Anda di halaman 1dari 257

Pengelolaan Kolaboratif

Taman Nasional

Pengelolaan Kolaboratif
di Indonesia

Pengelolaan Kolaboratif

Taman Nasional

Taman Nasional di Indonesia


di Indonesia

Haryanto R. Putro
Supriatin
Kehutanan
Arzyana Sunkar
ISBN : 978-979-25-8223-9
Dicko Rossanda
9789792582239 Elizabeth Rahyu Prihatini Kementerian Kehutanan
Republik Indonesia
Japan International
Cooperation Agency
PENGELOLAAN KOLABORATIF
TAMAN NASIONAL
DI INDONESIA

Haryanto R Putro
Supriatin
Arzyana Sunkar
Dicko Rossanda
Elizabeth Rahyu Prihatini

Japan International
Kementerian Kehutanan
Cooperation Agency
Republik Indonesia

2012
Pengelolaan kolaborasi taman nasional
di indonesia

Haryanto R Putro
Supriatin
Arzyana Sunkar
Dicko Rossanda
Elizabeth Rahyu Prihatini

Copyright © 2012 JICA

Didesain oleh : Ardhya Pratama (PT. Penerbit IPB Press)


Penyunting Bahasa : Elviana (PT. Penerbit IPB Press)
Korektor : Yuki HE Frandy (PT. Penerbit IPB Press)
Kontributor Foto : Marius Santo
Setyadi Purnawarman
Drs. H. Ary Setyadi
Edy Sutrisno (JICA-CFET Project)

JICA-CFET
Cetakan Pertama: Maret 2012

Dicetak oleh Percetakan IPB

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang


Dilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

ISBN: 978-979-25-8223-9
sambutan
kepala Pusat diklat kehutanan

Taman nasional merupakan kawasan konservasi yang berfungsi untuk


melindungi dan melestarikan fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial dari
kawasan hutan. Untuk itu diperlukan berbagai upaya untuk melestarikan
keberadaannya di tengah dinamika kehidupan dan permasalahan yang
berkembang akhir-akhir ini.
Konflik antara pengelola kawasan konservasi, khususnya taman nasional dan
para pihak yang berkepentingan masih terjadi dan cenderung meningkat.
Dalam banyak hal, permasalahan-permasalahan tersebut sering dipicu
oleh kesalahpahaman dalam komunikasi dan perbedaan pandangan, di
tengah menguatnya posisi masyarakat dan para pihak dalam pengelolaan
taman nasional.
Kondisi tersebut telah melahirkan kesadaran berbagai pihak untuk
merancang berbagai program dan kegiatan yang dikemas untuk
mengakomodir semua kepentingan dan permasalahan yang ada melalui
pendekatan partisipatif dalam format kemitraan, kolaborasi atau koalisi
pengelolaan taman nasional. Kesadaran tersebut juga tercermin dari
terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004
tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan
Pelestarian Alam (KPA). Dengan terbitnya peraturan tersebut menunjukkan
bahwa pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menyediakan ruang
bagi berbagai pihak untuk berperan serta dalam pengelolaan kawasan
konservasi termasuk taman nasional sehingga diharapkan konflik-konflik
yang masih sering terjadi dapat dikurangi.
Dalam rangka mendukung implementasi pengelolalan taman nasional
secara kolaboratif, Pusat Diklat Kehutanan bersama dengan Japan
International Cooperation Agency (JICA) mengembangkan sebuah kerja
iv Sambutan Kepala Pusat Diklat Kehutanan

sama dengan tema “Strategy for Strengthening Biodiversity Conservation


through Appropriate National Park Management and Human Resource
Development” sejak bulan Oktober 2009 sampai dengan Mei 2012, yang
tujuan utamanya adalah penguatan kapasitas pengelola taman nasional dan
stakeholder-nya memalui pendidikan dan pelatihan termasuk di dalamnya
penyediaan media dan bahan pembelajaran terkait.
Salah satu bahan ajar dan sumber bacaan untuk mendukung penyelenggaraan
diklat yang telah disusun oleh tim adalah buku yang berjudul Pengelolaan
Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia. Penghargaan dan terima kasih
yang setinggi-tingginya disampaikan kepada seluruh tim yang telah
bekerja keras menyusun buku ini. Semoga buku ini dapat dimanfaatkan
oleh para pihak, tidak hanya untuk kepentingan kediklatan namun untuk
kepentingan yang lebih luas.

Bogor, 31 Maret 2012

Dr. Ir. Agus Justianto, MSc


NIP. 19630807 198803 1 001
sambutan
CeFt Project advisor

Sejak kelahiran era baru, kehidupan di bumi telah beradaptasi dengan


lingkungan yang beragam dan berkembang dengan spesies yang sangat
bervariasi. Perkiraan jumlah keseluruhan dari spesies kini, termasuk yang
belum ditemukan dengan ilmu pengetahuan, adalah mencapai 30 juta.
Kini, bagaimanapun juga, sejumlah spesies menghilang lebih cepat dari
ketika dinosaurus punah. Konservasi keanekaragaman hayati merupakan
salah satu isu yang sangat mendesak di dunia.
Pada tahun 2010, rencana strategi baru untuk konservasi keanekaragaman
hayati disetujui dalam pertemuan Conference of the Parties untuk konservasi
keanekaragaman hayati ke-10 (COP 10) yang diselenggarakan di Nagoya,
Jepang. Dalam perjanjian ini dicantumkan target 17% lahan dan 10% air
harus dikonservasi pada tahun 2020. Meskipun kita menunjuk Kawasan
Konservasi, jika kawasan tersebut tidak dikelola, sumber daya alam menjadi
hancur. Perjanjian tersebut tidak memiliki makna.
Ada 50 Taman Nasional di Indonesia. Mereka mempunyai peran yang
penting untuk konservasi keanekaragaman hayati karena melingkupi 60%
Kawasan Konservasi di Indonesia. Bagaimanapun juga, degradasi hutan
dalam Taman Nasional menjadi masalah besar.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia tidak mengakui keberadaan
pemukiman dan aktivitas produksi apapun seperti berkebun di dalam
Taman Nasional. Dalam kenyataannya, banyak orang masuk ke Taman
Nasional dan melakukan beragam aktivitas ilegal. Meskipun para polisi
hutan (polhut) di Taman Nasional tengah mengeluarkan mereka yang
melakukan aktivitas ilegal dari Taman Nasional, jumlah illegal logging,
perambahan, pertambangan ilegal atau kebakaran hutan tidak menurun.
vi Sambutan CeFt Project advisor

Mempertimbangkan situasi-situasi ini, Kementerian Kehutanan mengubah


kebijakan secara besar-besaran.
(1) Pada tahun 2004, Kementerian Kehutanan mengeluarkan Peraturan
Menteri tentang “Manajemen Kolaborasi di Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam”, yang mencantumkan makna, tujuan
manajemen kolaborasi, dan implementasi aktivitas dengan para pihak di
kawasan konservasi alam.
(2) Pada tahun 2006, Kementerian Kehutanan mengeluarkan pedoman
tentang zonasi di Taman Nasional sebagai peraturan menteri, yang
ditambahkan dengan “zona khusus” di bawah kondisi tertentu.
Terima kasih untuk perubahan-perubahan dalam peraturan tersebut,
beberapa Taman Nasional seperti Taman Nasional Gunung Halimun
Salak (TNGHS) menyelenggarakan aktivitas Manajemen Kolaborasi.
Bagaimanapun juga, Manajemen Kolaborasi di Taman Nasional belum
tersebar luas ke seluruh negara.
Buku ini merupakan produk yang dikembangkan dalam proyek “Strategi
untuk Menguatkan Konservasi Keanekaragaman Hayati melalui
Manajemen Taman Nasional dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
yang tepat” oleh JICA dan Pusdiklat Kehutanan, yang dilaksanakan dari
Oktober 2009 hingga Mei 2012. Penulis buku mengintegrasikan beberapa
modul pelatihan dalam pelatihan “Manajemen Kolaborasi untuk Taman
Nasional” dengan para staf Taman Nasional sebagai target. Akhirnya
kami sangat berharap bahwa buku ini dapat berkontribusi dalam promosi
Manajemen Kolaborasi Taman Nasional, yang mana pada gilirannya
berkontribusi pada konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.

Strategiu ntukP enguatanK onservasi


KeanekaragamanHa yatim elaluiP endekatanM anajemen
Taman Nasional dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

SAKURAI Yoichi (Chief Advisor)


kata Pengantar

Buku ini merepresentasikan akumulasi pengalaman para penulisnya


dalam mendorong proses pengelolaan kolaboratif taman nasional
(PKTN) dan pengalaman lain terkait pengelolaan sumber daya alam di
Indonesia. Beragam pengalaman para penulis mulai dari pengembangan
konsep, mengawal pengembangan pengelolaan kolaboratif di beberapa
taman nasional, serta pendampingan masyarakat di lapangan coba
direkonstruksikan melalui tulisan dalam buku ini. Tak heran, bila bagian-
bagian dari tulisan ini pernah dituliskan dalam makalah, laporan, dan
media cetak yang diterbitkan lembaga tertentu untuk kalangan terbatas.
Penulis Utama—Haryanto R. Putro—pernah menjadi anggota Advisory
Board pada WWF-DFID Partnership Programme Agreement (2003–2005),
yang pada masa akhir program tersebut menerbitkan dokumen mengenai
Kemitraan Pengelolaan Taman Nasional. Penulis utama juga terlibat
dalam berbagai lokakarya mengenai kemitraan dan pengelolaan kolaboratif
taman nasional, serta aktif mendampingi pengembangan pengelolaan
kolaboratif di TN Gunung Halimun Salak dan TN Kayan Mentarang.
Selain itu, penulis utama juga pernah menyusun laporan mengenai
Panduan Pengelolaan Kehati saat Era Otonomi Daerah pada Kementerian
Lingkungan Hidup, mengembangkan Standar Minimal Pengelolaan
Kawasan Konservasi pada Kementerian Kehutanan, serta mengembangkan
dan mendorong implementasi konsep Kabupaten Konservasi. Beberapa
bagian dari tulisan dalam buku ini merupakan adopsi dan penyempurnaan
dari berbagai dokumen yang pernah dituliskan sebelumnya.
Bersama-sama penulis lain, tergabung dalam Training Team pada proyek
“strategy for strengthening Conservation through appropriate
national Park management and Human resource development” yang
merupakan kerja sama JICA-Pusdiklat Kehutanan (2009–2012) berfokus
pada pengelolaan kolaboratif taman nasional. Buku ini diterbitkan
viii Kata Pengantar

sebagai bagian dari akumulasi hasil pembelajaran selama terlibat dalam


proyek tersebut. Buku ini menyajikan pemahaman mengenai taman
nasional, konsep PKTN, potret mengenai implementasinya, pengalaman
selama proses pelatihan mengenai PKTN, serta sintesis umum mengenai
penguatan kapasitas dalam pengembangan PKTN di Indonesia. Beberapa
cerita sukses yang dapat direkam coba diungkapkan seringkas mungkin
dan beberapa saran perbaikan direkomendasikan pada bagian akhir buku
ini. Memang masih jauh dari sempurna, tetapi buku ini diharapkan akan
menjadi cikal bakal bagi penyempurnaan PKTN di Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu penyelesaian tulisan ini, baik pada masa lampau maupun
masa kini, yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada JICA dan Pusdiklat Kehutanan yang
telah bersedia menerbitkan buku ini. Dengan segala kerendahan hati,
penulis akan menerima segala kritik dan saran demi penyempurnaan buku
ini pada masa yang akan datang.

Bogor, 31 Maret 2012

Penulis
daftar isi

sambutan kepala Pusat diklat kehutanan ........................................iii


sambutan CeFt Project advisor ......................................................... v
kata Pengantar ................................................................................... vii
daftar isi .............................................................................................. ix
daftar gambar................................................................................... xiii
daftar tabel........................................................................................ xv
daftar singkatan .............................................................................. xvii
Prolog: taman nasional Untuk apa, Untuk siapa? ...........................1

Pendahuluan .........................................................................................9

Pengelolaan taman nasional di indonesia .......................................13


A. Pengertian dan Definisi Taman Nasional ................................13
B. Sejarah Taman Nasional di Indonesia......................................16
C. Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia..............21
D. Permasalahan dalam Pengelolaan Taman Nasional
di Indonesia.............................................................................29
1. Taman Nasional dan Kemiskinan........................................38
2. Taman Nasional dan Kelestarian Keanekaragaman
Hayati .................................................................................51
3. Taman Nasional dan Pembangunan Wilayah ......................55
4. Taman Nasional Sebagai CPR .............................................62
x Daftar Isi

Pengelolaan kolaboratif taman nasional .........................................65


A. Konsep Pengelolaan Kolaboratif dalam Pengelolaan
Taman Nasional ......................................................................70
1. Nilai dan Prinsip Pengelolaan Kolaboratif ..........................78
2. Pendekatan Konseptual .......................................................80
3. Prospek, Kerugian dan Hambatan Pengelolaan
Kolaboratif ..........................................................................80
B. Peraturan Perundang-undangan ..............................................93
C. Meletakkan Platform Pengelolaan Kolaboratif:
Beberapa Pertanyaan Kebijakan .............................................102

implementasi Pengelolaan kolaboratif taman nasional


di indonesia ......................................................................................109
A. Praktik Kolaborasi di Beberapa Taman Nasional ...................115
1. Ekowisata Berbasis Masyarakat di TNGL ........................115
2. KKM Sebagai Basis Pengelolaan Kolaboratif TNLL ........118
3. Kesepakatan Pelestarian Alam Desa dan Penataan Batas
Partisipatif di TN Manupeu Tanadaru ............................119
4. Kolaboratif Berbasis Kekuatan Peranan Pihak Lokal
di TNBG.........................................................................122
5. Model Pengelolaan Tracking Berbasis Masyarakat
di TN Gunung Rinjani ...................................................125
6. Pelibatan Para Pihak dalam Pengelolaan TN Bunaken ....126
7. Kampung dengan Tujuan Konservasi (KDTK)
di TNGHS ......................................................................128
8. Model Kampung Konservasi (MKK) di TNGHS ............129
9. Pengelolaan Kolaboratif TN Laiwanggi Wanggameti ......130
10. Pengusahaan Ekowisata Berbasis Masyarakat
di TNGHS ......................................................................132
11. Fasilitasi Hunian Orang Rimba di TNBD.......................133
12. Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri
Secara Kemitraan .............................................................135
Daftar Isi xi

13. Kolaborasi Swasta dalam Konservasi TN Kutai ...............137


14. Pengelolaan Kolaboratif di Taman Nasional
Kayan Mentarang ............................................................139
B. Pelajaran dari Praktik Pengelolaan Kolaboratif
Taman Nasional di Indonesia ................................................156

Penguatan kapasitas Pengelolaan kolaboratif taman nasional ...167


A. Membangun Visi Berbasis Kinerja Holistis............................167
1. Dimensi Hasil Taman Nasional ......................................173
2. Dimensi Manajemen Taman Nasional ............................174
3. Kriteria dan Indikator Pengelolaan Taman Nasional .......175
B. Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif ........................177
C. Membangun Lembaga Kolaboratif ........................................203
D. Menuju Taman Nasional Mandiri: Model Konseptual
CoE Pusat Konservasi Biodiversitas TNGHS ........................206
1. Kelembagaan ...................................................................207
2. Pendanaan .......................................................................212
3. Kerangka Legal PKB-TNGHS ........................................216

epilog: Jalan Panjang menuju taman nasional mandiri...............219


daftar Pustaka ..................................................................................225
daftar gambar

Gambar 1. Persebaran lokasi 50 taman nasional di Indonesia


(data sampai dengan tahun 2011) ....................................22
Gambar 2. Kondisi penutupan lahan di 48 taman nasional
(luas total 15,5 juta hektare) .............................................23
Gambar 3. Distribusi biaya dan intensitas pengelolaan kawasan
konservasi di Indonesia ....................................................37
Gambar 4. Gambaran mengenai kondisi tenurial di berbagai wilayah
di dunia, menunjukkan dominansi negara atas lahan
dan sumber daya alam ......................................................39
Gambar 5. Hubungan antara persentase luas kawasan hutan negara
dengan penduduk miskin di beberapa provinsi.................43
Gambar 6. Persebaran jumlah KK yang bertempat di kawasan lindung
menurut kabupaten/kota ..................................................44
Gambar 7. Persentase desa yang memiliki organisasi petani
menurut kabupaten/kota tahun 2003...............................50
Gambar 8. Sistem anthroposphere dan hubungan keterkaitannya.
Keenam sistem dapat diringkaskan menjadi sistem
kemasyarakatan, sistem sumber daya alam,
dan sistem pendukungnya ...............................................57
Gambar 9. Hierarki derajat pengaturan pengelolaan .........................75
Gambar 10. Area kerja pengelolaan kolaboratif/ko-manajemen
berada di antara titik ekstrem kontrol penuh
institusi berwenang dengan kelompok kepentingan..........76
Gambar 11. Kontinum pelayanan publik secara kolaboratif .................81
xiv Daftar Gambar

Gambar 12. Model konseptual pengelolaan kolaboratif TN .................87


Gambar 13. Ilustrasi pro dan kontra kemitraan (ko-manajemen)
dan jalan tengah yang diusulkan ......................................93
Gambar 14. Zonasi TNKM menurut Peraturan Menteri Kehutanan
No.56/2006 yang ditampalkan (overlay) dengan Zonasi
Menurut FoMMA ..........................................................142
Gambar 15. Strategi pengelolaan zona pemanfaatan tradisional .........143
Gambar 16. Pendekatan yang diadopsi untuk mengkaji pengalaman
pengelolaan kolaboratif taman nasional di Indonesia ......157
Gambar 17. Tipologi pengelolaan taman nasional di Indonesia .........177
Gambar 18. Kerangka kelembagaan PKB dan posisi relatifnya
terhadap BTNGHS .......................................................209
Gambar 19. Mekanisme kerja PKB TNGHS, menunjukkan
peran CoE, fund raising unit,
dan mekanisme pendanaan ............................................211
Gambar 20. Struktur organisasi pusat konservasi
biodiversity TNGHS ......................................................212
daftar tabel

Tabel 1. Rincian upaya yang perlu dilakukan pemerintah


kabupaten/kota dalam pengelolaan keanekaragaman
hayati................................................................................ 60
Tabel 2. Karakteristik perbedaan antara pengelolaan
berbasis masyarakat, pengelolaan kolaboratif,
dan pengelolaan berbasis negara........................................ 76
Tabel 3. Keuntungan dan kelemahan kemitraan............................. 92
Tabel 4. Jenis kegiatan menurut Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.19/Menhut-II/2004 yang telah dikolaborasikan
di delapan taman nasional peserta workshop pengelolaan
kolaboratif taman nasional tahun 2009........................... 153
Tabel 5. Hasil evaluasi pengelolaan kolaboratif di delapan
TN berdasarkan variabel dan kriteria yang ditetapkan .... 160
Tabel 6. Kompetensi kepala balai, kepala seksi wilayah,
dan kepala resort taman nasional terkait
dengan manajemen kolaborasi ........................................ 185
Tabel 7. Sasaran dan capaian implementasi rencana aksi
peserta diklat manajemen kolaborasi taman nasional
angkatan I dan II ............................................................ 194
Tabel 8. Hasil evaluasi basic training I dan II ................................ 200
Tabel 9. Evaluasi follow up training I ............................................ 201
daftar singkatan

ADB : Asian Development Bank


APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
AS : Amerika Serikat
Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Bikal : Bina Kelola Lingkungan
BKSDA : Balai Konservasi Sumber Daya Alam
BLU : Badan Layanan Umum
BLUD : Badan Layanan Umum Daerah
BPK : Bina Produksi Kehutanan
BPKH : Balai Pemantapan Kawasan Hutan
BPS : Biro Pusat Statistik
BPTU : Badan Pengelola Tana’ Ulen
BTN : Balai Taman Nasional
BTNGHS : Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak
BTNKM : Balai Taman Nasional Kayan Mentarang
BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
BUMS : Badan Usaha Milik Swasta
CBD : Convention on Biological Diversity
CIFOR : Centre for International Forestry Research
CITES : Convention on International Trade in Endangered Species
of Wild Fauna and Flora
CNPPA : Commission on National Parks and Protected Areas
CoE : Center of Excellence
COP : Conference of Parties
CPR : Common-Pool Resources
CSR : Corporate Social Responsibility
CTO : Community Tour Operator
xviii Daftar Singkatan

DAS : Daerah Aliran Sungai


Dephut : Departemen Kehutanan
DFID : Department for International Development
DNS : Debt for Nature Swap
DP3K : Dewan Pembina dan Pengendali Pengelolaan Kolaboratif
DPK : Dewan Penentu Kebijakan
FALP : Forum Anda Li Liku Pala
FAO : Food Agricultural Organization
FK3LW : Forum Komunikasi Kawasan Konservasi Laiwanggi Wang-
gameti
FKAD : Forum Komunikasi Antar Desa
FMPTNB : Forum Masyarakat Peduli Taman Nasional Bunaken
FoMMA : Forum Musyawarah Masyarakat Adat
FPB : Forum Pengelolaan Bersama
FWP : Forum Wilayah Penyangga
GDP : Gross Domestic Product
GEF : Global Environment Facility
GPS : Global Positioning System
GTZ : Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit
HHNK : Hasil Hutan Nir Kayu
HL : Hutan Lindung
IBSAP : Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan
ICDP : Integrated Conservation and Development Project
ICRAF : International Centre for Research in Agroforestry
IPAS : Integrated Protected Area System
IPB : Institut Pertanian Bogor
IPPA : Izin Pengusahaan Pariwisata Alam
IUCN : International Union for Conservation of Nature and Natu-
ral Resources
IUPJWA : Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam
IUPSWA : Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam
JICA : Japan International Cooperation Agency
JRSCA : Javan Rhino Study and Conservation Area
KaBTN : Kepala Balai Taman Nasional
KDTK : Kampung Dengan Tujuan Konservasi
KK : Kepala Keluarga
KKH : Konvensi Keanekaragaman Hayati
Daftar Singkatan xix

KKM : Kesepakatan Konservasi Masyarakat


KMPH : Kelompok Masyarakat Pelestarian Hutan
KPA : Kawasan Pelestarian Alam
KPAD : Kesepakatan Pelestarian Alam Desa
KPC : Kaltim Prima Coal
KPHK : Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi
KPK : Komite Penanggulangan Kemiskinan
KSA : Kawasan Suaka Alam
KSDA : Konservasi Sumber Daya Alam
KSDAHE : Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
KSM : Kelompok Swadaya Masyarakat
KTH : Kelompok Tani Hutan
KTNA : Kontak Tani Nelayan Andalan
LATIN : Lembaga Alam Tropika Indonesia
LIL : Learning for Innovation Loan
LKD : Lembaga Konservasi Desa
LPT : Lembaga Pariwisata Tangkahan
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MEE : Masyarakat Ekonomi Eropa
MKK : Model Kampung Konservasi
MoU : Memorandum of Understanding
NGO : Non Government Organization
NRM : Natural Resource Management
NTFP : Non Timber Forest Product
NZAID : New Zealand Agency for International Development
OECD : Organisation for Economic Co-operation and Develop-
ment
OKR : Organisasi Konservasi Rakyat
P3A : Perkumpulan Petani Pemakai Air
PAD : Pendapatan Asli Daerah
PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa
PEH : Pengendali Ekosistem Hutan
Permenhut : Peraturan Menteri Kehutanan
PERPU : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
PHKA : Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
PHLN : Pinjaman Hibah Luar Negeri
PK BLU : Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
xx Daftar Singkatan

PKB : Pusat Konservasi Biodiversitas


PKTN : Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional
PLN : Perusahaan Listrik Negara
PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak
PNS : Pegawai Negeri Sipil
PP : Peraturan Pemerintah
PSDA : Pengelolaan Sumber Daya Alam
PT : Perseroan Terbatas
PTB : Panitia Tata Batas
RBM : Resort-based Management
RI : Republik Indonesia
RIC : Rinjani Information Center
RMI : Rimbawan Muda Indonesia
RPJP : Rencana Pengelolaan Jangka Panjang
RPU : Rhino Patrol Unit
RTC : Rinjani Trekking Course
RTMB : Rinjani Trek Management Board
RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah
SDA : Sumber Daya Alam
SDAHE : Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
SDAL : Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SDH : Sumber Daya Hutan
SDM : Sumber Daya Manusia
SIM : Sistem Informasi Manajemen
SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
SNPK : Strategi Nasional penanggulangan Kemiskinan
SOP : Standard Operation Procedure
SPHS : Strategi Pelestarian Hutan Sumba
STEP : Strive Toward Excelence in Performance
Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional
SWOT : Strength, Weakness, Opportunity, and Threat
TKPDP : Tim Koordinasi Pengelola Daerah Penyangga
TN : Taman Nasional
TNAP : Taman Nasional Alas Purwo
TNBB : Taman Nasional Bali Barat
TNBBS : Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
TNBD : Taman Nasional Bukit Duabelas
Daftar Singkatan xxi

TNBG : Taman Nasional Batang Gadis


TNBK : Taman Nasional Betung Kerihun
TNC : The Nature Conservancy
TNGHS : Taman Nasional Gunung Halimun Salak
TNGL : Taman Nasional Gunung Leuser
TNGR : Taman Nasional Gunung Rinjani
TNK : Taman Nasional Kutai
TNKJ : Taman Nasional Karimun Jawa
TNKM : Taman Nasional Kayan Mentarang
TNLL : Taman Nasional Lore Lindu
TNLW : Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti
TNMB : Taman Nasional Meru Betiri
TNMT : Taman Nasional Manupeu Tanadaru
TNS : Taman Nasional Sebangau
TNTN : Taman Nasional Teso Nilo
TNUK : Taman Nasional Ujung Kulon
TNW : Taman Nasional Wakatobi
TO : Track Organizer
TOGA : Tanaman Obat Keluarga
TUPOKSI : Tugas Pokok dan Fungsi
UNDP : United Nations Development Program
UNEP : United Nations Environmental Program
UPT : Unit Pelaksana Teknis
US : United State
USAID : United States Agency for International Development
UU : Undang-Undang
WARSI : Warung Informasi Konservasi
WCPA : World Commission on Protected Areas
WCED : World Commission on Environment and Development
WCS : Wildlife Conservation Society
WWF : World Wildlife Fund (dulu), sekarang World Wide Fund
for Nature
YEH : Yayasan Ekowisata Halimun
Prolog:
taman nasional Untuk apa,
Untuk siapa?

