Anda di halaman 1dari 165

MEMBONGKAR TEORI DEKONSTRUKSI JACQUES DERRIDA

Christopher Norris

Penerjemah: Inyiak Ridwan Muzir


Editor: Ilyya Muhsin
Proofreader: Aziz Safa
Desain Cover: TriAT
Desain Isi: Maarif

Penerbit:
AR-RUZZ MEDIA
Jl. Anggrek 126 Sambilegi, Maguwoharjo
Depok, Sleman, Jogjakarta 55282
Telp./Fax.: (0274) 488132
E-mail: arruzzwacana@yahoo.com

ISBN: 979-25-4390-2
Cetakan II, 2017

Didistribusikan oleh:
AR-RUZZ MEDIA GROUP
Jl. Anggrek 126 Sambilegi, Maguwoharjo
Depok, Sleman, Jogjakarta 55282
Telp./Fax.: (0274) 4332044
E-mail: marketingarruzz@yahoo.co.id

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Norris, Christopher
Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida/Christopher Norris-
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2017
168 hlm, 14 X 21 cm
ISBN: 979-25-4390-2
1. Filsafat
I. Judul II. Christopher Norris
Dekonstruksi:
Sebuah Perkenalan Singkat

Sebelum masuk jauh ke dalam pembicaraan dekonstruk-


si dengan segala kerumitannya, kiranya yang lebih penting untuk
dibicarakan terlebih dahulu adalah, apakah dekonstruksi itu sama
dengan membongkar atau membubarkan seperti yang biasa kita
pahami sehari-hari atau tidak. Untuk menjawab persoalan ini, yang
harus kita lakukan adalah merunut arti dekonstruksi sebagaimana
yang dimaksud oleh, katakanlah, pencetus atau pendukungnya.
Sebagai langkah awal, barangkali di sini kita bisa mengatakan
bahwa dekonstruksi merupakan sebuah tindakan dari subjek yang
membongkar sebuah objek yang tersusun dari berbagai unsur. Sebagai
sebuah tindakan, yang dilakukan si subjek tentu tidak kosong. Dia
mesti melibatkan pelbagai cara atau metode, yaitu metode subjek
membongkar suatu objek yang memang patut dibongkar. Dari situ,
mau tak mau, nama Derrida harus disebut-sebut, karena dialah yang
pertama kali menyuarakan metode dekonstruksi ini di kancah filsafat
secara sistematis.
Dengan tersebutnya nama Derrida dan tercantumnya kata
“filsafat” dan “sistematis”, nyatalah bahwa dekonstruksi bukanlah
proses bongkar-membongkar yang sederhana, seperti pemahaman
sehari-hari terhadap kata itu.

Sekelumit Latar Belakang Pemikiran Derrida

Jacques Derrida adalah tokoh filsafat Prancis kelahiran Aljazair


pada tahun 1930. Dia dibesarkan dalam tradisi pemikiran era 1950-
an sampai 1970-an.
Era 1950-an sampai 1970-an dimeriahkan oleh pergeseran
besar-besaran dari pemikiran modernitas ke postmodernitas dan dari
strukturalisme menuju post-strukturalisme. Strukturalis-modernis
diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Ferdinand de Saussure, Noam
Chomsky, Roman Jacobson, Levi-Strauss; sementara nama-nama
semisal Lacan, Kristeva, Derrida, Foucault, Roland Barthes, Jean
Baudrillard, dan sebagainya “bisa dikatakan” sebagai wakil post-
strukturalis-postmodernis.

Postmodernitas

Ini adalah istilah yang sangat remang pengertiannya. Karena


kalau pengertian diartikan sebagai sesuatu yang bisa disepakati,
tunggal dan bulat, maka kesepakatan, ketunggalan, dan kebulatan
itulah yang tidak dimaui postmodernis. Yang bisa dilakukan hanyalah
mengira-ngira apa yang menjadi ciri-ciri postmodern, dan kalau
begitu terpaksa dibuat pengelompokan, barulah arti postmodern itu
bisa ditangkap, meskipun tetap dalam keadaan samar.
Kelompok pertama adalah pemikiran-pemikiran yang merevisi
pemikiran modernitas. Kelompok ini cenderung kembali ke pola
pemikiran pra-modern, misalnya metafisika New Age. Biasanya, para
pemikir dengan gaya ini berasal dari wilayah Fisika Baru, seperti F.
Capra, Garry Zukav, dan sebagainya.

6
Kedua, pemikiran-pemikiran yang terkait erat dengan dunia
sastra dan linguistik. Bahasa, yang secara tradisional dipandang
sebagai cermin untuk menggambarkan dunia atau realitas, ingin
dilampaui para pemikir ini. Salah satu cara untuk melampaui-
nya adalah dengan mendekonstruksi gambaran-dunia, sehingga
cenderung anti gambaran-dunia sama sekali. Gambaran-dunia
yang ingin dibongkar tersebut misalnya adalah diri, Tuhan, tujuan,
makna, kebenaran, dunia-nyata, dan sebagainya. Gaya ini disuarakan
oleh nama-nama seperti Foucault, Vattimo, Lyotard, dan Derrida.
Ketiga, pemikiran yang ingin merevisi modernisme tanpa
menolaknya mentah-mentah, melainkan melakukan perbaikan
di sana-sini yang dinilai perlu. Bisa dikatakan bahwa pemikiran
kelompok ini adalah kritik imanen terhadap modernisme dalam
rangka mengatasi konsekuensi negatifnya. Misalnya, mereka tidak
menolak sains dalam dirinya sendiri, yang ditolak adalah sains
yang dijadikan ideologi dan saintisme. Ringkasnya, sumbangan
modernisme terhadap peradaban manusia mau tak mau harus diakui
keberadaannya. Tokohnya antara lain adalah A.N. Whitehead,
Habermas, Gadamer, Rorty, dan Ricoeur.
Kenapa modernitas perlu direvisi, bahkan ada yang bersikeras
membuangnya? Di sini, kita perlu menyadari bahwa pemikiran
tentu ada konsekuensi-konsekuensinya, baik positif dan negatif.
Konsekuensi negatif modernitaslah yang menggelisahkan manusia,
khususnya para pemikir di paro pertama abad ke-20. Dua Perang
Dunia sudah cukup kiranya membuat manusia harus merenung
ulang, kalau tidak menyesali, kenapa bencana itu bisa terjadi. Bahkan
sampai sekarang pun, dampak negatif itu masih terasa. Krisis ekologi,
karut-marut ekonomi-politik global, imperialisme budaya, dan
sebagainya adalah di antara contoh yang bisa dikemukakan.
Adapun yang menyebabkan modernisme berdampak negatif
adalah apa yang tersimpul dalam pemikiran Hegel, yaitu ide universal
tentang emansipasi progresif, rasio, dan kebebasan. Bagi Hegel,
manusia sebagai subjek harus menentukan sendiri landasan nilai
7
dan kriteria-kriteria dalam kehidupannya. Manusia modern tidak
memerlukan landasan nilai, kebebasan, dan legitimasi kebenaran
selain yang berasal dari dalam dan untuk dirinya sendiri. Landasan
tersebut adalah akal budi. Manusia sebagai subjek akan selalu
“bergerak ke depan”. Dia akan selalu mengacu pada Kebenaran Ideal,
sementara kebenaran ideal itu sendiri tetap dalam proses “becoming”.
Proses bergerak ke depan menuju kebenaran ideal inilah yang disebut
“kemajuan”, progresivitas. Manusia modern ingin selalu jadi yang
paling progresif, paling di depan, paling di atas. Secara konseptual,
ini adalah hal yang ideal dan luhur, tapi sesampainya di lapangan,
yang acap kali terjadi malah penindasan terhadap sesama manusia
dan pemerkosaan alam.
Karena itu, kita pun tidak bisa menutup mata terhadap dampak
positifnya, karena modernitas telah berusaha memanusiakan manusia
dengan segala kemajuan, rasio, dan kebebasannya. Kemajuan
melahirkan kesejahteraan; rasio melahirkan sains dan teknologi;
dan kebebasan melahirkan demokrasi. Tapi “cucu” dari ketiga hal
tadilah yang negatif, yaitu eksploitasi, saintisme, serta imperialisme
politik dan budaya.
Tadi dikatakan bahwa dekonstruksi adalah bagian dari
kelompok postmodernis yang ingin lepas dan putus dengan
modernitas, maka pandangannya terhadap modernitas itulah
yang jadi intinya. Oleh karena itu, pandangan Derrida terhadap
modernitas tidak bisa dilepaskan.

Strukturalisme

Karena pemikiran Derrida sangat sulit dicerna, maka mungkin


dengan melacak kronologi pemikirannya, akan sedikit memudahkan
kita, yaitu dengan sedikit membicarakan strukturalisme Saussurean
yang notabene bernuansa modernitas tadi.
Strukturalisme adalah paham yang mengatakan bahwa
kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur. Sedangkan struktur

8
sendiri adalah hubungan mutual dari konstituen, bagian-bagian, atau
unsur-unsur pembentuk keseluruhan, sebagai penyusun sifat khas,
atau karakter dan koeksistensi dalam keseluruhan bagian-bagian
yang berbeda.
Metode struktural ditemukan Saussure ketika menyelidiki
bahasa. Oleh sebab itu, berbicara strukturalisme setidaknya juga akan
memperbincangkan bahasa. Bila bahasa dilihat secara struktural,
didapatlah kesimpulan bahwa bahasa bisa ada karena adanya sistem
perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem perbedaan ini
adalah oposisi biner (binary oposition). Oposisi antara penanda/
petanda, tuturan/tulisan, langue/parole. Oposisi dalam linguistik
ini berjalan berdampingan dengan hal yang sama dalam tradisi
filsafat Barat: makna/bentuk, jiwa/badan, transendental/imanen,
baik/buruk, benar/salah, dan sebagainya. Dalam oposisi biner ini,
menurut tradisi filsafat Barat, istilah-istilah yang pertama lebih
superior dari yang kedua.
Karena oposisi biner dalam bahasa berjalan berdampingan
dengan oposisi biner dalam tradisi filsafat Baru, maka menurut
Derrida, istilah-istilah tersebut adalah milik Logos —“kebenaran”
atau “kebenaran dari kebenaran”. Sedangkan istilah-istilah yang
kedua adalah representasi palsu dari yang pertama atau bersifat
inferior. Tradisi ini dinamakannya logosentrisme dan dipergunakan
untuk menerangkan asumsi adanya hak istimewa yang disandang
istilah pertama dan “pelecehan” terhadap istilah kedua.
Dalam linguistik Saussurean, terjadi penganakemasan tuturan
dan pelecehan tulisan. Tuturan menurut Saussure adalah kesatuan
petanda dan penanda yang dianggap kelihatan menjadi satu dan
sepadan, yang membangun sebuah tanda (sign). Kebenaran adalah
petanda, yaitu isi yang diartikulasikan oleh penanda yang berupa
suara/bentuk. Kebenaran yang sebelumnya eksternal dari penanda,
kemudian menjadi lekat dengan penanda itu sendiri dalam bahasa;
dia bisa hadir lewat penanda. Kesatuan antara bentuk (penanda)
dengan isi (petanda) inilah yang disebut Derrida metafisika kehadiran
9
(metaphysics of presence). Metafisika kehadiran adalah asumsi bahwa
sesuatu yang bersifat fisik (penanda) dan yang melampaui fisik
(petanda) dapat hadir secara bersamaan, dan hal ini hanya mungkin
dalam tuturan, bukan tulisan.
Dari sini, baru kita bisa melihat hubungan Derrida, terutama
dekonstruksinya, dengan linguistik-struktural. Dekonstruksi yang
dikembangkan Derrida adalah penyangkalan terhadap oposisi
ucapan/tulisan, ada/tak ada, murni/tercemar, dan akhirnya penolakan
terhadap kebenaran tunggal atau logos itu sendiri. Tulisan, menurut
Derrida, bila dilihat dengan cara lain, merupakan prakondisi
dari bahasa, dan bahkan telah ada sebelum ucapan oral. Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa tulisan malah lebih “istimewa”
ketimbang tuturan. Tulisan adalah bentuk permainan bebas
dari unsur-unsur bahasa dan komunikasi. Dia merupakan proses
perubahan makna terus-menerus dan perubahan ini menempatkan
dirinya di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos). Dalam hal ini,
Derrida melihat tulisan sebagai jejak —bekas-bekas tapak kaki yang
harus kita telurusi terus-menerus jika ingin tahu siapa si empunya
kaki. Proses berpikir, menulis, dan berkarya berdasarkan prinsip jejak
inilah yang disebut Derrida sebagai differance.
Differance adalah kata Prancis yang bila diucapkan, pelafalan-
nya persis sama dengan kata difference. Berasal dari kata differer, yang
bisa berarti “berbeda” sekaligus “menangguhkan”. Di sinilah letak
keistimewaan kata ini yang sekaligus membuktikan tulisan lebih
unggul ketimbang tuturan, sebagaimana yang diyakini Derrida.
Differance adalah permainan perbedaan-perbedaan, jejak-jejak dari
perbedaan-perbedaan, dan penjarakan (spacing) yang dengan cara
tersebut unsur-unsur dikaitkan satu sama lain.
Bila dikaitkan dengan linguistik-struktural Saussurean, proses
differance ini adalah penolakan terhadap adanya petanda absolut
atau “makna absolut”, makna transendental, dan makna universal,
yang diklaim ada oleh Saussure dan oleh pemikiran modern pada
umumnya.
10
Penolakan ini mesti dilakukan, dan menurut Derrida sudah
pasti terjadi, karena dengan adanya penjarakan dan proses differance
tadi, apa yang dianggap sebagai petanda absolut akan selalu berupa
jejak di belakang jejak. Selalu saja ada celah antara penanda dan
petanda, antara teks dan maknanya. Celah inilah yang menyebabkan
pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah kebenaran
ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak kebenaran lain yang ada
di belakangnya.
Dengan demikian, apa yang dicari dan diburu manusia modern
selama ini, yaitu kepastian tunggal yang ada “di depan”, tidaklah
ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan, karena
satu-satunya yang bisa dikatakan pasti ternyata, menurut Derrida,
adalah ketidakpastian, permainan. Semuanya harus ditangguhkan
(deferred) sembari kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to
differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan postmodernitas adalah
permainan dengan ketidakpastian.

Dekonstruksi

Di atas kita telah berbicara sedikit tentang latar belakang


pemikiran Derrida, terutama menyangkut dekonstruksi. Memang,
pada awalnya dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks.
Adapun yang khas dalam cara baca dekonstruktif, sehingga pada
perjalanan selanjutnya dia sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa
unsur-unsur yang dilacaknya, untuk kemudian dibongkar, pertama-
tama bukanlah inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau pun
premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang
biasa dilakukan oleh pemikiran modernisme, melainkan unsur yang
secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan
teks tersebut menjadi filosofis. Kasarnya, kemungkinan filsafat itu
sendirilah yang dipersoalkannya.
Karena itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya
pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan, dan

11
oleh karena itu, filsafat tidak pernah berupa ungkapan transparan
pemikiran secara langsung. Sebab, setiap pemikiran filosofis tentu
disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik
grafis maupun fonetis. Sistem tanda tersebut sudah pasti tidak hanya
digunakan untuk kepentingan filosofis saja. Konsekuensi dari hal
ini adalah bahwa kemampuan filsafat untuk membuat klaim-klaim
partikularitas bahasa tekstual tadi diragukan, yaitu klaim tentang
konteks dan kepentingan yang murni filosofis. Misalnya, selama ini
konsep-konsep oposisi yang menjadi bahan baku wacana filosofis,
seperti alam dan budaya, fakta dan nilai, ideal dan material, diterima
begitu saja tanpa mempertanyakan bagaimana sebenarnya oposisi itu
sendiri, apa dasarnya, dan apa dampaknya. Dan yang ingin dilakukan
dekonstruksi adalah mempertanyakan dasar dan dampak tersebut.
Memang kelihatannya hampir dalam setiap teks, apalagi yang
filosofis, tidak ada yang tidak argumentatif, tidak ada yang rancu,
dan bahkan dalam wacana apa pun memang terdapat semacam
upaya pengorganisasian rasional agar premis, argumen, dan
kesimpulan tersebut saling terjalin rapi dan rasional. Akan tetapi,
yang dilacak Derrida pertama-tama bukanlah penataan sadar itu,
melainkan tatanan yang tidak disadari, yang merupakan asumsi-
asumsi tersembunyi yang terdapat di balik hal-hal yang tersurat.
Dengan kata lain, ia ingin menelanjangi tekstualitas laten dalam
sebuah teks.
Sementara itu, filsafat yang pada dasarnya adalah tulisan, malah
berambisi melepaskan statusnya sebagai tulisan, keluar dari kerangka
fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin dijadikannya
sebagai sarana transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran
riil yang ekstralinguistik, atau dalam bahasa kita tadi, kebenaran
absolut, kebenaran yang betul-betul benar. Cara yang biasanya
ditempuh filsafat adalah dengan mengacu pada dasar yang diklaim
sebagai eviden, baik rasional maupun empiris, dan menata logika
sedemikian rupa berdasarkan eviden itu sehingga bisa tampil utuh,
koheren, dan tidak ambigu. Namun, bagi Derrida, ambisi ini kandas
12
dan sia-sia saja, karena persoalan jejak dan differance itu tadi.
Sedangkan tujuan yang diinginkan metode dekonstruksi adalah
menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran
absolut, dan dia ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang
mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di balik teks-teks.
Bila dikaitkan dengan pemikiran filosofis era modern, kelemahan dan
kepincangan yang dikatakan Derrida ini terbukti oleh konsekuensi
negatif yang telah disinggung tadi.
Sementara bagaimana dekonstruksi bisa diterapkan bila kita
berhadapan dengan teks setidaknya dapat dilihat dalam Rodolphe
Gasche, The Tain of the Mirror: Derrida and the Philosophy of Reflection,
yang telah berusaha mensistematiskan langkah-langkah dekonstruk-
si sebagai berikut. Pertama, mengidentifikasi hierarki oposisi dalam
teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewa-
kan secara sistematis dan mana yang tidak. Kedua, oposisi-oposisi
itu di balik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di
antara yang saling bertentangan atau privilisenya di balik. Ketiga,
memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak
bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama.
Dengan langkah-langkah seperti ini, pembacaan dekonstruktif
berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna
sebenarnya dari teks, atau bahkan kadang berusaha menemukan
makna yang lebih benar yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah
memuatnya. Adapun pembacaan dekonstruktif hanya ingin mencari
ketidakutuhan atau kegagalan tiap upaya teks menutup diri dengan
makna atau kebenaran tunggal. Dia hanya ingin menumbangkan
susunan hierarki yang menstrukturkan teks.
Sepintas lalu memang tidak ada tawaran “konkret” dari metode
dekonstruksi, namun bisa dikatakan bahwa yang dimaui dekonstruk-
si adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut
membangun teks. Teks tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna
yang utuh, melainkan arena pergulatan yang terbuka, atau tepatnya,
permainan antara upaya penataan dengan chaos, antara perdamaian
13
dengan peperangan, antara akur dengan cek-cok.
Kalau kita mau sabar dengan “permainan” ini, yang terjadi
adalah semacam pendewasaan diri, kerelaan untuk membuka diri
pada kenyataan bahwa yang pasti menurut kita atau menurut
orang lain hanyalah jejak dari sesuatu yang barangkali tidak akan
pernah kita temukan, namun “ada”. Begitulah, mudah-mudahan
sekelumit “Catatan Penerjemah” ini, bisa membantu pembaca dalam
memamah dan mencerna buku yang kini tengah Anda baca.
Oh ya, hampir lupa, perlu saya informasikan di sini (sebagai
kejujuran karya terjemahan), bahwa buku ini berasal dari teks
berbahasa Inggris dengan judul, Deconstruction: Theory and Practice,
karangan Christopher Norris, yang sebenarnya terdiri atas tujuh
bab. Namun, saya hanya mengambil/menerjemah “Pengantar” dan
Bab 1-5 saja, mengingat Bab 6, yang berbicara tentang pemetaan
metode dekonstruksi dalam khazanah sastra Amerika, dan Bab
7 (Kesimpulan) yang membicarakan kaitan metode dekonstruk-
si dengan filsafat bahasa Wittgensteinian, dirasa belum terlalu
mendesak untuk dibicarakan dalam konteks keindonesiaan. Jadi,
mohon maklum saja.
Terlepas dari itu semua, buku ini ada dan hadir dengan niat
dan harapan bisa memperkaya khazanah pemikiran kita semua.

Jogjakarta, 31 Desember 2002


Inyiak Ridwan Muzir

Kepustakaan

Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX: Jilid II. Jakarta: Gramedia,


2001.
Derrida, Jacques. Dekonstruksi Spiritual. Penerj. Firmansyah Agus.
Yogyakarta: Jalasutra, 2002.

14
———, Hantu-Hantu Marx. Penerj. Hartono Hadikusumo,
Yogyakarta: Bentang, 2000.
Gashce, Rodolphe. The Tain of the Mirror: Derrida and the
Philosophy of Reflection. Baltimore: John Hopkins University
Press, 1992.
Lechte, John. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai
Postmodernitas. Penerj. A. Gunawan Admiranto, Yogyakarta:
Kanisius, 2001.
Piliang, Yasraf Amir. Hiper-realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS,
1999.
Rusbiantoro, Dadang. Bahasa Dekonstruksi ala Foucault dan
Derrida. Yogyakarta: Tiara wacana, 2001.
Siswanto, Joko. Sistem-Sistem Metafisika Barat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998.
Sugiharto, Bambang. Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius. 1996.
Sumaryono, E. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius, 1993.

15
Dekonstruksi?
Sastra dan kritik sastra —di mana perbedaan di antara keduanya amat
susah ditemukan— telah ditakdirkan (takdir ini sekaligus menjadi keis-
timewaannya) untuk selamanya menjadi bahasa yang rigid dan sebagai
akibatnya, bahasa yang paling labil tempat manusia menamai dan men-
transformasikan dirinya. (de Mann, 1979:19).

Kalimat yang dilontarkan kritikus sastra Paul de Mann ini adalah


contoh nyata tentang bagaimana cara kita dalam berpikir terhadap
sastra yang sekarang ini disebut dekonstruksi. Cara ini, meskipun
sedikit paradoks, mengatakan bahwa ternyata pikiran tidak hanya
bekerja di dalam teks sastra saja, melainkan juga dalam kritik sastra,
filsafat, dan berbagai macam diskursus lainnya, termasuk dekonstruk-
si itu sendiri. Lalu, apa artinya penolakan dekonstruksi terhadap
adanya perbedaan antara sastra dan kritik sastra dengan mengatakan
perbedaan yang dibuat itu hanyalah khayalan belaka? Bagaimana bisa
satu bahasa pada saat yang bersamaan menjadi sumber pengetahu-
an yang pasti, sekaligus menjadi sumber yang tak dapat dipercaya?
Dalam arti yang bagaimana manusia bisa “mentransformasikan”
dirinya melalui proses penamaan yang dilakukan berdasarkan
kepastian yang tak dapat dipercaya ini (rigorous unreliability)?
17
Persoalan-persoalan ini tidak akan selesai hanya dengan berhati-
hati melakukan pembacaan atau dengan menatanya dengan baik
ke dalam sistem paradoks yang bisa mengukuhkan dirinya sendiri,
seperti yang dicoba dilakukan dalam keyakinan agama. Yang jelas,
cara pikir dekonstruksi ini telah diterapkan, dan memang banyak
orang yang bersungut-sungut karenanya. Kritik yang disuarakan
de Mann adalah cara yang sedikit “ramah” dalam menciptakan
kericuhan: cemoohan yang mengusik setiap tradisi pemikiran yang
normal dan adem ayem.
Dari sudut etimologis, dekonstruksi adalah ampas yang selalu
ada antara “krisis” dan “kritik sastra”. Yang diperlihatkan adalah
kenyataan bahwa pergeseran radikal yang terjadi dalam pemikiran
interpretatif selalu datang menghadang batas-batas yang terlihat
absurd. Para filosof telah lama menyadari bahwa pikiran pasti
akan membawa mereka ke wilayah-wilayah skeptisme, karena roda
kehidupan harus tetap berputar jika manusia masih ingin bertindak
sesuai dengan kesimpulan yang telah mereka dapatkan.
David Hume (1711-1776) menyebut skeptisme sebagai
penyakit jiwa yang tak bisa benar-benar disembuhkan. Dia bisa
datang kepada kita setiap saat, meskipun berbagai cara telah kita
tempuh untuk mengusirnya. Kecerobohan dan kurangnya perhatian
ternyata pada satu saat juga bisa kita jadikan penawar (dikutip dalam
Russell, 1954: 697). Dekonstruksi bermain di kekaburan batas
yang sama, menangguhkan segala yang kita terima taken for granted
dari bahasa, pengalaman dan kemungkinan-kemungkinan lain dari
komunikasi “normal” antarmanusia. Namun, ini bukan berarti kita
mengatakan semua itu adalah filsafat yang aneh atau marjinal, satu
“sport jantung” pikiran yang paling subtil, karena kecewa menghadapi
tetek bengek keseharian kritik sastra. Hume melihat tidak ada jalan
keluar dari jebakan skeptisme, kecuali dengan menenangkan
pikirannya dengan selingan ketidakhati-hatian (main billiar adalah
pilihan Hume untuk menghabiskan sorenya). Dekonstruksi bisa
dikatakan sebagai aktivitas pikiran yang tak melulu konsisten dalam
18
aksinya —dan di sinilah terletak dimensi “kegilaan”nya. Namun,
pada saat yang sama juga memiliki kepastian yang tak bisa dibantah
di dalam dirinya.
De Mann tidak sepakat bila dekonstruksi dikatakan hanya
sebagai permainan akademis yang menjenuhkan atau sebagai “senjata
para teroris”. Kedua pendapat ini tidak bisa dipahami, meskipun
memiliki dampak luas (sebagaimana yang akan diperlihatkan buku
ini). Dekonstruksi adalah antitesis aktif terhadap segala sesuatu
yang telah dicapai kritik sastra jika nilai-nilai dan konsep-konsep
tradisionalnya telah diterima orang secara luas. Di balik konflik
yang sudah berlangsung lama di dalam tubuh metode kritik sastra,
masih terdapat kesepakatan yang tak bisa diganggu gugat tentang
konvensi-konvensi tertentu, atau aturan main perdebatan, tanpa
ada pemikiran serius tentang bagaimana sastra harus ditangani.
Bahkan teks sastra memiliki makna dan bahwa kritik sastra mencoba
mencari tahu makna-makna tersebut —sebuah pengetahuan yang
memiliki klaim validitas di dalam dirinya sendiri— adalah prinsip-
prinsip implisit yang terdapat di dalam wilayah percaturan pemikiran
yang begitu luas. Akan tetapi, dekonstruksi mencoba menantang
perbedaan fundamental antara “sastra” dan “kritik sastra” yang
muncul dari prinsip-prinsip tersebut. Ia juga menantang ide yang
mengatakan bahwa kritik sastra menyediakan pengetahuan khusus
dan pas sejauh teks tidak mengotak-atik dan menggoyang status
“sastra”. Bagi kaum dekonstruksionis, kritik sastra (sebagaimana
halnya filsafat) selalu merupakan aktivitas penulisan, dan tidak ada
lagi yang lebih jelas —meminjam ungkapan de Mann— daripada
kenyataan bahwa di mana pun mereka mengetahui dan membiarkan
keanehan-keanehan sastrawinya masuk, maka itulah diri dekonstruk-
si yang sebenarnya.
Hal tersebut disampaikan guna mengantisipasi seluruh
argumen yang memerlukan detail rumit seandainya para pembaca
ingin disadarkan dengan permasalahan ini. Di sini, saya terpaksa
berpuas diri dengan pernyataan Derrida (di dalam On Grammatolo-
19
gy) tentang keanehan dan kerumitan status “kata pengantar” secara
umum. Kata pengantar biasanya ditulis —sebagaimana juga di
sini— setelah semuanya selesai dan ditempatkan di bagian awal teks
atas wewenang authorial. Kata pengantar adalah sebuah fungsi yang
menyimpulkan, sebuah kekuatan yang mengabstraksi pernyataan-
pernyataan sistematis, dan dia sama sekali tidak melibatkan proses
dan aktivitas yang terlibat selama penulisan. Namun, kata pengantar
juga pembangkangan, dalam gaya dekonstruktif, bahwa otoritas
“teks” secara tradisional dipikul oleh karya itu sendiri. Seperti juga
yang dikatakan Gayatri Chakravorty Spivak dalam kata pengantar
On Grammatology versi Inggris.
Struktur kata pengantar —teks akan menjadi terbuka di kedua
ujungnya. Teks tidak memiliki identitas yang pasti, asal-usul
yang pasti... setiap aktus pembacaan terhadap “teks” adalah kata
pengantar untuk teks selanjutnya. Pembacaan terhadap kata
pengantar yang membuka diri tidak luput dari aturan ini. (Derrida,
1977a: xii).

Dengan pengertian seperti ini, teks apa pun yang datang


kemudian juga merupakan sebuah “kata pengantar”, keterlibat-
an yang tertunda terhadap tulisan-tulisan Derrida, dan tidak akan
dipegang sebagai metode dekonstruksionis yang pasti dan “objektif”.
Kalau pun ada cara melarikan diri dari kenyataan ini, itu hanya
berupa konsep-konsep jadi yang tak berkekuatan untuk menjelaskan
atau membatasi aktivitas penulisan.

20
Pengantar Penerjemah: Dekonstruksi: Sebuah
Perkenalan Singkat ............................................................. 5
Sekelumit Latar Belakang Pemikiran Derrida .............. 6
Postmodernitas ............................................................ 6
Strukturalisme ............................................................. 8
Dekonstruksi ............................................................... 11
Kepustakaan ................................................................ 14
Pengantar Christopher Norris: Dekonstruksi? .............. 17

Bagian Pertama

ASAL MULA: STRUKTURALISME


Asal Mula: Strukturalisme dan New Criticism ................ 27
Dari Kant sampai Saussure: Penjara Konsep-Konsep ... 30
Kritikus Baru Menuju Strukturalis? ............................. 35
Roland Barthes ............................................................ 37
Setelah Kritik Baru ...................................................... 45
Bagian Kedua

JACQUES DERRIDA: BAHASA MEMBUNUH DIRI


Jacques Derrida: Bahasa Membunuh Diri ..................... 53
“Blindness and Insight”: Membongkar Kritik Baru ....... 58
Bahasa, Tulisan, Difference ........................................... 61
Kebudayaan, Alam, Tulisan: Rousseau dan Levi-Strauss 72

Bagian Ketiga

DARI SUARA KE TEKS:


DERRIDA MENGKRITIK FILSAFAT
Dari Suara ke Teks: Derrida Mengkritik Filsafat........... 87
Fenomenologi dan/atau Strukturalisme? ...................... 94

Bagian Keempat

NIETZSCHE:
FILSAFAT DAN DEKONSTRUKSI
Nietzsche: Filsafat dan Dekonstruksi ............................. 107
Nietzsche, Plato dan Kaum Sophis .............................. 112
Dekonstruksi Beroda Dua ........................................... 114
Tulisan dan Filsafat ...................................................... 118
Sesudah Interpretasi? ................................................... 122
Nietzsche dan Heidegger ............................................. 124
Payung Nietzsche ........................................................ 128

22
Bagian Kelima

ANTARA MARX DAN NIETZSCHE:


POLITIK DEKONSTRUKSI
Antara Marx dan Nietzsche: Politik Dekonstruksi ........ 135
Derrida tentang Hegel ................................................. 137
Marxisme, Strukturalisme, dan Dekonstruksi .............. 141
Nietzsche Kontra Marx? .............................................. 148
Foucault dan Said: Retorika Kekuasaan ....................... 150
Daftar Pustaka ................................................................. 157
Indeks .............................................................................. 165

23
Bagian Pertama
ASAL MULA: STRUKTURALISME
DAN NEW CRITICISM

• Dari Kant Sampai Saussure: Penjara Konsep-Konsep


• Kritikus Baru menuju Strukturalis?
• Roland Barthes
• Setelah Kritik Baru
Asal Mula: Strukturalisme
dan New Criticism

Mencoba menghadirkan “dekonstruksi” sebagai sebuah


metode, sistem, atau bangunan ide-ide, berarti mencoba memfalsifi-
kasi hakikat dekonstruksi itu sendiri, dan membiarkan diri kita
terjerembab ke dalam jebakan kesalahpahaman-reduktif. Hiruk-
pikuk teori kritik sastra saat ini adalah kesibukan akademik yang
memiliki pamor dan sarat dengan nuansa vested interest dalam
menghadapi dan menyambut tantangan-tantangan baru yang
dihasilkan oleh waktu.
Dengan mudah akan terlihat bahwa strukturalisme sejak
awal memang sudah diproyeksikan untuk proses adaptasi oleh
kritikus Inggris dan Amerika, karena mereka betul-betul menyadari
penggunaan “praktis” dan “sesuai selera umum” dari strukturalisme.
Apa yang pada awalnya sebagai protes keras terhadap asumsi-asumsi
kritik yang sedang berlaku, pada akhirnya berubah menjadi salah satu
metode dalam membicarakan hal-hal baru menyangkut teks-teks
baku. Sekarang ini, barangkali tidak sulit menemukan pembacaan
strukturalis terhadap sastra klasik Inggris. Dengan beberapa menit
membaca indeks jurnal sastra, itu sudah cukup untuk memperlihat-
kan bagaimana strukturalisme menempati posisi terhormat di
hampir seperempat wilayah studi akademik. Polemik-polemik

27
kuno telah ditingalkan, karena pokok persoalan telah berubah,
sehingga setiap pendapat yang berselisih mendapati dirinya berada
dalam kebersamaan damai. Untuk melacak akar sejarah persoalan
ini secara teperinci, maka mau tak mau harus melibatkan contoh-
contoh tentang kapasitas kritikus-akademisi Anglo-Amerika, agar
teori-teori yang menggoyang keberadaan teori lama dapat dipahami
secara menyeluruh.
Dari sisi-sisi tertentu, dekonstruksi dapat dilihat sebagai reaksi
“pasang kuda-kuda” dalam menghadapi pemikiran strukturalis, yang
cenderung bersikukuh membela dan menjinakkan pemahaman-
nya sendiri. Sebagian esai-esai Jacques Derrida mengemban tugas
untuk menelanjangi konsep “struktur” yang menghalangi permainan
makna di dalam teks dan membatasi ruang jelajahnya. Proses ini
dapat dilihat dalam cara penerimaan buku-buku seperti yang ditulis
Jonathan Culler, Structuralist Poetics (1975).
Buku ini dipandang (tentunya dengan alasan-alasan tertentu)
sebagai pengantar paling tepat sebelum masuk ke dalam pemikiran
strukturalis yang sangat kompleks. Buku Culler yang digambarkan
para kritikus dan dosen sebagai pegangan para mahasiswa ini,
ternyata tidak terlalu bersimpati pada perkembangan teori terkini.
Kita bisa mengatakan bahwa sebagian isi buku ini didasarkan pada
common-sense-nya yang berkaitan dengan masalah-masalah metode
interpretatif, dan sebagian lagi pada penolakannya terhadap metode
lain. Dengan kata lain, buku ini memuat jenis teori yang lebih
ekstrem, yang hanya melulu mempertanyakan metode.
Secara terang-terangan Culler menyatakan bahwa tujuannya
adalah mendamaikan teori strukturalis dengan pendekatan yang
bersifat natural dan intuitif terhadap teks. Menurutnya, tugas
utama teori ini adalah menyediakan kerangka kerja atau sistem
yang legitimate untuk pemahaman, di mana pembaca yang
“berkompeten” bisa sampai pada pemahaman tersebut dan mau
mengkaji ulang kerelevanan dan ketepatan pendapatnya sendiri.
Menyangkut pendekatan kaum strukturalis, Culler menyatakan
28
bahwa pendekatan ini memberikan semacam matriks regulatif bagi
persepsi —kemampuan dan kecakapan si kritikus itu sendiri.
Argumen Culler ini menjadi lemah ketika dia mencoba
mengaitkan konsep “kompetensi” pembaca ini dengan konvensi-
konvensi yang telah ada —atau kode-kode arbitrer— yang
menimbulkan respons-respons harfiah. Di satu sisi, kelihatannya
Culler telah melangkah jauh dari argumen tokoh linguistik Noam
Chomsky: bahwa struktur-struktur linguistik telah terprogram di
dalam pikiran manusia begitu saja, dan berlaku sebagai rintangan
terhadap bahasa itu sendiri, sekaligus sebagai alat untuk menyebarkan
makna kepada manusia lain. Lalu, Culler menegaskan bahwa
pemahaman terhadap teks sastra ditentukan oleh “grammar”
respons yang sama, yang memungkinkan kita menangkap struktur
makna yang relevan dari makna-makna yang terserak. Di sisi lain,
dia seharusnya menyadari bahwa teks sastra, tidak seperti kalimat-
kalimat dalam bahasa sehari-hari, melibatkan kode-kode pemahaman
khusus yang harus dipenuhi, dan tidak bisa dipahami dalam kerangka
grammar respons universal saja. Kompetensi dalam artian seperti
ini merupakan masalah latihan-latihan intelek, penilaian terhadap
pembacaan seseorang terhadap teks “dengan cara meletakkan-
nya pada konvensi-konvensi kemungkinan yang ditentukan oleh
pengetahuan sastra yang telah digeneralisasi” (Culler, 1975: 127).
Itu tadi adalah pandangan strukturalisme yang paling konservatif,
pandangan yang memberikan landasan bagi ide-ide tradisional yang
mengatakan bahwa teks adalah wilayah makna-makna yang stabil
(meskipun kompleks), dan kritik merupakan pencari kebenaran yang
tersembunyi di dalam teks. Culler tampaknya kurang memerhati-
kan apakah struktur-struktur interpretatif ini memang secara pasti
melekat pada pikiran manusia, ataukah mereka hanya merepresen-
tasikan kekuatan untuk membuat konvensi-konvensi, kemampuan
pada tingkat sekunder yang dimiliki pembaca. Namun demikian, apa
pun status struktur-struktur tersebut, yang jelas dia membuka jalan
untuk mengecek atau memberikan pengawasan terhadap kebebasan
29
yang ada dalam diskursus kritik sastra. Dan karena itulah, muncul
keraguan Culler (di bagian akhir buku Structuralist Poetics) tentang
pendapat orang-orang, seperti Derrida, yang bertekad menelanjangi
setiap dasar metode dan makna interpretatif.
Jujur saja, dekonstruksi adalah post-strukturalis, ketika dia tidak
mau menerima ide tentang struktur sebagai sesuatu yang given, atau
yang secara objektif telah “berada” di dalam teks. Di samping itu,
dia mempertanyakan asumsi —yang begitu penting bagi Culler—
bahwa struktur makna segaris dengan “tatanan-dalam” mental
dan pola pikiran yang menentukan batas-batas intelek. Dilihat
dari sudut pandang Culler, teori merupakan pencapaian struktur-
struktur seragam atau ke-universal-an formal yang merefleksikan
hakikat intelek manusia. Teks-teks sastra (apakah itu mitos, musik,
dan artefak kebudayaan lainnya), menghadirkan makna-maknanya
ke hadapan gaya analisis tertentu yang memiliki nalar lurus, karena
yang akan dihasilkan analisis tersebut adalah eksplanasi total terhadap
pemikiran dan kebudayaan manusia. Teori meyakini perangkat
metodologisnya dengan mengklaim kesalingterkaitan mendalam dan
universal yang terdapat di dalam makna yang ingin dianalisisnya.

