Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS VEGETASI PADA LAHAN HUTAN GAMBUT BEKAS

TERBAKAR DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR (OKI),


PROVINSI SUMATERA SELATAN, INDONESIA

Lefdi Agung Nugraha


E4501202020

DEPARTEMEN SILVIKULTUR TROPIKA


FAKULTAS KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ii
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penelitian 2
1.3 Rumusan Masalah 2
1.3 Manfaat Penelitian 2
II TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1 Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut 2
2.2 Lahan dan Hutan Gambut Bekas Terbakar 3
2.3 Vegetasi 4
III METODE 4
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 7
4.1 Hasil 7
4.1.1 Lahan Gambut Pasca Terbakar Tahun 2015 7
4.1.2 Lahan Gambut Pasca Terbakar Tahun 2006 yang Sudah
dilakukan Kegiatan Rehabilitasi 8
4.2 Pembahasan 9
V SIMPULAN DAN SARAN 12
5.1 Simpulan 12
5.2 Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 13

i
DAFTAR TABEL
1 Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot
Muka Air Tanah Dangkal 7
2 Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot
Muka Air Tanah Sedang 7
3 Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot
Muka Air Tanah Dalam 8
4 Hasil Analisis Vegetasi Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot Selection
Spesies Jelutung dan Ramin 8
5 Hasil Analisis Vegetasi Semai dan Tumbuhan Bawah Plot Permudaan
Alam atau Natural Regeneration 8
6 Hasil Analisis Vegetasi Semai dan Tumbuhan Bawah Plot Selection
Spesies Punak dan Meranti 9

ii
1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hutan gambut termasuk salah satu tipe ekosistem multifungsi yang memiliki
berbagai fungsi bagi kehidupan seperti fungsi ekonomi, fungsi ekologis dan
lingkungan (Ulya et al. 2015). Hutan gambut memiliki fungsi ekologis dan
lingkungan antara lain sebagai pengatur tata kelola air, penyimpanan karbon dan
habitat yang kaya akan keanekaragaman hayati (Saragi et al. 2018). Selain itu, hutan
gambut memiliki fungsi ekonomi sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat di
sekitar yang memanfaatkan hasil hutan tersebut. Pemanfaatan yang biasa dilakukan
masyarakat berupa getah, minyak atsiri, daun, biji, buah dan akar (Ulya et al. 2015).
Manfaat hutan gambut yang banyak dan bernilai tinggi menjadi sangat penting demi
keberlangsungan makhluk hidup di sekitarnya tetapi ancaman dan gangguan dapat
terjadi kapan saja seperti kebakaran hutan dan lahan gambut.
Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan gangguan terhadap hutan dan
lahan gambut yang bersifat merugikan karena memberikan dampak negatif terhadap
berbagai kehidupan seperti pencemaran udara, peningkatan emisi karbon, gangguan
pernafasan, gangguan penglihatan, rusaknya habitat flora dan fauna (Qodriyatun
2014). Sehingga kebakaran hutan dan lahan gambut ini dapat menurunkan nilai
ekonomis dan nilai ekologis dari hutan dan lahan gambut.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan dan gambut
dengan nilai ekologis dan nilai ekonomis yang tinggi karena memiliki luasan hutan
gambut yang tergolong besar. Menurut (BBSDLP 2011) hutan gambut di Indonesia
memiliki luasan sekitar 14 juta ha yang tersebar di Sumatera (43.18%) Kalimantan
(32.06%) dan Papua (24.76%). Namun, saat ini lahan gambut di Indonesia tidak
terlepas dari adanya gangguan seperti kebakaran hutan dan lahan (BBSDLP 2011).
Kebakaran hutan terbesar terjadi pada tahun 2015 yang menghabiskan lahan
seluas 261.060,44 Ha dan Provinsi Sumatera Selatan menjadi daerah kedua terbesar
yang mangalami kebakaran hutan dengan luas 30.984,98 Ha dari total luasan gambut
di Provinsi Sumatera Selatan 1.2 juta Ha setelah Provinsi Kalimantan Tengah.
Kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera Selatan merupakan 40% dari
kebakaran total di Indonesia dan kebakaran lahan gambut terbesar terjadi di
Kabupaten Ogan Komering Ilir (Dit. PKHL KLHK RI 2018).
Kebakaran lahan gambut yang terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir
memiliki luasan kebakaran 56% dari total luasan yang terbakar di Provinsi Sumatera
Selatan sebesar 473.181 ha. Hal ini menunjukkan bahwa kebakaran lahan gambut
yang terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir telah membakar 769 ribu ha atau
hampir setengah dari total luasan lahan gambut yang ada di Kabupaten Ogan
Komering Ilir yaitu (Wahyunto et al. 2005).
Lahan gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir menjadi salah satu
sumberdaya alam yang potensial untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi masyarakat
(Wahyunto et al. 2010). Namun, kebakaran lahan gambut yang terjadi berpotensi
merusak karakteristik fisik, kimia, dan biologi tanah dan khususnya vegetasi atas
permukaan gambut. Tingkat kerusakan vegetasi akibat kebakaran dapat dilihat dari
kondisi vegetasinya. Sehingga perlu dilakukan Analisis Vegetasi pada Lahan Hutan
2

Gambut Bekas Terbakar di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera
Selatan, Indonesia.