Jauh sebelum masa kolonial, rakyat Indonesia telah mengenal konsep


perlindungan bagi daerah-daerah hutan sebagai bagian dari budaya
spiritual yang berlandaskan pada kepercayaan animisme. Istilah pohon
keramat, hutan angker, dan hutan keramat merupakan peninggalan
budaya masa lalu yang memiliki implikasi pada perlindungan hutan
dan pohon tertentu. Berbagai hubungan antara manusia dengan alam
atau komponen-komponen alam yang berkembang di masyarakat pada
saat itu dilandaskan pada spiritualisme dan keyakinan bahwa berbagai
komponen ekosistem merupakan bagian dari alam di mana tangan Tuhan
bekerja untuk memberikan kerberkahan dan hukuman bagi manusia.
Keyakinan tersebut, dalam berbagai hal juga mengatur pola hubungan
manusia dengan alam dan cenderung menempatkan alam di atas manusia.
Pada masa berkembangnya kerajaan Hindu, hubungan manusia dengan
alam bergeser—walaupun alam masih diakui sebagai sumber kekuatan
spiritiual—manusia harus mampu menaklukan. Bagi mereka yang
berhasil menundukkan alam dan spirit yang ada didalamnya akan dianggap
memiliki derajat yang lebih tinggi dan berhak untuk menguasainya. Setiap
orang diharapkan untuk membudidayakan alam untuk mendapatkan nilai
dan manfaat yang lebih tinggi. Pada masa itu, penguasaan khusus atas
sumberdaya alam dimiliki oleh raja yang dipercaya sebagai titisan Dewa.
Pada masa kolonial, gerakan perlindungan hutan yang didasarkan atas fakta
ilmiah pada saat itu mencuat melalui ide perlindungan atas bencana alam
seperti banjir dan longsor. Perlindungan di hutan-hutan yang dikuasai
masyarakat asli pada waktu itu juga diakomodasikan oleh pemerintah
kolonial dan melahirkan berbagai konsep mengenai hutan larangan atau
hutan marga di beberapa wilayah di Indonesia. Pada awal Abad 19, gerakan
pelestarian alam secara ilmiah berkembang dengan mengedepankan
2 Prolog: Taman Nasional untuk Apa, untuk Siapa?

pentingnya ekosistem hutan tropis sebagai sumber pengetahuan baru dan


perlunya suaka untuk kepentingan generasi mendatang. Bersamaan dengan
itu, tumbuh gerakan romantisme para pencinta alam yang mengedepankan
pentingnya perlindungan alam untuk kepentingan rekreasi, perbaikan
moral, dan sumber inspirasi. Para ilmuwan dan penggerak romantisme
pada saat itu memandang bahwa suaka alam harus dalam keadaan perawan
dan mengingat kerentanan sifatnya penting untuk dilindungi dari berbagai
gangguan. Para penggerak romantisme, yang umumnya punya latar
belakang akademis yang kuat, tergabung dalam organisasi nonpemerintah
(sekarang: LSM) yang secara aktif melobi pembangunan suaka alam di
berbagai negara, termasuk Indonesia (Arnscheidt 2009).
Ide tentang taman nasional di Indonesia berkembang sebagai bagian
dari wacana perlindungan hutan dan pelestarian alam yang mencuat ke
permukaan bersamaan dengan isu lingkungan hidup dan pembangunan
berkelanjutan. Rencana Konservasi Nasional Indonesia (National
Conservation Plan for Indonesia) yang dibuat pada tahun 1981 melalui
bantuan FAO/UNEP mendorong taman nasional sebagai pilihan strategis
Indonesia dalam percaturan konservasi dunia. Pemerintah Orde Baru
pada saat itu meyakini bahwa taman nasional merupakan struktur dari
sebuah negara maju dan kemungkinan dapat menghasilkan devisa melalui
pariwisata. Secara politis, keyakinan tersebut memudahkan dukungan bagi
pembangunan taman nasional. Pada tahun 1980 Indonesia menetapkan
5 Taman Nasional pertamanya, yaitu (Robinson dan Sumardja 1990;
Arnscheidt 2009): TN Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Leuser,
TN Baluran, TN Ujung Kulon dan TN Komodo, yang dideklarasikan
kepada dunia internasional di Kongres Taman Nasional Sedunia ke-3 di
Bali. Saat ini, Indonesia telah memiliki 50 taman nasional, mencakup areal
seluas 16,38 juta ha dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan luas
tersebut, seluruh taman nasional hanya mewakili 8,5% dari luas daratan
atau 3,2% dari luas wilayah Indonesia. Dalam definisi normatifnya taman
nasional adalah KPA mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem
zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata, dan rekreasi. Dalam
konteks ini yang dimaksud KPA adalah kawasan dengan ciri khas
tertentu, baik daratan maupun perairan yang mempunyai fungsi pokok
Prolog: Taman Nasional untuk Apa, untuk Siapa? 3

perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman


jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya.
Sistem kawasan konservasi pada hakikatnya merupakan upaya masif untuk
mempertahankan keseimbangan—ekosistem, manusia dan bahkan iklim
pada skala global—dan pada skala yang lebih mikro, mempertahankan
keseimbangan antara berbagai bentuk permintaan dan tekanan yang
terus menggerogoti kualitas ekosistem alam. Kawasan konservasi yang
dikelola negara, komunitas asli, atau bahkan kawasan konservasi swasta,
yang dikelola oleh institusi tertentu, baik secara kolaboratif atau tidak,
merupakan sistem yang efektif guna menghadapi tekanan pembangunan
yang akselerasinya cenderung terus meningkat dan mengancam
keseimbangan alam. Pengakuan atas nilai penting suatu kawasan konservasi
pada tingkat lokal, nasional dan internasional seringkali merupakan
cara yang efektif agar kawasan dilindungi tersebut menjadi areal yang
efektif bagi pencapaian tujuan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Terdapatnya sistem legal atau kerangka kerja konservasi
yang diwujudkan dalam rencana pengelolaan, struktur tata kelola dan tata
kepemerintahan yang baik, di dukung dengan kapasitas pengelolaan dan
kompetensi profesional sumber daya manusia, telah disepakati menjadi
prasyarat penting bagi pengelolaan kawasan konservasi.
Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi,
seperti taman nasional, memiliki nilai yang sangat berharga bagi kehidupan
manusia ditinjau dari berbagai perspektif, antara lain (Dudley, Hocking
dan Stolton 2010):
1. Perlindungan atas nilai keunikan: manfaat yang dimiliki oleh suatu
ekosistem atau lanskap/seaskap tidak dapat digantikan (misalkan
beberapa aspek mengenai keanekaragaman hayati, kekeramatan
terkait ciri atau tradisi tertentu, penghargaan pada lansekap).
2. Solusi yang efektif biaya: manfaat yang disuplai oleh kawasan konservasi
sangat efektif biaya, secara mudah atau efisien dengan memelihara
ekosisistem alam (misalnya: air bersih dari hutan, penyimpanan
karbon dalam gambut dan habitat lain, perlindungan pantai melalui
ekosistem mangrove).
4 Prolog: Taman Nasional untuk Apa, untuk Siapa?

3. Perlindungan sebagai kebijakan penjamin (insurance policy): manfaat


yang terpenting untuk subsistensi anggota masyarakat termiskin dapat
dipertahankan di dalam kawasan konservasi dan dimanfaatkan secara
lestari (misalkan: tumbuhan obat, satwa buru, ikan, buah-buahan,
bahan pangan lain, bahan bangunan dan kayu bakar).
4. Konservasi potensi genetik: banyak spesies binatang dan tumbuhan
yang saat ini hanya ditemukan dan beradaptasi terhadap berbagai
perubahan lingkungan di dalam kawasan konservasi. Mekanisme ini
merupakan perlindungan sumber daya genetik secara insitu terpenting
yang dikenal manusia. Bagaimana pun juga, banyak bagian bumi yang
belum disentuh atau dinilai oleh ilmu pengetahuan, termasuk spesies
yang mungkin memiliki nilai tinggi pada masa depan (misalnya:
materi genetik untuk pemuliaan tanaman dan penelitian bidang obat-
obatan).
5. Solusi jitu: manfaat yang tidak unik terkait dengan kawasan konservasi
dapat digantikan oleh lingkungan lain, namun pilihan termudah
ditawarkan oleh kawasan konservasi (misalnya: polinasi tanaman
budidaya, penggunaan untuk fisioterapi, dan sebagainya).
6. Penopang sistem penyangga kehidupan: kualitas tata lingkungan
di suatu wilayah yang memiliki kawasan konservasi ditopang secara
signifikan oleh eksistensi kawasan konservasi tersebut dari berbagai
perspektif ilmu pengetahuan (misalnya: tata air, siklus pemurnian
oksigen, dan pemeliharaan iklim mikro).
Nilai-nilai ilmiah sebuah ekosistem alam seharusnya membuka mata
semua orang mengenai betapa pentingnya taman nasional bagi manusia
dan kemanusiaan, bagi bangsa Indonesia dan dunia global, namun
sudut semacam ini seringkali dipertentangkan dengan sudut pandang
masyarakat lokal yang berbeda. Bagi masyarakat lokal, nilai-nilai penting
sebuah taman nasional belum mampu menjawab secara jitu kebutuhan
hidup mereka, mereka seringkali “terpaksa” mengorbankan hak tenurial
dan akses terhadap sumber daya alam di sekitarnya demi sebuah nilai maya
yang tidak begitu mudah untuk dimengerti, bahkan andaikan ada, manfaat
nyata yang mereka rasakan masih terbatas pada pemenuhan kehidupan
sehari-hari. Kemegahan sebuah taman nasional di mata dunia, seringkali
mengabaikan fakta bahwa di dalamnya masyarakat lokal bergumul dengan
kekumuhan dan kesulitan penghidupan yang tidak mudah dipecahkan,
Prolog: Taman Nasional untuk Apa, untuk Siapa? 5

bahkan oleh seorang pakar berkaliber dunia sekalipun. Meningkatnya


akses terhadap informasi digital dan banyaknya tawaran untuk bergaya
hidup konsumtif, seringkali menjerumuskan masyarakat lokal pada pilihan
sulit antara bertahan pada pola subsisten atau mengeksploitasi sumber
daya alam untuk menghasilkan uang tunai. Banyak di antara mereka
yang akhirnya meninggalkan pola hidup subsistennya dan menggantinya
dengan pola yang lebih berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam
tanpa menghiraukan lagi kearifan lokal yang selama ini diajarkan para
leluhurnya atau melemparkan diri keluar dari kampung untuk bekerja
sebagai buruh/pekerja. Tak ada satu pun taman nasional di Indonesia
yang benar-benar terbebas dari konflik semacam itu, sementara itu
praktik-praktik pengelolaan taman nasional selama ini terbukti gagal
untuk menyelesaikan masalah yang sama dari waktu ke waktu.
Hingga saat ini, taman nasional di Indonesia masih belum mampu
menunjukkan kinerja optimumnya sesuai mandat legal yang dibebankan
kepadanya, di samping itu belum juga mampu membuktikan bahwa ia
mampu memenuhi harapan bagi peningkatan kualitas penghidupan
masyarakat lokal di dalam dan sekitarnya. Wajah garang yang
ditampilkannya sesungguhnya terbelenggu masalah internal dan eksternal
yang berulang setiap waktu, seolah menyerah pada realitas dan dinamika
sosial-politik-ekonomi yang jarang berpihak kepadanya. Dari sudut
pandang manajemen, masalah pokok yang dihadapi adalah kebijakan
perintah-kendali yang salah kaprah, sesat pikir mengenai makna organisasi
pengelola dan rendahnya kapasitas pengelolaan, serta karut-marut tata
kepemerintahan (governance) yang tidak berpihak pada kelestarian sebagian
kecil wajah asli Indonesia tersebut.
Taman nasional adalah ide ilmiah, yang menempatkan keberpihakan atas
kepentingan umat manusia secara lintas generasi, bahkan sebagian besar
konstituen riil taman nasional mungkin belum lahir saat ini. Ketika ide
tersebut ditempatkan pada ruang di mana masyarakat lokal telah memiliki
hak-hak adat atas sumber daya alam dan pranata sosial yang telah mapan,
patutlah dihargai agar apa yang mereka korbankan untuk kepentingan
umat manusia tersebut mendapatkan balasan yang setimpal dan mampu
mengangkat derajat mereka di pentas yang lebih bermartabat. Bukan
karena belas kasihan, namun karena keberdayaan. Atas dasar pokok pikiran
6 Prolog: Taman Nasional untuk Apa, untuk Siapa?

tersebut, pengelolaan kolaboratif taman nasional (PKTN) dipandang


mampu mengembangkan arena di mana para pihak membangun aksi
kolektif untuk menemu-kenali kinerja terbaik yang memungkinkan
sebuah taman nasional tampil prima secara ko-eksisten dengan manusia
dalam kelembagaan sosial yang kokoh dan terpercaya.
Kontestasi kekuatan yang tidak sehat dalam berbagai bidang di negeri
tercinta ini, de facto tak berpihak pada kelestarian alam, berbagai ekosistem
alam di luar kawasan konservasi dilalap habis dari waktu ke waktu untuk
memenuhi kepentingan para pihak. Tak ada belas kasihan, ekosistem alam
di dalam kawasan taman nasional pun tercabik-cabik untuk memuaskan
berbagai kepentingan. Keseriusan dan konsistensi peran pemerintah dan
kesabaran untuk selalu menegosiasikan kelestarian sumber daya alam
di taman nasional dengan senantiasa mengedepankan masyarakat lokal
sebagai bagian dari pelaku utama pengelolaan sangat dibutuhkan saat ini.
Mungkin pada waktunya nanti—2 hingga 3 dekade mendatang—bangsa
Indonesia baru akan mengerti dan menyadari bahwa seluruh ekosistem
alam yang tersisa pada saat itu adalah wajah asli negeri tercinta yang
dikaruniakan Tuhan dan tak ternilai harganya, serta yang selamat dari
kontestasi kekuatan manusia Indonesia. Pada saat itu, di tengah bumi
yang tua renta, wajah taman nasional yang tersisa akan nampak cantik di
pandang dari segala sisi manusia dan kemanusian.
Sejarah selama kurang lebih 140 tahun di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa upaya mempertahankan ide tentang taman nasional yang ditegakkan
melalui mekanisme “legal” dan tanpa mengabaikan hak-hak masyarakat
asli, mengalami pasang surut akibat negosiasi dan tekanan internal
maupun eksternal, sebagai bagian dari dinamika sosial-ekonomi-politik
dan kepentingan pembangunan. Kesepakatan para ilmuwan bahwa taman
nasional adalah vignet Amerika primitif, persepsi publik bahwa taman
nasional adalah negeri ajaib (wonderland) dan kegigihan pemerintah untuk
mempertahankan ide taman publik, menyebabkan taman nasional, seperti
Yellowstone bertahan hingga kini, walaupun tidak sempurna, sebagaimana
kondisi yang diharapkan pada awal penetapannya.
Waktu akan menjadi saksi, apakah pengelolaan taman nasional di Indonesia
mampu memenuhi harapan para pihak? Apakah para pemimpin negeri ini
mampu mengubah kerangka pikir, melakukan aksi korektif atas kegagalan
Prolog: Taman Nasional untuk Apa, untuk Siapa? 7

yang sudah nampak di depan mata? Mungkin, PKTN bukanlah satu-


satunya jawaban untuk menopang keputusan mereka, tetapi menemukan
pilihan lain yang lebih tepat mungkin membutuhkan waktu lama,
sementara bisnis seperti biasanya (business as usual) terbukti tidak berhasil.
Keberanian para pemimpin negeri ini untuk memberikan pengelola taman
nasional otonomi yang luas, mendongrak profesionalisme, berorientasi
pada kinerja yang dapat dipertanggung-gugatkan pada publik dan—dalam
kasus yang relevan—keberanian untuk mendelegasikan kewenangan pada
masyarakat lokal, mungkin merupakan kebutuhan untuk memujudkan
PKTN yang mampu menjamin keberhasilan pada masa yang datang.
Pendahuluan

Hutan dan perairan di Indonesia adalah habitat


bagi kurang lebih 38.000 jenis tumbuhan termasuk
27.500 spesies tumbuhan berbunga (10% dari
tumbuhan berbunga di dunia, yang separuhnya
merupakan spesies endemik Indonesia), 515 spesies
mamalia (12% jenis mamalia dunia), 511 spesies
reptilia (7,3% dari spesies reptilia dunia), 270 spesies
amfibi, 1.531 spesies burung (17% spesies burung
dunia), 2.827 jenis binatang invertebrata, 121 spesies
kupu-kupu (44% jenis endemik), serta lebih dari
25% spesies ikan air laut dan air tawar di dunia. Di
samping itu, Indonesia memiliki tumbuhan palma
sebanyak 477 spesies (47% endemik) dan kurang
lebih 3.000 spesies tumbuhan berkhasiat obat. Di
antara berbagai spesies tumbuhan dan satwa di
atas, beberapa di antaranya merupakan spesies yang
baru ditemukan, terutama di hutan-hutan Papua
(Kementerian Kehutanan 2010). Kekayaan hutan
dan perairan tersebut menunjukkan tingginya
tingkat keanekaragaman hayati yang menobatkan
Indonesia sebagai salah satu dari “Mega-Biodiversity
Country” di dunia. Pemerintah Indonesia telah
menetapkan perlindungan hukum bagi 58 spesies
tumbuhan dan 236 spesies satwa langka dan terancam
punah. Selain itu, Indonesia telah menandatangani
konvensi CITES dan mendaftarkan sebanyak 1.053
spesies tumbuhan dan 1.384 spesies satwa dalam
Appendix I dan II.
10 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Sebagian besar dari spesies tersebut, khususnya yang endemik, langka/


dilindungi dan unik, terdapat di dalam 50 taman nasional yang letaknya
tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, ketika
sebagian besar hutan alam Indonesia terbukti dikelola secara tidak
lestari, taman nasional akan menjadi benteng terakhir bagi kekayaan
keanekaragaman hayati yang tersisa pada masa yang akan datang.
Pada saat ini, seluruh taman nasional di Indonesia memiliki masalah sosial
dengan intensitas yang sangat bervariasi. Hasil identifikasi desa di dalam
dan sekitar kawasan hutan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan
bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik, menunjukkan bahwa sebanyak
3.901 desa terdapat di dalam kawasan konservasi, dengan jumlah
penduduk ± 1,6 juta orang. Berdasarkan pertimbangan bahwa luas taman
nasional ± 58% dari luas seluruh kawasan konservasi, diperkirakan lebih
dari 2.000 desa terdapat di dalam dan sekitar kawasan taman nasional.
Pemerintah telah membangun 132 Model Desa Konservasi, di mana 77
desa diantarannya adalah binaan Balai Taman Nasional (BTN). Dalam
Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010–2014 ada target 4 unit
taman nasional yang akan dikelola secara kolaborasi dan 12 unit taman
nasional yang akan dikelola dengan pola pengelolaan keuangan BLU.
Selain itu, pola kemitraan dalam pemanfaatan jasa lingkungan juga secara
eksplisit ditargetkan oleh pemerintah.
Konflik tenurial telah mendorong Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia
(2011), yang terdiri dari berbagai organisasi, untuk menerbitkan sebuah
dokumen “Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial”. Dokumen tersebut
berisi prinsip, prasyarat, dan langkah reformasi kebijakan penguasaan tanah
dan kawasan hutan di Indonesia. Ditekankan bahwa, pendekatan kolaborasi
sangat penting untuk mewujudkan gagasan reformasi kebijakan tenurial
ini. Kolaborasi antar-instansi pemerintah, baik antarkementerian/lembaga
maupun antar-unit kerja dalam kementerian, kolaborasi pemerintah pusat
dan daerah adalah hal utama yang harus diperhatikan. Selain itu, kolaborasi
antara pemerintah pusat/daerah dengan kelompok masyarakat sipil yang
dilandasi oleh prinsip‐prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi
menjadi kunci lain yang harus diadopsi. Dalam pendekatan yang lebih
ekstrem, devolusi pengelolaan sumber daya alam kepada masyarakat adat
dapat dilakukan berdasarkan tema-tema tertentu sebagaimana terjadi di
Taman Nasional Kayan Mentarang. Dalam kasus ini, kepemimpinan
Pendahuluan 11

dalam pengelolaan taman nasional memegang peran kunci yang tidak dapat
diabaikan. Selain itu, kepastian legal berupa kebijakan teknis pengelolaan
dapat menyatukan kepentingan konservasi dengan kepentingan adat
melalui mekanisme zonasi yang disepakati.
Setelah perdebatan yang berlangsung selama beberapa dekade, kini “people-
centered conservation” telah menjadi diskursus kebijakan lingkungan
global. Dari World Park Congress 2003 di Durban, disepakati komitmen
dan tindakan untuk melibatkan masyarakat lokal, mengembangkan
mekanisme pembagian biaya-manfaat yang adil antara berbagai pihak
dalam pengelolaan kawasan konservasi, serta memajukan pengelolaan
kawasan konservasi melalui strategi pengelolaan adaptif, kolaboratif,
dan co-management. PKTN muncul sebagai salah satu gagasan untuk
merajut kesenjangan antara kepentingan konservasi dengan masalah
konflik tenurial dan kemiskinan, serta karut-marut tata kepemerintahan
sumber daya alam. Pada tataran konsep, PKTN cukup menjanjikan agar
konservasi mampu mencapai tujuannya dengan tetap memberikan manfaat
nyata bagi masyarakat di dalam dan sekitarnya. Disadari banyak hal akan
tetap menjadi ajang kompromi, sehingga kelembagaan kolaboratif yang
disepakati para pihak menjadi kebutuhan yang akan diuji sepanjang waktu.
Dukungan global untuk mewujudkan PKTN yang tampak semakin kuat
dari waktu ke waktu diharapkan mampu mengubah konflik tenurial dan
akses terhadap sumber daya alam menjadi kapasitas pengelolaan taman
nasional yang kokoh dan handal. Terbitnya Peraturan Pemerintah No.
P.28/Menhut-II/2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Pelestarian Alam diharapkan memberikan landasan legal yang kokoh bagi
PKTN pada masa mendatang. Konferensi CBD di Nagoya, pada bulan
Oktober 2010 memberikan visi yang kokoh—Hidup Selaras Alam (Living
Harmony with Nature)—dan menawarkan 20 target pada tahun 2020 yang
dalam konteks pengelolaan taman nasional dapat dikemas dalam PKTN.
Pengalaman implementasi PKTN sejak 1990-an belum menunjukkan
kinerja yang memuaskan. Kegagalan kebijakan yang ditunjukkan oleh
dominasi orientasi tindakan konservasi pada P.19/Menhut-II/2004
tentang kolaborasi pengelolaan KPA dan KSA, lemahnya kapasitas
organisasi pengelola dan terbatasnya ruang pemanfaatan yang dibenarkan
secara legal untuk mengakomodasikan penghidupan masyarakat lokal telah
mendorong penulisan buku ini. Buku ini memotret pengelolaan taman
12 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

nasional di indonesia, mencoba memahami kinerja PKTN yang secara de


jure telah dimulai sejak tahun 2004 dan cenderung meningkat intensitasnya,
baik dari respons di tingkat kebijakan maupun di tingkat pengelolaan di
lapangan. Beberapa cerita sukses yang dapat direkam coba diungkapkan
seringkas mungkin dan beberapa saran perbaikan direkomendasikan pada
bagian akhir buku ini. Struktur buku ini pada dasarnya terdiri dari 4
bagian penting, yaitu: pemahaman mengenai pengelolaan taman nasional
di Indonesia, landasan konseptual PKTN, pengalaman Indonesia dalam
implementasi PKTN selama ini, dan penguatan kapasitas yang diperlukan
dalam mewujudkan PKTN.
Pengelolaan
Taman Nasional
di Indonesia