Dari Kant sampai Saussure: Penjara Konsep-Konsep

“Kantianisme tanpa subjek transendental” adalah gambaran yang


sering diberikan kepada pemikiran kaum strukturalis oleh mereka
yang meragukan validitas pemikiran tersebut. Argumen Culler di
atas memeragakan kekuatan slogan ini. Dia hendak memperlihatkan
bahwa dirinya sangat dekat dengan filsafat Kantian tentang pikiran
dan rasio. Immanuel Kant (1724-1804) ingin membebaskan filsafat
dari skeptisme radikal yang diusung oleh mereka, di antaranya adalah
Hume, yang menyatakan kemustahilan tercapainya pengetahu-
an definitif dan benar-benar valid tentang dunia eksternal. Mereka
telah mencoba dan akhirnya gagal menemukan benang merah yang
menghubungkan hukum-hukum pemikiran (atau logika deduktif)

30
dengan peristiwa dan pengalaman hidup nyata. Pemikiran sepertinya
terkerangkeng dalam penjara rasio, tanpa kenal lelah pikiran
terus mengolah pengandaian-pengandaiannya, tapi tidak mampu
menghubungkannya dengan dunia nyata. Bukti-bukti indriawi tidak
lebih bisa dipercaya dibanding ide-ide seperti hukum sebab-akibat,
logika yang sering kali direfleksikan pemikiran atau yang dibubuhkan
kepada proses pemikiran.
Menurut Kant, hanya ada satu jalan keluar dari kebuntuan rasio
skeptis ini. Dia sepakat bahwa kesadaran tidak mungkin menyelami
atau “mengetahui” dunia secara langsung dan tanpa perantara,
seperti yang diinginkan Hume dan kaum skeptik. Pengetahuan
adalah produk pikiran manusia. Dia hanyalah prosedur dan cara
kerja (operations) dalam menafsirkan dunia, dan tidak menampilkan-
nya dalam bentuk realitas murni. Akan tetapi, prosedur-prosedur
ini, sekali lagi menurut Kant, benar-benar tertanam di dalam
pemahaman manusia, sehingga dijadikan sebagai landasan baru bagi
filsafat. Karenanya, filsafat seharusnya tidak memusatkan perhatian
pada bagaimana mencari jawaban teka-teki tentang “yang real”,
melainkan pada regularitas-regularitas terdalam itu sendiri —atau
apa yang disebutnya sebagai kebenarann apriori— yang membentuk
pemahaman manusia.
Dengan mudah kita akan melihat kesamaan pemikiran
Kantian dengan cara pandang kaum strukturalis yang dikemukakan
oleh teoretikus seperti Culler. Keduanya sama-sama bertolak dari
pemisahan skeptik antara pikiran dan “realitas” yang ingin dipahami
pikiran. Dalam kosakata kaum strukturalis, keterpisahan ini
dipaparkan dengan jelas oleh ahli linguistik Ferdinand de Saussure.
Dia menyatakan bahwa pengetahuan kita tentang dunia diramu
dan ditentukan secara acak oleh bahasa yang merepresentasikan
pengetahuan tersebut. Penekanan Saussure terhadap “kesewenang-
wenangan” tanda menyebabkan dia menghapus kaitan alami
antara kata (word) dan benda (thing) yang selama ini diandaikan
oleh commonsense. Menurut Saussure, makna-makna diikat dalam
31
satu sistem keterhubungan (relationship) dan perbedaan (difference)
yang terus-menerus menentukan cara berpikir dan mengindra kita.
Bukannya menyediakan semacam “jendela” untuk realitas atau
semacam cermin yang bisa memantulkan bayangan, bahasa malah
membawa serta bersama dirinya seluruh jejaring pertandaan yang
telah ada begitu saja.
Dalam pandangan Saussure, pengetahuan kita tentang
sesuatu telah ditentukan begitu saja oleh sistem kode dan konvensi
yang memungkinkan kita mengklasifikasi dan menata arus besar
pengalaman. Tidak ada pintu masuk ke dalam pengetahuan, kecuali
melalui bahasa dan tatanan representasi lainnya. Realitas telah
terpahat dalam berbagai cara sesuai dengan pola-pola kesamaan dan
perbedaan yang disediakan bahasa. Kerelatifan pemikiran dan makna
inilah (tema yang dikembangkan lebih lanjut oleh ahli linguistik
Amerika bernama Sapir dan Whorf) yang dijadikan kaum struktura-
lis sebagai titik tolak teori mereka.
Tentu ada berbagai cara dalam menyikapi pemahaman seperti
yang dijelaskan di atas. Culler mencontohkan respons Kantian
yang mencoba mempertahankan skeptisme dengan cara memberi
penekanan pada sisi normatif dan kevalidan murni yang ada pada
“kompetensi” pembaca. Yang ingin dicari Culler adalah teori
general (atau “puitik”) tentang pembacaan yang akan merangkum
berbagai perangkat yang kita pergunakan dalam memahami teks
sastra. Oleh sebab itu, relativisme muncul ke hadapan pembaca
sebagai kehadiran-terbatas, yaitu pikiran yang memiliki intelek dan
kode-kode konvensi sastra yang relevan. Culler menyatakan bahwa
orang tentu tahu tentang apa yang sedang dia baca, meskipun
“tahu (sense)” itu sendiri tidak bisa dijelaskan (Culler, 1975: 163).
Interpretasi menuntut adanya tatanan dan ke-intelek-an di antara
sekian banyak kemungkinan bentuk sense yang ditawarkan teks agar
ditemukan pembaca. Peranan puitik kaum strukturalis, di satu sisi,
adalah untuk menjelaskan bagaimana konvensi ini bisa terjadi, dan
di sisi lain, untuk memperlihatkan hubungan di antara berbagai
32
macam respons pembaca yang biasa-biasa saja dengan respons yang
pas, legitimate, dan “kompeten”.
Yang ingin ditawarkan Culler ketika dia mengatasnamakan diri
sebagai seorang strukturalisme, tidak lebih dari sebuah pendekatan
metodis terhadap tipe kritik sastra yang telah lama diterima dan
diajarkan sebagai prinsip baku dalam dunia akademis. Nilai lebih
teori Culler, bila dilihat dari sudut pandang ini, adalah kemudahan
yang dia tawarkan dalam merangkul seluruh bahan yang bersumber
dari kritikus prastrukturalis, yang menurutnya telah memperlihat-
kan apa yang dikatakannya sebagai konvensi-konvensi. Memang
terdapat ruang di mana konsep umum Culler tentang “kompetensi”
sastrawi, dalam berbagai bentuk pemahaman ini, sering kali sampai
pada kita tanpa memperlihatkan wujud teori yang sistematis.
Secara logis, hal ini terjadi karena analogi yang diberikan berasal
dari linguistik Chomskian. Untuk menggambarkan bagaimana
rumitnya sistem aturan dan transformasi yang mendasari tuturan
gramatikal seseorang, bukan berarti menyatakan adanya pengetahu-
an —sadar tentang sistem yang ada pada diri penutur. “Kompetensi
linguistik”, begitulah Chomsky menyebutnya, adalah sesuatu yang
sepenuhnya tidak disadari (unconscious), kecuali bila diperlihat-
kan secara terang-terangan oleh aktivitas ahli linguistik yang mahir.
“Subjek transendental” (atau singgasana intelek) dalam filsafat
Kantian, mampu memeriksa kekuatan-kekuatan apriori-nya sendiri
tanpa harus menyadarinya terlebih dahulu.
Culler mengambil sikap serupa ketika menghadapi pendekatan
intuitif para kritikus, yang meskipun sangat bermanfaat, tapi masih
kekurangan teori yang lebih luas dan rapi tentang kevalidan respons.
Sikap ini terlihat jelas ketika dia membahas penggalan buku William
Empson, Seven Types of Ambiguity, yang menurutnya, bisa dikatakan
sebagai bukti pengaruh kaum strukturalis menyangkut masalah
kesadaran tadi. “Penyair” yang dipermasalahkan tersebut (lihat
Empson 1961: 23) adalah Arthur Waley yang menerjemahkan dua
baris syair dari negeri China:
33
Swiftly the years, beyond recall.
Solemn the stillness of this spring morning.

Culler memperlihatkan bagaimana pembacaan Empson


menghadirkan oposisi biner (terutama dari segi kontrasnya skala
waktu yang dipakai), yang memberi kesan kuat pada bait tersebut.
Kenyataan ini mengukuhkan argumen Culler yang menyatakan
bahwa, “Dalam menafsirkan sebuah puisi, orang mencari istilah-
istilah yang bisa ditempatkan pada aksis semantik atau tematik dan
kemudian keduanya saling diperhadapkan” (Culler, 1975: 126). Cara
ini timbul dari keinginan pembaca untuk memaksimalkan kehendak
atau signifikansi sebuah teks, dengan cara menemukan keragaman
pola-pola maknanya. Pembaca yang “kompeten” adalah dia yang
mengarahkan seluruh ketajaman pikirannya, yang diperlukan
untuk menangkap sense yang dibutuhkan untuk memilah dan
memilih makna-makna tersebut berdasarkan pola-pola yang relevan.
Dengan konsep “kerelevanan” ini, Culler, sekali lagi, kembali pada
penilaian komunitas transindividual, yang diandaikan mendasari
setiap respons sastrawi. Dengan penekanan terhadap sisi keterpisa-
han dan pentingnya perbedaan, strukturalisme pada gilirannya
menjadi ekstensi natural atau teori yang legitimate tentang bagaimana
sebenarnya yang dikatakan “membaca sebuah teks” itu.
Ketidaksepakatan Culler dengan para Kritikus Baru “terdahulu”
yang berbicara dalam terma-terma ironi, paradoks atau (seperti
Empson) tipe-tipe ambiguitas tidaklah terlalu jelas. Pola-pola
respons, yang menurutnya memungkinkan terjadinya konvensi,
dihasilkan oleh keginginan untuk memahami teks lewat cara yang
beragam dan memuaskan. Sumbangan Culler yang paling berharga
adalah sarannya: agar para kritikus tetap membaca teks dengan cara
yang sama, tapi juga berusaha merefleksikan struktur-struktur yang
barangkali membentuk konsep-konsep teks tersebut.
Ambiguitas Empson terletak pada prinsip oposisi biner, yang
dalam istilah kaum strukturalis disebut dengan kehadiran yang
lebih menjelaskan kekuatan-kekuatan sugestif dari teks tersebut.
34
Struktur-struktur yang dimaksud di sini tidak bisa serta-merta
dikatakan “terdapat” di dalam teks, akan tetapi struktur-struktur itu
menyediakan konvensi pembacaan yang mendasar dan berkekuat-
an sebagai tempat terdapatnya validitas, yang tidak bisa diragukan
lagi. Dengan demikian, puisi Culler mencakup klaim apriori ganda
dan regulatif terhadap pengetahuan. Di satu sisi, dia mengandai-
kan aktivitas pembaca yang didasarkan atas kode-kode pemahaman
natural. Di sisi lain, dia juga mengandaikan bahwa teks harus
memberikan paling tidak pegangan yang kokoh —dalam bentuk
struktural dan konstantif— bagi aktivitas tersebut agar bisa
mendapatkan makna-makna intuitifnya.

Kritikus Baru menuju Strukturalis?

Penyamaan antara “struktur” dan “kompetensi”, yang


dilakukan secara implisit oleh Culler, merupakan teknik interpreta-
si yang ingin disanggah oleh dekonstruksi. Konsep struktur sangat
mudah menimbulkan dominasi atas pemikiran, dan menimbulkan
objektivitas “keras kepala” yang bebal terhadap refleksi kritis. Dari
sudut inilah, kenapa kehadiran strukturalisme terbukti “tidak terlalu
berbahaya” di dalam dunia akademis. Namun paling tidak, sekarang
ini ada sedikit ancaman —sebagaimana dikatakan kaum tradisiona-
lis— yang datang melalui kepastian “ilmiah”, dan cita rasa abstraksi
yang terdapat di dalam strukturalisme tersebut. Kritik Sastra Baru
Amerika, yang saat ini juga memperlihatkan ketidaksepakatan
mereka dengan mengatakan bahwa dasar-dasar retoris strukturalisme
—ironi, paradoks, ketegangan— merupakan perangkat-perangkat
“mesin yang menakutkan”. Meskipun sekarang ini semakin jelas
bagi kita bahwa Kritikus Baru tidak ingin merasionalisasi puisi
atau mereduksinya ke dalam tatanan logis, namun mereka tetap
mempertahankan keunikan strukturalisme dengan cara memagarinya
dengan retorika-retorika sendiri. Puisi sebagai “ikon verbal”,
sebagaimana yang istilahkan William K. Wimsatt, bisa menjadi lahan

35
di mana kritik sastra mendapatkan keotonoman bahasa puitik.
Kalaupun sistem dan struktur menjadi penting dalam
pemikiran Kritik Baru, tujuannya bukanlah untuk merasionalkan
makna-makna puitik —logika untuk anomali-anomali logis—
melainkan untuk membangun kritik sastra yang mampu menangkis
serangan-serangan kaum rasionalis. Metode yang dipakai Kritikus
Baru memang cukup rasional dalam gaya argumen yang dipakainya,
akan tetapi dia tetap menjaga jarak antara metode yang diterapkan
dengan cara kerja bahasa puitik yang nyata-nyata tidak sama
dengannya. Jarak ini dimungkinkan, karena adanya prinsip-prinsip
dasar aturan interpretasi yang diberikan oleh Wimsatt (Wimsatt,
1954). Dari sekian banyak aturan tersebut, yang paling penting di
antaranya adalah serangan Kritikus Baru terhadap “kemurtadan para-
frase” (heresy of paraphrase), yaitu ide yang mengatakan bahwa makna
puitik harus diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk rasional yang
setara. Pendek kata, puisi adalah objek sakral, di mana otonominya
menentukan tanggapan yang akan ditujukan padanya, mengingat
perbedaan antara puisi tersebut dengan bahasa yang dipergunakan
kritikus untuk mendeskripsikannya.
Cara kerja Kritikus Baru ini kemudian dianggap sebagai disiplin
yang penting diajarkan dalam kajian sastra. Si murtad, sebelumnya
(strukturalisme), dengan mudah dibujuk ke dalam satu kredo yang
bersusah payah mencoba menantang perangkat-perangkat rasio
kritis. Argumen-argumen Culler menunjukkan posisi di mana
pendapat-pendapat kaum strukturalis bisa diletakkan pada cara-
cara pembacaan yang pada dasarnya sama dengan cara pembacaan
Kritikus Baru “terdahulu”. Wacana akademis tidak terlalu
mengkhawatirkan kritik sastra “ilmiah” —bagaimana pun parahnya
klaim-klaim kritik tersebut— yang bersitegang mempertahankan
janji-janji pengetahuan baku tentang teks. Aktivitas-aktivitas apa
pun yang tersedia di antara sekian banyak alternatif metode, bisa
dipergunakan untuk menggantikan posisi strukturalisme. Aktivitas
ini berusaha mendobrak kungkungan disiplinnya sendiri.
36
Roland Barthes

Berdasarkan hal di atas, pembacaan puitik Culler ini sesuai


dengan upaya pemikiran kaum strukturalis. Di antaranya adalah
Barthes, di mana tulisan-tulisan awalnya bertujuan menciptakan
satu sains tentang teks yang didasarkan pada model linguistik
Saussure dan antropologi struktural Claude Levi-Strauss. Ambisi
ini ditandai dengan menjamurnya perbincangan kaum strukturalis
yang mengatakan bahwa kritik sastra sebagai sebuah “metabahasa”
yang digunakan untuk mengartikulasikan kode dan konvensi-
konvensi seluruh teks sastra —seolah-olah berusaha menciptakan
“grammar” universal tentang narasi, meskipun seluruh tipologi
genre sastra berakar pada berbagai sosok bahasa yang mendahului
teks itu sendiri.
Pandangan strukturalisme sebagai kode-utama atau wacana
analitis tentang bahasa ini dibahas Barthes di dalam bukunya Elements
of Semiology (1967). Bahasa natural (natural language), termasuk
makna-makna konotatif, merupakan sasaran deskripsi metalingu-
istik yang diterapkan di dalam terma-terma sains, dan membentuk
level terpisah atau level “lapis-kedua” dari makna. Telah terbukti,
menurut Barthes, bahwa semiologi adalah metabahasa, “karena,
sebagai sisitem lapis kedua, dia menggantikan bahasa pertama (atau
bahasa-objek) yang sistemnya selalu terkekang; dan sistem-objek ini
merupakan petanda bila dilihat dari metabahasa semiologi” (Barthes,
1967: 92). Penjelasan berputar-putar ini sebenarnya kembali lagi
pada metode kaum strukturalis, yang diyakini sebagai sebuah wacana
yang mampu mengatur dan menjelaskan seluruh keragaman bahasa
dan kebudayaan.
Namun demikian, ini adalah salah satu jalan menafsirkan
teks Barthes, yakni pembacaan yang pada akhirnya memperlihat-
kan bahwa teks tersebut menerima ide-ide yang terdapat di dalam
strukturalisme. Yang perlu diingat adalah bahwa ada tanda-tanda
yang memperlihatkan Barthes tidak menjalankan program yang rigid

37
dan reduktif ini. Jika semiologi diperlakukan sebagai wacana lapis
kedua yang mampu menjelaskan sistem konotatif bahasa natural,
kenapa kemudian dia menjadi tertutup bagi penerapan-penerapan
di level analisis yang lebih tinggi? “Pada prinsipnya, tidak ada yang
bisa mencegah metabahasa untuk mengubah bahasa-objek menjadi
metabahasa baru. Hal ini akan terjadi, misalnya, jika semiologi ingin
‘diucapkan’ oleh sains-sains lain” (ibid.: 93).
Barthes sepenuhnya sadar akan bahaya dan kesalahan yang
secara implisit terdapat di dalam wacana yang mengklaim memiliki
kata putus dalam masalah eksplanasi. Ahli semiologi sepertinya bisa
saja menelaah “fungsi objektif penerjemah” berdasarkan dunia yang
menelanjangi atau menaturalkan makna-makna yang muncul dari
kebudayaan dominan tempat penerjemah itu berada. Akan tetapi,
objektivitas ini hanya dimungkinkan oleh tradisi pemikiran yang
cenderung melupakan atau menekan status temporalnya sendiri.
Menghentikan proses semacam itu, dengan cara membuat klaim-
klaim kebenaran, merupakan taktik asing yang menyerang implikasi
terdalam pemikiran kaum strukturalis. Tidak ada analisis final, tidak
ada metode metalinguistik yang akan mampu menarik benang merah
yang jelas antara cara kerjanya sendiri dan bahasa yang dihadapinya.
Semiologi harus menyadari bahwa terma dan konsep-konsep yang
dipergunakannya selalu terikat dengan proses pertandaan dalam
melakukan analisis. Oleh sebab itulah, Barthes menegaskan bahwa
strukturalisme selalu merupakan aktivitas, praktik pembacaan yang
open-ended, dan bukan “metode” yang bersikukuh pada alasan-
alasannya sendiri.
Sejak awal, Barthes sudah tertarik dengan persoalan dan
paradoks-paradoks dalam upaya pemurnian teori kaum strukturalis,
namun dia tidak memperkenalkan gambaran prematur metodenya.
Menjadi salah kaprah jika menempatkan dia pada jajaran para
pengusung dekonstruksi, karena sisi pandang teoretisnya sulit
dipahami. Barthes adalah seorang pembangun teori yang orisinil —
meskipun teori tersebut sulit dipahami. Tulisan-tulisannya secara
38
sadar merujuk pada titik di mana gaya (style) menjadi cara utamanya
dalam mencari berbagai kemungkinan. Sering kali dia mengemuka-
kan insight teoretis, kemudian dengan sengaja dia bantah sendiri
untuk mempertahankan teori lain yang telah mapan. Karya-karyanya
yang muncul belakangan bukan hanya mencoba berdialog dengan
strukturalisme, tapi juga dengan Derrida, Jacques Lacan, dan pemikir
post-strukturalis lain.
Barthes mencoba mengenali lebih dekat pemikiran mereka,
sembari tetap menjaga jarak dengan mereka. Dia tetap mau
menerima “kenyamanan” sistem dan metode, serta kekaguman
kuno terhadap struktur sebagai tatanan total pemikiran. Namun,
sekarang dia melihat ide tersebut sebagai bayang-bayang “fantastik”
yang diproyeksikan hasrat ke atas permukaan polimorgous teks,
bahasa, dan kebudayaan. Mimpi-mimpi tentang inteligibilitas total,
seperti “struktur” dalam artian metalinguistiknya, berada pada satu
tahap pikiran yang dibutakan oleh metafor-metafor konseptualnya
sendiri. Elemen permainan retoris dapat hadir di mana saja. Dampak
yang ditimbulkannya di dalam wacana kritik dapat saja diabaikan.
Namun, dampak tersebut tidak akan bisa disingkirkan oleh “sains”
tentang makna milik kaum strukturalis.
Sikap mendua dalam menghadapi bahasa dan struktur
ini adalah salah satu tema utama yang ditulis Barthes di dalam
fragmen “autobiografinya”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris tahun 1977. Bisa dikatakan bahwa kekuatan “bad faith”-
lah yang menghasilkan karya, seperti yang dihasilkan Barthes, yang
menyatakan bahwa “kematian sang pengarang” sebagai keinginan
untuk mengungsi dari tirani subjektivitas. Tapi, kemudian para
pembaca bisa menyadari bahwa Barthes semestinya tidak dikejar
—oleh orang lain selain dirinya— oleh teksnya sendiri. Dengan
lihai dia telah berada jauh di depan hypocryte lecteur, orang-orang
yang mengira bisa mengejarnya kalau mereka hanya mengendarai
cara pikir Barhes yang telah disederhanakan. Sebuah contoh yang
sangat bagus diberikan Barthes dalam sebuah kumpulan tulisannya
39
tentang seorang mahasiswa Amerika (atau penganut positivis-
me, atau perbantahan: Saya tidak bisa menyelesaikannya) yang
menerima mentah-mentah bahwa “subjektivitas” dan “narsisme”
tidak ada bedanya: “Sama-sama berbicara tentang diri seseorang”.
Mahasiswa itu adalah korban, lanjut Barhes, dari pasangan lama,
paradigma lama, yakni subjektivitas/objektivitas. Padahal, saat ini
subjek dapat hadir di mana saja, dan subjektivitas datang kembali di
tempat lain, dalam gerak spiral; dan didekonstruksi, dipecah-pecah,
digeser tanpa ada ujung; kenapa saya mesti harus berbicara tentang
“diriku sendiri” pada saat “aku”, sekarang, tidak lagi sebagai “diri?”
(Barthes, 1977: 168).
Apa yang dikemukakan Barthes dalam autobiografinya itu
merupakan serangkaian refleksi tentang pengalaman penulisan,
duplikasi bahasa, dan hakikat tekstual yang tidak bisa direduksi dari
apa saja yang dikomunikasikan melalui penulisan atau duplikasi
tersebut. Alibi apa pun yang dipergunakan seseorang (atau yang
disebut Barthes dengan “penggeser”, istilah yang diperkenalkan
Roman Jacobson), selalu ditulis dalam bentuk narasi orang ketiga
tunggal, yang mengungkapkan berbagai kepentingan obsesif yang
ada pada dirinya dengan cara seakan-akan tidak memihak. Seperti
yang dapat dilihat dari buku-buku epigraf, tulisan orang tadi
semestinya dianggap seolah-olah disampaikan oleh seorang tokoh
dalam sebuah novel.
Yang dikaji Barthes bukan hanya konvensi alamiah bahasa, tapi
juga metode-metode (termasuk metodenya sendiri) yang dianggap
menjadi otak sebuah karya. Pada awalnya, “kestrukturalisan” Barthes
dijelaskan dengan alter ego yang datang kemudian ini, dengan tujuan
dapat memahami sistem dan metode, tugas yang amat sulit, tapi
tetap menantang. Dialog tunggal (ditanya dan dijawab sendiri) ini,
kemudian menjadi sebentuk perdebatan yang menggelikan:
Anda mempertahankan konsep “meta-bahasa”, tapi di dalam
kategori image-image. Cara ini selalu ada dalam karya Anda: Anda
menggunakan psudolinguistik, linguistik yang metaforis... lalu

40
konsep-konsep ini membentuk alegori-alegori, yaitu bahasa kedua
yang abstraksinya akan beralih pada jalur-jalur fiktif.... Dan makna
sendiri —saat Anda melihatnya bekerja, seketika itu pula Anda
bagai seorang pembeli yang sedang asyik mengotak-atik jualan yang
sedang Anda tawar (ibid.: 124).

Hal ini menyentak pemikiran Barthes, sehingga dia


“membongkar” ide-idenya sendiri dan berusaha membangunnya
kembali ke dalam bentuk dimensi tekstual, dengan segala kelenturan
dan keanehan permainan linguistik murni.
Aspek pemikiran Barthes inilah yang ingin diserang oleh
dekonstruksi dan, lebih umum lagi, proyek kaum strukturalis yang
ingin diruntuhkannya. Hal ini telah diabaikan oleh keinginan para
kritikus, untuk menerima strukturalisme dengan menghadirkan-
nya sebagai sebuah “metode”, yang kadang kala klaim-klaimnya
memang aneh, tapi pada dasarnya cocok dengan penggunaan
common-sense. Gaya eksentrik Barthes dalam tulisan-tulisannya
yang muncul belakangan, sama sekali tidak lagi dianggap sebagai
gagasan berbahaya oleh sebagian kritikus yang memerlukan usaha-
usaha kreatif agar bisa selamat dari teori yang berkekuatan besar.
Sikap seperti itu, biasanya dipakai oleh kritik sastra Anglo-Amerika,
memperlihatkan hubungan yang jelas antara disiplin berpikir tentang
teks dan aktivitas penulisan yang diandaikan tidak diperhati-
kan dan dipertimbangkan oleh cara kerja disiplin tersebut. Kritik
sastra sebagai “gaya yang bisa dijawab” (istilah yang diperkenalkan
Geoffrey Hartman) adalah ide yang sangat berseberangan dengan
asumsi-asumsi dasar dalam wacana akademis. Inilah, sebagaimana
yang akan saya jelaskan nanti, titik tolak kaum dekonstruksionis
yang paling membingungkan dan radikal. Cara yang tepat dalam
melakukan pembacaan terhadap Barthes akan membawa kita pada
titik batas di mana konsep-konsep kritis terus-menerus diubah atau
dihancurkan oleh aktivitas penulisan yang sepenuhnya dilakukan
dengan kesadaran.

41
Gerak tekstual yang memusingkan ini bisa dibantah oleh
pembaca yang tidak melihat hubungan antara “kestrukturali-
san” Barthes dengan wacana liar dan nakal yang terdapat di dalam
tulisan-tulisannya yang muncul belakangan. Di antara pembaca
tersebut adalah Philip Thody, dalam bukunya yang membahas
Barthes berjudul A Conservative Estimate, yang menggambarkan
Barthes sebagai pemikir laksana sebuah hadiah aneh, berlari dengan
ide-ide cemerlang, tapi tiba-tiba berhenti di tanjakan yang amat
membingungkan (Thody: 1977). Thody sadar bahwa di balik karya-
karya besar Barthes, pasti terdapat struktur asumsi yang tidak jauh
berbeda dengan asumsi-asumsi yang dibangun oleh Kritikus Baru
“terdahulu”. Di satu pihak, Barthes adalah tokoh yang sangat brilian,
ahli perdebatan verbal, di pihak lain, dia juga merupakan pemikir
metodis yang tidak bisa dilepaskan dari gaya ala Paris. Taktik jitunya
ini bahkan sampai pada taraf kegandrungan akan paradoksitas yang
berkedok komitmen pada tatanan dan metode.
Pembacaan Thody yang jernih ini tentunya dimaksudkan untuk
memberi pemahaman yang jelas tentang pemikiran Barthes bagi para
peminat berkebangsaan Inggris. Pendapat Thody yang bernuansa
common-sense ini dikombinasikan dengan sikapnya yang dengan
hati-hati mencoba menggiring metode strukturalisme yang dapat
diterima, dan implikasi-implikasi radikal yang lain agar bisa berjalan
beriringan. Maka, Thody kelihatannya tidak terlalu sabar dengan sisi
paradoks Barthes ini, satu kecenderungan yang dia pandang sebagai
kekuatan pinggiran yang bisa merusak, tapi berbentuk dorongan
“kreatif” yang terepresi. Keparadoksan yang barangkali terletak pada
dasar pemikiran Barthes, bukan sekadar ornamen dari “gayanya”,
merupakan konsep yang sangat sulit dipaparkan.
Berikut ini adalah beberapa kutipan dari tulisan Thody yang
menjelaskan Barthes, yang secara sadar mempertentangkan rasio dan
metode dengan melontarkan argumen-argumen yang berada di luar
jangkauan keduanya. Salah satu fragmen dari pseudo-autobiografi-
nya akan menjadi “formasi reaktif” ini sebagai sumber dan motif
42
seluruh tulisan Barthes.
Doxa (pandapat umum) adalah sesuatu yang diformulakan, dan
tidak bisa ditawar-tawar; maka untuk membebaskan diri saya
darinya, saya memostulatkan sebuah paradoks; lalu paradoks ini
berubah menjadi jelek, menjadi hal konkret baru, dia menjadi doxa
yang baru, dan oleh sebab itu, saya pun kemudian harus mencari
paradoks yang baru pula. (Barthes, 1977: 71)

Sikap yang diambil Thody merefleksikan keyakinan bahwa


paradoks tersebut, dan setiap sosok pemikiran yang senada
dengannya, menjadi bagian dari bahasa “sastrawi”, dan hanya bisa
memainkan peranan marjinal dalam kritik sastra. Ini sama dengan
batasan yang dibuat Kritikus Baru antara puisi-puisi figuratif dengan
bahasa rasional yang terdapat di dalam prosa.
Batasan ini selalu menjadi sasaran serangan periodik yang
dilakukan oleh para petualang Kritikus Baru, khususnya para
penyair dan novelis, yang merasa tidak nyaman dengan disiplin yang
menempatkan satu aspek karya mereka terpisah dari aspek-aspek
lain. Jadi, masalahnya di sini tidak lagi sekadar teknik-teknik kritik.
Apa yang dicari Kritikus Baru ortodoks di dalam bahasa puisi adalah
struktur yang mentransendensikan rasio manusia, dan akhirnya
mereka merujukkannya pada nilai-nilai religius.
Walter Ong menjelaskan hal ini dalam esainya Wit and Mystery.
Menurutnya, terdapat hubungan langsung antara penekanan
Kritikus Baru terhadap “kejenakaan” puitik (dengan segala figur
ironi, paradoks, dan lain sebagainya) dengan keterikatannya pada
keyakinan Kristen: “Ditilik dari jalur yang ditempuh oleh kejenakan
tersebut, tekstur puisi itu sendiri sepertinya menuju pada kontak
fundamental dengan jantung doktrin kristen” (Ong, 1962: 92). R.
P. Blackmur juga menemukan kesimpulan serupa ketika mendiskusi-
kan peran “analogi” puitik, cara di mana penyair dapat berbicara
tanpa menyatakan konflik dan ketegangan eksistensi secara langsung:
“Hanya dalam analogilah hal-hal yang bertentangan bisa terlihat
identik. Inilah yang menyebabkan St. Agustine mengatakan bahwa,

43
“Dalam setiap puisi terdapat substansi Tuhan” (Blackmur, 1967: 42-
43). Kenyataan ini akan menjadi komitmen doktrinal mendalam
yang harus diperhatikan kritik sastra ketika ingin menanggapi dan
menilai bahasa puitik. Mereka harus menentukan cara kerjanya
yang terlepas dari wilayah pernyataan prosa rasional. Mencampura-
dukkan keduanya berarti menghancurkan batas-batas kesadaran
baku yang selama ini telah mengawetkan keautentikan “misteri”
kebenaran puitik.
Dengan demikian, otonomi puisi tidak hanya sekadar isu-
isu dalam bidang estetika, tapi telah menjadi titik picu untuk
mengkaji keyakinan dalam hubungannya dengan rasio manusia.
Di balik retorika ironi dan paradoks para Kritikus Baru, terdapat
seluruh bahasa metafisika, di mana klaim-klaim puitik dan religius
terhadap kebenaran berjalin-kelindan. Pada saat yang sama, terdapat
hal-hal yang pada prinsipnya bisa menyepakati disiplin pemikiran
ini, akan tetapi mendapati kesulitan —untuk tidak mengatakan
mustahil— ketika menerapkannya dalam kehidupan. Misalnya,
Allen Tate yang mencoba menyelami dasar keyakinan Kritikus Baru.
Allen Tate mengatakan bahwa “ketegangan” dan “keparadoksan”
puitik adalah isyarat tentang satu pengetahuan yang lebih superior
ketimbang rasio dan berkaitan erat dengan keimanan. Dia juga
menulis karakter “tidak bisa ditawar” yang melekat pada pemikiran
kritis, karena hakikat posisinya yang terletak antara imajinasi dan
filsafat (Tate, 1953: 111). Tate, seperti juga Blackmur yang sama-
sama menyuarakan nada spekulatif, sepertinya bergumul dengan
keyakinan para Kritikus Baru dan digiring ke arena perkelahian
lain. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan dari buku Blackmur, A
Primary of Ignorance, berikut ini:
Seperti halnya imajinasi yang tidak akan pernah bisa mewujudkan
diri sepenuhnya ke dalam bentuk-bentuk arbitrer seni dan akan
selalu tergantung pada tujuan-tujuan intelek atau konvensi... maka
hubungan antara intelek dengan imajinasi tidaklah sempurna dan
tetap tergantung pada konvensi-konvensi intelek itu sendiri, yang

44
cenderung agak formalistik (Blackmur, 1967: 77-78).

Dengan susah payah, Blackmur dan Tate berusaha memahami


bahwa bahasa-bahasa sastra dan kritik sastra sama sekali tidak
mengizinkan adanya wilayah rigid yang terdapat di dalam pendapat
lama.

Setelah Kritik Baru

Tantangan tampaknya semakin hebat ketika kritikus seperti


Geoffrey Hartman mulai menyatakan keinginan mereka untuk
melepaskan diri dari metode Kritik Baru dan melangkah “ke luar
formalisme”. Bahwa permasalahannya lebih dari sekadar perbincang-
an estetis sudah sangat jelas, lebih-lebih dengan melihat respons
mereka yang berusaha membentengi kritik Baru, termasuk W.K.
Wimsatt, di mana esainya, Battering the Object (1970), ingin
mengajak kritikus sastra Amerika agar menyesuaikan metode dan
tujuan mereka. Wimsatt berusaha membela diri dari gaya pemikiran
baru yang mencoba mempermasalahkan keistimewaan otonomi
bentuk puitik, dan mereka menyatakan adanya kebebasan spekulatif
yang lebih luas yang bisa dikembangkan dalam kritik sastra. Sumber
pemikiran ini adalah teori kontinental dan wujud ala Amerikanya
—misalnya Paul de Mann dan J. Hillis Miller— kemudian berubah
menjadi kaum protagonis yang menyuarakan dekonstruksi.
Karena itu, tidaklah mustahil menggambarkan pergeseran
kesadaran paralel yang terjadi antara aktivitas kaum strukturalis
dengan dasar-dasar Kritik Baru Amerika. Namun begitu, tentu saja
keliru jika keparalelan ini ditarik terlalu jauh. Teori kaum strukturalis
tidak pernah sekali-kali melibatkan keortodoksan quasi-religius yang
justru dilibatkan oleh metode Kritik Baru. Akan tetapi, keparalelan
tersebut, sebagaimana yang saya coba perlihatkan, diarahkan pada
berbagai macam cara menghindari tekanan yang nyata-nyata
memiliki implikasi merusak.