1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan vegetasi dan tingkat
suksesi vegetasi pada lahan gambut pasca kebakaran di Kabupaten Ogan Komering
Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia.

1.3 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana kondisi vegetasi dan
proses suksesi alami pada lahan gambut pasca kebakaran pada tahun 2006 dan 2015?

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini untuk memberikan informasi kepada beberapa
pihak bersangkutan terkait mengenai perubahan vegetasi pada lahan gambut bekas
terbakar sebagai acuan untuk kegiatan restorasi dan rehabilitasi lahan gambut.
Penelitian ini dapat juga digunakan sebagai data awal pemantauan perkembangan
suksesi vegetasi pasca kebakaran.

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut

Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu kondisi terbakarnya hutan dan lahan
yang diakibatkan oleh sumber api, oksigen dan bagian di hutan dan lahan yang
mudah terbakar menyebabkan hutan dan lahan rusak serta mengalami penurunan
fungsi ekonomis dan lingkungan. Kebakaran hutan sering kali menyebabkan
bencana asap yang dapat mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat sekitar
(BNPB 2012). Kebakaran hutan dan lahan gambut adalah suatu peristiwa
kebakaran di kawasan gambut baik alami maupun oleh perbuatan manusia yang
ditandai dengan penjalaran api dengan bebas serta mengkonsumsi bahan bakar
hutan dan lahan yang dilalui (Adinugroho et al. 2006).
Lahan gambut pada kondisi alami tidak mudah terbakar karena sifatnya yang
menyerupai spons, yakni menyerap dan menahan air secara maksimal sehingga
pada musim hujan dan musim kemarau tidak ada perbedaan kondisi yang
ekstrim. Namun, apabila kondisi lahan gambut tersebut sudah mulai terganggu
akibat adanya konversi lahan menyebabkan keseimbangan ekologisnya akan
terganggu. Musim kemarau membuat kondisi di lahan gambut sangat kering
sampai kedalaman tertentu dan mudah terbakar. Gambut mengandung bahan
bakar (sisa tumbuhan) sampai di bawah permukaan tanah secara lambat dan sulit
dideteksi, dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan
sehingga bisa berlangsung lama (WWF 2010). Kebakaran hutan dan lahan paling
banyak disebabkan oleh perilaku manusia, baik disengaja, maupun akibat
kelalaian manusia. Kebakaran hutan dan lahan sebagian kecil disebabkan oleh
alam (petir atau lava gunung berapi).
3

Kebakaran yang disebabkan oleh manusia yaitu konversi lahan yang


disebabkan oleh kegiatan penyiapan (pembakaran) lahan untuk pertanian,
industri, pembuatan jalan, jembatan, bangunan, dan lain-lain. Kebakaran hutan
dan lahan menimbulkan dampak negatif antara lain mengakibatkan emisi gas
karbon ke atmosfer sehingga meningkatkan pemanasan global, hilangnya habitat
bagi satwa liar sehingga terjadi ketidakseimbangan ekosistem, hilangnya
pepohonan yang merupakan penghasil oksigen serta penyerap air hujan sehingga
terjadi bencana banjir, longsor, dan kekeringan, hilangnya bahan baku industri
yang akan berpengaruh. pada perekonomian, berkurangnya luasan hutan yang
akan berpengaruh pada iklim mikro (cuaca cenderung panas) dan polusi asap
sehingga mengganggu aktivitas masyarakat, menimbulkan berbagai penyakit
pernafasan dan penurunan jumlah wisatawan serta rusak atau hilangnya vegetasi
(Qodriyatun 2014).

2.2 Hutan dan Lahan Gambut Bekas Terbakar

Hutan gambut bekas terbakar didefinisikan sebagai hutan gambut yang telah
mengalami kebakaran karena gangguan alami (natural disturbance) disertai
pemicu kebakarannya (Dharmawan et al. 2013). Hutan yang terbakar memiliki
kemampuan untuk memulihkan ekosistemnya secara alami melalui proses
suksesi (Odum 1969). Regenerasi alami hutan setelah terbakar dapat terjadi
karena kemampuan tumbuh biji dan adanya bantuan penyebar biji umumnya
dibantu oleh penyebar biji. Areal gambut bekas terbakar memiliki kemampuan
untuk memperbaiki dirinya dengan cara suksesi (sekunder) alami. Suksesi ini
biasanya ditandai oleh hadirnya jenis-jenis tumbuhan pionir yang pada akhirnya
akan membentuk vegetasi semak belukar, akan tetapi kemunculan kembali jenis
pepohonan asal sulit sekali dijumpai pada areal bekas terbakar
(Gunawan et al. 2016).
Dampak kebakaran di hutan rawa gambut berpengaruh terhadap kepadatan
semai dan pancang, dimana di area rawa gambut yang terbakar lebih rendah
kepadatannya dari pada area-area yang tidak terbakar. Perbedaan densitas semai
yang signifikan tidak ditemukan antara hutan Dipterocarpaceae dataran rendah
yang terbakar dan yang tidak terbakar bagaimanapun mereka memiliki perbedaan
yang besar dalam komposisi komunitas semai. Keberhasilan semai akan
tergantung pada tingginya kebakaran yang akan meningkatkan konsentrasi nutrisi
tanah. Sejarah kerusakan dari suatu kawasan hutan juga menentukan seberapa
besarnya dampak dari kebakaran. Di rawa gambut, area-area yang terbakar hanya
menyisakan sepertiga dari keseluruhan tegakan pohon dan oleh karena itu
mempunyai potensi untuk terjadi pemulihan. Area yang terbakar 2 kali hanya
menyisakan 5% tegakan, dan area yang terbakar lebih sering tidak menyisakan
pohon. Hasil itu menunjukkan bahwa area yang hanya sekali terbakar akan
melakukan pemulihan struktur hutan dalam beberapa dekade menyebabkan
dengan ketentuan tidak ada lagi gangguan atau kerusakan. Area yang terbakar 2
kali atau lebih mungkin tidak akan melakukan pemulihan struktur asli dan akan
terdegradasi menjadi padang rumput dan habitat semak (Yuningsih et al. 2016).
4