A. Pengertian dan Definisi


Taman Nasional
Taman nasional merupakan salah satu bentuk
kawasan konservasi yang menurut kategori kawasan
dilindungi (protected areas category) IUCN (1994)
termasuk dalam kategori II. Namun demikian,
IUCN (1994) juga menyebutkan bahwa dalam
praktiknya belum ada keseragaman pengertian
tentang penggunaan terminologi taman nasional
(national park), bahkan di Amerika Serikat
sekalipun. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan
IUCN, tidak semua kawasan yang menggunakan
label taman nasional merupakan taman nasional
yang sesungguhnya sebagaimana dimaksudkan
dalam kategori II kawasan dilindungi versi IUCN.
Beragamnya kondisi lapangan, praktik pengelolaan,
dan tujuan kawasan yang menggunakan label
taman nasional inilah yang menyebabkan sulitnya
mengevaluasi progres dan kinerja pengelolaan
kawasan taman nasional berdasarkan kriteria
dan indikator universal. Kondisi ini juga berlaku
di Indonesia, di mana beberapa taman nasional
sebenarnya lebih tepat dikategorikan sebagai
protected areas category III atau IV versi IUCN.
14 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Dalam beberapa pustaka, pengertian taman nasional adalah sebagai


berikut:
….. areal yang cukup luas, di mana ada satu atau beberapa
ekosistem tidak berubah oleh kegiatan eksploitasi atau pemilikan
lahan; spesies flora dan fauna, kondisi geomorfologi dan kondisi
habitatnya memiliki nilai ilmiah, pendidikan dan nilai rekreasi
atau yang memiliki nilai lanskap alam dengan keindahan tinggi
(IUCN 1994).
…..kawasan pelestarian alam (KPA) yang mempunyai ekosistem
asli, dan dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk
tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi
daya, pariwisata, dan rekreasi (UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya).
…..kawasan pelestarian alam yang luas, relatif tidak terganggu,
mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan
pelestarian tinggi, potensi objek rekreasi yang besar, mudah
dicapai dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut
(MacKinnon et al. 1990).
Terdapat beberapa dasar umum yang digunakan dalam penetapan suatu
kawasan sebagai taman nasional. Menurut MacKinnon (1990), dasar
umum yang digunakan adalah:
1) Karakteristik atau keunikan ekosistem.
2) Mempunyai keanekaragaman spesies atau spesies khusus yang
“bernilai”.
3) Mempunyai lanskap dengan ciri geofisik atau estetika yang
“bernilai”.
4) Mempunyai fungsi perlindungan hidrologi (tanah, air, iklim lokal).
5) Mempunyai sarana untuk rekreasi alam atau kegiatan wisata.
6) Mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi (candi,
peninggalan purbakala dan lain sebagainya).
Dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan
Pelestarian Alam (KPA) disebutkan bahwa suatu wilayah dapat ditunjuk
dan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut:
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 15

a. memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik
yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik;
b. memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
c. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses
ekologis secara alami; dan
d. merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona
pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan
keperluan.
Menurut IUCN Protected Area Category (1994), taman nasional ditunjuk
untuk: (a) melindungi integritas ekologi satu atau lebih untuk kepentingan
generasi kini dan yang akan datang; (b) melarang eksploitasi dan okupasi
yang bertentangan dengan tujuan penunjukannya; (c) memberikan
landasan untuk pengembangan spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan,
rekreasi dan kesempatan bagi pengunjung yang ramah secara ekologi dan
budaya. Adapun tujuan pengelolaannya adalah:
1. Melindungi wilayah alami dan pemandangan indah yang memiliki
nilai tinggi secara nasional atau internasional untuk tujuan spiritual,
ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi, dan pariwisata.
2. Melestarikan sealamiah mungkin perwakilan dari wilayah fisografi,
komunitas biotik, sumber daya genetik dan spesies, untuk memelihara
keseimbangan ekologi dan keanekaragaman hayati.Mengelola
penggunaan oleh pengunjung untuk kepentingan inspiratif,
pendidikan, budaya dan rekreasi dengan tetap mempertahankan areal
tersebut pada kondisi alamiah atau mendekati alamiah.
3. Menghilangkan dan mencegah eksploitasi atau okupasi yang
bertentangan dengan tujuan penunjukannya.Memelihara rasa
mnghargai terhadap ciri ekologi, geomorfologi, kekeramatan atau
estetika yang menjadi pertimbangan penunjukannya.
4. Memedulikan kebutuhan masyarakat lokal, termasuk penggunaan
sumber daya alam secara subsisten, sepanjang tidak menimbulkan
pengaruh negatif terhadap tujuan pengelolaan.
Di Indonesia, meskipun tidak semua kawasan konservasi yang
mendapatkan status dan label taman nasional sesuai dengan definisi
national park sebagaimana dimaksudkan IUCN, tetapi seluruh taman
nasional Indonesia memenuhi syarat untuk dikategorikan protected areas,
yaitu suatu kawasan yang ditetapkan khususnya bagi perlindungan dan
16 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

pemeliharaan keanekaragaman hayati, sumber daya alam, dan budaya


yang dikelola melalui peraturan perundangan atau instrumen lain yang
efektif. Jika merujuk pada Pasal 2 PP No. 28 Tahun 2011, secara umum
tujuan pengelolaan taman nasional di Indonesia adalah untuk:
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan dengan cara memelihara
proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan
manusia.
2. Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya yang dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan.
3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
yang dilakukan melalui kegiatan:
a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; dan
b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Adapun tujuan khusus penetapan taman nasional sangat bervariasi
bergantung pada kondisi kawasan dan latar belakang serta alasan utama
penetapan kawasan taman nasional itu sendiri.

B. Sejarah Taman Nasional di Indonesia


Apabila merujuk pada perkembangan pendekatan pengelolaan kawasan
konservasi dari waktu ke waktu, setidaknya terdapat lima tonggak sejarah
penting yang bergeser sejalan dengan perkembangan pemikiran dan
konsepsi yang dirumuskan dari pengalaman lapang (best practices). Kelima
tonggak sejarah tersebut adalah:
(1) Era Yellowstone—mengacu pada penetapan taman nasional
pertama yang ditetapkan Amerika Serikat (AS), yaitu Taman
Nasional Yellowstone pada 1872—di mana pembangunan taman
nasional merupakan upaya perlindungan terhadap spesies tertentu
yang ditempatkan pada prioritas utama sehingga “menyingkirkan”
kepentingan kehidupan manusia. Tujuan penetapan taman nasional
adalah memisahkan kawasan tertentu yang berfungsi sebagai sumber
keindahan secara lintas generasi, tidak boleh diganggu, serta tidak boleh
dieksploitasi. Hal ini dilakukan dengan mengeluarkan masyarakat
yang telah menghuni kawasan tersebut sejak lama (Hays 1987 dalam
Kramer dan Schaik 1997).
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 17

(2) Era 70-an, pada Kongres IUCN (International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources) di New Delhi (tahun 1969) menetapkan
bahwa kawasan konservasi harus dikelompokkan ke dalam beberapa
kategori menurut kriteria tertentu, agar pengelolaannya lebih efektif
dan efisien. Merujuk pada hasil kongres tersebut, pada tahun 1978
IUCN mengembangkan pedoman kategorisasi kawasan konservasi.
(3) Era 80-an, pada Kongres CNPPA (Commission on National Parks and
Protected Areas) atau Kongres Taman Nasional ke-3 di Bali tahun 1982
yang bertema “Park for Sustainable Development”, memberikan pesan
agar setiap unit kawasan konservasi harus dibuat rencana pengelolaan
(management plans) sebagai panduan bagi pengelola untuk mencapai
tujuannya secara baik. Era ini menjadi tonggak awal dikenalkannya
taman nasional di Indonesia dengan pendekatan pengelolaan
mengadopsi dari Yellowstone, yang mengedepankan pendekatan
pengamanan (security approach) dan mengutamakan kepentingan
konservasi di atas segalanya. Pada saat itu, Indonesia mendeklarasikan
penetapan 5 taman nasional pertama. Meskipun demikian, berbagai
pendekatan sosial yang diadopsi dari sistem pengelolaan hutan
produksi juga mulai digagas, misalnya proyek pengembangan
daerah penyangga yang ditujukan untuk “memutus” mata rantai
ketergantungan masyarakat sekitar kawasan terhadap sumber daya
alam yang terdapat di dalam kawasan konservasi/taman nasional.
Namun, gagasan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar
kawasan konservasi dibangun di atas asumsi bahwa masyarakat tidak
berpikir konservasi terhadap lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
(4) Era 90-an, pada Kongres WCPA (World Commission on Protected
Areas) di Caracas, Venezuela tahun 1993 yang mengamanahkan
bahwa pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa hanya dikelola
oleh single institution, melainkan harus melibatkan berbagai pihak
yang berkepentingan, khususnya masyarakat sekitar kawasan.
Implikasinya, berbagai pendekatan pengelolaan seperti pendekatan
partisipasi (participatory approach) dan pengelolaan bersama (joint
management ataupun collaborative management approaches) menjadi
jargon pengelolaan sumber daya hutan, termasuk kawasan konservasi.
Era ini juga ditandai dengan maraknya proyek mega-juta dolar, ICDP
atau sinonimnya.
18 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

(5) Era 2000-an, dari hasil Kongres WCPA terakhir di Durban, Yordania
tahun 2003 yang lalu, memandatkan bahwa pengelolaan kawasan
konservasi harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para
pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat yang tinggal di
dalam dan sekitar kawasan konservasi. Seiring dengan perkembangan
tersebut, berbagai kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan
pengelolaan kawasan konservasi juga selayaknya mengikutinya. Hal ini
penting, karena institusi konservasi yang saat ini diimplementasikan
di Indonesia masih mengikuti perkembangan konservasi pada era-era
sebelumnya.
Pelaksanaan perlindungan alam di Indonesia sendiri sudah dimulai sejak
sebelum masa kemerdekaan. Usaha perlindungan alam ini dipelopori Dr.
S.H. Koorders, yang membentuk dan menjadi ketua Tot Natuurbescherming
(Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda). Bekerja sama dengan
ahli botani, Th Valeton, perkumpulan tersebut berjasa menerbitkan karya
besar 13 jilid buku “Bijdragen tot de kennis der boomsoorten van Java”,
merupakan inventarisasi jenis-jenis pohon dari Jawa, yang dilakukan pada
1893–1914. Pada Maret 1913, perkumpulan itu mengajukan usulan
kepada pemerintah Hindia Belanda untuk menetapkan 12 lokasi sebagai
cagar alam, di antaranya beberapa danau di Banten, Pulau Krakatau,
kawah Papandayan, Semenanjung Ujung Kulon, laut pasir di Bromo,
Pulau Nusa Barung, Semenanjung Purwo Blambangan, dan kawah Ijen.
Kawasan hutan di luar Jawa yang diusulkan untuk dilindungi mencakup
Gunung Kerinci pada 1925, Gunung Leuser pada 1934 seluas 400.000
ha, serta beberapa kawasan di Kalimantan dan Irian. Meskipun cagar
alam dan kawasan perlindungan alam telah ditetapkan, tetapi tindakan
tersebut berdiri sendiri dan bukan akibat dari rancangan umum mengenai
konservasi alam yang dilakukan pemerintah (Dephut 1986).
Selanjutnya pemerintah menerbitkan Ordonansi Perlindungan Alam
tahun 1941 yang sesungguhnya tidak pernah diundangkan. Sejak
itu, wilayah di luar penguasaan negara juga boleh ditetapkan sebagai
kawasan dilindungi dengan persetujuan pemilik hak. Dalam ordonansi
tersebut, kawasan perlindungan juga termasuk kawasan terumbu karang
di mana masyarakat lokal mempunyai hak untuk menangkap ikan dan
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 19

memungut hasil laut sejak dulu. Dalam Ordonansi Perlindungan Alam


Tahun 1941, kawasan konservasi di Indonesia hanya terdiri atas Cagar
Alam dan Suaka Margasatwa. Secara umum tujuan penetapan cagar
alam dan suaka margasatwa adalah untuk melindungi, mengawetkan dan
melestarikan spesies flora dan fauna, keindahan alam, gejala alam, dan
peninggalan kebudayaan. Konservasi sumber daya alam hayati melalui
pendekatan spesies seperti tersebut tidak membutuhkan areal yang sangat
luas, sehingga pada zaman tersebut cagar alam dan suaka margasatwa yang
telah ditetapkan berukuran terbatas.
Setelah diterbitkannya Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 Tahun
1967, kawasan konservasi di Indonesia dibedakan atas Cagar Alam,
Suaka Margasatwa, Taman Wisata Alam, dan Tamam Buru. Berdasarkan
undang-undang ini, upaya konservasi sumber daya alam hayati yang
dilakukan masih bersifat pendekatan spesies walaupun telah terlihat
adanya pendekatan ekosistem.
Titik awal konservasi modern di Indonesia dimulai sejak kongres ke-3 taman
nasional dan kawasan yang dilindungi sedunia pada Oktober 1982 di Bali
(Mackinnon et al. 1990). Bersamaan dengan kongres tersebut, Pemerintah
Indonesia mendeklarasikan 11 calon taman nasional (Soemarwoto
2004). Era ini menjadi tonggak awal dikenalkannya taman nasional di
Indonesia, tapi masih mengadopsi pola pengelolaan dari Yellowstone,
yang mengedepankan pendekatan pengamanan (security approach) dengan
mengutamakan kepentingan konservasi di atas segalanya.
Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang sekaligus
menggantikan Ordonansi Perlindungan Alam 1941 dan Ordonansi
Perlindungan Binatang Liar 1931, kawasan konservasi di Indonesia
dibedakan menjadi Kawasan Suaka Alam yang terdiri atas Cagar Alam
dan Suaka Margasatwa; serta Kawasan Pelestarian Alam yang terdiri atas
Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Dalam
rangka kerja sama konservasi internasional, kawasan suaka alam dan
kawasan tertentu lainnya dapat ditetapkan sebagai cagar biosfer.
20 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Perubahan paradigma konservasi sumber daya alam hayati dari pendekatan


spesies menjadi pendekatan ekosistem menyebabkan kawasan-kawasan
konservasi yang akan ditetapkan membutuhkan areal yang luas sesuai
dengan tujuan penetapannya. Sebagai dampak dari luasnya kawasan
konservasi yang ditetapkan maka timbul konflik kepentingan di antara
pemangku kawasan dengan para pihak terkait khususnya masyarakat yang
berada di dalam dan di sekitar kawasan konservasi. Dari berbagai kategori
kawasan konservasi yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990, hanya kawasan taman nasional yang lebih mampu untuk
mengakomodasikan kepentingan masyarakat.
Hingga tahun 2011, telah ditetapkan 50 kawasan taman nasional yang
lokasinya tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Untuk Pulau Sumatera
terdapat 11 taman nasional. Di Pulau Jawa, Pulau Bali dan Nusa Tenggara,
Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, serta Pulau Maluku dan Irian Jaya
berturut-turut terdapat 12, 6, 8, 8, dan 5 taman nasional. Enam di antara
taman nasional yang ada ditetapkan sebagai situs warisan dunia (World
Heritage Sites), yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional
Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional
Ujung Kulon, Taman Nasional Komodo, dan Taman Nasional Lorentz.
Gambar 1 menunjukkan peta persebaran 50 taman nasional di Indonesia
(data sampai tahun 2011).
Pembagian taman nasional di Indonesia dibagi dalam dua kategori yaitu
taman nasional darat dan taman nasional laut. Total jumlah luasan
taman nasional yang ada di Indonesia hingga tahun 2011 tercatat telah
mencapai 16.380.491.64 ha dengan perincian 12.336.950.34 ha untuk
taman nasional daratan dan 4.043.541.30 ha untuk taman nasional laut.
Gambar 2 menunjukkan kondisi penutupan dan penggunaan lahan di
dalam 48 taman nasional di Indonesia pada tahun 2010.
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 21

C. Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional


di Indonesia
Kebijakan pengelolaan taman nasional menurut UU No. 5 Tahun 1990
dinyatakan sebagai berikut:
• Taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam berfungsi
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman flora dan fauna dan pemanfaatan sumber alam
hayati dan ekosistemnya secara lestari.
• Kegiatan yang diperbolehkan di kawasan taman nasional mencakup:
penelitian, pendidikan, menunjang budi daya, budaya, dan wisata
alam. Semua kegiatan yang akan berdampak negatif terhadap fungsi
ekosistem taman, yang mengubah bentang alam kawasan secara
permanen, atau yang akan mengakibatkan satwa terancam punah,
dilarang.
• Kawasan taman nasional dikelola berdasarkan sistem zonasi, yang
terdiri atas zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan intrensif, dan
zona lain menurut keperluan.
• Fasilitas wisata dapat dibangun di zona pemanfaatan intensif, sesuai
dengan rencana pengelolaan dan hasil analisis mengenai dampak
lingkungan.
• Untuk kegiatan pariwisata dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan
hak pengusahaan atas zona pemanfaatan dengan mengikutsertakan
masyarakat setempat.
22
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Gambar 1. Persebaran lokasi 50 taman nasional di Indonesia (data sampai dengan tahun 2011)
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 23

• Peran serta masyarakat dalam pengelolaan taman nasional harus


ditingkatkan. LSM didorong untuk meningkatkan peran serta dalam
kegiatan lapangan, perencanaan, dan pengelolaan kawasan.
• Mengembangkan kegiatan pemantauan dan evaluasi serta mengadakan
analisis mengenai dampak lingkungan untuk menanggulangi potensi
dampak negatif terhadap lingkungan di dalam dan sekitar kawasan.

Sumber Data: PHKA (2011, pers.com)


Gambar 2. Kondisi penutupan lahan di 48 taman nasional (luas total 15,5
juta hektare)
Penyelenggaraan taman nasional di Indonesia dilakukan oleh pemerintah
dengan membentuk unit pelaksana teknis tingkat pusat oleh Menteri
Kehutanan. Penyelenggaraan taman nasional meliputi kegiatan
perencanaan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan, dan evaluasi
kesesuaian fungsi (PP No. 28 Tahun 2011).
Sistem zonasi taman nasional diatur secara khusus melalui Peraturan
Menteri Kehutanan No. 56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman
Nasional. Dalam pedoman tersebut dinyatakan bahwa zonasi taman nasional
adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-
zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis
data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan,
24 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari


aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Zona dalam
kawasan taman nasional terdiri dari:
a. Zona inti;
b. Zona rimba;
c. Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan;
d. Zona pemanfaatan;
e. Zona lain, antara lain:
1) Zona tradisional;
2) Zona rehabilitasi;
3) Zona religi, budaya dan sejarah;
4) Zona khusus.
Penataan zona taman nasional didasarkan pada potensi dan fungsi kawasan
dengan memerhatikan aspek ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya.
Peruntukan masing-masing zona meliputi:
a. Zona inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna
khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan,
sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk
kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan,
pendidikan, penunjang budi daya.
b. Zona rimba untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumber daya
alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan
konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budi
daya serta mendukung zona inti.
c. Zona pemanfaatan untuk pengembangan pariwisata alam dan
rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan
yang menunjang pemanfatan, kegiatan penunjang budi daya.
d. Zona tradisional untuk pemanfaatan potensi tertentu taman
nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan
pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
e. Zona rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang
rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya.
f. Zona religi, budaya, dan sejarah untuk memperlihatkan dan
melindungi nilai-nilai hasil karya, budaya, sejarah, arkeologi maupun
keagamaan, sebagai wahana penelitian; pendidikan dan wisata alam
sejarah, arkeologi, dan religius.
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 25

g. Zona khusus untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang


tinggal di wilayah tersebut sebelum ditunjuk/ditetapkan sebagai taman
nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan
yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas
transportasi, dan listrik.
Beragam permasalahan yang terjadi di lapangan menuntut pemerintah
untuk terus mencari konsep pengelolaan taman nasional yang ideal atau
yang cocok dengan kondisi biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya setempat
serta dapat mengakomodir semua kepentingan. Berbagai upaya manajemen
telah dikaji dan diujicobakan, tetapi belum menampakkan keberhasilan
yang nyata. Beberapa di antaranya mendapat bantuan dari donor yang
sangat peduli terhadap program konservasi sumber daya alam di Indonesia
(Haeruman 1999).
Lebih lanjut Haeruman (1999) mencontohkan beberapa model atau
pendekatan pengelolaan taman nasional yang pernah dilakukan, sebagai
berikut.
1) Pendekatan Intergrated Conservation and Development Project (ICDP)
atau Pembangunan Wilayah dan Konservasi Terpadu di Taman
Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Berbak yang mendapat
bantuan dari loan Bank Dunia, di Taman Nasional Lore Lindu yang
memperoleh bantuan dari ADB, serta di Taman Nasional Leuser
dengan bantuan MEE.
2) Pendekatan IPAS (Integrated Protected Areas System) yakni sistem
pelindungan kawasan konservasi secara terpadu guna memperbaiki
lingkungan hidup demi pembangunan berkelanjutan yang lebih baik
di Taman Nasional Siberut yang mendapat bantuan dari loan ADB.
3) Pendekatan LIL (Learning for Innovation Loan) untuk Konservasi
Sumber Daya Alam Maluku (MACONAR).
Konsep pengembangan taman nasional secara terpadu di atas didasarkan
pada kenyataan bahwa wilayah taman nasional merupakan bagian dari suatu
wilayah yang lebih luas, yang keberadaannya bergantung pada kepedulian
masyarakat di sekitarnya dan kepedulian lembaga, baik pemerintah,
swasta maupun masyarakat, akan pentingnya taman nasional. Keadaan ini
mengharuskan pengelola taman nasional memerhatikan faktor lain di luar
batas taman nasional. Tiga kegiatan utama dalam konsep pengembangan
26 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

taman nasional secara terpadu adalah mengelola kawasan dilindungi,


mengembangkan daerah penyangga di sekitar kawasan dilindungi, dan
pembangunan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Selanjutnya berkembang konsep manajemen bioregional. Konsep
pengelolaan kawasan dilindungi telah bergeser dari fokus pengelolaan
individual kawasan ke fokus pengelolaan jaringan kawasan lindung
(protected area management network) pada tataran lebih luas dalam skala
lanskap atau ekosistem. Tata pengelolaannya telah bergeser dari pengelolaan
kawasan konservasi dengan paradigma “species and habitat protection”
menuju paradigma ”beyond boundary management” pada skala ekosistem/
bioregion/lanskap. Hal ini disebabkan pengelolaan individual kawasan
terbukti kurang efektif di lapangan, karena dikelola layaknya sebuah
pulau yang terisolasi dari konteks masalah sosial ekonomi, sosial politik,
dan sosial budaya. Dari titik pandang ini, evolusi konsep berkembang dari
pengembangan daerah penyangga yang hanya memasukkan komponen
pengembangan sosial ekonomi, dan pengelolaan biosfer yang memasukkan
konteks sosial ekonomi dan budaya ke pendekatan bioregional yang
berbasis pada tataran ekosistem atau lanskap.
Setelah itu muncul konsep manajemen partisipatif atau manajemen
berbasis masyarakat atau sering disebut juga (dianggap sama) dengan
konsep pengelolaan hutan bersama masyarakat. Bersamaan dengan itu
juga muncul terminologi manajemen berbasis kemitraan dan pengelolaan
taman nasional terpadu. Tetapi semua itu dianggap belum memberikan
hasil yang optimal hingga Menteri Kehutanan mengeluarkan Peraturan
Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kolaborasi pengelolaan taman
nasional diharapkan mampu menciptakan suatu kondisi di mana kontrol
lembaga pemerintah, organisasi nonpemerintah dan masyarakat setempat
lebih besar dalam pengurusan sumber daya hayati serta ekosistem taman
nasional, dengan posisi masing-masing pihak yang setara dalam proses
pengambilan keputusan pengelolaan.
Implementasi dari semua konsep pengelolaan tersebut umumnya masih
bersifat trial and error dan keberlanjutannya sangat bergantung dari
kebijakan yang berlaku. Akibatnya, masih banyak pengelolaan taman
nasional yang belum menampakkan hasil ideal yang diharapkan. Belum
tuntas implementasi model pengelolaan taman nasional kolaboratif,
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 27