45
Penilaian moderat Culler tentang “kompetensi” pembaca
adalah salah satu respons yang diarahkan pada seluruh dasar teori
kritis dalam segala bentuk filsafat transendental tentang pikiran.
Sedangkan pendapat Thody tentang Barthes memang tidak terlalu
memberi titik terang, akan tetapi menjadi salah satu usaha penting
dalam menentukan mana yang berguna dan absah secara metodik
serta menyerahkan persoalan selanjutnya pada kegairahan permainan
gaya yang tidak lagi mengandung bahaya. Kritik Baru dan struktural-
isme sama-sama memiliki sisi ortodoks di dalam dirinya, satu aspek
yang membuatnya berada di ranah penggunaan yang nyaman dan
adem-ayem. Pada saat yang sama, jika berada dalam pikiran bergerak
lincah, keduanya cenderung melahirkan perasaan tidak enak atau
frustrasi, hingga akhirnya menyebabkan metode-metode mereka
sendiri mulai disangsikan.
Bagi kritik sastra Amerika, runtuhnya hegemoni Kritik Baru
terjadi bersamaan dengan ketertarikan baru dalam ide-ide kritik
sastra Prancis. Ini terjadi ketika strukturalisme dipaksa harus
mencari (terutama dalam teks-teks Derrida) kritik-kritik yang akan
dihadapkan pada pengandaian dan klaim-klaim metodenya sendiri.
Dampak dari keserentakan ini terlihat dalam tulisan-tulisan Geoffrey
Hartman, J. Hillis Miller, dan tokoh-tokoh lain yang dipaksa harus
“keluar dari formalisme” menuju pada posisi yang sekarang ini
disebut dekonstruksi. Pada tahun 1970, Hartman masih kesulitan
membayangkan ke manakah arah perdebatan spekulatif ini akan
berujung? “Kita masih kesulitan untuk keluar dari formalisme dan
barangkali sama dengan melawan hukum alam pemahaman, ini
pun seandainya kita tidak percaya pada ruh absolutnya Hegel,”
kata Hartman (1970: 113). Kebingungan Hartman ini mengingat-
kan kita kembali pada persoalan pemikiran spekulatif yang dihadapi
Blackmur dan Tate. Di satu sisi, perbedaan keduanya terletak pada
penolakan Hartman pada keabsolutan pengertian doktrinal, di sisi
lain terletak pada keluasan ranah ide yang terjadi akibat perdebatan
kaum strukturalis.
46
Kebebasan bentuk baru ini dengan jelas terlihat dalam esai
Hartman tentang Milton, di mana pendapatnya telah jauh terpisah
dari asumsi-asumsi Kritikus Baru dalam hal bahasa, gaya, dan tempat
teori kritik sastra (lihat Adam on teh Grass with Balsamum, dalam
Hartman, 1970). Dipilihnya Milton sebagai ajang “pertarung-
an” telah menandakan adanya tantangan yang ditujukan kepada
pendapat Kritik Baru. Biasanya, para Kritikus Baru mengikuti jejak
Elliot ketika membicarakan “masalah” gaya Milton, dengan tujuan
menyembunyikan rasa tidak suka mereka kepada radikalisme Milton
dalam bidang politik dan agama. Hartman ingin menjungkirbalik-
kan konsensus ini. Dia tidak hanya mempertahankan gaya Milton,
tapi juga kebebasan kritikus untuk memakai gayanya sendiri “yang
bisa dijawab” dalam rangka menghadapi opini yang telah berurat-
berakar. Hartman ingin mencanangkan “tradisi hermeneutik yang
lebih menantang”, bahkan sampai pada titik perbedaan paling dalam
antara kritik sastra dan interpretasi.
Yang dimaksud Hartman dengan “kritik sastra” adalah metode
baku dan anti-kemapanan yang selalu mempertahankan jarak antara
teks sastra dengan wacana yang ingin merangkum teks tersebut secara
utuh. Di lain pihak, tradisi “hermeneutik” menjelaskan teka-teki dan
persoalan-persoalan yang dihadapi para penafsir dengan memasukkan
persoalan-persoalan tersebut ke dalam respons yang lebih utuh
dan general. Sebuah gaya dikatakan “dapat dijawab” (answerable),
karena dia merupakan penataan dan pencocokan yang harus selalu
dilakukan kritikus antara teori dan teks secara konstan. Karena itu,
bisa dikatakan bahwa gaya yang “bisa dijawab” ini bertugas mencegah
keterlibatan metode yang rigid dan picik.
Sebagaimana Barthes, Hartman juga menekankan perlunya
kebebasan kritikus dalam menggali gaya yang secara aktif akan selalu
menyesaikan dan mempertanyakan hakikat pemikiran interpretatif.
Ini merupakan keterpisahan total dengan bahasa kritik yang kaku
dalam pemikiran Elliot. Elliot terkenal dengan definisinya tentang
“kritikus sempurna” sebagai orang yang memperlihatkan “bagaimana
47
intelek dengan cekatan mengoperasikan analisis indriawi terhadap
persoalan prinsip dan definisi”. Dengan kata lain, konsep ini ingin
menyatakan, bahwa teori, sejauh dia benar-benar valid, adalah
persoalan yang membahas bagaimana menempatkan konstruksi-
konstruksi yang tertata rapi ke dalam data-data “langsung” yang
dihasilkan oleh indra. Barthes dan Hartman menolak mentah-
mentah pengikatan kaku antara sastra dan teori semacam ini. Ketika
Elliot mengusulkan gerakan pemikiran baku yang ditarik dari
persepsi menuju prinsip, Barthes dan Hartman malah menemukan
konflik yang tidak berkesudahan di antara kedua hal tersebut, wilayah
di mana teks itu sendiri memiliki aspek-aspek pengetahuan sekaligus
fantasi mengasyikkan dan keduanya bercampur-baur.
Ini adalah salah satu gaya dekonstruksi: usaha sungguh-sungguh
untuk mengalihkan sumber-sumber gaya interpretatif agar bisa
menentang kekakuan konvensi apa pun menyangkut metode dan
bahasa. Dekonstruksi muncul, sebagaimana yang telah kita lihat,
dari “tamparan” kaum post-strukturalis terhadap tradisi Kritik Baru
Amerika, yang nyata-nyata mengidap penyakit dan keraguan di dalam
dirinya sendiri. Tapi, yang dilakukan dekonstruksi tidak hanya sebatas
itu. Dia masih memiliki banyak hal lain, aspek-aspek argumenta-
tif yang dipicu oleh persoalan-persoalan yang sama, tapi diarahkan
untuk tujuan berbeda. Pembacaan dekonstruksi, meskipun metode
dan sistemnya masih bisa diperdebatkan, di dalam dirinya sendiri
memang sangat argumentatif dan telah terpisah dari gaya dan bahasa
yang telah diteriakkan Hartman. Jacques Derrida adalah sumber
filosofis kritik ini, dan Paul de Mann adalah pengusung utamanya
di Amerika.
Di tangan para pembaca yang kurang cerdas, dekonstruksi juga
bisa menjadi pegangan teoretis yang sama dan picik sebagaimana
yang terjadi pada dogma Kritik Baru. Tapi paling tidak, dekonstruksi
akan memberikan kekuatan dalam rangka melakukan revaluasi total
tentang teori dan praktik interpretasi. Adapun dampaknya sekarang
ini telah sepenuhnya kita rasakan. [*]
48
Bagian Kedua
JACQUES DERRIDA: BAHASA MEMBUNUH DIRI

• “Blindness and Insight”: Membongkar Kritik Baru


• Bahasa, Tulisan, Difference
• Kebudayaan, Alam, Tulisan: Rousseau dan Levi-Strauss
Jacques Derrida:
Bahasa Membunuh Diri

Tulisan-tulisan Derrida tidak bisa diklasifikasikan menurut


batas-batas yang selama ini dipandang dapat menentukan wacana
akademis modern. Tulisan-tulisan tersebut dapat dikatakan
“tulisan filsafat” selama ia memuat persoalan-persoalan pemikiran,
bahasa, dan identitas serta tema-tema lain yang telah lama menjadi
perdebatan filosofis. Di samping itu, persoalan-persoalan ini
muncul dalam bentuk dialog kritis dengan teks-teks yang telah ada,
biasanya teks-teks yang berkaitan dengan sejarah pemikiran filosofis
(mulai dari Plato, Husserl, sampai Heidegger). Karier profesional
Derrida dimulai semenjak dia menjadi mahasiswa filsafat (di Ecole
Normale Superieure, Paris), dan tulisan-tulisan yang dihasilkannya
mengandaikan pembaca memiliki pengetahuan yang cukup luas
tentang disiplin filsafat. Teks-teks Derrida sangat berbeda dengan
tulisan-tulisan filsafat modern pada umumnya, karena ia berusaha
menantang seluruh tradisi dan pemahaman disiplin filsafat.
Salah satu cara untuk menggambarkan tantangan ini adalah
dengan mengatakan bahwa Derrida menolak memberikan status
istimewa apa pun kepada filsafat yang selama ini dianggap sebagai
“tukang atur” rasio yang paling berkuasa. Derrida menantang
pendapat lama ini guna memperkuat klaim yang dipilihnya sendiri.

51
Dia mengatakan bahwa selama ini para filosof bisa meneriakkan
berbagai sistem pemikiran hanya dengan cara mengabaikan dan
merepresi dampak-dampak bahasa yang dirasa mengganggu. Oleh
sebab itu, tujuan utama Derrida adalah memperlihatkan dampak-
dampak ini dengan cara melakukan pembacaan kritis yang akan
memahami, dan sedapat mungkin menggali, elemen-eleman metafor
dan hal-hal figuratif lain yang terdapat di dalam teks-teks filosofis.
Dan, di sinilah letaknya dekonstruksi. Dia bekerja sebagai bentuk sisa
dari cara-cara di mana bahasa bisa membelokkan atau memperumit
proyek-proyek para filosof.
Menurut Derrida, tugas dekonstruksi adalah menghilangkan
ide-ide ilusif yang selama ini menguasai metafisika Barat —yaitu
ide yang mengatakan bahwa rasio bisa lepas dari bahasa dan sampai
kepada kebenaran, atau metode murni dan autentik dalam dirinya
sendiri tanpa bantuan yang lain. Meskipun filsafat mencoba
menyingkirkan karakter tekstual atau “tertulis”nya, namun tanda-
tanda (signs) pertempuran tersebut masih tetap terpampang jelas
di dalam berbagai kelemahan metafor dan strategi retorikal filsafat
lainnya.
Dalam pengertian seperti ini, tulisan-tulisan Derrida terasa
lebih dekat dengan kritik sastra ketimbang filsafat. Tulisan-tulisannya
itu dibangun berdasarkan asumsi bahwa pola-pola analisis retorikal,
yang pada awalnya diterapkan dalam kritik sastra, pada dasarnya
tidak bisa dihindari dalam setiap pembacaan wacana apa pun,
termasuk filsafat. Hubungan sastra dan filsafat tidak lagi dipandang
sebelah mata, karena hubungan keduanya bukan hanya sekadar
sama-sama memuat tema-tema “imaginary”, dan selalu menyuarakan
kewibawaan dan kebenaran filosofis. Sikap seperti ini punya sejarah
panjang dalam tradisi Barat.
Platolah yang menyingkirkan penyair dari republik yang dia
idealkan. Dialah yang mengatakan bahwa rasio sebagai satu-satunya
penjaga manusia dari debat kusir retorika yang tak berujung pangkal.
Dia jugalah yang memicu terjadinya “pembelaan” dan “apologi-
52
apologi” kritis mulai dari Sir Philip Sidney sampai I.A. Richards
dan kritikus Baru Amerika. Garis bantah-membantah dan bela-
membela ini tampak sangat jelas, apakah itu dilakukan kritikus
yang memandang dirinya sedang mengotak-atik filsafat berdasarkan
argumen-argumen filsafat itu sendiri, maupun kritikus yang berada
di luar lapangan filsafat dengan dasar argumen berbeda, namun
privilese yang dimiliki keduanya sama saja.
Akhirnya, E.R. Leavis -lah yang menegaskan bahwa hak
kritikus untuk memisahkan cara pikir mereka dengan pengkajian
dan prosedur logika yang sangat tergantung pada wacana filsafat.
Menurut Leavis, kritik sastra adalah persoalan komunikasi mendalam
di antara respons-respons intuitif yang membuat analisis bisa bekerja,
tapi tidak bisa dijelaskan atau diteoretiskan. Filsafat terenyahkan dari
bahasa sastrawi, karena bahasa tersebut dianggap dan ditangani hanya
sebatas medium pengalaman yang “dialami” atau “dirasakan”, wilayah
di mana hanya respons-respons para kritikus “yang telah kedaluwar-
sa” itulah yang menjadi satu-satunya penunjuk arah yang reliable,
dan wilayah itu pun tidak mendapatkan sokongan metodologi
abstrak. Dengan kenyataan seperti ini, penekanan Leavis tentang
pentingnya kritik sastra “praktis” (atau pembacaan tertutup) sangat
berkaitan dengan imperatif-imperatif moral, seperti “kerelevanan”,
“kedewasaan”, dan “penghargaan terhadap sang hidup”. Tujuan
program Leavis ini adalah menemukan garis batas yang jelas antara
bahasa sastrawi dengan persoalan-persoalan filsafat. Leavis tidak
sepakat dengan ide yang mengatakan bahwa kritikus sastra perlu
memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan epistemologis, atau
bentuk-bentuk retorikal yang secara implisit terdapat di dalam teks
sastra. Kritik yang dia lontarkan lebih mengarah pada disiplin yang
ditentukan oleh kualitas-kualitas responsif dan intuitif ketimbang
persoalan-persoalan mendasar dalam filsafat.
Yang demikian itu dapat dilihat dalam “jawaban” Leavis kepada
Rene Welleck, yang bertanya kenapa Leavis tidak memberikan alasan
yang lebih koheren dan jelas dalam pendapat kritisnya tersebut (lihat
53
Leavis, 1937). Kalau seandainya Leavis memenuhi hal ini, meskipun
dengan cara berbeda, tapi itu sama saja dengan mengkhianati
aktivitas-aktivitas baku yang diperlukan dalam kritik sastra. Aktivitas
tersebut dapat dikatakan sama sejak ia tetap memelihara keutuhan
respons kritis dari pengikisan muatan teori-teori yang abstrak.
Leavis merepresentasikan bentuk penolakan paling mendasar
dan tanpa kompromi terhadap bidang kritik sastra. Kritikus Baru
Amerika, dengan segala keterkesimaan mereka terhadap sistem dan
metode retorikal, cenderung memilik posisi yang lebih ambigu lagi.
Saya telah mengutip pendapat Allen Tate yang mengatakan bahwa
kritik sastra adalah aktivitas mengambang, yang terperangkap di
antara dua kubu yang bertentangan: imajinasi dan rasio filosofis.
Kemudian, Kritikus Baru ingin mengisi ketegangan ini dengan
mencoba menemukan bentuk-bentuk retorika dan paradoks yang
bisa mengurung puisi dalam batas-batas formalnya sendiri. Puisi (dan
karya fiksi lain sejauh ada sangkut pautnya dengan puisi) memiliki
status keautentikan di dalam dirinya sendiri, dan bisa dibahas melalui
berbagai macam dogma kritik sastra. Persoalan-persoalan konseptual
—seperti masalah hubungan antara “bentuk” puitik dengan “makna”
yang communicable— sedapat mungkin dihindari dengan cara
menganggapnya seolah-olah hanya sebagai ciri khas yang telah ada
begitu saja dalam hakikat keberadaan puisi. Paradoks dan ironi, yang
menurut Tate akan selalu berada di dalam dilema para kritikus, oleh
Kritikus Baru biasanya dipandang sebagai sesuatu yang secara objek
telah “berada” di dalam struktur makna puisi.
Itulah yang menyebabkan karakter retorika Kritikus Baru
menjadi sirkular dan tertutup. Mereka mencoba mendikte filsafat
bukan seperti yang dilakukan Leavis, yaitu dengan menolak relevansi
filsafat tersebut, akan tetapi dengan menerjemahkan pertanyaan-
pertanyaan filosofis ke dalam satu bahasa paradoks, dan ketegangan
estetis yang tidak dapat direduksi dan diotak-atik. Ketika para
kritikus mulai menyelidiki penyembunyian retoris ini, maka semakin
terbuktilah bahwa persoalan-persoalan tersebut direpresi atau ditutup-
54
tutupi, dan sekarang kritik sastra harus menemukan keterkaitan
dirinya dengan kekayaan wacana filosofis. Dari segi ini, kenapa
dalam sejarah kritik sastra Amerika, dengan segala kelemahannya,
pemikiran Derrida menjadi kekuatan pembebasan? Karya-karyanya
memberikan strategi-strategi baru yang menempatkan kritik sastra
bukan hanya “di bawah dagu” para filosof, tapi juga dalam hubungan
(atau pertentangan) yang kompleks dengan filsafat, terlepas dari
apakah klaim-klaim filosofis tersebut terbuka bagi perdebatan retoris
atau bagi dekonstruksi.
Paul de Mann dengan baik menggambarkan proses perubahan
pemikiran, yang mengubah posisi sastra menjadi topik utama dalam
filsafat, dan sebagai salah satu kebenaran yang ingin disuarakan
filsafat (de Mann, 1979: 113). Ketika menyadari hakikat retorikal
yang terdapat di dalam argumen filosofis, para kritikus berada pada
posisi kuat untuk menghancurkan seluruh prasangka lama yang
mengatakan bahwa bahasa sastra sama sekali tidak punya dasar
dan omong kosong. Sekarang tidak lagi mustahil, para kritikus itu
mengatakan, bahwa teks-teks sastra tidak lebih jelek dari wacana
filosofis, karena filsafat itu sendiri jelas-jelas memperlihatkan dan
menggali status retorika yang terdapat di dalam dirinya. Menurut de
Mann, di tangan sastra, filsafat akan menjadi refleksi yang tak akan
selesai, karena sifat destruksi yang melekat pada dirinya.
Dengan demikian, perhatian Derrida terbelah dua: teks-teks
“sastrawi” dan teks-teks “filosofis”, dua hal yang dalam praktiknya
sering kali gagal dipisahkan Derrida, dan tampaknya sebatas
didasarkan pada praduga-praduga yang lemah. Pembacaan Derrida
terhadap Mallarme, Valery, Genet, dan Sollers sama persis dengan
esai-esai dia tentang Hegel dan Husserl. Teks-teks sastra tidak
dipingit di dalam wilayah figuratif tertentu, di mana komentar
rasional takut memasukinya. Tidak seperti Kritikus Baru, Derrida
sama sekali tidak punya niat untuk membuat demarkasi yang jelas
antara bahasa sastrawi dengan wacana kritik. Sebaliknya, dia ingin
menunjukkan bahwa jenis-jenis paradoks tertentu terjadi di dalam
55
berbagai macam wacana yang dipicu oleh beragam impuls yang
terdapat di dalam pemikiran Barat, yang tidak bisa dijelaskan dengan
batas-batas konvensional. Kritik sastra, filsafat, linguistik, antropolo-
gi, dan segala macam “sains tentang manusia”, semua itu harus
berhadapan dengan kritik Derrida, tanpa terkecuali. Inilah masalah
paling penting yang harus dibahas jika kita ingin membicarakan
dekonstruksi. Tidak ada bahasa yang siap sedia dan waspada untuk
menyelamatkan diri dari syarat-syarat yang ditempatkan ke dalam
pemikiran oleh sejarah dan metafisika yang mendasari pemikiran
tersebut.

“Blindness and Insight”: Membongkar Kritik Baru

Istilah “setelah formalisme” diperkenalkan dalam berbagai cara.


Sebagian para kritikus sastra (seperti Geoffrey Hartman) memakai
gaya tidak langsung yang nyeleneh, sementara kritikus lain —misalnya
Paul de Mann— berusaha berpikir melalui paradoks-paradoks yang
ada di dalam metode Kritik Baru. Esai-esai de Mann dalam buku
Blindness and Insight (1971) mencoba menerapkan ide-ide Derrida
terhadap retorika puisi-puisi modern. Membaca Kritik Baru
dengan hanya menggunakan “kacamata” metafor-metafor mereka,
berarti, dalam istilah de Mann, berusaha menemukan “kegelapan”
(blindness) yang tidak bisa dipisahkan dari “cahaya yang terang-
benderang” (insight) mereka. Konsep mereka yang bersifat formalis
tentang puisi sebagai “ikon verbal”—struktur makna yang nir-waktu
dan penuh dalam dirinya sendiri— terbukti bisa mendekonstruk-
si klaim mereka sendiri yang akan melahirkan implikasi-implikasi
rumit dan tak terduga. Obsesi mereka terhadap bentuk “organik”
disebabkan oleh “ambiguitas” dan “ketegangan”, yang dipandang
bisa membawa berkah ketenaran. Kritik sastra unitarian ini,
sebagaimana de Mann menyebutnya, akhirnya menjadi kritik
tentang ambiguitas, refleksi ironis tentang ketiadaan kesatuan yang
justru dipostulatkan (de Mann, 1971: 28). Adapun “bentuk” lebih

56
merupakan khayalan operatif, hasil kejengkelan penafsir terhadap
keteraturan, ketimbang ketertarikan lain terhadap karya sastra itu
sendiri. Metafor-metafor organis yang terdapat dalam cara bicara
Kritikus Baru tersebut merupakan hasil dari apa yang disebut de
Mann sebagai “interaksi dialektis” antara teks dan penafsir. “Karena
segenap perhatian tercurah pada pembacaan bentuk, kritikus secara
pragmatis memasuki lingkaran hermeneutik interpretasi, tapi salah
kaprah ketika menganggap lingkaran hermeneutik tersebut hanya
sebagai sirkularitas organis dari proses alam (ibid.: 29).
Dekonstruksi tidak mencari hubungan antara pembacaan
tertutup yang pas untuk teks “sastrawi” dengan strategi-strategi yang
diperlukan untuk mengetahui implikasi-implikasi tak terduga dari
bahasa kritik. Karena seluruh bentuk tulisan muncul dalam rangka
melawan kerancuan makna dan maksud, maka tidak ada pertanyaan
yang ditujukan untuk menggoyang status istimewa yang dimiliki
sastra serta peran sekunder dan tertutup dari bahasa kritik sastra.
De Mann menerima bulat-bulat prinsip Derrida bahwa “tulisan”,
dengan dialektika “kegelapan” dan “cahayanya”, mendahului segala
kategori yang dicoba-lekatkan oleh kebijaksanaan konvensional
terhadap tulisan.
Hal tersebut sama saja dengan menolak sistem prioritas yang
secara tradisional dilekatkan pada bahasa “kritis” dan “kreatif”.
Perbedaan keduanya terletak pada gagasan yang menyatakan bahwa
di dalam teks-teks sastrawi telah terkandung begitu banyak makna
yang autentik dalam dirinya sendiri, yang hanya bisa dikenali kritik
sastra lewat strategi pembacaannya. Bagi Derrida, cara ini merupakan
bukti lain tentang adanya berbagai prasangka yang mengakar di
Barat, yang ingin mereduksi tulisan —atau “permainan bebas”
bahasa— menjadi makna stabil yang harus sama dengan karakter
tuturan. Implikasi hal ini di dalam bahasa tulisan adalah: bahwa
makna “hadir” kepada pendekar melalui mekanisme kehati-hatian
internal yang selalu menginginkan “kecocokan” sempurna dan
bersifat intuitif antara maksud (intention) dan tuturan (utterance).
57
Teks sastrawi telanjur berpegang pada keautentikan makna dan
kebenaran status istimewa, yang muncul (menurut Derrida) dari
kecurigaan tekstualitas yang selalu membayangi sikap Barat ketika
berhadapan dengan teks. Asal-usul dan kehadiran mistis ini bisa
dibantah dengan baik, yakni dengan cara menghancurkan batas-
batas imajiner wacana, berbagai macam imperatif teritorial yang
menentukan mana tempat “sastra” dan mana tempat “kritik sastra”,
atau mana menurut pandangan tradisional yang berada di luar
wilayah filsafat tersebut.
Redistribusi wacana ini menimbulkan dampak pergeseran
yang tidak sederhana dalam kebiasaan kita melakukan pembacaan.
Karena, itu berarti teks-teks kritik sastra harus dibaca dengan cara
yang sama sekali berbeda, bukan hanya demi mengetahui “cahaya”
interpretatifnya di tengah-tengah “kegelapan” yang menentukan
batas-batas konseptual teks tersebut. De Mann menjelaskan hal ini
dengan baik.
Karena teks kritik sastra bukan sesuatu yang ilmiah, maka dia harus
dibaca dengan kesadaran ambivalensi yang sama, yang membawa kita
ke dalam ranah kajian teks non-kritik sastra. Karena retorika wacana
teks tersebut bergantung pada pernyataan-pernyataan kategoris, maka
ketidaknyambungan antara makna dan pernyataan adalah bagian tak
terpisahkan dari logika teks kritik sastra (ibid.: 110).

Argumen de Mann ini kemudian memberi pemilahan yang


jelas di antara kedua cara tersebut, ketika dia mulai menentukan
posisi sang kritikus vis-à-vis teks sastra. Jelasnya, argumen tersebut
menghalangi kritikus dari pendekatan metodis atau pendekatan
baku apa pun, yang telah berulang kali muncul dalam mimpi-
mimpi tradisi kritik sastra. Namun di pihak lain, argumen tadi juga
memberikan celah di antara pemisahan rigid peran tersebut yang
akan memosisikan kritikus sebagai pengiring kata-kata yang terdapat
di dalam teks. Kelemahan kritik sastra dari segi metodologi ini coba
ditutupi dengan cara merangkul kepentingan-kepentingan retorikal.
Cara pemutarbalikan prioritas yang sama juga muncul dalam cara

58
dekonstruksi ketika membaca teks-teks “sastrawi”. Dengan demikian,
tidak ada lagi rasa (sense) otoritas asali yang harus dilekatkan pada
karya sastra, yang menuntut kritik sastra agar selalu menjaga jarak
dengan karya tersebut. Otonomi teks telah diacak-acak dan dirasuki
oleh gaya komentar baru dan kurang ajar, yang mempertanya-
kan segala atribut tradisional yang semula dilekatkan pada makna
sastrawi. Dalam pada itu, pertanyaan-pertanyaan gaya baru ini
juga membawa sastra pada satu titik kompleksitas dan kepenting-
an retorikal, di mana yang justru sering muncul adalah “kegelapan”
ketimbang hal-hal lain yang diharapkan dalam wacana filsafat.
Demikianlah dampak yang ditimbulkan tulisan Derrida di
jantung tradisi konservatif —yaitu tradisi Kritik Baru Amerika—
dan mengharuskan mereka mulai mempertanyakan ideologi mereka
sendiri. “Taktik adu domba” yang diusung Derrida sebenarnya
dimaksudkan untuk menimbulkan kebingungan yang lebih radikal
dan rumit lagi. Selanjutnya, kita akan membahas beberapa teks
utama tempat Derrida mengetengahkan istilah dan dampak-dampak
pembacaan dekonstruktif. Di sini, kita tidak akan membahas buku
Derrida satu per satu, tapi kita akan langsung memerhatikan dengan
saksama beberapa tema dan argumentasi krusial, mengingat Derrida
pun telah memperingatkan kita, bahwa teksnya bukanlah kumpulan
“konsep-konsep” jadi, akan tetapi merupakan aktivitas yang selalu
mawas diri terhadap trik reduktif.

Bahasa, Tulisan, Difference

Kalau ada satu gagasan yang bisa mencakup seluruh wilayah


pemikiran kaum “strukturalis” yang berbeda-beda, maka itu adalah
prinsip —yang pertama kali dikemukakan Saussure— bahwa bahasa
merupakan jejaring diferensial dari makna. Tidak ada kaitan nyata
atau hubungan satu-satu antara “penanda” dan “petanda”, antara
kata (apakah diucapkan atau dituliskan) sebagai medium dengan
konsep yang ingin diungkapkannya. Keduanya terjerat di dalam

59
permainan pembedaan, di mana perbedaan-perbedaan suara dan rasa
(sense) dari kata merupakan satu-satunya petunjuk kepada makna.
Karena itu, pada level fonetis yang paling sederhana, bat dan cat
dibedakan (dan dengan demikian, makna baru bisa didapatkan)
dengan cara membedakan konsonan awal kata tersebut. Begitu juga
dengan kata bag dan big, yaitu dengan mengganti dan membedakan
huruf vokal yang ada di tengah masing-masing kata tersebut. Dalam
pengertian seperti ini, bahasa bersifat diaktritis, atau bergantung
pada perbedaan-perbedaan terstruktur yang memungkinkan wilayah
elemen-eleman linguistik yang terbatas untuk menandai makna-
makna yang berlimpah.
Bertitik-tolak dari pemahaman seperti inilah Saussure
membangun apa yang akan menjadi program utama bagi linguistik
modern. Tawarannya ini berbeda dari pemikiran tradisional dalam
dua hal. Pertama, dia mengatakan bahwa linguistik bisa diberi
landasan ilmiah jika dia mau mengadopsi pendekatan “sinkronik”,
yakni bahasa dikaji sebagai jejaring relasi struktural yang terdapat
pada satu waktu tertentu. Linguistik harus menghindari —atau
untuk sementara tidak memakai— metode “diakronis” yang
diterapkan dalam riset dan spekulasi-spekulasi historis yang selama
ini mendominasi linguistik abad ke-19. Kedua, Saussure mengatakan
perlunya diadakan pembedaan antara aktus wicara atau tuturan
(parole) individual dengan sistem umum hubungan-hubungan
artikulasi tempat tuturan tersebut berasal (la langue). Sistem inilah
yang mendasari dan mengawali ranah tuturan apa pun, karena makna
hanya bisa dihasilkan berdasarkan aturan-aturan baku bahasa.
Strukturalis, dalam segala bentuk dan aplikasinya, berkembang
di atas dasar program yang dicetuskan oleh Saussure untuk linguistik
modern ini. Namun, tujuan kita di sini bukanlah membicarakan
detail-detail perkembangan tersebut, karena hal tersebut dapat dilihat
dalam buku Terence Hawkes, Stucturalism and Semiotics (1977).
Pendeknya, apa yang diambil strukturalisme dari pemikiran Saussure
adalah gagasan yang mengatakan bahwa setiap sistem budaya —jadi,
60
bukan hanya bahasa— bisa dikaji dari sudut pandang “sinkronis”,
yang akan memperlihatkan keanekaragaman relasi dari tingkat
aktivitas penandaan yang terdapat di dalam sistem tersebut.
Adapun status linguistik di tengah-tengah cara pandang baru ini
masih memicu banyak perdebatan. Saussure telah menyatakan bahwa
bahasa tidak lain adalah salah satu kode dari sekian banyak kode,
dan linguistik tidak seharusnya bisa mempertahankan dominasi
metodologisnya selama ini. Dengan hadirnya semiotika, atau ilmu
tentang tanda, bahasa kemudian “menyadari” posisi pentingnya di
dalam kehidupan sosial tanda-tanda pada umumnya. Dalam pada
itu, Roland Barthes —salah seorang pemikir strukturalisme yang
amat fleksibel— adalah orang pertama yang ingin mempertahan-
kan perspektif ini, dan kembali menegaskan bahwa linguistik
merupakan ilmu semiologi yang paling penting. Dengan cepat,
Barthes mencoba mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan
metode kaum strukturalis diterapkan ke wilayah kode-kode budaya
yang lebih luas lagi, dari teks sastra sampai makanan, fashion, dan
fotografi. Di dalam bukunya, Elements of Semiology (1967), Barthes
menyatakan keyakinannya, bahwa “saat ini kita harus merambah
wilayah sistem di mana signifikansi sosiologis tidak lagi berarti,
karena saat ini kita berada dalam peradaban kata-kata tertulis, tidak
lagi seperti peradaban lampau” (Barthes, 1967: 10).
Memang buku ini ditulis pada masa-masa awal perkembangan
pemikiran Barthes, tahap yang di kemudian hari dia kritik kembali,
karena terlalu tergantung pada konsep tentang metalinguistik
atau pengetahuan “ilmiah”. Di bab sebelumnya, telah diperlihat-
kan sejauh mana sepak terjang Barthes dalam mendekonstruksi
konsep-konsep tersebut, melalui aktivitas tekstual yang sadar akan
pergeseran dan status temporalnya sendiri. Akan tetapi, jenis analogi
lingustik yang dipergunakan Barthes saat itu memperlihatkan ciri-
ciri strukturalisme, terutama pada titik-titik tertentu dalam tahap
perkembangan pemikirannya. Pada titik inilah Derrida mencoba
masuk. Dia mencoba merenggut strukturalisme dari apa yang dia
61
pandang sebagai keterikatan residual kepada metafisika makna dan
kehadiran dalam pemikiran Barat. Pada dasarnya, yang dipertanya-
kan Derrida adalah peran yang dimainkan linguistik ketika
mendikte prioritas metodologi dalam pemikiran kaum strukturalis.
Oleh karena itu, kritik Derrida terhadap Saussure, dalam esainya
Linguistics and Grammatology (dalam Derrida, 1977a: 27-73),
merupakan titik temu paling krusial antara strukturalisme dengan
pemikiran dekonstruktif.
Kritik Derrida terutama diarahkan pada sikap Saussure yang
cenderung mengutamakan bahasa lisan ketimbang bahasa tulisan,
dualisme yang dipandang Derrida terdapat di jantung tradisi
filsafat Barat. Derrida mengutip beberapa pernyataan Saussure yang
jelas-jelas memosisikan tulisan hanya dalam bentuk derivatif atau
sekunder dari sistem notasi linguistik. Tulisan selalu tergantung
pada realitas primer yang dimiliki tuturan dan rasa (sense) yang
terdapat dalam “kehadiran” penutur di balik kata-katanya. Di sini,
Derrida menemukan ketegangan yang salah tempat, persoalan yang
menurut kaum strukturalis (termasuk Barthes) amat rumit dan
tidak bisa dielakkan. Tanggapan seperti apa yang harus kita berikan
menghadapi status istimewa tuturan (parole) di dalam sebuah teori
yang terlalu berpegang pada arti penting bahasa-sebagai-sistem
(langue) itu? Barthes dengan baik menuliskan persoalan ini:
Bahasa tidak akan pernah eksis kecuali di dalam “massa yang
bertutur-kata”; orang tidak bisa menangani tuturan kecuali dengan
mengungkapkannya ke dalam bahasa. Sebaliknya, bahasa hanya
mungkin mulai dari tuturan; secara historis, fenomena tuturan
selalu mendahului fenomena bahasa (tuturanlah yang menyebabkan
bahasa ada). Secara genetis, bahasa dibentuk di dalam diri seorang
individu, karena bahasa adalah pelajaran yang diambil dari
lingkungan yang bertutur-kata. (Barthes, 1967: 16)

Dengan demikian, hubungan antara bahasa dan tuturan bersifat


“dialektis”; hubungan dialektis inilah yang menyebabkan satu proses
pemikiran bisa berpindah dari satu titik pandang ke titik pandang

62
yang lain.
Derrida berbeda dengan Barthes dari segi penolakannya
terhadap paradoks ini. Dia tidak mau menerima paradoks tersebut
sebagai bagian dari proyek yang lebih besar (yaitu semiologi), karena
menurutnya akan melahirkan kontradiksi yang lebih besar lagi.
Bagi Derrida, ada semacam “kegelapan” yang menyelimuti teks-teks
Saussurean, kesalahan berpikir yang muncul dari persoalan-persoalan
yang muncul dari dalam wacananya sendiri. Apa yang menjadi biang
keladi di sini, kalau “tulisan” dimaknai dalam pengertian umum,
adalah gagasan yang mengatakan bahwa bahasa sebagai sistem
penandaan yang memprakarsai seluruh bentuk keterikatan antara
“kehadiran” individual dengan tuturan.
Kembali lagi pada pendapat Barthes yang dikutip di atas, di situ
dapat dilihat bagaimana istilah “tuturan” itu seakan-akan berada di
atas angin, meskipun argumen tersebut bertujuan membela pendapat
yang menyatakan bahasa-sebagai-sistem. Maka, Barthes (mengikuti
Saussure) secara metaforis merujuk pada “massa yang bertutur kata”
dalam konteks yang seolah-olah melibatkan totalitas bahasa, akan
tetapi pada saat yang sama, dia juga mengatakan bahwa penutur
aktual dan tuturan mereka merupakan sumber totalitas tersebut.
Barangkali Barthes ingin menyatakan bahwa bahasa merupakan
“produk sekaligus instrumen” tuturan, dan hubungan keduanya
selalu dialektis dan tidak bisa direduksi dan dipilih mana yang lebih
utama di antara keduanya. Meskipun demikian, pada praktiknya,
penggunaan metafor tersebut secara implisit memperlihatkan
keutamaan tuturan individual dari sistem makna yang menghasil-
kan tuturan tersebut.
Serangan Derrida ini bertujuan untuk memilih metafor-metafor
tertentu dan memperlihatkan bagaimana cara kerja metafor tersebut
dalam menopang keseluruhan struktur pengandaian-pengandai-
an. Jika Saussure masih terpaksa, seperti para pendahulunya, untuk
memosisikan tulisan pada status sekunder, hal itu berarti ada
semacam mekanisme represi yang terdapat di dalam teksnya, dan
63
hal itu merupakan sasaran empuk bagi dekonstruksi. Kemudian
Derrida memperlihatkan beberapa hal sebagai berikut: (1) bahwa
tulisan secara sistematis tergradasi dan tereduksi dalam linguistik
Saussurean; (2) bahwa strategi Saussurean ini berhadapan dengan
kontradiksi yang nyata; (3) bahwa dengan mengikuti kontradiksi-
kontradiksi ini orang akan melangkah melewati linguistik menuju
“grammatologi”, atau ilmu tentang tulisan dan tekstualitas pada
umumnya.
Derrida dapat melihat bangunan metafisika yang terdapat di
balik status istimewa yang diberikan Saussure kepada tuturan di
dalam metodologinya. Suara kemudian menjadi metafor kebenaran
dan autentisitas, sumber dari tuturan yang “langsung” dan hadir
pada dirinya sendiri sebagai lawan dari limpahan sumber tersebut
yang tak hidup dan sekunder, yaitu tulisan. Ketika berbicara,
orang bisa merasakan keterkaitan erat antara suara dan rasa (sense),
satu kesadaran —yang muncul dari-dalam dan langsung— akan
makna yang mengejawantahkan dirinya tanpa harus terikat dengan
pemahaman yang jelas dan sempurna. Tulisan, sebaliknya, cenderung
merusak kemurnian kehadiran-diri yang ideal ini. Tulisan seolah-
olah menjadi orang asing; medium yang tak memiliki rupa dan sosok
(depersonalized), sebuah bayangan seram yang jatuh di antara maksud
dan makna, antara tuturan dan pemahaman. Tulisan berada di ranah
publik yang penuh warna, di mana kepengarangan (authority) telah
dikorbankan demi “penyebaran tekstual” (textual dissemination).
Singkat kata, tulisan adalah ancaman bagi pandangan tradisional
yang selalu mengasosiasikan kebenaran dengan kehadiran-diri dan
bahasa “alami”, di mana kehadiran-diri tersebut bisa mengekspre-
sikan diri.
Menghadapi tradisi ini, berarti memberi argumen tentang
persoalan yang sepintas lalu kelihatan sangat aneh: bahwa tulisan
pada dasarnya adalah prakondisi untuk bahasa, dan harus dianggap
sebagai sesuatu yang lebih utama ketimbang tuturan. Untuk itu,
konsep tulisan tidak bisa direduksi ke dalam artian normalnya saja
64
(yaitu bentuk grafis atau inskripsionalnya). Sebagaimana yang dipakai
Derrida, istilah tersebut berkaitan erat dengan elemen penandaan
yang menurut pemikiran Saussure menempati posisi paling esensial
dalam bahasa, yakni perbedaan (difference).
Bagi Derrida, tulisan adalah “permainan bebas” (free play) atau
elemen ketidakpastian (element of decidability) dalam setiap sistem
komunikasi. Dia bekerja di luar kesadaran-diri tuturan dan konsep
delusif yang selama ini menguasai bahasa. Tulisan adalah proses
pergantian makna terus-menerus yang membentuk bahasa, dan selalu
menempatkannya di balik setiap usaha penelusuran pengetahuan
yang stabil dan autentik dalam dirinya sendiri. Dalam pengertian
seperti ini, bahasa lisan menjadi bagian dari “tulisan yang tergenera-
lisasi”, yang merupakan dampak dari pengaburan yang dilakukan
oleh “metafisika kehadiran”. Bahasa selau tertoreh pada jejaring
ketersebaran dan “jejak” diferensial yang tidak akan pernah terlacak
oleh penutur individual. Apa yang disebut Saussure sebagai ikatan
alami antara suara dan rasa (sense) —yang dipandang menjamin
status tuturan— pada dasarnya adalah delusi yang ditimbulkan
oleh represi kuno yang selalu meneriakkan bahasa tulisan, karena
dia menakutkan dan subversif. Mempermasalahkan ikatan tersebut
berarti memberanikan diri memasuki daerah antah-berantah. Usaha
ini tentu memerlukan desublimasi konseptual atau “keterjaga-
an penuh”. Tulisan adalah pelopor —dengan demikian memiliki
kekuatan untuk menelanjangi— dari segala bentuk sikap Barat
terhadap pemikiran dan bahasa.
Ketertekanan tulisan terdapat di jantung metodologi Saussurean.
Ini terlihat dalam keenganan untuk mempertimbangkan bentuk
notasi linguistik lain yang berada di luar skrip fonetis-alfabetis yang
ada dalam kebudayaan Barat. Di antara bentuk yang bersifat non-
fonetis ini, yang juga sering kali didiskusikan Derrida, di antaranya
adalah hiegrolif, konsep-konsep aljabar, dan jenis-jenis bahasa lain
yang telah diformalkan. Dan “fonosentris” ini pun, dalam pandangan
Derrida, terkait erat dengan struktur asumsi yang menghubung-
65
kan proyek Saussure dengan metafisika Barat. Selama tulisan masih
dipandang tidak lebih dari sekadar salinan dari elemen-elemen
tuturan, dampak-dampak yang kemudian terjadi dapat dilihat di
dalam berbagai tradisi. Sebagaimana yang dinyatakan Derrida:
Sistem bahasa yang diasosiasikan dengan tulisan fonetif-alfabetis
hanya terdapat di dalam metafisika logosentris, yang memastikan
cara mengada (sense of being) dengan kehadiran. Logosentrisme ini,
epos tentang aturan ini, selalu ditempatkan di antara dua tandan
kurung, ditangguhkan, dan ditekan demi rasio esensial, semua itu
adalah refleksi bebas tentang asal-usul dan status tulisan. (Derrida,
1977a: 43).

