Taman Nasional
Pengelolaan Kolaboratif
di Indonesia
Pengelolaan Kolaboratif
Taman Nasional
Haryanto R. Putro
Supriatin
Kehutanan
Arzyana Sunkar
ISBN : 978-979-25-8223-9
Dicko Rossanda
9789792582239 Elizabeth Rahyu Prihatini Kementerian Kehutanan
Republik Indonesia
Japan International
Cooperation Agency
PENGELOLAAN KOLABORATIF
TAMAN NASIONAL
DI INDONESIA
Haryanto R Putro
Supriatin
Arzyana Sunkar
Dicko Rossanda
Elizabeth Rahyu Prihatini
Japan International
Kementerian Kehutanan
Cooperation Agency
Republik Indonesia
2012
Pengelolaan kolaborasi taman nasional
di indonesia
Haryanto R Putro
Supriatin
Arzyana Sunkar
Dicko Rossanda
Elizabeth Rahyu Prihatini
JICA-CFET
Cetakan Pertama: Maret 2012
ISBN: 978-979-25-8223-9
sambutan
kepala Pusat diklat kehutanan
Penulis
daftar isi
Pendahuluan .........................................................................................9
dalam pengelolaan taman nasional memegang peran kunci yang tidak dapat
diabaikan. Selain itu, kepastian legal berupa kebijakan teknis pengelolaan
dapat menyatukan kepentingan konservasi dengan kepentingan adat
melalui mekanisme zonasi yang disepakati.
Setelah perdebatan yang berlangsung selama beberapa dekade, kini “people-
centered conservation” telah menjadi diskursus kebijakan lingkungan
global. Dari World Park Congress 2003 di Durban, disepakati komitmen
dan tindakan untuk melibatkan masyarakat lokal, mengembangkan
mekanisme pembagian biaya-manfaat yang adil antara berbagai pihak
dalam pengelolaan kawasan konservasi, serta memajukan pengelolaan
kawasan konservasi melalui strategi pengelolaan adaptif, kolaboratif,
dan co-management. PKTN muncul sebagai salah satu gagasan untuk
merajut kesenjangan antara kepentingan konservasi dengan masalah
konflik tenurial dan kemiskinan, serta karut-marut tata kepemerintahan
sumber daya alam. Pada tataran konsep, PKTN cukup menjanjikan agar
konservasi mampu mencapai tujuannya dengan tetap memberikan manfaat
nyata bagi masyarakat di dalam dan sekitarnya. Disadari banyak hal akan
tetap menjadi ajang kompromi, sehingga kelembagaan kolaboratif yang
disepakati para pihak menjadi kebutuhan yang akan diuji sepanjang waktu.
Dukungan global untuk mewujudkan PKTN yang tampak semakin kuat
dari waktu ke waktu diharapkan mampu mengubah konflik tenurial dan
akses terhadap sumber daya alam menjadi kapasitas pengelolaan taman
nasional yang kokoh dan handal. Terbitnya Peraturan Pemerintah No.
P.28/Menhut-II/2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Pelestarian Alam diharapkan memberikan landasan legal yang kokoh bagi
PKTN pada masa mendatang. Konferensi CBD di Nagoya, pada bulan
Oktober 2010 memberikan visi yang kokoh—Hidup Selaras Alam (Living
Harmony with Nature)—dan menawarkan 20 target pada tahun 2020 yang
dalam konteks pengelolaan taman nasional dapat dikemas dalam PKTN.
Pengalaman implementasi PKTN sejak 1990-an belum menunjukkan
kinerja yang memuaskan. Kegagalan kebijakan yang ditunjukkan oleh
dominasi orientasi tindakan konservasi pada P.19/Menhut-II/2004
tentang kolaborasi pengelolaan KPA dan KSA, lemahnya kapasitas
organisasi pengelola dan terbatasnya ruang pemanfaatan yang dibenarkan
secara legal untuk mengakomodasikan penghidupan masyarakat lokal telah
mendorong penulisan buku ini. Buku ini memotret pengelolaan taman
12 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
a. memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik
yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik;
b. memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
c. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses
ekologis secara alami; dan
d. merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona
pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan
keperluan.
Menurut IUCN Protected Area Category (1994), taman nasional ditunjuk
untuk: (a) melindungi integritas ekologi satu atau lebih untuk kepentingan
generasi kini dan yang akan datang; (b) melarang eksploitasi dan okupasi
yang bertentangan dengan tujuan penunjukannya; (c) memberikan
landasan untuk pengembangan spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan,
rekreasi dan kesempatan bagi pengunjung yang ramah secara ekologi dan
budaya. Adapun tujuan pengelolaannya adalah:
1. Melindungi wilayah alami dan pemandangan indah yang memiliki
nilai tinggi secara nasional atau internasional untuk tujuan spiritual,
ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi, dan pariwisata.
2. Melestarikan sealamiah mungkin perwakilan dari wilayah fisografi,
komunitas biotik, sumber daya genetik dan spesies, untuk memelihara
keseimbangan ekologi dan keanekaragaman hayati.Mengelola
penggunaan oleh pengunjung untuk kepentingan inspiratif,
pendidikan, budaya dan rekreasi dengan tetap mempertahankan areal
tersebut pada kondisi alamiah atau mendekati alamiah.
3. Menghilangkan dan mencegah eksploitasi atau okupasi yang
bertentangan dengan tujuan penunjukannya.Memelihara rasa
mnghargai terhadap ciri ekologi, geomorfologi, kekeramatan atau
estetika yang menjadi pertimbangan penunjukannya.
4. Memedulikan kebutuhan masyarakat lokal, termasuk penggunaan
sumber daya alam secara subsisten, sepanjang tidak menimbulkan
pengaruh negatif terhadap tujuan pengelolaan.
Di Indonesia, meskipun tidak semua kawasan konservasi yang
mendapatkan status dan label taman nasional sesuai dengan definisi
national park sebagaimana dimaksudkan IUCN, tetapi seluruh taman
nasional Indonesia memenuhi syarat untuk dikategorikan protected areas,
yaitu suatu kawasan yang ditetapkan khususnya bagi perlindungan dan
16 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
(2) Era 70-an, pada Kongres IUCN (International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources) di New Delhi (tahun 1969) menetapkan
bahwa kawasan konservasi harus dikelompokkan ke dalam beberapa
kategori menurut kriteria tertentu, agar pengelolaannya lebih efektif
dan efisien. Merujuk pada hasil kongres tersebut, pada tahun 1978
IUCN mengembangkan pedoman kategorisasi kawasan konservasi.
