Anda di halaman 1dari 24

ANALISA LAHAN GAMBUT

DI PERMUKIMAN TEPIAN AIR SUNGAI DESA/KELURAHAN PAHANDUT SEBERANG

MKP IV PERMUKIMAN RAWA GAMBUT

Dosen : Dr. Noor Hamidah, S.T., MUP

DISUSUN OLEH :

FIFI AYU SAPUTRI (DBB 118 020)

CECILIA PUTRI UTAMI (193010502007)

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS

PALANGKA RAYA
FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

TAHUN AJARAN 2022/2023

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya, sehingga kami
bisa menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Analisa permukiman rawa gambut di
permukiman tepian air sungai desa/kel. Pahandut seberang” dengan tepat waktu. Laporan ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah MKP IV Permukiman Rawa Gambut.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Noor Hamidah, S.T., MUP. selaku
dosen dari mata kuliah MKP IV Permukiman Rawa Gambut. Harapan kami, informasi dan
materi dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Maka dari itu kami akan menerima
kritik dan juga saran yang membangun bagi perbaikan makalah selanjutnya. Demikian makalah
ini kami buat, jika makalah ini masih terdapat kesalahan, kami selaku penyusun memohon maaf
dengan setulusnya.

Palangka Raya, Semptember 2022

Penyusun.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN iii

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan Penelitian 1
1.4 Manfaat Penelitian 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2

2.1 Definisi Gambut 2


2.2 Definisi Lahan Gambut 2
2.3 Peran Lahan Gambut 5
2.4 Luasan Lahan gambut di Indonesia 6
2.5 Kandungan Tanah gambut di Indonesia 6
2.6 Permukiman Daerah Aliran Sungai di Sungai Kahayan 8

BAB III METODE 9

3.1 Tahap Pengumpulan Data 9


3.2 Waktu dan Lokasi 9
3.3 Metode Pengumpulan Data 9

BAB IV HASIL ANALISA 11

4.1 Deskripsi Umum Lokasi Observasi 11


4.2 Deskripsi Lokasi Bangunan 12
4.3 Hasil Analisa rumah tinggal Narasumber 13

ii
BAB V PENUTUP 19

5.1 Kesimpulan 19

DAFTAR PUSTAKA 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanah Gambut merupakan suatu tanah yang memiliki kandungan organik yang
tinggi yang terbentuk dari campuran fragmen - fragmen material organik yang berasal
dari tumbuhan yang telahberubah sifatnya menjadi fosil (Saputra & Ridha,
2019).Perilaku tanah organik sangat tergantung pada kadar organik,kadar abu, kadar
serat Makin tinggi kandungan organik makin rendah daya dukungnya dan
kekuatan gesernya, serta semakin besar pemampatannya(Pratama et al., 2015).Tanah gambut
dikenal sebagai tanah yang sangat lunak dengankandungan organik (≥75%). Memiliki
perilaku yang kurang baik yaitu daya dukung rendah dan sangat tinggi
kompresibilitas(Yulianto & Mochtar, 2010).

Indonesia dengan luas lahan gambut mencapai 21 juta ha merupakan negara dengan luas
lahan gambut tropika yang terbesar di dunia. Lahan gambut memiliki peran yang sangat
penting dalam menopang kehidupan manusia dan makluk lainnya. Lahan gambut tidak hanya
berfungsi secara langsung dalam menyokong kehidupan yaitu sebagai sumber pakan dan
habitat bagi berbagai mahluk, tetapi juga memiliki fungsi ekologi seperti pengendali banjir
dan pengendali perubahan iklim global. Lahan gambut memiliki sifat yang khusus yaitu sulit
untuk pulih apabila terganggu. Hal ini disebabkan oleh proses pembentukan lahan gambut
dari hasil pembusukan vegetasi yang berlangsung selama ribuan tahun, sehingga
perlindungan terhadap ekosistem lahan gambut penting diterapkan dengan mengelolanya
secara bijak dan memperhatikan keseimbangan ekologi, melalui pengelolaan yang
terintegrasi. Di dunia, lahan gambut mencakup areal seluas 400 juta ha, menyimpan lebih dari
500 milyar ton karbon daratan. Sepuluh persen areal lahan gambut dunia yang menyimpan
191 milyar ton karbon berada di daerah tropik. Dari luas tersebut, Asia Tenggara mencakup
60 % dengan luas sekitar 25 juta ha. Indonesia dengan luas 21 juta ha terdistribusi di
Sumatera (7,2 juta ha), Kalimantan (5,8 juta ha), dan Papua (8,0 juta ha). Sedikitnya 3 juta ha
lahan gambut di Indonesia telah terdegradasi dan dikonversi pada interval tahun 1987 - 2000.
Pada sepuluh tahun terakhir, lahan gambut telah didrainase dan dibangun menjadi lahan
untuk kelapa sawit dan hutan tanaman. Selama tahun 2000-2005 telah terjadi deforestasi