Terdapat kaitan erat antara keinginan terhadap kehadiran-


diri, sebagaimana pengaruhnya dapat dilihat dalam filsafat bahasa,
dengan fonosentrisme yang membungkam metode linguistik untuk
mengedepankan persoalan-persoalan tulisan. Keduanya merupakan
komponen metafisika dalam mengukuhkan superioritas tuturan.
Derrida kemudian berusaha memperlihatkan bahwa asumsi-
asumsi ini, meskipun pada level tertentu keduanya konsisten dan
saling meneguhkan, terbuka bagi kesemrawutan ketika orang mulai
menukar “tuturan” dengan “tulisan” pada tataran konseptual yang
membentuk asumsi-asumsi tersebut. Efek yang dihasilkan dari hal ini
sangat tidak menyenangkan, bukan hanya bagi kajian linguistik, tapi
juga bagi setiap penyelidikan yang didasarkan pada gagasan tentang
adanya akses langsung dan intuitif terhadap makna. Hasil pelacakan
Derrida terhadap proses penyingkiran dan pengikisan tulisan
memperlihatkan bahwa proses ini adalah bentuk yang selalu ada
di dalam teks-teks filsafat Barat. Dia selalu muncul setiap kali rasio
berusaha mencari metode dasar atau autentik yang kebal terhadap
jebakan-jebakan tekstualitas. Jika makna hanya diarahkan untuk bisa
memasuki tingkatan intelek yang sempurna pada dirinya sendiri,
itu berarti bahasa tidak lagi menimbulkan masalah apa-apa, karena
dia telah menjadi “pesuruh” pikiran yang sangat patuh. Dalam
mengemukakan persoalan tulisan ini ke dalam bentuknya yang

66
paling radikal, bentuk pemikiran Derridean mencoba mendobrak
—atau katakanlah mengudeta— relasi konvensional antara bahasa
dan pemikiran.
Inilah serangan dekonstruktif yang ditujukan Derrida kepada
teks-teks Saussure dan para strukturalis lainnya. Derrida mengatakan
bahwa apa yang dilakukannya ini bukanlah masalah penolakan
seluruh proyek Saussurian atau menafikan signifikansi historis
karya-karyanya itu. Akan tetapi, persoalan malah menggiring proyek
tersebut kepada batas-batas kesimpulan paling akhir, dan kemudian
melihat di bagian mana kesimpulan tersebut dapat ditantang dengan
premis-premis konvensional. Derrida menjelaskan:
Dekonstruksi adalah masalah kapan Saussure sama sekali tidak
menyentuh tulisan, kapan dia merasa telah menutup tanda kurung
pada subjek tersebut, yang berarti telah membuka kesempatan bagi
grammatologi umum... lalu orang menyadari bahwa apa yang telah
berhasil melampaui batas-batas, negeri asing linguistik, tidak akan
pernah berhenti memandang bahasa sebagai kemungkinan primer
dan paling dasarnya. Maka oleh sebab itu, apa yang tidak pernah
diucapkan —tidak lain tidak bukan— adalah bahwa tulisan itu
sendiri merupakan asal-usul bahasa yang menulis dirinya sendiri
di dalam wacana Saussure (Ibid.: 43-44).

Jadi, Saussure tidak lebih dari sekadar salah satu contoh


tradisi “kelam” dan salah kaprah. Meskipun begitu, Derrida telah
menjelaskan bahwa strukturalisme, apa pun batasan konseptualnya,
merupakan tahap yang harus dilewati oleh dekonstruksi. Saussure
memang telah memberikan istilah-istilah perkembangan yang dia
ambil dari hasil program yang dilakukannya, tapi sayangnya belum
terformulasi dengan baik. Dengan mengesampingkan persoalan-
persoalan yang justru dihadapi oleh teori bahasanya, Saussure
malah melampaui batasan-batasan teori tersebut. Konsep “tulisan”
semakin diperluas akibat kenyataan ini menjadi sesuatu yang lebih
primordial dan berada jauh dari tempat yang penggunaannya secara
tradisional.

67
Perlu ditegaskan kembali bahwa dekonstruksi bukanlah
sekadar pemutarbalikan kategori-kategori yang tetap terpinggirkan
dan tidak berpengaruh apa-apa. Dia ingin menghilangkan tatanan
prioritas yang sudah ada dan setiap sistem oposisi konseptual yang
memungkinkan terjadinya tatanan tersebut. Oleh sebab itu, secara
empiris Derrida tidak berusaha membuktikan bahwa “tulisan” dalam
artian normalnya adalah sesuatu yang lebih mendasar dibanding
tuturan. Sebaliknya, dia sepakat dengan Saussure bahwa linguistik
lebih baik tidak bersikap kritis terhadap “keistimewaan” yang
dinikmati teks tertulis di sepanjang perjalanan sejarah peradaban
Barat. Jika oposisi tuturan/tulisan tidak dihadapkan pada kritik, tentu
dia akan menjadi “praduga membabi buta” yang (menurut istilah
Derrida) justru harus dihancurkan dan dilenyapkan. Dekonstruksi
sebaiknya disandingkan dengan teks, seperti halnya yang dilakukan
Saussure, tempat di mana status problematis tulisan muncul akibat
diterimanya perspektif tradisional tentang tulisan. Tulisan yang
direpresi kemudian bisa menyatakan dirinya sendiri meskipun harus
melewati penemuan Saussure yang berputar-putar dan rumit. Inilah
ketegangan antara “gestur dan pernyataan” yang harus dibebaskan
oleh teks-teks kritis dari grammatologi umum masa depan.
Dengan demikian, dekonstruksi adalah aktivitas pembaca yang
terikat erat dengan teks yang sedang dia hadapi, dan yang tidak bisa
berdiri sendiri sebagai sistem operasi konsep-konsep yang tertutup.
Keekstreman dan keskeptisan Derrida terlihat ketika dia mulai
memeragakan metodologinya. Daya dobrak dekonstruktif muncul
dari terma-terma seperti tulisan. Dalam dirinya sendiri, istilah ini
tentu berhubungan dengan seluruh makna yang ada dalam definitif-
nya. Mengatakan tulisan sebagai sebuah “konsep” berarti harus
terjebak lagi pada pengimajinasian beberapa skema hierarkis ide-
ide tempat tulisan menemukan posisi istimewanya. Telah kita lihat
(di bab 1) bagaimana strukturalisme bisa memperlakukan konsep
ini sekehendak perutnya. Konsep struktur dengan mudah dapat
diperkuat dengan metodologi lembak, yang memperlakukan konsep
68
tersebut sebagai gagasan-gagasan siap pakai, dan mengabaikan sama
sekali implikasi-implikasi yang tidak terduga sebelumnya. Derrida
menangkap gelagat yang sama di dalam segi-segi diferensial terstruktur
yang dianggap Saussure sebagai prakondisi bagi bahasa. Ketika istilah
konsep tadi diletakkan begitu saja dalam sistem penjelasan seperti ini,
dia bisa dipergunakan (sebagaimana “struktur”) untuk mengingkari
dan menekan petunjuk-petunjuk yang justru melekat pada dirinya
sendiri.
Karena itu, istilah-istilah taktis Derrida ini tidak bisa diciutkan
menjadi makna tunggal dan seragam. Istilah differance adalah
salah satu dari sekian banyak istilah tersebut, karena istilah ini
mengandung daya perusak pada level penanda (yang diciptakan oleh
pelafalan anonim), yang secara grafis, kebal terhadap segala bentuk
reduksi. Arti kata difference berada dalam posisi menggantung antara
dua kata Prancis “to differ” (berbeda) dan “to defer” (menangguh-
kan), keduanya berpengaruh pada kekuatan tekstualnya, tapi tidak
bisa sepenuhnya mencakup makna utuh dari kata difference tersebut.
Bahasa sangat bergantung pada “perbedaan”, karena, sebagaimana
yang telah dibuktikan Saussure, struktur bahasa berisi oposisi-oposisi
yang menjadi dasar bagi kandungan bahasa tersebut. Sedangkan
celah baru yang dibuka Derrida, dan akan menjadi tempat beradanya
ilmu grammatologi, adalah wilayah yang membentang antara “differ”
menuju “defer”. Hal ini memuat ide yang mengatakan bahwa makna
selalu ditangguhkan, barangkali sampai pada saat yang tidak bisa
ditentukan, akibat adanya permainan pertanda. Difference tidak
hanya merujuk pada gagasan ini, akan tetapi dalam ketidakpastian
maknanya sendiri, dia menyuguhkan bagaimana proses grammatolo-
gi diterapkan secara grafis.
Derrida memberlakukan istilah-istilah lain yang senada dengan
di atas dan dengan pola retorika yang sama. Tujuannya adalah untuk
membentengi istilah-istilah itu dari ketertutupan konseptual —atau
penciutan ke arah akhir— yang barangkali akan merusak teksnya.
Di antara istilah terebut adalah “supplement” (tambahan/pelengkap),
69
yang terikat dengan permainan tambahan dari makna-makna yang
akan melawan pereduksian semantikal. Bagaimana cara kerja istilah
ini, kita akan membahas esai Derrida tentang Rousseau dan Levi-
Strauss. Dalam esai ini, dia menjelaskan bagaimana tulisan dalam
konteks antropologi dan “ilmu-ilmu kultural tentang manusia”.

Kebudayaan, Alam, Tulisan: Rousseau dan Levi-Strauss

Bagi Derrida, tulisan (dalam arti yang seluas-luasnya) adalah


sumber dari seluruh aktivitas kultural/kebudayaan. Tulisan
merupakan pengetahuan berbahaya dan mengancam yang harus
ditekan oleh kebudayaan tersebut. “Karakter subversif tulisan
terjadi karena gagasan yang menghancurkan, melitererkan dan
menukar, serta saat orang mengetahui tekanan permanen dan
obsesif... tulisan yang menakutkan harus dihilangkan, karena dia
menghapus kehadiran kesamaan-murni (proper) dalam tuturan”.
(Derrida, 1977a: 139). Pendapat Derrida ini muncul dalam bab
yang membahas esai Rousseau, Essay on the Origin of Language, yang
menjadi titik tolak pemikiran Derrida.
Rousseau berpendapat bahwa tuturan adalah bentuk asal, paling
murni, dan keadaan paling “alami” dari bahasa. Dengan pandangan
miring, dia menganggap tulisan tidak lebih sebagai bentuk ekspresi
derivatif dan lemah. Sikap ini tentu selaras dengan filsafatnya tentang
hakikat manusia. Dia berpendapat bahwa kemanusiaan mengalami
kejatuhan dari tahap kedamaian alami ke dalam hiruk-pikuk politik
dan eksistensi peradaban. Bahasa menjadi salah satu indeks tahapan
di mana alam menjadi tergerogoti dan memecah-mecah dirinya
sendiri, dengan menggunakan keunggulan semu kebudayaan. Dalam
argumennya yang ingin diperlihatkan Derrida adalah kotradiksi-
kontradiksi yang terdapat di dalam teks-teks Rousseau. Tulisan
Rousseau bukannya membuktikan bahwa tuturan adalah asal-usul
bahasa dan tulisan hanyalah tumbuhan parasit. Sebaliknya, dia malah
mengonfirmasikan keunggulan tulisan dan karakter ilusif (the illusory

70
character) yang terdapat di dalam mitos dan asal-usul itu sendiri.
Sebagai contoh, Rousseau memandang tulisan sebagai
“pelengkap” bahasa lisan, sehingga keberadaannya hanya bersifat
sekunder dalam kaitannya dengan tuturan, persis sebagaima-
na tuturan itu sendiri tercerabut dari apa yang dia ungkapkan.
Argumen Rousseau ini memiliki latar belakang sejarah yang panjang
di dalam pemikiran Barat. Seperti doktrin mistikal Plato tentang
bentuk, dampak yang terjadi kemudian adalah pengikisan nilai
(devaluasi) aktivitas seni dan penulisan oleh usaha terus-menerus
dalam menggapai metafisika kehadiran, keterpisahan mereka dari
sumber yang mengakibatkan mereka harus selalu bermain dalam
imitasi-imitasi palsu. Bagi Derrida, “sifat tambahan” yang melekat
pada tulisan inilah yang sebenarnya menjadi pokok persoalan,
tapi bukan dalam arti buruk seperti yang dikemukakan Rousseau.
Tulisan adalah contoh pelengkap par excellence yang masuk ke dalam
jantung wacana yang intelligible, dan kemudian mendefinisikan
hakikat dan keadaannya sendiri. Derrida menunjukkan bahwa esai
Rousseau sebenarnya menyatakan pembalikan ini, bahkan ketika
dia melekatkan pengaruh subversif yang terdapat di dalam tulisan
dan karakternya sebagai “pelengkap”. Tema-tema tentang pelengkap
ini terdapat di dalam detail-detail argumen Rousseau yang berbelit-
belit, seolah-olah mengandung rasa bersalah, dan akibatnya, dia
melawan maksud yang pada mulanya ingin dia sampaikan. Bahwa
Rousseau tidak akan mungkin mengerti apa maksud yang dia katakan
(atau mengatakan apa yang dia maksud) adalah titik bidik yang akan
diserang Derrida, tapi hanya dengan menggunakan pembacaan literal.
Teks-teks Rousseau, begitu pula teks-teks Saussure, adalah sasaran
yang ingin disentakkan ke luar secara kasar, guna melindunginya dari
bahaya logika yang mau menang sendiri dan menutup diri.
Musik adalah salah satu tema yang menjadi pusat perhatian
filsafat kebudayaan Rousseau, dan Derrida mengaitkan ide-ide
Rousseau tentang masalah ini dengan tema tuturan versus tulisan.
Argumennya tertuju pada ketertarikan Rousseau pada vokal atau
71
gaya melodik, yang diidentikkannya dengan musik Italia pada
waktu itu, sebagai lawan dari gaya yang harmonik dan kontrapun-
tal, yang dianggap sebagai bukti kelemahan dan kemerosotan
tradisi Prancis. Sebagai bagian dari bidang sejarah musik, masalah
ini tentu terbuka bagi berbagai macam disiplin keilmuan. Tapi,
Derrida tidak tertarik dengan persoalan-persoalan musikologi, dan
dia lebih memfokuskan diri pada simptom tekstual tentang keraguan
dan duplikasi yang menjadi inti argumen Rousseau. Keunggulan
melodi dalam musik berasal dari ketertutupanya dari lagu, yang pada
gilirannya merepresentasikan hampiran yang paling dekat kepada
asal-usul tuturan itu sendiri. Harmoni memasuki musik dengan
proses “kejatuhan” yang juga memisahkan tulisan dari tuturan,
karena harmoni dan tulisan sama-sama sebagai pelengkap. Dalam
perkembangan musik, sebagaimana dijelaskan Rousseau, melodi
secara tidak terlihat kehilangan energi yang sebelumnya dia miliki,
dan jumlah interval digantikan oleh keakuratan perubahan tinggi-
rendah nada (Dikutip dalam Derrida, 1977a: 199).
Derrida menegaskan hal ini dan beberapa bagian lain dalam
teks Rousseau, sembari memperlihatkan bahwa yang sebenarnya
dideskripsikan Rousseau bukan hanya kondisi-kondisi musik
dalam perjalanan sejarah, tapi setiap musik yang bahkan lahir
di zaman primitif, musik sebagai ungkapan tangis kesedihan.
Kelupaan (forgetfulness) terhadap asal-mula bisa saja menjadi tipuan
yang digunakan oleh harmoni dan tulisan untuk menghilang-
kan “kehangatan” primordial yang didapat dari kedekatan dengan
alam. Akan tetapi, Rousseau secara tidak langsung didesak untuk
mengemukakan pendapat (ini terlihat dari kontradiksi yang terjadi
dalam teksnya), bahwa musik sebenarnya tidak bisa dipikirkan kecuali
bila dilengkapi harmoni atau dengan membelokkannya dari keadaan
semula agar perkembangannya bisa terjadi. “Kekonyolan” Rousseau
semakin jelas, ketika dia mencoba melacak asal-usul melodi dan
lagu. Seandainya lagu adalah semacam modifikasi suara manusia
belaka, sebagaimana pendapat Rousseau dalam Dictionary of Music,
72
“lalu bagaimana bisa dia melekatkan modalitas yang absolut pada
lagu tersebut” (tanya Derrida, ibid.: 1196). Secara tidak langsung,
teks tersebut telah memperlihatkan apa yang sebenarnya tidak bisa
dibantah Rousseau, yaitu kenyataan pikiran yang tidak bisa memuat
asal-usul murni bagi tuturan dan lagu. Derrida menggambarkan
argumen Rousseau sebagai berikut:
Sebagai argumen yang secara tidak langsung imbang dalam
menentukan langkah; di satu sisi dia seolah-olah degenerasi yang
tidak terdapat di asal-mula kejadian; di sisi lain, dia seolah-olah
sebuah keburukan yang ditimpakan pada asal-usul yang masih
bersih. Seolah-olah lagu dan tuturan, karena dia memiliki rupa dan
nenek moyang yang hampir sama, belum benar-benar siap untuk
saling memisahkan diri (Ibid.: 199).

Teks Rousseau tidak bisa memahami apa yang dikatakannya


atau mengatakan apa yang dimaksudkannya. Maksud dan tujuan
Rousseau telah dibelokkan dan ditakut-takuti oleh tulisan sebagai
“tambahan yang berbahaya”, saat tulisan mulai mendekati asal-
usul.
Derrida merasa ada kejanggalan di setiap argumen yang
dikemukakan Rousseau. Setiap kali keunggulan “alam” (tuturan)
dipertentangkan dengan kelemahan “budaya” (tulisan), yang
selalu terjadi adalah ketidakruntutan logika yang membalik oposisi
tersebut dan mengacau seluruh makna yang dihasilkannya. Dengan
demikian, tujuan awal Rousseau untuk mencari “asal-usul” bahasa
berubah menjadi hanya sekadar pengandaian akan adanya sebuah
proses penciptaan yang bisa dipandang sebagai asal-usul yang lepas
dari setiap peristiwa lain yang dianggap sebagai asal-usul. Apa yang
menjadi tambahan harus disisipkan, tulis Derrida, tepat pada saat
bahasa mulai diartikulasikan, dilahirkan dari dalam dirinya, ketika
aksen dan intonasi, yang mewakili asal-usul dan gejolak nafsu yang
ada di dalamnya, menjadi hilang karena adanya asal-usul lain yang
ditandai oleh artikulasi tersebut (Ibid.: 270).

73
“Aksen”, “intonasi” dan “gejolak nafsu” merupakan istilah-
istilah positif dalam filsafat manusia dan alam Rousseau. Ketiganya
menjadi bagian dari ideologi yang mendatakan suara-sebagai-
kehadiran yang berarti bahwa tuturan lebih utama karena dia
merupakan pengetahuan yang benar dan tak bertabir. Rousseau
mengonstruksi hasil elaborasinya terhadap mitologi berdasarkan
pertentangan antara bahasa “alamiah” dengan bahasa “artifisial”,
tempat gejolak nafsu telah dikungkung dan dikendalikan oleh aturan
dan konvensi-konvensi. Bahasa “alamiah” dia samakan dengan
“Daerah Selatan”, di mana kebudayaan sama-sama mengalami
kemajuan, dan merefleksikan perkembangannya ke dalam bahasa
yang masih bersih dan sederhana. Sedangkan bahasa “artifisial”
diidentifikasikan dengan “Daerah Utara” yang mengalami dekadensi
kebudayaan. Gejolak nafsu ditaklukkan oleh rasio, sedangkan
kehidupan komunitas dikuasai oleh kekuatan tatanan ekonomi yang
lebih besar. Dalam bahasa, menurut Rousseau, popularitas tersebut
sama-sama terbentuk. Dalam kegairahan dan kemerduan, bahasa
Daerah Selatan yang didasarkan pada suara vokal, orang dapat
membayangkan musim semi adalah waktu kelahiran bahasa tersebut.
Sebaliknya, lidah orang Daerah Utara agak kasar dan dibebani oleh
suara-suara konsonan yang membuat bahasa tersebut kelihatan lebih
efisien sebagai alat komunikasi, namun sayangnya hal itu semakin
memperlebar jurang pemisah antara perasaan dan makna, antara
insting dengan ekspresi.
Bagi Derrida, mitologi Rousseau ini adalah contoh klasik
penalaran yang selalu muncul dalam rangka melawan batas-batas
yang menghalanginya untuk menempatkan asal-usul (keadaan
“alami”) bahasa. Derrida memperlihatkan bagaimana Rousseau
mencampuradukkan proses penanganan tulisan dengan proses
“pengartikulasian” oleh bahasa, yang telah melebarkan kekuatan
dan wilayah cakupannya. Di dalam “progresivitas”, terkandung arti
pergantian antara asal-usul dan pengganti-penggantinya, yang datang
kemudian dan terdiri atas elemen-elemen tuturan —aksen, melodi,
74
kehendak— yang mengikatkan bahasa pada pembicaraan individual
dan kelompok. Untuk mendekonstruksi mitologi ini, Derrida hanya
perlu mengedepankan “keanehan grafis dari suplementaritas” yang
telah membentangkan jalan di sepanjang teks Rousseau. Saat bahasa
mulai keluar dari tahapan primalnya, yang terjadi adalah suatu
kenyataan bahwa, ternyata bahasa “selalu dilahirkan” oleh tulisan,
atau oleh tanda-tanda struktur “yang terartikulasikan”, yang menurut
Rousseau bersifat dekaden. Seperti halnya dalam metodologi
linguistik Saussure, dalam spekulasi historis Rousseau ini, tuturan
dengan segala kekayaan makna imajinernya juga dipandang telah
dikacaukan oleh sifat suplementaritas tulisan.
Inilah sebabnya kenapa Rousseau ditempatkan pada posisi
khusus di dalam On Grammatology dan dalam tulisan-tulisan
Derrida yang lain. Rousseau mewakili konstalasi gagasan yang
selama ini telah mendominasi wacana bahasa dan “ilmu-ilmu tentang
manusia”. Teksnya adalah gestur yang selalu berulang dan obsesif,
yang tak mau mengindahkan sisi retorikal yang dimilikinya, dan
tidak mau mengakui kenyataan, bahwasanya bahasa ternyata tidak
cukup memadai untuk melakukan pencarian asal-usul. Kekakuan
teks Rousseau ini juga menjadi bahan pelajaran bagi filosof dan ahli
linguistik modern:
Bahasa kita, kalau bisa dibilang begitu, terbagi-bagi ke dalam
berbagai macam artikulasi dengan beragam aksen. Dia telah
kehilangan kehidupan dan kesegarannya, dia telah dimangsa
tulisan. Sisi aksentuasi bahasa telah tergerus oleh sisi konsonan
bahasa (Ibid.: 226).

Tuturan bisa hadir karena adanya perbedaan-perbedaan dan


pelacakan terhadap makna tak-hadir (non-present) yang membentuk
bahasa artikulatif. Mencoba “memikirkan asal-usul” menggunakan
gaya Rousseau ini akan sampai pada sebuah paradoks yang tak bisa
diselesaikan maupun dihindari, yaitu “persoalan tentang asal-usul
pelengkap (suplemen) —itu pun kalau ekspresi absurd ini mau kita
terima dengan segala risikonya— yang secara total tidak bisa diterima

75
sebagaimana waktu dia berada dalam logika klasik”. Suplemen adalah
sesuatu yang menunjukkan tidak adanya “kehadiran”, atau suatu
wilayah yang akan selamanya berada di balik batas pencarian, dan
suplemen jugalah kemudian yang mengganti ketidakadaan kehadiran
tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang dimilikinya. Memang
tidak ada kehadiran di dalam bahasa, akan tetapi kehadiran tersebut
selalu diandaikan ada oleh eksistensi bahasa sebagai sebuah sistem
pra-artikulasi. Oleh sebab itu, filsafat yang tidak mau menjelaskan
aktivitasnya sendiri, terpaksa (menurut Derrida, berdasarkan
pembacaannya terhadap Rousseau) harus menanggung kutukan
untuk terus-menerus mengulangi berbagai paradoks.
Kritik Derrida ini juga menyerang antropologi strukturalis-
nya Levi-Strauss. Di dalam pemikiran Levi-Strauss, juga ditemukan
persoalan yang sama, tapi kali ini diwakili oleh istilah alam versus
budaya. Levi-Strauss adalah orang pertama yang menyadari bahwa
prinsip-prinsip linguistik struktural bisa diterapkan ke lapangan selain
“bahasa” atau sistem pertandaan, dalam rangka mengetahui kode-
kode yang tersembunyi di lapangan tersebut. Apa yang dikatakan
Levi-Strauss ini kemudian menjadi salah satu capaian struktural-
isme yang paling mengesankan di wilayah interpretasi yang lebih
luas. Levi-Strauss mengarahkan analisisnya pada mitos dan ritual
dengan keyakinan bahwa, di balik segala aneka ragam perbedaan
yang tampak di permukaan kebudayaan mana pun di dunia ini,
pasti ada regularitas dan pola-pola tertentu yang bisa diselidiki
secara struktural. Penyelidikan struktural ini adalah persoalan
bagaimana sedapat mungkin melihat struktur oposisi simbolik dan
sistem rangkaian pembentuk narasi-narasi yang ada di balik muatan
yang tampak. Pada level abstraksi tertentu, menjadi mungkin,
menurut Levi-Strauss, untuk menentukan pola-pola perkembang-
an dan relasi-relasi formal yang menghubungkan kebudayaan dan
rasionalitas yang berbeda-beda. Dengan demikian, mitos bisa
dipandang sebagai salah satu kiat problem-solving, yang diletakkan
ke dalam konteks tertentu dengan berbagai cara, namun selalu bisa
76
dihubungkan kembali kepada persoalan-persoalan utama eksistensi
manusia —khususnya struktur hukum dan tabu yang mengelilingi
institusi-institusi kehidupan manusia, seperti perkawinan, keluarga,
identitas kesukuan, dan lain sebagainya. Tujuan analisis seperti ini,
sebagaimana yang sering ditegaskan Levi-Strauss, adalah untuk
menemukan satu formula yang kekuatannya sama dengan aljabar,
dan dengan mudah dapat mengekspresikan logika mendasar dari
beraneka ragam mitos.
Ketika membaca Levi-Strauss, Derrida memosisikan diri sebagai
penerus bias “fonosentrisme” Saussure dan nostalgia Rousseau
yang ingin menjemput kembali asal-usul dan kehadiran. Dua gris
pemikiran ini bertemu pada satu titik yang dilihat Derrida sebagai
dialektika antara “alam” dan “budaya”. Basis fonosentris metode
Levi-Strauss jelas-jelas berasal dari linguistik struktural Saussure dan
Roman Jacobson. Namun, menurut Derrida, di samping komitmen
metodologis, juga terdapat fonologisme linguistik dan metafisis yang
menempatkan tuturan di atas tulisan. Akibatnya, bagi antropolog
strukturalis modern, Levi-Strauss menampilkan ambiguitas yang
sama seperti yang diperlihatkan Rousseau ketika menawarkan
ilmu spekulatif di zamannya. Oposisi alam/budaya terbukti bisa
mendekonstruksi dirinya sendiri, meskipun Levi-Strauss berusaha
mewujudkan mimpi Rousseau tentang bahasa murni dan masyarakat
tribal yang tak terjamah oleh jahatnya peradaban.
Argumen Derrida didasarkan pada satu bagian buku Levi-
Strauss Tristes Tropiques (1961) berjudul “The Writing lesson”. Dalam
tulisan ini, Levi-Strauss ingin menyelidiki awal mula kemunculan
tulisan dan dampak-dampaknya di kalangan suku Nambikwara.
Masa transisi suku ini menuju ke “peradaban” digambarkan sebagai
masa yang dipenuhi rasa sedih dan bersalah. Levi-Strauss mencatat
bagaimana motivasi kekuatan politis (hierarki kekuasaan, fungsi-
fungsi ekonomi... partisipasi dalam sakralitas quasi-religius) tergambar
dalam respons pertama kali masyarakat Nambikwara terhadap
bahasa tulis. Seperti Rousseau, Levi-Strauss juga mengekspresikan
77
kepiluan yang terjadi akibat hilangnya kesatuan primordial tuturan
sebelum munculnya tulisan. Dalam perasaannya yang terdalam,
Levi-Strauss merasa bersalah dengan adanya persentuhan peradaban
dengan kebudayaan “lugu”, yang justru tiada henti dieskploitasi oleh
peradaban. Baginya, tema-tema eksploitasi dan tulisan secara alami
berjalan beriringan, sebagaimana juga tulisan dengan kekerasan.
Jawaban Derrida bukan berarti mengingkari “kekerasan” yang
inheren di dalam tulisan, bukan pula ingin mengatakan bahwa
tulisan adalah tahapan yang tak bisa di balik lagi ke kondisi mentalitas
“primitif”. Di sisi lain, dia menyatakan bahwa Nambikwara,
berdasarkan bukti-bukti yang diberikan Levi-Strauss sendiri, memang
sudah menjadi salah satu bagian dari tatanan tribal yang tercipta
bersama kekerasan yang nyata. Bentuk kekuatan sosial dan ritual
mereka yang amat menarik, ternyata bertolak belakang dengan apa
yang dirasakan para antropolog, yang sebelumnya membayangkan
gambaran ideal tentang alam mereka yang asri dan asli. Dan menurut
Derrida, ini membuktikan bahwa tulisan sesungguhnya telah
menjadi bagian inheren dalam eksistensi sosial, dan oleh sebab itu,
tidak bisa dikatakan bahwa ada waktu ketika para antropolog mulai
memperkenalkan konvensi-konvensi grafis tulisan. Pada hakikatnya,
tidak ada “autentisitas” murni, seperti yang dibayangkan Levi-Strauss
(juga Rousseau) yang dirusak oleh tulisan, kalau rusak dimaknai
seperti apa yang ada di dalam benak kedua pemikir ini. “Kehadiran-
diri, raut muka yang jelas dan transparan ketika berhadap-hadapan...
determinasi autentisitas ini ternyata masih klasik... Rousseaunis-
tik, bahkan juga mewarisi sisi Platonisme” (Derrida, 1977a: 138).
Dari sini, wajarlah jika Derrida lalu mengatakan bahwa kekerasan
yang inheren dalam tulisan ternyata sudah sejak awal menyatu di
dalam wacana sosial. Sejak awal, dia sudah menandai bahwa “asal-
usul moralitas adalah immoralitas”, dan yang non-etis adalah asal
dari yang etis.
Kritik Derrida terhadap Levi-Strauss mengikuti jalan yang
sama dengan pembacaan dekonstruktifnya terhadap Rousseau
78
dan Saussure. Sekali lagi, kritiknya masih tentang persoalan tema
yang terepresi dan terpinggirkan (yaitu tulisan), menjadikan aneka
ragam remifikasi tekstual sebagai sasarannya, dan memperlihatkan
bagaimana remifikasi ini meluluh-lantakkan tatanan yang selama ini
mengekangnya. Bagi Levi-Strauss, tulisan adalah instrumen penindas,
alat untuk mengkoloni pikiran primitif dengan cara mengizinkan
tulisan mengayomi kekuasaan penindas. Sedangkan menurut
pembacaan Derrida, tema tentang keaslian yang hilang ini tidak
dari sekadar ilusi romantik dan bentuk lain dari mistis Rousseaustik
tentang asal-usul. Dalam pengertian Levi-Strauss, “tulisan” hanyalah
aktivitas turunan (derivatif) yang terjadi di dalam sebuah kebudayaan
yang “telah ditulis” di atas dan di sepanjang bentuk-bentuk eksistensi
sosial. Termasuk ke dalam masalah ini adalah kode-kode penamaan,
tingkat jabatan, garis keturunan, dan aspek-aspek kebudayaan
lain yang telah disistematisasikan. Kemudian pengandaian Levi-
Strauss menggambarkan kekerasan yang dimaksud di atas sebagai
“ruang tempat kekerasan arche-writing mungkin terjadi, kekerasan
perbedaan, kekerasan klasifikasi, dan kekerasan sistem penyebutan
gelar atau kata sapaan (Ibid.: 110).
Masalah ini selanjutnya akan berkaitan dengan fungsi
nama dalam masyarakat Nambikrawa, signifikansi nama-nama
tersebut, dan pola penandaan. Levi-Strauss memberikan contoh
yang bernada anekdot tentang anak-anak suku Nambikrawa yang
mengekspresikan kebencian dan dendam sesama mereka, dengan
mengeja nama-nama lawannya. Menurut Levi-Strauss, semenjak
suku Nambikrawa menerapkan larangan penyebutan nama asli
(proper name), periode tersebut menjadi simbol timbulnya kekerasan
yang masuk ke dalam kebudayaan yang masih perawan, saat bahasa
mereka telah dirusak oleh sistem pertukaran yang kacau balau
(tulisan). Namun, Derrida membantah hal ini dengan bukti —yang
juga diambilnya dari tulisan-tulisan Levi-Strauss— bahwa sebenarnya
tidak ada yang namanya “nama asli” yang dimaksud dalam anekdot
Levi-Strauss itu, akan tetapi nama-nama tersebut merupakan bagian
79
dari sistem penyebutan gelar atau sapaan sebuah tatanan sosial —
yang tidak melibatkan ide kepemilikian personal. Istilah “nama
asli” sebenarnya juga tidak berdasar, karena istilah ini mengandung
pengertian kedirian yang autentik dan terindividualisasi. Kenyataan
yang sebenarnya terjadi di suku Nambikrawa itu adalah sebuah
sistem klasifikasi, nama-nama yang telah tertunjuk (designated), yang
merupakan bagian dari tata perbedaan yang telah tersosialkan, dan
bukan menjadi bagian dari satu pribadi individul. Dengan pengertian
semacam ini, apa yang dilarang oleh suku Nambikrawa bukanlah
pelanggaran terhadap hak personal, akan tetapi tuturan tentang apa-
apa yang berfungsi sebagai nama asli.
Larangan keras penyebutan nama asli serta permainan cela-
mencela tersebut tidak terjadi pada penyebutan nama asli, akan
tetapi pada penyingkapan tirai yang menutupi klasifikasi... inskripsi
yang telah melekat pada sistem perbedaan-perbedaan sosial-linguistik
(Ibid.: 111).
Strategi yang diterapkan Derida terlihat sangat jelas pada
halaman-halaman yang ditujukannya kepada Levi-Strauss ini.
“Alam” yang diidentifikasi oleh Rousseau sebagai tuturan murni
dan langsung, dan oleh Levi-Strauss sebagai kesadaran tribal paling
asli, telah mengkhianati mistik nostalgia tentang kehadiran yang
mengabaikan karakter pengasingan-diri seluruh eksistensi sosial.
Sekali lagi, tulisan menjadi istilah kunci dalam argumen yang
merentangkan implikasinya lebih jauh memasuki seluruh institusi
pra-sejarah dan peletak dasar masyarakat.
Bukti-bukti yang membawa kesimpulan seperti ini terdapat di
dalam teks Levi-Strauss, sebagaimana bukti-bukti yang juga terdapat
di dalam tulisan Rousseau dan Saussure. Ini bukan pembacaan baru
dan amat sangat canggih yang dipergunakan untuk melontarkan
kritik ini. Bukan pula didatangkan dari luar atau dari atas, seperti
beberapa bentuk kritik Marxis yang memperlakukan “teks” sebagai
bahan baku yang bisa diolah pengetahuan superior mereka tentang
makna atau bentuk produksi. (Saya akan membicarakan lagi topik
80
ini nanti). Sebenarnya, salah satu mitos atau keganjilan metafisis
yang sering menjadi sasaran serangan Derrida adalah konsep yang
mengatakan bahwa tulisan merupakan sesuatu yang eksternal
terhadap bahasa, penanganan yang dilakukan dari luar bahasa yang
selalu disandingkan dengan peneguhan kehadiran tuturan. Bila
ditelusuri lebih jauh lagi ke dalam aliran tradisi, dari Plato sampai
Saussure, konsep tadi sangat jelas terinskripsi di dalam hakikat
Rousseaunistik tulisan Levi-Strauss. Tulisan menjadi semacam
agen kekerasan dan kehancuran yang bersifat eksterior, dan selalu
merongrong nilai-nilai komunal yang sejak lama teridentifikasikan
dengan tuturan. Tujuan Derrida adalah memperlihatkan bahwa
tulisan muncul di dalam tema-tema tuturan sekaligus dalam teks yang
merealisasikan dan mengautentikkan tema-tema tersebut. Dalam
arti seperti ini, dekonstruksi adalah kawan senasib yang aktif dari
tulisan yang terepresi, namun masih tetap terartikulasikan. Derrida
mengatakannya dalam ungkapannya yang terkenal: “Illn’y a pas de
hors-texte” (Tidak ada yang berada di luar teks).