2.3 Vegetasi

Vegetasi adalah kumpulan beberapa jenis tumbuhan yang hidup bersama sama
pada suatu tempat (Mueller-dombois dan Ellenberg 1974) dimana antara individu
individu penyusunnya terdapat interaksi yang erat, baik diantara tumbuh-
tumbuhan maupun dengan hewan-hewan yang hidup dalam vegetasi dan
lingkungan tersebut. Vegetasi tidak hanya kumpulan dari individu-individu
tumbuhan melainkan membentuk suatu kesatuan di mana individu-individunya
saling tergantung satu sama lain, yang disebut sebagai suatu komunitas tumbuh-
tumbuhan (Bakri 2009).
Analisis vegetasi hutan merupakan studi yang bertujuan untuk mengetahui
struktur dan komposisi hutan. Kehadiran vegetasi akan memberikan dampak
positif bagi keseimbangan ekosistem dalam skala yang lebih luas. Sebagai contoh
secara umum vegetasi akan mengurangi suatu laju erosi tanah, mengatur
keseimbangan karbondioksida dan oksigen di udara, pengaturan tata air tanah,
perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah. Pengaruhnya bervariasi
tergantung pada struktur dan komposisi tumbuhan yang menyusun formasi
vegetasi daerah tersebut (Arrijani et al. 2006).

III METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Desa Kedaton Kecamatan Kayu Agung Kabupaten


Ogan Komering Ilir (OKI) tepatnya berada di Kebun Konservasi Plasma Nutfah Kab.
OKI pada koordinat -3.396291, 104.857893. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Agustus-September 2017, menggunakan metode analisis vegetasi dengan tujuan
untuk melihat dan menganalisis tingkatan suksesi. Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini seperti tally sheet, ATK, phiband, kaliper, meteran dan kompas.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menyesuaikan petak contoh yang telah dibuat
sehingga dapat mewakili masing-masing tingkat pertumbuhan vegetasi. Parameter
yang diamati dalam penelitian ini adalah tingkat permudaan pertumbuhan seperti
semai, pancang, tiang dan pohon. Selain itu, parameter yang diamati seperti jenis
tumbuhan, jumlah individu dan luas plot yang diamati.
Pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan ukuran sub-sub plot contoh
untuk setiap tingkatan pertumbuhan vegetasi yang diamati:
a. Sub plot ukuran 2 m x 2 m untuk pengukuran tingkat permudaan tingkat
semai (anakan pohon) dan tumbuhan bawah (epifit maupun liana).
b. Sub plot berukuran 5 m x 5 m untuk pengukuran permudaan tingkat pancang
c. Sub plot berkuran 10 m x 10 m untuk pengukuran permudaan tingkat tiang
d. Sub plot berukuran 20 m x 20 m untuk pengukuran permudaan tingkat pohon
Kriteria dalam menentukan tingkat permudaan pertumbuhan berdasarkan
tinggi atau diameter suatu tumbuhan:
a. Semai, tingkat permudaan yang dimulai kecambah sampai setinggi 1,50 m.
b. Pancang, tingkat permudaan yang memiliki tinggi ≥ 1,50 dan diameter < 5 cm
c. Tiang, tingkat permudaan yang memiliki diameter 5 – 10 cm.
d. Pohon, tingkat permudaan yang memiliki diameter ≥ 10 cm
5

Data diambil di dua lokasi yang berbeda. Lokasi pertama berada di lahan
gambut pasca terbakar tahun 2015. Lokasi kedua berada di lahan gambut pasca
terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan kegiatan rehabilitasi dan permudaan alami.
Sesuai dengan gambar 3, data yang diambil pada setiap lokasi yaitu tiga jalur transek,
setiap transek terdapat empat plot sehingga setiap lokasi terdapat 12 plot, sehingga
terdapat 24 plot untuk data analisis vegetasi. Jalur transek pada lahan gambut pasca
terbakar tahun 2015 dibedakan berdasarkan klasifikasi tingkat muka air tanah,
dangkal, sedang, dan dalam, sedangkan pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2006
yang sudah dilakukan kegiatan rehabilitasi dan permudaan alami, dibagi berdasarkan
selection spesies (SS) jelutong (Dyera costulata) dan ramin (Gonystylus bancanus),
natural regeneration, dan selection spesies (SS) meranti (Shorea sp.) dan punak
(Tetramerista glabra).
Data kemudian diolah untuk memperoleh indeks nilai penting, nilai INP
didapat dari hasil penjumlahan nilai K, KR, F, dan FR untuk tingkat semai, tumbuhan
bawah dan pancang, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon hasil penjumlahan nilai
K, KR, F, FR, D, dan DR. Indeks Kekayaan Jenis, Indeks Keanekaragaman Jenis, dan
Indeks Kemerataan Jenis. Penyajian data hasil penelitian disesuaikan dengan titik plot
pengamatan sehingga terdapat 6 kelompok data terdiri dari data pada lahan gambut
pasca terbakar tahun 2015 yang meliputi plot muka air tanah dangkat, sedang dan
dalam serta data lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 dengan klasifikasi data pada
koloni selection spesies jelutung ramin, meranti punak dan natural
regeneration/permudaan alami. Hasil analisis vegetasi diolah dengan menggunakan
rumus-rumus sebagai berikut:
1. Indeks Nilai Penting
Indeks Nilai Penting terdiri dari Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif
(DR), dan Frekuensi Relatif (FR)