1
lahan gambut seluas 89.251 ha per tahun di Sumatra dan 9.861 ha per tahun di Kalimantan.
Deforestasi di lahan gambut terjadi pada lahan gambut yang kedalamannya 2-4 m dan sangat
dalam 4-8 m (IFCA, 2007). Hal ini secara signifikan telah menghasilkan emisi Gas Rumah
Kaca (GRK). Lahan gambut mengandung karbon yang sangat besar yang mempengaruhi pola
iklim di muka bumi. Oleh karena itu lahan gambut harus dijaga kelestariannya dari berbagai
penyebab kerusakan seperti deforestasi/konversi, kebakaran dan drainase yang menyebabkan
pemadatan serta subsidensi.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana cara menganalisa permukiman tepian air sungai di kawasan Pahandut


Seberang?

1.3 Tujuan Penelitian

Penyelenggaraan survei ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan terkait
pembangunan rumah di pemukiman Pahandut Seberang.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitiam ini diharapkan agar menjadi acuan untuk memahami lahan gambut dan
permukiman tepian air sungai

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gambut

Gambut merupakan akumulasi sisa tumbuhan yang terdekomposisi sebagian dan


terawetkan dalam kondisi aerasi tidak sempurna dan kadar air yang tinggi. Gambut dapat
terakumulasi di mana pun jika kondisinya cocok, yaitu, di areal dengan kelebihan curah hujan
dan drainase yang buruk atau tergenang. Gambut terbentuk ketika bahan tumbuhan, biasanya
di daerah berawa, terhambat untuk terdekomposisi secara sempurna karena lingkungan yang
asam kurang atau tidak mendukung adanya aktivitas mikroba (Huat dkk., 2014).
Pembentukan gambut tropika merupakan proses pembentukan biomassa dari sisa tumbuhan
setempat lebih cepat dibandingkan dengan proses penguraian, maka terbentuklah lapisan
bahan organik yang semakin tebal yang disebut tanah gambut (Noor, M. dkk, 2014). Lahan
gambut dapat terbentuk melalui dua proses yaitu proses pengisian badan air (pembentukan
daratan) dan proses paludifikasi (Huat dkk., 2014). Sementara itu Rydin H., dan J.K. Jeglum
(2006), menyebutkan adanya 3 proses pembentukan gambut yaitu pengisian cekungan
(terrestrialization), pembentukan gambut primer dan paludifikasi.

2.2 Definisi Lahan Gambut

Lahan gambut didefinisikan sebagai lahan dengan tanah jenuh air, terbentuk dari
endapan yang berasal dari penumpukkan sisa-sisa (residu) jaringan tumbuhan masa
lampau yang melapuk, dengan ketebalan lebih dari 50 cm (Rancangan Standar
Nasional Indonesia-R-SNI, Badan Sertifikasi Nasional, 2013). Kandungan C organik
yang tinggi (≥18%) dan dominan berada dalam kondisi tergenang (an-aerob)
menyebabkan karakteristik lahan gambut berbeda dengan lahan mineral, baik sifat fisik
maupun kimianya. Kandungan karbon yang relatif tinggi berartilahan gambut dapat
berperan sebagai penyimpan karbon. Namun demikian, cadangan karbon dalam tanah
gambut bersifat labil, jika kondisi alami lahan gambut mengalami perubahan atau terusik
maka gambut sangat mudah rusak. Oleh karena itu,diperlukan penanganan atau tindakan
yang bersifat spesifik dalam memanfaatkan lahan gambut untuk kegiatan
usahatani.Selain mempunyai karakteristik yang berbeda dibanding lahan mineral, lahan
gambut khususnya gambut tropika mempunyai karakteristikyang sangat beragam, baik
secara spasial maupun vertikal (Subiksa et al., 2011).Karakteristik gambut sangat ditentukan

