari suatu kawasan hutan juga menentukan seberapa
besarnya dampak dari kebakaran. Di rawa gambut, area-area yang terbakar hanya
menyisakan sepertiga dari keseluruhan tegakan pohon dan oleh karena itu
mempunyai potensi untuk terjadi pemulihan. Area yang terbakar 2 kali hanya
menyisakan 5% tegakan, dan area yang terbakar lebih sering tidak menyisakan
pohon. Hasil itu menunjukkan bahwa area yang hanya sekali terbakar akan
melakukan pemulihan struktur hutan dalam beberapa dekade menyebabkan
dengan ketentuan tidak ada lagi gangguan atau kerusakan. Area yang terbakar 2
kali atau lebih mungkin tidak akan melakukan pemulihan struktur asli dan akan
terdegradasi menjadi padang rumput dan habitat semak (Yuningsih et al. 2016).
4
2.3 Vegetasi
Vegetasi adalah kumpulan beberapa jenis tumbuhan yang hidup bersama sama
pada suatu tempat (Mueller-dombois dan Ellenberg 1974) dimana antara individu
individu penyusunnya terdapat interaksi yang erat, baik diantara tumbuh-
tumbuhan maupun dengan hewan-hewan yang hidup dalam vegetasi dan
lingkungan tersebut. Vegetasi tidak hanya kumpulan dari individu-individu
tumbuhan melainkan membentuk suatu kesatuan di mana individu-individunya
saling tergantung satu sama lain, yang disebut sebagai suatu komunitas tumbuh-
tumbuhan (Bakri 2009).
Analisis vegetasi hutan merupakan studi yang bertujuan untuk mengetahui
struktur dan komposisi hutan. Kehadiran vegetasi akan memberikan dampak
positif bagi keseimbangan ekosistem dalam skala yang lebih luas. Sebagai contoh
secara umum vegetasi akan mengurangi suatu laju erosi tanah, mengatur
keseimbangan karbondioksida dan oksigen di udara, pengaturan tata air tanah,
perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah. Pengaruhnya bervariasi
tergantung pada struktur dan komposisi tumbuhan yang menyusun formasi
vegetasi daerah tersebut (Arrijani et al. 2006).
Data diambil di dua lokasi yang berbeda. Lokasi pertama berada di lahan
gambut pasca terbakar tahun 2015. Lokasi kedua berada di lahan gambut pasca
terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan kegiatan rehabilitasi dan permudaan alami.
Sesuai dengan gambar 3, data yang diambil pada setiap lokasi yaitu tiga jalur transek,
setiap transek terdapat empat plot sehingga setiap lokasi terdapat 12 plot, sehingga
terdapat 24 plot untuk data analisis vegetasi. Jalur transek pada lahan gambut pasca
terbakar tahun 2015 dibedakan berdasarkan klasifikasi tingkat muka air tanah,
dangkal, sedang, dan dalam, sedangkan pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2006
yang sudah dilakukan kegiatan rehabilitasi dan permudaan alami, dibagi berdasarkan
selection spesies (SS) jelutong (Dyera costulata) dan ramin (Gonystylus bancanus),
natural regeneration, dan selection spesies (SS) meranti (Shorea sp.) dan punak
(Tetramerista glabra).
