Anda di halaman 1dari 6

Francis Fukuyama (1995) dalam buku Trust : The Social Virtues and The Creations of Prosperity

menyatakan bahwa kondisi kesejahteraan, demokrasi dan daya saing suatu 3 masyarakat
ditentukan oleh tingkat kepercayaan antara sesama warga. Tingkat kepercayaan bertalian dengan
akar budaya, etika dan moral, yang diwujudnyatakan dalam perilaku saling bantu dan kerjasama.
Keberhasilan ekonomi suatu negara bangsa setara dengan perpaduan yang harmonis antara
organisasi ekonomi skala besar, korporasi yang demokratis, dan nilai budaya seperti resiprositas,
tanggungjawab moral dan kepercayaan.
Mengukur modal social
Salah satu kelemahan dari konsep modal sosial adalah ketiadaan kesepakatan untuk
pengukurannya. Francis Fukuyama (1999) mengajukan tiga pendekatan untuk mengukur modal
sosial, yaitu :
1. melakukan sensus kelompok dan keanggotaan kelompok di masyarakat
2. menggunakan data survei tentang tingkat kepercayaan dan partisipasi warga;
3. mengukur modal sosial dalam skala kecil (perusahaan swasta).
Pertama, mengukur modal sosial dengan menghitung kelompok-kelompok dalam masyarakat,
untuk mengetahui ukuran atau jumlah anggota dalam perkumpulan -- olahraga, politik, dll - -
yang bervariasi dengan waktu dan meliputi daerah geografis yang berlainan. Dalam
kenyataannya ada banyak kelompok dalam masyarakat, dan tidak mudah menghitungnya.
Namun, ukuran pertama untuk total modal sosial di sebuah masyarakat adalah jumlah anggota
dari seluruh kelompok. Hal ini pun nyaris mustahil untuk dilakukan, karena sensus demikian
akan melibatkan pengkalian angka-angka yang diperkirakan secara subjektif atau bahkan angka-
angka itu tidak ada.
Kedua, menggunakan data survei tentang tingkat kepercayaan dan partisipasi warga, sebagai
sampel modal sosial. Tentu ada masalah dengan data survei, yaitu respon atau jawaban akan
bervariasi sesuai dengan bagaimana pertanyaan itu disusun dan siapa yang menanyakannya, serta
akibat ketiadaan data yang konsisten untuk banyak negara dan dalam banyak periode waktu.
Ketiga, untuk mengukur modal sosial dalam organisasi adalah dengan cara melihat perubahan
dalam penilaian pasar perusahaan sebelum dan setelah tawaran pengambil-alihan (takeover).
Permodalan pasar perusahaan merepresentasikan jumlah harta nyata dan tak nyata; harta tak
nyata itu antara lain berupa modal sosial yang tertanam dalam diri pekerja dan manajemen
perusahaan. Tidak ada metodologi yang sahih untuk memisahkan komponen modal sosial dari
harta tak nyata, yang meliputi hal-hal lain seperti nama merek, kemauan baik (good will),
ekspektasi kondisi pasar mendatang, dan sejenisnya. Akan tetapi, perusahaan yang diambil-alih
oleh perusahaan lain biasanya dibeli sebesar premi pada harga pra-pengambil-alihan. Dalam
situasi demikian, kita bisa berasumsi bahwa bagian premi yang ditawarkan merupakan ukuran
sejauh mana para pemilik baru percaya bahwa mereka dapat mengelola perusahaan dengan lebih
baik daripada pemilik lama, dengan semua faktor lain seperti harta nyata, ekspektasi tentang
kondisi pasar, dsb dipertahankan konstan. Dalam banyak kasus, bagian premi yang ditawarkan
merepresentasikan penghematan biaya yang ingin dicapai pemilik baru melalui realisasi
penghematan skala.
Fukuyama, Francis, 1995, Trust The Social Virtues and the Creation of Prosperity,
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ruslani, Penerbit Qalam.
Fukuyama, Francis, 1999, Social Capital and Civil Society, The Institute of Public Policy George
Mason University.