3
oleh ketebalan gambut, substratum (lapisan tanah mineral di bawah gambut),
kematangan, dan tingkat pengayaan, baik dari luapan sungai di sekitarnya maupun pengaruh
dari laut khususnya untuk gambut pantai (keberadaan endapan marin).Lahan gambut
tropika umumnya tergolong sesuai marginal untuk pengembangan pertanian, dengan
faktor pembatas utama kondisi media tanam yang tidak kondusif untuk perkembangan akar,
terutama kondisi lahan yang jenuh air, bereaksi masam, dan mengandung asam-asam
organik pada level yang bisa meracuni tanaman, sehingga diperlukan beberapa tindakan
reklamasi agar kondisi lahan gambut menjadi lebih sesuai untuk perkembangan tanaman.

Lahan gambut dapat terbentuk melalui dua proses yaitu proses pengisian badan air
(pembentukan daratan) dan proses paludifikasi (Huat dkk., 2014). Sementara itu Rydin H.,
dan J.K. Jeglum (2006), menyebutkan adanya 3 proses pembentukan gambut yaitu pengisian
cekungan (terrestrialization), pembentukan gambut primer dan paludifikasi.

Kondisi Lingkungan Lahan Gambut Ekosistem lahan gambut merupakan hasil interaksi tiga
komponen yang saling berkaitan yaitu tumbuhan, air, dan gambut (Gambar 2). Tumbuhan
menentukan jenis gambut yang akan terbentuk dan bagaimana sifat hidroliknya. Air
(hidrologi) akan menentukan jenis tumbuhan yang akan tumbuh dan bagaimana gambut
tersimpan dan terdekomposisi. Struktur gambut adalah bentuk permukaan yang akan
menentukan bagaimana air mengalir dan berfluktuasi. Saling keterkaitan ini menyiratkan
bahwa ketika salah satu dari komponen ini mengalami perubahan, komponen lainnya juga
akan berubah. Belum tentu perubahan terjadi sekaligus, tetapi dalam jangka panjang pasti
akan terjadi (Schumann, M. dan Joosten, H.,2008).

Berdasarkan penyebaran gambut di Indonesia, yakni di sepanjang pantai Timur Sumatera,


Pantai Barat dan Selatan Kalimantan dan Pantai Irian secara total luasannya dapat
dikemukakan menurut berbagai sumber (Tabel 1). Sekitar ½ dari luas total lahan gambut
tersebut di sepanjang pantai P. Sumatera, terutama pantai Timur Sumatera (Tabel 2) dimana
gambut tersebut ketebalannya berubah dari tahun ke tahun dan tampaknya gambut dengan
kategori sangat dalam, dalam dan sedang makin berkurang berdasarkan luasan, yang diduga
oleh sebab gangguan aktivitas-aktivitas pemanfaatan oleh manusia.

Taksiran volume maupun bobot gambut total untuk seluruh wilayah Indonesia, yakni bobot
dan volume total lahan gambut nilai angka taksiran akan bersifat kasar atau dengan kata lain
tidak mudah diukur secara pasti. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal (faktor) sebagai
berikut: 1. Kedalaman gambut tiap tempat dimana Organosol berada sangat tidak homogen