Data kemudian diolah untuk memperoleh indeks nilai penting, nilai INP
didapat dari hasil penjumlahan nilai K, KR, F, dan FR untuk tingkat semai, tumbuhan
bawah dan pancang, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon hasil penjumlahan nilai
K, KR, F, FR, D, dan DR. Indeks Kekayaan Jenis, Indeks Keanekaragaman Jenis, dan
Indeks Kemerataan Jenis. Penyajian data hasil penelitian disesuaikan dengan titik plot
pengamatan sehingga terdapat 6 kelompok data terdiri dari data pada lahan gambut
pasca terbakar tahun 2015 yang meliputi plot muka air tanah dangkat, sedang dan
dalam serta data lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 dengan klasifikasi data pada
koloni selection spesies jelutung ramin, meranti punak dan natural
regeneration/permudaan alami. Hasil analisis vegetasi diolah dengan menggunakan
rumus-rumus sebagai berikut:
1. Indeks Nilai Penting
Indeks Nilai Penting terdiri dari Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif
(DR), dan Frekuensi Relatif (FR)
R = S-1
Ln (n)
Keterangan:
R = indeks Margelaf;
S = jumlah jenis
n = jumlah total individu
Ln = logaritma natural
H’ = -∑ [(Pi) Ln Pi]
Keterangan:
H’ = Indeks keanekaragaman jenis;
Pi = ni/N;
ni = INP setiap jenis;
N = total INP seluruh jenis
E= H’
Ln (s)
Keterangan:
E = indeks kemerataan jenis
H’ = indeks Shannon
S = jumlah jenis
Ln = logaritma
7
4.1 Hasil
Tabel 1 Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot
Muka Air Tanah Dangkal
N Nama Jenis K KR F FR INP R Pi H’ E
o Nama Nama Ilmiah
Lokal
1. Kumpai Hymenachine 218.12 58,5 1 30,7 89,3 6,83 0, 0,3 0,0
amplexicaulis 5 6 7 3 4 6 6
2. Belidan Eleusine 91.250 24,5 1 30,7 55,2 6,80 0, 0,3 0,0
g indica 0 7 7 3 6 7
3. Pakis Stenochlaena 61.250 16,4 1 30,7 47,2 6,78 0, 0,3 0,0
Udang palustris 4 7 1 2 4 7
4. Sedudu Melastoma 1.875 1,50 1 7,69 8,20 6,09 0, 0,1 0,1
k malabatrihcu 0 3 2
m
Jumlah 381.25 100 3, 100 200 45,5 1 1,1 0,3
0 3 4 9 3
Tabel 2 Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot
Muka Air Tanah Sedang
No Nama Jenis K KR F FR INP R Pi H’ E
Nama Nama Ilmiah
Lokal
1. Kumpai Hymenachine 98.120 52,3 1 28,57 82,71 5,8 0,41 0,37 0,07
amplexicaulis
2. Belidang Eleusine indica 39.370 21,72 1 28,57 50,3 5,7 0,25 0,35 0,08
3. Pakis Stenochlaena 39.370 21,72 1 28,57 50,3 5,7 0,25 0,35 0,08
Udang palustris
4. Seduduk Melastoma 4.370 2,41 0,5 14,29 16,7 5,4 0,08 0,21 0,11
malabatrihcum
Jumlah 187.500 100 3,5 100 200 22,8 1 1,53 0,35
8
Tabel 3 Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot
Muka Air Tanah Dalam
No Nama Jenis K KR F FR INP R Pi H’ E
Nama Nama Ilmiah
Lokal
1. Kumpai Hymenachine 55.625 70,08 1 40 110,1 5,7 0,5 0,33 0,07
amplexicaulis
(rudge)
2. Belidang Eleusine indica 11.250 14,17 0,5 20 32,17 5,6 0,15 0,3 0,10
3. Pakis Stenochlaena 11.250 14,17 0,8 30 44,17 5,6 0,19 0,33 0,12
Udang palustris
4. Seduduk Melastoma 1.250 1,57 0,3 10 11,57 4,5 0,05 0,16 0,24
malabatrihcum
Jumlah 82.500 100 2,5 100 200 21,6 1 1,13 0,53
4.1.2 Lahan Gambut Pasca Terbakar Tahun 2006 yang Sudah Dilakukan
Kegiatan Rehabilitasi
Tabel 4 Hasil Analisis Vegetasi Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot Selection
Spesies Jelutung dan Ramin
No Nama Jenis K KR F FR INP R Pi H’ E
Nama Nama Ilmiah
Lokal
1. Resam Dicraboprenis 2.500 7,31 0,5 20 27,41 4,28 0,14 0,27 0,20
linearis
2. Pakis Stenochlaena 20.625 61,11 1 40 101,1 4,71 0,51 0,34 0,10
Udang palustris
3. Seduduk Melastoma 1.875 5,56 0,3 10 15,56 4,09 0,08 0,20 0,18
malabatrihcum
4. Anggrek Spathoglohis 8.750 25,93 0,7 30 55,93 4,62 0,28 0,36 0,14
Tanah plicata