Pentingnya kepercayaan dalam mencapai kesejahteraan ekonomi merupakan sorotan utama
dalam kajian yang dilakukan Francis Fukuyama. Dalam karyanya Trust: The Social Virtues and
the Creation of Prosperity (1995) Fukuyama, seorang pakar sosiologi Amerika keturunan Jepang
kelahiran Chicago yang terkenal ini, mengatakan kondisi kesejahteraan dan demokrasi serta daya
saing suatu masyarakat ditentukan oleh tingkat kepercayaan antara sesama warga. Bertolak dari
karya pakar modal sosial sebelumnya, terutama James Coleman, Fukuyama menggunakan
konsep kepercayaan untuk mengukur tingkat modal sosial. Ia berpendapat modal sosial akan
menjadi semakin kuat apabila dalam suatu masyarakat berlaku norma saling balas membantu dan
kerjasama yang kompak melalui suatu ikatan jaringan hubungan kelembagaan sosial.
Fukuyama menganggap kepercayaan itu sangat berkaitan dengan akar budaya, terutama yang
berkaitan dengan etika dan moral yang berlaku. Karena itu ia berkesimpulan bahwa tingkat
saling percaya dalam suatu masyarakat tidak terlepas dari nilai-nilai budaya yang dimiliki
masyarakat bersangkutan. Berdasarkan penelitiannya di beberapa negara di Asia, seperti Cina
dan Jepang, Fukuyama menemukan bahwa untuk mencapai keberhasilan ekonomi diperlukan
adanya organisasi-organisasi ekonomi berskala besar dan korporasi yang demokratis.
Namun, menurut pendapatnya, kelembagaan itu baru dapat berfungsi secara baik apabila terdapat
cukup perhatian terhadap pentingnya peranan kebiasaan-kebiasaan dalam budaya tradisional.
Peraturan, kontrak, dan rasionalitas ekonomi semata tidak cukup menjamin stabilitas dan
kesejahteraan masyarakat secara merata. Diperlukan adanya nilai-nilai resiprositas,
tanggungjawab moral, kewajiban terhadap masyarakat dan kepercayaan yang lebih didasarkan
pada adat kebiasaan daripada perhitungan rasional. Selanjutnya masih dalam bukunya tersebut
Fukuyama mengatakan bahwa kepercayaan muncul apabila masyarakat sama-sama memiliki
seperangkat nilai-nilai moral yang memadai untuk menumbuhkan perilaku jujur pada warga
masyarakat. Kelangsungan hidup organisasi dan kelembagaan besar ekonomi juga ditentukan
oleh masyarakat sipil (civil society) yang sehat dan dinamis, yang pada gilirannya tergantung
pula pada adat kebiasaan dan etika, sebagai hal-hal yang hanya bisa terbentuk secara tidak
langsung dengan adanya kemauan untuk itu, serta adanya kesadaran yang semakin besar dan
penghargaan terhadap budaya.
Bertitik tolak pada keyakinan bahwa nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan kepercayaan pada
suatu bangsa merupakan faktor penentu perkembangan ekonomi negara bersangkutan, akhirnya
Fukuyama sampai pada pembedaan bangsa-bangsa dalam dua kategori. Kategori pertama adalah
bangsa-bangsa yang memiliki tingkat kepercayaan yang rendah (low-trust society) dalam nilai
budayanya. Masyarakat seperti ini sulit untuk dapat mengembangkan usaha-usaha yang berskala
besar karena dalam nilai budayanya tingkat kepercayaan terbatas pada lingkungan keluarga atau
familistik. Di luar lingkungan keluarga itu kepercayaan sulit ditumbuhkan. Fukuyama menyebut
Cina, Perancis dan Korea sebagai contoh-contoh masyarakat yang memiliki nilai budaya
kepercayaan rendah.