4
dan dapat berubah menurut waktu. Hal itu tampak dalam klasifikasi kedalaman gambut
(Tabel 2) walaupun total area relatif tetap. Jadi pendugaan volume dan bobot total bahan
gambut besarannya tidak akan bersifat eksak dan sangat bergantung pada asumsi ketebalan
atau kedalaman gambut untuk wilayah yang bersangkutan. 2. Tingkat kematangan atau
sejauhmana bahan gambut telah terdekomposisi sangat beragam sekali dari satu tempat ke
tempat yang lain (site to site) lahan gambut. Dalam hal ini peta tanah yang menggambarkan
lahan gambut tingkat detail untuk seluruh wilayah Indonesia belum pernah ada, yakni yang
menunjukkan luasan-luasan sub ordo Histosol (= Organosol = lahan tanah gambut) yaitu: (a)
Fibrik : bahan < 1/3 terdekomposisi. (b) Saprik : bahan 1/3 – 2/3 terdekomposisi (c) Hemik :
> 2/3 bahan gambut telah terdekomposisi (= humus matang) Bobot isi bahan tidak sama
untuk tiap kelompok gambut tersebut. Ini akan menyebabkan hasil taksiran volume dan bobot
gambut bersifat garis besar saja.

2.3 Peran Lahan Gambut

Peran dan fungsi lahan gambut sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan semua
makhluk hidup baik manusia maupun flora dan fauna. Hal ini dikarenakan lahan gambut
berfungsi sebagai penjaga perubahan iklim global. Lahan gambut jika telah mengalami
kerusakan, maka sulit untuk dikembalikan ke kondisi lahan gambut seperti semula, sehingga
untuk menanggulanginya perlu adanya pengelolaan secara baik. Pengelolaan tersebut salah
satunya yaitu melalui konservasi. Konservasi ini sifatnya eksploitatif yang mempunyai tujuan
untuk mempertahankan dan memperbaiki ekosistem. Ekosistem gambut merupakan potensi
sumber daya alam yang sangat kaya dengan keanekaragaman hayatinya. Ekosistem gambut
mempunyai keberagaman fisik, kimia, biologi dan sangat sensitif serta rapuh terhadap
perubahan iklim sehingga pengembangannya baik sebagai fungsi lindung maupun budidaya
perlu terus diperbaharui. Ekosistem gambut mempunyai jasa pelayan lingkungan pencegah
banjir, kekeringan dan pencemaran disamping menghasilkan berbagai produk atau hasil
tanaman, ternak, ikan yang menjadi pangan (food), pakan (feed), papan (fiber), dan obat-
obatan.

Lahan Gambut sebagai Pengatur Tata Air. Gambut bersifat sangat porous sehingga dapat
menyimpan air dalam jumlah yang besar. Dalam keadaan jenuh gambut sapric, hematik dan
fibrik dapat mengandung air sebanyak 450%, 450 - 850%, dan lebih dari 850% berat
keringnya atau 90% dari volume. Oleh sebab itu, gambut memiliki kemampuan untuk

5
berfungsi sebagai reservoir air tawar sehingga dapat berfungsi sebagai pencegah banjir pada
musim hujan dan melepaskan air pada musim kemarau, juga mencegah intrusi air laut ke
daratan. Lahan gambut di daerah tropika umumnya berada dalam suatu hamparan (cekungan)
luas yang disatukan oleh sistem tata-air "terbuka", artinya air dalam tanah gambut
mempunyai mobilitas tinggi, maka pendekatan utama dalam penatagunaan lahan gambut
adalah pendekatan ekosistem sebagai satu kesatuan yang terpadu (Istomo, 2008).

2.4 Luasan Lahan Gambut di Indonesia

Indonesia memiliki gambut kurang lebih15,5 – 18,5 juta hektar yang terdapat di 3 pulau
besarnya yaitu pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Kalimantan menjadi pulau dengan
sebaran lahan gambut mencapai 9,75 juta ha atau 52% dari total sebaran lahan gambut yang
ada di Indonesia. Dari 9,75 juta lahan gambut yang ada di pulau Kalimantan, Kalimantan
Selatan memiliki 1,48 juta ha atau 15,% sebaran lahan gambut di pulau Kalimantan dan 8%
luasan sebaran gambut Indonesia (Soekardi dan Hidayat, 1988). Berdasarkan Kepmen LHK
No 129 dan 130 Tahun 2017 luas ekosistem gambut di Provinsi Kalimantan Selatan meliputi
102.902,95 hektare, yang terbagi dalam 4 (empat) Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG).
Kawasan KHG tersebut diatas melintasi daerah kabupaten dari Utara yaitu Kabupaten
Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai
Selatan (HSS), Tapin terus ke Selatan Kabupaten Banjar dan Barito Kuala. Sebagian
melintasi Kabupaten Barito Selatan dan Barito Timur yang berada di Provinsi Kalimantan
Tengah. Berdasarkan data dan peta Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian
(BBSDLP) luas lahan gambut yang berada dalam ekosistem gambut Provinsi Kalimantan
Selatan meliputi luas 106.271 hektare (BBSDLP, 2014) atau 107.344 hektare (BBSDLP,
2015). Berdasarkan hasil analisis data dan penyelidikan lapangan dengan skala peta 1:50.000
dihasilkan bahwa ekosistem gambut atau KHG Provinsi Kalimantan Selatan meliputi luas
235.561 hektare.