(3) Era 80-an, pada Kongres CNPPA (Commission on National Parks and
Protected Areas) atau Kongres Taman Nasional ke-3 di Bali tahun 1982
yang bertema “Park for Sustainable Development”, memberikan pesan
agar setiap unit kawasan konservasi harus dibuat rencana pengelolaan
(management plans) sebagai panduan bagi pengelola untuk mencapai
tujuannya secara baik. Era ini menjadi tonggak awal dikenalkannya
taman nasional di Indonesia dengan pendekatan pengelolaan
mengadopsi dari Yellowstone, yang mengedepankan pendekatan
pengamanan (security approach) dan mengutamakan kepentingan
konservasi di atas segalanya. Pada saat itu, Indonesia mendeklarasikan
penetapan 5 taman nasional pertama. Meskipun demikian, berbagai
pendekatan sosial yang diadopsi dari sistem pengelolaan hutan
produksi juga mulai digagas, misalnya proyek pengembangan
daerah penyangga yang ditujukan untuk “memutus” mata rantai
ketergantungan masyarakat sekitar kawasan terhadap sumber daya
alam yang terdapat di dalam kawasan konservasi/taman nasional.
Namun, gagasan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar
kawasan konservasi dibangun di atas asumsi bahwa masyarakat tidak
berpikir konservasi terhadap lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
(4) Era 90-an, pada Kongres WCPA (World Commission on Protected
Areas) di Caracas, Venezuela tahun 1993 yang mengamanahkan
bahwa pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa hanya dikelola
oleh single institution, melainkan harus melibatkan berbagai pihak
yang berkepentingan, khususnya masyarakat sekitar kawasan.
Implikasinya, berbagai pendekatan pengelolaan seperti pendekatan
partisipasi (participatory approach) dan pengelolaan bersama (joint
management ataupun collaborative management approaches) menjadi
jargon pengelolaan sumber daya hutan, termasuk kawasan konservasi.
Era ini juga ditandai dengan maraknya proyek mega-juta dolar, ICDP
atau sinonimnya.
18 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
(5) Era 2000-an, dari hasil Kongres WCPA terakhir di Durban, Yordania
tahun 2003 yang lalu, memandatkan bahwa pengelolaan kawasan
konservasi harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para
pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat yang tinggal di
dalam dan sekitar kawasan konservasi. Seiring dengan perkembangan
tersebut, berbagai kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan
pengelolaan kawasan konservasi juga selayaknya mengikutinya. Hal ini
penting, karena institusi konservasi yang saat ini diimplementasikan
di Indonesia masih mengikuti perkembangan konservasi pada era-era
sebelumnya.
Pelaksanaan perlindungan alam di Indonesia sendiri sudah dimulai sejak
sebelum masa kemerdekaan. Usaha perlindungan alam ini dipelopori Dr.
S.H. Koorders, yang membentuk dan menjadi ketua Tot Natuurbescherming
(Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda). Bekerja sama dengan
ahli botani, Th Valeton, perkumpulan tersebut berjasa menerbitkan karya
besar 13 jilid buku “Bijdragen tot de kennis der boomsoorten van Java”,
merupakan inventarisasi jenis-jenis pohon dari Jawa, yang dilakukan pada
1893–1914. Pada Maret 1913, perkumpulan itu mengajukan usulan
kepada pemerintah Hindia Belanda untuk menetapkan 12 lokasi sebagai
cagar alam, di antaranya beberapa danau di Banten, Pulau Krakatau,
kawah Papandayan, Semenanjung Ujung Kulon, laut pasir di Bromo,
Pulau Nusa Barung, Semenanjung Purwo Blambangan, dan kawah Ijen.
Kawasan hutan di luar Jawa yang diusulkan untuk dilindungi mencakup
Gunung Kerinci pada 1925, Gunung Leuser pada 1934 seluas 400.000
ha, serta beberapa kawasan di Kalimantan dan Irian. Meskipun cagar
alam dan kawasan perlindungan alam telah ditetapkan, tetapi tindakan
tersebut berdiri sendiri dan bukan akibat dari rancangan umum mengenai
konservasi alam yang dilakukan pemerintah (Dephut 1986).
Selanjutnya pemerintah menerbitkan Ordonansi Perlindungan Alam
tahun 1941 yang sesungguhnya tidak pernah diundangkan. Sejak
itu, wilayah di luar penguasaan negara juga boleh ditetapkan sebagai
kawasan dilindungi dengan persetujuan pemilik hak. Dalam ordonansi
tersebut, kawasan perlindungan juga termasuk kawasan terumbu karang
di mana masyarakat lokal mempunyai hak untuk menangkap ikan dan
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 19
Gambar 1. Persebaran lokasi 50 taman nasional di Indonesia (data sampai dengan tahun 2011)
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 23
b. Konflik kepentingan
1) Terbatasnya akses masyarakat lokal untuk pemanfaatan sumber
daya alam kawasan taman nasional, di mana sebelum kawasan
hutan tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional
masyarakat mendapatkan akses untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dari pemanfaatan sumber daya alam. Akses
masyarakat tersebut sebenarnya masih tetap dapat diteruskan
dengan mengalihkan kegiatan yang bersifat ekstraktif menjadi
peningkatan pendapatan melalui pemanfaatan jasa wisata dan
lingkungan. Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan terhadap
kayu bangunan, kayu bakar, satwa buru, perikanan, dan lain-lain
dapat dikembangkan pada daerah penyangga taman nasional.
2) Konflik tumpang tindih kepentingan konservasi dengan sektor
lain untuk kegiatan pembangunan jalan, sarana komunikasi,
transmisi jaringan listrik, jaringan pipa air, latihan militer,
dan lain-lain. Hal tersebut sebenarnya dapat dihindari apabila
dipahami benar kepentingan konservasi oleh berbagai pihak
yang berkepentingan, atau bilamana hal tersebut memiliki
kepentingan strategis diperlukan kajian yang mendalam dan
diperlukan antisipasinya untuk meminimalisasi dampak negatif
yang mungkin terjadi.
c. Keterbatasan kemampuan pengelola taman nasional
1) Kualitas tenaga pengelola taman nasional, umumnya sebagian besar
(+ 70%) merupakan pegawai lulusan SLTA dengan pengetahuan
konservasi dan ekologi serta kemampuan berkomunikasi
dengan masyarakat yang sangat terbatas. Untuk itu diperlukan
bantuan pelatihan peningkatan kemampuan personel di samping
dilakukan restrukturisasi kualitas petugas melalui rekrutmen
tenaga baru atau dukungan keahlian dari mitra kerja.
2) Data dan informasi mengenai keanekaragaman hayati dan fisik
kawasan taman nasional masih sangat terbatas dan memerlukan
data terbaru (updating), guna mendukung kepentingan
pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan taman nasional.
Dukungan para mitra untuk membantu pelaksanaan kegiatan
survei/inventarisasi maupun pengembangan manajemen sistem
informasi sangat diharapkan agar berbagai kebijakan dan
32 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
dan permukiman tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari masalah
keutuhan ekosistem dan budaya setempat. Sebagai gambaran, sebaran
keluarga yang bertempat tinggal di Kawasan Lindung disajikan pada
Gambar 6 (KPK 2005).
lahan kawasan hutan Indonesia terdiri atas 41,26 juta ha hutan primer,
45,55 juta ha hutan sekunder, 2,82 juta ha hutan tanaman serta 41,05
juta ha merupakan areal yang tidak berhutan. Penutupan lahan berhutan
terdapat juga di luar kawasan hutan/areal penggunaan lainnya yaitu sekitar
8,07 juta hektar yang potensial dijadikan penunjang industri kehutanan
baik yang berbasis kayu maupun nonkayu (Kementerian Kehutanan
2011).