Sebaliknya, bangsa-bangsa telah lebih dahulu berhasil menjadi kekuatan ekonomi besar dunia,
seperti Amerika Serikat, Jepang dan Jerman, menurut Fukuyama, adalah berkat masyarakatnya
memiliki nilai budaya kepercayaan yang tinggi (high trust society). Tetapi tesis Fukuyama
tentang keterkaitan antara nilai budaya tradisional dengan tingkat kepercayaan ini barangkali
hanya merupakan salah satu faktor saja dalam menjelaskan perkembangan dan kemajuan
ekonomi yang dialami suatu bangsa. Faktor-faktor lainnya, seperti adanya kemauan politik yang
juga disinggung Fukuyama, tingkat pendidikan dan pengalaman kosmopolitan yang membawa
pergeseran nilai budaya di kalangan generasi yang lebih muda, bisa juga menjadi faktor
pendorong perkembangan ekonomi pada bangsa-bangsa tertentu. Cina, khususnya Taiwan, dan
Korea Selatan, yang dikategorikan Fukuyama sebagai bangsabangsa yang memiliki nilai budaya
kepercayaan rendah atau low-trust society, ternyata juga berhasil menjadi kekuatan ekonomi
besar, dengan produk-produk di bidang elektronika, komputer dan otomotif yang turut merajai
pasaran dunia. Mungkin sekali keinginan untuk terus menerus mencapai hasil terbaik (need for
achievement, n-Ach) sebagai faktor pendorong kemajuan ekonomi seperti yang dikemukakan
McClelland (1961) dapat digunakan untuk menjelaskan kemajuan ekonomi spektakuler yang
dicapai Taiwan sejak dua dekade belakangan ini.
Sementara itu, kemauan politik dan tekad pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi
masyarakat, seperti yang ditunjukkan oleh Presiden Park ChungHee dari Korea Selatan melalui
program Saemaul Undong atau Gerakan Komunitas Baru (Saemaul Undong in Korea, 1983)
merupakan salah satu faktor penentu lainnya. Kerajinan, kemandirian dan kerjasama (dilligent,
self-help and cooperation) sebagai tiga prinsip dasar yang didorong untuk ditumbuhkan dalam
masyarakat melalui Gerakan tersebut sejak awal tahun 1970an, telah memberi kontribusi penting
bagi bangkitnya Korea Selatan sebagai kekuatan ekonomi dunia. James Coleman, Robert Putnam
dan Francis Fukuyama merupakan tokoh-tokoh yang pemikirannya telah mendorong para pakar
lainnya untuk melakukan pengkajian mengenai peranan modal sosial dalam berbagai bidang,
seperti politik dan pemerintahan, pelayanan umum, transaksi ekonomi, pendidikan, kesehatan,
rekrutment tenaga kerja, pertanian, pengelolaan sumber air, pengentasan kemiskinan, dan
sebagainya. Kajian-kajian yang telah dilakukan kemudian dijadikan sebagai titik tolak dalam
mengembangkan berbagai unsur pokok modal sosial, seperti jaringan hubungan, norma-norma
sosial, kepercayaan dan kemauan untuk saling berbalas kebaikan (resiprositas) guna
meningkatkan kualitas dari bidang-bidang tersebut.
Para pakar yang muncul belakangan melalui berbagai tulisannya berusaha menetapkan lebih
lanjut kerangka konseptual bagaimana bentuk operasionalisasi modal sosial dengan menetapkan
berbagai kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur kondisi modal sosial pada suatu
kelompok masyarakat. Dengan adanya alat pengukur ini maka kemudian dapat dilakukan
langkah-langkah intervensi yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas modal pada kelompok
masyarakat tersebut.
Fukuyama, Francis (1995) Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York:
The Free Press.