muncul wacana baru berkaitan dengan pengelolaan taman nasional yaitu


Taman Nasional Model dan Taman Nasional Mandiri. Pembentukan
taman nasional model diharapkan dapat memberikan gambaran yang
lebih konkret tentang bagaimana seharusnya taman nasional dikelola,
sehingga sumber daya yang sangat terbatas dapat lebih difokuskan untuk
menjadikan taman nasional tersebut sebagai ‘the true national park’. Dari
sana muncul tafsir informal yang berkembang, bahwa Taman Nasional
Model adalah taman nasional yang dikelola sedemikian rupa sehingga
pada suatu saat dapat dikelola secara mandiri. Sayangnya, definisi,
kriteria, indikator, dan bentuk taman nasional mandiri itu sendiri masih
menjadi bahan perdebatan dan membutuhkan kajian yang panjang untuk
implementasinya.
Belakangan ini diperkenalkan model baru dalam pengelolaan taman
nasional yakni pengelolaan berbasis resort. Pengelolaan taman nasional
berbasis resort merupakan konsep pengelolaan taman nasional yang
menempatkan resort sebagai kamera yang akan memotret setiap temuan
atau kejadian yang berhubungan prinsip 3P (pengamanan, perlindungan,
dan pemanfaatan). Data yang dikumpulkan oleh masing-masing resort
akan dianalisis oleh masing-masing seksi sebelum dikumpulkan di balai.
Kemudian balai sebagai pusat pengelolaan taman nasional akan menganalisis
lebih lanjut setiap laporan dari seksi yang akan ditindaklanjuti menjadi
rencana program tahunan taman nasional di tahun mendatang. Dengan
begitu diharapkan setiap bentuk perencanaan pengelolaan berasal dari
kondisi paling aktual yang ada di lapangan berdasarkan laporan mingguan
masing-masing resort sehingga arah kebijakan pengelolaan tidak pernah
lepas dari “kebutuhan” taman nasional itu sendiri.
Satu hal yang harus dicatat bahwa pada intinya setiap taman nasional
mempunyai keunikan dan kekayaan masing-masing. Pengelolaan maupun
perlakuan terhadap tiap taman nasional adalah unik dan spesial bergantung
pada kondisi daerahnya masing-masing serta kemauan masyarakat di
sekitarnya maupun pihak-pihak lain yang terlibat tanpa melupakan
kepentingan nasional. Dengan demikian, kebijakan nasional yang berupa
arahan (guidelines) hendaknya tidak dipandang sebagai penyeragaman
pengelolaan dan pemanfaatan taman nasional melainkan sebagai informasi
standar yang mampu memelihara sifat keberadaan dan keberlanjutan dari
taman nasional.
28 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Terlepas dari berbagai konsep atau pendekatan pengelolaan taman


nasional seperti disebutkan di atas, peraturan perundang-undangan
yang berlaku mengatur mengenai kegiatan pokok dan kegiatan-kegiatan
dalam pengelolaan taman nasional. Dalam Pasal 13 PP No. 28 Tahun
2011, penyelenggaraan taman nasional mencakup kegiatan perencanaan,
perlindungan, pengawetan, pemanfaatan, dan evaluasi kesesuaian fungsi.
Penjabaran lebih lanjut dari kegiatan pokok ke dalam detail kegiatan
operasional pengelolaan taman nasional adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan
Perencanaan taman nasional meliputi:
a. Inventarisasi potensi kawasan; mencakup aspek ekologi, ekonomi,
dan sosial budaya.
b. Penataan kawasan; mencakup penyusunan zonasi dan penataan
wilayah kerja. Penataan wilayah kerja meliputi pembagian
wilayah kerja ke dalam unit pengelola dan seksi wilayah kerja,
serta pembagian seksi wilayah kerja ke dalam unit yang lebih
kecil.
c. Penyusunan rencana pengelolaan; mencakup rencana pengelolaan
jangka panjang dan rencana pengelolaan jangka pendek.
2. Perlindungan
Perlindungan taman nasional termasuk perlindungan terhadap
kawasan ekosistem esensial. Perlindungan dilakukan melalui:
a. Pencegahan, penanggulangan, dan pembatasan kerusakan yang
disebabkan oleh manusia, ternak, alam, spesies invasif, hama, dan
penyakit.
b. Melakukan penjagaan kawasan secara efektif.
3. Pengawetan
Pengawetan meliputi:
a. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa beserta habitatnya
(mencakup identifikasi jenis tumbuhan dan satwa, inventarisasi
jenis tumbuhan dan satwa, pemantauan, pembinaan habitat
dan populasi, penyelamatan jenis serta penelitian dan
pengembangan).
b. Penetapan koridor hidupan liar untuk mencegah terjadinya
konflik kepentingan antara manusia dan hidupan liar serta
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 29

memudahkan hidupan liar bergerak sesuai daerah jelajahnya dari


satu kawasan ke kawasan lain.
c. Pemulihan ekosistem untuk memulihkan struktur, fungsi,
dinamika populasi, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya
melalui mekanisme alam, rehabilitasi, dan restorasi.
d. Penutupan kawasan dalam hal terdapat kondisi kerusakan yang
berpotensi mengancam kelestarian dan/atau kondisi yang dapat
mengancam keselamatan pengunjung atau kehidupan tumbuhan
dan satwa.
4. Pemanfaatan dengan tidak merusak bentang alam dan mengubah
fungsi taman nasional
Pemanfaatan taman nasional mencakup: (a) pemanfaatan kondisi
lingkungan dan (b) pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Taman nasional dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
b. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
c. penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air
serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam;
d. pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar;
e. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budi
daya;
f. pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat.
5. Evaluasi kesesuaian fungsi yang dilakukan secara periodik di mana
hasilnya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan
tindak lanjut penyelenggaraan taman nasional. Tindak lanjut dapat
berupa pemulihan ekosistem dan/atau perubahan fungsi.

D. Permasalahan dalam Pengelolaan Taman


Nasional di Indonesia
Dalam usianya yang telah mencapai seperempat abad, kinerja pengelolaan
taman nasional telah dievaluasi dari berbagai sisi, tetapi secara keseluruhan,
dirasakan belum optimal. Menurut hasil penelitian CIFOR (2004),
berdasarkan artikel koran selama periode 1997–2003, terlihat adanya
peningkatan frekuensi terjadinya peristiwa konflik yang tajam, terutama
setelah Orde Baru menuju masa transisi Era Reformasi. Pada tahun 2000,
30 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

peristiwa konflik meningkat hampir sebelas kali dibandingkan pada tahun


1997. Peristiwa konflik yang tercatat di tingkat nasional sebanyak 359
peristiwa, dan yang terjadi di kawasan konservasi sebanyak 34 peristiwa,
dengan urutan penyebab konflik tertinggi adalah perambahan hutan,
pencurian kayu, kerusakan lingkungan, alih fungsi, dan tata batas/
pembatasan akses.
Secara umum permasalahan konflik yang terjadi dalam pengelolaan taman
nasional antara lain (Sriyanto dan Sudibjo 2005):
a. Konservasi kawasan
1) Belum adanya tata batas yang jelas di lapangan, sebagian besar
kawasan taman nasional belum memiliki tata batas. Taman
nasional yang sudah memiliki tata batas banyak yang tidak jelas
dan memerlukan rekonstruksi batas. Klaim masyarakat lokal
terhadap tumpang tindih lahan miliknya dengan kawasan taman
nasional umumnya muncul setelah pelaksanaan tata batas selesai
dilakukan, serta menimbulkan konflik berkepanjangan. Hal
ini terjadi akibat kelemahan untuk melakukan konsultasi dan
komunikasi dengan masyarakat selama proses pelaksanaan tata
batas di lapangan.
2) Klaim masyarakat lokal muncul di beberapa kawasan taman
nasional setelah pemerintah menunjuknya sebagai taman nasional.
Hal tersebut terjadi karena masyarakat lokal menyatakan mereka
telah berada, bermukim sejak sebelum taman nasional ditunjuk/
ditetapkan, dan menguasai lahan yang ada di dalam kawasan
taman nasional, serta masyarakat kurang memahami konsep
pengelolaan taman nasional akibat kelemahan sosialisasi oleh
pemerintah.
3) Perambahan kawasan umumnya terjadi di hampir setiap kawasan
taman nasional sebagai akibat kebutuhan lahan usaha pertanian/
perkebunan yang dipicu oleh laju pertambahan penduduk yang
bersifat agraris yang sangat tinggi. Sementara itu, terdapat pula
lahan-lahan yang belum dimanfaatkan secara intensif pada
daerah penyangga akibat belum berkembangnya keterpaduan
pembangunan daerah penyangga dengan kawasan taman
nasional.
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 31

b. Konflik kepentingan
1) Terbatasnya akses masyarakat lokal untuk pemanfaatan sumber
daya alam kawasan taman nasional, di mana sebelum kawasan
hutan tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional
masyarakat mendapatkan akses untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dari pemanfaatan sumber daya alam. Akses
masyarakat tersebut sebenarnya masih tetap dapat diteruskan
dengan mengalihkan kegiatan yang bersifat ekstraktif menjadi
peningkatan pendapatan melalui pemanfaatan jasa wisata dan
lingkungan. Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan terhadap
kayu bangunan, kayu bakar, satwa buru, perikanan, dan lain-lain
dapat dikembangkan pada daerah penyangga taman nasional.
2) Konflik tumpang tindih kepentingan konservasi dengan sektor
lain untuk kegiatan pembangunan jalan, sarana komunikasi,
transmisi jaringan listrik, jaringan pipa air, latihan militer,
dan lain-lain. Hal tersebut sebenarnya dapat dihindari apabila
dipahami benar kepentingan konservasi oleh berbagai pihak
yang berkepentingan, atau bilamana hal tersebut memiliki
kepentingan strategis diperlukan kajian yang mendalam dan
diperlukan antisipasinya untuk meminimalisasi dampak negatif
yang mungkin terjadi.
c. Keterbatasan kemampuan pengelola taman nasional
1) Kualitas tenaga pengelola taman nasional, umumnya sebagian besar
(+ 70%) merupakan pegawai lulusan SLTA dengan pengetahuan
konservasi dan ekologi serta kemampuan berkomunikasi
dengan masyarakat yang sangat terbatas. Untuk itu diperlukan
bantuan pelatihan peningkatan kemampuan personel di samping
dilakukan restrukturisasi kualitas petugas melalui rekrutmen
tenaga baru atau dukungan keahlian dari mitra kerja.
2) Data dan informasi mengenai keanekaragaman hayati dan fisik
kawasan taman nasional masih sangat terbatas dan memerlukan
data terbaru (updating), guna mendukung kepentingan
pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan taman nasional.
Dukungan para mitra untuk membantu pelaksanaan kegiatan
survei/inventarisasi maupun pengembangan manajemen sistem
informasi sangat diharapkan agar berbagai kebijakan dan
32 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

keputusan pengelolaan seperti perencanaan, pembinaan habitat


dan populasi, restorasi dan rehabilitasi ekosistem, dan lain-lain
dapat dilakukan berdasarkan data dan informasi yang akurat dan
terpercaya.
3) Sarana dan prasarana termasuk anggaran untuk pengelolaan
taman nasional masih sangat terbatas, baik yang dilakukan oleh
Balai TN maupun oleh Balai KSDA. Dukungan mitra untuk
pengembangan sarana dan prasarana tersebut sangat diperlukan
terutama untuk pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan,
wisata alam, pendidikan dan kesadaran konservasi, penelitian
dan pengembangan ilmu pengetahuan, menunjang pemanfaatan
plasma nutfah untuk budi daya, maupun keterpaduan
pembangunan dan konservasi bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
4) Rencana pengelolaan belum dimiliki oleh semua taman nasional,
dan rencana pengelolaan yang telah ada memerlukan kajian
kembali (review) untuk dapat disesuaikan kembali dengan
perkembangan yang terjadi seperti perkembangan desentralisasi di
tingkat kabupaten, terbentuknya kabupaten baru, demokratisasi
perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam, meningkatnya
partisipasi masyarakat, dampak krisis ekonomi, dan tersedianya
informasi dan hasil penelitian yang terbaru. Para mitra
diharapkan dapat berperan untuk dapat membantu melengkapi
dan memperbarui rencana pengelolaan yang diperlukan tersebut.
Wiratno (2010) menyatakan bahwa sampai bulan November
2010 baru 32 taman nasional (64%) yang telah memiliki Rencana
Pengelolaan Jangka Panjang yang disahkan. Pada saat yang sama,
14 taman nasional (28%) dalam proses pengesahan Rencana
Pengelolaan Jangka Panjang. Selain itu, 25 taman nasional belum
menyusun zonasi yang sangat diperlukan dalam pengelolaan.
Berbagai permasalahan di atas secara langsung atau tidak langsung berkaitan
dengan kebijakan konservasi, sehingga perlu mengadopsi berbagai
perubahan paradigma yang sedang terjadi. Hasil workshop Penguatan
Kebijakan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di
Manggala wanabakti, 11–12 Mei 2005 menyatakan butir-butir penting
sebagai berikut:
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 33

1. Disadari oleh semua pihak bahwa paradigma konservasi sumber


daya alam hayati dan ekosistemnya (KSDAHE) tengah mengalami
pergeseran. Namun, disadari juga bahwa pergeseran paradigma
tersebut belum diakomodasikan dengan baik pada tataran kebijakan
maupun implementasi KSDAHE di lingkungan Ditjen PHKA saat
ini. Kenyataan ini dapat diverifikasi oleh hal-hal penting yang muncul
dalam diskusi sebagai berikut:
• Banyaknya persoalan konservasi yang bersifat ”beyond the
law”, dalam konteks kompleksitas aktor yang terlibat dan
ketidakcukupan (insufficient) upaya penegakan hukum.
• Munculnya berbagai persoalan di lapangan berkaitan erat dengan
masalah ”prakondisi” (enabling condition), terutama hal-hal yang
menyangkut penataan hak dan munculnya berbagai konflik,
termasuk lemahnya kemantapan kawasan yang erat kaitannya
dengan penataan batas, pengukuhan kawasan dan sosialisasi
keberadaan dan manfaat KSDAHE, serta pengakuan berbagai
pihak.
• Lemahnya sinergi antarlembaga baik tingkat lokal, nasional,
maupun internasional yang ”bekerja” di bidang KSDAHE untuk
menyelesaikan persoalan di lapangan, misalnya kasus Dongi-
dongi (Kasus TN Lore Lindu).
• Keragaman persepsi pejabat di lingkungan Ditjen PHKA terhadap
KSDAHE menggambarkan belum memadainya kapasitas
SDM dalam menghadapi berbagai permasalahan di lapangan
yang seringkali menuntut variasi solusi tetapi tetap dalam jalur
kebijakan dan konsep KSDAHE yang mapan dan terkristal.
• Pada sisi lain, kebijakan dan peraturan perundang-undangan
di bidang KSDAHE masih berorientasi pada perlindungan dan
pengawetan (save it) dan kurang mengakomodasikan manfaat
konservasi bagi pihak lain, khususnya bagi masyarakat luas.
• Perumusan kebijakan KSDAHE belum berorientasi pada
pemecahan masalah, tetapi lebih menjabarkan TUPOKSI unit-
unit organisasi di lingkungan Ditjen PHKA sehingga cenderung
bersifat normatif, kaku, dan tidak komprehensif.
• Belum tersedianya sistem insentif (ekonomi) yang memadai bagi
pelaku konservasi dalam berbagai level.
34 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

• Terbatasnya sarana dan prasarana serta inovasi teknologi dalam


pengelolaan kawasan maupun konservasi jenis seringkali menjadi
hambatan struktural untuk mencapai tujuan KSDAHE. Dalam
konteks ini alokasi anggaran pemerintah yang sangat minim
merupakan kendala yang sulit diatasi bagi unit-unit organisasi di
lingkungan Ditjen PHKA.
2. Kebijakan nasional tentang desentralisasi yang diharapkan
meningkatkan efisiensi dalam berbagai bidang, termasuk KSDAHE,
pada implementasinya tidak dikawal dengan kebijakan yang
mendukung pencapaian tujuan desentralisasi. Sebagai akibatnya
kebijakan desentralisasi justru meningkatkan biaya-biaya transaksi
(transaction costs) dan menyebabkan berbagai aktor mengembangkan
persepsinya masing-masing tehadap pengelolaan KSDAHE. Hal ini
antara lain dapat dilihat dari terjadinya kasus penambangan granit di
HL Karimun, dikeluarkannya PERPU No. 1 Tahun 2004 tentang
Penambangan di Hutan Lindung.
3. Dari persepsi pihak lain, manfaat ekonomi taman nasional belum
dirasakan secara nyata. Berbagai usulan pemanfaatan sumber daya
alam di dalam kawasan konservasi yang dipandang memberikan nilai
tambah yang tinggi bagi masyarakat dan daerah seringkali berbenturan
dengan kebijakan yang ada. Kasus yang terjadi di TN Gunung Gede
Pangrango dan TN Bromo Tengger Semeru tentang pemanfaatan air
di dalam kawasan menggambarkan inkonsistensi kebijakan mengenai
masalah tersebut. Selain itu, isu mengenai Kabupaten Konservasi yang
diinisiasi oleh berbagai pihak di daerah untuk menyinergikan tujuan
konservasi dengan pembangunan wilayah dipandang sebagai wacana
belaka.
4. Banyak kawasan konservasi yang pada kenyataannya sudah
mengalami perubahan penutupan lahan secara signifikan. Fakta
ini mengindikasikan belum memadainya kapabilitas institusi
Ditjen PHKA dalam mengelola kawasan konservasi. Lemahnya
pangkalan data dan sistem informasi bidang KSDAHE menyebabkan
pengambilan keputusan dan komunikasi dengan berbagai pihak
menghadapi hambatan.
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 35

5. Kerusakan habitat yang disebabkan oleh berbagai tekanan kepentingan


ekonomi, termasuk penebangan liar, perambahan dan alih fungsi
kawasan, serta kurangnya data dan informasi tentang populasi dan
penyebarannya, menyebabkan sulitnya implementasi konservasi
jenis.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut diperlukan langkah-langkah
penting sebagai berikut:
1. Secara konseptual, Ditjen PHKA perlu mengembangkan kebijakan-
kebijakan berikut.
a. Terciptanya kondisi pemungkin (enabling conditions) yang
menjamin kepastian suatu kawasan konservasi terutama berkenaan
dengan pengaturan tata hak yang jelas.
b. Tersedianya instrumen kebijakan (regulation) yang mampu
memisahkan secara tegas antara pengurusan dan pengelolaan
kawasan konservasi serta tersedianya sistem insentif ekonomi
yang memadai.
c. Tersedianya tata kelembagaan yang memungkinkan pengukuran
kinerja pengelolaan kawasan konservasi oleh berbagai pihak dan
pembagian manfaat (benefit sharing) yang adil dan berpihak
kepada masyarakat lokal.
d. Terwujudnya organisasi pengelola kawasan konservasi yang
transparan, akuntabel, dan responsif terhadap perubahan
situasi baik sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Unit-unit
organisasi pengelola kawasan konservasi yang saat ini hanya
ada di taman nasional, perlu dikembangkan sehingga seluruh
tipe kawasan konservasi nantinya memiliki unit manajemen
tersendiri.
e. Tersedianya sumber daya manusia pengelola kawasan konservasi
yang memiliki latar belakang pendidikan dan/atau pengalaman
di bidang KSDAHE yang memadai, sehingga mampu menjawab
kompleksitas permasalahan dan tantangan konservasi ke depan.
2. Untuk mewujudkan kerangka kebijakan konseptual di atas, perlu
diambil langkah-langkah prioritas sebagai berikut:
a. Penguatan kapasitas SDM di lingkungan Ditjen PHKA melalui
berbagai program lokalatih (training workshop), antara lain
berkaitan dengan aspek-aspek:
36 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

• Perumusan kebijakan, termasuk negosiasi, resolusi konflik


dan pengambilan keputusan.
• Pengembangan kelembagaan KSDAHE.
• Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi.
• Pengelolaan populasi dan habitat.
• Fasilitasi proses partisipatif.
b. Penguatan koordinasi antar-eselon I di lingkungan Departemen
Kehutanan.
c. Pengembangan sistem komunikasi kelembagaan dengan berbagai
pihak untuk menguatkan jaringan KSDAHE.
d. Penguatan mekanisme pengambilan keputusan KSDAHE dengan
menempatkan rentang keputusan yang tepat dan menyeluruh
(komprehensif) di lingkungan Departemen Kehutanan.
e. Merumuskan agenda perubahan kebijakan yang
mengakomodasikan berbagai kepentingan dalam konteks
kebijakan nasional desentralisasi.
f. Mengembangkan organisasi pengurusan dan pengelolaan kawasan
konservasi yang tepat sambung (fit in) dengan permasalahan di
lapangan dan harapan berbagai pihak.
3. Seluruh langkah di atas, seyogianya dikemas sebagai proses perubahan
yang melibatkan seluruh stakeholders untuk membangun legitimasi
dan akuntabilitas Ditjen PHKA, sehingga konservasi sumber daya
alam menjadi gerakan nasional.
Dari sisi sumber daya manusia dan pendanaan juga terlihat ketimpangan
distribusi dana pengelolaan (Gambar 3). Hasil penelitian TNC (2006)
juga membuktikan bahwa makin luas taman nasional, makin kecil jumlah
sumber daya manusia dan dana per satuan luasnya.
Gambar 3. Distribusi biaya dan intensitas pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia
(Diolah dari Bank Dunia 2001 dalam Kartodihardjo 2006)
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia
37
38 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

1. Taman Nasional dan Kemiskinan


Seluruh belahan dunia ketiga, kemiskinan acapkali dituduh sebagai biang
keladi kerusakan alam. Walaupun gejala-gejala yang ditemukan seolah-
olah membenarkan pertanyaan tersebut, tetapi deskripsi terinci mengenai
akar masalah seringkali berujung pada lemahnya kebijakan pemerintah
dan tata kepemerintahan. Hal ini dapat dipahami ketika sebagian besar
permasalahan kemiskinan di Indonesia terjadi akibat lemahnya pengaturan
tata hak dan akses masyarakat terhadap sumber daya alam, serta ketiadaan
pembelaan legal yang jelas terhadap hak-hak masyarakat atas sumber daya
alam. Klaim negara atas hutan, tanah, dan air untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat tampaknya belum diikuti dengan regulasi dan
kelembagaan pengelolaan yang akuntabilitasnya dapat diukur. Gambar
4 menunjukkan dominasi negara atas lahan dan sumber daya alam di
berbagai wilayah di dunia.
Pada sisi lain, konservasi sumber daya alam muncul sebagai respons atas
kekhawatiran global akan rusak atau punahnya sumber daya alam yang
dipandang memiliki nilai yang sangat tinggi, setidaknya menurut kacamata
pengetahuan yang ada sekarang. Kebijakan alokasi kawasan sebagai
kawasan lindung, termasuk taman nasional, diikuti dengan penyediaan
regulasi yang bersifat ”perintah dan kendali” (command and control) dan
lembaga pengelola yang terikat pada struktur birokrasi ternyata tidak cukup
jitu untuk menghadapi tekanan permasalahan yang umumnya berasal dari
aspek sosial, ekonomi, dan politik. Proses alokasi kawasan yang bersifat
top-down sering tidak cermat dalam melihat potensi masalah di lapangan.
Selain itu, ketidakcermatan tersebut seringkali mendapatkan dukungan
legalitas yang akhirnya justru memperburuk situasi. Analisis mengenai akar
penyebab permasalahan bermuara pada hal yang sama dengan diagnosis
penyebab kemiskinan, yaitu: lemahnya kebijakan pemerintah dan tata
kepemerintahan serta lemahnya kapasitas lembaga pengelola kawasan.
Gambar 4. Gambaran mengenai kondisi tenurial di berbagai wilayah di dunia, menunjukkan dominansi negara
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia

atas lahan dan sumber daya alam


39
40 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk


menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, kemiskinan merupakan
suatu fenomena wajah ganda (multi-face) atau multidimensional.
Kemiskinan adalah suatu konsep terpadu yang memiliki lima dimensi, yaitu:
1) kemiskinan (poverty); (2) ketidakberdayaan (powerless); (3) kerentanan
menghadapi situasi darurat (state of emergency); (4) ketergantungan
(dependence), dan (5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun
sosiologis (Suryawati 2005). Sejalan dengan konsep tersebut, dokumen
Strategi Nasional penanggulangan Kemiskinan (SNPK 2005) memandang
kemiskinan sebagai masalah multidimensi. Kemiskinan bukan hanya
diukur dari pendapatan, tetapi juga mencakup kerentanan dan kerawanan
orang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk
menjadi miskin, dan keterbatasan akses masyarakat miskin dalam
penentuan kebijakan publik yang berdampak pada kehidupan mereka.
Oleh sebab itu, pemecahan masalah kemiskinan tidak lagi dapat dilakukan
oleh pemerintah sendiri melalui berbagai kebijakan sektoral yang terpusat,
seragam, dan berjangka pendek. Pemecahan masalah kemiskinan perlu
didasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin itu sendiri dan
adanya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak
dasar mereka, yaitu hak sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang
dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti:
tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam
hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan
menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan
hidupnya sendiri. Kemiskinan dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu
(Suryawati 2005):
1. Kemiskinan absolut: bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan
atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan,
perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan
bekerja.
2. Kemiskinan relatif: kondisi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga
menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.
3. Kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau
masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 41

berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak


kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
4. Kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan rendahnya akses
terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya
dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan,
tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.
Selanjutnya Suryawati (2005) menyatakan bahwa menurut perkembangan
terakhir, kemiskinan struktural lebih banyak menjadi sorotan sebagai
penyebab tumbuh dan berkembangnya ketiga kemiskinan yang lain.
Kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu kemiskinan
alamiah dan kemiskinan buatan (artificial):
1. Kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam
dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus.
2. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi
atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai
sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi yang ada secara merata.
Dalam dokumen SPNK (2005), kemiskinan dipandang sebagai kondisi
di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan,
tidak terpenuhi hak-hak dasarnya secara layak untuk menempuh dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Cara pandang kemiskinan
ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa
masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-
hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan
tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi
juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan
bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam
menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar terdiri dari hak-
hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat
menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam
peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum
antara lain terpenuhinya pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan
hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak
untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial ekonomi dan politik, baik
bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri
tetapi saling memengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya
satu hak dapat memengaruhi pemenuhan hak lainnya.
42 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Dengan diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, kemiskinan dipandang


sebagai suatu peristiwa penolakan atau pelanggaran hak dan tidak
terpenuhinya hak. Kemiskinan juga dipandang sebagai proses perampasan
atas daya rakyat miskin. Konsep ini memberikan pengakuan bahwa
orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami
pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia.
Oleh karena itu, konsep ini memberikan penegasan terhadap kewajiban
negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar
masyarakat miskin.
SNPK (2005) juga menunjukkan bahwa persebaran wilayah penduduk
miskin di Indonesia masih terpusat di perdesaan. Data Susenas 2004
menunjukkan bahwa penduduk miskin di perdesaan diperkirakan 69%,
dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Jumlah petani gurem dengan
penguasaan lahan kurang dari 0,5 ha dipekirakan sekitar 56,5% (Sensus
Pertanian 2003 dalam SNPK 2005). Tingkat kedalaman dan keparahan
kemiskinan di perdesaan cenderung lebih tinggi daripada perkotaan.
Masyarakat miskin perdesaan dihadapkan pada masalah rendahnya mutu
sumber daya manusia, terbatasnya pemilikan lahan, banyaknya rumah
tangga yang tidak memiliki aset, terbatasnya alternatif lapangan kerja,
belum tercukupinya pelayanan publik, degradasi sumber daya alam dan
lingkungan hidup, lemahnya kelembagaan dan organisasi masyarakat,
dan ketidakberdayaan dalam menentukan harga produk yang dihasilkan.
Ironisnya, persebaran jumlah penduduk miskin justru makin meningkat
di daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya hutan berlimpah
(Gambar 5).
Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan pesisir, pinggiran hutan,
dan pertanian lahan kering juga mengeluhkan kesulitan memperoleh
perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Kesulitan
perumahan dan permukiman masyarakat miskin di daerah perdesaan
umumnya disiasati dengan menumpang pada anggota keluarga lainnya.
Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari dari satu keluarga dengan
fasilitas sanitasi yang kurang memadai. Hal ini terjadi pada masyarakat
perkebunan yang tinggal di dataran tinggi seperti perkebunan teh di Jawa.
Mereka jauh dan terisiolasi dari masyarakat umum. Sementara itu, bagi
penduduk lokal yang tinggal di pedalaman hutan, masalah perumahan
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 43

dan permukiman tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari masalah
keutuhan ekosistem dan budaya setempat. Sebagai gambaran, sebaran
keluarga yang bertempat tinggal di Kawasan Lindung disajikan pada
Gambar 6 (KPK 2005).