Penyusutan ini disebabkan oleh penebangan hutan yang tidak terkendali,
penjarahan hutan, kebakaran, dan konversi untuk kegiatan lain seperti
pertambangan, pembangunan jalan, dan permukiman. Pada periode
2003–2006, deforestasi di dalam kawasan hutan sebesar 0,76 juta ha/th
(64,8%) terdiri dari angka deforestasi pada hutan primer sebesar 4,5%
atau 52,3 ribu ha/th, pada hutan sekunder sebesar 52,8% atau 620,2
ribu ha/th dan pada hutan lainnya sebesar 7,6% atau 88,7 ribu ha/th.
Sedangkan pada areal penggunaan lain dihasilkan angka deforestasi pada
hutan primer sebesar 24,1 ribu ha/th (2,1 %), pada hutan sekunder sebesar
359,1 ribu ha/th (30,6%) dan pada hutan lainnya sebesar 29,7 ribu ha/
th (2,5%). Deforestasi rata-rata seluruh daratan Indonesiamencapai 1,17
juta ha/th, diantaranya 55,6 ribu ha/th terjadi di kawasan konservasi
(Badan Planologi Kehutanan 2008). Dampak lanjutan dari kerusakan ini
adalah terjadinya degradasi lahan yang disebabkan oleh erosi dan tanah
longsor, serta berdampak pula terhadap penurunan produktivitas lahan
yang dikelola oleh masyarakat.
Saat ini, kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam dan kawasan
lindung hanya terpusat pada satu kementerian atau unit pemerintahan.
Pola pengelolaan seperti ini menyebabkan lemahnya koordinasi antara
departemen dan pemerintah daerah, antara pemerintah dengan masyarakat,
dan antara pemerintah, masyarakat, dan swasta. Sementara itu, beberapa
kewenangan untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup
sebagian berada di tangan kementerian/lembaga di pusat dan sebagian
berada di tangan pemerintah daerah. Hal ini menyebabkan terjadinya
konflik kepentingan akibat perbedaan tafsir dan kepentingan, serta
kelambanan dalam pengambilan keputusan terutama pada saat mengatasi
berbagai kesalahan pengelolaan sumber daya alam dan kerusakan
lingkungan hidup.
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 47
♦ Mengembangkan sistem insentif bagi masyarakat dan pelaku bisnis yang membela kelestarian keanekaragaman
hayati
3. Penetapan dan ♦ Mengembangkan kelembagaan untuk menegakkan aturan tata ruang
pelaksanaan ♦ Penetapan kebijakan mengenai penguatan kelembagaan daerah dalam pengelolaan keanekaragaman hayati,
pengendalian ♦ Mengembangkan kelembagaan daerah yang mendukung pengelolaan kawasan lindung (termasuk taman
kemerosotan nasional) dan pelestarian jenis dilindungi
keanekaragaman hayati ♦ Mengembangkan Penilaian Lingkungan Strategis (Strategic Environmental Assessment) dan menguatkan
skala kabupaten kelembagaan AMDAL dalam setiap proyek pembangunan
♦ Mengembangkan sistem mitigasi dampak lingkungan
♦ Mengembangkan sistem pelayanan publik yang membuka akses informasi mengenai keanekaragaman hayati
daerah
Tabel 1. Rincian upaya yang perlu dilakukan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan keanekaragaman hayati
(lanjutan)
Peran dan Tanggung Jawab Upaya-Upaya yang Perlu Dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota
4. Pemantauan ♦ Mengembangkan kelembagaan untuk pemantauan dan pengawasan konservasi keanekaragaman hayati
dan pengawasan ♦ Mengembangkan mekanisme kelembagaan yang menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi
pelaksanaan konservasi dalam pengelolaan, pemantauan, pengawasan dan pengendalian pengelolaan keanekaragaman hayati di daerah
keanekaragaman hayati
skala kabupaten
5. Penyelesaian konflik ♦ Mengembangkan mekanisme pengelolaan konflik keanekaragaman hayati
dalam pemanfaatan ♦ Menetapkan perda yang mengakui eksistensi masyarakat adat (bila ada)
keanekaragaman hayati ♦ Mengembangkan kebijakan yang menyediakan ruang kelola bagi masyarakat, guna mempertegas hak dan
skala kabupaten akses masyarakat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati
6. Pengembangan ♦ Pengumpulan Baseline Information sebagai basis koordinasi dan perencanaan (dokumen, format mengacu pada
manajemen sistem penyusun profil keanekaragaman hayati)
informasi dan ♦ Mendokumentasikan kearifan lokal dalam pengelolaan keanekaragaman hayati
pengelolaan data base
keanekaragaman hayati
skala kabupaten
7. Pengembangan ♦ Mengembangkan sistem insentif untuk mengembangkan kapasitas individu dan kelembagaan sosial di bidang
kapasitas masyarakat pengelolaan keanekaragaman hayati
dalam pengelolaan ♦ Mengembangkan kurikulum sekolah tingkat dasar dan menengah yang memiliki muatan konservasi
keankeragaman hayati keanekagaraman hayati daerah
♦ Mendorong para pihak untuk mengembangkan program pendidikan konservasi keanekaragaman hayati
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia
Gambar 13. Ilustrasi pro dan kontra kemitraan (ko-manajemen) dan jalan
tengah yang diusulkan (dimodifikasi dari Borrini-Feyerabend
et al. 2000)
B. Peraturan Perundang-undangan
Tahun 2004 dapat dikatakan sebagai tonggak penting dalam
pengembangan model atau pendekatan pengelolaan taman nasional di
Indonesia. Dengan lahirnya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/
Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam, dapat dikatakan pengaturan kemitraan
pengelolaan kawasan konservasi, termasuk di kawasan taman nasional
telah memiliki dasar hukum yang cukup kuat. Pengaturan secara spesifik
ini telah membuka ruang bagi pengelola taman nasional untuk melakukan
kemitraan atau kolaborasi dengan berbagai pihak. Permenhut ini secara
94 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
Taman nasional tidak hanya berisi sumber daya alam yang memiliki ciri
barang publik atau CPR, tetapi merupakan sebuah konsep pengelolaan
sumber daya alam yang memiliki mandat legal untuk mencapai tujuan
tertentu yang dalam beberapa hal tidak sejalan dengan harapan pihak
tertentu, termasuk masyarakat lokal yang telah menjadi bagian dari
ekosistem di mana sumber daya alam tersebut berada. Isu-isu pengelolaan
taman nasional yang mencuat ke permukaan seringkali diwarnai oleh
konflik tenurial, akses, dan pemanfaatan sumber daya alam secara
ilegal. Secara sosial, hadirnya pengelola taman nasional dengan mandat
tertentu merupakan inisiatif baru yang mengundang para penunggang-
bebas (free-rider) untuk memanfaatkan kesempatan guna mendapatkan
manfaat sumber daya alam secara mudah dan murah, sehingga akan
direspons melalui aksi kolektif oleh masyarakat lokal yang sudah memiliki
kelembagaan baku. Lemahnya kapasitas pengelola taman nasional dan
lemahnya dukungan para pihak terhadap pencapaian tujuan pengelolaan
taman nasional, memperburuk situasi dan menyulitkan pengelola untuk
memenuhi kinerja harapan. Taman nasional ibarat sebuah sistem CPR
yang besar dan memiliki beberapa atau banyak subsistem CPR yang secara
teoritis sudah atau dapat dikelola melalui berbagai aksi kolektif untuk
merespons dinamika sosial-budaya dan ekonomi yang terus berlangsung.