Kerapatan (K)= Jumlah individu suatu jenis


Luas plot

Kerapatan Relatif (KR)= Kerapatan suatu jenis × 100%


Kerapatan seluruh jenis

Frekuensi (F)= ∑ Petak suatu jenis


∑ Seluruh petak

Frekuensi (F)= ∑ Petak suatu jenis× 100%


∑ Seluruh petak

Dominasi = Luas bidang dasar hutan suatu jenis


Luas plot

Dominasi = Luas bidang dasar hutan suatu jenis × 100%


Luas bidang dasar hutan seluruh jenis
6

Indeks Nilai Penting (INP) Tiang dan Pohon = KR + FR + DR

Indeks Nilai Penting (INP) Semai dan Pancang = KR + FR

2. Indeks Kekayaan Jenis dari Margelaf

R = S-1
Ln (n)

Keterangan:
R = indeks Margelaf;
S = jumlah jenis
n = jumlah total individu
Ln = logaritma natural

3. Indeks Keanekaragaman Jenis berdasarkan Shannon-Weinner

H’ = -∑ [(Pi) Ln Pi]

Keterangan:
H’ = Indeks keanekaragaman jenis;
Pi = ni/N;
ni = INP setiap jenis;
N = total INP seluruh jenis

4. Indeks Kemerataan Jenis

E= H’
Ln (s)

Keterangan:
E = indeks kemerataan jenis
H’ = indeks Shannon
S = jumlah jenis
Ln = logaritma
7

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Lahan Gambut Pasca Terbakar Tahun 2015

Tabel 1 Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot
Muka Air Tanah Dangkal
N Nama Jenis K KR F FR INP R Pi H’ E
o Nama Nama Ilmiah
Lokal
1. Kumpai Hymenachine 218.12 58,5 1 30,7 89,3 6,83 0, 0,3 0,0
amplexicaulis 5 6 7 3 4 6 6
2. Belidan Eleusine 91.250 24,5 1 30,7 55,2 6,80 0, 0,3 0,0
g indica 0 7 7 3 6 7
3. Pakis Stenochlaena 61.250 16,4 1 30,7 47,2 6,78 0, 0,3 0,0
Udang palustris 4 7 1 2 4 7
4. Sedudu Melastoma 1.875 1,50 1 7,69 8,20 6,09 0, 0,1 0,1
k malabatrihcu 0 3 2
m
Jumlah 381.25 100 3, 100 200 45,5 1 1,1 0,3
0 3 4 9 3

Tabel 2 Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot
Muka Air Tanah Sedang
No Nama Jenis K KR F FR INP R Pi H’ E
Nama Nama Ilmiah
Lokal
1. Kumpai Hymenachine 98.120 52,3 1 28,57 82,71 5,8 0,41 0,37 0,07
amplexicaulis
2. Belidang Eleusine indica 39.370 21,72 1 28,57 50,3 5,7 0,25 0,35 0,08
3. Pakis Stenochlaena 39.370 21,72 1 28,57 50,3 5,7 0,25 0,35 0,08
Udang palustris
4. Seduduk Melastoma 4.370 2,41 0,5 14,29 16,7 5,4 0,08 0,21 0,11
malabatrihcum
Jumlah 187.500 100 3,5 100 200 22,8 1 1,53 0,35
8

Tabel 3 Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot
Muka Air Tanah Dalam
No Nama Jenis K KR F FR INP R Pi H’ E
Nama Nama Ilmiah
Lokal
1. Kumpai Hymenachine 55.625 70,08 1 40 110,1 5,7 0,5 0,33 0,07
amplexicaulis
(rudge)
2. Belidang Eleusine indica 11.250 14,17 0,5 20 32,17 5,6 0,15 0,3 0,10
3. Pakis Stenochlaena 11.250 14,17 0,8 30 44,17 5,6 0,19 0,33 0,12
Udang palustris
4. Seduduk Melastoma 1.250 1,57 0,3 10 11,57 4,5 0,05 0,16 0,24
malabatrihcum
Jumlah 82.500 100 2,5 100 200 21,6 1 1,13 0,53