Fukuyama, Francis (2001) “Social Capital and Development: The Coming Agenda”. Makalah
pada Konperensi “Social Capital and Poverty
DEFINISI MODAL SOSIAL
Fukuyama (1997) menjelaskan bahwa modal sosial merupakan serangkaian nilaf-nilai atau
norma-rorrna informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat
yang memungkinkan terjalinnya kerjasama. Definisi yang dikemukakan Fukuyama ini
mengandung beberapa aspek nilai yang dikemukakan ofeh Schwartz (1994). Nllainilai tersebut
adalah: (1) universalism, nilai tentang pemaharnan terhadap orang lain. Aprcsiasi, toleransi, serta
proteksi terhadap manusia dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya; (2) benevolence, nilai tentang
pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan orang lain; (3) tradition, nilai yang mengandung
penghargaan, komitmen dan penerimaan terhadap tradisi dan gagasan budaya tradisional: (4)
conformity, nilai yang terkait dengan pengekangan diri terhadap dorongan dan tindakan yang
merugikan orang lain; (5) security, nilai ya.ng mengandung keselamatan, keharmonisan,
kestabilan masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain dan memperlakukan diri sendiri.
Sejalan dengan pendapat Fukuyama, Bowles dan Gintis (2000) mendefiniskan modal sosial
sebagai kapital sosial yang pada umumnya merujuk pada kepercayaan, perhatian pada suatu
kelompok, kemauan untuk hidup dengan norma dari satu komunitas. Menurut sudut pandang
Psikologi, kelompok ini diwakili oleh ahli yang mengemukakan teori kepribadian yang melihat
bahwa munculnya suatu kelompok kerja yang kohesif baru akan terjadi kalau individu memiliki
sifat kepribadian tertentu.
MANFAAT MODAL SOSIAL
1. Manfaat pada masyarakat Manfaat dari adanya modal sosial menurut Fukuyama (1995)
dan Putnam (1993) adalah dapal meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat.
Hal ini terjadi karena dalam modal sosial diperlukan adanya kepercayaan. Kepercayaan
ini akan menjadi pengikat masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang cepat di wilayah Asia
Timur disebabkan adanya kegiatan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan modal
sosial, contoh yang paling jelas adalah di negara Cina (Putnam, 1993). Masyarakat Cina
membangun sebuah jaringan sosial khususnya jaringan sosial bisnis antar sesama
masyarakat dalam negeri dan masyarakat cina perantauan. Pendapat para ahli ini sangat
relevan dengan sebuah hadist nabi yang berbunyi: ·aarangsiapa yang membangun
silaturahmi akan Aku beri rezeki, Aku beri Kesehatan dan Aku panjangkan umurnya".
Begitu pula dengan sebuah pepatah pada masyarakat yang berbunyi "Rukun agawe
santoso·. (hidup dalam kerukunan akan memberikan kesentosaan.
Fukuyama, F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. London: Hamish
Hamilton
Francis Fukuyama (2002:22) mendefinisikan modal sosial secara sederhana sebagai serangkaian
nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota-anggota
suatu kelompok memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Jika para anggota
kelompok itu mengharapkan bahwa anggota-anggota yang lain akan berperilaku jujur dan
terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai. Jika orang-orang yang bekerja sama dalam
sebuah perusahaan saling mempercayai dan bekerja menurut serangkaian norma etis bersama,
maka berbisnis hanya memerlukan sedikit biaya (Fukuyama, 2007: 38).
KEPERCAYAAN
Fukuyama (2002:24) mendefinisikan kepercayaan yaitu norma-norma kooperatif seperti
kejujuran dan kesediaan untuk menolong yang bisa dibagi-bagi antara kelompok-kelompok
terbatas masyarakat dan bukan dengan yang lainnya dari masyarakat atau dengan lainnya dalam
masyarakat yang sama. Jika para anggota kelompok itu mengharapkan bahwa anggota-
anggotanya yang lain akan berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling
mempercayai. Fukuyama (2002:72) mengatakan bahwa kepercayaan adalah efek samping yang
sangat penting dari norma-norma sosial yang kooperatif yang memunculkan social capital. Jika
masyarakat bisa di andalkan untuk tetap menjaga komitmen, norma-norma saling menolong yang
terhormat, dan menghindari perilaku oportunistik, maka berbagai kelompok akan terbentuk
secara lebih cepat, dan kelompok yang terbentuk itu akan mampu mencapai tujuan-tujuan
bersama secara lebih efisien.