Pendekatan zonasi dalam pengelolaan taman nasional secara jitu mampu
mewadahi berbagai kategori CPR bila dikemas dengan cara yang tepat
untuk memenuhi seluruh aspirasi terhadap sumber daya alam yang
berkembang, tetapi masih sesuai dengan koridor untuk mencapai tujuan
pengelolaan taman nasional secara menyeluruh. Kerangka pikir untuk
memecahkan masalah tersebut telah mendorong pengelolaan kolaboratif
taman nasional di Indonesia.
Memahami PKTN—yang pada tingkat tertentu mendorong terwujudnya
pengelolaan taman nasional berbasis masyarakat—secara utuh tidak
cukup dengan mengandalkan ilmu-ilmu ekologi, sosial, dan ekonomi
yang konvensional. Konsep pluralisme sebagai basis kemitraan dalam
pengelolaan sumber daya hutan telah dibahas oleh Wollenberg, Anderson
dan Lopez (2005) serta Suporahardjo (2005). Selain itu, berbagai bidang/
subbidang ilmu ”baru” yang lahir antara periode 1970–1980-an juga
merupakan fondasi penting untuk memahami konsep kemitraan pada
tingkat ideal, yaitu (Berkes 2004):
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 105
Pelestarian Alam (KPA) untuk meredam benturan hukum yang kerap kali
terjadi dalam implementasinya. Selain itu, kolaborasi diharapkan mampu
menjawab permasalahan konflik tenurial dan akses terhadap sumber
daya alam, sekaligus menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat
guna meningkatkan kualitas penghidupannya. Dari sisi kelembagaan,
pengelolaan kolaboratif dapat dipandang sebagai instrumen untuk
mengembangkan kemitraan melalui pembagian peran, biaya dan manfaat
yang adil antarpihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan taman
nasional, baik secara keseluruhan atau bagian-bagiannya. Pada tataran
implementasi, kemitraan pengelolaan taman nasional bersifat unik dan
spesifik tapak sesuai dengan keragaman ruang ekologi, sosial-budaya,
kewenangan, dan ekonomi wilayah.
satwa endemik, (3) ekoturisme, dan (4) fungsi produksi serta fungsi
lainnya. TN-MT merupakan rumah dari 9 jenis burung endemik yang
ada di Pulau Sumba di samping flora dan fauna lainnya yang sangat kaya.
Terdapat 22 desa yang berdampingan langsung dengan taman nasional.
Iklim yang kering menjadikan taman nasional sebagai salah satu daerah
tangkapan air yang penting bagi masyarakat Pulau Sumba.
Kondisi alam yang semakin memprihatinkan, ancaman kepunahan spesies
burung endemik, semakin berkurangnya sumber mata air, tingginya
aktivitas illegal logging untuk pemenuhan kebutuhan kayu yang meningkat,
berkurangnya kekuatan hubungan sosial budaya di dalam masyarakat serta
nilai-nilai lokal yang berwawasan konservasi memunculkan gagasan untuk
melakukan pengelolaan kolaboratif. Selain itu, adanya target peningkatan
luas penutupan hutan menjadi 30% dari luas pulau untuk memenuhi
keseimbangan ekosistem, adanya resistensi dari masyarakat terhadap
penunjukan taman nasional karena tidak jelasnya tata batas kawasan, serta
belum terakomodirnya aspirasi masyarakat dalam strategi pengelolaan
sumber daya alam memunculkan gagasan untuk melakukan pengelolaan
kolaboratif.
Melalui pengelolaan kolaboratif diharapkan dapat dicapainya pengelolaan
Taman Nasional Manupeu Tanadaru dengan batas definitif yang diakui
dan diterima semua pihak; serta mampu mengomunikasikan dan
mengoordinasikan permasalahan dan kepentingan para pihak. Lebih lanjut
diharapkan terakomodirnya kepentingan dan aspirasi masyarakat dalam
pelestarian sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Untuk mengawal kolaborasi dibentuk sebuah kemitraan antara beberapa
pihak, yaitu BKSDA, kelembagaan formal pemerintah seperti Panitia Tata
Batas oleh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Balai Pemantapan Kawasan
Hutan (BPKH) Wilayah VIII Bali, LSM (BirdLife Indonesia, Yayasan
Pakta dan Tananua), kelembagaan yang ada di desa, (KMPH/ Kelompok
Masyarakat Pelestarian Hutan, FKAD/Forum Komunikasi Antar Desa),
serta masyarakat adat. KMPH merupakan lembaga yang mendukung
masyarakat dan pemerintahan desa dalam pelestarian sumber daya alam
dan sebagai leader dalam implementasi KPAD. LSM berperan sebagai
mediator dalam penyelesaian masalah dan fasilitator dalam pemberdayaan
masyarakat termasuk untuk penyelesaian masalah batas.
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 121
Capaian dari kolaborasi ini adalah hak wilayah hidup orang rimba seluas
60.500 ha telah diakui melalui proses panjang, termasuk pencabutan
izin perusahaan pemegang konsesi hutan sekitar TNBD pada tahun
2006. Selanjutnya “hompongan” sangat efektif untuk menahan tekanan
perambahan, di samping menjadi sumber ekonomi orang rimba. Lembaga
kemandirian berjalan dalam mengelola “hompongan” dan akses pasar
hasil hutan yang dikembangkan kader orang rimba yang dididik juga oleh
penghulu adat. Program pemberdayaan masyarakat mulai mendapatkan
dukungan riil dari pemerintah daerah, berupa pemberian fasilitas kartu
sehat orang rimba, bantuan bibit dan alat-alat pertanian serta pembangunan
wana tani untuk desa.