Jumlah 33.750 100 2,5 100 200 17,7 1 1,17 0,61
Tabel 5 Hasil Analisis Vegetasi Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot Permudaan
Alam atau Natural Regeneration
No Nama Jenis K KR F FR INP R Pi H’ E
Nama Nama Ilmiah
Lokal
1. Pakis Stenochlaena 1.375 34,9 1 50 84,9 4,67 0,42 0,36 0,11
Udang palustris
2. Seduduk Melastoma 2.562 65,1 1 50 115,1 4,73 0,58 0,32 0,09
malabatrihcum
Jumlah 3.937 100 2 100 200 22,82 1 0,68 0,20
9
Tabel 6 Hasil Analisis Vegetasi Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot Selection
Spesies Punak dan Meranti
No Nama Jenis K KR F FR INP R Pi H’ E
Nama Nama Ilmiah
Lokal
1 Anggrek Spathoglohis 2.500 2,33 0,75 52,38 54,70 3,27 0,27 0,35 0,25
Tanah plicata
2 Pakis Stenochlaena 90.625 84,61 1 19,04 103,3 3,79 0,51 0,34 0,06
Udang palustris 5
3 Seduduk Melastoma 7.500 6,97 0,75 14,28 21,26 3,59 0,10 0,23 0,09
malabatrihcum
4 Rayutan 6.875 6,40 0,75 14,28 20,68 3,58 0,10 0,23 0,09
Jumlah 107.500 100 5,25 100 200 14,26 1 1,16 0,51
4.2 Pembahasan
Tegakan pancang, tiang, dan pohon tidak ditemukan satupun pada hamparan
lokasi penelitian pada titik pengamatan lahan bekas terbakar tahun 2015 hanya
vegetasi berupa semai dan tumbuhan bawah yang ditemukan di lokasi penelitian. Hal
ini menunjukkan bahwa proses suksesi alami dari tahun 2015 sampai dengan tahun
2017 baru sampai pada pertumbuhan tingkat semai. Pada lahan terbakar tahun 2006
terdapat tegakan homogen sesuai dengan petak contoh yang diamati karena lahan
terbakar tahun 2006 telah melakukan kegiatan rehabilitasi.
Indeks nilai penting (INP) sangat penting untuk mengetahui peranan suatu
jenis dalam komunitas. nilai indeks nilai penting (INP) yang tinggi menunjukkan
dominansi suatu jenis dalam komunitas. Dominansi suatu jenis dalam komunitas
dipengaruhi oleh tinggi atau rendahnya kemampuan jenis dalam menyesuaikan
terhadap lingkungan. Suatu jenis dikatakan dominan apabila jenis tersebut memiliki
jumlah, sebaran dan kerapatan yang tinggi. Maka, nilai indeks nilai penting (INP)
untuk tiang dan pohon terdiri dari nilai kerapatan, nilai frekuensi dan nilai dominansi.
Berbeda dengan semai dan pancang nilai indeks nilai penting (INP) yang hanya
terdiri dari nilai kerapatan dan nilai frekuensi.
Nilai kerapatan vegetasi dapat menunjukkan tinggi atau rendahnya intensitas
kebakaran yang terjadi di suatu kawasan. Lahan gambut pasca terbakar tahun 2015
suksesi alami yang terbentuk dua tahun setelah kebakaran hanya terdiri dari pakis dan
rumput rawa. Pada plot muka air tanah dangkal, sedang, dan dalam yang memiliki
nilai kerapatan tertinggi yaitu kumpai 218.125, 98.125 dan 55.625. Vegetasi yang
berada pada tingkat muka air tanah dangkal mengalami kebakaran yang rendah
dibandingkan vegetasi yang berada pada tingkat muka air tanah sedang dan pada
tingkat muka air tanah dalam. Kebakaran yang rendah pada tingkat muka air tanah
dangkal dikarenakan tingginya nilai kerapatan spesies yang berada disana yaitu
kumpai.
Lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan kegiatan
rehabilitasi untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah dibagi menjadi tiga lokasi yang
pertama dilokasi selection spesies jelutung dan ramin, permudaan alam atau natural
10
regeneration dan selection spesies punak dan meranti. Untuk tingkat semai dan
tumbuhan bawah terdapat lima jenis yaitu anggrek tanah, pakis, kumpai, seduduk,
resam dan rayutan. Pada tiga lokasi yang memiliki nilai kerapatan tertinggi secara
berurutan yaitu pakis udang, seduduk dan pakis udang sebesar 20.625, 2.562 dan
90.625.