81
Bagian Ketiga
DARI SUARA KE TEKS:
DERRIDA MENGKRITIK FILSAFAT

• Fenomenologi dan/atau Strukturalisme


Dari Suara ke Teks:
Derrida Mengkritik Filsafat

Sekarang, jelaslah kenapa Derrida sangat ngotot membebas-


kan strukturalisme dari pendekatan fonosentrisme Saussurean.
Suara manusia adalah kesepakatan akhir yang bisa dicapai oleh para
filosof —seperti Rousseau— karena secara tidak langsung mereka
telah mendasarkan pemikirannya pada metafisika asal-usul atau
metafisika kehadiran. Salah satu karya awal Derrida adalah sebuah
buku yang membahas karya Husserl (Speech and Phenomena, 1973).
Dalam buku ini, dia memaparkan gagasannya bahwa filsafat harus
surut kembali ke belakang, ke dalam logika makna dan pengalaman
yang berasal dari data kesadaran langsung. Edmund Husserl (w.
1938) adalah peletak dasar fenomenologi modern, sebuah gerakan
pemikiran yang sangat dikagumi Derrida, meskipun kekaguman-
nya itu disampaikan (seperti biasanya) dalam bentuk kritik dan
penulisan-kembali premis-premis fenomenologi tersebut. Saya akan
membicarakan pertemuan dua pemikiran ini nanti, di mana Derrida
meletakkan dasar-dasar proyek dekonstruksinya. Sebelumnya saya
akan membicarakan beberapa masalah penting yang berkaitan
dengan pembahasan kita dalam bab ini.
Fenomenologi ingin mengisolasi struktur-struktur peng-
alaman dan putusan (judgment) yang tidak lagi bisa diragukan dan

85
dipertanyakan oleh pikiran skeptis sekali pun. Menurut keyakin-
an Husserl, satu-satunya fondasi pengetahuan adalah sikap tidak
menerima kepastian apa pun dari kebenaran, segala ide dan asum-
si yang mungkin saja datang dari delusi harus selalu ditangguhkan
atau diletakkan di antara “tanda kurung”. Pengalaman yang diletak-
kan di antara tanda kurung inilah yang kemudian akan memberikan
landasan dan jaminan bagi filsafat, untuk menyelidiki dan menye-
lami dunia, serta akan menghindarkannya dari bahaya skeptisme.
Husserl berpikir bahwa proyek pemikiran seperti inilah yang lebih
penting dari sekian banyak metode keraguan, yang menjadi semangat
cabang-cabang filsafat sampai akhir abad ke-19. Sebuah jurang telah
memisahkan “ilmu-ilmu keras” (yakni ilmu-ilmu yang didasarkan
pada eksperimen dan observasi faktual) dengan wilayah pemikiran
lain, yang mempergunakan metode interpretasi. Jurang ini kemudi-
an diperlebar oleh kenaifan dan ketidakreflektifan positivisme, yang
mulai mendapati posisinya sendiri di dalam filsafat.
Segala kekuatan eksplanasi sistem logika baru kehilangan
pegangan ketika diterpakan dalam proses berpikir kesadaran-diri.
Kecuali pikiran bisa sampai pada kesimpulan tertentu dengan
merefleksikan proses-proses yang menghasilkannya —dengan
cara menjelaskan cara kerja logika pikiran tersebut— filsafat akan
selalu direpotkan oleh keraguan-keraguan skeptik. Bagi Husserl,
keterpisahan antara pengetahuan dengan refleksi ini telah mendekati
titik kritis yang bukan saja mengancam ilmu-ilmu manusia, akan
tetapi juga seluruh proyek pemikiran Barat (Husserl, 1970).
Usahanya ini pun ditujukan untuk memberikan dasar rasionalitas
baru, yang bisa menghindari bahaya ketidakreflektifan objektivistik
dan kecenderungan masuk pada irasionalitas total.
Detail-detail pemikiran Husserl tidak akan kita bicarakan di
sini. Yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa filsafatnya
menolak penggunaan subjektivitas semata-mata, sekalipun itu dalam
bentuk “ego transendental” (atau kesadaran-diri reflektif), sebagai
jaminan akhir kebenaran. Husserl ingin menunjukkan bahwa
86
landasan apa pun bisa saja dipakai tanpa harus menolak filsafat,
dengan mengatakannya sebagai introspeksi subjektif belaka. Akibat
dari pendapat ini adalah terjadinya pembedaan yang jelas antara
aktus-aktus kesadaran yang dibentuk pikiran dan pengalaman
dengan wilayah psikologi individual lain yang tidak membuka celah
bagi proses pemahaman. Usaha membedakan struktur-struktur
dasar pembentuk persepsi dari segala pengalaman “semata-mata”
dan “saling terikat” inilah yang dinamakan Husserl sebagai “reduksi
fenomenologis”. Pendeknya, Husserl ingin menghidupkan kembali
proyek pemikiran yang telah dimulai oleh Descartes tiga abad sebelum
dia. Yaitu, peneguhan-kembali kepastian rasio dengan meragukan
secara sistematis segala sesuatu yang dapat diragukan. Descartes
memang menemukan kepastian dalam subjek yang berpikir, karena
ketika melakukan tindakan berpikir itu, eksistensi dirinya tidak bisa
dipertanyakan lagi. Apa yang ditemukan Descartes ini tidak akan
goyang sedikit pun, meski mendapat banyak tantangan (di antaranya
oleh kaum strukturalis), karena metodenya ini mengaburkan batas
antara pernyataan linguistik dengan logika. Objek utama Husserl
adalah memutus lingkaran kesadaran ini dengan memperlihatkan
bagaimana pikiran bisa mendapatkan pengalaman dan menghubung-
kan pemikiran dengan objek-pemikiran melalui aktus persepsi yang
terstruktur. Dengan begitu, pikiran tidak lagi menempati tempat
yang solipsistis dalam wilayah refleksi yang terputus dari realitas yang
berusaha dia ungkap. Filsafat direkonstruksi persis di celah kecil ini,
akan tetapi menjadi fondasi kuat bagi pengetahuan di dalam dan
tentang dunia.
Yang ingin ditunjukkan Derrida dari berbagai macam
tulisan-tulisan Husserl adalah elemen-elemen subjektivisme, yang
menurutnya masih tetap berperan, meskipun “reduksi transenden-
tal” telah diterapkan. Husserl sendiri ternyata tidak konsisten dalam
menjelaskan sejauh mana proses “reduksi transendental” tersebut
harus dipakai, jika pengaruh psikologisme ingin ditolak, dan filsafat
diletakkan di atas landasan baru. Karya-karya awalnya menaruh
87
perhatian pada fenomena kesadaran yang merupakan bagian dari
psikologisme ketimbang struktur pikiran universal bentuk lain.
Sedangkan dalam tulisan-tulisannya yang terakhir, dia sepertinya
ingin membersihkan elemen-elemen ini dengan kembali menegaskan
hakikat “transendental” refleksi fenomenologis. Cara kerja pikiran
yang dialami dan dianalisis bukanlah ego yang bersifat “empirik:
atau pra-reflektif kesadaran sehari-hari. Pikiran adalah satu bentuk
kehatian-hatian diri, yang sadar dan secara kritis mengawasi cara
kerja logika, serta melindunginya dari kesalahan dan ketidakpastian
pengalaman mental secara umum. Tapi bagi Derrida, permasalah-
annya adalah apakah Husserl mampu sepenuhnya melepaskan diri
dari pengandaian-pengandaian yang selama ini menguasai tradisi
intelektual Barat.
Argumen Derrida (sebagaimana yang kita lihat) berkisar
pada sikap Husserl tentang hubungan bahasa dan pikiran. Tujuan
yang ingin dicapai oleh fenomenologi didapat dari hubungan erat
yang diandaikan terjadi antara kesadaran (atau kehadiran-diri)
dan ekspresi linguistik. Husserl menjelaskan perbedaan mendasar
antara dua jenis tanda, yaitu tanda “indikatif” dan tanda “ekspresif”.
Tanda ekspresif, menurut pengertian Husserl, telah diberi makna,
karena dia merepresentasikan tujuan komunikasi atau kekuatan
intensional yang menjadi “ruh” bahasa. Sebaliknya, tanda indikatif
tidak memiliki maksud dan tujuan ekspresif, serta fungsinya hanya
sebagai simbol-simbol “tak bernyawa” dalam sistem rasa (sense) yang
arbitrer.
Kita telah melihat bagaimana Derrida memulai program
penelanjangan terhadap oposisi serupa dalam teks-teks Rousseau
dan Levi-Strauss. Menghadapi kedua tokoh ini, argumen Derrida
didasarkan pada pertentangan antara tuturan dengan tulisan: tuturan
dipenuhi oleh segala macam bentuk atribut metaforis tentang
“terang-benderang”-nya kehidupan dan kebahagiaan, sedangkan
tulisan dipenuhi dengan “kegelapan” konotasi-konotasi penderita-
an dan kematian. Derrida pun menemukan metafor serupa yang
88
berlaku di dalam pemikiran Husserl tentang bahasa dan pikiran.
Tanda-tanda indikatif dicampakkan ke wilayah kegelapan yang
eksterior dan dibuang sejauh mungkin dari sumber-sumber hidup
yang diberikan bahasa. Seperti ketakutan Rousseau akan gempuran
“tulisan”, ketiga pemikir ini kelihatannya menangani kehadiran-diri
tuturan dengan cara menariknya jauh-jauh dari asal-usul menuju
permainan rasa (sense) yang kaku dan acak.
Derrida menguji pengistimewaan ini dengan, sekali lagi,
menunjukkan bagaimana keistimewaan tersebut ditempatkan
menggunakan tangan besi metafor, bukan dengan menggunakan
logika yang konklusif.
Meskipun bahasa lisan memiliki struktur yang amat rumit, pada
dasarnya selalu mengandung stratum indikatif dan sulit diketahui
berdasarkan batas-batasnya sendiri, namun Husserl belum bisa
memberinya kekuatan ekspresi yang eksklusif— yang oleh karena
itu, benar-benar logis (Derrida, 1973: 18).
Hubungan yang terakhir ini —antara “ekspresi” dan “logika
murni— merupakan poin terpenting dalam pemikiran Husserl. Dia
berusaha mencari landasan baru untuk logika, bukan sebagai satu
sistem tertutup yang dipenuhi aksioma-aksioma kebenaran, akan
tetapi sebagai struktur yang dibangun dari aktus-aktus kesadaran
yang menyelami keajegan-keajegan yang dihasilkannya sendiri.
Dengan demikian, logika itu sendiri adalah milik aktivitas ekspresif
(atau penuh makna) dari pemikiran yang berlawanan dengan
dimensi formal pemikiran murni lainnya. Bagi Husserl, kenyataan
ini menghasilkan pembedaan lebih lanjut, antara penalaran yang
aslinya memiliki cara kerja sendiri, dengan sisi-sisi pikiran lain selain
rasio yang bisa menggantikan metodologi yang telah ada.
Di balik oposisi ini, sekali lagi, terdapat ide yang mengatakan
bahwa kesadaran bisa autentik sepenuhnya bila cara kerjanya dapat
mengekspresikan aktivitas subjek manusianya. Dilihat dari sudut
ini, sebagaimana yang diperlihatkan Derrida, sebenarnya tidak
ada jarak yang memisahkan metafor suara dengan kehadiran-
89
diri yang membentuk filsafat tradisional. Ekspresi sebagai “nafas”
atau “jiwa” dari makna dan bahasa sebagai “raga” yang digerakkan
oleh “jiwa” tersebut, merupakan cara-cara figuratif yang terdapat
dalam fenomenologi Husserlian, meskipun terlihat samar-samar,
sebagaimana yang dikatakan Derrida:
Meskipun tidak ada ekspresi atau makna yang tanpa tuturan,
namun di sisi lain, tidak semua yang ada dalam tuturan bersifat
“ekspresif”. Walaupun wacana tidak akan mungkin ada tanpa
piranti-piranti ekspresif, namun bisa dikatakan bahwa totalitas
tuturan selalu terperangkap dalam jejaringan indikatif (Ibid.: 31).

Kemungkinan ini —bahwa “ekspresi” bisa menimbulkan


masalah, karena dia mampu melompati pagar-pagar makna
indikatif— dirasa lebih dari cukup untuk mengguncang seluruh
batang tubuh pemikiran Husserl.
Istilah differance berperan utama sebagai pengacau dalam
mengobrak-abrik gagasan-gagasan Husserl. Istilah ini pertama-
tama diperkenalkan dengan cara mendeskripsikan elemen-elemen
pertanda tak-bermaksud (non-intent), yang merujuk pada wilayah
rasa (sense) indikatif, tanpa melewati refleksi yang sadar. Logika
Derrida sebenarnya sederhana saja, tapi punya tenaga perusak yang
sangat besar. Bahasa dapat memenuhi syarat-syarat kehadiran-diri
sebuah makna, kalau dia bisa menyediakan akses total dan langsung
ke dalam pikiran yang telah memberi kesempatan bagi bahasa
agar bisa dituturkan. Tapi, ini adalah syarat yang tak mungkin
dipenuhi. Kita tidak akan bisa memiliki apa yang disebut Derrida
sebagai “intuisi primordial tentang pengalaman langsung yang lain”.
Dalam bentuk apa pun, berdasarkan pembedahan Husserl sendiri,
harus diakui bahwa akan selalu gagal mencapai tujuan kehadiran-
diri ekspresif. Bahasa harus selalu memakai karakter indikatif yang
menandai ketergangguan makna. Berdasarkan praduga tradisional,
hal ini barangkali merupakan proses kematian yang sedang terjadi
dalam diri tanda-tanda. Tapi sayangnya, tradisi tidak punya apa-
apa lagi untuk ditawarkan, karena motif dan metafor-metafor yang

90
mendasarinya telah dipertanyakan. Di mana pun kehadiran langsung
dan utuh tanda-tanda diketahui, hakikat penanda akan selalu bersifat
indikatif (Ibid.: 40). Dan ini bukan hanya kelemahan bahasa pada
satu tempat tertentu, lanjut Derrida, karena dia menentukan karakter
penggunaan bahasa, baik tuturan maupun tulisan.
Differance mulai dimainkan Derrida (seperti yang dilakukan-
nya dalam esai tentang Saussure) pada titik di mana makna tidak
lagi berhubungan dengan kesadaran kehadiran-diri. Ide tentang
penangguhan temporal menjadi semakin jelas ketika dikaitkan
dengan fenomenologi Husserl. Usaha Husserl untuk mendasarkan
filsafat pada pengalaman sadar menyebabkan dia harus menjelaskan
waktu dan berbagai modalitas yang melekat padanya. Inilah yang
menjadi topik utama buku The Phenomenology of Internal Time-
Consciousness (terbit pertama kali tahun 1929). Di dalam buku ini,
Husserl berusaha menganalisis perbedaan relasi dan level-level yang
terdapat di dalam tatanan intelek, yang telah “menghadirkan arti”
waktu bagi pengalaman (lihat Husserl, 1964). Dilihat dari sudut
pandang fenomenologis, hubungan ini memperlihatkan bagaimana
“kehadiran langsung” kesadaran menjadi kawasan istimewa tempat
memori bisa ditata dan mendapatk`an makna-makna berdimensi
waktu (sequential). Di antara perbedaan penting yang dibuat Husserl
adalah pembedaan antara daya tangkap ingatan (retention/retensi)
dan representasi. Retensi berkaitan dengan jejak/bekas (traces)
langsung dan indriawi, sedangkan representasi berkaitan dengan
pengalaman-pengalaman yang dipanggil kembali dalam selang
waktu yang panjang. Tepat di titik inilah, Derrida menghantamkan
senjata dekonstruksinya, yaitu differance. Dia mengatakan bahwa,
berdasarkan argumennya sendiri, tampaknya Husserl selalu terpaksa
untuk memahami kehadiran sebagai satu momen yang terdiri atas
berbagai retensi dan antisipasi, kehadiran tidak pernah bisa berada
di kesadaran tersendiri dan terpisah. Waktu adalah penangguh-
an abadi terhadap kehadiran, yang membuat proyek fenomenologi
selalu melangkah ke dua arah yang saling berlawanan.
91
Apa yang dilakukan Derrida ini menyebabkan hancur totalnya
seluruh pembedaan yang dibuat Husserl, guna mempertahan-
kan “kehadiran langsung” agar tetap pada posisi istimewanya.
“Representasi” tidak lagi bisa dibedakan dari “retensi”, karena
keduanya sama-sama terlibat di dalam mekanisme penjarakan
temporal (movement of temporal distancing) yang sama. Apa yang
memisahkan keduanya, bukan lagi “perbedaan radikal antara
persepsi dan non persepsi”, sebagaimana diinginkan Husserl, akan
tetapi hanyalah “perbedaan antara dua non-persepsi yang telah
dimodifikasi. Dengan kata lain, tidak ada lagi landasan khusus bagi
refleksi tempat pikiran menata dan mengatur aliran pengalaman
temporal. Tujuan utama Husserl adalah memisahkan persepsi dari
representasi dengan cara-cara tertentu, di mana persepsi —wilayah
tanda-tanda dan kesan-kesan yang “berperantara”— tidak bisa
dicampur oleh pengetahuan primer dan self-evident. Sebenarnya apa
yang ingin diperlihatkan oleh teks Husserl tersebut —dan ternyata
berlawanan dengan apa yang dia maksud— adalah mekanisme
differance yang selalu muncul dari aktualitas yang murni bersifat
kekinian. Mekanisme ini menelanjangi fenomenologi Husserl
dengan cara yang sama, ketika tulisan mempermasalahkan dan
menurunkan tuturan dari tempat istimewanya. Persepsi akan selalu
berupa representasi, sebagaimana juga tuturan selalu mengandaikan
(meskipun sangat ingin melupakan) adanya differance tulisan.

Fenomenologi dan/atau Strukturalisme?

Kadar “penolakan” Derrida terhadap Husserl sama dengan


ketidaksetujuannya terhadap linguistik Saussure atau antropolo-
gi struktural Levi-Strauss . Dari teks-teks kedua pemikir ini,
dia menemukan serangkaian gagasan yang paradoks; mereka
berhadapan dengan argumen yang mereka tawarkan sendiri dalam
teks-teks tersebut, dan hal ini membuka kesempatan bagi pembaca
dekonstruktif. Di samping itu, teks-teks tersebut dipilih karena ke-

92
rigid-an dan kejelasannya yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
yang ingin ditohokkan Derrida padanya. Bahwa tohokan itu diberikan
Derrida dengan cara yang amat rumit dalam rangka membantah
maksud mereka yang memang sudah jelas. Namun begitu, hal ini
dilakukan bukan ingin mengotak-atik proyek itu semata. Masalah
ini mengemuka dalam salah satu wawancara yang dilakukan Julia
Kristeva (diterbitkan kembali dalam Positions, edisi terjemahan
terbit tahun 1981). Apa sebenarnya yang menjadi status “metode”
dekonstruktif? Tidakkah metode ini juga memakai konsep-konsep
tertentu tentang “kebenaran”, yang digunakan untuk membantah
teks-teks yang sedang dipermasalahkannya? Bagaimana cara Derrida
memetakan kehati-hatian dan kecurigaannya terhadap bahasa
metafisis, padahal dia mau tak mau, harus berkarya di dalam bahasa,
apalagi ketika dia mengklaim akan menelanjangi seluruh struktur
konseptual bahasa tersebut?
Seperti biasanya, Derrida menjawab pertanyaan tersebut
dengan cara membalikkannya, dengan tujuan agar terma-terma
argumen yang disederhanakan ini bisa kelihatan. Jika memang tidak
ada kemungkinan untuk bercerai dengan metafisika Barat, itu sama
saja dengan kasus bahwa bagaimanapun setiap teks adalah milik
tradisi yang “bermain api” dengan potensi yang memberi kesempatan
bagi pembacaan dekonstruktif. Sebagaimana dinyatakan Derrida,
“Dalam proposisi apa pun, atau dalam setiap sistem riset semiotika,
pengandaian-pengandaian metafisika lahir kembar dengan motif-
motif kritik” (Derrida, 1981: 36). Oleh sebab itu, dekonstruksi
adalah aktivitas yang dikerjakan oleh teks-teks, yang pada akhirnya
akan mengumumkan dan mengakui keparsialan terhadap apa yang
mereka nyatakan sendiri. Dampak hal ini adalah bahwa pembacaan
yang benar-benar tepat akan dengan sendirinya membuka diri untuk
dekonstruksi selanjutnya atas konsep-konsep yang ditawarkannya.
Inilah sebabnya kenapa Derrida sering kali kembali kepada
penulis seperti Husserl, karena tulisan-tulisannya sangat problematis
bila ditelaah dengan pembacaan biasa dan definitif. Teks-teks Husserl
93
memungkinkan kita mendefinisikan secara tepat titik di mana
pikiran bertemu dengan aporia —atau paradoks yang diciptakan
sendiri— yang tidak bisa dia hindari. Istilah aporia ini sering kali
dipergunakan Derrida dan para pengikutnya, seperti Paul de Mann,
yang menginginkan dekonstruksi bisa melampaui kemungkinan-
kemungkinan terjauhnya. Kamus The Oxford English Dictionary
malah menghindari pemberian definisi siap pakai, namun tetap
memberikan dua contoh kuno tentang kata ini —keduanya berasal
dari buku pegangan retorika— yang berbau kecurigaan dan jauh
dari maknanya yang asli.
Puttenham, dalam bukunya English Poesie (1589), merujukkan
kata itu pada Aporia atau Keraguan. Jelasnya, kita sering kali seolah-
olah menghadapi masalah besar dan meragukan segala sesuatu,
padahal kita mengucapkannya dengan kata-kata yang jelas, baik
untuk menegaskannya atau menolaknya. Meskipun secara moralitas
lebih ringan dibanding arti di atas, namun dari segi kerancuan yang
disebabkan kata ini dapat dilihat dalam entri dari edisi terbitan
tahun 1657: Aporia adalah sosok di mana penutur memperlihatkan
keraguan yang dialaminya, baik itu disebabkan masalah yang terlalu
banyak, maupun yang terjadi akibat tindakan atau perkataan yang
menggunakan hal atau kata yang ambigu. Jelasnya, posisi konsep
aporia selalu dicurigai, bahkan dinilai sinis di dalam sistem retorika
tradisional. Keterangan dari kamus ini lebih dari sekadar petunjuk
bahwa penggunaan kata aporia yang ambigu dan rumit dalam
retorika dekonstruksi merupakan hal yang tidak terelakkan.
Aporia berasal dari kata Yunani yang berarti “jalan buntu”,
sebuah arti yang memperlihatkan unsur paradoksikal yang terdapat
dalam perkembangan lebih lanjut penggunaan kata ini. Di tangan
Derrida, kata ini merupakan kata yang paling cocok untuk mewakili
efek-efek differance dan “logika” pembentukan deviasi. Apa yang
sebenarnya ingin diperlihatkan dekonstruksi ialah harga mati milik
pemikiran yang disebabkan oleh retorika yang selalu membungkam
sisi-sisi tekstualnya demi klaim kebenaran filsafat. Untuk melihat
94
bagaimana sebenarnya sisi-sisi tersebut, ada baiknya kita sedikit
melihat kemungkinan membalik represi filsafat terhadap tulisan
yang sudah berlangsung sangat lama. Menurut Derrida, cara ini akan
memperlihatkan “tulisan tempat filsafat disalin (inscribed) sebagai
wadah tempat berlakunya satu sistem yang justru tidak diinginkan
filsafat”. Tapi, cara ini tetap bersifat temporal, karena teks-teks
tersebut —sebagiamana juga proyek dekonstruktif lainnya— mau
tak mau tetap akan terikat dengan filsafat Barat.
Di dalam tulisan-tulisan Derrida, terdapat tema-tema kerinduan
akan adanya “permainan bebas” tulisan, yang pada akhirnya akan
melepaskan diri dari kebijaksanaan bahasa yang kaku dan terinstitu-
si. Bahkan tema ini menimbulkan akibat anarkis di dalam teks-teks
Derrida selanjutnya (yang akan saya bahas nanti). Tapi, secara umum,
Derrida mengatakan bahwa dekonstruksi harus “menggerogoti
dari dalam” atau menelanjangi teks-teks filsafat dengan meminjam
konsep-konsep filsafat itu sendiri.
Saling ketergantungan antara filsafat dan dekonstruksi ini
merupakan bukti paling nyata tentang hubungan Derrida dengan
Husserl. Dalam esainya, “Genesis and Structure” (Derrida, 1978), dia
berusaha menempatkan momen penangguhan atau keraguan, di mana
Husserl ketika itu berhadapan dengan pilihan mustahil antara dua
hal yang sama-sama valid, tapi memiliki skema penjelasan yang sama
sekali tidak berhubungan. Skema penjelasan tersebut secara umum
dapat kita sebut fenomenologi dan strukturalisme. Fenomenolo-
gi ingin menjelaskan pengetahuan dan pengalaman dengan cara
memberikan eksplanasi “genetik” tentang bagaimana pikiran (atau
ego transendental dalam istilah Husserlian) membentuk realitasnya
sendiri. Sedangkan strukturalisme menjauhkan diri dari metode
tertentu —dengan mencurigainya telah dipengaruhi subjektivis-
me— dan memilih untuk berpihak pada “struktur” sebagai jaminan
paling bersih dan aman. Dua dimensi pemikiran ini adalah rambu-
rambu yang harus dituruti Husserl, jika dia ingin proyeknya tidak
ditunggangi motif dan gagasan-gagasan yang tidak kritis.
95
Kemudian, Derrida mengatakan bahwa masalah di atas bukan
hanya dihadapi fenomenologi Husserlian saja, tapi juga oleh seluruh
pemikiran filosofis yang telah berhasil menjangkau level-level
kesadaran tertentu. Subjektivisme bukan satu-satunya jebakan yang
harus dihindari filsafat. Strukturalisme pun memiliki sisi berbahaya-
nya sendiri, bahaya yang telah diperingatkan dengan cepat dan sangat
baik oleh Husserl melebihi pemikiran mana pun. Konsep struktur
dengan mudah tidak bisa lagi diotak-atik bila diandaikan telah
menjadi bagian dari sesuatu yang “objektif” atau status yang telah
valid dalam dirinya. Dengan pemahaman seperti ini, sebagaimana
juga yang dikatakan Derrida, bisa dikatakan bahwa pada saat yang
bersamaan strukturalisme akan selalu menjadi gestur spontan dari
filsafat. Dasar penjelasan tentang “struktur” akan selalu tersedia
ketika pikiran mencoba mengabaikan persoalan bagaimana konsep
regulatif struktur tersebut mulai berperan. Hal yang sesungguh-
nya diperlihatkan Husserl, meskipun tidak terlalu runtut, adalah
kesenjangan (atau aporia) antara strukturalisme dan segala prasangka
objektivitasnya, dengan segala sesuatu yang tidak bisa dijelaskannya
dengan menggunakan terma-terma struktural.
Seluruh usaha Husserl dimaksudkan untuk menggabung-
kan dua tatanan pemikiran yang berbeda ini, yang tidak bisa saling
direduksi ke dalam salah satu sisi saja, namun juga tidak bisa
diandaikan dapat berdiri sendiri-sendiri secara terisolasi. Apa yang
dicari kaum strukturalis, sebagaimana yang dibaca Derrida, selalu
berupa bentuk atau fungsi yang terorganisasi berdasarkan legalitas
internal, tempat setiap elemen bisa memiliki makna, hanya dalam
keutuhan korelasi atau oposisi antarelemennya (Ibid.: 157). Di sisi
lain, “eksplanasi genetik” adalah pencarian asal-usul dan fondasi
struktur tersebut. Dalam buku Speech and Phenomena, dijelaskan
bahwa objek-objek, seperti ide tentang “asal-usul” dan “fondasi”,
didekonstruksi dengan cara membuktikan bahwa objek-objek ini
selalu dinyatakan dalam bentuk struktur-struktur diferensial makna.
Dalam esai “Genesis and Structure”, argumen yang dipakai Derrida
96
tidak diambil dari sudut yang berlawanan, akan tetapi ditarik
dari perspektif lebih luas, yang mengakui kepastian kedua sistem
pemikiran yang tidak bisa direduksi itu.
Kritik Derrida terhadap strukturalisme berlanjut dalam esainya
yang berjudul “Force and Signification”. Esai ini ingin mempertanya-
kan persoalan-persoalan kecukupan internal satu teori yang diberikan
kepada satu sistem atau konsep. Strukturalisme selalu tampil ke muka
ketika pikiran mulai bersentuhan dengan bentuk-bentuk susunan
dan kestabilan. Capaian strukturalisme, betapa pun mengesankan-
nya, secara intrinsik hanya terbatas pada refleksi-refleksi terhadap
hal-hal yang telah digabungkan, dibentuk, dan dikonstruksi
(Derrida, 1978: 5). Yang mengherankan dari konseptualisasi statis
ini adalah “kekuatan” atau tekanan yang mengendalikan maksud
dan pengertian yang menjadi mata simpul struktur.
Di sini, Derrida kelihatan sangat dekat dengan penegasan
Husserl tentang muatan “ekspresi” langsung yang mampu melindungi
tanda-tanda dari kekakuan mematikan dari konvensi. Kemudian,
dia melanjutkan argumennya ini dengan membandingkan hasil
analisis kaum strukturalis dengan sebuah kota yang hancur lebur
akibat “bencana alam” misterius. Akan tetapi, maksud inti metafor
ini bukanlah ingin menegaskan kembali tema-tema kehadiran atau
ekspresi, sebagai lawan dari differance inskripsi struktural, akan tetapi
bermaksud membuktikan bahwa strukturalisme itu sendiri muncul
dari keterputusannya dari satu sikap (fenomenologi) yang sesungguh-
nya tidak bisa dia tolak, tetapi harus selalu dipertanyakannya. Konsep
struktur ditarik dari dalam dengan cara menafikan status konseptual-
nya, dan memperlihatkan bagaimana dia berfungsi sebagai metafor,
guna memasok energi tak terkendali dari makna-makna. Struktural-
isme dan fenomenologi terlihat berada dalam aporia yang saling
berkaitan satu sama lain, yang masing-masing tidak bisa berdiri
dengan hanya memanfaatkan taktik dan prinsip sendiri-sendiri,
namun keduanya saling bergantung pada pemahaman maksimal
dari lawan masing-masing.
97
Penjelasan konvensional yang diberikan kritik sastra Prancis
modern cenderung mereduksi hubungan antara fenomenologi dan
strukturalisme ini, menjadi sekadar persoalan pergantian “mazhab
pemikiran” atau gelombang kepentingan belaka. Kritik sastra Prancis
modern mengandaikan strukturalisme lahir dari fenomenologi
dan kemudian meninggalkannya —menolak asumsi-asumsi dan
mengembangkan landasan teori alternatif. Sepintas lalu, gagasan ini
memang masuk akal. Yang pasti, fenomenologi telah membentang-
kan landasan bagi strukturalisme, dengan lebih memfokuskan
perhatian pada cara-cara bagaimana kesadaran mencerap (perceive)
dan mengerti (make sense) dunia. Dia menyediakan sebuah filsafat
bahasa, di mana ide tentang struktur telah ada secara implisit,
karena dalam fenomenologi makna dilihat sebagai jalinan produktif
antara teks dengan usaha pembaca untuk menemukan pemahaman.
Sedangkan perbedaan fenomenologi dengan strukturalisme terletak
pada asumsi (mengikuti Husserl) yang menyatakan bahwa makna
selalu berupa ekses kreatif, dia selalu melampaui bentuk penjelasan
apa pun tentang asal-usulnya, bila penjelasan tersebut didasarkan
pada konsep struktur.
Maurice Marleau-Ponty, penerus pemikiran Husserl paling
terkenal, menyatakan masalah ini dengan baik sekali. Bahasa —dan
khususnya tuturan— merepresentasikan:
cara yang paradoks tempat kita berusaha mengiringinya—
mempergunakan kata-kata yang telah memiliki rasa (sense) yang
given— dengan maksud yang telah mendahului, memodifikasi, dan
pada akhirnya menstabilkan makna-makna kata yang menerjemah-
kan maksud tersebut. (Marleau-Ponty, 1962: 389).

Berdasarkan pendapat ini, bahasa dalam penggunaan


“kreatifnya” telah melampaui apa yang bisa dijelaskan dalam terma-
terma makna yang murni “terstruktur” atau pra-eksis. Berlawanan
dengan pemikiran kaum strukturalis, fenomenologi memperlihat-
kan “ekses petanda di atas penandaan” yang menempatkan petanda
di luar jangkauan segala bentuk pencarian eksplanasi reduktif.

98
Gagasan tentang “surplus” kreatif atau intensional dalam
makna ini harus berupaya keras menjelaskan kerumitan yang
terjadi antara strukturalisme dan fenomenologi. Penerapan prinsip-
prinsip pemikiran kaum strukturalis, paling tidak pada tahap awal
kemunculan aliran ini, pada dasarnya adalah penolakan terhadap
pandangan yang mengatakan bahwa makna berada di luar atau di
balik aliran bahasa yang pra-eksis. Namun, tidaklah sulit mengetahui
bagaimana satu dialog bisa terjadi antara fenomenologi dengan tema,
tulisan, dan dekonstruksi yang terdapat di dalam teks-teks kaum
post-strukturalis. Dan Marleau-Ponty pun kelihatannya berjalan
ke arah ini—terutama jika kita memerhatikan pikiran-pikiran yang
dituangkannya dalam esai-esai yang terakhir, dan terutama sekali
yang dikumpulan dalam Signs (1964).
Refleksi Marleau-Ponty mencoba merenungkan kemustahil-
an, memisahkan “struktur” dari “makna”, atau ekspresi dari apa-apa
yang mendahuluinya, dan membuat ekspresi tersebut bisa hadir.
Menurutnya, “bahasa hanya bisa dikenali sebagai pertandaan yang
tidak ada bandingannya, yang disebabkan oleh adanya pertanda
yang merupakan syarat utama agar proses pertandaan bisa terjadi”
(Marleau-Ponty, 1964: 90). Ketika dihadapkan pada dua cara
yang tidak bisa direduksi, namun juga tidak bisa dipisahkan dan
saling terkait, deskripsi seperti ini menandakan adanya pergeseran
pemikiran yang terjadi pada Marleau-Ponty bila dibandingkan
dengan pendapat-pendapat awalnya. Deskripsi ini menyatakan
bahwa struktur masih harus dipertahankan demi kepastian pikiran
yang terlepas dari aplikasinya yang lebih rigid.
Masalah ini akan terlihat lebih jelas lagi ketika membaca
sebuah esai tentang Matisse yang dibuat ketika mengomenta-
ri sebuah film dokumenter tentang proses kreatif Matisse sebagai
seorang seniman. Menjadi keliru, kata Marleau-Ponty, “meyakini”
apa yang digambarkan sebuah film sebagai “polesan akhir” yang
memberi ilham, tapi pada saat yang sama juga sebagai pertimbang-
an-pertimbangan bagi polesan tersebut. Dengan gestur yang
99
sederhana, Matisse dijadikan pemecah persoalan yang mengakibat-
kan munculnya data-data yang tak terhitung. Proses penciptaan
adalah sesuatu yang tidak bisa dipikirkan, kalau “dipikirkan”
diartikan sebagai “selalu menekankan pertentangan antara deskripsi
ekspresif dengan deskripsi struktural”. Akan tetapi, sebagaimana yang
dinyatakan Marleau-Ponty, proses tersebut adalah:
garis terpilih yang ditentukan dengan cara-cara tertentu, seperti
mengamati dan menebar pandangan ke permukaan sebuah
lukisan, dua puluh syarat yang tidak bisa diformulasikan —bahkan
cenderung mustahil— kecuali bagi Matisse saja, karena syarat-syarat
tersebut ditentukan dan dibentuk oleh maksud (intention) Matisse
yang diarahkannya pada lukisan yang belum eksis. (Ibid.: 46).

Kutipan ini ingin menyatakan, lebih jelas daripada penjelasan


abstrak yang selama ini ada, tentang keparadoksan yang ditemukan
Marleau-Ponty di jantung bahasa dan setiap sistem pertandaan
yang lain. “Kelebihan” struktur yang disebabkan makna tidak
bisa dideskripsikan hanya dalam terma-terma “maksud: subjektif
belaka”. Marleau-Ponty di satu sisi terlihat sependapat dengan
kaum strukturalis, saat dia menganggap makna selau diinskripsi-
kan ke dalam pengaturan rasa (sense) pra-eksis yang tidak mudah
dikendalikan. Di lain pihak, dia memperlihatkan bahwa keadaan
ini, dengan membuat latar yang kompleks bagi kumpulan rasa
(sense) tersebut, membuat makna bisa muncul dengan cara yang
baru, dan tidak bisa diperkirakan sebelumnya. Filsafat Marleau-
Ponty yang muncul belakangan selalu mencari “momen-momen
subur” saat makna menemukan struktur yang bisa dipergunakan
artis untuk mengaturnya, dan pada saat yang bersamaan bisa pula
diakses orang lain.
Paradoks ini jugalah yang didekati strukturalisme dari arah yang
berlawanan. Kalau Marleau-Ponty menemukan makna di ambang
penyerahan dirinya terhadap struktur, maka Barthes melihat struktur
selalu menghasilkan kemungkinan-kemungkinan rasa (sense) baru.
Derrida kelihatannya juga mengarah pada titik singgung yang sama

100
dalam sebuah esainya tentang strukturalisme dan fenomenolo-
gi. Dengan mendekonstruksi permainan konsep dan metafor yang
terdapat di balik dua aliran filsafat ini, Derrida berhasil menemukan
formulasinya sendiri tentang masalah yang dihadapi Marleau-
Ponty. Strukturalisme hidup bergantung pada apa yang disebutnya
“perbedaan antara yang dijanjikan dengan yang dipraktikkannya”.
Apa yang dipraktikkannya harus memberikan jalan bagi metafor-
metafor yang amat menarik itu, yang berasal dari linguistik struktural,
yang dengan jaminan “kekuasaan” atau struktur, mengangkat dan
melemparkan “bentuk” ke dalam kekacauan dan ketidakpastian apa
yang di dalam dan di balik struktur itu sendiri. Sedangkan “apa yang
dijanjikan” muncul dari sisi lain, yaitu kritik dari yang ada dalam
pemikiran kaum strukturalis, yang secara implisit mempertanyakan
landasan metodologisnya sendiri. Menurut Derrida, akan selalu ada
sebuah “keterbukaan/ketelanjangan” yang akan menyusahkan dan
membuat frustrasi kaum strukturalis dalam proyek mereka. “Apa yang
tidak pernah bisa saya pahami menyangkut sebuah struktur adalah
kenapa dia tidak pernah tertutup” (Derrida, 1978: 160). Karena
itu, di sinilah letak pentingnya fenomenologi Husserlian, karena dia
akan selalu membayangi dan mengkritisi pemikiran strukturalisme.
Apa yang telah dibuktikan Husserl, bahkan sering kali berlawanan
dengan maksudnya sendiri, adalah bahwa secara prinsipil, esensial,
dan struktural menjadi mustahil bila fenomenologi struktural itu
bisa tertutup” (Ibid).
Isyarat yang diberikan Derrida jelas-jelas ingin menentang
pendapat yang mengatakan bahwa strukturalisme telah berhasil
melepaskan diri dari masa lalunya. Khayalan ini —belakangan masih
bertahan di kalangan kelompok strukturalis Kiri— mengabaikan
ketertutupan dan kekakuan konseptual yang ditunjukkan Derrida
tersebut. Juga salah, dengan alasan yang sama, menganggap
dekonstruksi sebagai bagian dari pemikiran “post-strukturalisme”,
kalau post-strukturalisme diartikan sebagai pengganti dan pengkritik
proyek strukturalisme. Tanpa ada perbedaan dan ketegangan antara
101
“praktik” dan “janji” yang terdapat di dalam pemikiran kaum
strukturalis, Derida tentu akan kesulitan melontarkan pertanyaan-
pertanyaan yang menjadi ruh tulisan-tulisannya. Dekonstruksi
adalah sesuatu yang selalu memperingatkan strukturalisme tentang
apa yang harus dilakukannya, jika dia ingin menghindari jebakan-
jebakan konsep penuh nafsu tentang metode.
Disebabkan maksud-maksud (intentions) yang begitu banyak
dan, seperti setiap pertanyaan terhadap bahasa, strukturalisme
mencoba melarikan diri dari sejarah klasik ide-ide yang telah lebih
dahulu mengandaikan kemungkinan-kemungkinan yang sekarang
dimilikinya, karena kemungkinan ini toh telah menjadi bagian dari
bahasa dan meneguhkan posisi di dalamnya.
“Maksud-maksud (intentions) yang terlalu banyak ini”
merupakan aspek pemikiran kaum strukturalis yang selalu
mengedepankan reduksi metodologis, dan inilah yang ingin
dibeberkan Derrida. Di samping itu —sebagaimana yang telah
diperlihatkannya ketika membedah pemikiran Saussure— Derrida
berpendapat bahwa strukturalisme diarahkan hanya untuk bergabung
kembali dengan tradisi yang notabene selalu menjanjikan perubahan
dan transformasi. [*]

102
Bagian Keempat
NIETZSCHE:
FILSAFAT DAN DEKONSTRUKSI

• Nietzsche, Plato, dan Kaum Sophis


• Dekonstruksi Beroda Dua
• Tulisan dan Filsafat
• Sesudah Interpretasi
• Nietzsche dan Heidegger
• Payung Nietzsche
Nietzsche: Filsafat dan Dekonstruksi

Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) mewariskan kepada


para filosof modern sesuatu yang menurut para pemikir lain —pada
waktu itu—dipandang sebagai sebuah skandal yang terbungkus rapi
dalam kerumitan. Salah satu reaksi yang muncul saat itu mengatakan
bahwa Nietzsche-lah yang menjadi pemicu fenomena NAZI. Dia
adalah pemikir yang memiliki pandangan “tidak rasional” dan
berpretensi megalomaniak yang telah membentangkan jalan bagi
Hitler dan ideologinya. Anggapan ini memang tidak bisa sepenuhnya
ditolak, karena muncul dari pembacaan parsial atas pemikiran
Nietzsche, yang diperkuat lagi oleh beberapa penerus pemikiran-
nya, dan tidak dapat diragukan lagi, beberapa penerus itu memiliki
pengaruh luas/kuat, meskipun tidak seluas apa yang dibayangkan
orang-orang yang tidak sepakat dengan Nietzsche. Mitologi-
mitologi Nietzsche, ide tentang Adimanusia, dan “pengulangan
abadi” (eternal recurrence) bisa dikatakan sangat “menderita” karena
dituduh bersalah.
Namun, yang tidak bisa dimungkiri adalah kenyataan bahwa,
di dalam tulisan-tulisannya, Nietzsche telah melontarkan kritik
tajam terhadap filsafat Barat dan segenap pengandaian-pengandaian
yang memiliki kekuatan perusak. Aspek pemikiran Netzsche seperti
inilah yang meninggalkan bekas dalam teori dan praktik dekonstruk-

105
si. Kalau kita mengatakan pemikiran Nietzsche “memengaruhi”
teori dan praktik dekonstruksi rasanya kurang tepat, karena kata
“memengaruhi” mengandaikan adanya konsep dan gagasan siap-
pakai yang ditawarkan Nietzsche, seolah-olah pemikirannya itu
berada dalam tradisi yang memiliki otoritas tertentu. Apa yang
diperlihatkan Derrida adalah jalan di mana tulisan mampu melewati
segala bentuk klaim “keras kepala”, yang dihamparkan oleh sejarah
tradisional ide-ide. Kalau teks-teks tidak terikat dengan maksud
kepengarangan (authorial) dan terbuka bagi dekonstruksi rasikal,
maka tidak usah dipertanyakan lagi, kenapa Derrida begitu asyiknya
terlibat dengan pengaruh Nietzsche, dan membiarkan ide-idenya
bekerja di dalam konteks post-strukturalisme modern. Di pihak
lain, apa yang disediakan Nietzsche adalah gaya penulisan filosofis
yang tetap mempertahankan sikap skeptis terhadap klaim-klaim
kebenaran—termasuk kebenaran dia sendiri—dan kemudian
membuka kemungkinan pembebasan pikiran dari seluruh batas
konseptual yang selama ini mengurungnya.
Di sini, Nietzsche tidaklah dilihat sebagaimana dia memandang
dirinya sendiri, sebagai orang yang telah menelanjangi kebobrokan
metafisika Barat. Seperti Saussure atau Husserl, Nietzsche di
beberapa segi masih terpenjara dalam gagasan konvensi-konvensi
pemikiran lama yang terdapat di dalam tulisan-tulisannya. Inilah
yang harus kita nyatakan. Gagasan-gagasan tersebut, sebagaima-
na yang selalu diingatkan Derrida, berakar kuat di dalam struktur
logika dan komunikai bahasa. Begitu berakarnya gagasan-gagasan
itu, sehingga memisahkan diri darinya akan berisiko jatuh pada
kegilaan atau non-komunikasi total (Nietzsche sendiri dinyatakan
gila dan tidak menghasilkan apa-apa, kecuali catatan kacau-balau
dan tidak bisa dimengerti selama hampir 16 tahun kehidupannya).
Tidak seperti kebanyakan filosof lain dalam tradisi Barat, Nietzsche
berusaha keras mendobrak batas-batas bahasa dan pemikiran yang
juga ingin didefinisikan Derrida. Dia telah lebih dahulu menerapkan
gaya dan strategi tulisan Derrida dalam bentuk dua hal yang jalin-
106
menjalin dalam hubungan resiprokal yang tidak murah.
Alasan kenapa hal ini terjadi tidaklah sulit ditemukan.
Nietzsche sering kali terlihat ingin melontarkan program dan
taktik dekonstruksi sistematis, dengan cara mengambil sikap skeptis
dan menahan diri dari setiap metode dan konsep yang baku dan
diterima tanpa banyak cakap. Menurutnya, filosof adalah orang
dungu yang menipu diri sendiri dengan “kebenaran” yang selalu
diawetkan dengan cara menyingkirkan metafor-metafor atau wacana
figuratif, padahal metafor-metafor inilah yang melahirkan kebenaran
tersebut. Jika pada dasarnya bahasa bersifat metaforis, dan makna-
maknanya (sebagaimana yang dibuktikan Saussure di kemudian
hari) terdapat di mata rantai hubungan dan perbedaan yang tak
berujung, maka pikiran sebenarnya telah tertipu ketika berkeingin-
an mencari kebenaran yang terdapat di luar lika-liku bahasa. Hanya
dengan cara membungkam asal-usulnya dalam metafor, dari Plato
sampai hari ini, sajalah filsafat bisa menancapkan pengaruh tirani
rasio, yang sama sekali memusuhi segala hal yang berkaitan dengan
bahasa-bahasa figuratif. Rasio telah menindas kehidupan imajinatif
filsafat, sebagaimana halnya dia juga —menurut pandangan
Nietzsche— telah merusak kegairahan atau elemen “Dionysian”
dalam tragedi Yunani klasik. Socrates —dan Kristus yang telah
“dibunuh” Nietzsche— adalah pihak yang paling bertanggung jawab
atas hancurnya kehidupan tersebut, sisi keanekaragaman dan riang-
gembira pemahaman manusia. Menghidupkan kembali tradisi yang
telah terkubur ini berarti harus memperlihatkan bagaimana proses
“rasio” merampas tempat keriangan tersebut dengan sistematis
melawan dan mencurigai sisi retorikal bahasa.
Kesan yang bisa diambil dari Nietzsche ini memperlihat-
kan bagaimana besarnya sikap skeptis dia terhadap pengetahuan
dan kebenaran. Apalagi yang tersisa —tanya Nietzsche— saat kita
melihat segala kerumitan dan penggantian secara simultan yang
telah disembunyikan bahasa, dan dia terus melenggang melanjutkan
usahanya yang tak pernah jujur? Nietzsche menyimpulkan bahwa,
107
kebenaran:
adalah barisan tentara metafor, metonimi, dan antropomorfis-
me yang sedang bergerak... Kebenaran adalah ilusi yang tidak lagi
diingat orang sebagai sebuah ilusi... Kebenaran adalah sebuah koin
yang telah kehilangan gambar permukaannya, dan saat ini dia tidak
lagi bisa dianggap sebagai mata uang. Sekarang koin itu hanya
sekeping logam belaka.... (dikutip oleh Spivak, dalam Derrida,
1977a: xxii)

Bagi Nietzsche, isyarat ini membawanya pada kesimpulan


bahwa seluruh filsafat, apa pun klaim mereka tentang logika atau
rasio, tergeletak di permukaan bahasa figuratif yang sedang bergeser,
tanda-tanda (signs) yang secara sistematis direpresi di bawah tekanan
kebenaran. Relativitas makna ini dan cara-cara di mana para filosof
telah menyembunyikan atau menghambat metafor-metafor bahasa
yang ada, adalah titik tolak tulisan-tulisan Derrida, sebagaimana juga
yang dilakukan Nietzsche sebelumnya.
Sudah barang tentu banyak sekali preseden yang menunjukkan
bahwa pada dasarnya bahasa itu berkarakter metaforis. Doktrin
ini paling tidak bermula di masa Romantik Jerman, terus pada
Coleridge, dan sampai kepada kritikus sastra modern seperti I.A.
Richards, ketika bukunya Philosophy of Rethoric (1936) menjelaskan
secara teperinci arti penting metafor dalam bahasa. “Pikiran adalah
metaforis”, tegas Richards, “dan sisi metaforis bahasa berasal dari
sini.”
Ketika membahas pandangan tradisional mengenai metafor
(pandangan yang mengatakan metafor tidak lebih dari sekadar
tambahan yang dibubuhkan ke dalam bahasa), dan ketika
mengembalikan keunggulan metafor tersebut ke tempatnya semula,
Richards menempuh cara yang sama dengan pemikiran kaum
dekonstruksionis. Perbedaan antara dia dan kaum dekonstruksionis
terjadi ketika dia mengatakan bahwa: “Untuk mengembalikan teori
metafor, kita harus lebih memerhatikan kemampuan pikiran yang
kita miliki, dan kemudian menerjemahkan kemampuan tersebut ke

108
dalam ilmu-ilmu yang bisa diperdebatkan (Richards, 1936: 116).
Namun, dalam pendapat ini masih tersisa implikasi yang tidak
diinginkan, meskipun Richards sangat mengutamakan metafor,
yaitu keberadaan sebuah “ilmu” atau meta-bahasa logis, yang bisa
melangkah keluar domain figuratif dan menemukan kekhasan-
kekhasan versinya sendiri.
Asumsi ini melekat kuat dalam pemikiran Richards, sebagaima-
na akhirnya juga di hampir semua filsafat dan kritik sastra
Anglo-Amerika modern. Dalam tulisan-tulisan awalnya, Richards
menawarkan teori bahasa puitik yang bersifat “emotif”. Artinya, puisi
harus dinilai berdasarkan kekuatan metafor evokatif dan semangat
hidupnya. Ini dimaksudkan untuk melepaskan diri dari kekakuan
syarat-syarat kebenaran yang dikemukakan filsafat positivisme-logis.
Pembedaannya ini kemudian dilanjutnya oleh Kritik Baru Amerika,
dan menjadi dasar skema retorika mereka tentang eksplanasi. Dari
sini, terbentuklah jurang yang memisahkan puisi dan pengetahuan
rasional, jurang tak berpenghuni yang tidak bisa dilewati kecuali oleh
orang-orang yang berhati-hati mengamati “keanehan” logika bahasa
metaforis. Strukturalisme tahap awal yang penuh prasangka saintistik
berada di daerah yang sama. Kritik sastra kemudian menawarkan
syarat sebuah meta-bahasa atau sebuah teori yang padu tentang teks
yang mendapatkan kekuatan eksplanasinya persis pada rasa (sense)
objektivistik yang kaku ini.
Derrida mengikuti jejak Nietzschean yang telah memisahkan
diri dari konsep metode dan validitas yang hanya mengakui dirinya
sendiri. “Ilmu pengetahuan”, berdasarkan arti kata yang diperguna-
kan Derrida, “merupakan wacana yang berkaitan dengan ideologi
represif rasio, yang muncul (sebagaimana dikatakan Nietzsche) dari
penyamaan bangsa Yunani antara kebenaran dengan logika.” Yang
ingin dicari Nietzsche maupun Derrida bukan semacam logika
“alternatif” dari bahasa figuratif, akan tetapi sebuah wacana pluralitas
terbuka di mana seluruh prioritas telah ditanggalkan demi sebuah
“permainan bebas” tanda-tanda. Dalam esainya, “Structure, Sign
109
and Play”, Derrida menulis tentang dua macam “interpretasi dan
interpretasi”. Jurang yang memisahkan dua macam interpretasi inilah
yang digali dalam perdebatan modern tentang bahasa dan metode.
Jenis interpretasi pertama adalah interpretasi kaum “strukturalis”.
Derrida menerapkan arti istilah ini ke dalam tradisi yang sangat luas
dan telah berumur panjang, yaitu tradisi pemikiran Barat. Kaum
strukturalis tertarik dengan menginterpretasikan makna-makna
yang dipergunakan pikiran untuk memahami dan mengerti (make
sense) tumpukan pengalaman tak beraturan. Perbedaan yang dimiliki
kalangan strukturalis dari segi tatanan dan kestabilan terjadi akibat
perburuan mereka terhadap makna-makna tersebut.
Di satu sisi, strukturalisme merupakan sikap yang dapat sangat
baik ditampakkan oleh Levi-Strauss. Dia memilih konsep struktur
sebagai penolakan terhadap gerakan tak tentu arah differance murni.
Di sisi lain, strukturalisme dihadapkan kepada pilihan sulit yang lebih
banyak lagi, yaitu penegasan Nietzsche tentang drama dunia ini dan
segala omong kosong tentang proses, tentang dunia tanda-tanda
tanpa kesalahan, tanpa kebenaran dan tanpa asal-usul yang akan
disodorkan kepada interpretasi aktif (Derrida, 1978: 292). Inilah sisi
pemikiran Nietzsche yang bukan lagi hanya sekadar “memengaru-
hi”, tapi juga dalam banyak hal telah memelopori apa yang akan
menjadi proyeksi dekonstruksi.

Nietzsche, Plato dan Kaum Sophis

Kritik Nietzsche terhadap filsafat memiliki cakupan historis


yang sangat luas, begitu pula dengan semangatnya dalam
menghantam seluruh arus pengetahuan konvensional. Kritik ini
terdiri atas cakupan luas genealogi moralitas dan pemikiran Barat,
sebuah “survei penyembuhan” yang dilakukan sampai ke dasar-dasar
rasio yang dibangun di masa Yunani kuno. Bagi Nietzsche, tradisi
ini dipancangkan ke dalam peradaban dengan memanfaatkan gaya
argumen dialektika yang ditemukan Socrates, dan dilanjutkan oleh

110
tulisan-tulisan muridnya, Plato.
Bagi Nietzsche, metode dialektika yang dipergunakan untuk
menggali “kebenaran” dari segenap kebijaksanaan dan ketidakbijak-
sanaan yang bercampur baur, tidaklah lebih dari sekadar bentuk lain
permainan retorika. Bagaimanapun, kesan persuasif (memengaru-
hi) metode dialektika tetap berkeinginan memonopoli klaim rasio,
wibawa, dan kebenaran buat dirinya sendiri. Dan hasilnya, filsafat
menjadi enggan bersentuhan dengan retorika dan sama sekali
tidak mau melirik seni bahasa (khususnya menulis), karena dia
memandang kedua hal ini menjadi sumber kesalahan dan penuh
dengan isapan jempol belaka.
Di antara kelompok yang jadi sasaran sikap melecehkan ala
Socrates ini adalah para filosof-retoris yang dikenal dengan nama
kaum Sophis, yang juga hampir sezaman dengannya, sebuah nama
yang sampai saat ini masih berkonotasi —seperti yang dikatakan
Plato— sebagai kelicikan verbal yang dibumbui dengan tipuan-
tipuan berkedok persuasif. Socrates digambarkan dalam buku
Plato, Georgias, sedang berusaha melewati argumen berputar-putar
kaum Sophis. Di sini dialektika, seperti biasanya, memang dengan
cara menempatkan pertanyaan-pertanyaannya, setepat-tepatnya,
dan memojokkan lawan ke dalam satu posisi yang lemah menurut
pendapat Socrates. Tujuan buku ini, yang disimpulkan dengan begitu
kejam, adalah untuk membuktikan bahwa retorika tidak memiliki
rasio atau kesadaran moral; yaitu, secara etis, kekuatan-kekuatan
persuasif retorika sama sekali tidak bisa dibedakan dan bisa menjadi
tempat bersarangnya biang keladi kesalahan dan keburukan.
Adapun Nietzsche, dia tidak bermaksud mengingkari
kemungkinan adanya potensi-potensi penyimpangan yang terdapat
di dalam retorika, akan tetapi dia ingin membuktikan bahwa
Socrates sendiri sebenarnya juga seorang retoris yang sangat lihai,
yang membidik sasarannya dengan taktik dan muslihat cerdik. Di
dalam keampuhan senjata rasio dan moralitas, terdapat kehendak
fundamental untuk memengaruhi yang dengan licik terus-menerus
111
menyingkirkan cara kerja retorika dan memaksanya untuk selalu
berada di pihak lawan. Kebenaran adalah kata agung yang diandaikan
begitu saja oleh argumen yang merasa telah di atas angina —dalam
“perang pengaruh-memengaruhi” ini. Jika memang begitu, berarti
kaum Sophis lebih dekat kepada kebijaksanaan, karena mereka secara
tidak langsung telah memperkenalkan dan memanfaatkan apa yang
disingkirkan Socrates, yaitu pikiran selalu dan mesti terikat dengan
sumber-sumber retoris yang menyokongnya.

Dekonstruksi Beroda Dua

Transvaluasi Nietzsche terhadap filsafat, dengan demikian,


bergantung pada satu proses kembali pada sumber dan satu usaha
mendekonstruksi metafor-metafor rasio yang sedang bekerja itu
sendiri. Ada kesamaan meskipun tidak sepenuhnya sama, tapi dapat
menjelaskan masalah ini yang terdapat dalam novel karangan Robert
Pirsig berjudul Zen and the Art of Motorcycle Maintenance (1974).
Narasi novel ini lebih berkaitan dengan filsafat Yunani ketimbang
Zen Buddhisme, yang justru jadi perkiraan para pembaca. Tokoh
utama novel ini adalah seorang laki-laki yang nyaris putus asa dan
berada di ambang kekalutan. Dia mengembara dari satu pantai ke
pantai lain di Amerika dengan sepeda motornya, dengan maksud
mencari pemahaman diri. Yang perlahan-lahan muncul dalam usaha
pencarian ini adalah konflik intelektual yang telah lama terkubur
dalam lapisan sejarah —yang kemudian menjadi tema utama novel
ini. Di salah satu babak novel tersebut, sang narator merekonstruksi
perjalanan hidup si laki-laki, meskipun secara samar-samar. Peristiwa
ini terjadi ketika si laki-laki menghabiskan bulan-bulan akhirnya
di Universitas Chicago. Dengan nama samaran “Phaedrus”—
alasan pengambilan nama ini akan semakin jelas di bagian-bagian
selanjutnya dari novel tersebut— alter ego si laki-laki dikisahkan
berada dalam proses menantang seluruh asumsi-asumsi dasar
yang telah dicekoki para dosen kepadanya melalui komunikasi-

112
komunikasi semu.
Kala Phaedrus mulai membaca kembali referensi-referensi
utama, khususnya teks-teks Plato dan Aristoteles, dia menyadari
bahwa ternyata argumen mereka ini bukan saja tidak meyakinkan,
tapi juga benar-benar telah berubah menjadi ajang untuk
menyudutkan dan menyalahtafsirkan lawan-lawan mereka yang
telah terlupakan. Kaum Sophis, khususnya, dihalang-halangi masuk
kancah filsafat dengan metode argumen, padahal metode ini justru
memperlihatkan parodi keadaan mereka yang sebenarnya. Banyak
bukti dari Socrates, Plato, kemudian Aristoteles yang menunjukkan
bahwa telah terjadi represi massif dan misinterpretasi terhadap segala
sesuatu yang pernah ditangani oleh kesombongan rasio dialektika
mereka ini.
Phaedrus sendiri adalah korban dari “persekongkolan” yang
sama, dia menderita akibat cercaan profesor dan mahasiswa yang
tidak mau mempertanyakan kebijaksanaan dari masa ke masa.
“Gereja Rasio” benar-benar telah didirikan di Chicago, dengan
segala penekanan ala Aristotelian terhadap keunggulan analisis
logika dan pemikiran kategoris. Kesulitan-kesulitan mulai datang ke
hadapan Phaedrus tatkala kelasnya diasuh —dengan tangan besi—
oleh Ketua Komite Analisis Ide-ide dan Kajian Metode-metode.
Apa yang terjadi kemudian adalah —paling tidak dalam kecamuk
imajinasi Phadrus— pertempuran antara kesaksian “dialektika”
dengan kesaksian “retorika”, di mana pada akhirnya retorika jugalah
yang memenangkan pertempuran ini. Namun, titik balik terjadi
dalam pemikirannya ketika dia mengatakan bahwa “dialektika” pun
memiliki makna-makna khusus yang membuatnya bisa menjadi titik
tumpu (fulcum) —orang bisa mengurangi keseimbangan sebuah
argumen, tergantung bagaimana “dialektika” tersebut diletakkan di
atas timbangan rasio. Dan dia pun menantang Ketua Komisi untuk
menjelaskan asal-usul dialektika —Phaedrus ingin menunjukkan
bahwa dialektika sebenarnya berasal dari retorika, namun dia ingin
melupakan asal-usul ini secara sistematis. Dialektika bagai kacang
113
lupa pada kulitnya. Rasio, atau katakanlah bukti-bukti yang self-
evident dari rasio, tercampak ke dalam jurang keraguan, karena
kedoknya terbuka ketika menjustifikasi metode-metodenya sendiri,
dengan mempergunakan landasan-landasan lain yang tidak bersifat
tautologis. Akhirnya, Phaedrus berkesimpulan:
Mahkota yang selama ini bertengger di kepala Plato dan Socrates
telah jatuh ke tanah. Phaedrus tahu sebenarnya mereka ini tetap
saja mengerjakan apa yang dikerjakan oleh kaum Sophis —secara
emotif menggunakan bahasa-bahasa pemikat demi tujuan-tujuan
tersembunyi. Dan dalam hal dialektika ini, mereka membuat
argumen yang lemah seakan-akan berubah menjadi kuat. Phaedrus
merasa, kita akan selalu khawatir akan banyak hal, padahal yang
harus ditakuti itu ada dalam diri kita sendiri. (Pirsig, 1974: 378)

Namun, di sinilah letak sisi gilanya. Phaedrus tidak mampu


mengomunikasikan penemuannya dalam norma-norma pengetahu-
an dan dialog yang terinstitusionalisasikan di kampus Chicago
Aristotelian yang adem-ayem ini. Dia kabur dari universitas dan
(seperti Nietzsche) mengalami penderitaan karena terjerembab ke
dalam keheningan dan neurosis.
Phaedrus “yang asli”, yang terdapat di dalam dialog Plato yang
juga berjudul “Phaedrus”, adalah batu sandungan bagi Socrates,
seorang retoris muda dan angkuh. Setiap tindak-tanduk dan gagasan
pemuda ini selalu diamati dan diantisipasi setiap saat (lihat Plato,
1973). Sejauh yang kita pahami terhadap diri Phaedrus yang satu lagi
(tokoh dalam novel Pirsig), akan terlihat keduanya mengikuti pola
argumen Socrates yang sama, yang mengabaikan kelemahan pada
dirinya sendiri, berupa tipuan dan sumber yang jelas-jelas tidak bisa
dibuktikan. Phaedrus juga merupakan salah satu teks utama yang
jadi sasaran Derrida ketika membaca filsafat Yunani. Pembacaan
Derrida ini menjelaskan bagaimana serangan-serangan beruntun
Plato terhadap tulisan, yang diungkapkan dengan terma-terma
yang sama —seperti “kehadiran” (presence) laan “ketidakhadir-
an” (absence), tuturan yang langsung (living speech) lawan tulisan

114
yang tak langsung (dead letter)— sebagaimana yang dia lakukan
terhadap argumen-argumen yang terdapat dalam esai Rousseau.
Tulisan adalah “tambahan/pelenglap” berbahaya yang menculik
dan melarikan bahasa dari asal-usulnya yang autentik dalam
tuturan dan kehadiran-diri. Mengikatkan pikiran seseorang kepada
tulisan berarti mempertontonkan pikiran tersebut ke depan publik,
yang akan berisiko terjadinya salah paham akibat begitu banyak
muslihat-muslihat yang terkandung di dalam setiap interpreta-
si. Tulisan adalah “kematian” yang sedang menghadang pikiran
paling agung. Dia adalah tukang gerogoti makna. Segenap kerjanya
akan merusak seluruh sumber kebenaran. Dengan demikian, sikap
bermusuhan Plato terhadap kaum retoris ternyata setali tiga uang
dengan sikapnya terhadap tulisan. Keduanya sama-sama dipandang
sebagai pembangkang kepada tuannya (kebenaran atau dialektika).
Karena itulah retorika atau tulisan telah mengangkangi otoritas
tuannya ini, dengan mendaulat diri sebagai jalan alternatif menuju
kebijaksanaan.
Seperti yang dijelaskan oleh Phaedrus-nya Pirsig, retorika
telah diubah dan tercerabut dari kekuatan alaminya, karena hanya
dianggap tidak lebih dari sekadar koleksi pilahan data-data yang bisa
diciutkan menjadi sekadar sistem dan susunan. Aristoteles membawa
proses ini ke titik perfeksionisme rasional yang lebih tinggi: “Retorika
telah menjadi objek, dan sebuah objek terdiri atas bagian-bagian.
Setiap bagian saling berhubungan satu sama lain dan hubungan ini
tidak bisa diganggu gugat” (Pirsig, 1974: 386). Tapi, pada saat yang
sama, secara kebetulan, bagi Phaedrus, mesin sepeda motornya lebih
dari sekadar bagian-bagian logam yang bekerja secara manual.
Yang agak mengherankan, novel ini sekali pun tidak pernah
menyebut nama Nietszche, meskipun garis besar argumen filosofis-
nya berpegang pada kekuatan kritik Nietzschean. Pertanyaan paling
mendasar yang dikemukakan Phaedrus —di mana letak hak istimewa
rasio Sokratik— telah dikemukakan dan dijawab oleh Nietzsche
dengan cara yang persis sama. Adalah retorika, bukan dialektika,
115
yang membawa kita kembali pada asal-usul pemikirannya saat
manusia berjumpa dengan pengalaman. “Dialektika, yang menjadi
bapak kandung logika, berasal dari retorika.” Bila ditelusuri lebih
lanjut, ternyata retorika adalah anak kandung dari mitos dan puisi-
puisi masyarakat Yunani kuno/purba (Ibid.: 391). Lalu Phaedrus
berpaling kembali pada filosof-filosof pra-Socrates, sosok-sosok
yang sangat dikagumi Nietzsche karena bangga dan percaya pada
metafor-metafor mereka sendiri. Para pemikir ini mengidentifi-
kasi realitas dengan berbagai kekuatan elementer dari alam. Bagi
Thales, “prinsip abadi” adalah air; Anaximander memberi metafor
dengan mengatakan prinsip tersebut adalah udara; Heraklitus —
filosof perubahan dan aliran— memandang api sebagai elemen
inti dari segala sesuatu. “Penjelasan” mereka tentu saja merupakan
bagian dari bentuk analogi puitik dan tidak memiliki tempat di
dalam pemikiran rasional (pemikiran pasca-Socrates). Perbedaan
antara pra-Socrates dengan pasca-Socrates terletak pada kenyataan
bahwa para pembela dialektika, tidak seperti pendahulu mereka
yang “irasional”, gagal menyadari adanya pergerakan operatif dalam
pemikiran itu sendiri.

Tulisan dan Filsafat

Dekonstruksi mulai dengan gestur gerak rasio yang sama


ketika dia hendak melawan dirinya sendiri agar mau melepaskan
segala ketergantungan kepada hal lain, yaitu makna-makna yang
merepresi atau yang tidak disadari. Pandangan sekilas Phaedrus
tentang bagaimana konsep dialektika digunakan sebagai titik tumpu
(seperti dalam permainan jungkat-jangkit) demi mencapai tujuan
kaum dialektika ini selalu dipertahankan dalam tulisan-tulisan
Derrida. Dalam pembacaan tentang filsafat Yunani, Derrida melacak
tipu daya dan muslihat yang digunakan untuk melawan tulisan
secara sistematis atas nama kebenaran, kehadiran-diri, dan asal-usul.
Namun, pertanyaannya adalah, kenapa niat buruk ini ditujukan

116
kepada tulisan? Penjelasan historis, yang biasanya dipakai oleh para
pemikir, adalah bahwa tulisan sebenarnya merupakan perkembang-
an baru dalam kehidupan kultural Yunani, dan Plato sesungguhnya
sangat khawatir terhadap apa yang dipandangnya sebagai bahaya
bercerainya pengetahuan dari kekuasaan.
Argumen seperti ini umumnya terdapat di dalam pandangan
Nietzschean-Derridean tentang rasio sokratis, yaitu argumen
yang mengatakan bahwa rasio sokratis adalah kekuatan tiran
yang merepresi. Di sisi lain, pandangan ini mengabaikan strategi
tekstual dan pencarian tanpa henti metafisika kehadiran yang ingin
diungkap oleh pembaca dekonstruktif. Bagi Derrida, tekanan dan
desakan terhadap tulisan bukan sekadar kebetulan kronologis atau
“keanehan” sebuah budaya ketika mengalami transisi. Tekanan
dan desakan tersebut bekerja, dalam pemikiran Plato dan para
penerusnya, melalui pola retorika yang terus-menerus bergerak
dengan sendirinya. Sayangnya, kenyataan inilah yang tak pernah
dilirik oleh sejarawan ide-ide.
Sikap seperti ini dalam menghadapi tulisan masih tetap
berurat-berakar sampai sekarang, seperti terlihat dalam teks F.M.
Cornford, Before and After Socrates (1932), sebuah buku yang
memuat pengantar panjang lebar tentang filsafat Yunani dan
latar belakangnya. Cornford mengemukakan pandangan yang
merendahkan kaum Sophis, menganggap mereka sebagai pembelot
dari jalan kebijaksanaan dan kewibawaan sokratis. Ketika sampai
pada masalah hubungan antara Socrates dengan Plato, komentarnya
menggambarkan proses devaluasi tulisan akibat pandangan mistik
terhadap asal-usul. Socrates, menurut Cornford, adalah salah seorang
di antara mereka yang ruhnya telah terpilih yang akan mewariskan
keteladanan yang lebih baik dan sempurna ketimbang teks mana
pun, sedangkan proses pewarisan ini berlangsung dengan adanya
“kebenaran langsung”.
Mereka telah mewariskan kepada alam pikiran kita kekuatan-
kekuatan yang tak perlu dicurigai lagi. Mereka telah membuktikan

117
pada diri mereka sendiri bahwa kekuatan tersebut memang
memuaskan.... Pendirian mereka diwariskan turun-temurun
melalui keteladanan hidup mereka, bukan melalui catatan yang
mereka tinggalkan dalam tulisan. Sebab, kecuali dalam beberapa
kasus, mereka tidak pernah menulis buku. Mereka tahu sepenuhnya
bahwa huruf-huruf dan tulisan dimaksudkan sebagai alat pembunuh
sebagian besar kehidupan yang telah diberikan oleh ruh (Cornford,
1932: 62).

Sepertinya, tidak ada yang dapat menjelaskan penyamarataan


Socrates antara kebenaran, kehadiran, dan keistimewaan tuturan
selain komentar Cornford ini. Dengan tanpa terlalu banyak melibat-
kan ide Plato yang mengatakan tulisan adalah sebuah penemuan
cengeng dan kekanak-kanakan, sebuah catatan di tubuh kebijaksa-
naan, Cornford malah menegaskan bahwa Socrates melanggengkan
kebenarannya bukan dengan cara mengabadikannya ke dalam gaya
kekanak-kanakan tekstualitas ini.
Derrida menyelami lebih jauh lagi penilaian melawan tulisan
ini ke dalam labirin pemikiran Plato. Dia menemukan oposisi lebih
lanjut, yaitu oposisi antara tulisan yang “baik” dan tulisan yang
“buruk”. Yang pertama dipandang sebagai sesuatu yang “natural”
dan diinskripsikan ke permukaan jiwa oleh hukum-hukum rasio,
sedangkan yang kedua adalah skrip yang tak berdasar dan “literal”
yang menjejalkan bayangannya persis antara kebenaran dan
pemahaman. Sebagaimana yang dikatakan Derrida, pembedaan
seperti ini dimungkinkan, karena adanya penganaktirian metaforik,
yakni ketika tulisan figuratif (baik) menjadi lebih nyata dan langsung
ketimbang tulisan literal.
Dalam tradisi Kristen, seperti halnya dalam tradisi Platonis,
skrip material dipandang sebelah mata demi keutamaan tulisan
spiritual yang ditorehkan ke permukaan jiwa secara langsung
tanpa mempergunakan instrumen material apa pun. “Proses
langsung yang sebenarnya bersifat simulasi ini” akhirnya menjadi
sumber utama segala bentuk kebijaksanaan dan kebenaran. Hal
yang dapat ditarik dari pandangan Platonik ini adalah kenyataan
118
bahwa ternyata pandangan ini berakar pada metafor tulisan, sesuatu
yang ingin sekali disingkir dan ditekannya, namun pada saat yang
bersamaan pandangan Platonik ini malah memainkannya di dalam
segenap variasi terma-termanya. Sebaliknya, dekonstruksi memberi
penekanan pada sisi keliteralan metafor ini. Seperti yang dikatakan
Derrida, dekonstruksi bukanlah persoalan balik-membalik makna
literal dengan makna figuratif, akan tetapi menentukan makna
“literal” dari tulisan sebagai kemetaforan itu sendiri (Derrida, 1977a:
15). Di sinilah dekonstruksi memiliki sendi tak tergoyahkan ketika
dia menyatakan kemustahilan pereduksian metafor, karena differance
telah “mengerjai” makna “literal” yang baku. Pendeknya, dekonstruk-
si menemukan bahwa sebenarnya tidak ada yang dinamakan makna
literal itu.
Filsafat Yunani bukan satu-satunya sumber penilaian terhadap
tulisan “baik” dan “buruk” ini. Derrida juga mengutip dari berbagai
macam teks, termasuk tulisan kitab suci yang membedakan “tulisan
Tuhan” yang tak terlukiskan dan suci —dituliskan ke dalam ruh
dengan perantaraan wahyu— dari inskripsi-inskripsi material bahasa
duniawi yang kotor (Ibid.: 16). Dengan mengelompokkan tulisan
ini menjadi dua, berdasarkan aspek “indriawi” dan “intelek”nya,
berarti teologi mendukung pandangan-pandangan Platonis dengan
mengatakan bahwa “tulisan di atas permukaan ruh” harus dilindungi
dari segala bentuk tanda-tanda yang berupa fisik semata-mata. Logos
dari kebenaran yang diwahyukan, apakah Platonik atau Kristen,
memang pernah “berteman” dengan tahapan lingustik yang masih
bersih dan murni sebelum jatuh ke dalam eksistensi bahasa yang
jasmaniah dan duniawi. Di dalam teologi Abad Tengah, tradisi
Platonik dan Kristen bersatu: “Aspek intelek dari tanda beralih
menjadi firman dan wajah Tuhan.”
Pembedaan antara susunan makna “yang indriawi” dan “yang
intelek” ini juga dipergunakan Derrida dalam rangka mendekonstruk-
si teks Husserl. Derrida mengatakan bahwa sebenarnya dampak
pembedaan ini dapat dilihat di dalam setiap filsafat yang berpegang
119
pada konsep bahwa makna bersifat anterior (mendahului) tanda-
tanda yang ingin mengungkapnya. Bahkan pembedaan seperti ini
juga berlaku dalam pembedaan Saussurean antara “penanda” dan
“petanda”, dua istilah yang sebenarnya masih bercokol di dalam
dualisme versi Platonis. Pengelompokan citra tanda-tanda ini
menjadi bagian dari:
totalitas epos yang diselimuti sejarah metafisika, dan dalam bentuk
yang lebih eksplisit dan sistematis, diartikulasikan di dalam epos
yang lebih sempit dalam tradisi Kristen tentang paham penciptaan
dan keabadian yang persis cocok dengan sumber konseptualnya di
Yunani dulu (Ibid.: 13).

Strukturalisme dan semiotika akan tetap menjadi bagian


dari tradisi ini selama mereka masih melestarikan pemilahan ala
Saussurean antara penanda dan petanda, kenyataan “indirawi”
dengan konsep “intelek”.

Sesudah Interpretasi?

Pikiran memang tidak akan bisa melepaskan diri dari pembedaan


ini, tidak peduli seberapa keras pikiran berusaha menangguhkan —
atau meletakkan pembedaan tersebut di dalam tanda kurung—, dia
akan selalu bekerja bersama pikiran. Kita akan kembali sampai pada
batasan Nietzschean-Derridean, bahwa satu-satunya jalan maju adalah
kesadaran praktik tekstual tentang rintangan-rintangan metafisik yang
dihadapinya. Nietzsche bertindak tepat, sebagaimana juga Derrida,
ketika dia mendekonstruksi motif-motif retorikanya sendiri dan
menghindarkan diri dari setiap klaim kekonsistenan metode.
Seperti yang saya katakan di awal bab ini, beberapa persoalan
akan muncul dari sini, karena bagian-bagian teks yang dikutip
Derrida dari Nietzsche jelas-jelas bernada positif dan sepakat.
Semestinya tanggapan Derrida harus bertengkar dengan penolakan
Nietzsche terhadap nilai-nilai kebenaran dan keengganannya
terlibat dengan pemikiran interpretatif apa pun, sebab pemikiran

120
ini hanya akan melahirkan interpretasi baru. Sebaliknya, Nietzsche
sendiri tidak memberikan jaminan kepada para pembaca teksnya
akan menemukan kebenaran tentang apa yang dikatakannya di
dalam teks tersebut, kalau mereka mau mencermati penanda dan
petanda. Ini berarti, kalau para pembaca mencoba menafsirkan
Nietzsche, mereka akan terjatuh kembali ke dalam ilusi Platonis
tentang makna murni dan bisa dipahami yang telah tercemari bahasa
material. Nietzsche, seperti Barthes dan Derrida, memberlakukan
arti penyimpangan ini terhadap interpretasi dalam segala bentuk
tradisionalnya. Gaya pluralitas Nietzsche dan kekagumannya
terhadap paradoks merupakan strategi yang bertujuan untuk sebisa
mungkin menangkap dan mendapatkan makna pada taraf teks.
Karena di taraf ini, pertandaan masih belum mengental menjadi
makna atau konsep-konsep. Citra tulisan Nietzsche sebagai “tarian
pena” adalah salah satu yang paling sering dipergunakan Derrida
untuk mendukung permainan makna ini.
Namun sekali lagi, kita tampaknya memanfaatkan kehendak
yang justru berlawanan dengan cara pikir Nietzsche (juga Derrida).
Bagaimana orang akan bisa menginterpretasikan sebuah teks yang
justru menolak logika pemikiran interpretasi itu sendiri, dan
memandang rendah setiap usaha pembaca yang ingin menyanding-
kan maknanya ke dalam inteligibilitas baku tertentu? Dan di
manakah dekonstruksi bisa mendapatkan pegangan, ketika harus
menafsirkan sebuah teks yang jelas-jelas menyatakan sikap Nietzsche-
an-nya bahwa interpretasi telah menemui ajal? Pertanyaan ini akan
tampak jelas bila kita mempergunakan sudut pandang Derrida.