2.5 Kandungan Tanah Gambut di Indonesia

Sifat-sifat kimia tanah gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral,
ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut.
Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan
organik yang terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar
lainnya adalah 5 senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein,
dan senyawa lainnya (Agus dan Subiksa, 2008). Secara umum gambut memiliki tingkat

6
kesuburan rendah karena miskin unsur hara dan mengandung beragam asam-asam organik
yang sebagian bersifat racun bagi tanaman, namun asam-asam tersebut merupakan bagian
aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara.
Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia gambut. Selain
meracuni tanaman, asam-asam organik juga mengakibatkan pH gambut sangat rendah. Tanah
gambut umumnya bereaksi masam (pH 3.0-4.5). Gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi
(pH 4.0-5.1) daripada gambut dalam (pH 3.1-3.9) (Handayani, 2008). Gambut di Indonesia
pada umumnya tergolong pada tingkat kesuburan oligotrofik. Menurut Noor (2001), gambut
yang tergolong ke dalam kesuburan oligotrofik yaitu gambut yang memiliki tingkat
kesuburan rendah, selain itu gambut oligotrofik ditemukan pada gambut ombrogen, yaitu
gambut yang tebal dan miskin unsur hara. Di sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut
tergolong tinggi, tetapi kejenuhan basa (KB) sangat rendah. Muatan negatif (yang
menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan tergantung pH (pH
dependent charge), KTK akan naik bila pH gambut ditingkatkan, atau sebaliknya. Muatan
negatif yang terbentuk adalah hasil disosiasi hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol
(Widyati dan Rostiwati, 2010).

Sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting untuk dipertimbangkan baik dalam
pemanfaatannya untuk pertanian maupun kegiatan rehabilitasi lahan gambut yang
terdegradasi meliputi kadar air, berat isi (bulk density / BD), daya menahan beban (bearing
capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying)
(Agus dan Subiksa, 2008). Menurut Widyati dan Rostiwati (2010), kadar air yang tinggi
menyebabkan BD gambut menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan
bebannya rendah. BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0.1 sampai 0.2 g/cm
tergantung pada tingkat dekomposisinya. 6 Rendahnya BD gambut menyebabkan daya
menahan atau menyangga beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini
menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang lembek. Gambut juga
tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Hal ini karena akar tunjang
tanaman tidak bisa mencengkeram tanah. Akibatnya tanaman perkebunan seperti karet,
kelapa sawit atau kelapa, atau tanaman kehutanan misalnya Acasia crassicarpa atau
Eucalyptus pellita, seringkali doyong atau bahkan roboh (Widyati dan Rostiwati, 2010).

7
Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah
mengering, dengan kadar air. Pada kondisi ekosistem gambut yang alami, jenis-jenis
tumbuhan yang mampu tumbuh adalah jenis-jenis yang telah teradaptasi dengan kondisi
lingkungan yang ekstrim, seperti adanya genangan air, kemasaman tanah yang tinggi dan
hara yang terbatas. Tumbuhan yang dapat hidup di rawa dan rawa gambut memiliki
mekanisme adaptasi morfologi, seperti pembentukan lenti sel, akar adventif, dan akar nafas
(Whitten et al., 2000) dan adaptasi fisiologi, seperti penutupan stomata dan kemampuan
meluruhkan dedaunan (Gomes & Kozlowski, 1980). Oleh karena itu, pemilihan jenis
merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam upaya rehabilitasi dan restorasi
ekosistem gambut terdegradasi (Suryadiputra et al., 2005; Page et al., 2009; Graham & Page,
2014, Banjarbaru Forestry Research Unit & Graham, 2014).