TNMB dan tanaman pangan (Murniati 2004). Pada tahun 1996, diawali
dengan pembuatan demplot seluas 7 ha yang dikelola bersama masyarakat
dengan aturan 1 KK menggarap 0,25–0,5 ha. Kemudian masyarakat lokal
diberdayakan dengan pembentukan kelompok tani hutan (KTH) yang
mengorganisir keterlibatan KK di tiap desa. Proses penguatan kelembagaan
petani dan peningkatan kapasitas dijalankan agar masyarakat memiliki
kemampuan manajerial dan teknis. Pengembangan industri tanaman obat
skala rumah tangga menjadi entry point peningkatan pendapatan ekonomi
masyarakat dengan dukungan akses pasar. Tuntutan rehabilitasi lahan
yang semakin besar mendorong sosialisasi dan replikasi di desa-desa lain.
Perluasan skala pengelolaan zona rehabilitasi, baik luas lahan dan jumlah
keterlibatan KTH ditindaklanjuti dengan berbagai aktivitas dengan tujuan
spesifik yaitu penguatan kelembagaan lokal, pembentukan jaringan KTH
antardesa, pembentukan lembaga konservasi tiap desa, dan pemetaan
partisipatif.
Rehabilitasi zona rehabilitasi TNMB yang bertumpu pada kepentingan
masyarakat telah memacu laju pemulihan hutan, walaupun belum
sepenuhnya mampu mengimbangi laju kerusakannya. Ada kepastian
pemanfaatan hasil bagi pelaku rehabilitasi menjadi kunci peningkatan
partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi (Murniati 2004).
Pengembangan model pengelolaan zona rehabilitasi di TNMB hingga
tahun 2006 memberikan implikasi positif, baik dari segi perluasan
dampak fisik, ekologi, sosial ekonomi, dan kelembagaan. Secara fisik,
skala pengelolaan zona rehabilitasi dengan agroforestri tanaman obat
sudah diperluas dari demplot 7 ha menjadi 2.250 ha. Secara ekologi, zona
rehabilitasi sudah dapat dihijaukan dengan sekitar 250.000 pohon. Secara
ekonomi, tumpang sari dapat memenuhi 52% kebutuhan pokok petani,
sementara hasil tanaman pokok mampu menyumbang pendapatan sekitar
Rp1 juta per tahun. Sementara itu, home industry Tanaman Obat Keluarga
(TOGA) mulai berkembang di tiap-tiap desa. Secara sosial, tercipta
simbiosis mutualisme dengan Balai TNMB karena masyarakat sekitar ikut
berperan dalam pengamanan kawasan. Secara kelembagaan, jumlah KTH
berkembang mencapai 108 buah sehingga mendorong pembelajaran
petani antardesa dan pengembangan kader konservasi potensial. Bahkan
terdapat 32 buah usaha bersama yang dikembangkan oleh jaringan KTH
tersebut.
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 137
Sisi lain yang juga harus diakui bahwa Mitra Kutai belum benar-benar
menjadi lembaga yang terbuka, bahkan belum bisa membangun semangat
Pemda bahwa kemitraan ini dibentuk atas semangat banyak pihak
termasuk Pemda. Mitra Kutai belum berhasil didorong untuk menjadi
salah satu bentuk kolaboratif pengelolaan TN Kutai yang mampu
menjembatani kepentingan banyak pihak dalam pengelolaan TN Kutai.
Dalam melaksanakan program pengelolaan TNK, tidak jarang masing-
masing pemangku kepentingan, termasuk swasta yang tergabung dalam
Mitra Kutai menjalankan programnya secara terpisah (tidak terintegrasi
atau kurang koordinasi) sehingga hasilnya tidak optimal (Sambodo
2004).
sarana-prasarana interpretasi
5. Penelitian dan Pengembangan
1. Pengembangan program X
penelitian flora, fauna dan
ekosistemnya
2. Identifikasi/inventarisasi sosial,
budaya masyarakat
Tabel 4. Jenis Kegiatan menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 yang telah
dikolaborasikan di delapan taman nasional peserta workshop pengelolaan kolaboratif taman nasional tahun
2009 (lanjutan)
No. KEGIATAN KOLABORASI TNKM TNS TNBK TNTN TNBB TNWasur TNBW TNGHS
6. Perlindungan dan Pengamanan
Potensi Kawasan (ada inisiasi para
Penguatan pelaksanaan pihak untuk
perlindungan dan pengamanan mendukung
Penguatan pencegahan dan pengamanan
penanggulangan kebakaran hutan kawasan)
7. Pengembangan Sumber Daya Manusia
dalam rangka mendukung pengelolaan X (ada inisiasi para
KSA dan KPA pihak untuk
Pendidikan dan Pelatihan mendukung
terhadap petugas. pendidikan dan
Pendidikan dan Pelatihan pelatihan thd
terhadap masyarakat setempat. masyarakat)
8. Pembangunan Sarana dan Prasarana
dalam rangka menunjang pelaksanaan (ada inisiasi para X X
kolaborasi pihak)
Sarana pengelolaan
Sarana pemanfaatan
9. Pembinaan Partisipasi Masyarakat
Program peningkatan (ada inisiasi para
kesejahteraan masyarakat pihak)
Program peningkatan kesadaran
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
masyarakat
Keterangan:
155
para pihak dan ditandangani Implementasi program pada para piihak. Perluasan
oleh Bupati Malinau, Bupati RKL I melibatkan para dalam proses Kajian Tim
Nunukan, Dirjen PHKA, pihak. Terpadu dan RPTN dalam
dan Menteri Kehutanan proses penyelesaian.
3. Eksistensi Telah ada DP3K sebagai Belum ada Belum ada Yayasan Tesso Nilo
Lembaga lembaga kolaboratif TNKM. merupakan wadah kerja
Kolaboratif sama para pihak.
Tabel 5. Hasil evaluasi pengelolaan kolaboratif di delapan TN berdasarkan variabel dan kriteria yang ditetapkan
(TNKM, TNS, TNBK, TNTN) (lanjutan)
VARIABEL
No. TNKM TNS TNBK TNTN
EVALUASI
SPIRIT:
4. Mutual Trust Komunikas belum terjalin Pada tingkat program Pada tingkat program tertentu Proses ”trust building”
secara memadai sehingga pengamanan dan telah ada proses ”trust masih terus berlangsung.
sulit menggambarkan pemberdayaan proses ”trust building”, terutama dalam Proses tersebut telah
terjadinya mutual trust, building” sudah dimulai. aspek pengamanan kawasan. mendapatkan dukungan
walaupun pada tahap awal para pihak untuk perluasan
pembentukannya partisipasi TN.
para pihak tinggi.