Gambar 5. Hubungan antara persentase luas kawasan hutan negara dengan


penduduk miskin di beberapa provinsi (Kartodihardjo pers.
com.)
Masyarakat miskin sangat rentan terhadap perubahan pola pemanfaatan
sumber daya alam dan perubahan lingkungan. Masyarakat miskin yang
tinggal di daerah perdesaan, daerah pinggiran hutan, kawasan pesisir,
dan daerah pertambangan sangat bergantung pada sumber daya alam
sebagai sumber penghasilan. Sedangkan masyarakat miskin di perkotaan
umumnya tinggal di lingkungan permukiman yang buruk dan tidak sehat,
misalnya di daerah rawan banjir dan daerah yang tercemar. Kenyataan
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara
hak atas lingkungan hidup dengan hak atas sumber daya alam. Hak atas
lingkungan hidup yang sehat dan bersih bersifat universal dan untuk
semua orang tanpa membedakan, baik status sosial ekonomi maupun
letak geografis wilayah. Selain itu, aspek lingkungan hidup memuat unsur
“kewajiban” bagi semua orang untuk turut menjaga dan melestarikannya.
Sementara itu, hak atas sumber daya alam terkait dengan akses dan
keadilan dalam pemanfaatan, sehingga relevan bagi upaya penanggulangan
kemiskinan (KPK 2005).
44
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Sumber: KPK (2005)


Gambar 6. Persebaran jumlah KK yang bertempat di kawasan lindung menurut kabupaten/kota
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 45

Masyarakat miskin seringkali terpinggirkan dalam pengelolaan dan


pemanfaatan sumber daya alam. Penetapan area hutan sebagai kawasan
lindung seringkali memarjinalkan penduduk miskin yang tinggal di
sekitar atau di dalamnya yang seharusnya dapat hidup secara seimbang.
Sekitar 30% hutan produksi tetap hanya dikelola oleh lima perusahaan
(BPK 2001 dalam KPK 2005). Pada tahun 2011, Indonesia memiliki
kawasan dilindungi seluas 55,68 juta ha (28,96% terhadap luas daratan)
meliputi hutan lindung seluas 28,86 juta ha dan kawasan konservasi
dengan luas 26,82 juta ha (Kementerian Kehutanan 2011). Pengelolaan
kawasan dilindungi tanpa mempertimbangkan kehidupan masyarakat
yang tinggal di sekitar dan di dalamnya akan menjauhkan akses masyarakat
terhadap sumber daya dan justru menghambat tercapainya pembangunan
berkelanjutan.
Proses pemiskinan juga terjadi dengan menyempitnya dan hilangnya
sumber mata pencaharian masyarakat miskin akibat penurunan mutu
lingkungan hidup terutama hutan, laut, dan daerah pertambangan.
Berdasarkan statistik kehutanan, luas hutan Indonesia telah menyusut dari
130,1 juta ha (67,7% dari luas daratan) pada tahun 1993 menjadi 123,4
juta ha (64,2% dari luas daratan) pada tahun 2001. Hasil rekalkulasi
Departemen Kehutanan tahun 2003—berdasarkan hasil interpretasi citra
satelit tahun 2000—menunjukkan bahwa penutupan lahan berhutan
pada hutan lindung seluas 20,85 juta ha atau 69,6 % dari hutan lindung
seluas 29,96 juta ha; Hutan Konservasi seluas 12,93 juta ha atau 66,4 %
dari hutan konservasi seluas 19,47 juta ha; Hutan produksi seluas 50,11
juta ha atau 59,9 % dari hutan produksi seluas 83,70 juta ha (Departemen
Kehutanan 2003).
Berdasarkan perkembangan pengukuhan kawasan sampai dengan April
2011, luas kawasan hutan dan perairan seluruh Indonesia adalah 130,68
juta ha. Menurut fungsinya, kawasan tersebut terdiri atas Hutan Konservasi
(HK) seluas 26,82 juta ha, Hutan Lindung (HL) seluas 28,86 juta ha,
Hutan Produksi (HP) seluas 32,60 juta ha, Hutan Produksi Terbatas
(HPT) seluas 24,46 juta ha, dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi
(HPK) seluas 17,94 juta ha. Total panjang batas kawasan hutan baik batas
luar maupun batas antarfungsi mencapai 281.873 km. Sampai dengan
tahun 2010, realisasi tata batas mencapai 74,67% atau sekitar 222.452 km
dan kawasan hutan yang telah ditetapkan seluas 14,24 juta ha. Penutupan
46 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

lahan kawasan hutan Indonesia terdiri atas 41,26 juta ha hutan primer,
45,55 juta ha hutan sekunder, 2,82 juta ha hutan tanaman serta 41,05
juta ha merupakan areal yang tidak berhutan. Penutupan lahan berhutan
terdapat juga di luar kawasan hutan/areal penggunaan lainnya yaitu sekitar
8,07 juta hektar yang potensial dijadikan penunjang industri kehutanan
baik yang berbasis kayu maupun nonkayu (Kementerian Kehutanan
2011).
Penyusutan ini disebabkan oleh penebangan hutan yang tidak terkendali,
penjarahan hutan, kebakaran, dan konversi untuk kegiatan lain seperti
pertambangan, pembangunan jalan, dan permukiman. Pada periode
2003–2006, deforestasi di dalam kawasan hutan sebesar 0,76 juta ha/th
(64,8%) terdiri dari angka deforestasi pada hutan primer sebesar 4,5%
atau 52,3 ribu ha/th, pada hutan sekunder sebesar 52,8% atau 620,2
ribu ha/th dan pada hutan lainnya sebesar 7,6% atau 88,7 ribu ha/th.
Sedangkan pada areal penggunaan lain dihasilkan angka deforestasi pada
hutan primer sebesar 24,1 ribu ha/th (2,1 %), pada hutan sekunder sebesar
359,1 ribu ha/th (30,6%) dan pada hutan lainnya sebesar 29,7 ribu ha/
th (2,5%). Deforestasi rata-rata seluruh daratan Indonesiamencapai 1,17
juta ha/th, diantaranya 55,6 ribu ha/th terjadi di kawasan konservasi
(Badan Planologi Kehutanan 2008). Dampak lanjutan dari kerusakan ini
adalah terjadinya degradasi lahan yang disebabkan oleh erosi dan tanah
longsor, serta berdampak pula terhadap penurunan produktivitas lahan
yang dikelola oleh masyarakat.
Saat ini, kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam dan kawasan
lindung hanya terpusat pada satu kementerian atau unit pemerintahan.
Pola pengelolaan seperti ini menyebabkan lemahnya koordinasi antara
departemen dan pemerintah daerah, antara pemerintah dengan masyarakat,
dan antara pemerintah, masyarakat, dan swasta. Sementara itu, beberapa
kewenangan untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup
sebagian berada di tangan kementerian/lembaga di pusat dan sebagian
berada di tangan pemerintah daerah. Hal ini menyebabkan terjadinya
konflik kepentingan akibat perbedaan tafsir dan kepentingan, serta
kelambanan dalam pengambilan keputusan terutama pada saat mengatasi
berbagai kesalahan pengelolaan sumber daya alam dan kerusakan
lingkungan hidup.
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 47

Secara nasional, kebijakan pengelolaan hutan tertuang dalam UU No.


41/1999 tentang Kehutanan. Dalam pelaksanaan UU tersebut masih
dijumpai kelemahan, yaitu (1) proses penetapan kawasan hutan dilakukan
secara sepihak dengan tidak melibatkan masyarakat, terutama masyarakat
yang secara historis dan kultural mempunyai hak pada kawasan hutan;
(2) tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan banyak kasus konflik
kehutanan terutama antara masyarakat adat/lokal dengan pemerintah dan
pengusaha pemegang konsesi kehutanan; (3) proses penyusunan kebijakan
tidak bottom up dan kurang transparan; serta (4) persoalan penebangan
liar, berkurangnya luas hutan, kebakaran hutan, dan tidak melibatkan
masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan (Bappenas-PSDA 2002 dalam
KPK 2005).
Hasil identifikasi desa di dalam dan sekitar kawasan hutan yang dilakukan
oleh Kementerian Kehutanan bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik
pada tahun 2007 dan 2009, menunjukkan bahwa sebanyak lebih dari
25.000 desa di dalam kawasan hutan, di antaranya sebanyak 3.901 desa
terdapat di dalam kawasan konservasi. Rencana Strategis Kementerian
Kehutanan 2010–2014 menunjukkan bahwa pada tahun 2003 ada sekitar
10,2 juta orang miskin yang berada di sekitar wilayah hutan. Situasi
ini menunjukkan skala yang dihadapi dalam penanggulangan masalah
kemiskinan yang terkait dengan sektor kehutanan, termasuk dalam
pengelolaan taman nasional.
Tidak terpenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin karena tidak tepatnya
layanan yang diberikan oleh pemerintah, menyentuh langsung persoalan
kapabilitas dasar yang kemudian menghambat mereka untuk mencapai
harkat martabat sebagai warga negara. Gagalnya kapabilitas dasar itu
sering muncul dalam berbagai kasus, terkooptasinya masyarakat miskin
dari kehidupan sosial dan membuat mereka semakin tidak berdaya untuk
menyampaikan aspirasinya. Kasus tersebut terjadi sebagai akibat dari proses
perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang memposisikan masyarakat
miskin sebagai objek dan mengabaikan keterlibatan masyarakat miskin
dalam proses pengambilan keputusan.
Salah satu penyebab kegagalan kebijakan dan program pembangunan
dalam mengatasi masalah kemiskinan adalah lemahnya partisipasi
masyarakat miskin, atau partisipasi LSM untuk dapat menyampaikan
48 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

suara si miskin dalam tahap perumusan, pelaksanaan, pemantauan


maupun evaluasi kebijakan dan program pembangunan. Berbagai kasus
penggusuran di perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak,
dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya
dialog dan lemahnya partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan
keputusan. Partisipasi masyarakat di antaranya dapat tergambarkan dalam
wujud organisasi-organisasi masyarakat yang dapat memperkuat posisi
tawar untuk memengaruhi kebijakan, antara lain Perkumpulan Petani
Pemakai Air (P3A), Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), dan Taruna
Tani (Gambar 7).
Hasil kajian mendalam dari Sajogyo Institute (2008) menunjukkan bahwa
ancaman terbesar terhadap keutuhan dan kelestarian kawasan konservasi
sesungguhnya bukan berada di masyarakat setempat, dan/atau LSM, dan/
atau kalangan perusahaan, melainkan pada institusi pemerintahan, baik
pada aras pusat maupun daerah otonom. Berikut diutarakan underlying
mechanisms, yang secara langsung maupun tidak, telah menempatkan
institusi pemerintah (terutama di luar Direktorat Jenderal PHKA),
sebagai aktor yang justru mengancam keutuhan dan kelestarian kawasan
konservasi:
• Pada tataran lokal atau kabupaten, pemerintah daerah otonom melalui
kebijakan, perizinan, atau lisensi yang diterbitkannya dapat membuka
jalan dan memberi legitimasi pada aktor tertentu untuk akses ke
sumber daya alam di kawasan konservasi yang secara tradisional atau
juridis formal berada di bawah penguasaan aktor yang lain.
• Tidak adanya kebijakan dan program di tingkat lokal, kabupaten,
provinsi maupun nasional yang menyinergikan kepentingan ekonomi
dan konservasi secara komprehensif. Kekosongan ini berpengaruh besar
pada Pemerintah Daerah Otonom yang sebagian besar wilayahnya
merupakan kawasan konservasi. Di mata pemerintah bersangkutan,
konservasi dipandang tidak atau belum mampu memberi sumbangan
yang signifikan pada Pendapatan Asli Daerah seperti halnya sektor
perekonomian. Tidak heran bila di daerah otonom semacam ini terbit
kebijakan dan keputusan yang bias ekonomi ketimbang konservasi.
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 49

• Pada tataran makro, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan


belum menjadi arus utama (mainstream) pembangunan nasional.
Terlebih lagi, kebijakan dan tata-kelola sektor sumber daya alam
sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Kehutanan (UU No
41/1999), Konservasi (UU No 5/1990), Pemerintahan Daerah (UU
No. 32/2004, Pertambangan (UU No 11/1967 dan UU No. 4/2009),
Agraria (UU No 5/1960), Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UU No. 32/2009), Sumber Daya Air (UU No 7/2004 ), serta
Tata Ruang (UU No 26/2007), berikut peraturan implementatifnya;
satu sama lain tidak kompatibel. Akibatnya, koordinasi dan sinergi
untuk mewujudkan kebijakan, program-program dan tindakan kolektif
pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan sulit terwujud
di lapangan. Padahal, bila situasi tersebut terwujud, keutuhan dan
keamanan kawasan konservasi akan lebih terjamin.
Sejalan dengan perkembangan paradigma dan tuntutan masyarakat
terhadap praktik pengelolaan SDA, langkah strategis yang diperlukan
adalah meninjau kembali berbagai peraturan yang menyangkut optimalisasi
sumber daya alam secara seimbang untuk memperoleh pendapatan
dan menjaga kawasan lindung, dan untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat sekitar. Selain review berbagai peraturan tersebut, perlu
menegaskan kembali pengelolaan yang berorientasi pada pemberian hak
dan akses masyarakat miskin yang tinggal di sekitar lokasi sumber daya alam
untuk ikut menikmati dan memanfaatkan sumber daya yang ada. Selain
itu, langkah yang diperlukan adalah menjalin kerja sama kemitraan antara
para pihak terkait, penegakan hukum secara adil dan konsisten terutama
terhadap pemanfaatan SDA ilegal dan perusakan ekosistem, pengelolaan
SDA yang lebih bersifat bottom-up dan mengakui hukum adat/lokal, serta
pengakuan terhadap lembaga adat/lokal dalam struktur pengelolaan SDA.
Selain itu, juga diperlukan koordinasi antar-instansi dan antara pemerintah
pusat dan daerah yang lebih solid agar tidak terjadi konflik kepentingan
dan inkonsistensi kebijakan yang merugikan masyarakat miskin.
50
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Sumber: KPK (2005)


Gambar 7. Persentase desa yang memiliki organisasi petani menurut kabupaten/kota tahun 2003
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 51

2. Taman Nasional dan Kelestarian


Keanekaragaman Hayati
Pengertian keanekaragaman hayati dapat dipahami dari berbagai sudut
pandang atau aspek, baik secara material maupun spiritual, secara ilmiah
maupun awam, secara politik, ekonomi maupun sosial budaya. Kesadaran
fundamental manusia atas keanekaragaman hayati harus dilandaskan
pada keyakinan bahwa kehadiran seluruh mahluk hidup adalah karunia
Tuhan YME sebagai cadangan keperluan hidup bagi manusia di muka
bumi secara lintas generasi, yang diciptakan dalam ukuran-ukuran
tertentu. Apabila manusia melampaui batas-batas ukuran tersebut,
terjadilah kerusakan di muka bumi yang pada tingkat tertentu akan
menimbulkan bencana bagi manusia dan kemanusiaan. Dalam keyakinan
itu, keanekaragaman hayati adalah elemen kewilayahan yang memiliki
nilai intrinsik (nilainya kehadirannya tidak bergantung pada manusia),
memiliki fungsi tertentu dalam mempertahankan tata lingkungan hidup
dan kehadirannya menentukan baik-buruknya tata wilayah tersebut.
Semakin beranekaragamnya komponen hayati di suatu wilayah, semakin
beruntunglah manusia berakal yang mampu mengembangkan pilihan-
pilihan kemanfaatan bagi komunitasnya, sepanjang komponen hayati
tersebut masih bisa ditemukan. Pengelolaan keanekaragaman hayati pada
hakikatnya merupakan upaya untuk mempertahankan pilihan-pilihan
masa depan melalui pencadangan atau perlindungan komponen hayati
dan mengoptimalkan pemanfaatan lestari komponen hayati yang telah
diketahui nilainya dari pengalaman dan pengkajian terus-menerus manusia
selama mengarungi kehidupan.
Secara ilmiah, uraian di bawah ini setidaknya mewakili pengertian
keanekaragaman hayati dari beberapa sudut pandang1:
1. Keanekaragaman hayati adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keanekaan bentuk kehidupan di bumi, baik di
darat, laut, maupun perairan lainnya, interaksi di antara berbagai
makhluk hidup serta antara makhluk hidup dengan lingkungannya.

1 Diacu dari Bappenas (2004). Wilayah Kritis Keanekaragaman Hayati Di Indonesia:


Instrumen Penilaian dan Pemindaian Indikatif/Cepat bagi Pengambil Kebijakan. Sebuah
studi kasus ekosistem pesisir laut.
52 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Keanekaragaman hayati mencakup semua bentuk kehidupan di muka


bumi, mulai dari makhluk sederhana seperti jamur dan bakteri hingga
makhluk yang mampu berpikir seperti manusia.
2. Keanekaragaman hayati mencakup fungsi-fungsi ekologi atau layanan
alam, berupa layanan yang dihasilkan oleh satu spesies dan/atau
ekosistem (ruang hidup) yang memberi manfaat kepada spesies lain
termasuk manusia.
3. Keanekaragaman hayati merujuk pada aspek keseluruhan dari sistem
penopang kehidupan, yaitu mencakup aspek sosial, ekonomi dan
lingkungan serta aspek sistem pengetahuan dan etika, dan kaitan di
antara berbagai aspek ini.
4. Keanekaan sistem pengetahuan dan kebudayaan masyarakat juga
terkait erat dengan keanekaragaman hayati.
Dalam dokumen Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati atau
lebih dikenal dengan Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang RI No. 5 Tahun
1994 mengenai pengesahan konvensi tersebut, dijelaskan bahwa pengertian
keanekaragaman hayati mencakup keanekaragaman di dalam spesies
(keanekaragaman genetik), keanekaragaman spesies, dan keanekaragaman
ekosistem.
Penandatanganan Konvensi Keanekaragaman Hayati dan pengesahannya
melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 telah mengikat bangsa
Indonesia dalam komitmen dan kesepakatan mengenai konservasi
keanekaragaman hayati dunia. Penandatanganan konvensi tersebut, yang
secara legal mengikat (legally binding), akan menjadi tolok ukur bagi wajah
peradaban bangsa Indonesia di mata dunia. Dalam hal ini, pemerintah,
baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota, serta seluruh elemen masyarakat
Indonesia bertanggung jawab dalam pengelolaan keanekaragaman hayati.
Melalui kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah, peran kabupaten/
kota akan semakin besar dalam menjalankan roda pembangunan, termasuk
peran dan tanggung jawabnya terhadap pengelolaan keanekaragaman hayati
sebagai modal alam pembangunan wilayah, baik dalam aspek perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan spesies dan ekosistemnya, serta
pemanfaatan gen, spesies dan ekosistem secara berkelanjutan sebagaimana
diamanatkan dalam pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990.
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 53

Keanekaragaman hayati, baik liar maupun budi daya, merupakan sumber


seluruh sumber daya biologi, di mana manusia mendapatkan seluruh
kebutuhan hidupnya akan makanan, obat-obatan, dan produk industri.
Manfaat dari keanekaragaman hayati liar mencapai 4,5% dari GDP di
Amerika Serikat pada tahun 1970-an, mencapai US $ 87 miliar per tahun.
Perikanan yang sebagian besar bergantung pada spesies liar memberikan
sumbangan pada pangan dunia ± 100 juta ton pada tahun 1989. Spesies
liar merupakan kebutuhan hidup sehari-hari di berbagai belahan bumi.
Di Ghana, 3 dari 4 orang penduduknya mencari satwa liar sebagai sumber
protein utamanya (WRI, IUCN, dan UNEP 1992). Di Indonesia lebih
dari 6.000 spesies tumbuhan dan hewan dimanfaatkan sebagai bahan
kebutuhan hidup sehari-hari. Lebih dari 40 juta orang tergantung
hidupnya pada keanekaragaman hayati (Bappenas 1993). Spesies budi
daya memberikan sumbangan lebih besar bagi dunia, mencapai 32% di
negara-nagara berkembang dan 12% di negara-negara dengan pendapatan
menengah. Perdagangan produk-produk pertanian mencapai US$ 3
triliun pada tahun 1989.
Kondisi keanekaragaman hayati Indonesia dari waktu ke waktu terus
mengalami kemerosotan yang mengkhawatirkan akibat ketidakpedulian
berbagai unsur pelaku pembangunan. Posisi politik pemerintah daerah
yang makin menguat sejak otonomi daerah diberlakukan (tahun 2000),
tetapi tidak memperbaiki kinerja pengelolaan keanekaragaman hayati,
bahkan laju kemerosotannya makin cepat akibat lemahnya pemahaman,
peran, dan tanggung jawab pemerintah daerah terhadap kelestarian
keanekaragaman hayati. Tuntutan pembangunan daerah, lemahnya
kapasitas pemerintah daerah, dan melemahnya kendali pemerintah
pusat yang mewarnai euforia reformasi telah menyebabkan pemanfaatan
sumber daya alam berorientasi pada kepentingan jangka pendek tanpa
mengindahkan daya dukung lingkungannya, sehingga menyebabkan
kemerosotan keanekaragaman hayati pada tingkat yang dapat mengancam
keberlanjutan pembangunan wilayah dan nasional pada masa yang
akan datang. Tanpa penguatan pemahaman, peran dan tanggung jawab
pemerintah daerah dalam pengelolaan keanekaragaman hayati, kekayaan
sumber daya alam hayati Indonesia yang selama ini menopang kehidupan
masyarakat serta menjadi modal alam pembangunan wilayah dan nasional
akan punah untuk selama-lamanya.
54 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Pengelolaan keanekaragaman hayati merupakan upaya manusia untuk


merencanakan dan mengimplementasikan pendekatan-pendekatan
untuk:
a. Melindungi dan memanfaatkan secara berkelanjutan keanekaragaman
hayati dan sumber daya biologis dan menjamin pembagian keuntungan
yang diperoleh secara adil.
b. Mengembangkan kapasitas sumber daya manusia, finansial,
infrastruktur, dan kelembagaan untuk menangani tujuan di atas.
c. Menegakkan tata kelembagaan yang diperlukan untuk mendorong
kerja sama dan aksi sektor swasta dan masyarakat.
Istilah “pengelolaan keanekaragaman hayati” yang digunakan di sini
bertujuan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati beserta
material, kondisi sosial, budaya, spiritual dan nilai-nilai ekosistem yang
berkaitan. Dalam hal ini, termasuk seluruh aktivitas pengelolaan, mulai
dari pengawetan spesies, keanekaragaman genetik, dan pengelolaan
habitat dan lanskap, dilakukan melalui pengelolaan kawasan konservasi,
perbaikan ekosistem dan pemanenan sumber daya nabati, hewani dan
mikroba untuk kepentingan manusia, hingga upaya mendapatkan dan
pemerataan manfaat/keuntungan. Dalam konteks inilah peran taman
nasional menjadi sangat penting bagi kelestarian keanekaragaman hayati
dan seluruh potensi manfaatnya pada masa mendatang.
Keberhasilan untuk memadukan kepentingan pengelolaan keanekaragaman
hayati, yakni: perlindungan, pengawetan, pemanfaatan berkelanjutan dan
pembagian keuntungan, bergantung pada dua hal. Pertama, pembuat
kebijakan dan pengelola kawasan konservasi, termasuk taman nasional,
membutuhkan pemahaman yang memadai terhadap konteks sosial,
politik, ekonomi, dan budaya di mana tujuan pengelolaan keanekaragaman
hayati diinginkan. Kedua, mereka perlu memilih alat dan metode yang
menjanjikan upaya pemaduan dua kepentingan di atas. Salah satu metode
penting adalah alokasi kawasan konservasi, termasuk taman nasional.
Pada dasarnya, semua kegiatan pembangunan harus dilaksanakan secara
terpadu dengan memerhatikan kelestarian keanekaragaman hayati. Jika
tidak, akan terjadi kemerosotan keanekaragaman hayati yang pada akhirnya
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 55

akan bermuara pada kerusakan fungsi lingkungan hidup. Kegagalan


keterpaduan pembangunan telah banyak menyebabkan kerusakan
keanekaragaman hayati sehingga menimbulkan berbagai bencana, seperti
tanah longsor, banjir, kebakaran hutan, menurunnya daya dukung
lingkungan, penurunan kesuburan tanah akibat terganggunya daur
hara, tata air, dan purifikasi udara. Dalam banyak kasus, tuntutan atas
keterpaduan pembangunan tidak hanya berlaku antarsektor, tetapi juga
antarwilayah kabupaten/kota. Banjir di Jakarta terjadi bukan semata-mata
akibat tingginya curah hujan dan drainase Kota Jakarta yang buruk, tetapi
juga akibat buruknya kondisi ekosistem di daerah hulu. Keanekaragaman
hayati yang ditemukan di dalam taman nasional, selain dilihat sebagai
modal alam pembangunan wilayah, juga mempunyai fungsi sebagai
penopang kehidupan.