Nietzsche dan Heidegger

Pertanyaan-pertanyaan tersebut akhirnya membawa kita pada


absurditas yang terdapat di dalam persinggungan terakhir Derrida
dengan Nietzschean (Spurs, 1979). Teks Spurs ini sedikit sekali
mengedepankan argumentasi yang “serius”, paling tidak serius dalam

121
artian sebagaimana yang diharapkan dan dikenal oleh para filosof.
Teks ini dipenuhi gaya bermain-main fantasi dengan citra dan
etimologi-etimologi liar. Sasaran taktik ini tidaklah diarahkan kepada
Nietzsche yang dianggap Derrida dapat mewakili gaya bermain-main
tadi dan juga membuka jalan bagi berlakunya dekonstruksi. Martin
Heidegger (1889-1976) adalah seorang filosof Jerman yang dianggap
paling memengaruhi pemikiran eksistensialisme dan hermeneuti-
ka modern.
“Hermeneutika”, sebagaimana yang dijelaskan Heidegger, adalah
filsafat yang mendasari segala bentuk interpretasi. Hermeneutika
adalah usaha menyediakan sebuah pemahaman-diri (self-understan-
ding) yang cocok untuk ilmu-ilmu tentang manusia. Bagi Heidegger,
ini berarti harus kembali mempertanyakan asal-usul pemikiran dan
upaya terus-menerus menyingkap kebenaran yang selama berabad-
abad telah ditutupi oleh filsafat kaum rasionalis. “Pengaruh”
Heidegger yang terdapat di dalam pemikiran Derrida merupakan
persoalan yang sangat kompleks. Masalah ini dengan sangat baik
dijelaskan dalam Pengantar Gayatri Chakravorty Spivak untuk buku
On Grammatology versi Inggris yang diterjemahkannya. Namun,
untuk sementara kita akan memfokuskan diri terlebih dahulu pada
kritik Heidegger terhadap Nietzsche, kemudian pada cara Derrida
mengacau dan membalik dampak kritik ini.
Heidegger menyusun proyek penyelamatan “hermeneutis”,
yang bertujuan untuk menginterpretasikan makna dan signifikan-
si teks Nietzsche, melalui pemahaman yang didasarkan pada motif
dan tradisi yang melatari terciptanya teks tersebut. Nietzsche adalah
juru bicara terakhir dan paling aneh dari metafisika Barat, yang
berputar-putar di sekitar asumsi-asumsi kaum rasionalis dan berusaha
menyelesaikan persoalan-persoalan yang diciptakannya sendiri.
Nietzsche adalah figur paling penting dalam sejarah pemikiran,
karena, menurut Heidegger, dia berhasil membawa rasio sampai
pada titik batasnya dan menyangkutnya pada sebuah Ada, atau satu
titik asal-usul, yang mengawali segala bentuk rasionalitas yang amat
122
membingungkan. Kalaupun Nietzsche gagal dalam usahanya ini, itu
adalah pertanda bahwa dia ternyata masih terkerangkeng di dalam
sistem pemikiran yang ingin dia tolak atau balik, tanpa melihat ke
balik pengandaian-pengandaian tentang pembatasan dan keterbatas-
an rasio yang dia buat. Bagi Heidegger, yang diperlukan dalam
kondisi seperti ini adalah penangguhan, yaitu meletakkan seluruh
asumsi logika yang terdapat di dalam setiap grammar dan struktur
predikatif pemikiran Barat ke dalam tanda kurung.
Bahasa sendiri mengawetkan bingkisan dan paket-paket
pengalaman yang dibuat kaum rasionalis dalam bentuk katego-
ri-kategori seperti “subjek” dan “objek”, pembedaan yang
memungkinkan hasrat analitik mengatur dan mengotak-atik alam
menggunakan rasio. Memikirkan bagaimana cara berpikir tanpa
atau di luar kategori-kategori tersebut, bukan berarti memperso-
alkan bagaimana segala sesuatu dapat eksis, akan tetapi bagaimana
sesuatu itu bisa eksis untuk kali pertama “di situ” dan dalam keadaan
“seperti itu”. Di sini, kita akan tahu arti penting pembedaan antara
Ada (Being/Sein) dengan adaan-adaan (beings/Seinde). Yang pertama
dikenal sebagai dasar dari segala eksistensi dan mendahului segala
pengetahuan, sedangkan yang kedua adalah ranah segala entitas yang
memiliki eksistensi yang dapat dan telah dijangkau rasio.
Kesimpulan yang cukup sederhana dari pemikiran Heidegger ini
barangkali akan memperlihatkan bagaimana signifikansi pemikiran
dia yang menjadi sasaran gempuran Derrida. Sampai di titik ini,
jelas terdapat beberapa kesamaan umum antara dekonstruksi dengan
proyek Heideggerian yang ingin menghapus kerumitan dan ikatan-
ikatan yang terdapat di dalam filsafat Barat. Dalam setiap kasus kita
di sini, sangatlah penting untuk selalu mendekatkan diri pada bahasa
yang telah dilahirkan dan diwariskan oleh tradisi pemikiran Barat,
sembari tetap mempertahankan skeptisme terhadap segala validitas
dan makna yang ditawarkannya. Salah satu strategi Derrida yang
paling penting untuk mencapai penangguhan segala konsep ini
langsung berasal dari praktik yang dilakukan Heidegger terhadap
123
teks. Yaitu, meletakkan tulisan dalam keadaan saus rature atau “dalam
keadaan tercoret”, yang ditandai oleh coretan terhadap tulisan dalam
sebuah teks yang memperingatkan pembaca agar jangan menerima
tulisan tersebut berdasarkan nilai-nilai filosofis.
Dalam buku On Grammatology, ditulis “tanda sebutan-
jelek” (the sign that ill-named), dan inilah satu-satunya cara untuk
menyelamatkan diri dari persoalan-persoalan filsafat yang telah
terinstitusionalisasikan (Derrida, 1977a: 19). Coretan tersebut
menunjukkan ketidaktepatan istilah yang dipergunakan dalam
tulisan —karena kata-kata is dan thing memiliki status sementara—
dan juga menunjukkan bahwa sebetulnya pikiran tidak bisa
melakukan pengaturan dan pengelolaan dalam rangka dekonstruk-
si terhadap segala sesuatu tanpa ada istilah-istilah tersebut. Dengan
bahan-bahan grafis seperti ini, yang mirip dengan pelafalan anonim
dalam differance, konsep-konsep akan terus diguncang dan diburu.
Sejauh ini, tampaknya Derrida dan Heidegger sampai pada
tujuan dekonstruksi yang sama. Perbedaan antara mereka berdua
terjadi saat Heidegger menentukan sumber dan dasar bagi pemikiran
autentik; yaitu Being atau muatan berlimpah yang mendahului segala
wacana artikulatif. Sedangkan bagi Derrida, tindakan Heidegger ini
hanya bentuk lain dari gaya klasik yang ingin terus-menerus mencari
kebenaran dari asal-usul metafisis. Segenap hermeneutika Heidegger
didasarkan pada pengertian kebenaran sebagai kehadiran-diri yang
sangat berkeinginan untuk menghilangkan, atau menyatakan diri
lebih dahulu dari, permainan pertandaan apa pun. Kalau Nietzsche
kembali ke masa-masa sebelum Socrates yang penuh dengan aneka
ragam dan pergeseran pemikiran, maka Heidegger kembali pada
sumber kebenaran autentik di keutuhan dasar sang ada. “Destruksi”
Heidegger terhadap metafisik tidak bertujuan memperlihatkan
keanekaragaman makna di dalamnya, akan tetapi untuk memanggil
makna tersebut agar kembali kepada sumber aslinya. Dengan
demikian, posisi Heidegger, seperti yang dikatakan Derrida, sama
merusaknya dengan para antagonis zaman modern.
124
Perbedaan antara kedua pemikir ini akan terlihat lebih jelas
bila ditilik dari pembacaan mereka terhadap Nietzsche. Pembacaan
Heidegger, sebagaimana yang dilihat Derrida, masih terkungkung
pada ruang hermeneutik pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran
(tentang Being). Pembacaannya ini masih menjadi bagian mitos
logosentris —mitos pencarian asal-usul, kebenaran dan kehadiran—
yang justru ingin disingkirkan Derrida. Persoalan tentang bagaimana
menyikapi gaya yang amburadul dan aneh inilah yang menyebabkan
proyek Heidegger tidak sampai kepada tujuan yang diinginkan-
nya. Pembacaan Heidegger menyebabkan adanya kesemrawutan
yang memang menjadi kelaziman internal dan, meskipun secara
aktual tidak hilang, dipaksa untuk tetap terbuka bagi pembacaan
selanjutnya, sebab kesemrawutan tersebut tidak bisa dikatakan tetap
berada “di sana” (Derrida, 1979: 115).
Kekuatan perusak yang ada di dalam teks Nietzsche ingin
meletakkan pembacaan ini di balik segala bentuk pencarian filsafat
terhadap kebenaran dan kehadiran utuh makna-makna, sebagaima-
na yang ingin dicapai Heidegger. Sebaliknya, gaya yang aneh
—penuh trik metafor dan citra— inilah yang dibawa Derrida,
ketika dia melakukan pembacaan terhadap teks Nietzsche. Dengan
begitu, interpretasi tidak lagi dipaksa untuk mencari asal-usul dan
kebenaran yang hanya omong kosong belaka. Akan tetapi, interpreta-
si mengandaikan adanya kebebasan dan keliaran yang memusingkan
dalam tulisan: sebuah tulisan diluncurkan dengan cara menghadap-
kannya dengan teks yang menyatakan diri tidak memiliki batas
kebebasan permainan makna.

Payung Nietzsche

Gaya bermain-main ini merupakan bagian dari keengganan


Derrida untuk menaklukkan “tulisan” di hadapan “filsafat”, atau
gaya di hadapan rezim represif yang menganggap bahasa figuratif
sebagai noda yang menempel di permukaan pemikiran logis.

125
Bila ditarik ke titik yang lebih ekstrem lagi, keengganan Derrida
tersebut berarti juga penangguhan terhadap segala pertanyaan yang
dihadapkan kepada segala maksud Nietzsche di dalam teksnya,
serta penerimaan bahwa teksnya itu eksis di ranah terbuka, yang
tak akan mampu dikuasai oleh “hermeneutika” apa pun. Derrida
mengungkapkan ambang keabsurdan konyol ini di dalam catatan
pinggir teks buku saku Nietzsche. Di situ, Nietzsche menulis: “Saya
lupa payung saya.” Derrida bermain-main dengan kemungkinan
“makna-makna” ungkapan ini, hanya untuk menyimpulkan —sekali
lagi berdasarkan pandangan Heidegger dan “hermeneutika”—
bahwa konteks ungkapan tersebut sebenarnya tidak bisa diotak-atik,
sehingga maknanya pun sangat berlimpah.
Jelas sekali yang dipakai di sini adalah pembacaan Freudian,
walaupun kemudian ditinggalkan karena sama merusaknya dengan
keinginan kuat untuk selalu mengerti dan memahami apa saja
—untuk menemukan sesuatu yang tersembunyi akan tetapi “benar-
benar” penting— yang mengungkung hermeneutika. Derrida
menyimpulkan bahwa ungkapan tadi tidak lebih penting maupun
kurang penting ketimbang ungkapan-ungkapan lain di dalam tulisan
Nietzsche. Karena teks ini, seperti teks-teks lain, secara struktural
telah terbebaskan dari maksud atau tuturan langsung, sehingga bisa
dikatakan bahwa makna tersebut sama sekali tidak ada, atau tidak
ada makna yang bisa disepakati... para hermeneutikus hanya akan
terpancing dan dibuat bingung oleh permainan makna tersebut
(Ibid.: 131-132).
Derrida kemudian beralih pada pembacaan Heidegger yang
mengatakan bahwa Nietzsche adalah “metafisikawan terakhir”.
Menurut pendapat Derrida, Heideggerlah yang menggunakan
anggapan tradisional tentang kebenaran dan autentisitas dalam
menangani teks-teks Nietzschean untuk tujuan hermeneutik-
nya. Dalam rangka melawan filsafat ini, Derrida menggunakan
setiap kemungkinan makna pembebasan energi stilistik Nietzsche,
dan membiarkan teksnya “menebarkan” rasa (sense) lepas dari
126
segala bentuk ikatan konseptual. Strategi yang diterapkan Derrida
ini kerap kali harus bertentangan dengan makna lahir dari teks
Nietzsche sendiri. Untuk itu, Derrida menggunakan beberapa
hubungan metaforis antara pencitraan tentang wanita (bujuk rayu
wanita yang jauh, janji-janji kenikmatan yang tak pernah dapat
dijangkau yang terdapat di dalam diri wanita) dengan tulisan sebagai
filsafat non-kebenaran; antara penghancur konsep-konsep dengan
pembedaan-pembedaan kategoris (Ibid.: 89). Berhadapan dengan
sikap misoginis (orang yang membenci wanita) Nietzsche yang sangat
kentara (Kalau Anda mengunjungi seorang wanita, jangan lupa
membawa cambuk), kaum feminis pasti mendapati pendapat ini
sama membingungkannya dengan pendapat filosof yang biasa-biasa
saja, ketika harus berhadapan dengan argumentasi Derrida.
Akan tetapi, hal ini juga berarti akan menciptakan salah paham
tentang “persoalan wanita”, sebagaimana yang dijelaskan Derrida,
berdasarkan petunjuk-petunjuk dari teks-teks Nietzsche. Selanjutnya,
Derrida mencoba memperbaiki kesalahan Heidegger yang telah
meletakkan “persoalan seksual” di bawah “persoalan kebenaran
yang lebih umum”. Hermeneutika barangkali telah tercerabut atau
terbuang dari usahanya dan godaan-godaan differance. Kenyataan
ini memecat hermeneutik dari kedudukannya sebagai penguasa
interpretasi. Pembacaan Heidegger hanyalah permukaan laut yang
tenang sejauh dia masih mengabaikan pengaruh buruk wanita dalam
rangkaian metafor-metafor Nietzsche. Derrida mengutip banyak hal
tentang masalah ini dari teks seperti Ecce Homo, di mana teks ini
dapat menyejajarkan keanekaragaman gaya tulisan Nietzsche dengan
pengetahuannya tentang wanita (“mungkin aku ini adalah psikolog
pertama tentang kewanitaan yang abadi”). Tujuan Derrida bukan
untuk mendokumentasikan karakter sensibilitas erotik Nietzsche,
akan tetapi untuk melacak kepura-puraan tekstual dan sugesti
yang menghilangkan seluruh aspek logika normatif. Memang tidak
ada bukti nyata yang bisa mendukung penyamaan Derrida antara
wanita, seksualitas, dan berpaling pada bahasa figuratif. Yang luput
127
dari perhatiannya adalah dampak pembacaan yang “secara semena-
mena” mengobrak-abrik konvensi normal tentang relevansi dan
manfaat hermeneutika.
Di dalam tulisan-tulisan akhir Barthes (misalnya A Lover’s
Discourse, 1979), terdapat hasrat yang sama untuk meng-seksual-
kan (sexualize) bahasa, menjadikan bahasa sebagai reportoir seduktif
citra dan figur-figur di mana rasio kehilangan kekuasaannya. Ini
sangat kentara di dalam perkembangan skeptisme Barthes tentang
penggunaan pemikiran strukturalis ketika diterapkan dengan
kekakuan metodologis. Teori “erotisnya” tentang teks sebenarnya
adalah cara lihai dalam menghindari segala bentuk hukum paternal
yang barangkali menikmati kesenangan pembacaan —sekalipun
kesenangan ini sangat bersifat intelek. Barthes berhasil menciptakan
dampak ini dengan mempergunakan cara impresionistik yang tidak
akan pernah bisa dimasukkan ke dalam konsep atau metode apa
pun. Jadi, bukanlah kebetulan bila Nietzsche menyediakan begitu
banyak starting-point dan teks-teks bagi perenungan yang terdapat
di dalam buku A Lover’s Discourse. Bagi Barthes, ketidaksenangan
Nietzsche terhadap bahasa-bahasa kategoris merupakan pencitraan
hasrat erotis dan pembangkangan.
Derrida juga memberlakukan pembacaan yang erotis terhadap
Nietzsche dengan tujuan mengacau proyek hermeneutika. “Persoalan
wanita” di dalam Nietzsche menangguhkan oposisi yang tak bisa
didamaikan antara kebenaran dan ketidakbenaran. Sementara
persoalan gaya tetap terbuka longgar seperti halnya persoalan
tulisan (Derrida, 1979: 57). Ketika Barthes masih sibuk dengan
persoalan pendekatan terhadap teks, Derrida malah terdorong
untuk menerapkan metafor-metafor teks dengan cara-cara yang
lebih kreatif, merespons tantangan Nietzsche dengan pembacaan
yang aneh, namun benar-benar argumentatif. “Masalah” gaya
Nietzsche ditarik lebih jauh menjadi persoalan bagaimana bisa
filsafat sekian lama telah merepresi atau melupakan statusnya sebagai
tulisan. Nietzsche bukanlah metafisikawan terakhir”, akan tetapi
128
—sebagaimana dikatakan Derrida— merupakan orang pertama
yang mendekonstruksi dan tidak mau menulis sejarah metafisika.
Bersama tokoh sezaman dengannya, yaitu Karl Marx, Nietzsche
berdiri tegap bersama tokoh-tokoh lain yang berupaya mendemito-
logisasi dan meruntuhkan pemikiran modern. Marx dan Nietzsche
telah memancangkan berbagai kemungkinan dan klaim-klaim yang
bisa dipergunakan kritikus post-strukturalis. [*]

129
Bagian Kelima
ANTARA MARX DAN NIETZSCHE:
POLITIK DEKONSTRUKSI

• Derrida tentang Hegel


• Maxisme, Strukturalisme, dan Dekonstruksi
• Nietzsche Kontra Marx
• Foucault dan Said: Retorika Kekuasaan
Antara Marx dan Nietzsche:
Politik Dekonstruksi

Sebuah hasil wawancara dengan Derrida, yang diterbitkan


dalam Positions (1981), mencoba mempertanyakan sikap politiknya
dan hubungan Marxisme dengan dekonstruksi. Pewawancaranya
adalah Jean-Louis Houdebine dan Guy Scarpetta. Mereka berbicara
atas nama semiotika tekstual Marxian yang biasa dikaitkan dengan
sebuah jurnal Tel Quel di Paris. Pertanyaan-pertanyaan mereka
memang agak merepotkan Derrida, karena berusaha mendesaknya
untuk mempertanyakan kembali apakah “metode” yang dia pakai
seiring sejalan —ataukah bertentangan—dengan analisis Marxis
tentang bahasa dan ideologi. Jawaban yang diberikan Derrida
kelihatannya ingin mengatakan bahwa teks-teks Marx dan Lenin
memang telah dibaca dengan cara yang ketat, dan cara baca ini akan
memperlihatkan pola retorika dan figuratif teks tersebut. Teks-teks
kedua pemikir ini, lanjut Derrida, tidak bisa begitu saja ditafsirkan
berdasarkan metode siap pakai, yang nanti akan menunjukkan
petanda-petanda yang terdapat di balik permukaan teks tersebut.
Dekonstruksi harus selalu menekankan apa yang disebut Derrida
sebagai “heterogenitas” teks Marxis, yaitu cara-cara teks tersebut
bisa melepaskan diri dari tradisi kaum idealis (khususnya Hegel),
sembari tetap memperlihatkan proses perkembangan tanda-tanda

133
yang terdapat di dalam levelnya yang lebih dalam, dengan adanya
berbagai tema metafisis.
Houdebine dan Scarpetta mencoba “menghangatkan” dialog
tersebut dengan mengedepankan beberapa titik kesamaan, antara
“pertentangan” yang jadi arus utama dialektika Marxis dengan tema-
tema Differance Derrida. Derrida tampaknya ingin menjawab bahwa
bagaimana klaim-klaim ilmu (science) tentang teks kaum materialis
tidak bisa dibandingkan dengan ilmu tentang teks kaum dekonstruk-
sionis, karena dekonstruksi melihat kemustahilan adanya perceraian
total dengan ideologi. Bagi Derrida, bahasa materialisme dialektis
dilontarkan melalui metafor-metafor yang didandani sebaik-baiknya,
sehingga bisa menjadi konsep-konsep dan gagasan-gagasan yang selalu
membawa-bawa selimut pengandaian yang tidak mereka sadari
bersama. Maka menurut Derrida, yang jadi pertanyaannya adalah:
kenapa bahasa tersebut terpakai dan kemudian kita menyelidiki
seluruh endapan yang mengeras di dalamnya akibat sejarah metafisika
(lihat Derrida, 1981: 39-91)?
Persinggungan ini, meskipun secara garis besar dan belum
konklusif, merujuk pada muatan yang terdapat di dalam dan di
sekitar perkembangan gagasan-gagasan Derrida. Apakah dengan
begitu dekonstruksi —sebagaimana sering dilontarkan para
lawannya— hanyalah bentuk baru mistifikasi tekstual yang berusaha
mempertahankan sejarah dan politik di posisinya? Bukankah sesuatu
yang “tidak dialektis”, yang terdapat di dalam kelekatan dekonstruksi
dengan tema-tema kehadiran dan differance, berupaya menghenti-
kan waktu dan tidak memerhatikan perubahan sosio-ekonomi?
Pendeknya, hubungan apakah yang terjadi antara dekonstruk-
si Derridean dengan berbagai teori sastra Marxis yang muncul
bersamaan dengan tumbuhnya strukturalisme? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini, ada baiknya kita lacak dulu dua rival
yang sama-sama memengaruhi pemikiran post-strukturalis, yaitu
Karl Marx dan Friedrich Nietzsche.

134
Dekonstruksi di dalam gaya Nietzschean menghasilkan wacana
skeptis yang sangat ekstrem dan kesadaran-diri yang retorikal. Kritik
sastra Marxis pun tidak kalah hebatnya. Di satu sisi, dia mengadopsi
beberapa gagasan strukturalis untuk pengembangan basis teoretisnya
sendiri, sementara di sisi lain, dia menolak elemen-elemen yang
tidak sesuai dengan pemikiran Marxis. Di antara dua kecenderung-
an utama teori post-strukturalis ini, muncullah antagonisme rumit
yang pada akhirnya melahirkan differance radikal dekonstruksi.

Derrida tentang Hegel

Diamnya Derrida ketika berhadapan dengan Marx bukan


hanya bisa dipahami sebagai penundaan, sebuah penolakan, tapi
bertujuan merangkul pemikiran Marxis agar bisa menjadi bagian
dari dasar tekstualnya sendiri. Derrida bahkan mampu membuat satu
bab utuh, hanya untuk membicarakan Hegel (dalam buku Writing
and Differance), meskipun tidak terlalu banyak memperbincangkan
kritik Marxis dan pembalikan kaum materialis terhadap pemikiran
Hegel. Pembacaan Derrida tampaknya ingin mengisolasi satu titik
di dalam filsafat Hegel, di mana sejarah dan kesadaran, yang belum
disatukan oleh makna-makna yang bisa dicapai intelek, merupakan
objek yang bisa disalahletakkan oleh setiap pergerakan dalam setiap
pencarian dialektika.
Logika Hegelian mengacau lika-liku retorika dari tujuannya
semula, dengan cara membuat pertentangan-diri di dalam retorika
tersebut melalui pasokan makna yang berlimpah dan tidak bisa ditata.
“Pasokan resmi” dari sistem Hegel ini digantikan dan ditaklukkan
oleh “pasokan lebih umum” yang disamakan Derrida dengan
dampak tulisan atau tekstualitas. Konsep-konsep diusir dari tempat
filosofisnya yang “sah”, disodorkan kepada proses “pembantaian atau
mutasi makna-makna dan disuruh berbalik melawan kemapanan
rasio”. “Karena sama sekali tidak aga logika, dan oleh karena itu,
tidak ada pula makna interpretasi. Karena logika adalah sebuah

135
interpretasi, maka interpretasi Hegel pun bisa diinterpretasikan lagi
—tapi kali ini untuk melawan dirinya sendiri” (Derrida, 1978: 260).
Sesuai dengan gaya Derrida, esai ini melakukan pendekatan terhadap
Hegel dengan tidak secara langsung, akan tetapi via pembacaan lain
—yaitu pembacaan Georges Bataille— yang mana pendapat dan
keterangan Bataille ini merupakan pembuka jalan bagi setiap langkah
dekonstruktif. Argumen Hegel terjerat di dalam jejaring pertandaan
intertekstual, karena pertandaan ini sama sekali tidak menempatkan
argumennya itu ke dalam bentuk logika tunggal dan otoritatif.
Di bagian lain dari Writing and Differance, Derrida mengemuka-
kan hubungan antara teks dan politik, yaitu ketika dia menyatakan
bahwa dekonstruksi menyediakan premis-premis lain untuk
pembacaan non-Marxis terhadap filsafat sebagai ideologi. Memang
pembacaan Derrida terhadap Hegel menimbulkan konflik antara
dekonstruksi dengan pemahaman Marxis tentang ideologi tekstual.
Dialektika Hegelian hanyalah satu babakan tradisi wacana logosentris
Barat yang dipaksa untuk berjalan sampai ke titik batasnya oleh
“pasokan umum” tulisan. Sebenarnya, tidak ada akar sejarah yang
terlalu berarti di dalam dialektika Hegelian ini, atau perannya sebagai
pendahulu antagonis pemikiran Marxis.
Menurut Hegel, sejarah direduksi menjadi hanya sebatas
permainan representasi oleh pikiran yang berusaha merengkuh
pemahamannya sendiri dan menguasai setiap tahapan pemikiran
historis yang berjalan ke arah pemahaman tersebut. Di titik batas
refleksi-sadar, sejarah membaur ke dalam retorika, tempat di mana
setiap klaim terhadap pengetahuan didekonstruksi. Dialektika Hegel
tentang kekuasaan dan pengetahuan bisa dijungkir-balikkan dengan
pembacaan yang bisa menjelaskan titik-titik di mana metafor berhasil
merusak dan menghancurkan logika argumen yang dipakainya.
Sejarah Hegelian bisa dibaca “dari kiri ke kanan atau dari kanan ke
kiri, sebagai gerakan reaksioner atau sebagai gerakan revolusioner,
bahkan sebagai keduanya sekaligus” (Ibid.: 276). Permainan figuratif
atau “suplementaritas” tulisan memungkinkannya mensubordinasi
136
makna ke bawah sistem penjelasan yang belum dikenali. Totalitas
konseptual akan selalu diacak-acak oleh “kenakalan” pertandaan,
yaitu kelicinan dan perbedaan-perbedaan wacana yang ingin
diungkap oleh dekonstruksi.
Sebagaimana yang telah kita ketahui, Nietzsche-lah yang pertama
kali mengusung kritik skeptis terhadap penghapusan sistematis yang
dilakukan oleh filsafat Hegelian. Bagi Nietzsche, seperti halnya juga
bagi Derrida, proyek pengetahuan absolut menjadi tidak mungkin,
karena proyek tersebut melupakan bagaimana pada mulanya bahasa
mencipta dan kemudian mengacau-balaukan proses pemikiran.
Hanya kebutaan dan berbagai kesalahanlah yang dilihat Nietzsche
di dalam setiap upaya pencapaian kebenaran melalui logika dan rasio
abstrak. Kebetulan filsafat memang telah mendasarkan dirinya pada
untaian metafor-metafor yang terkubur, meskipun untaian-untaian
ini memiliki potensi dan kelihaian ketika digunakan secara umum
dan common-sense.
Nietzsche telah menghamparkan apa yang nantinya akan
dipandang sebagai wilayah cakupan dekonstruksi, dan dia telah
mengobrak-abrik reruntuhan kebenaran dan kepastian filosofis.
“Hukum” fundamental logika Aristotelian dipandang sebagai
ekspresi dari ketidakmampuan kita saat ini untuk melangkah
melampaui logika yang dihasilkan Aristoteles tersebut. Kita hanya
bisa menerimanya sebagai sebuah validitas yang tidak bisa diganggu-
gugat. Logika adalah produk dari kehendak untuk memahami (will
to understand). Kehendak ini kemudian mengatur dan menentukan
setiap tindakan pikiran dalam rangka mendapatkan rasa (sense)
tertentu dari pengalaman langsung. Konsep-konsep dibentuk
hanya berdasarkan pengandaian bahwa pengetahuan kita tentang
objek-objek di dunia ini datang langsung dari pengalaman yang
telah mencerap objek-objek tersebut. Hubungan antara keterbukti-
an-mutlak yang empiris dengan kebenaran konseptual, menurut
Nietzsche, adalah salah satu jenis proses pergantian metaforikal yang
“mendongkrak” kesementaraan menjadi kepastian.
137
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Nietzsche
adalah penata jalan bagi pemikiran post-strukturalis yang sangat
mempermasalahkan konsep metode dan “struktur”, sebab konsep-
konsep ini berkeinginan mendemistifikasi retorika. Seperti yang
dijelaskan Derrida dalam esainya tentang Hegel, pertanyaan-
pertanyaan kaum post-strukturalis ini meluas ke lapangan
pengetahuan-pengetahuan historis, sejauh pengetahuan tersebut
mengklaim adanya rasio absolut. “Makna sejarah” dan “sejarah
makna” sama-sama terikat dalam pencarian kebenaran autentik
dalam dirinya sendiri, yang menjadi borok di dalam pemikiran Barat.
Keyakinan Hegel tentang adanya kesatuan ontologis metode dan
historisitas adalah titik tempat Derrida meletakkan proses perburuan
asal-usul dan kehadiran-diri yang selalu berulang. Hegel memandang
sejarah dan kesadaran sebagai dua hal yang selalu beriringan dalam
proses pencapaian pemahaman utuh dan sempurna. Dan Derrida
ingin mendekonstruksi pengetahuan yang diidealkan ini serta konsep
tentang motode yang menjadi bagian dari pengetahuan tersebut.
Dalam melakukan proses dekonstruksi ini, dia dengan terang-
terangan memberi tantangan bagi kekuatan-kekuatan eksplanasi
historis. Sepintas lalu, hal ini memang hanya terlihat seperti
bentuk lain yang lebih canggih dari pertentangan antara cara pikir
“sinkronik” dengan cara pikir “diakronik” yang menandai tahap awal
perdebatan kaum strukturalis. Levi-Strauss memaparkan pertentang-
an ini dengan jelas sekali di dalam esainya “History and Dialectic”
(Levi-Strauss, 1966). Esai ini mencoba menanggapi pemikir-pemikir
(salah satunya adalah Sartre) yang mengatakan bahwa strukturalisme
adalah metodologi abstrak dan sama sekali tidak menyentuh realitas
sejarah dan pengalaman langsung. Kritik-kritik tersebut, menurut
Levi-Strauss, hanyalah produk-produk ilusi usang yang mendepak
signifikansi historis ke dalam makna-makna yang disakralkan oleh
pikiran-pikiran individual dalam proses proyek-diri. Sejarah hanya
dipandang sebatas rangkaian pergeseran pola-pola konfigura-
tif, “makna” yang perlahan-lahan menjadi kabur karena lindasan
waktu. “Peristiwa yang memiliki signifikansi tertentu bagi satu kode,
belum tentu seperti itu bagi kode yang lain.” Makna-makna yang
dimiliki peristiwa tersebut sangat tergantung pada cara bagaimana
makna tersebut menghadapi dan menghadang makna peristiwa
yang baru. Pemahaman historis hanya mungkin sejauh dia mampu
memakai sudut pandang sinkronik, kelompok-kelompok tunggal
yang memiliki sistem referensi otonom.
Ide Sartre tentang “totalisasi” —sejarah yang membuka
selubung signifikansinya dengan adanya kemampuan interpretasi—
ternyata diabaikan Levi-Strauss. Karena menurutnya, ide tersebut
hanyalah keyakinan orang bijak tentang adanya keutuhan dan
kontinuitas pengalaman umat manusia. Keyakinan ini menyodorkan
satu inteligibilitas palsu kepada peristiwa yang hanya memiliki
signifikansi sementara dan selalu bergeser. “Men-sosial-kan Cogito”
dengan cara Sartre ini berarti mau terjatuh ke dalam jebakan kembar
Hegelian, yaitu individuasi dan empirisme.

Marxisme, Strukturalisme, dan Dekonstruksi

Pertentangan tersebut kemudian diambil alih oleh kritikus


seperti Frederik Jameson, seorang pemikir strukturalis-Marxis yang
berpendapat bahwa klaim-klaim pemikiran sinkronik bagaimana-
pun harus digabungkan dengan klaim-klaim pemahaman historis.
Jameson sepakat dengan Levi-Strauss sejak dia memberlakukan
interpretasi sebagai proses lintas pengkodean yang berlangsung
terus-menerus (perpetual transcoding), sebuah aktivitas retorikal yang
menyadari cara kerjanya sendiri dan tidak pernah berhenti pada satu
“kebenaran” tunggal. Jameson mengatakan bahwa metode apa pun
harus sampai pada satu keterbukaan wacana kritis yang sama sekali
baru dan mampu mendapatkan cara menghilangkan segala kontradik-
si ini, “bentuk” dan “muatan”. Namun, kelemahan argumen Jameson
ini terletak pada pernyataannya, bahwa pluralitas kode yang terbuka
tersebut senantiasa akan mencakup kritik dan karya sastra dalam
setiap proses penyelidikan historis. Fraseologi Jameson ini terlihat
sangat lemah dan metaforis. Dengan memperlihatkan keanekara-
gaman kode yang terlibat di dalam kedua sisi tindakan interpretasi
(sinkronik dan diakronik), strukturalisme “berjanji akan membuka
kembali teks dan proses analisis yang sama untuk setiap sejarah”
(Jameson, 1971: 216).
Usaha Jameson mengakrabkan kembali hubungan retorika
dan dialektika Marx ini akan terlihat prematur kalau ditilik dari
perkembangan selanjutnya. Kritikus lain, seperti Terry Eagleton,
menyadari bahwa permainan bebas lintas pengkodean retorikal yang
opened —dengan mengidealkan teks yang benar-benar plural— sama
sekai tidak nyambung dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai kritik
sastra Marxisme. Jameson mengikatkan teorinya pada satu keyakinan
bahwa metode bisa menanggung validitas absolut, bahkan ketika
sejarah dan makna telah direduksi menjadi sebatas ragam permainan
pernak-pernik belaka. Dengan kata lain, Jameson menyejajarkan diri
dengan elemen pemikiran Levi-Strauss yang ingin mengawetkan
“struktur” sebagai mode inteligibilitas yang tahan akan serangan
keraguan skeptis.
Strukturalisme seperti inilah yang ingin diungkap Derrida
dari teks Saussure dan Levi-Strauss. Tujuan Derrida bukanlah
untuk menolak atau menyalahkan proyek strukturalisme, akan
tetapi dia ingin memperlihatkan implikasi proyek tersebut terhadap
permasalahan metode yang ternyata lebih dahsyat ketimbang apa
yang dibayangkan oleh pemikir-pemikir tadi. Konsep “struktur”
ditampakkan sebagai metafor yang selalu bergantung pada keinginan
untuk melupakan statusnya sebagai retorika. Dua esai Derrida yang
paling berpengaruh, “Force and Signification” dan “Structure, Sign
dan Play”, sama-sama ditujukan untuk menyatakan ke-metafor-an
struktur sebagai sebuah terma dan konsep operatif. Dia mengatakan
bahwa bagaimanapun orang akan tetap terperangkap di dalam
logika sirkular sebuah wacana bila dia hanya menuruti kebenaran-
nya sendiri. “Struktur” sebenarnya adalah citraan hasil refleksi dari
140
metafor visual atau spasial yang selalu dijadikan sebagai acuan oleh
pemikiran Barat dalam usahanya mendapatkan pemahaman.
“Berpikir tanpa melibatkan unsur-unsur figuratif berarti telah
melampaui kekuatan pikiran itu sendiri. Sebaliknya, menerima
unsur-unsur figuratif tanpa mendekonstruksi dampak-dampak
yang akan ditimbulkannya pada figur yang sedang berada di dalam
permainan metafor tersebut” (Derrida, 1978: 16). Derrida mengikuti
kritik Nietzsche terhadap delusi yang disebabkan perpindahan
metaforis dari citraan ke konsep tanpa mengkaji perpindahan tersebut
secara retorikal terlebih dahulu. Capaian paling tinggi strukturalis-
me, menurut Derrida, adalah kenyataan bahwa dia meletakkan
kelaziman tadi ke dalam terma seperti, “Apakah kenyataan bahasa
bisa menentukan segala sesuatu hanya dengan cara meruangkan-
nya (spatialize) yang telah memadai untuk menjelaskan bahwa pada
gilirannya bahasa pun harus meruangkan dirinya sendiri ketika dia
menunjuk dan merefleksikan dirinya sendiri? (Ibid). Terus-menerus
mempermasalahkan metode dan validitasnya sendiri, menurut
Derrida, merupakan satu-satunya cara yang dipergunakan struktural-
isme untuk menolak hakikat “struktur” yang sebenarnya.
Seperti yang saya katakan tadi, akan sulit bagi kita memosisikan
dekonstruksi ke dalam prasangka Nietzschean tentang segala
penjelasan Marxis terhadap teks dan ideologi. Setiap usaha peleburan
yang dilakukan atas nama teori kaum post-strukturalis Marxian
terpaksa harus berhadapan dengan pencabangan wacana abstraksi.
Mendekonstruksi teks dalam tema Nietzschean-Derridean, berarti
harus sampai pada titik batas atau deadlocked aporia makna yang
tidak memberikan pegangan apa-apa bagi pemahaman historis-
Marxis. Ideologi tekstual yang ingin diungkap pembacaan Derrida
adalah salah satu jenis perpindahan asali menuju metafor dan
kerumitan figuratif yang terjalin ke dalam bahasa lewat kesalahan
berpikir yang tak bia dijelaskan oleh terma-terma Marxis.
Salah satu buku Eagleton yang jelas-jelas merujuk Nietzsche,
yaitu Criticism and Ideology, memaparkan kesulitan yang akan
141
dihadapi oleh seorang Marxis ketika dia berniat untuk bersikap
skeptis. Sasaran utama Eagleton adalah jurnal Tel Quel yang
mengusung teori tekstual “libertarian”, yang menyamakan politik
radikal dengan permainan bebas makna yang telah dipluralkan. Sikap
ini membalik dirinya sendiri (dalam pembacaan Eagleton) menjadi
bayangan-cermin relasi sosial borjuis. Mengusahakan makna agar
bebas dari makna tunggal dan otoritatif adalah tindakan nyeleneh,
namun sayangnya tetap sia-sia. Namun, yang menjadi target utama
Eagleton di sini adalah Nietzsche dan tantangan Nietzschean
terhadap interpretasi Marxis. Masih ada, lanjut Eagleton, bentuk
lain keterpisahan radikal dari tradisi yang tidak persis terletak pada
momen perceraian yang terjadi setelah pemberi makna turun dari
takhta —yang menerima kenyataan bahwa jika Tuhan telah mati,
maka tidak perlu Nietzsche dihidupkan kembali, karena titik rujuk
mereka adalah post-ateisme Marx yang siap pakai” (taken for granted),
bukannya post-ateisme Nietzsche yang “selalu harus dipertanyakan”
(always to be validated) (Eagleton, 1976: 43).
Di sini, skeptisme Nietzsche berubah menjadi semacam
kenakalan kanak-kanak, yang justru dipampangkan oleh penyelidik-
an pemikiran historis-Marxis. Dekonstruksi pun bisa dikatakan
berada di dalam terma negatif yang sama: satu wacana yang persis
dialamatkan pada “makna transendental” pemikiran logosentris,
makna yang mengunci diri di dalam proses demistifikasi terus-
menerus (sebagaimana yang juga telah diusahakan Nietzsche).
Tapi, di manakah Eagleton meletakkan pengetahuan dialektis
semacam ini? Di atas satu syarat, seperti yang dinyatakannya sendiri
(mengikuti Althusser), bahwa kritik sastra harus melepaskan diri dari
batas sejarah ideologisnya, menempatkan dirinya di luar ruang teks,
di ranah alternatif pengetahuan ilmiah (Ibid.: 43). Di sini, metafor-
metafor tampil sebagai sesuatu yang visual dan spasial. Mereka
meraung-raung agar didekonstruksi, tidak hanya dalam semangat
untuk meraih keuntungan dari lawannya, tapi juga dalam rangka
membuntuti implikasi yang mereka hadirkan dalam epistemologi
142
Marxis. Gambaran Eagleton tentang “ruang” tekstual dan “ranah”
ilmiah tadi diturunkan dari metafor basis/superstruktur yang
diperbarui, teori (atau “ilmu tentang teks”) dilihat sebagai sesuatu
yang menempatkan dirinya di luar dan di atas domain ideologi baku.
Teks sastra berdiri persis di antara ideologi dan teori ini, dan dia
merupakan sumber pengetahuan yang kaya sekaligus membingung-
kan, karena dia bisa lebih “langsung” mengakses pengalaman
dibanding teori, bahkan juga merepresentasikan dan mengolah
pengalaman tersebut agar bisa diakses (dilihat) oleh teori.
Di antara landasan “ilmu tentang teks” Eagleton adalah: “Dalam
mengantarkan konversionalitas tentang pola-pola pembentukan rasa
(sense) yang terikat dengan ideologis menuju kritik sastra, teks pada
saat yang bersamaan secara tidak langsung juga memperlihatkan
hubungan ideologi tersebut dengan realitas sejarah (Ibid.: 101).
Argumen ini seluruhnya bertanggung jawab atas metafor-metafor
yang sedang berlaku, proses-proses perpindahan vertikal menuju
wilayah ilmu pengetahuan dan kejelasan dari pengalaman langsung
yang nyata tapi bersifat sementara. “Keterangan tidak langsung”
yang diberikan teks sastra juga besifat tidak langsung apabila dia
menempati daerah tengah-tengah tersebut: dia memberi keterangan
dalam arti menampilkan diri kepada pengetahuan. Metafor cahaya
dan kegelapan bekerja sama dengan struktur hierarkis ini untuk
menghasilkan citraan yang sempurna —atau analogon— dari ilmu
tekstual yang ada di dalam pikiran Eagleton.
Esai Derrida “The White Mythology” (1974b) banyak membicara-
kan implikasi-implikasi figural cahaya dan kegelapan sebagaimana
yang terdapat dalam teks-teks filsafat Barat. Rasio, cahaya alami
intelek, biasanya dilawankan dengan kegelapan materialitas yang
bukan hanya dalam bentuk alam tak bernyawa, tapi juga tulisan
sebagai medium asing dan kasat mata. Tentu saja hal ini merupakan
akar utama wacana logosentris yang ingin diserang Derrida dengan
cara mendesak logika wacana tersebut sampai ke titik-balik yang
sangat implisit. Kesadaran yang bisa menghadirkan dirinya di bawah
143
sinaran rasio, membebaskan diri dari perangkap kegelapan tekstuali-
tas, adalah mimpi yang terus berulang dalam pemikiran Barat.
Mimpi ini mendarah daging dalam teori Marxis tentang teks ideologi
dan representasi, bahkan saat teori itu ingin menghilangkan bahaya
pikiran yang deterministik. “Ilmu” yang ditawarkan oleh Eagleton,
Pierre Macherey, dan pemikiran Marxis —Althusserian pada
akhirnya tidak bisa melepaskan diri dari metafor-metafor visual dan
spasial yang mendasari logika ilmu tersebut. Teks hanya diperlaku-
an tidak lebih dan tidak kurang dari sekadar tulisan transparan yang
“padat”, “meragukan”, atau “tidak langsung”, yang diletakkan persis
di antara berbagai bahan baku yang terdiri atas pengalaman langsung
dan cahaya pengetahuan yang berusaha meneranginya. Hubungan
etimologis “antara teori” dan “melihat/seeing” (dalam bahasa Yunani
thea berarti menonton atau menyaksikan) menjadi metafor yang
terlupakan dan dibungkam demi mengedepankan kepastian yang
ada dalam ilmu pengetahuan.
Tekstur figuratif bahasa Eagleton membuktikan bahwa
sebenarnya teorinya itu muncul untuk menghadapi masalah-masalah
pendefinisian “representasi” dalam terminologi kaum materialis, tapi
tidak bersifat reduktif. Teks “merepresentasikan” ideologi dengan
mengeluarkan ketegori-kategori dalam bentuk yang padat dan runtut
dari tempat berasalnya representasi-representasi tersebut (Eagleton,
1975: 101). Argumen ini berarti pertukaran sirkular nilai-nilai
metaforis yang melekat pada konotasi spasial dan visual dari bahasa
yang dipergunakan. Rasa (sense) kepastian dan kekuatan penjelasan
diwakili oleh terma abstrak “kategori-kategori” yang sebenarnya
masih belum bisa didefinisikan secara utuh. Kebutuhan untuk
melakukan spesifikasi dalam rangka retorika dipicu oleh isyarat-
isyarat yang terkandung di dalam kata-kata konkret seperti “maksud”
dan “baku”. Metafor-metafor visual-proyektif seperti “bentuk”
dan “representasi” melengkapi proses pengonseptualan kelompok-
kelompok citraan yang berdekatan ini. Apa yang sesungguhnya
dipampangkan teks sastra adalah keadaan-keadaan inteligibilitas-
144
nya sendiri sebagai sesuatu yang bisa dilihat persis dari sudut pandang
figuratif ini.
Memang Eagleton telah menyatakan di mana posisi dia
sebenarnya, tapi sayangnya masih dengan bahasa yang tetap
simptomatis:
Barangkali di sini “ketersingkapan” adalah istilah yang kurang
cocok, karena tidak setiap teks memuat kategori-kategori ideologis
di dalamnya; bisa atau tidaknya kategori-kategori ini dilihat
tergantung pada bagaimana teks tersebut mempergunakan dan
mengolah kategori-kategori tersebut, karena memang begitulah
hakikat kategori-kategori sebenarnya. (Ibid.: 85)