2.6 Permukiman Daerah Aliran Sungai di Sungai Kahayan

Sungai Kahayan memiliki panjang 450 m2 dan lebar 100 m2. Karakteristik setting lokasi
memiliki keunikan di sepanjang tepian Sungai Kahayan yaitu aktivitas keseharian penduduk
secara fisik mempengaruhi model permukiman. Permukiman tepian Sungai Kahayan di Kota
Palangkaraya merupakan permukiman awal memiliki keunikan pola permukiman memanjang
mengikuti bentuk sungai. Orientasi rumah menghadap ke sungai sebagai bagian dari
lingkungan permukimannya dan sebagai tempat yang menarik untuk bermukim. Menurut
Riwut (1979) karakteristik model permukiman kawasan tepian Sungai Kahayan memiliki dua
tipe seperti terlihat pada yaitu : (1) rumah rakit (raft houses), dan (2) rumah tiang (pillar
houses).

model permukiman di kawasan tepian sungai Kahayan yaitu memiliki dua model
permukiman, antara lain:

a) Rumah lanting/rumah terapung (raft houses) terlihat pada musim hujan seolah-olah
bangunan rumah berada diatas air, sedangkan pada musim kemarau, kawasan
permukiman ini akan terlihat berdiri di atas daratan;
b) Rumah panggung/rumah tiang (pillar houses), dimana tiang-tiang bangunan terendam
air pada musin hujan, sedangkan pada musim kemarau tiang-tiang bangunan nampak
kokohdiatas tanah;

8
BAB III
METODE

3.1 Tahap Pengumpulan Data


Tahap-tahap yang dilaksanakan diantaranya :

o Mengumpukan Sumber Pustaka ( Sumber Data Sekunder )


o Melakukan Pengamatan Langsung Di lokasi
o Mengumpulkan data observasi ( dokumentasi )
o Melakukan wawancara dan kuisioner dengan Narasumber/ Pemilik rumah
bersangkutan ( Sumber Data primer )
o Menganalisa data-data yang sudah terkumpul
o Membuat laporan dalam bentuk makalah

3.2 Waktu dan Lokasi


Waktu penelitian dilakukan pada Sore , Kamis, 8 September 2022. Lokasi observasi
Dilakukan di kel. Pahandut Seberang

3.3 Metode Pengumpulan Data

Dalam Penelitian ini mengunakan Teknik Pengumpulan Data yaitu: Observasi , Wawancara,
kuisioner , dokumentasi, dan Studi Pustaka/Studi Literatur.

a) Metode observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala
yang tampak pada objek penelitian. Metode observasi yang akan digunakan adalah
observasi langsung dengan cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa
ada pertolongan alat standar lain untuk kepentingan tersebut.
b) Wawancara adalah administrasi angket secara lisan dan langsung terhadap masing-
masing anggota sampel, atau metode pengumpulan data dengan cara Tanya jawab
yang dikerjakan dengan sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian Kegiatan
wawancara ini dilakukan sebagai tindak lanjut atas informasi yang didapat dan untuk
memperdalam keabsahan data dalam studi dokumentasi sebelumnya.

9
c) Kuesioner adalah suatu cara pengumpulan data dengan cara memberi seperangkat
pertanyaan kepada responden untuk di jawab.
d) Dokumentasi Dalam kamus besar bahasa Indonesia, dokumentasi adalah
“Pengumpulan bukti-bukti dan keterangan; pengumpulan, pengolahan dan
penyimpanan dalam hal ilmu pengetahuan.”