4.1.2 Lahan Gambut Pasca Terbakar Tahun 2006 yang Sudah Dilakukan
Kegiatan Rehabilitasi

Tabel 4 Hasil Analisis Vegetasi Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot Selection
Spesies Jelutung dan Ramin
No Nama Jenis K KR F FR INP R Pi H’ E
Nama Nama Ilmiah
Lokal
1. Resam Dicraboprenis 2.500 7,31 0,5 20 27,41 4,28 0,14 0,27 0,20
linearis
2. Pakis Stenochlaena 20.625 61,11 1 40 101,1 4,71 0,51 0,34 0,10
Udang palustris
3. Seduduk Melastoma 1.875 5,56 0,3 10 15,56 4,09 0,08 0,20 0,18
malabatrihcum
4. Anggrek Spathoglohis 8.750 25,93 0,7 30 55,93 4,62 0,28 0,36 0,14
Tanah plicata
Jumlah 33.750 100 2,5 100 200 17,7 1 1,17 0,61

Tabel 5 Hasil Analisis Vegetasi Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot Permudaan
Alam atau Natural Regeneration
No Nama Jenis K KR F FR INP R Pi H’ E
Nama Nama Ilmiah
Lokal
1. Pakis Stenochlaena 1.375 34,9 1 50 84,9 4,67 0,42 0,36 0,11
Udang palustris
2. Seduduk Melastoma 2.562 65,1 1 50 115,1 4,73 0,58 0,32 0,09
malabatrihcum
Jumlah 3.937 100 2 100 200 22,82 1 0,68 0,20
9

Tabel 6 Hasil Analisis Vegetasi Semai dan Tumbuhan Bawah pada Plot Selection
Spesies Punak dan Meranti
No Nama Jenis K KR F FR INP R Pi H’ E
Nama Nama Ilmiah
Lokal
1 Anggrek Spathoglohis 2.500 2,33 0,75 52,38 54,70 3,27 0,27 0,35 0,25
Tanah plicata
2 Pakis Stenochlaena 90.625 84,61 1 19,04 103,3 3,79 0,51 0,34 0,06
Udang palustris 5
3 Seduduk Melastoma 7.500 6,97 0,75 14,28 21,26 3,59 0,10 0,23 0,09
malabatrihcum
4 Rayutan 6.875 6,40 0,75 14,28 20,68 3,58 0,10 0,23 0,09
Jumlah 107.500 100 5,25 100 200 14,26 1 1,16 0,51

4.2 Pembahasan
Tegakan pancang, tiang, dan pohon tidak ditemukan satupun pada hamparan
lokasi penelitian pada titik pengamatan lahan bekas terbakar tahun 2015 hanya
vegetasi berupa semai dan tumbuhan bawah yang ditemukan di lokasi penelitian. Hal
ini menunjukkan bahwa proses suksesi alami dari tahun 2015 sampai dengan tahun
2017 baru sampai pada pertumbuhan tingkat semai. Pada lahan terbakar tahun 2006
terdapat tegakan homogen sesuai dengan petak contoh yang diamati karena lahan
terbakar tahun 2006 telah melakukan kegiatan rehabilitasi.
Indeks nilai penting (INP) sangat penting untuk mengetahui peranan suatu
jenis dalam komunitas. nilai indeks nilai penting (INP) yang tinggi menunjukkan
dominansi suatu jenis dalam komunitas. Dominansi suatu jenis dalam komunitas
dipengaruhi oleh tinggi atau rendahnya kemampuan jenis dalam menyesuaikan
terhadap lingkungan. Suatu jenis dikatakan dominan apabila jenis tersebut memiliki
jumlah, sebaran dan kerapatan yang tinggi. Maka, nilai indeks nilai penting (INP)
untuk tiang dan pohon terdiri dari nilai kerapatan, nilai frekuensi dan nilai dominansi.
Berbeda dengan semai dan pancang nilai indeks nilai penting (INP) yang hanya
terdiri dari nilai kerapatan dan nilai frekuensi.
Nilai kerapatan vegetasi dapat menunjukkan tinggi atau rendahnya intensitas
kebakaran yang terjadi di suatu kawasan. Lahan gambut pasca terbakar tahun 2015
suksesi alami yang terbentuk dua tahun setelah kebakaran hanya terdiri dari pakis dan
rumput rawa. Pada plot muka air tanah dangkal, sedang, dan dalam yang memiliki
nilai kerapatan tertinggi yaitu kumpai 218.125, 98.125 dan 55.625. Vegetasi yang
berada pada tingkat muka air tanah dangkal mengalami kebakaran yang rendah
dibandingkan vegetasi yang berada pada tingkat muka air tanah sedang dan pada
tingkat muka air tanah dalam. Kebakaran yang rendah pada tingkat muka air tanah
dangkal dikarenakan tingginya nilai kerapatan spesies yang berada disana yaitu
kumpai.
Lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan kegiatan
rehabilitasi untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah dibagi menjadi tiga lokasi yang
pertama dilokasi selection spesies jelutung dan ramin, permudaan alam atau natural
10