Menurut Fukuyama (2002:75) kepercayaan seharusnya di ingat dalam dirinya sendiri bukan
merupakan kebajikan moral, tetapi lebih merupakan efek samping dari kebajikan. Kepercayaan
muncul ketika masyarakat saling berbagi norma-norma kejujuran dan ketersediaan untuk saling
menolong dan oleh karenanya mampu bekerja sama satu dengan yang lain. Kepercayaan
dihancurkan oleh sikap mementingkan diri sendiri yang eksesif atau oportunisme. Maka dari itu,
kepercayaan dapat membuat orang-orang bisa bekerja sama secara lebih efektif karena bersedia
menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu.
JARINGAN SOSIAL
Fukuyama (2002:332) menjelaskan bahwa melalui hubungan persahabatan atau pertemanan pun,
dapat diciptakan jaringan yang memberikan saluran-saluran alternatif bagi aliran informasi dan
ke dalam sebuah organisasi. Jaringan dengan kepercayaan tinggi akan berfungsi lebih baik dan
lebih mudah daripada dalam jaringan dengan kepercayaan rendah (Field, 2010:103). Individu
yang mengalami pengkhianatan dari mitra dekat akan mengetahui betapa sulit menjalin kerja
sama tanpa dilandasi kepercayaan. Terjadinya sebuah jaringan sosial itu tidak terlepas dari
komunikasi yang menghasilkan sebuah interaksi sosial. Dengan demikian jaringan ini
memfasilitasi terjadinya komunikasi, interaksi dari manul dan pedagang menimbulkan atau
menumbuhkan kepercayaan dan kerja sama antara kelompok ini. Proses untuk pembentukan
jaringan sosial adalah dengan terjadinya sebuah komunikasi. Jaringan dibangun atas simpul yang
ada yaitu peran modal sosial antara manol, SPTI dan pedagang sayur di STA Jetis, Bandungan,
Kabupaten Semarang dengan memperluas jaringan sosial dengan berkomunikasi.
NORMA SOSIAL
Douglass North (dalam Fukuyama, 2002: 243) menjelaskan bahwa normanorma sangat penting
untuk mengurangi biaya-biaya transaksi. Jika kita tidak memiliki norma, maka kita mungkin
harus merundingkan aturan-aturan kepemilikan atas dasar kasus per kasus, sebuah situasi yang
tidak kondusif bagi pertukaran pasar, investasi, maupun pertumbuhan ekonomi. Dalam cabang
ekonomi terdapat teori permainan yang menjelaskan munculnya norma-norma sosial. Secara
sederhana teori permainan dapat digambarkan sebagai berikut: “....bahwa kita semua dilahirkan
ke dunia bukan sebagai oversosialized communitariant-nya Dennis Wrong dengan banyaknya
ikatan-ikatan dan kewajiban-kewajiban sosial terhadap yang lain, tetapi lebih sebagai indvidu
yang terisolasi dengan segulung hasrat atau preferensi mementingkan diri sendiri. Dalam banyak
hal, kita bisa memuaskan preferensi-preferensi itu secara lebih efektif jika kita bekerja sama
dengan orang lain, dan oleh karenanya harus mengembangkan norma-norma negosiasi kooperatif
yang mengatur berbagai interaksi sosial” (Fukuyama, 2002: 244).
Dalam hal ini norma-norma menjaga hubungan sosial antara manol dengan pedagang dan
pembeli. Kepatuhan pelaku pasar terhadap norma-norma sosial yang telah disepakati dapat
meningkatkan solidaritas dan mengembangkan kerja sama dengan mengacu pada norma-norma
sosial yang menjadi patokan dan sesuai kesepakatan mereka.
Fukuyama, Francis, 2002, Trust; Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran, Yogyakarta:
Penerbit Qalam.
Fukuyama, Francis. (2010). Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran (Cet. ke-
2). Yogyakarta: Qalam.

Anda mungkin juga menyukai