5. Mutual Eksistensi para pihak Eksistensi masyarakat Eksistensi para pihak telah Eksistensi para pihak
Respect telah dihargai dan dan pemerintah daerah diakomodasikan, mekanisme telah diakomodasikan,
diakomodasikan dalam telah diakomodasikan, pengambilan keputusan mekanisme pengambilan
pengelolaan TNKM; mekanisme pengambilan bersama belum dilembagakan. keputusan bersama
pengambilan keputusan keputusan bersama belum dilembagakan melalui
bersama dalam proses dilembagakan. Yayasan Tesso Nilo.
untuk diwujudkan dalam
kelembagaan kolaboratif
6. Mutual Manfaat ekologi dapat Manfaat ekologi dapat Manfaat ekologi dapat Manfaat ekologi dapat
Benefit dirasakan bersama, tetapi dirasakan bersama, tetapi dirasakan bersama, tetapi dirasakan bersama, tetapi
manfaat sosial dan ekonomi manfaat sosial dan ekonomi manfaat sosial dan ekonomi manfaat sosial dan ekonomi
belum dirasakan secara belum dirasakan secara belum dirasakan secara belum dirasakan secara
nyata oleh masyarakat dan nyata oleh masyarakat dan nyata oleh masyarakat dan nyata oleh masyarakat dan
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
Tanggung belum dapat diwujudkan BTN masih menjadi pusat belum dapat diwujudkan sepenuhnya dapat
Jawab secara maksimal di pengambilan keputusan diwujudkan dan masih
tingkat praktis dan belum dikemas pada tingkat
melembaga. program.
10. Kesepakatan Telah ada pembagian hak Hak dan kewajiban di tata di Secara eksplisit, kesepakatan Kesepakatan hak dan
Hak dan dan kewajiban. tingkat program, BTN masih hak dan kewajiban belum kewajiban belum
Kewajiban menjadi pusat pengambilan dapat diwujudkan sepenuhnya dapat
keputusan diwujudkan dan masih
dikemas pada tingkat
program
Tabel 5. Hasil evaluasi pengelolaan kolaboratif di delapan TN berdasarkan variabel dan kriteria yang ditetapkan
(TNKM, TNS, TNBK, TNTN) (lanjutan)
VARIABEL
No. TNKM TNS TNBK TNTN
EVALUASI
11. Kesetaraan Sudah ada kontribusi biaya Masih berpusat pada biaya Sudah ada kontribusi biaya Kontribusi biaya dari
Distribusi pada tingkat program dari yang bersumber dari APBN. pada tingkat program dari para pihak masih dikemas
Biaya dan para pihak, tetapi belum para pihak, tetapi belum pada tingkat program,
Manfaat dapat dilembagakan. dilembagakan. mekanisme “trust fund”
belum operasional
SUFFICIENT PRINCIPLES:
12. Saling Belum dapat dilembagakan. Belum ada proses untuk Belum ada proses untuk Belum ada proses untuk
Bertanggung- merumuskan mekanisme merumuskan mekanisme merumuskan mekanisme
gugat tanggung gugat. tanggung gugat. tanggung gugat.
13. Transparansi Di tingkat kebijakan Tidak nampak ada proses Tidak nampak ada proses Mekanisme pengambilan
Pengambilan transparansi pengambilan pengambilan keputusan pengambilan keputusan keputusan bersama belum
Keputusan keputusan di DP3K telah bersama di tingkat bersama di tingkat jelas.
Bersama dilakukan. pengelolaan TN. pengelolaan TN.
14. Komitmen Secara prinsip komitmen Komitmen belum terbentuk Sudah ada program saling Sudah ada program saling
Saling telah terbentuk, belum menguatkan kapasitas dari menguatkan kapasitas dari
Menguatkan diimplementasikan secara inisiatif para pihak. inisiatif para pihak.
Kapasitas optimal.
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
163
Tabel 5. Hasil evaluasi pengelolaan kolaboratif di delapan TN berdasarkan variabel dan kriteria yang ditetapkan
(TNBB, TNWasur, TNW, TNGHS) 164
VARIABEL
No. TNBB TNWasur TNW TNGHS
EVALUASI
DSEKRIPSI UMUM KEMITRAAN
1. Level Kolaborasi di tingkat Kolaborasi di tingkat Kolaborasi penuh, mengingat Kolaborasi penuh,
Kolaborasi program secara parsial. program, khususnya luas TN Wakatobi overlap mengingat banyak terdapat
pemberdayaan adat dalam 100% dengan Luas Kabupaten desa dan kampung di dalam
pengelolaan TN dan Wakatobi. TNGHS.
mekanisme pendanaan.
2. Rencana RPTN belum disusun Tidak ada informasi apakah RPTN disusun secara RPTN (RPJP) dan RPJM
Kolaboratif secara kolaboratif. RPTN disusun secara kolaboratif pada tahun 2008 disusun secara kolaboratif
Implementasi beberapa kolaboratif atau tidak.
program melibatkan para
pihak, terutama dalam
pemberdayaan nelayan.
3. Eksistensi Terdapat Forum Komunikasi Terdapat Forum Komunikasi Terdapat Forum Peduli Terdapat Perkumpulan
Lembaga Masyarakat Peduli Pesisir Pengelolaan TN Wasur, Wakatobi dan Tim Gedepahala yang menjadi
Kolaboratif TNBB sebagai wadah sebagai wadah koordinasi Pengawasan Terpadu Perairan lembaga kolaboratif
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
13. Transparansi Tidak nampak ada proses Pengambilan keputusan Pengambilan keputusan Pengambilan keputusan
Pengambilan pengambilan keputusan bersama telah terjadi pada bersama telah terjadi pada bersama telah terjadi
Keputusan bersama di tingkat tingkat program tingkat rencana dan program pada tingkat rencana dan
Bersama pengelolaan TN program
14. Komitmen Komitmen belum terbentuk Proses untuk membangun Proses untuk membangun Dalam beberapa hal,
Saling komitmen telah terjadi komitmen telah terjadi melalui komitmen ini telah terjadi
Menguatkan melalui beberapa program beberapa program
Kapasitas
Sumber: WWF (2009)
Penguatan Kapasitas
Pengelolaan Kolaboratif
Taman Nasional
Kriteria merupakan suatu alat atau media, di mana dengan alat atau
media tersebut dapat diketahui apakah suatu unit manajemen telah
melaksanakan atau tidak prinsip-prinsip pengelolaan.
4. Indikator adalah parameter kualitatif dan atau kuantitatif yang
dapat diukur dalam kaitannya dengan kriteria. Indikator merupakan
komponen khusus dari suatu kriteria yang dapat diukur dan diuji
keabsahannya, di mana melalui indikator dapat diketahui, apakah
suatu unit manajemen telah mencapai atau tidak kriteria-kriteria
pengelolaan.
5. Norma adalah nilai acuan, tolok ukur, atau baku mutu dari suatu
indikator yang digunakan sebagai dasar penilaian atau bahan
pembanding. Dengan adanya norma ini, indikator, kriteria, dan
prinsip merupakan suatu instrumen penilaian yang terukur dan dapat
diuji keabsahannya.
6. Verifier adalah satu atau sekumpulan informasi/data yang terukur dan
dapat diuji keabsahannya dari suatu indikator. Dengan adanya verifier
ini, nilai suatu indikator dapat ditentukan.