regeneration dan selection spesies punak dan meranti. Untuk tingkat semai dan
tumbuhan bawah terdapat lima jenis yaitu anggrek tanah, pakis, kumpai, seduduk,
resam dan rayutan. Pada tiga lokasi yang memiliki nilai kerapatan tertinggi secara
berurutan yaitu pakis udang, seduduk dan pakis udang sebesar 20.625, 2.562 dan
90.625.
Sebaran vegetasi di suatu kawasan dapat diketahui melalui nilai frekuensinya
yang mendekati atau sama dengan satu. Sebaran vegetasi semua spesies pada muka
air tanah dangkal tersebar luas dan merata hal ini ditunjukkan dengan nilai nilai
frekuensinya satu. Pada muka air tanah sedang kumpai, pakis udang, dan belidang
tersebar luas dan merata tetapi sebaran seduduk hanya sebagian dari luas lahan.
Sedangkan, tingkat muka air tanah dalam hanya kumpai yang tersebar luas karena
memiliki nilai frekuensi satu. sehingga pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2015
pada tingkat semai dan tumbuhan bawah yang tersebar luas merata kumpai, dan pakis
udang.
Sebaran vegetasi pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang sudah
dilakukan kegiatan rehabilitasi pada plot selection spesies jelutung dan ramin hanya
pakis udang yang tersebar luas dan merata karena memiliki nilai frekuensi satu.
sedangkan semua spesies pada plot permudaan alam atau natural regeneration
tersebar luas dan merata karena memiliki nilai frekuensi satu. Sama halnya dengan
plot selection spesies jelutung dan ramin, plot selection spesies punak dan meranti
hanya pakis udang yang tersebar luas dan merata hal ini karena memiliki nilai
frekuensi satu.
Nilai INP tertinggi pada lahan pasca terbakar tahun 2015 yaitu Kumpai, pada
muka air tanah dangkal (89,33%), muka air tanah sedang (82,71%) dan muka air
tanah dalam (110,11%). Sedangkan nilai INP tertinggi pada lahan gambut pasca
terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan kegiatan rehabilitasi, pada plot selection
spesies jelutung dan ramin nilai INP pakis (101,11%), pada plot permudaan alam atau
natural regeneration nilai INP pakis (115,08%) serta pada plot contoh selection
spesies punak dan meranti nilai INP yang tinggi yaitu pakis (103,35%).
Nilai indeks kekayaan jenis suatu kawasan dapat digolong tinggi, sedang atau
rendahnya kekayaan jenis dapat dilihat berdasarkan kriteria nilai indeks kekayaan
jenis, nilai R kurang dari 3,5 termasuk rendah, dan nilai R antara 3,5 hingga lima.
termasuk sedang, sedangkan nilai R lebih dari lima termasuk tinggi (Magurran 1988).
Nilai indeks kekayaan jenis pada areal pasca terbakar tahun 2015 termasuk kriteria
kekayaan jenis yang tinggi karena memiliki nilai R lebih dari lima seperti rata rata
nilai R tumbuhan pada areal muka air tanah dangkal yang lebih dari enam dan rata
rata nilai R tumbuhan pada muka air tanah yang lebih dari lima. Begitupun rata rata
nilai R tumbuhan pada areal muka air tanah dalam lebih dari lima.
Nilai indeks kekayaan jenis pada areal pasca terbakar tahun 2006 yang sudah
dilakukan kegiatan rehabilitasi termasuk kriteria kekayaan jenis yang sedang karena
memiliki nilai R antara 3,5 hingga lima seperti rata rata nilai R tumbuhan pada areal
selection spesies jelutung dan ramin pakis hanya empat, dan rata rata nilai R
tumbuhan pada areal permudaan alam atau natural regeneration lebih dari 4,5 tetapi
kurang dari lima. Sedangkan rata rata nilai R tumbuhan pada areal selection spesies
punak dan meranti lebih dari 3,5 tetapi kurang dari empat. Sehingga areal pasca
11

terbakar tahun 2015 lebih tinggi akan kekayaan jenis dibandingkan areal pasca
terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan kegiatan rehabilitas.
Tingkat tinggi atau rendahnya perbedaan jenis antara satu jenis dengan jenis
yang lainnya dalam suatu kawasan dapat dilihat dari indeks keanekaragaman jenis.
Indeks keanekaragaman dapat ditentukan melalui indeks kekayaan jenis dan indeks
kemerataan jenisnya. Indeks keanekaragaman jenis lebih besar apabila kemerataan
jenisnya lebih besar maksudnya jika populasi-populasi yang ada satu sama lain
memiliki kelimpahan yang merata (Deshmukh 1992). Nilai indeks keanekaragaman
jenis ditunjukkan dengan Shannon-Winner apabila nilai indeks keanekaragaman jenis
(H’) kurang dari satu termasuk rendah, H’ antara satu hingga dua termasuk sedang
dan H’ lebih dari dua termasuk tinggi.
Nilai indeks keanekaragaman jenis pada lahan gambut pasca terbakar tahun
2015 dan lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan kegiatan
rehabilitasi memiliki nilai yang sedang karena keanekaragaman jenis (H’) antara satu
hingga dua seperti pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2015 nilai rata rata indeks
keanekaragaman jenis tumbuhan berkisar 1,283 sedangkan nilai rata rata nilai indeks
keanekaragaman jenis pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 berkisar 1,003.
Sehingga indeks keanekaragaman jenis pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2015
lebih tinggi dibandingkan lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang sudah
dilakukan kegiatan rehabilitasi. Apabila semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman
jenis makin maka semakin banyak jenis yang ditemukan dengan keanekaragaman
jenisnya semakin beragam (Prabowo dan Subantoro 2018).
Tingkat tinggi atau rendahnya persamaan jenis antara satu jenis dengan jenis
yang lainnya dalam suatu kawasan dapat dilihat melalui nilai indeks kemerataan
jenis. Nilai indeks kemerataan jenis (E’) ditunjukkan dengan E’ kurang dari 0,3
termasuk rendah, E’ antara 0,3 hingga 0,6 termasuk sedang, dan E’ lebih dari 0,6
termasuk tinggi (Magurran, 1988). Pada kedua lokasi lahan gambut pasca terbakar
tahun 2015 dan lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan
kegiatan rehabilitasi memiliki nilai kemerataan jenis relatif rendah. Pada lokasi pasca
terbakar tahun 2015 memiliki rata rata nilai indeks kemerataan jenis 0,40 termasuk
sedang karena rata rata nilai indeks kemerataan jenis antara 0,3 hingga 0,6.
Sedangkan pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan
rehabilitasi, memiliki rata rata nilai kemerataan jenis 0,44 termasuk sedang karena
rata rata nilai kemerataan jenis antara 0,3 hingga 0,6. Sehingga indeks kemerataan
jenis pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2015 sama sama termasuk kategori
sedang namun, lebih rendah dibandingkan lahan gambut pasca terbakar tahun 2006
yang sudah dilakukan kegiatan rehabilitasi.
Nilai indeks kemerataan jenis berbanding lurus dengan nilai indeks
keanekaragaman jenis. Semakin besar nilai keanekeragaman jenisnya maka semakin
besar pula kelimpahan dan kemerataan, begitupun sebaliknya. Pada lahan gambut
pasca terbakar tahun 2015 memiliki nilai keanekaragaman jenis yang sedang, maupun
lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan kegiatan rehabilitasi
memiliki nilai keanekaragaman jenis yang sedang, hal ini berarti bahwa di lahan
gambut pasca terbakar tahun 2015 dan lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang
12