Di sini, metafor-metafor tampaknya harus lebih diberi


penekanan. Ideologi adalah sesuatu yang disediakan teks melalui
cara kerja “terlihat” yang telah menghasilkan kategori-kategori
abstrak tadi, terlepas dari bagaimana pun beningnya permukaan
teks tersebut. Argumen Eagleton yang begitu mendalam tetap tidak
bisa menyembunyikan ketergantungannya pada basis dan keanekara-
gaman pemikiran figuratif ini. Agak ironis memang ketika dia
juga mengkritisi Althusser dan Macherey, karena kedua pemikir
ini kembali masuk pada wacana figuratif tak berujung pangkal
yang justru membuat argumen mereka kelihatan lebih bermuatan
retoris. Karena wanti-wantinya agar jangan terjatuh lagi ke dalam
metaphor, Eagleton harus menghadapi rintangan yang sama ketika
dia mencanangkan “ilmu Marxis” baru yang mampu memisahkan
diri dari wacana ideologis. Model representasi Marxis, bagaimanapun
sempurnanya di atas kertas, tetap terpenjara di dalam jebakan-jebakan
retoris dan citra-citra yang sepenuhnya mengendalikan logikanya.

Nietzsche Kontra Marx?

Ada kesimpulan yang sangat lain ketika Eagleton melawankan


Marx dengan Nietzsche. Formulasi basis materialisme historis yang
“taken for granted” bertentangan langsung dengan kritik Nietzsche-

145
an yang “selalu harus dipertanyakan” (always to be validated).
Dekonstruksi bertentangan dengan pemikiran Marxis karena
dekonstruksi mempertanyakan validitas ilmu atau metode apa
pun yang muncul dari pemisahan rigid antara ilmu atau metode
dari permainan makna tekstual. Adapun Jameson dan Eagleton
mewakili pihak sebaliknya dari dilema ini. Jameson membaurkan
sejarah dan makna ke dalam permainan bebas yang open-ended, di
mana metode historis berubah menjadi pilihan komitmen yang
tak berpengaruh besar. Eagleton menolak pandangan pluralis ini
dan ngotot menawarkan pengetahuan tentang teks yang akan selalu
menjaga jarak dari akibat-akibat duplikasi dan kesalahan retorikal.
Akan tetapi, pencarian para kritikus sastra akan satu pengetahu-
an yang terletak di luar terma-terma figuratif telah berada di luar
jalur yang sebenarnya harus mereka lalui. Tujuan akhir pemikiran
dekonstruktif, sebagaimana yang dinyatakan Derrida, adalah untuk
menyadari bahwa ternyata memang permainan selidik-menyelidik
antara teks dengan teks tidak pernah berhenti. Dekonstruksi tidak
akan pernah mendapatkan kata putus, karena dirinya akan selamanya
terkurung di dalam retorika yang justru ingin disingkapnya untuk
pembacaan dekonstruktif selanjutnya. Kritik sastra hanya bisa
diserang pada klaimnya untuk bekerja (sebagaimana yang dilakukan
Eagleton) di luar ruang teks, yaitu di wilayah pengetahuan ilmiah.
Oleh sebab itu, tidak ada yang namanya meta-bahasa.
Marxisme Althusserian adalah salah satu bentuk dekonstruksi,
akan tetapi dekonstruksi yang berniat menghentikan proses, di mana
ilmu bisa mengekstrak pesan-pesan tersembunyi ideologi. Pendobrak-
an yang dilakukan atas nama beberapa sistem penentu atau struktur
ini merupakan strategi yang dibedah Derrida di dalam esainya “Force
and Signification”. Strategi tersebut menciptakan kelemahan bagi
elemen-elemen retorika yang —sebagaimana dalam kasus Eagleton—
dapat dibaca secara dekonstruktif guna mengetahui penyingkirannya
terhadap sisi figuratif. Kritik sastra Marxis mengundang pembacaan
seperti ini, karena dia telah mengandaikan sudut pandang teori post-
146
strukturalis. Jameson dan Eagleton menerapkan pengandaian ini
sejauh mereka berdua menangani teks sebagai konstruksi tekstual
yang membuat “ideologi” menjadi sesuatu yang baru, formasi-
formasi problematis yang bisa diakses pembacaan ilmiah. Oleh
karena itu, mereka menerima penceraian yang dilakukan kaum
strukturalis antara teks dan realitas, memandang “kenyataan” sebagai
dampak yang dihasilkan oleh kode-kode representasi tertentu yang
dikedepankan secara kultural. Berdasarkan pandangan Jameson
ini, akan sulit membedakan “produksi” tekstual yang bersifat
Marxian dengan ekstasi Barthesian tentang makna yang terbebaskan.
Eagleton tidak mau menerima penolakan mentah-mentah terhadap
retorika ini, tapi dia tetap mempertahankan teksnya untuk selalu
mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang akan dihadapkan kepada
metodenya. Metafor-metafornya memberikan landasan bagi citraan
hubungan antara teks, ideology, dan ilmu yang pada gilirannya
akan sangat bergantung pada kerumitan figuratif yang terbuka bagi
pembacaan dekonstruktif.
Sesaat setelah kritik sastra memasuki labirin dekonstruk-
si, maka dia akan selalu berperang pada epistemologi skeptis yang
akan berujung pada Nietzsche, bukan pada Marx sebagai ujung
pencarian yang dilakukannya terhadap metode. “Metode” Nietzsche-
an barangkali tidak lebih dari sekadar pelajaran menghancurkan diri
sendiri secara perlahan, tapi meskipun demikian, pelajaran ini lebih
rigid dan berupaya lebih keras dalam melakukan pencarian ketimbang
usaha-usaha yang dilakukan kaum post-strukturalis Marxian.
Pierre Macherey menerapkan cara pencarian yang sama ketika dia
berusaha menemukan status “ilmiah” kritik sastra sebagai lawan dari
bermacam-macam retorika yang membingungkan di dalam teks.
“Realitas, sebagaimana yang dibentuk di dalam wacana sebuah karya,
akan selalu besifat arbitrer, karena dia sepenuhnya bergantung pada
keterbukaan wacana tersebut” (Macherey, 1978: 37).
Pembacaan kaum dekonstruksionis mengikuti jalur argumen
yang sama untuk memperlihatkan bagaimana wacana naratif
147
biasanya menghasilkan sejenis logika paradoks yang memutuskan
pretensi referensial atau realisnya. Macherey selanjutnya menegaskan
bahwa “tema-tema yang secara langsung disarikan dari karya sastra
sama sekali tidak memiliki nilai sebagai sebuah konsep” (Ibid.: 21).
Pendapatnya ini sepertinya sejalan dengan pendapat skeptis Nietzsche
yang tidak sepakat dengan pendapat yang langsung berpindah dari
citra menuju konsep. Tapi, Macherey masih berpikir tentang “ilmu”
yang bisa kritis sebagai sebuah wacana yang tidak bisa sepenuhnya
melepaskan diri dari tahanan tekstual guna melihat dengan jelas
dan bebas konflik-konflik ideologi sastra yang mendasari teks. Dia
meyakini sebuah aksioma bahwa kritik sastra bisa melepaskan diri
dari seluruh retorika delusif dari representasi tekstual. Yang ingin
diredam aksioma ini adalah pengetahuan tentang kritik sastra yang
juga mengonstruksi dirinya sebagai wacana pernak-pernik, dan
menganalogkan seluruh hal yang tidak pasti dengan klaim-klaim
ilmiah.

Foucault dan Said: Retorika Kekuasaan

Konflik interpretasi ini merupakan inti perdebatan kaum


post-strukturalis saat ini. Michel Foucault lebih jauh menyuarakan
implikasi-implikasi pemikiran Nietzsche dalam proyek Marxis
dan metode interpretatif-historis. Dalam kutipan berikut ini,
dia mendeskripsikan “masalah” yang terjadi di antara dua aliran
pengetahuan tersebut:
Di dalam penampakannya, atau lebih tepatnya di dalam rupa
topeng yang dipakainya, kesadaran historis sebenarnya adalah
netral, tidak berpihak, dan hanya mengabdi pada kebenaran. Tapi,
kalaulah dia mau menelaah dirinya sendiri dan mau menyelidiki
berbagai bentuk kesadaran ilmiah yang ada di dalam sejarahnya,
kesadaran akan menyadari bahwa ternyata seluruh bentuk dan
transformasi ini merupakan unsur dari kehendak untuk pengetahu-
an: insting, nafsu, hasrat untuk menaklukkan, kecerdikan yang
kejam, dan kedengkian. (Foucault, 1977: 162)

148
Tantangan Nietzsche terhadap Marx (yang dibahas Foucault)
seiring dengan bentuk pemahaman tekstual dan figuratif terhadap
sejarah. Tantangan yang merusak segala metafor “menuju kepada
kebenaran” selalu dilindungi metode ilmiah dari segala bentuk
pertanyaan dan ketidaksepakatan. Foucault, seperti juga Nietzsche,
menerima apa yang dia sebut sebagai “cara pandang tidak utuh”
terhadap makna historis, yaitu pandangan yang ingin menghancur-
kan keutuhan manusia dan kemanusiaan dengan mengira keunggulan
dan kekuasaannya saat ini bisa dibawa dan diterapkan pada peristiwa-
peristiwa di masa lalu (Ibid.: 154).
Retorika Nietzschean Foucault hampir sama dengan penulisan
kembali terhadap teks Derrida yang membahas Hegel. Retorika
ini ingin menciptakan daya rusak maksimal di dalam lingkaran
pertukaran di mana sejarah, kesadaran, dan makna bersama-sama
menguasai pengetahuan. Dampak yang sama dari kritik Foucault
ini juga akan terlihat ketika diterapkan pada “ilmu” Marxis yang
berusaha melepaskan kekuasaannya dari ke-figuratif-an bahasa dan
mampu mencapai perspektif puncak konflik makna-makna. Foucault
mengatakan bahwa, “Sekarang tidak zamannya lagi menilai masa lalu
atas nama kebenaran yang hanya bisa kita miliki di masa sekarang.”
Tulisan-tulisan sejarah, bila diletakkan di bawah terminologi
Nietzschean, meminggirkan klaim-klaim terhadap pengetahuan
kalau klaim tersebut disuarakan oleh kesadaran yang memiliki kuasa.
“Tulisan sejarah tersebut,” meminjam bahasa Foucault, “akan berisi
masalah apakah berisiko atau tidak dalam mendekonstruksi subjek
yang mencari pengetahuan dengan tak henti-hentinya menggunakan
kehendak untuk pengetahuan” (Ibid.: 164). Itu merupakan dampak
penerapan pernak-pernik retorika Nietzschean atau dekonstruktif
terhadap kategori-kategori pemikiran strukturalis-Marxis.
Apa yang terjadi dengan pertemuan antara teori tentang teks
dari Marxis dan Nietzschean ini? Jeffrey Wehlman dalam bukunya
Revolution and Repetition (1979) memberikan contoh yang pas
sekali tentang bagaimana dekonstruksi bisa menekan strategi wacana
149
Marxis dan membeberkan penyimpangan tekstual yang terjadi
dalam wacana ini. Wehlman mengarahkan argumennya pada “The
Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte” (Marx, 1968), salah satu teks
Marx yang eksentrik dan aneh. Republic of Nephew dilihat sebagai
absurditas yang mempertahankan hukum-hukum dialektika dan
pengulangan peristiwa-peristiwa historis yang merusak kategori-
kategori Marxis. Sejarah mengulang dirinya sendiri sebagai dagelan:
rasio dipertentangkan dengan citraan kebodohan dan ketololan yang
menumpulkan kekuatannya. Kerancuan ini setidaknya berdampak
buruk pada tekstur prosa Marx, mengikisnya menjadi metafor dan
“skandal” fantastis pemikiran Marx, serta “penebaran sistematis”
(sebagaimana yang dibaca Wehlman) teori-teori yang berusaha
mengaitkan peristiwa-peristiwa historis dengan logika representansi.
Nuansa deskriptif teks Marx ini —daftar-daftar keabsurdan, detail-
detail yang tak bisa digabungkan yang terdapat di dalamnya— malah
berusaha menggali rasio dialektis. Napoleon le Petit bukan lagi hanya
sebagai parodi Sang Paman, tapi juga merupakan contoh parasitis-
me yang menggerogoti dasar pemikiran historis-Marxian. “Revolusi”
sebagai terma dialektika membuka jalan bagi “Pengulangan
(repetition)” konyol yang tidak mengindahkan signifikansi sejarah.
Foucault menggambarkan dampak pengulangan tekstual ini
dalam esainya yang membahas pemikiran Gilles Deleuze. Mereka
memainkan, menurut Foucault, surplus makna seragam dan non-
kategoris yang memperolok-olok dan merusak hukum-hukum ajeg
pemikiran. “Dialektika amat bergantung pada kategori-kategori yang
mengatur permainan afirmasi dan negasi-negasi, yang menetapkan
legitimasi representasi, serta menjamin objektivitas dan cara kerja
konsep-konsep” (Foucault, 1977: 186). Di lain pihak, pengulangan
mengobrak-abrik seluruh sistem eksplanasi sejarah dan pengetahuan
yang semula bergantung pada logika identitas dan non-kontradiksi.
Pengulangan (sebagaimana halnya pembacaan Wehlman terhadap
Marx) terjadi persis di tempat mediasi yang bolak-balik di tempat
yang sama... Dia selalu kembali ke posisi semula dan tidak pernah
150
beralih pada posisi yang berlawanan di dalam sistem elemen yang
terbatas (Ibid). Makna-makna yang tak terkontrol ini adalah titik di
mana tekstualitas menegaskan diri sebagai penantang bentuk metode
absolut apa pun.
Ini bukan memberlakukan teori kritik, seperti yang dikira
banyak orang, untuk permainan abstraksi tekstual yang menutup
diri dan tiada ujung. Akan tetapi, apa yang dikatakan Foucault
ini bertujuan untuk menyadari bahwa sesungguhnya teks dan
strategi interpretasi selalu berlomba untuk menguasai wilayah yang
telah dipancang oleh metode-metode validasi tertentu. Foucault
mengikuti jejak Nietzsche dalam mendekonstruksi sistem pemikiran
yang menopengi kehendak untuk berkuasanya dengan berkedok
pengetahuan objektif. Analisisnya tentang berbagai “praktik diskursif”
selalu ditujukan pada keterlibatan praktik-praktik tersebut di arena
politik, karena sangat jelas terlihat di dalam karakter tekstualnya.
Edward Said, dalam bukunya, Orientalism (1978), memberikan
contoh bagaimana praktik dekonstruksi bisa masuk ke dalam
sejarah kebudayaan hanya bermodalkan landasan tekstualnya dan
menyuarakan sikapnya terhadap objektivitas. Citra tentang “Timur”
yang dikonstruksi oleh pemikir, penyair, dan sejarawan dibentuk oleh
wacana etnosentris yang dijaga dan dipertahankan oleh kekuasaan
kebijaksanaan superior. Rasio oksidental (barat) selalu dikukuhkan
dan diagungkan dengan mitografi tentang rasio oriental (timur) yang
malas, bulus, dan “eksotik”. Yang perlu dilakukan untuk melawan
wacana ini agar kedok metafor mereka terbuka bukan dengan
menyusun seperangkat “ilmu” yang bisa menelanjangi topeng
ideologi. Perlawanan ini dengan sendirinya telah menempatkan
hal yang lebih baik di medan retorika yang jelas menghadang dan
memukul mundur klaim-klaim objektivitas semu.
Di dalam esainya yang lain berjudul, “The Text, the World, the
Critic” (1979), Said juga mengungkap kasus lain dari pendekatan
semacam ini. Teks tidak bisa direduksi berdasarkan “keduniawian”
(worldly), dalam artian bahwa dia memiliki latar keadaan tertentu
151
dan mewakili makna-makna dan pemakaian-pemakaian afterlife
yang menempatkannya di wilayah publik. Wacana tidak mampu
mempertahankan diri untuk selalu berada di dalam apa yang
dinamakan Said “semesta tekstual Alexanderian dan hermeneutik
yang tak berkaitan sama sekali dengan aktualitas”. Teks berada di
dalam dunia dan berbicara tentang dunia itu sendiri, karena dia
mengabdikan diri pada strategi-strategi pembacaan yang tentu saja
selalu memuat pertempuran untuk mencapai kekuasaan interpretasi.
Keinginan ini, menurut Said, persis sama dengan keinginan seorang
novelis untuk memasukkan detail keadaan dan konteks ke dalam
karya fiksinya untuk lebih menguatkan kesan “benar” pada karya
tersebut. Karya fiksi selalu memiliki rasa enggan untuk menyerahkan
kontrol sepenuhnya kepada teks. Dia enggan melepaskannya dari
pesan-pesan diskursif tentang kehadiran manusia (Said, 1979: 177).
Kontrol tersebut sebenarnya adalah ilusi saja, proyeksi ngawur
dari kekuasaan kepengarangan (authorial), tapi dia merefleksi-
kan kesadaran (awareness) bahwa keberadaan teks dari semula
adalah sebagai dasar yang harus diperebutkan oleh berbagai strategi
pengetahuan.
Dan bukan kebetulan jika teks yang dijadikan Said sebagai
sampel adalah teks Marx yang sama (“The Eighteenth Brumaire”)
yang ditangani Wehlman secara dekonstruktif. Hasil pengamatan
Said atas teks ini sampai pada titik kesimpulan yang sama pula.
Dia mencatat dampak buruk “pengulangan”, yaitu cara teks
tersebut “menyisipkan” Louis Bonaparte ke wilayah peran-peran
yang memalukan dan menyamakannya dengan pemutarbalik-
an penjelasan rasional. Memang, bagaimanapun Said mencapai
kesimpulan yang relatif berbeda dari Wehlman, kesimpulan yang
mendukung argumennya dalam memahami teks sebagai pembawa
makna yang “duniawiah” atau praktis. Wehlman menginterpretasi-
kan “The Eighteenth Brumaire” sebagai penghinaan retoris terhadap
sejarah, wacana menakutkan yang hanya memamerkan keabsurdan
kekuasaan naratifnya. Said juga berpendapat sama, bahkan dia
152
melangkah lebih jauh lagi dengan menyamakan teks sembrono ini
dengan ranah peristiwa sejarah. Berlagak seperti seorang novelis —
tapi dengan obsesi yang lebih dahsyat— Marx memenuhi setiap celah
teks tersebut dengan detail-detail circumstantial untuk menegaskan
peran Sang Keponakan sebagai “pengulangan parodikal terhadap
Sang Paman”. Pendokumentasian yang ada di dalam teks tersebut
diperkukuh oleh pola hubungan naratif yang membuat teks tersebut
berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan logika pengauten-
tikan. Strategi tekstual, sebaliknya, berubah menjadi semacam alat
eksplanasi keabsurdan segenap kesementaraan kejadian historis.
Kenyataan bahwa masalah eksplanasi ini berada di dalam bentuk
parodis atau “repetitif” adalah satu-satunya hal yang ingin diperlihat-
kannya.
Menurut Said, yang sebenarnya menjadi tantangan bagi
pemahaman adalah persoalan bagaimana sebuah teks sebagai
sebuah teks yang memiliki dan mempergunakan seluruh unsur
tekstualitasnya, yang lebih mengunggulkan pengulangan, bisa
menyejarahkan dan mempermasalahkan signifikansi “buronan”
dan memilih Louis Bonaparte sebagai representasi buronan tersebut
(Ibid.: 178). Di sini, rasanya kita tidak akan sempat membicara-
kan hubungan kontrak antara “dunia” dan “teks” yang dipandang
Said sebagai falsifikasi terhadap pemikiran dekonstruktif. Kekuatan
pendekatannya terhadap masalah ini bersifat persuasif, karena
dia ingin menggabungkan kesadaran tekstual yang jernih dengan
keterlibatan praktis di dalam politik pembacaan. Pendekatan ini
berbeda dari teori post-Althusserian Marxis, karena Said memiliki
persoalan-persoalan wacana persis pada bagaimana wacana tersebut
memformulasikan diri dan ketidakmampuannya menyadari hakikat
dirinya yang sebenarnya figuratif. Hanya dengan mengikuti logika
dekonstruksi, ketimbang menghadangnya di tengah jalan, pemikiran
bisa lepas dari penjara metafor-metafor wacananya sendiri. Paling
tidak, Nietzsche akan tetap bercokol sebagai perusak retorika “taken
for granted” teori Marxis. [*]
153
Abram, M.H. (1978) “How To Do Things With Texts”, Partisan
Review, xliv, 566-88.
Austin, J.L. (1963) How To Do Things With Words. London: Oxford
University Press.
Barthes, Roland (1967) Elements of Semiology. Trans. Annette Lavers
and Colin Smit. London: Jonathan Cape.
---------, (1975) S/Z. Trans. Richard Miller. London: Jonathan
Cape.
---------, (1977) Roland Barthes by Roland Barthes. Trans. Richard
Howard. London: Macmillan.
---------, (1979) A Lover’s Discourse. Trans. Richard Howard.
London: Jonathan Cape.
Belsey, Catherine (1980) Critical Practice. London: Methue.
Blackmur, R.P. (1967) A Primer of Ignorance. New York: Harcourt
Brace.
Bloom, Harold (1959) Shelley’s Mythmaking. New haven, Conn:
Yale University Press.

155
---------, (1973) The Anxiety of Influence: A Theory of Poetry. New
York and London: Oxford University Press.
---------, (1975) Kabbalan and Criticism.New York: Seabury Press.
---------, (1977) Wallace Seven: The Poems of Our Climate. Itacha,
NY, and London: Corneel University Press.
Chase, Cynthia (1978) “The Decomposition of the elephants: Double
Reading Daniel Deronda”. PMLA XCII, 215-27.
Cornford, F.M. (1932) Before and After Socrates. Cambridge
university Press.
Culler, Jonathan (1972) Frontiers of Criticism’ (Review of Paul de
Man’s Blindnees and Insight) The Yale Review (winter 1972),
259-71.
---------, (1975) Structuralist Poetics. London: Routledge & Kegan
Paul.
---------, (1981) The pursuit of Signs: Semiotics, Literature, Reconstruc-
tion. London: Routledge & Kegal Paul.
de Man, Paul (1969) ‘The Rhetoric of Temporality’. In Charles S.
Singleton (ed), Interpretation: Theory and Practice, Baltimore,
Md: Johns Hopkins University Press.
---------, (1971) Blindness and Insight: Essays In the Rhetoric of
Contemporary.
---------, Criticsm. London and New York: Oxford University
Press.
---------, (1979) Allegorieses of Reading: Figural Language in
Rousseau, Nietzsche, Rike, and Proust. New Haven, Conn:
Yale University Press.
Derrida, Jacques (1972a) La Disseminatin. Paris: Seuil.
---------, (1972b) Marges de la philosophe. Paris: Minuit.

156
---------, (1973) Speech and Phenomena, and Other Essays on Husserl’s
Theory of Signs. Trans. David B. Allison. Evanston 111:
Northwestern University Press.
---------, (1974a) Glass, Paris: Galilee.
---------, (1974b) ‘The White Mythology: Metaphor in the Text of
Philosophy. New Literary History, VII, 1,7-74.
---------, (1977a) On Grammatology. Trans. Gayatri Chakravorty
Spivak. Baltimore, Md: Johns Hopkins University Press.
---------, (1977b) ‘Signature Event Context’. Glyph, i, 172-97.
---------, (1977c) ‘Limited Inc, abc’. Glyph, ii, 162-254.
---------, (1978) Writing and Difference. Trans. Alan Bass. London:
Routledge & Kegal Paul.
---------, (1979) Spurs: Nietzsche’s Styles. Trans. Barbara Harlow:
Chicago, III: Chicago University Press.
---------, (1981) Positions. Trans. Alan Bass. London: Athlone
Press.
Donoghue, Denis (1976) The Sovereign Ghost. Studies in Imagination.
Berkeley, Calif: University of California Press.
Eagleton, Terry (1976) Criticism and Ideology. London: New left
Books.
Empson, William (1961) Seven Types of Ambiguity. 2nd end.
Harmond Sworth: Penguin.
Foucault, Michel (1977) Language, Counter-Memory, Practice.
Trans. Donald F. Bouchard and Sherry Simon. Oxford:
Blackwell.
Graff, Gerald (1979) Literatur Agains Itself: Literary Ideas in Modern
Society. Chicago, III, and London: University of Chicago
Press.

157
Hartman, Geoffrey (1970) Beyond Formalism. New Haven, Conn,
and London: Yale University Press.
---------, (1975) The Fate of Reading and Other Essay. Chicago, III,
and London: University of Chicago Press.
---------, (1978) ‘The Recognition Scene of Criticism’. Critical Inquiry,
IV, 407-16.
---------, (es.) (1979) Deconstruction and Criticism. London:
Routledge & Kegal Paul.
---------, (1980) Critism in the Wildernes. Baltimore, Md: Johns
Hopkins University Press.
Hawkes, Terence (1977) Structuralism and Semiotics. London:
Methuen.
Husserl, Edmund (1964) The Phenomenology of Internal Time
Consciousness, Trans. James S. Churchil. Bloomington, Ind:
Indiana University Pres.
---------, (1970) The Crisis of Euoropean Sciences and Transcenden-
tal Phenomenology. Trans. David Carr. Evanston, III:
Northwestern University Press.
Jameson, Frederic (1971) Marxism and Form. Priceton, NJ:
Princeton University Press.
---------, (1972) The Prison House of Language. Princeton, NJ:
Princeton University Press.
Krieger, Muray 91979) Poetic Presense and Illusion. Baltimore, Md,
and London: Johns Hopkins Univesity Press.
Leavis, F.R. (1937) ‘Literary Criticism and Philosophy’ (reply to Rene
Wellek). Scrutiny, VI, 59-70.
Lentriccha, Frank (1980) After the New Criticism. London: Athlone
Press.

158
Levi-Strauss, Claude (1961) Tristes Tropiques. Trans. Johns Russell.
London: Hutchinson.
---------, (1966) The Savage Mind. London: Weindenfeld &
Nicolson.
Lodge, David (1977) The Modes of Modern Writing: Metaphor,
Metonymy, and the Typology of Modern Literature. London:
Edward Arnold.
Macherey, Pierre (1978) A Theory of Literary Proeduction. Trans.
Geoffrey Wall. London: Routledge & Kegal Paul.
Marx, Karl (1968) ‘The Eigheenth Brumaire of louis Bonaparte’.
In Marx and Engels: Selected Works, 96-1179. London:
lawrence & Wishart.
Wehlman, Jeffrey (1979) Revolution and Repetition. Berkeley & Los
Angeles, Calif: Universsity of California Press.
Merleau-Ponty, Maurice (1962) The Phenomenology of Perception.
London: Routledge & Kegan Paul.
---------, (1964) Signs. Trans. McCleary. Evanston, III: Northwestern
University Press.
Miller, J. Hillis (1966) ‘The Geneva School’. The Critical Quarterly,
VIII, 305-21.
---------, (1970) Thomas Hardy: Distance and Desire. Cambridge,
Mass: Harvard University Press.
---------, (1977) ‘The Limits of Pluralism, II: The Critic as Host’.
Critical Inquiry, III, 439-47.
Nietzsche, Fridrich (1954) The Portable Nietzsche, Trans and ed.
Walter Kaufman, New York: Niking.
---------, (1977) A Nietzsche Reader, Selected and trans. R.J.
Holingdale, Harmondsworth: Penguin.
Ong, Walter, (1962) The Barbarian Within, New York: Macmilan.

159
Plato (1960) The Georgias, Intro and trans. Walter Hamilton,
Hardmonsworth; Penguin.
---------, (1973) The Paedus and Letter VII and VIII, Intro and trans.
Walter Hamilton, Hardmonsworth: Penguin.
Pirsig, Robert M. (1974) Zen and The Art of Motorcycle Meintenan-
ce, London: the Bodley Head.
Richards, I.A. (1924) Principles Literary Criticism, London: Paul
Trech Trubner.
---------, (1936) The Philosophy Rethoric, London and New York:
Oxford University Press.
Rorty, Richard, (1978) “Philosophy as a Kind of Writing”, New
Literary History, X, 141-60.
Russel, Bertrand (1954) A History of Western Philosophy, London:
Allen & Unwin.
Said, Edward (1978) Orientalism, New York: Pantheon.
---------, (1979) “The Text, The World, The Critic” in Josue V.
Harari (ewd). Textual Strategies: Perspectives in Post-Structura-
list Criticism, 161-88, London: Methuen.
Saussure, Ferdinand de (1974) Course in General Linguistics, Trans.
Wade Baskin, London: Fontana.
Searle, Jhon R. (1972) Speech Acts: An Essay in The Philosophy of
Language, Cambridge: Cambridge University Press.
---------, (1977) “Reiterating The Differences” (reply to Derrida)
Glyph, I, 198-208.
Tete, Allen (1953) The Forlorn Demon, Chicago, III: Regnery.
Thody, Philip (1977) Roland Barthes: A Conservative Estimate,
London: Macmillan.
Wimsatt, William K. (1954) The Verbal Icon: Studies in the Meaning
of Poetry, Lexington, Ky: University of kentucky Press.
160
---------, (1970) “Battering The Object: The Ontological Approach”
In Bradbury and Palmer (eds.) Contemporary Criticism,
London: Edward Arnold.
Wittgeinstein, Ludwig (1953) Philosophical Investigation, Trans.
G.E.M. Anscombe, Oxford: Balckwell.

161
A 94, 95, 96, 97, 100, 101,
102, 106, 108, 109, 114,
A.N. Whitehead 7 116, 118, 119, 120, 121,
Allen Tate 44, 54 123, 124, 125, 126, 127,
Althusser 142, 145 128, 131, 133, 134, 135,
Anaximander 116 136, 137, 138, 140, 141,
antropologi strukturalis 76 143, 146, 149, 156
Aporia 94
Arthur Waley 33 E
B E.R. Leavis 53
Edward Said 151
Bahasa natural 37 ego transendental 86, 95
eksplanasi genetik 96
C
ekspresi linguistik 88
Christopher Norris 14, 17 elemen tuturan 66, 74
ciri-ciri postmodern 6
F
D
F. Capra 6
David Hume 18 F.M. Conford 117
Derrida 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, fenomenologi Husserl 92
13, 14, 15, 19, 20, 28, 30, Ferdinand de Saussure 6, 31
39, 46, 48, 51, 52, 55, 57, filsafat Kantian 30, 33
59, 62, 63, 64, 65, 66, 67, fonologisme linguistik 77
68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, fonosentrisme 66, 77, 85
75, 76, 77, 78, 79, 81, 85, Foucault 6, 7, 131, 148, 149, 150,
87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 151

163
Frederik Jameson 139 kritik sastra 17, 18, 19, 30, 33, 36,
37, 41, 43, 44, 45, 46, 47,
G 52, 53, 54, 55, 57, 58, 98,
Gadamer 7 109, 140, 142, 147
Garry Zukav 6 Kritik Sastra Baru 35
Genet 55 Kritikus Baru 25, 34, 35, 36, 42,
Geoffrey Hartman 46, 56 43, 44, 47, 54, 55, 57
Geoggrey Hartman 41, 45 L
Georges Bataille 136
Gilles Deleuze 150 Lacan 6, 39
Guy Scarpetta 133 Lenin 133
Levi-Strauss 6, 37, 49, 70, 76,
H 77, 78, 79, 80, 88, 92, 110,
Habermas 7 138, 139, 140, 159
Heidegger 51, 103, 121, 122, 123, linguistik struktural 76, 77, 101
124, 125, 126, 127 logosentrisme 9
Husserl 51, 55, 85, 86, 87, 88, 89, Louis Bonaparte 150, 152
90, 91, 92, 93, 95, 96, 97, M
98, 101, 106, 119, 158
makna figuratif 119
I makna literal 119
I.A. Richards 53, 108 Mallarme 55
Marx 15, 129, 131, 133, 134, 135,
J 140, 142, 145, 147, 149,
150, 152, 159
J. Hillis Miller 45, 46 Matisse 99, 100
Jean-Louis Houdebine 133 Maurice Marleau-Ponty 98
Jean Baudrillard 6 metafisika kehadiran 9, 65, 71,
Jeffrey Mehleman 149 85, 117
Jonathan Culler 28 metode dekonstruksi 5, 11, 13, 14
Metode struktural 9
K Milton 47
Kant 25, 30, 31 mitologi Rousseau 74
Kantianisme 30 model linguistik Saussure 37
Kebenaran Ideal 8
kesadaran-diri reflektif 86 N
Kompetensi linguistik 33 New Age 6
konsep dialektika 116 Noam Chomsky 6
Kristeva 6, 93

164
O 42, 46, 60, 61, 67, 68, 76,
85, 95, 96, 97, 98, 99, 100,
oposisi biner 9, 34 101, 102, 106, 110, 134,
138, 140, 141
P
suku Nambikwara 77
Paul de Mann 17, 45, 48, 55, 56,
94 T
Phaedrus 112, 113, 114, 115, 116 Tanda ekspresif 88
Philip Thody 42 tanda indikatif 88
Pierre Macherey 144, 147 teori kontinental 45
Plato 51, 52, 71, 81, 103, 107, teori kritik sastra 27, 47
110, 111, 113, 114, 117, teori strukturalis 28
118, 160 Terry Eagleton 140
Platonisme 78 Thales 116
Puttenham 94 tradisi Platonik 119
tugas dekonstruksi 52
R
R.P. Blackmur 43 V
reduksi fenomenologis 87 Valery 55
reduksi transendental 87
Rene Welleck 53 W
Ricoeur 7
Robert Pirsig 112 W.K. Wimsatt 45
Rodolphe Gasche 13 Walter Ong 43
Roland Barthes 6, 25, 37, 61, 155, William Empson 33
160 William K. Wimsatt 35
Roman Jacobson 40
Roman Jakobson 6, 77
Z
Rorty 7, 160 Zen Buddhisme 112

S
Sartre 138, 139
Sir Philip Sidney 53
skeptisme radikal 30
Socrates 107, 111, 113, 114, 116,
117, 118, 124, 156
Sollers 55
strukturalisme 6, 8, 9, 27, 29, 33,
34, 35, 36, 37, 38, 39, 41,

165

Anda mungkin juga menyukai