Sebaran vegetasi di suatu kawasan dapat diketahui melalui nilai frekuensinya
yang mendekati atau sama dengan satu. Sebaran vegetasi semua spesies pada muka
air tanah dangkal tersebar luas dan merata hal ini ditunjukkan dengan nilai nilai
frekuensinya satu. Pada muka air tanah sedang kumpai, pakis udang, dan belidang
tersebar luas dan merata tetapi sebaran seduduk hanya sebagian dari luas lahan.
Sedangkan, tingkat muka air tanah dalam hanya kumpai yang tersebar luas karena
memiliki nilai frekuensi satu. sehingga pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2015
pada tingkat semai dan tumbuhan bawah yang tersebar luas merata kumpai, dan pakis
udang.
Sebaran vegetasi pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang sudah
dilakukan kegiatan rehabilitasi pada plot selection spesies jelutung dan ramin hanya
pakis udang yang tersebar luas dan merata karena memiliki nilai frekuensi satu.
sedangkan semua spesies pada plot permudaan alam atau natural regeneration
tersebar luas dan merata karena memiliki nilai frekuensi satu. Sama halnya dengan
plot selection spesies jelutung dan ramin, plot selection spesies punak dan meranti
hanya pakis udang yang tersebar luas dan merata hal ini karena memiliki nilai
frekuensi satu.
Nilai INP tertinggi pada lahan pasca terbakar tahun 2015 yaitu Kumpai, pada
muka air tanah dangkal (89,33%), muka air tanah sedang (82,71%) dan muka air
tanah dalam (110,11%). Sedangkan nilai INP tertinggi pada lahan gambut pasca
terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan kegiatan rehabilitasi, pada plot selection
spesies jelutung dan ramin nilai INP pakis (101,11%), pada plot permudaan alam atau
natural regeneration nilai INP pakis (115,08%) serta pada plot contoh selection
spesies punak dan meranti nilai INP yang tinggi yaitu pakis (103,35%).
Nilai indeks kekayaan jenis suatu kawasan dapat digolong tinggi, sedang atau
rendahnya kekayaan jenis dapat dilihat berdasarkan kriteria nilai indeks kekayaan
jenis, nilai R kurang dari 3,5 termasuk rendah, dan nilai R antara 3,5 hingga lima.
termasuk sedang, sedangkan nilai R lebih dari lima termasuk tinggi (Magurran 1988).
Nilai indeks kekayaan jenis pada areal pasca terbakar tahun 2015 termasuk kriteria
kekayaan jenis yang tinggi karena memiliki nilai R lebih dari lima seperti rata rata
nilai R tumbuhan pada areal muka air tanah dangkal yang lebih dari enam dan rata
rata nilai R tumbuhan pada muka air tanah yang lebih dari lima. Begitupun rata rata
nilai R tumbuhan pada areal muka air tanah dalam lebih dari lima.
Nilai indeks kekayaan jenis pada areal pasca terbakar tahun 2006 yang sudah
dilakukan kegiatan rehabilitasi termasuk kriteria kekayaan jenis yang sedang karena
memiliki nilai R antara 3,5 hingga lima seperti rata rata nilai R tumbuhan pada areal
selection spesies jelutung dan ramin pakis hanya empat, dan rata rata nilai R
tumbuhan pada areal permudaan alam atau natural regeneration lebih dari 4,5 tetapi
kurang dari lima. Sedangkan rata rata nilai R tumbuhan pada areal selection spesies
punak dan meranti lebih dari 3,5 tetapi kurang dari empat. Sehingga areal pasca
11
terbakar tahun 2015 lebih tinggi akan kekayaan jenis dibandingkan areal pasca
terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan kegiatan rehabilitas.
Tingkat tinggi atau rendahnya perbedaan jenis antara satu jenis dengan jenis
yang lainnya dalam suatu kawasan dapat dilihat dari indeks keanekaragaman jenis.
Indeks keanekaragaman dapat ditentukan melalui indeks kekayaan jenis dan indeks
kemerataan jenisnya. Indeks keanekaragaman jenis lebih besar apabila kemerataan
jenisnya lebih besar maksudnya jika populasi-populasi yang ada satu sama lain
memiliki kelimpahan yang merata (Deshmukh 1992). Nilai indeks keanekaragaman
jenis ditunjukkan dengan Shannon-Winner apabila nilai indeks keanekaragaman jenis
(H’) kurang dari satu termasuk rendah, H’ antara satu hingga dua termasuk sedang
dan H’ lebih dari dua termasuk tinggi.