sudah dilakukan kegiatan rehablitasi memiliki kelimpahan jenis yang sedang dan
merata.
Proses suksesi adalah suatu proses perubahan yang terjadi secara bertahap dan
biasanya membutuhkan waktu yang tidak sebentar sesuai dengan factor lingkungan
di sekitarnya seperti adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap
tempat tumbuh dan stabilisasi (Soerianegara dan Indrawan 1988). Awalnya kondisi
pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2015 telah stabil karena telah terbentuknya
suatu komunitas hutan primer. Namun kebakaran yang terjadi pada tahun 2015
mengakibatkan perubahan sangat drastis pada kondisi lingkungan maupun ekosistem.
seperti kondisi biofisik lahan. Seiring berjalannya waktu perubahan alam secara
bertahap melalui proses suksesi mulai terjadi berupa suksesi sekunder pada area
bekas terbakar.
Proses suksesi yang terjadi pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2015 baru
memasuki tahap pertama yaitu vegetasi rumput herba dan semak kecil sebagai
tumbuhan pionir. Dominasi Pakis udang dan kumpai pada kedua lokasi dikarenakan
hidup kawasan tersebut basah dan tergenang. Tanaman Pakis udang dan kumpai
memiliki sistem perakaran serabut, penyebaran dengan tunas dan sulur serta spora.
Lahan pasca terbakar tahun 2006 yang telah dilakukan kegiatan rehabilitasi
dengan perlakuan silvikultur khusus yang memperhatikan karakterstik lahan gambut,
pertumbuhaan pohon cukup memuaskan dengan daya hidup (survival rate) berkisar
antara 82-97 %, riap tinggi berkisar 87- 214 cm/tahun, dan riap diameter berkisar
1,36-2,83 cm/tahun. Penutupan tajuk pepohonan meningkat dari 0% sebelum ditanam
menjadi 50-70%, serta terjadi peningkatan serapan karbon permukaan oleh jenis-jenis
pohon yang ditanam (Brata 2017).

V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian yang telah


dilaksanakan bahwa sudah adanya proses suksesi alami pada lahan gambut pasca
terbakar tahun 2015 tingkat pertama yaitu vegetasi semai dan tumbuhan dan pada
pada lahan gambut pasca terbakar tahun 2006 yang sudah dilakukan kegiatan
rehabilitasi dan revegetasi daya hidup pohon yang ditanam antara 82- 97% dan
penutupan tajuk pepohonan meningkat dari 0% menjadi 50-70%. Pada lahan bekas
terbakar tahun 2015, kumpai atau Hymenachine amplexicaulis (rudge) merupakan
jenis yang mendominasi dengan nilai kerapatan tertinggi. Sedangkan pada lahan
bekas terbakar tahun 2006 kerapatan tertinggi adalah pakis udang
(Stenochlaena Palustris)

5.2 Saran

Proses rehabilitasi dan restorasi terhadap lahan dan hutan yang mengalami
gangguan terhadap fungsinya diperlukan untuk mengembalikan fungsi biofisik hutan.
untuk mempercepat proses suksesi sehingga nilai hutan dapat kembali dirasakan.
13

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho, W.C. 2006. Persamaan Alometrik Biomassa dan Faktor Ekspansi


Biomassa Vegetasi Hutan Sekunder Bekas Kebakaran di PT. INHUTANI I.
Batu Ampar: Kalimantan Timur.