Penjenjangan informasi (Tujuan, Prinsip [P], Kriteria [K], dan Indikator
[I]) dalam penilaian pengelolaan taman nasional lestari dilakukan untuk
menjamin konsistensi berpikir dalam mengembangkan standar yang
koheren. Penjenjangan P, K dan I memfasilitasi perumusan parameter-
parameter penilaian pengelolaan taman nasional secara konsisten dan
koheren. Setiap jenjang informasi menjelaskan fungsinya dalam pengelolaan
taman nasional sesuai levelnya serta menjelaskan karakteristik parameter
yang muncul pada level tertentu. Secara umum fungsi penjenjangan
informasi adalah sebagai berikut:
1. Menambah peluang tercakupnya seluruh aspek penting yang harus
dipantau dan dinilai.
2. Mencegah kerancuan dengan membatasi P, K dan I pada tingkat
minimum (parameter kunci) serta menghindarkan parameter yang
berlebihan.
3. Hasil penilaian memiliki hubungan transparan, setiap parameter
yang diukur memiliki hubungan yang jelas dengan prinsip yang
melandasinya.
4. Memberikan kemungkinan untuk menelusuri parameter yang kurang/
tidak sesuai dengan pengelolaan taman nasional sehingga dapat
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 173
a. Pengukuhan Kawasan
b. Penataan Kawasan
c. Pengamanan Kawasan
b. Manajemen Sumber Daya Alam, adalah strategi pengelolaan taman
nasional yang merupakan inti kegiatan dalam pengelolaan Taman
Nasional Lestari. Secara operasional, dimensi manajemen tersebut
meliputi:
a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan.
b. Pengawetan keanekaragaman hayati.
c. Pemanfaatan sumber daya alam.
c. Manajemen Kelembagaan, merupakan prasyarat kecukupan agar
pengelolaan taman nasional dapat berlangsung dan berkembang sesuai
dengan target yang telah ditetapkan. Dalam dimensi manajemen ini,
minimal terdapat 3 (tiga) hal pokok, yakni:
a. Penataan Organisasi
b. Sumber Daya Manusia
c. Keuangan
3. Kriteria dan Indikator Pengelolaan Taman
Nasional
Apabila dimensi hasil diletakkan dalam kolom suatu matrik dan dimensi
manajemen diletakkan dalam baris matrik tersebut, akan tercermin adanya
keteraturan hubungan keterkaitan dan ketergantungan antara kedua
dimensi. Sedangkan perpotongan dari masing-masing kolom dan baris
akan menunjukkan indikator apa yang sebaiknya ada apabila dilakukan
kegiatan utama tertentu untuk menghasilkan kriteria yang diinginkan.
Setiap pengelola taman nasional pada dasarnya terikat oleh 4 kategori
ruang yang berbeda-beda, yaitu: ruang ekologi, ruang sosial, ruang
ekonomi, dan ruang kewenangan. Ruang ekologi menggambarkan posisi
taman nasional dalam konektivitasnya dengan lanskap ekosistem alam
di sekitarnya; ruang sosial menggambarkan posisi taman nasional dalam
relasinya dengan keadaan sosial masyarakat lokal dalam makna koherensi
hubungan sosialnya; ruang ekonomi menggambarkan posisi taman nasional
dalam konteks pembangunan wilayah regional; dan ruang kewenangan
176 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
dari stafnya dapat diwujudkan. Selain itu juga, ada penyelarasan antara
tujuan manajemen sumber daya manusia dengan tujuan organisasi. Kinerja
sumber daya manusia dapat ditingkatkan melalui tiga komponen perilaku
yaitu pengetahuan, kemampuan, dan sikap. Hasil penelitian Gagne (1985)
dan Merrill (2002) menemukan bahwa belajar paling baik dilakukan
jika subjek yang harus dipelajari dipecah menjadi pengetahuan yang
dibutuhkan untuk melakukan suatu tugas, keterampilan yang diperlukan
untuk melaksanakan tugas, dan dalam kasus lanjutan, kompetensi, yang
merupakan kombinasi dari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan
untuk melaksanakan tugas-tugas kompleks. Kompetensi tidak hanya
terfokus pada aspek teknis untuk melakukan pekerjaan dengan baik, tetapi
juga pada aspek manajerial dan kepribadian interpersonal yang diperlukan
untuk berfungsi sebagai seorang profesional. Seyogianya seorang staf TN
harus memiliki pengetahuan yang cukup, harus termotivasi, dan harus
memiliki kemampuan agar merasa berdaya dalam melaksanakan tugasnya.
Pengetahuan, kemampuan, dan sikap yang menyatu dalam pelaksanaan
tugas profesional akan meningkatkan kinerja seseorang. Dengan kata lain,
peningkatan kompetensi akan meningkatkan kinerja.
Kompetensi dibutuhkan untuk mencapai kinerja yang efektif dalam
melaksanakan pekerjaan. Kompetensi dalam kolaborasi dapat dilakukan
pada level balai, seksi maupun resort yang pengembangannya disesuaikan
dengan wewenang masing-masing. Tabel 6 menunjukkan uraian unit
kompetensi untuk kepala balai, kepala seksi wilayah dan kepala resort
taman nasional terkait dengan PKTN. Daftar unit kompetensi terpilih
sesuai dengan Standar Kompetensi SDM KPH Konservasi yang telah
divalidasi melalui keputusan Ketua BNSP No. KEP-26/BNSP/VI/2008
tanggal 13 Juni 2008 tentang Penetapan Kelayakan Standar Kompetensi
Jabatan Pengelola Kawasan Konservasi (Competence Standards for
Protected Area Jobs in South East Asia ,Regional Centre for Biodifersity
Conservation) sebagai acuan dalam skema sertifikasi kompetensi pihak
pertama.