Nilai indeks keanekaragaman jenis pada lahan gambut pasca terbakar tahun
2015 dan lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan kegiatan
rehabilitasi memiliki nilai yang sedang karena keanekaragaman jenis (H’) antara satu
hingga dua seperti pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2015 nilai rata rata indeks
keanekaragaman jenis tumbuhan berkisar 1,283 sedangkan nilai rata rata nilai indeks
keanekaragaman jenis pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 berkisar 1,003.
Sehingga indeks keanekaragaman jenis pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2015
lebih tinggi dibandingkan lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang sudah
dilakukan kegiatan rehabilitasi. Apabila semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman
jenis makin maka semakin banyak jenis yang ditemukan dengan keanekaragaman
jenisnya semakin beragam (Prabowo dan Subantoro 2018).
Tingkat tinggi atau rendahnya persamaan jenis antara satu jenis dengan jenis
yang lainnya dalam suatu kawasan dapat dilihat melalui nilai indeks kemerataan
jenis. Nilai indeks kemerataan jenis (E’) ditunjukkan dengan E’ kurang dari 0,3
termasuk rendah, E’ antara 0,3 hingga 0,6 termasuk sedang, dan E’ lebih dari 0,6
termasuk tinggi (Magurran, 1988). Pada kedua lokasi lahan gambut pasca terbakar
tahun 2015 dan lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan
kegiatan rehabilitasi memiliki nilai kemerataan jenis relatif rendah. Pada lokasi pasca
terbakar tahun 2015 memiliki rata rata nilai indeks kemerataan jenis 0,40 termasuk
sedang karena rata rata nilai indeks kemerataan jenis antara 0,3 hingga 0,6.
Sedangkan pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan
rehabilitasi, memiliki rata rata nilai kemerataan jenis 0,44 termasuk sedang karena
rata rata nilai kemerataan jenis antara 0,3 hingga 0,6. Sehingga indeks kemerataan
jenis pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2015 sama sama termasuk kategori
sedang namun, lebih rendah dibandingkan lahan gambut pasca terbakar tahun 2006
yang sudah dilakukan kegiatan rehabilitasi.
Nilai indeks kemerataan jenis berbanding lurus dengan nilai indeks
keanekaragaman jenis. Semakin besar nilai keanekeragaman jenisnya maka semakin
besar pula kelimpahan dan kemerataan, begitupun sebaliknya. Pada lahan gambut
pasca terbakar tahun 2015 memiliki nilai keanekaragaman jenis yang sedang, maupun
lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan kegiatan rehabilitasi
memiliki nilai keanekaragaman jenis yang sedang, hal ini berarti bahwa di lahan
gambut pasca terbakar tahun 2015 dan lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang
12
sudah dilakukan kegiatan rehablitasi memiliki kelimpahan jenis yang sedang dan
merata.
Proses suksesi adalah suatu proses perubahan yang terjadi secara bertahap dan
biasanya membutuhkan waktu yang tidak sebentar sesuai dengan factor lingkungan
di sekitarnya seperti adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap
tempat tumbuh dan stabilisasi (Soerianegara dan Indrawan 1988). Awalnya kondisi
pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2015 telah stabil karena telah terbentuknya
suatu komunitas hutan primer. Namun kebakaran yang terjadi pada tahun 2015
mengakibatkan perubahan sangat drastis pada kondisi lingkungan maupun ekosistem.
seperti kondisi biofisik lahan. Seiring berjalannya waktu perubahan alam secara
bertahap melalui proses suksesi mulai terjadi berupa suksesi sekunder pada area
bekas terbakar.
Proses suksesi yang terjadi pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2015 baru
memasuki tahap pertama yaitu vegetasi rumput herba dan semak kecil sebagai
tumbuhan pionir. Dominasi Pakis udang dan kumpai pada kedua lokasi dikarenakan
hidup kawasan tersebut basah dan tergenang. Tanaman Pakis udang dan kumpai
memiliki sistem perakaran serabut, penyebaran dengan tunas dan sulur serta spora.