Agus, F. dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Booklet. Bogor, Indonesia: Balai Penelitian Tanah (Ind.
Soil Res. Inst.) and World Agroforestry Centre (ICRAF) Se Asia

Agus, F., Anda M., Jamil A. dan Masganti. 2008. LAHAN GAMBUT INDONESIA
Pembentukan, Karakteristik, dan Potensi Mendukung Ketahanan Pangan (Edisi
Revisi). Jakarta, Indonesia: IAARD Press

Arrijani. Dede, Setiadi. Edi, Guhardja dan Ibnul, Qayim. 2006. Analisis Vegetasi
Hulu DAS Cianjur Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Jurnal
Biodiversitas. 7(2):147-153.

Bakri. 2009. Analisis Vegetasi Dan Pendugaan Cadangan Karbon Tersimpan Pada
Pohon Di Hutan Taman Wisata Alam Taman Eden Desa Sionggang Utara
Kecamatan Lumban Julu Kabupaten Toba Samosir. Tesis. Universitas Sumatera
Utara Medan: Medan

Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala
1:250.000. BBSDLP: Bogor

BNPB. (2012). Pedoman Pengelolaan Data dan Informasi Bencana. BNPB: Jakarta.

Brata, B. 2017. The Demonstration Plot of ExFire Peat Swamp Forest Restoration.
Environment and Forestry Research and Development Agency of Palembang.

Deshmukh,I. 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.

Dharmawan, I. W. S., Saharjo, B. H., Supriyanto, S., & Arifin, H. S. (2013).


Persamaan alometrik dan cadangan karbon vegetasi pada hutan gambut primer
dan bekas terbakar. Jurnal penelitian hutan dan konservasi alam, 10(2): 175-
191.

Dit. PKHL KLHK RI (Direktorat PKHL Kementrian Lingkungan Hidup Dan


Kehutanan RI). 2018. Rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan dan Lahan (Ha) Per
Provinsi Di Indonesia Tahun 2013-2018. sipongi.menlhk.go.id.

Gunawan, H., Mudiyarso, D., Mizuno, K., Kozan, O., Sofiyanti, N., Indriyani, D dan
Lestari, I. (2016). Taksiran akumulasi biomassa atas permukaan pada
eksperimen restorasi lahan gambut bekas terbakar, area transisi Cagar Biosfer
14

Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau, Sumatera Indonesia. Jurnal Riau


Biologia, 1(1): 8-16.

Hadi, A.L. 2016. Respon Karakteristik Tanah Gambut Terhadap Kebakaran. Skripsi.
Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor

Hadi, M. (2006). Pemodelan Spasial Kerawanan Kebakaran di Lahan Gambut : Studi


kasus Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Skripsi. Departemen Silvikultur.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Chapman and Hall:
USA

Manan, S. 1978. Masalah Pembinaan Kelestarian Ekosistem Hutan. Departemen


Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.

Mueller-Dombois, D dan H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation


Ecology. John Wiley and Sons. New York.

Murdiyarso, D, U, Rosalina, K, Hairiah, L, Muslihat, INN, Suryadiputra dan A, Jaya.


2004. Petunjuk Lapangan Pendugaan cadangan Karbon pada Lahan Gambut.
Proyek CCFPI, WI-IP dan Wildlife Habitat Canada: Bogor.

Odum. (1969). The strategy of ecosystem development. Science 164, 262- 270.

Prabowo R, Subantoro R. 2018. Analisis Tanah sebagai Indikator Tingkat Kesuburan


Lahan Budidaya Pertanian di Kota Semarang. Jurnal Ilmiah Cendekia Eksakta.
1(1): 59-64.

Qodriyatun, S. N. 2014. Kebijakan Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan.


Prosiding Info Singkat Kesejahteraan Sosial. Peneliti Madya bidang Kebijakan
Lingkungan pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Setjen DPR RI. 6(6): 9-12.

Saragi-Sasmito, M.F., Murdiyarso, D., June, T., Sasmito, S.D., 2018. Carbon stocks,
emissions, and aboveground productivity in restored secondary tropical peat
swamp forests. Mitig. Adapt. Strateg. Glob. Chang.

Soerianegara, I., dan Indrawan, A., 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Ulya, N.A., Warsito, S.P., Andayani, W., Gunawan, T., 2015. Nilai Ekonomi Karbon
Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang, Propinsi Sumatera Selatan. Jurnal
Masyarakat dan Lingkungan. 1(1): 22-52.
15

Wahyunto, A. Dariah, dan F. Agus. 2010. Distribution, properties, and carbon stock
of Indonesian Peatland. In Agus et al. (Eds.) Proc. Intenational Workshop on
Evaluation and Suatainable Management of Soil Carbon Sequestration In Asian
Country. Bogor, Indonesia. 28-29 September 2010.

Wahyunto, S. Ritung, Suparto dan H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan


Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change,
Forests and Peatlands in Indonesia. Bogor: Wetlands International-Indonesia
Programme dan Wildlife Habitat Canada.

Welly, R. 2006. Suksesi Vegetasi Di Gunung Papandayan Pasca Letusan Tahun


2002. [Skripsi]. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor.

WWF. (2010). Forest Fire WWF Indonesia. Retrieved Maret 16, 2021, from
http://www.wwf.or.id/tentangwwf/upayakami/iklimdanenergi/solusikami/
adaptasi/forestfire.cfm

Yuningsih, L., Bastoni, B., Yulianty, T., & Harbi, J. (2019). Analisis Vegetasi Pada
Lahan Hutan Gambut Bekas Terbakar Di Kabupaten Ogan Komering Ilir
(OKI), Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Sylva, 7(2): 58-67.

Anda mungkin juga menyukai