3. Taman Nasional dan Pembangunan Wilayah


Secara universal, fungsi utama pemerintah dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara berkenaan dengan alokasi, distribusi,
dan stabilisasi. Fungsi alokasi meliputi alokasi sumber-sumber ekonomi
dalam bentuk barang dan jasa sebagai wujud atas komitmen pemerintah
dalam pelayanan publik. Fungsi distribusi meliputi aspek pemerataan di
dalam pendapatan dan kekayaan masyarakat. Sedangkan fungsi stabilisasi
meliputi aspek-aspek pertahanan keamanan, ekonomi, dan moneter.
Ketiga fungsi pemerintah tersebut, harus dipahami sebagai kesatuan
tindak untuk menjaga hak-hak publik secara lintas generasi, termasuk
hak atas lingkungan hidup yang sehat dan terjaganya modal alam bagi
pembangunan pada masa yang akan datang.
Dewasa ini dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara semakin
kompleks seiring dengan meningkatnya permasalahan dan tuntutan
peningkatan kualitas kehidupan. Hal tersebut mengakibatkan sejumlah
perubahan di dalam fungsi, lingkup, dan sifat urusan pemerintahan
tersebut. Dalam pola pemerintahan yang berjenjang seperti negara kita,
perubahan di atas pada akhirnya akan menyentuh hubungan pusat dan
daerah terutama di dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab
pelaksanaan tugas-tugas pembangunan.
56 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,


perspektif pendelegasian urusan tersebut ditetapkan dengan menggunakan
tiga prinsip dasar yaitu efisiensi, eksternalitas, dan akuntabilitas. Ketiga
prinsip dasar di atas menjadi landasan dan kriteria bagi pelaksanaan
pembagian fungsi utama pemerintah sebagaimana diuraikan di atas.
Dengan pemahaman ini, masing-masing jenjang pemerintahan (pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota) memiliki kewenangan sekaligus peran
dalam mewujudkan tujuan pembangunan yang telah disepakati bersama
secara nasional.
Desentralisasi dan otonomi daerah dibutuhkan untuk menumbuhkan
prakarsa daerah sekaligus memfasilitasi aspirasi daerah sesuai dengan
keanekaragaman kondisinya masing-masing. Dengan keragaman kondisi
dan kemajuan daerah serta bentang geografis Indonesia yang demikian
besar, dan pengalaman pelaksanaan pembangunan selama ini menunjukkan
bahwa kebijakan yang bersifat one-size fits all (uniform) tidak lagi aplikatif.
Hal tersebut semakin tidak terhindarkan dengan kenyataan globalisasi
dewasa ini. Namun, di dalam pengertian negara kesatuan kita, di saat
yang sama juga perlu dikenali tujuan-tujuan bersama yang tetap perlu
diarahkan dan dijaga secara nasional terutama berkenaan dengan fungsi
pemerataan keadilan dan kesejahteraan serta komitmen nasional di forum
internasional, termasuk komitmen Bangsa Indonesia dalam menjalankan
Konvensi Keanekaragaman Hayati.
Pemerintah kabupaten/kota diharapkan dapat meletakkan landasan
pengembangan wilayah berbasis keseimbangan pemanfaatan, pelestarian,
dan pengawetan sumber daya alam di wilayahnya. Kinerja pengelolaan
keanekaragaman hayati pemerintah kabupaten dapat dilihat dari
berkembangnya sistem pengembangan individu, sistem sosial, sistem
kepemerintahan (governance), sistem ekonomi, sistem infrastruktur, serta
kelestarian sistem sumber daya alam dan lingkungan seperti disajikan pada
Gambar 8.
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 57

Sumber: Bossel (1999)


Gambar 8. Sistem anthroposphere dan hubungan keterkaitannya. Keenam
sistem dapat diringkaskan menjadi sistem kemasyarakatan,
sistem sumber daya alam, dan sistem pendukungnya
Sedangkan pembangunan wilayah secara berkelanjutan antara lain
dicirikan dengan pencapaian hasil (outcome) berikut:
1. Berkembangnya sistem swadaya masyarakat yang menghargai nilai-
nilai keanekaragaman hayati untuk mendukung kesejahteraannya.
2. Kemandirian pengelolaan keanekaragaman hayati, termasuk
pengelolaan kawasan lindung (termasuk taman nasional), yang mampu
memberikan kontribusi optimal terhadap kesejahteraan masyarakat
dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.
3. Kemandirian pembangunan wilayah berbasis keanekaragaman
hayati.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, salah satu urusan wajib pemerintah daerah adalah pengendalian
lingkungan hidup, termasuk pengelolaan keanekaragaman hayati, terutama
sebagai elemen kunci tata wilayah dan modal alam bagi pembangunan
daerah secara berkelanjutan. Pengelolaan keanekaragaman hayati dalam era
otonomi daerah dapat menjembatani penyelesaian berbagai permasalahan
yang selama ini muncul:
58 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

1. Kesenjangan informasi dapat diatasi, mengingat kabupaten/kota lebih


mengetahui potensi dan kondisi daerahnya masing-masing, sehingga
pengelolaannya akan lebih efektif.
2. Lemahnya pengawasan dan pengendalian dapat dijalankan secara
lebih efektif, mengingat ruang lingkup pengawasan menjadi lebih
sempit sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan akan lebih
kecil.
3. Partisipasi masyarakat akan menjadi lebih besar karena masyarakat
sebagai penanggung risiko terbesar dapat diberikan arena untuk
memainkan peranan kunci dalam pengelolaan keanekaragaman
hayati.
Pada kenyataannya, perjalanan otonomi daerah selama ini menunjukkan
bahwa kendali pemerintah, baik pusat maupun daerah, semakin lemah
dalam melestarikan sumber daya alam hayati akibat perbedaan persepsi
atas konsep otonomi itu sendiri dan banyaknya oknum yang memancing
di air keruh atau mengambil keuntungan dalam situasi transisi (free rider).
Selain itu, keinginan pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara cepat seringkali bermuara pada
dorongan eksploitasi sumber daya alam hayati, tanpa mempertimbangkan
daya dukung ekosistemnya. Dalam hal ini, banyak daerah yang
memanfaatkan keanekaragaman hayati secara eksploitatif, eksesif dan
mengabaikan prinsip-prinsip kelestariannya. Beberapa kasus yang pernah
tercatat antara lain: satu kabupaten di Jawa Timur telah mengizinkan
perluasan penambangan kapur sebagai bahan baku semen padahal lokasinya
merupakan ekosistem yang merupakan kawasan lindung; diterbitkannya
ratusan izin HPH oleh pemerintah Kabupaten Kutai, Kalimantan
Timur. Dari hasi kajian terhadap 120 Perda Kabupaten/Kota, terbukti
pemerintah kabupaten/kota 70% memfasilitasi eksploitasi sumber daya
alam (Adiwibowo, pers.comm. 2006).
Selain itu, otonomi daerah menyebabkan lemahnya pertimbangan
lintas wilayah, di mana kegiatan pembangunan seringkali tidak
mempertimbangkan dampak terhadap daerah lain, walaupun daerah
tersebut merupakan satu kesatuan ekosistem yang tak terpisahkan. Dalam
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 59

konteks pengelolaan sumber daya alam, tindakan tersebut akan berdampak


pada makin merosotnya ekosistem dan keanekaragaman hayati di wilayah
tersebut, dan pada tingkat tertentu akan mengakibatkan bencana banjir,
longsor, erosi dan hilangnya modal alam bagi pembangunan daerah.
Contoh mengenai hal tersebut adalah terjadinya konflik dalam pengelolaan
kawasan Segara Anakan antara Kabupaten Ciamis (Jawa Barat) dengan
Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah).
Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan
dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi
dan seimbang. Adapun tujuannya dinyatakan dalam Pasal 3 UU tersebut
untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati
serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Dalam pasal 4 konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
dinyatakan sebagai tanggung jawab dan kewajiban pemerintah (pemerintah
pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota) serta
masyarakat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui
kegiatan:
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan.
2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya.
3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Sejalan dengan UU No. 5 Tahun 1990 dan Strategi dan Rencana Aksi
Nasional Pengelolaan Keanekaragaman Hayati 2003–2020 (Bappenas
2003), serta untuk mendorong pengelolaan keanekaragaman hayati
demi kesejahteraan rakyat, peran dan tanggung jawab pemerintah pusat,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dapat dirinci
sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Rincian upaya yang perlu dilakukan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan keanekaragaman hayati
Peran dan Tanggung Jawab Upaya-Upaya yang Perlu Dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota 60
1. Koordinasi dalam ♦ Penetapan kebijakan tata ruang wilayah kabupaten/kota yang berorientasi pada proporsi kawasan lindung
perencanaan konservasi dengan luas memadai dan mewakili ekosistem-ekosistem bernilai konservasi tinggi, serta mengembangkan
keanekaragaman hayati regulasi pada setiap kategori kawasan yang mempertimbangkan kelestarian keanekaragaman hayati
skala kabupaten ♦ Menyusun rencana induk pengelolaan keanekaragaman hayati yang disahkan melalui Perda
♦ Menyusun rencana strategis dan program aksi pengelolaan Keanekaragaman hayati yang disahkan dengan SK
Bupati/Walikota
2. Penetapan dan ♦ Penetapan kebijakan mengenai mekanisme koordinasi perencanaan pengelolaan Keanekaragaman hayati yang
pelaksanaan disyahkan dengan SK Bupati/Walikota/Bappeda
kebijakan konservasi ♦ Mengembangkan tata kelola keanekaragaman hayati daerah yang baik dan mempertimbangkan berbagai faktor
dan pemanfaatan lintas wilayah (good biodiversity governance)
berkelanjutan ♦ Mengembangkan kebijakan daerah untuk mendorong investasi swasta di bidang pemanfaatan keanekaragaman
keanekaragaman hayati hayati secara berkelanjutan dan industri jasa lingkungan, termasuk pariwisata
skala kabupaten ♦ Mengembangkan sistem restorasi dan rehabilitasi ekosistem terdegradasi berbasis pada kapital sosial yang ada
di masyarakat
♦ Mengembangkan kebijakan yang mendorong terwujudnya kemitraan antara para pemangku kepentingan
dalam pengelolaan keanekaragaman hayati
♦ Mengembangkan kebijakan daerah yang mendorong pertanggung-gugatan publik para pelaku ekonomi
terhadap kelestarian keanekaragaman hayati dan kesejahteraan masyarakat
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

♦ Mengembangkan sistem insentif bagi masyarakat dan pelaku bisnis yang membela kelestarian keanekaragaman
hayati
3. Penetapan dan ♦ Mengembangkan kelembagaan untuk menegakkan aturan tata ruang
pelaksanaan ♦ Penetapan kebijakan mengenai penguatan kelembagaan daerah dalam pengelolaan keanekaragaman hayati,
pengendalian ♦ Mengembangkan kelembagaan daerah yang mendukung pengelolaan kawasan lindung (termasuk taman
kemerosotan nasional) dan pelestarian jenis dilindungi
keanekaragaman hayati ♦ Mengembangkan Penilaian Lingkungan Strategis (Strategic Environmental Assessment) dan menguatkan
skala kabupaten kelembagaan AMDAL dalam setiap proyek pembangunan
♦ Mengembangkan sistem mitigasi dampak lingkungan
♦ Mengembangkan sistem pelayanan publik yang membuka akses informasi mengenai keanekaragaman hayati
daerah
Tabel 1. Rincian upaya yang perlu dilakukan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan keanekaragaman hayati
(lanjutan)
Peran dan Tanggung Jawab Upaya-Upaya yang Perlu Dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota
4. Pemantauan ♦ Mengembangkan kelembagaan untuk pemantauan dan pengawasan konservasi keanekaragaman hayati
dan pengawasan ♦ Mengembangkan mekanisme kelembagaan yang menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi
pelaksanaan konservasi dalam pengelolaan, pemantauan, pengawasan dan pengendalian pengelolaan keanekaragaman hayati di daerah
keanekaragaman hayati
skala kabupaten
5. Penyelesaian konflik ♦ Mengembangkan mekanisme pengelolaan konflik keanekaragaman hayati
dalam pemanfaatan ♦ Menetapkan perda yang mengakui eksistensi masyarakat adat (bila ada)
keanekaragaman hayati ♦ Mengembangkan kebijakan yang menyediakan ruang kelola bagi masyarakat, guna mempertegas hak dan
skala kabupaten akses masyarakat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati
6. Pengembangan ♦ Pengumpulan Baseline Information sebagai basis koordinasi dan perencanaan (dokumen, format mengacu pada
manajemen sistem penyusun profil keanekaragaman hayati)
informasi dan ♦ Mendokumentasikan kearifan lokal dalam pengelolaan keanekaragaman hayati
pengelolaan data base
keanekaragaman hayati
skala kabupaten
7. Pengembangan ♦ Mengembangkan sistem insentif untuk mengembangkan kapasitas individu dan kelembagaan sosial di bidang
kapasitas masyarakat pengelolaan keanekaragaman hayati
dalam pengelolaan ♦ Mengembangkan kurikulum sekolah tingkat dasar dan menengah yang memiliki muatan konservasi
keankeragaman hayati keanekagaraman hayati daerah
♦ Mendorong para pihak untuk mengembangkan program pendidikan konservasi keanekaragaman hayati
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia

Sumber: KLH (2006)


61
62 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Taman nasional dan kawasan konservasi lainnya sebagai pusat


keanekaragaman hayati merupakan prioritas yang diperhatikan oleh setiap
pemerintah daerah. Dalam pelaksanaan konservasi sumber daya alam,
termasuk pengelolaan kawasan konservasi, pemerintah daerah memiliki
peran penting. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah perlu menata
pembagian biaya dan manfaat yang lebih adil dari pengelolaan sumber
daya alam, guna peningkatan kapasitas pengelolaan kawasan konservasi,
sekaligus meningkatkan pendapatan asli daerah. Dalam konteks ini, pada
kabupaten-kabupaten tertentu, di mana kawasan konservasi memiliki
peran penting dalam pembangunan wilayah, pilihan politik daerah untuk
mencanangkan diri menjadi kabupaten konservasi perlu segera ditanggapi
secara serius dan diwujudkan implementasinya melalui kebijakan nasional.
Kabupaten konservasi ditetapkan secara resmi dan legal oleh pimpinan
daerah dengan dukungan yang jelas dari masyarakat setempat. Kabupaten
Konservasi diharapkan dapat meletakkan landasan pengembangan wilayah
berbasis keseimbangan pemanfaatan secara berkelanjutan, perlindungan
dan pengawetan sumber daya alam di wilayah kabupaten, serta memberikan
kejelasan arah pembangunan daerah, kaitannya dengan konservasi sumber
daya alam dengan program pembangunan dan kegiatan nyata di lapangan.
Dukungan dunia internasional terhadap Kabupaten Konservasi nampak
terus meningkat sebagai respons atas isu perubahan iklim, misalnya di
Kabupaten Malinau dengan TNKM sebagai inti kawasan konservasinya,
dan Kabupaten Kapuas Hulu dengan TNBK sebagai inti kawasan
konservasinya.

4. Taman Nasional Sebagai CPR


Pada tahun 1987, World Commision on Environment and Development
(WCED) menerbitkan sebuah laporan yang menantang: “Our Common
Future” yang direspons secara serius tentang bagaimana kita akan menyikapi
dan bertindak untuk mencapai pembangunan berkelanjutan pada masa
yang akan datang, termasuk bagaimana menyikapi sistem sumber daya
alam global (commons) dan CPR. CPR dapat dikelola dengan berbagai
tata kelembagaan yang bervariasi dan secara umum dapat dikategorikan:
pengelolaan oleh pemerintah, oleh partikelir atau kepemilikan komunal.
Sejak laporan WCED, banyak CPR dikelola secara kolaboratif antara
pemerintah dan komunitas (Ostrom 2008).
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 63

Bersama-sama sistem sumber daya lain, sumber daya hutan memiliki


ciri yang menyulitkan tata kepemerintahan dan pengelolaan secara
berkelanjutan, efisien, dan adil. Menghilangkan akses dan manfaat hutan
bagi para penggunanya sangat mahal. Kesulitan tersebut memunculkan
kemungkinan bahwa seseorang yang mendapatkan manfaat dari hutan
tidak akan bersedia untuk memberikan kontribusi bagi pelestariannya
secara jangka panjang. Dalam banyak kasus pemanfaatan sumber daya
hutan, seseorang memanen produk yang juga tersedia bagi pihak lain.
Dengan demikian, banyak aspek dari hutan yang dapat dikategorikan
sebagai sumber daya persediaan umum atau CPR (common-pool resources),
yaitu (Ostrom 1999): sumber daya yang dicirikan oleh kesulitan eksklusi
dan menghasilkan jumlah yang terbatas dari unit sumber daya sehingga
seseorang memanfaatkan sejumlah sumber daya yang tersedia bagi orang
lain. Jasa ekosistem yang disediakan oleh sumber daya hutan, seperti
perlindungan daerah aliran sungai, penyerapan karbon, keanekaragaman
hayati, dapat dikategorikan sebagai eksternalitas atau sebagai barang
publik (public good). Jasa lingkungan sangat bergantung pada ketersediaan
cadangan (stock) hutan, sehingga terancam oleh beberapa insentif
yang menyebabkan pengguna hutan bebas (unregulated forests) untuk
menghabiskan kayu atau merusaknya demi kepentingan pribadinya.
Hutan juga memiliki ciri sebagai sumber daya publik (common resources)
yang didefinisikan Ostrom (1990) sebagai sumber daya yang secara
simultan atau berangkai dimanfaatkan oleh banyak kelompok pengguna.
Sumber daya tersebut dikelola secara kolektif, baik akibat kesulitan untuk
mengklaim atau mengeksploitasi hak ekslusif atasnya atau akibat tidak
berharga bila dikelola melalui hak ekslusif.
Lemahnya klaim negara atas sumber daya hutan dan lemahnya penegakan
hukum atas sumber daya hutan mengakibatkan karakter terbuka (open
acces) melekat pada hutan sebagai sumber daya publik. Implikasi dari ciri
ini menimbulkan kerusakan akibat fenomena yang dikenal sebagai “Tragedy
of the Common” sebagaimana dijelaskan Garret Hardin (1968). Ostrom
(1999) menjelaskan bahwa kerusakan akan terjadi bila pihak-pihak yang
terlibat dan/atau pihak eksternal yang berwewenang tidak mampu untuk
menciptakan tata kepemerintahan yang mengatur hal-hal berikut:
1. Siapa yang dibolehkan untuk mengambil hasil hutan.
2. Waktu, jumlah, lokasi, dan teknologi yang digunakan.
64 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

3. Siapa yang bertanggung jawab untuk memberikan kontribusi tenaga


kerja atau dana untuk memelihara hutan.
4. Bagaimana aktivitas pengambilan dan tanggung jawab tersebut
dipantau dan ditegakkan.
5. Bagaimana konflik yang timbul akibat pengambilan dan tanggung
jawab tersebut diselesaikan atau dikelola.
6. Bagaimana aturan main di atas akan diubah setiap waktu dalam hal
luas dan komposisi hutan serta strategi partisipan.
“Tragedy of the Common” telah menyebabkan laju kerusakan dan
deforestasi yang sangat tinggi sebagaimana disebutkan di atas. Dalam
banyak kasus, “Tragedy of the Common” dipicu oleh hadirnya “cukong”—
bekerja sama dengan “oknum penguasa”—yang kemudian menggerakkan
masyarakat, khususnya masyarakat “miskin” yang pada dasarnya tidak
memiliki banyak pilihan. Dalam kawasan konservasi, khususnya taman
nasional, “Tragedy of the Common” terjadi dalam skala yang lebih kecil
dibandingkan pada hutan produksi, hutan lindung, dan hutan negara
bebas. Hal ini disebabkan oleh hadirnya Balai Taman Nasional sebagai
pemangku dan pengelola kawasan serta upaya-upaya penegakan hukum
yang lebih intensif dibandingkan pada kawasan hutan lainnya.
Kolaborasi sebagai sebuah pendekatan berbasis proses, yang direncanakan
dengan baik, dapat didorong untuk mewujudkan mimpi Ostrom (1999)
mengenai “self-governed forest resource”, di mana para aktor—para pengguna
hutan—dilibatkan sepanjang waktu dalam membuat dan mengadaptasikan
aturan main melalui arena pilihan kolektif yang berkaitan dengan inklusi
dan eksklusi partisipan, strategi pemberian hak, tanggungjawab partisipan,
pemantauan dan pemberian sangsi, serta resolusi konflik. Hutan-hutan
yang terpencil, seperti di Kayan Mentarang atau Lorentz, selama ini
dikelola oleh masyarakat adat tanpa campur tangan riil dari pihak lain
dan tidak mengalami kerusakan berarti. Bagaimanapun, dalam ekonomi
modern seperti saat ini, sangat sulit untuk menemukan sistem sumber
daya, termasuk yang dikelola swasta, yang dikelola oleh seluruh partisipan
tanpa aturan dari pihak yang berwewenang di tingkat lokal, regional,
nasional dan internasional yang memengaruhi keputusan kunci. Dalam
“self-governed forest resources”, para pihak membuat banyak—tapi tidak
seluruh—aturan main yang memengaruhi kelestarian sistem sumber daya
hutan dan pemanfaatannya. Dalam kaitannya dengan pengelolaan taman
nasional, konsep semacam ini hanya dimungkin bila PTNK diterapkan
secara serius oleh pemerintah dan para pihak.
Pengelolaan Kolaboratif
Taman Nasional

Walaupun istilah partisipasi telah banyak


digunakan oleh sektor publik sejak tahun 1960-
an, pelibatan masyarakat di bidang kehutanan
baru mendapatkan legitimasi politik pada Kongres
Kehutanan sedunia ke-VIII, pada tanggal 16–28
Oktober 1978 di Jakarta. Pada saat itu, pilihan
atas tema kongres “Forest for People” didasarkan
atas 3 permasalahan yang mendasar, yaitu:
konservasi sumber daya, suplai kayu bakar, dan
kehutanan untuk pembangunan masyarakat.
Gagasan ini membuka ruang pembelajaran
baru dalam pengelolaan hutan di Indonesia
dan direspons berbagai pihak dalam bentuk
pengembangan bidang kehutanan sosial dalam
arti luas. Di Perhutani dikenal istilah tumpang sari
yang bahkan lebih tua dari istilah kehutanan sosial
itu sendiri dan dalam pengusahaan hutan alam di
kenal istilah bina desa hutan (Suhardjito, Khan,
Jatmiko, Sirait dan Evelyna 2000). Dalam konteks
pengelolaan taman nasional, pelibatan masyarakat
mendapatkan ruang yang dikenal dengan istilah
pengembangan zona penyangga. Istilah kemitraan
dalam pengelolaan taman nasional, mulai dikenal
di Indonesia sejak tahun 1990-an, ditandai dengan
munculnya proyek-proyek ICDP (Integrated
Conservation and Development Project) dari Bank
Dunia dan IPAS (Integrated Protected Area System)
dari Bank Pembangunan Asia (Malvicini dan
Sweetser 2003).
66 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Penguatan posisi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi makin


mendapatkan legitimasi politik dalam Kongres Taman Nasional Dunia
ke-V di Durban pada tahun 2003. Dalam kongres tersebut disepakati
berbagai komitmen yang antara lain berhubungan dengan masyarakat,
yaitu:
1. Komitmen dan tindakan untuk membangun keterpaduan hubungan
antara masyarakat dengan kawasan konservasi, terutama dalam kerja
sama di bidang hukum, hak dan kewajiban, aspirasi antara wanita dan
laki-laki.
2. Komitmen dan tindakan untuk keterlibatan masyarakat tradisional,
peladangan, dan penduduk setempat dalam penciptaan, pernyataan,
dan pengelolaan kawasan konservasi.
3. Komitmen dan tindakan untuk keterlibatan dan menyertakan generasi
muda di dalam pengurusan kawasan konservasi, serta meneguhkannya
secara hukum di masa mendatang.
4. Komitmen dan tindakan untuk menjamin bahwa masyarakat
memperoleh keuntungan dari dampak keberadaan kawasan
konservasi, serta memperoleh kesempatan berperan serta dalam proses
pengambilan keputusan yang adil dan wajar sebagai tanggung jawab
atas hak-hak sosial dan kemanusiaan.
3. Komitmen dan tindakan untuk pengelolaan kawasan konservasi agar
dapat menanggulangi dan tidak membuat lebih parah kemiskinan
pada masyarakat di dalam dan di sekitarnya.
4. Komitmen dan tindakan untuk agar pengelolaan kawasan konservasi
dapat membagi secara adil dan merata atas keuntungannya kepada
masyarakat tradisional dan penduduk setempat.
5. Komitmen dan tindakan untuk memajukan pengelolaan kawasan
konservasi melalui strategi pengelolaan adaptif, kolaborasi, dan co-
management.
6. Komitmen dan tindakan untuk memerhatikan, memperkuat,
melindungi, dan memberikan dukungan terhadap keberadaan
masyarakat konservasi.
Menguatnya posisi masyarakat dan para pihak dalam pengelolaan taman
nasional telah melahirkan berbagai program dan kegiatan yang dikemas
sebagai pendekatan partisipatif yang akhirnya mengerucut dalam format
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 67

kemitraan, pengelolaan kolaboratif atau koalisi pengelolaan taman nasional.