10
10
BAB IV HASIL

ANALISA

4.1 Deskripsi Umum Lokasi Observasi

Lokasi penelitian dilakukan di Kelurahan Pahandut Seberang, Kec. Pahandut, Palangka Raya
tepat seberang Sungai Kahayan, untuk mencapai lokasi perlu melintasi Jembatan Kahayan.
Dari Jembatan Kahayan berjarak sekitar 100 m untuk mencapai jalan masuk Pahandut
Seberang. Jalan masuk terdapat di sebelah kiri jalan dengan dengan ditandai dengan Gerbang
masuk Kawasan Wisata Pahandut Seberang. Daerah jalan pahandut seberang masih dalam
pembangunan dengan penambahan infrastuktur jalan seperti lampu dll. Pahandut Seberang
direncanakan sebagai salah satu Kawasan wisata di Kota Palangka Raya yang masih dalam
pembangunan.

Gambar 1

Kawasan Pahandut Seberang

11
11
Daerah Pahandut Seberang merupakan Kawasan daerah aliran sungai Kahayan dengan jenis
tanah gambut. Permukiman daerah aliran sungai / pinggiran sungai Kahayan tergolong masih
belum padat , namun masih belum tertata dan berkesinambungan antar bangunan. Jenis
bangunan yang dapat dijumpai di Pahandut seberang bermacam-macam , diantaranya rumah
lanting, rumah panggung dan bangunan pada umumnya.

4.2 Deskripsi Lokasi Bangunan

Lokasi bangunan yang di observasi terletak di PCL 2, RT.05 RW.02. Narasumber memiliki
beberapa bangunan yang difungsikan sebagai rumah tinggal dan usaha. Diantaranya 1 buah
rumah tinggal lanting, 2 buah rumah lanting fungsi rambak ikan , 1 buah Gudang bentuk
rumah panggung serta 1 buah garasi.

Gambar 2

Bangunan yang di observasi

Digambar diatas merupakan lahan dan bangunan yang dimiliki Narasumber. Lokasi terletak
di Kawasan yang masih belum padat penduduk.Sehingga masih belum ada jalan titian yang
terhubung antar rumah tetangga.

12
12
4.3 Hasil Analisa Rumah Tinggal Narasumber
Bentuk Analisa diperoleh dari kuisioner dan wawancara terhadap narasumber yang di
kelompokkan kedalam segi Analisa demografi, Analisa bangunan, Analisa Kawasan,
Analisa sanitasi dan Analisa air bersih
A. Analisa Demografi
Nama pemilik : Bu Saniyah.
Asal suku : suku banjar dari
Asal daerah : Desa Nagara, Kab Sungai hulu selatan.
Tingkat Pendidikan : SD.
Agama / kepercayaan : islam.
Profesi : usaha rambak dan buruh lepas
Pendapatan : 3 juta dalam satu bulan.
Jumlah kartu keluarga : 1 keluarga
jumlah anggota keluarga : 6 orang.
Alasan beliau memilih tinggal di pinggiran sungai adalah karena lokasinya
sama dengan daerah asal.

B. Analisa Bangunan
Luas rumah tinggal : 72 m2

Gambar 3
Denah rumah tinggal lanting

13
13
Kepemilikan Tanah : Sertifikat Tanah

Gambar 4
Luasan Tanah

Status kepemilikan bangunan : Tidak ada IMB


Fungsi Bangunan : rumah tinggal dan usaha
Usia bangunan : 5 Tahun
Orientasi bangunan : Ke sungai
Lahan ruang terbuka : dibagian depan
Material : Kayu

Gambar 5 Gambar 6

14
14
Pintu depan rumah tinggal jalan titian menuju rumah lanting yang
Sebagian terendam air akibat pasang

Gudang yang memiliki satu ruang dengan jenis rumah panggung

Sebelah kiri merupakan Bangunan rumah tinggal dan sebelah kanan


merupakan rambak

Ruangan bangunan rambak ikan

15
15
Jalan titian sebelah kiri jalan titian arah masuk sedangkan sebelah kanan
merupakan jalan titian dari luar rumah