Tabel 6. Kompetensi kepala balai, kepala seksi wilayah, dan kepala resort taman nasional terkait dengan manajemen
kolaborasi
Kepala Kepala Kepala
Kompetensi
Balai Seksi Resort
HRM Pengembangan Sumber Daya Manusia
3.1 Mengarahkan, mengawasi dan memotivasi setiap individu serta kelompok √
3.2 Memantau dan mengevaluasi kinerja staf/pegawai √
3.3 Menemukan sumber penyebab rendahnya kinerja staf /pegawai dan mengonsultasikannya dengan staf √
terkait untuk setiap permasalahan kinerja
3.4 Memulai perilaku disiplin secara formal dan membangun mekanisme penyampaian permasalahan √
3.5 Menyelesaikan konflik di lingkungan tempat kerja √
FIN Pengelolaan Sumber Daya Fisik dan Keuangan
3.1 Mempersiapkan alokasi anggaran dan merencanakan serta memantau penggunaan sumber daya √
3.2 Menerapkan standar lingkungan yang baik dalam pemanfaatan sumber daya √
COM Komunikasi
2.1 Membuat presentasi lisan secara efektif √
2.2 Menyiapkan laporan untuk setiap aktivitas pekerjaan √
2.3 Komunikasi dalam bahasa lain dan/atau dialek √
3.1 Mengorganisasi dan memimpin pertemuan formal √
3.2 Memberikan presentasi dan mengajaeteknis secara formal √ √
3.3 Menulis laporan teknis/makalah √ √
3.4 Menganalisis dan mensosialisasikan isu-isu kompleks √ √
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional
4.3 Mekanisme kelembagaan untuk konsultasi publik dan komunikasi keputusan, kebijaksanaan, dan √
perencanaan
Tabel 6. Kompetensi kepala balai, kepala seksi wilayah, dan kepala resort taman nasional terkait dengan manajemen 186
kolaborasi (lanjutan)
Kepala Kepala Kepala
Kompetensi
Balai Seksi Resort
PRO Pengelolaan dan Pengembangan Program Pembangunan
3.1 Mengembangkan rencana operasional √
3.2 Mengatur ketua-ketua tim, para kontraktor, kolaborator pada tatanan implementasi rencana kerja √
3.3 Mencatat dan memantau hasil-hasil program pembangunan √
3.4 Menyiapkan rencana teknis program pembangunan √
4.4 Memimpin pembangunan kolaborasi kemitraan dan program dengan lembaga lain √
NAT Penilaian Sumber Daya Alam
1.1 Mengidentifikasi jenis-jenis tumbuhan dan satwa serta tipe habitat √
1.2 Mencatat dan melaporkan pengamatan hidupan liar secara tepat √
1.2 Membantu kegiatan sensus, monitoring, dan pekerjaan lapangan lainnya √
SOC Penilaian Sosial, Ekonomi dan Budaya
2.1 Melakukan survei sosial ekonomi dan budaya di lapangan menggunakan teknik dasar √
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
4.5 Mengidentifikasi dan memobilisasi sumber daya lainnya untuk membantu, mendukung dan mendanai √
komunitas lokal
Tabel 6. Kompetensi kepala balai, kepala seksi wilayah, dan kepala resort taman nasional terkait dengan manajemen 188
kolaborasi (lanjutan)
Kepala Kepala Kepala
Kompetensi
Balai Seksi Resort
PAM Kebijakan, Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi
4.1 Mengkoordinasikan desain sistem zonasi kawasan konservasi sehingga terpenuhi kepentingan konservasi dan √
kepentingan lainnya
4.2 Memimpin penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi √
4.3 Membangun kesepakatan dengan pihak lokal untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi √
5.4 Mengembangkan dan implementasi sistem manajemen alternatif kawasan konservasi √
5.5 Mengelola proses penunjukan, penataan batas, dan penetapan kawasan konservasi √
5.6 Memberikan kontribusi dalam pengembangan dan pembaharuan kebijakan yang terkait dengan kawasan √
konservasi
REC Rekreasi dan Wisata
3.1 Mengidentifikasi potensi dan kegiatan wisata yang sesuai √
3.2 Mengidentifikasi kebutuhan informasi yang terkait dengan pengunjung dan perencanaan survei wisata √
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
3.3 Mengidentifikasi dampak wisata yang potensial serta mendesain sistem pemantauan dampak √
3.4 Menyusun standar pencegahan/ pengurangan/ mitigasi dampak pengunjung √
3.5 Mensupervisi keselamatan dan keamanan pengunjung dan pengguna lain √
3.6 Memantau dan mensupervisi kegiatan √
Tabel 6. Kompetensi kepala balai, kepala seksi wilayah, dan kepala resort taman nasional terkait dengan manajemen
kolaborasi (lanjutan)
Kepala Kepala Kepala
Kompetensi
Balai Seksi Resort
AEP Penyuluhan, Pendidikan dan Kehumasan
1.1 Memberikan informasi dasar ke stakeholder dan pengunjung √ √
2.1 Memberikan informasi pada pengunjung anggota masyarakat dan umum √
2.3 Menyampaikan struktur program awarness bagi orang dewasa/masyarakat √
3.1 Merencanakan kegiatan program pendidikan dan awarness √
3.2 Melakukan penelitian, membuat rencana, desain awarness/dan penulisan publikasi pendidikan √
3.3 Melakukan penelitian, membuat rencana dan desain jalur interpretasi √
3.4 Mengorganisir event khusus untuk publik √
3.5 Melakukan penelitian, membuat rencana dan desain interpretasi atau papan petunjuk/pameran √
3.6 Melakukan penelitian, membuat rencana dan desain dasar program kurikulum di sekolah √
3.7 Mengumpulkan, memverifikasi dan menyebarluaskan berita dan informasi √
3.8 Memberikan informasi untuk media √
Sumber: Modul Kepala Balai, Modul Kepala Seksi dan Modul Kepala Resort, Basic Training I Collaborative Management for National Park Staff
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional
189
190 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
1. Kelembagaan
Sebagai sebuah inisiatif kelembagaan baru, PKB-TNGHS merupakan
bagian tak terpisahkan dari BTNGHS tetapi bekerja secara otonom
sebagai badan hukum tersendiri untuk mengatasi kesenjangan dalam
fleksibilitas penggunaan dana pemerintah dengan menggalang dana
dari berbagai pihak yang bersifat tidak mengikat. Dengan demikian,
kejelasan pembagian peran antara BTNGHS dan PKB menjadi prasyarat
utama bagi terwujudnya pengelolaan kolaboratif TNGHS. Gambar
18 menyajikan kerangka kelembagaan PKB dan posisinya terhadap
BTNGHS, berikut fokus kegiatan masing-masing dan kegiatan bersama,
namun keduanya terikat pada visi, misi, tujuan dan sasaran pengelolaan
TNGHS sebagaimana telah dituangkan dalam RPJP TNGHS Periode
2007–2026. Untuk menguatkan posisi PKB sebagai “co-manager”
BTNGHS diperlukan dukungan legalitas dalam bentuk Surat Keputusan
Menteri Kehutanan yang mengikat secara hukum.
Pusat Konservasi Biodiversitas memiliki tiga pusat keunggulan (CoE)
yang bertanggung jawab dalam mobilisasi para pihak dan melakukan
berbagai komunikasi publik dan politik, serta menggalang kemitraan dan
dana publik guna memastikan keberhasilan pengelolaan keanekaragaman
hayati di TNGHS. Didukung oleh unit penggalangan dana yang harus
mengembangkan mekanisme kerja sama dan mobilisasi kapasitas finansial
para pihak untuk menggerakkan CoE, para stakeholder diharapkan dapat
208 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
Gambar 19. Mekanisme kerja PKB TNGHS, menunjukkan peran CoE, fund raising unit, dan mekanisme
211
pendanaan
212 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
2. Pendanaan
Tujuan pendanaan dalam pengembangan PKB berbeda-beda menurut
tahapan berikut:
• Pada tahap ide, tujuan pendanaan adalah untuk pembentukan
PKB, pengumpulan data dasar oleh CoE dan penyusunan rencana
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 213