Pemerintah Indonesia menyambut baik gagasan tersebut, tetapi dalam
implementasinya seringkali mengalami benturan akibat format hukum
dan kebijakan yang cenderung kaku, bersifat perintah-kendali dan kurang
mengamodasikan kehadiran masyarakat di dalam taman nasional dan
campur tangan para pihak dalam pengelolaan taman nasional. Walaupun
belum memadai untuk mewadahi semua pendekatan partisipatif dalam
pengelolaan taman nasional, pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan
Menteri Kehutanan No. P 19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam
(KPA).
Terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan No. P 19/Menhut-II/2004 tersebut
menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia telah berupaya menyediakan
ruang bagi berbagai pihak untuk berperan serta dalam pengelolaan
kawasan konservasi. Namun, disadari bahwa ruang yang disediakan masih
membutuhkan penjabaran lebih lanjut untuk dapat diimplementasikan
secara utuh guna mendukung pencapaian tujuan pengelolaan kawasan
konservasi secara lestari. Melalui kemitraan (partnership), potensi positif,
dan kelembagaan yang telah ada akan dapat mendapatkan dukungan
dari berbagai pihak, sehingga pengelolaan kawasan konservasi dapat
ditingkatkan menuju pada pengelolaan yang mandiri. Sebaliknya,
kemitraan juga dibutuhkan untuk mendukung pengelolaan kawasan
konservasi yang kondisinya rusak dengan kinerja pengelolaan yang jauh
dari memadai. Pendekatan kemitraan diharapkan akan dapat mengurangi
potensi negatif yang terjadi pada pengelolaan suatu kawasan konservasi.
Namun demikian, disadari bahwa pada tingkat implementasi, kemitraan
pengelolaan kawasan konservasi bersifat unik dan spesifik tapak sesuai
dengan keragaman ruang ekologi, sosial-budaya, kewenangan, dan
ekonomi wilayah.
Kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi dapat dilakukan dalam
berbagai format, mulai dari penyediaan infomasi secara informal hingga
pengaturan kontrak jangka panjang yang meliputi berbagai aktivitas
dan tapak, mungkin melibatkan pembagian biaya dan urun sumber
daya dari masing-masing mitra. Beberapa model kemitraan antara lain
(dikembangkan dari IUCN 2008):
68 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

1. Kemitraan Sektor Publik-Sektor Publik: Bisa sangat efektif sebagai


media untuk menyinergikan program konservasi yang melibatkan
peran berbagai sektor publik atau hierarki sektor publik dalam
pemerintahan yang berbeda. Dalam konteks PKTN di Indonesia,
kemitraan model ini dapat diwujudkan dalam pengelolaan zona
penyangga atau pembagian keuntungan antar-unit pemerintahan
(misalnya di TN Bunaken).
2. Kemitraan Sektor Publik-Sektor Publik-Masyarakat Madani:
Bisa sangat efektif sebagai media untuk menyinergikan program
konservasi yang melibatkan peran berbagai sektor publik atau hierarki
sektor publik dalam pemerintahan yang berbeda dengan akselerasi
dari masyarakat madani khusus NPO. Dalam konteks PKTN di
Indonesia, kemitraan model ini banyak dilakukan. Pada tingkat
program di tingkat tapak banyak yang menunjukkan hasil positif,
tetapi belum mampu mendongkrak kemandirian pengelolaan TN.
3. Kemitraan Sektor Publik-Sektor Publik-Masyarakat Madani-
Masyarakat Lokal: Bisa sangat efektif sebagai media untuk
menyinergikan program konservasi yang melibatkan peran berbagai
sektor publik atau hierarki sektor publik dalam pemerintahan yang
berbeda dengan akselerasi dari masyarakat madani khusus NPO guna
memberikan manfaat nyata bagi masyarakat lokal. Dalam konteks
PKTN di Indonesia, kemitraan model ini dilakukan seperti di TNKM
dan menunjukkan banyak hasil positif, walaupun belum mampu
mendongkrak kemandirian pengelolaan TN.
4. Kemitraan Sektor Partikelir-Sektor Publik dan Masyarakat Madani:
Tata kemitraan 3 pihak yang memenuhi prasyarat dan bisa sangat
sukses bila program konservasi melibatkan tanah negara, seperti taman
nasional atau kawasan konservasi lainnya. Dalam konteks PTKN,
model kemitraan ini antara lain diimplementasikan di TNGHS
dengan penyediaan dana dari sektor partikelir (PT Chevron) untuk
rehabilitasi koridor yang menghubungkan Gunung Halimun dan
Gunung Salak, serta mengembangkan keberdayaan masyarakat lokal.
5. Kemitraan Sektor Partikelir-Sektor Publik: Sangat sesuai bila aktivitas
bisnis menggunakan atau mengakses sumber daya alam milik publik.
Dalam kontek PKTN di Indonesia, kemitraan sektor partikelir dan
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 69

sektor publik diikat melalui kontrak perizinan yang seringkali kurang


menghasilkan manfaat konservasi yang lebih luas, di luar pembagian
keuntungan yang di atur secara legal. Pada saat ini sedang digagas
konsep kemitraan sektor partikelir-sektor publik yang berorientasi
pada tujuan konservasi yang lebih luas, sebagaimana dikembangkan
di TNGHS yang menggunakan pendekatan CoE.
6. Kemitraan Sektor Partikelir-Masyarakat Madani: Umumnya
merupakan kemitraan dengan organisasi konservasi (NPO) untuk
bantuan teknis dan penguatan kapasitas dalam bidang konservasi.
Dalam konteks PKTN, model kemitraan ini mungkin dapat
dikembangkan dalam pengembangan bisnis ekowisata di dalam taman
nasional.
7. Kemitraan Antarsektor Partikelir: Umumnya menjalankan program
yang berorientasi untuk mendukung program konservasi dan atau
menguatkan kapasitas pengelolaan kawasan konservasi. Dalam konteks
PKTN, model ini dapat berupa penyediaan dana bagi konservasi
sebagaimana dapat dilihat di TN Kutai.
8. Kemitraan Multipihak: Kemitraan dengan beragam mitra mungkin
merupakan model yang paling sesuai bila perusahaan hulu dan hilir
penting dalam mencapai hasil di bidang konservasi atau di mana
berbagai kelompok masyarakat madani harus diwakili secara geografis
atau spesialisasi.
9. Kemitraan Sektor Partikelir-Komunitas Lokal: Dalam banyak
kasus, kemitraan efektif dengan masyarakat lokal sangat penting
dalam mencapai tujuan konservasi. Tanpa keterlibatan masyarakat
lokal, khususnya dalam hal membangun kepercayaan dan kapasitas,
keberhasilan cenderung tidak berkelanjutan.
Dari sisi kelembagaan, PKTN dapat dipandang sebagai instrumen untuk
mengembangkan kemitraan, melalui koordinasi atau kerja sama, sehingga
dicapai kesepakatan pembagian peran, biaya dan manfaat yang adil antara
berbagai pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan taman nasional,
baik secara keseluruhan atau bagian-bagiannya. Konteks pengelolaan
taman nasional mengharuskan para pihak untuk menempatkan tujuan
konservasi dalam arti luas—mencakup perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan lestari
sumber daya alam hayati—sebagai tujuan yang mengikat semua pihak.
70 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

A. Konsep Pengelolaan Kolaboratif


dalam Pengelolaan Taman Nasional
Istilah collaborative management (pengelolaan secara kolaboratif) dalam
bahasa Inggris sering digunakan secara bergantian dengan berbagai istilah
lainnya seperti co-management (pengelolaan secara kemitraan), participatory
management (pengelolaan partisipatif), joint management (pengelolaan
bersama), shared management (pengelolaan berbagi), multistakeholder
management (pengelolaan multipihak), atau round-table management
(pengelolaan meja bundar). Dalam bentuk aslinya, pengelolaan secara
kolaboratif merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua
pemangku kepentingan secara aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan,
termasuk pengembangan visi bersama, belajar bersama, dan penyesuaian
praktik-praktik pengelolaan mereka (Kusumanto 2005).
Pengelolaan kolaboratif taman nasional merupakan suatu pendekatan yang
mendorong terwujudnya kemitraan dalam setiap aktivitas pengelolaan
taman nasional melalui mekanisme kelembagaan yang disepakati bersama.
Kemitraan—sebagai elemen kunci pengelolaan kolaboratif—sebenarnya
merupakan salah satu tingkat partisipasi di mana para pihak memiliki
posisi tawar untuk berbagi kekuasaan (Arnstein 1969 dalam Stein 1995)
dan kesetaraan peran. Bentuk partisipasi ini sering dinyatakan sebagai
partisipasi sejati. Partisipasi memiliki cerita sukses dalam banyak kasus di
dunia bisnis seperti pada perusahaan Motorola dan Ford hingga melahirkan
prinsip “Quality is Job #1”, juga memiliki cerita sukses di beberapa kasus
sektor publik, seperti di Minnesota hingga melahirkan semboyan “Strive
Toward Excelence in Performance (STEP)” (Kanter dalam Spencer 1989)
—khususnya di bidang yang memiliki kejelasan struktur organisasi,
investasi, serta keuntungan dan manfaat nyata (tangible). Beberapa
pertanyaan makro yang harus dijawab dan/atau menjadi tantangan dalam
mengembangkan pengelolaan kolaboratif taman nasional, antara lain:
1. Mampukah PKTN, menjawab tantangan pengelolaan sumber daya
publik yang bertujuan menghasilkan manfaat tak nyata (intangible),
seperti taman nasional?
2. Dalam konteks Indonesia, mampukah PKTN melahirkan kekuatan
“kerja tim” di tengah-tengah komunitas paternalistik yang masih
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 71

disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan dasar tanpa mendistorsikan


tujuannya? Berapa besar “ruang trade-off” dan “biaya” harus disediakan
agar tujuan pengelolaan taman nasional dapat dicapai?
Mungkin belum cukup pengalaman dan bukti untuk menjawab pertanyaan
tersebut, kita masih pada tahap pembelajaran untuk membangun visi
bersama, kapital sosial, dan kelembagaan yang secara konsisten mampu
mewadahi berbagai kepentingan dalam pengelolaan taman nasional.
Sebaliknya, kita mempunyai bukti kuat bahwa pendekatan nonpartisipatif
justru telah terlebih dulu gagal untuk mewujudkan pengelolaan taman
nasional lestari. Pertanyaan penting yang harus dijawab bukanlah
menyangkut “perlukah menggunakan pendekatan kolaboratif,
tetapi bagaimana pendekatan tersebut sebaiknya dilakukan?”. Dari
pengalamannya di negara maju, Kanter dalam Spencer (1989) menyatakan
bahwa setidaknya ada 5 manfaat dari pendekatan pengelolaan kolaboratif,
yaitu:
1. Diperolehnya rencana yang spesifik-strategi, solusi, dan program
aksi.
2. Komitmen dan kemampuan yang lebih baik untuk
mengimplementasikan keputusan dan strategi.
3. Terbukanya peluang bagi inovasi yang berasal dari munculnya
berbagai ide dari para mitra.
4. Terbentuknya kerangka kerja bersama dalam hal pengambilan
keputusan, komunikasi, perencanaan, dan penyelesaian masalah.
5. Terwujudnya penghargaan atas inisiatif dan tanggung jawab.
Kanter juga menunjukkan bahwa manfaat di atas hanya bisa dicapai bila
tersedia metodologi yang tepat, khususnya untuk mengelola proses-proses
publik yang diperlukan. Selain itu, pengelolaan kolaboratif hanya akan
bekerja baik bila tersedia struktur yang baik —batasan dan panduan yang
jelas, serta kepemimpinan merupakan elemen esensial untuk mengarahkan
proses yang berciri keberdayaan dan kebebasan. Kebebasan bukan tanpa
struktur—yang mengakibatkan partisipan berbuat “semau gue”—tetapi
membutuhkan struktur yang jelas dan memungkinkan partisipan bekerja
secara otonom dan kreatif di dalam batas-batas yang dipahami dan
ditetapkan secara kontekstual.
Keberhasilan pengelolaan kolaboratif ditentukan oleh akumulasi
pemikiran kolektif dalam kontinum pilihan-pilihan rasional para mitra
72 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

yang ditetapkan atas dasar pluralisme nilai, pengetahuan, sikap dan


tindakan yang diyakini sebagai pilihan terbaik. Namun, pluralisme pilihan
tersebut akhirnya akan dibatasi oleh argumen nonplural—misalnya: batas-
batas kemampuan ekosistem alam—yang harus direpresentasikan sebagai
tujuan bersama. Tanpa kesadaran dan landasan pengetahuan mengenai
batas nonplural tersebut, pengelolaan kolaboratif dapat memicu legitimasi
kerusakan sumber daya alam sebagai pilihan bersama yang disepakati.
Sungguh, hakikat kemitraan adalah mengartikulasikan denyut kehidupan
di mana manusia menentukan pilihan kolektifnya, meskipun akhirnya akan
tunduk, suka atau tidak, pada hukum alam yang ditentukan Tuhan. Dalam
konteks tulisan ini, pengelolaan kolaboratif memang ajang pembelajaran
yang patut kita bangun, dengan atau tanpa dukungan biaya dari siapa
pun, tetapi mungkin terlalu mahal kalau harus mengorbankan apa sudah
kita ketahui secara pasti penting dan perlu untuk dipertahankan.
Belajar dari berbagai hasil evaluasi kemitraan dalam pengelolaan sumber
daya alam, pokok-pokok pikiran berikut dapat dijadikan acuan umum
dalam mengembangkan kemitraan pengelolaan taman nasional:
1. Aktor-aktor yang bermitra dalam pengelolaan kolaboratif memiliki
kesetaraan kesadaran mengenai tujuan publik pengelolaan taman
nasional—tujuan publik lebih penting dari tujuan individu/
kelompok sepanjang tidak melanggar hak-hak asasi yang secara umum
disepakati.
2. Kesepakatan kolektif seringkali bertentangan dengan hukum/regulasi
yang berlaku dan harus segera direspons oleh penentu kebijakan
sebagai upaya perbaikan tata-kepemerintahan sepanjang menguatkan
pencapaian tujuan pengelolaan taman nasional.
3. Akomodasi kepentingan masyarakat adat seringkali barakar pada
konflik penguasaan lahan dan akses atas sumber daya alam, karenanya
kesepakatan penataan hak masyarakat adat harus diikuti secara tegas
oleh penegakan fungsi taman nasional oleh negara, diikuti dengan
pemberian insentif yang adil sebagai kompensasi atas hilangnya hak
dan akses masyarakat akibat penetapan fungsi tersebut.
4. Kepentingan sektoral yang mengakibatkan tumpang tindih
penggunaan lahan hanya dibenarkan sepanjang tidak bertentangan
dengan tujuan pengelolaan taman nasional. Terjadinya konflik
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 73

antarsektor pada dasarnya adalah “kesalahan” atau “kebodohan” yang


terjadi akibat fragmentasi tata-pemerintahan.
5. Penanggulangan kemiskinan berbasis sumber daya di dalam taman
nasional pada dasarnya memiliki kapasitas tampung yang terbatas
pada pembenahan tata hak dan pemberian insentif yang memadai.
Melampaui kapasitas tampung tersebut hanya dapat dibenarkan pada
pemanfaatan jasa lingkungan dan pengembangan ekonomi di luar
kawasan.
6. Masalah demografi di dalam kawasan taman nasional, khususnya
pertumbuhan penduduk akibat kelahiran dan migrasi, adalah masalah
laten yang membutuhkan regulasi memadai.
Kolaborasi/pembuatan keputusan bersama dan pemberdayaan/kendali
bersama mewakili apa yang oleh kebanyakan pelaku pembangunan
partisipatif dianggap sebagai partisipasi sejati. Pada tiap tahap, para
stakeholder terlibat aktif dan tercapai hasil yang berkelanjutan. Dalam
kolaborasi, misalnya, orang diundang oleh pihak luar untuk memenuhi
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya: profesional atau organisasi
pembangunan mengidentifikasi problem atau masalah yang akan dibahas,
dan menghimpunkan kelompok untuk berkolaborasi membahas topik
tersebut. Para stakeholder mungkin tidak memprakarsai kolaborasi
tersebut, tetapi secara signifikan memengaruhi hasilnya. Kelompok atau
subkelompok dibentuk sehingga membangun jaringan dan meningkatkan
mutu struktur atau praktik. Orang itu sendiri dan proyek di mana mereka
bekerja berubah akibat interaksi mereka. Gagasan-gagasan para stakeholder
mengubah desain proyek atau rencana pelaksanaan, atau menyumbang pada
kebijakan atau strategi baru. Hal terpenting, profesional atau organisasi
pembangunan yang meminta keterlibatan stakeholder menanggapi dengan
serius sudut pandang orang-orang tersebut dan bertindak sesuai dengan
sudut pandang tersebut (Malvicini and Sweetser 2003).
Pada tingkat yang lebih tinggi, para pihak menerima tanggung jawab
yang makin bertambah atas pengembangan dan pelaksanaan rencana
aksi yang disepakati. Para pihak memegang kendali, hak serta pemilikan
atas komponen program, dan membuat keputusan sesuai hak dan
kewajibannya. Pada tingkat ini, partisipasi sangat berkelanjutan karena
para pihak memiliki kepentingan dalam mempertahankan struktur
atau praktik. Pemantauan partisipatif—di mana anggota masyarakat,
74 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

kelompok atau organisasi menilai tindakan mereka sendiri dengan


menggunakan prosedur dan indikator kinerja yang telah dirancang pada
saat perencanaan—memperkuat pemberdayaan yang keberlanjutan.
IUCN (1997)—dalam Resolusinya 1.42 tahun 1996—dan menjelaskan
gagasan dasar pengelolaan kolaboratif (juga disebut co-management atau
joint participatory atau multi-stakeholder management) adalah kemitraan
antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dengan pengguna sumber
daya, lembaga nonpemerintah dan kelompok kepentingan lainnya
dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang
kewenangan dan tanggung jawab untuk mengelola daerah spesifik atau
sumber daya. Borrini-Feyerabend, Farvar, Nguinguiri dan Ndangang
(2000) memberikan pengertian konsep “ko-manajemen” (disebut
juga participatory, collaborative, joint, mixed, multi-party or round-table
management) sebagai suatu kondisi di mana 2 (dua) atau lebih aktor sosial
bernegosiasi, saling menentukan dan saling menjamin pembagian fungsi-
fungsi pengelolaan, berbagi hak dan tanggung jawab dari suatu teritori,
daerah atau sumber daya alam secara adil.
Pengelolaan ko-manajemen berbeda dengan pengelolaan partisipatif
lainnya atau dengan ”pengelolaan berbasis masyarakat”, karena ada
mekanisme pelembagaan yang menuntut kesadaran dan distribusi
tanggung jawab pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya secara formal.
Dalam konteks ini, konsultasi masyarakat dan perencanaan partisipatif
ditujukan untuk menetapkan bentuk-bentuk peran serta yang lebih tahan
lama, terukur dan setara dengan melibatkan seluruh kelompok-kelompok
kepentingan terkait dan sah (legitimate) dalam mengelola dan melestarikan
sumber daya alam. Dalam buku ini istilah kemitraan dalam pengelolaan
taman nasional mengacu pada pengertian ko-manajemen, pengelolaan
kolaboratif atau pengelolaan multipihak.
Dalam pengertian yang luas, wilayah pengelolaan kolaboratif dapat
dibayangkan berada ‘di tengah-tengah’ atau ‘jalan kompromistik’ antara
manajemen di bawah kontrol penuh pemerintah dan di bawah kendali
penuh masyarakat (Gambar 9 dan Gambar 10). Pengelolaan secara ko-
manajemen hendaknya dibaca sebagai konsep yang luas, yang mencakup
berbagai cara di mana organisasi yang bertanggung jawab atas pengelolaan
dan para stakeholders lain menerapkan manajemen kerja sama yang
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 75

adaptif. Manajemen kolaboratif harus dipandang secara pragmatis dan


de facto, bukan berbasis pada kondisi de jure (secara de facto kadangkala
masyarakat lokal tidak memiliki akses dan kontrol di kawasan konservasi).
Oleh karena itu, proses pengembangan pengelolaan kolaboratif tidak
lagi atau tanpa mengungkit masalah status daerah konservasi atau daerah
dilindungi. Dengan kata lain, setiap stakeholder saling mengakui status
kawasan konservasi masing-masing. Setiap pihak berpartisipasi penuh
dalam pembentukan pola kerja sama dan bersedia menyumbangkan waktu,
pengetahuan, keterampilan, dan informasinya atau sumber daya lainnya
untuk aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Pada Tabel
2 ditunjukkan secara terinci perbedaan karakteristik antara pengelolaan
kolaboratif, pengelolaan berbasis komunitas, dan pengelolaan berbasis
negara. Pengelolaan kolaboratif dari sudut pandang ilmu manajemen
hakikatnya merupakan salah satu alternatif penyelesaian pertikaian melalui
gaya manajemen konflik kolaboratif atau kerja sama (PHKA-Dephut,
NRM/EPIQ, WWF-Wallacea dan TNC 2002).