Sumber penerangan : PLN

Besaran 1300 watt Terdapat 2 buah CCTV

Penerangan di bangunan rambak ikan dan jalan titian

16
16
C. Analisa sanitasi

pemilik memiliki jamban untuk BAB & BAK, dan tidak memiliki septictank

D. Analisa Sampah
Pemilik rumah tidak memiliki tempat sampah dan membuangnya langsung
disungai.

Sampah yang didapat dari hulu tertampung di jalan titian pemilik rumah
E. Analisa air bersih
Sumber air bersih didapat dari sumur / air tanah untuk kegiatan memasak dan
mandi. Sedangkan untuk sumber air minum didapat dari air isi ulang. Pemilik
tidak memiliki tandon untuk menyimpan air

17
17
Mesin pompa air sumur
Antisipasi pada saat kebanjiran, pemilik merasa aman karena di rumah lanting
yang akan mengapung saat banjir, sedangkan ketinggian air banjir dapat
sekitar 5 meter dari permukaan air sungai

18
18
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Gambut merupakan akumulasi sisa tumbuhan yang terdekomposisi sebagian dan


terawetkan dalam kondisi aerasi tidak sempurna dan kadar air yang tinggi.

Lahan gambut didefinisikan sebagai lahan dengan tanah jenuh air, terbentuk dari
endapan yang berasal dari penumpukkan sisa-sisa jaringan tumbuhan masa lampau
yang melapuk, dengan ketebalan lebih dari 50 cm . Kandungan C organik yang tinggi
dan dominan berada dalam kondisi tergenang menyebabkan karakteristik lahan
gambut berbeda dengan lahan mineral, baik sifat fisik maupun kimianya. Kandungan
karbon yang relatif tinggi berartilahan gambut dapat berperan sebagai penyimpan
karbon. Namun demikian, cadangan karbon dalam tanah gambut bersifat labil, jika
kondisi alami lahan gambut mengalami perubahan atau terusik maka gambut sangat
mudah rusak.

Luasan Lahan Gambut di Indonesia memiliki gambut kurang lebih 15,5 – 18,5 juta
hektar yang terdapat di 3 pulau besarnya yaitu pulau Sumatera, Kalimantan dan
Papua.Sifat-sifat kimia tanah gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan
mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum , dan tingkat dekomposisi gambut

Permukiman Daerah Aliran Sungai di Sungai Kahayan terdapat rumah panggung dan
rumah lanting. ,Sungai Kahayan memiliki panjang 450 m2 dan lebar 100 m2.Daerah
Pahandut Seberang merupakan Kawasan daerah aliran sungai Kahayan dengan jenis
tanah gambut.

19
19
DAFTAR PUSTAKA

Supriyadi dkk.Perilaku kepadatan tanah gambut terhadap penurunan tanah kondisi dry
side of optimum dan wet side of optimum. Jurnal inersia. 13(2)76-83

Wibowo, ari. (2009). Peran lahan gambut dalan perubahan iklim global. Tekno hutan
tanaman. 2(1)19-28

Ai dkk. Karakteristik lahan gambut. Panduan pengelolaan berkelanjutan lahan


gambut terdegradasi.16-29

Qalbi dkk. Dinamika aliran air tanah pada lahan rawa pasang surut.

L.Budi Triadi dkk. (2018). Monitoring dan upaya mengendalikan muka air pada
perkebunan di lahan rawa gambut di Indonesia. 9(1)53-68

L.Budi Triadi,dkk. (2020). Restorasi lahan rawa gambut melalui metode pembasahan
( sekat kanal ) dan paludikultur. Jurnal sumber daya air. 16(2)103-118

Noor Hamidah,dkk. (2014). Model permukiman Kawasan tepian sungai kasus :


Permukiman tepian sungai Kahayan kota palangkaraya. Jurnal permukiman. 9(1)17-
27
Ign purwanto,dkk. (2011). Potensi lahan gambut Indonesia menyimpan karbon. Junal
hidrolitan. 2(1)

Budiman , dkk.(2020). Pemanfaatan lahan gambut menjadi lahan potensial untuk


menjaga ketahanan pangan di Kalimantan barat. Jurnal kajian ilmu dan Pendidikan
geografi.4(2)

Agus, dkk. (2019). Pengelolaan ekosistem gambut sebagai upaya mitigasi perubahan
iklim di provinsi Kalimantan selatan. Jurnal planologi.16(2)

20
20

Anda mungkin juga menyukai