Lahan pasca terbakar tahun 2006 yang telah dilakukan kegiatan rehabilitasi
dengan perlakuan silvikultur khusus yang memperhatikan karakterstik lahan gambut,
pertumbuhaan pohon cukup memuaskan dengan daya hidup (survival rate) berkisar
antara 82-97 %, riap tinggi berkisar 87- 214 cm/tahun, dan riap diameter berkisar
1,36-2,83 cm/tahun. Penutupan tajuk pepohonan meningkat dari 0% sebelum ditanam
menjadi 50-70%, serta terjadi peningkatan serapan karbon permukaan oleh jenis-jenis
pohon yang ditanam (Brata 2017).
5.1 Simpulan
5.2 Saran
Proses rehabilitasi dan restorasi terhadap lahan dan hutan yang mengalami
gangguan terhadap fungsinya diperlukan untuk mengembalikan fungsi biofisik hutan.
untuk mempercepat proses suksesi sehingga nilai hutan dapat kembali dirasakan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Booklet. Bogor, Indonesia: Balai Penelitian Tanah (Ind.
Soil Res. Inst.) and World Agroforestry Centre (ICRAF) Se Asia
Agus, F., Anda M., Jamil A. dan Masganti. 2008. LAHAN GAMBUT INDONESIA
Pembentukan, Karakteristik, dan Potensi Mendukung Ketahanan Pangan (Edisi
Revisi). Jakarta, Indonesia: IAARD Press
Arrijani. Dede, Setiadi. Edi, Guhardja dan Ibnul, Qayim. 2006. Analisis Vegetasi
Hulu DAS Cianjur Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Jurnal
Biodiversitas. 7(2):147-153.
Bakri. 2009. Analisis Vegetasi Dan Pendugaan Cadangan Karbon Tersimpan Pada
Pohon Di Hutan Taman Wisata Alam Taman Eden Desa Sionggang Utara
Kecamatan Lumban Julu Kabupaten Toba Samosir. Tesis. Universitas Sumatera
Utara Medan: Medan
Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala
1:250.000. BBSDLP: Bogor
BNPB. (2012). Pedoman Pengelolaan Data dan Informasi Bencana. BNPB: Jakarta.
Brata, B. 2017. The Demonstration Plot of ExFire Peat Swamp Forest Restoration.
Environment and Forestry Research and Development Agency of Palembang.
Deshmukh,I. 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Gunawan, H., Mudiyarso, D., Mizuno, K., Kozan, O., Sofiyanti, N., Indriyani, D dan
Lestari, I. (2016). Taksiran akumulasi biomassa atas permukaan pada
eksperimen restorasi lahan gambut bekas terbakar, area transisi Cagar Biosfer
14
Hadi, A.L. 2016. Respon Karakteristik Tanah Gambut Terhadap Kebakaran. Skripsi.
Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor
Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Chapman and Hall:
USA
Odum. (1969). The strategy of ecosystem development. Science 164, 262- 270.
Saragi-Sasmito, M.F., Murdiyarso, D., June, T., Sasmito, S.D., 2018. Carbon stocks,
emissions, and aboveground productivity in restored secondary tropical peat
swamp forests. Mitig. Adapt. Strateg. Glob. Chang.
Soerianegara, I., dan Indrawan, A., 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Ulya, N.A., Warsito, S.P., Andayani, W., Gunawan, T., 2015. Nilai Ekonomi Karbon
Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang, Propinsi Sumatera Selatan. Jurnal
Masyarakat dan Lingkungan. 1(1): 22-52.
15
Wahyunto, A. Dariah, dan F. Agus. 2010. Distribution, properties, and carbon stock
of Indonesian Peatland. In Agus et al. (Eds.) Proc. Intenational Workshop on
Evaluation and Suatainable Management of Soil Carbon Sequestration In Asian
Country. Bogor, Indonesia. 28-29 September 2010.
WWF. (2010). Forest Fire WWF Indonesia. Retrieved Maret 16, 2021, from
http://www.wwf.or.id/tentangwwf/upayakami/iklimdanenergi/solusikami/
adaptasi/forestfire.cfm
Yuningsih, L., Bastoni, B., Yulianty, T., & Harbi, J. (2019). Analisis Vegetasi Pada
Lahan Hutan Gambut Bekas Terbakar Di Kabupaten Ogan Komering Ilir
(OKI), Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Sylva, 7(2): 58-67.