Gambar 9. Hierarki derajat pengaturan pengelolaan (Diadopsi dari


PHKA-Dephut, NRM/EPIQ, WWF-Wallacea dan TNC
2002)
76 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Gambar 10. Area kerja pengelolaan kolaboratif/ko-manajemen berada


di antara titik ekstrem kontrol penuh institusi berwenang
dengan kelompok kepentingan (diadopsi dari PHKA-
Dephut, NRM/EPIQ, WWF-Wallacea dan TNC 2002)

Tabel 2. Karakteristik perbedaan antara pengelolaan berbasis masyarakat,


pengelolaan kolaboratif, dan pengelolaan berbasis negara
Karakteristik Berbasis Masyarakat Pengelolaan Kolaboratif Berbasis Negara
Penerapan Jaringan multilokasi
Lokasi spesifik (kecil) Nasional (luas)
Spasial (moderat sampai luas)
Terbagi; pemerintah
Struktur Pengambilan
Pihak Otoritas pusat dengan otoritas
Keputusan Lokal dan Pemerintah Pusat
Utama pemerintah dan
penduduk lokal
nonpemerintah lokal
Pihak Komunal; badan
Multi-pihak pada tataran Didominasi
Bertanggung pengambilan keputusan
lokal dan nasional Pemerintah Pusat
jawab lokal
Rendah; potensi
Tingkat Tinggi pada tataran Tinggi pada berbagai eksklusivitas
Partisipasi lokal tingkatan kelompok
kepentingan
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 77

Tabel 2. Karakteristik perbedaan antara pengelolaan berbasis masyarakat,


pengelolaan kolaboratif dan pengelolaan berbasis negara
(lanjutan)
Karakteristik Berbasis Masyarakat Pengelolaan Kolaboratif Berbasis Negara
Proses awal
Proses awal moderat;
Proses awal cepat; proses gradual durasinya;
Durasi pengambilan keputusan
pengambilan keputusan cepat mengambil
Kegiatan antarkelompok
lambat keputusan pada
kepentingan lambat
awal proses
Lambat untuk
perubahan dan
Daya penyesuaian
Daya penyesuaian seringkali tidak
tinggi; sensitif dan
Keluwesan moderat; cepat tanggap luwes; birokratik;
cepat tanggap terhadap
Pengelolaan terhadap perubahan alam potensi tidak
perubahan kondisi
dengan kecukupan waktu terkoneksinya
lingkungan lokal
antara kebijakan,
realitas dan praktik
Dipusatkan pada
Membangun sumber
Mengunakan sumber sumber daya
Investasi daya manusia berbagai
daya manusia lokal; manusia dan
Finansial dan tingkatan; anggaran
pengeluaran finansial biaya pengeluaran
Sumber Daya fleksibel; pengeluaran
moderat sampai rendah; moderat; anggaran
Manusia biaya moderat sampai
anggaran fleksibel kaku sudah
tinggi
ditetapkan
Jangka pendek, bila
Terus menerus, jika Terus menerus,
Kelangsungan tanpa dukungan
terbangun koalisi yang jika struktur
Usaha eksternal yang
setara politik terpelihara
berkelanjutan
Berorientasi dampak Orientasi proses
Berfokus pada dampak
dalam jangka panjang; pada jangka
Orientasi jangka pendek; didisain
berorientasi proses dalam panjang; didisain
Prosedural hanya untuk lokasi lokal
jangka pendek; didisain untuk lokasi yang
spesifik; sanksi moral
untuk multilokasi luas; sanksi
Kontrol sumber daya Kontrol sumber daya Kontrol sumber
Orientasi secara de facto; hak secara de jure; hak properti daya secara de
Aspek Legal properti komunal atau komunal, swasta atau jure; hak properti
properti swasta publik publik atau negara
Diselesaikan secara
Salah satu pihak ada hukum; salah
Orientasi yang dikalahkan; Semua pihak satu pihak ada
Resolusi akomodatif, kompetisi; dimenangkan; kolaboratif; yang dikalahkan;
Konflik kekuatan publik; sanksi negosiatif kompetisi,
hukum lokal akomodatif;
kekuatan politik
78 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Tabel 2. Karakteristik perbedaan antara pengelolaan berbasis masyarakat,


pengelolaan kolaboratif dan pengelolaan berbasis negara
(lanjutan)
Karakteristik Berbasis Masyarakat Pengelolaan Kolaboratif Berbasis Negara
Revitalisasi atau
Mempertahankan
mempertahankan Menciptakan perdamaian,
status-quo politik
status-quo penguasaan dan demokratisasi politik
penguasaan
Tujuan Akhir sumber daya lokal; bidang pengelolaan
sumber daya
demokratisasi politik sumber daya alam berbagai
alam; perubahan
pengelolaan sumber tingkatan
ekonomi nasional
daya alam tingkat lokal.
Sumber
Pengetahuan lokal dan Didominasi ilmu
Informasi Pengetahuan Lokal
ilmu pengetahuan pengetahuan barat
Pengelolaan
(Diekstrasi oleh PHKA-Dephut, NRM/EPIQ, WWF-Wallacea dan TNC. 2002 dari: Borrini-
Feyerabend et al. 2000; Borrini-Feyerabend 1997; Borrini-Feyerabend 1996)

1. Nilai dan Prinsip Pengelolaan Kolaboratif


Dalam konteks pengelolaan kolaboratif, taman nasional dapat didefinisikan
sebagai hamparan ekosistem alamiah dengan batas-batas yang jelas, di
dalam dimensi ruang ekologi, sosial, ekonomi dan kewenangan tertentu,
yang ditetapkan pemerintah untuk mempertahankan fungsi perlindungan
sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman
hayati, serta mengoptimalkan fungsi sosial dan ekonominya melalui
pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari.
Untuk mewujudkan konsep tersebut di Indonesia, PKTN seyogianya
mengadopsi mekanisme “trade off”, manajemen konflik, pemberdayaan
masyarakat dan penegakan hukum sebagai pendekatan kunci dalam
keseluruhan pengambilan keputusannya.
Pengelolaan Kolaboratif TN berorientasi pada tercapainya koordinasi
antarpihak, sehingga tercapai sinergi pelaksanaan program dan aktivitas
pengelolaan TN. Dalam proses pengelolaan kolaboratif, kompromi
merupakan kata kunci yang harus dicapai dan dituangkan dalam rencana
pengelolaan TN yang bersifat organis dan dinamis. Pencapaian kompromi
hanya akan dicapai bila tujuan pengelolaan TN dapat disepakati dan
dipahami konsekuensinya oleh para pihak terkait. Dalam konteks ini,
PKTN berpegang teguh pada prinsip konstituensi dan mengedepankan
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 79

pelayanan publik (public service) yang berorientasi pada kemanfaatan


bersama (mutual benefits). Dalam implementasinya, proses-proses
kolaboratif, mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring
dan evaluasi, dilaksanakan secara partisipatif berdasarkan nilai dan
prinsip: kesukarelaan, kesetaraan, kesalingpercayaan, keterbukaan, dan
saling belajar. Proses ini akan berhasil bila keterwakilan para pihak dapat
direpresentasikan melakukan aturan perwalian yang jelas.
Pada tingkat perencanaan, prinsip integratif, holistis, multiguna,
dan pemberdayaan perlu diadopsi untuk menghasilkan kinerja yang
berkelanjutan dan bertanggung-gugat kepada publik (public accountability).
Pada tingkat hasil, budaya organisasi untuk menetapkan ukuran kinerja
yang dapat diverifikasi oleh berbagai pihak penting untuk diadopsi sejak
tahap perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasinya.
Mengingat fungsi taman nasional, prinsip-prinsip berikut perlu diadopsi
oleh stakeholders dalam manajemen TN:
a. Kelestarian fungsi ekologis taman nasional.
b. Keadilan lintas generasi (inter-generational equity).
c. Optimasi manfaat sosial ekonomi taman nasional.
d. Bentuk lembaga yang “fit-in” dengan situasi lokal.
e. Perbaikan menerus (continual improvement) sistem manajemen sebagai
hasil pembelajaran yang telah dilakukan dalam proses kemitraan.
f. Prinsip kehati-hatian (precautionary principles) dalam setiap program
yang dijalankan.
Dalam konteks yang lebih spesifik, nilai dan prinsip yang perlu diadopsi
dalam mendorong pengelolaan kolaboratif adalah (Borrini-Feyerabend et
al. 2000):
a. Mengakui nilai, kepentingan, dan kepedulian yang berbeda-beda
dalam mengelola kawasan TN dengan sumber daya di dalam dan di
sekitarnya.
b. Terbuka terhadap berbagai tipe inovasi pengelolaan sumber daya
alam, melampaui yang diakui oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
c. Menggali transparansi dan kesetaraan dalam pengelolaan sumber daya
alam.
d. Mendorong masyarakat madani untuk memainkan peran dan
tanggung jawab yang lebih penting dari waktu ke waktu.
80 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

e. Mendorong komplementasi kapasitas dan keuntungan komparatif


dari berbagai aktor kelembagaan (stakeholders).
f. Menghubungkan inovasi dan tanggung jawab dalam konteks
pengelolaan sumber daya alam secara lestari.
g. Menghargai bahwa proses lebih penting dari hasil jangka pendek.
h. “Learning by doing” melalui revisi dan perbaikan terus-menerus dalam
pengelolaan sumber daya alam.
Untuk mewujudkan nilai dan prinsip pengelolaan TN secara kolaboratif
diperlukan beberapa faktor pendukung, antara lain:
1. Tersedianya sistem insentif bagi pelaku konservasi, dapat berupa
pengakuan atas hak tertentu, penghargaan, perpajakan, kompensasi
atau insentif ekonomi lainnya.
2. Tersedianya kebijakan yang memberikan jaminan legalitas atas
kejelasan posisi dan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan
taman nasional.
3. Terfasilitasinya empat tahapan dasar dalam proses pengelolaan
kolaboratif TN, yaitu: (1) penyiapan pengelolaan kolaboratif
(organizing); (2) Negosiasi rencana dan kesepakatan kolaboratif;
(3) Implementasi, evaluasi kinerja, revisi rencana, dan kesepakatan
(learning by doing); (4) Adopsi pembelajaran dalam sistem manajemen
kolaboratif TN.
2. Pendekatan Konseptual
Kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi didasarkan atas asas:
mutual trust, mutual respect, dan mutual benefit. Dalam bahasa pepatah,
asas tersebut serupa dengan prinsip saling asih, saling asah, dan saling
asuh. Dalam komunitas bisnis, kolaborasi ditempatkan sebagai saalah satu
bentuk kerja sama dan memiliki unsur dasar sebagai berikut:
1. Saling ketergantungan (interdepedence) antarpihak.
2. Kemampuan untuk menanggapi perbedaan secara konstruktif.
3. Pengambilan keputusan bersama.
4. Pertanggungjawaban kolektif atas masa depan kemitraan.
Kolaborasi antar-organisasi berbeda dengan kooperasi dan koordinasi,
karena kedua istilah terakhir tidak menangkap dinamika dan ciri
evolutif kolaborasi. Dalam perspektif ini, kolaborasi dinyatakan sebagai
suatu proses dinamis atau bertumbuh ketimbang kondisi statis—suatu
perspektif yang sangat kompleks ukuran empirisnya. Ilustrasi dimensional
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 81

kontinum kolaborasi yang membedakan dengan bentuk relasional lainnya


disajikan pada Gambar 11 (O’Leary et al. 2009). Dari gambar tersebut,
sisi kanan kontinum menunjukkan level tertinggi integrasi pelayanan dan
relasi otonom terlemah, sedangkan sisi kiri kontinum menjelaskan relasi di
mana aksi bersama kurang terpusat pada misi organisasional.

Gambar 11. Kontinum pelayanan publik secara kolaboratif


Berbagai pembahasan mengenai unsur unik kemitraan public-private
atau kolaborasi lintas sektor, baik antara pemerintah dengan bisnis atau
dengan sektor sukarela, menunjukkan bahwa para pihak mengaspirasikan
diri untuk menjadi mitra dan bukan sekedar kontraktor atau penerima
dana pemerintah. Kolaborasi umumnya melibatkan derajat lebih tinggi
dari perencanaan dan pengelolaan bersama antarpihak, kesepakatan
tujuan, strategi, agenda, sumber daya dan aktivitas, kesetaraan komitmen
investasi dan kapasitas, serta berbagi risiko, tanggung jawab, dan manfaat.
Kolaborasi, dengan demikian menunjukkan sesuatu yang lebih rendah
dari koordinasi kewenangan, tetapi lebih dari sekedar kerja sama biasa
(tacit cooperation). Pemikiran lain menyatakan bahwa kemitraan publik-
privat terbaik dicermati sebagai bentuk kerja sama intim tanpa harus
memenuhi ciri kolaboratif. Kemitraan publik-privat yang dibentuk melalui
kewenangan berbasis regulasi atau bergantung pada sumber daya publik
kurang “greget” dan kekurangan unsur esensial dalam hal pengambilan
keputusan bersama dan otonomi institusional. Berbagai kerancuan istilah
yang berkembang umumnya berakar pada definisi relasi lintas sektor yang
secara luas ditetapkan sebagai kemitraan publik-privat. Secara umum,
kemitraan publik-privat dipahami sebagai hubungan kemitraan jangka
panjang di mana organisasi-organisasi yang terlibat dapat menawarkan
kepentingan masing-masing dan kontribusi, baik material atau nonmaterial
(symbolic). Seluruh organisasi bertanggung jawab atas hasil atau capaian
(outcome). Harapannya, termasuk pengaruh sinergitas atau capaian yang
lebih besar jika dibandingkan apabila dikerjakan oleh organisasi tunggal
(O’Leary et al. 2009).
82 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Kolaborasi seringkali ditempatkan sebagai tujuan proses ketimbang dilihat


sebagai interaksi antarpihak yang menawarkan risiko dan penghargaan
melalui sebuah outcome yang dapat diukur capaian dan akuntabilitasnya.
Kajian mengenai hasil (outcome) kolaborasi sulit diringkas mengingat
ragam ide dan teori yang digunakan para ahli, kerangka pengambilan
contoh, dan metodologi. Ciri kolaborasi penting termasuk dimensi
struktural dan motivasional, adanya tujuan bersama, derajat risiko dan
penghargaan, dan derajat keterlibatan. Tingkat kepercayaan interpersonal,
norma bersama, kualitas dan jumlah sumber daya bersama serta adanya
kesepakatan formal juga dinilai penting dalam proses kemitraan. Hal
tersebut akan memengaruhi struktur dan hasil yang mungkin dicapai.
Berbagai upaya tersebut ditujukan untuk membantu pengelola publik
atau pengambil kebijakan untuk memahami unsur-unsur berguna dan
terpenting dalam kemitraan.
Pengaruh utama dalam pembentukan kemitraan—berbasis undang-
undang, finansial atau relasional—berhubungan dengan teori yang
memandang kolaborasi sebagai bentuk organisasional yang muncul
akibat faktor-faktor politik, ekonomi, organisasi, dan relasi interpersonal.
Teori kolaborasi dibangun terutama sebagai penjelasan atas pengambilan
keputusan strategis dalam organisasi, sebagian ahli merujuk pada unsur
manusia dalam keputusan kolaboratif. Secara garis besar, teori yang
penting dalam kolaborasi, antara lain:
1. Teori ketergantungan sumber daya (resource dependence theory): yang
menjelaskan bagaimana kebutuhan untuk meningkatkan sumber
daya atau mengurangi kompetisi mendorong keputusan strategik
organisasi untuk beraliansi dengan organisasi yang lain. Dalam
prosesnya dapat diamati bahwa di antara para pihak seringkali bekerja
sama dan berkompetisi untuk suatu sumber daya tertentu, bukan
sebagai suatu perselisihan atau pertentangan motivasi antar-organisasi,
tetapi sebagai suatu unsur yang harus ada dalam proses kemitraan
untuk mendorong motivasi bersama yang lebih besar. Banyak kasus
kemitraan yang dibangun dalam lingkungan yang sangat kompetitif
dan berakhir manakala tujuan bersama telah dicapai.
2. Teori pertukaran sumber daya dan biaya transaksi (resource exchange
and transcational cost theory) yang menjelaskan efisiensi organisasional
kolaborasi dapat mengurangi waktu dan biaya yang diperlukan
untuk negosiasi antar-organisasi. Teori ini membantu menjelaskan
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 83

bagaimana kesulitan relatif dalam berurusan dengan unit pelayanan,


organisasi atau sektor lain dapat mendorong keputusan manajemen.
Pertukaran sumber daya antarsektor yang berbeda mungkin tidak
mencapai keseimbangan untuk kedua belah pihak, sehingga sulit
diselesaikan dan mungkin tidak kehendaki. Dengan kondisi demikian,
para pihak diposisikan pada dua pilihan berlawanan, di satu sisi
tekanan untuk “outsource” guna mengurangi biaya, dan keinginan
untuk menyelesaikan bentuk transaksional seefisien mungkin. Dalam
konteks relasi lintas sektor, hasil tertentu mungkin tidak memenuhi
kepentingan salah satu pihak akibat pertimbangan pertukaran sumber
daya yang membutuhkan investasi besar dalam hal waktu dan sumber
daya manusia.
Kondisi internal dan eksternal yang memengaruhi pembentukan relasi
kolaboratif belum sepenuhnya diketahui. Hasil kajian dari berbagai
kasus kolaboratif yang melibatkan sektor publik dan swasta menunjukkan
pengaruh sejumlah faktor institusional dan interpersonal yang berkaitan
dengan relasi yang sebelumnya atau kapasitas insitusi dalam berbagai
perspektif, termasuk dukungan politik dan sumber daya, ukuran organisasi,
stabilitas, dan kesehatan fiskal. Selain kapasitas manajerial, kolaborasi juga
dapat terjadi akibat pengurangan/pemindahan beban dan/atau didorong
oleh faktor kebutuhan finansial. Dengan kata lain, kebutuhan atas
dukungan finansial dan penguatan kapasitas keduanya dapat memengaruhi
pembentukan kolaborasi dan karakteristiknya.
Beberapa teori lain yang biasanya dikaitkan dengan kolaborasi antara lain
teori sistem kompleks, yang berasal dari bidang matematika, menemukan
kesamaan dalam pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan alam, sosial, ekonomi,
dan manajemen. Teori ini mengerucut pada pendekatan lintas disiplin
untuk memahami bagaimana relasi antarkomponen sistem memengaruhi
perilaku kolektif sistem secara keseluruhan dan bagaimana sistem
berinteraksi dengan lingkungannya. Perubahan dinamis sistem sosial dan
ekologi, serta tingginya ketidakpastian akibat pendekatan pengelolaan
yang selama ini cenderung reduksionis, menyebabkan kerangka pemikiran
manajemen sumber daya alam mengarah pada pengelolaan adaptif. Selain
itu, kecenderungan perilaku ekologi yang keberlanjutannya bergantung
pada kesehatan sistem skala besar/luas seringkali berbenturan dengan skala
pengambilan keputusan yang cenderung kecil akibat sejarah interaksi
manusia dengan sumber daya alam lokal dan demokratisasi pengelolaan
sumber daya alam, telah mendorong ko-manajemen. Kombinasi kedua
84 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

pendekatan membidani lahirnya konsep ko-manajemen adaptif (adaptive


co-management) atau seringkali disebut dengan pengelolaan kolaboratif
(diadopsi dari berbagai sumber, antara lain: Plummer dan Armitage
2007).
Perdebatan mengenai keuntungan relatif atas barang privat-barang publik
dalam konteks efisiensi, kesetaraan, dan keberlanjutan sumber daya
alam yang dirancukan oleh perbedaan pemikiran antara: (1) “common
property”dan “open access”; (2) CPR dan rezim pemilikan umum (Common
Property Regimes), dan (3) sistem sumber daya dan aliran unit sumber
daya, telah melahirkan tafsir yang bias pada kepemilikan partikelir dan
mekanisme pasar. Hak kepemilikan harus dipisahkan dari karakteristik
sumber daya di atas. Hak akses, memanfaatkan/mengambil, mengelola,
mengekslusi dan memindahkan hak ke pihak lain, dapat diberikan kepada
individu maupun kelompok (Ostrom 2000). Untuk menghindari terjadinya
“tragedy of the common”, kerangka konseptual di atas dapat digunakan
untuk mendorong kepemilikan kolektif yang sesuai dengan karakteristik
CPR di wilayah tertentu, termasuk di taman nasional di mana masyarakat
adat telah tinggal di kawasan tersebut sebelum petunjukan/penetapannya.
Dari sini, aksi kolektif dan pengelolaan kolaboratif mendapatkan argumen
yang menguatkan posisinya.
Pada tataran yang lebih operasional, selain konsep-konsep yang berakar dari
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi konservasi, konsep dan
pendekatan yang diadopsi dalam PKTN mencakup: pengelolaan adaptif,
pluralism, governance, patrimony, manajemen konflik dan komunikasi
sosial. Borrini-Feyerabend et al. (2000) menjelaskan konsep tersebut
sebagai berikut:
1. Pengelolaan adaptif merupakan pendekatan yang didasarkan atas
pengakuan bahwa pengelolaan sumber daya alam selalu bersifat
eksperimental, di mana kita dapat belajar dari kegiatan yang
diimplementasikan, dan pengelolaan sumber daya alam dapat
diberbaiki berdasarkan hikmah yang kita dapatkan. Pengelolaan
adaptif TN berpegang teguh pada prinsip konservasi sumber daya
alam, yaitu: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta pemanfaatan
berkelanjutan sumber daya alam hayati, baik pada tingkat genetik,
spesies maupun ekosistem.
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 85

Elemen kunci pengelolaan adaptif adalah: (1) tujuan eksplisit


pengelolaan sumber daya alam dan hipotesis yang eksplisit mengenai
bagaimana tujuan itu akan dicapai (termasuk indikator monitoring-
nya); (2) pengumpulan data yang baik; (3) evaluasi berdasarkan
hasil monitoring data dan capaian hasil pengelolaan; (4) perubahan
koheren dalam praktik pengelolaan sumber daya alam sejalan dengan
hasil pembelajaran yang diperoleh.
Adapun tahapan proses pengelolaan adaptif adalah: (1) penilaian atas
situasi dan masalah pengelolaan sumber daya alam, umumnya melalui
workshop; (2) implementasi kegiatan pengelolaan sumber daya alam
berbasis pada perencanaan yang telah ditetapkan; (3) monitoring
capaian hasil yang diharapkan berdasarkan indikator yang ditetapkan
sejak tahap perencanaan; (4) evaluasi hasil untuk memastikan
efektivitas kegiatan yang direncanakan; (5) penyesuaian kegiatan
sejalan dengan hikmah pembelajaran yang diperoleh, diikuti dengan
formulasi ulang terhadap masalah, sasaran, aktivitas, dan indikator.
2. Pluralisme: fokus pada pengakuan, penghargaan dan pelibatan
berbagai aktor, kepentingan, kepedulian dan nilai yang terdapat
dalam komunitas dengan perhatian pada berbagai subjek, khususnya:
(1) terdapat berbagai kategori aktor sosial, misalnya: pemerintah,
LSM, kelompok-kelompok masyarakat, kelompok-kelompok bisnis,
dan sebagainya yang memiliki kapasitas beragam dalam pengelolaan
sumber daya alam; (2) komunitas adalah aktor sosial yang lahir
dengan sendirinya dan memiliki identitas, integrasi dan pertahanan
yang alamiah dan efektif.
3. Tata-Kepemerintahan (Governance) adalah cara-cara yang kompleks
di mana individu dan lembaga, publik dan swasta, mengelola
kepedulian umumnya. Tata-pemerintahan yang baik (good governance)
bergantung pada legitimasi sistem politik dan penghargaan yang
ditunjukkan masyarakat terhadap institusi tersebut, serta bergantung
pada kapasitas kelembagaan untuk memberikan respons yang tepat
terhadap masalah dan untuk mencapai konsensus melalui kesepakatan
dan kompromi. Tata-pemerintahan bisa berupa sistem aturan main
atau aktivitas (merupakan proses), tidak berbasis pada dominasi
tetapi pada kompromi, tidak selalu bersifat formal, dan umumnya
didasarkan pada interaksi riil yang terjadi.
86 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

4. Patrimony adalah ikhtisar atas seluruh unsur materi dan nonmateri


yang membantu pemeliharaan dan pengembangan identitas dan
otonomi pemiliknya, dalam ruang dan waktu, melalui adaptasi
terhadap konteks evolusioner. Representasi patrimonial terhadap
teritori/kawasan atau gugus sumber daya: (1) menghubungkan
generasi pengelola masa lampau dan masa kini; (2) fokus pada obligasi/
tanggung jawab ketimbang hak kepemilikan; (3) mempromosikan visi
bersama akan kelestarian yang menyatukan kebutuhan dan pendapat
berbagai aktor.
5. Manajemen konflik: upaya untuk memandu konflik agar hasil
konstruktif dapat dicapai dan bukan hasil yang destruktif. Manajemen
konflik adalah proses nonkekerasan yang mempromosikan dialog
dan negosiasi, sehingga: (1) peduli akan ketidaksepahaman sebelum
menghasilkan perseteruan; (2) membantu aktor-aktor kelembagaan
untuk mengeksplorasi situasi kompleks dari pilihan-pilihan untuk
kesepakatan dan menentukan pilihan di mana setiap pihak dapat
hidup dengannya; (3) mempertimbangkan dan mengintervensi akar
masalah konflik dengan harapan agar tidak terjadi pada masa depan.
Proses-proses modern dalam pengelolaan konflik sangat mirip
dengan proses negosiasi dalam kesepakatan ko-manajemen; keduanya
mencerminkan nilai-nilai yang sama (dialog, transparansi, pluralisme,
fairness, dan sebagainya), memiliki konstituen yang sama dan dapat
difasilitasi dengan cara yang sama. Konstituen utama pendekatan
manajemen konflik modern adalah: (1) aktor sosial terkait; (2)
wilayah kepentingan umum dan beberapa titik konflik (perbedaan
nilai, kepentingan dan kebutuhan dari aktor-aktor yang terlibat); (3)
Arena untuk negosiasi dan beberapa aturan dasar yang memberikan
kerangka kerja bagi aktor-aktor yang terlibat untuk bertemu dan
mendiskusikan isu bersama; (4) data yang dapat dipercaya pada
titik-titik konflik; (5) berbagai pilihan untuk aksi yang dimunculkan
oleh aktor-aktor yang terlibat dan didiskusikan di antara mereka; (6)
kesepakatan tertulis terhadap pilihan-pilihan yang disepakati; (7)
legitimasi kesepakatan; (8) implementasi kesepakatan. Dalam banyak
kasus konflik yang serius, diperlukan fasilitator, mediator, arbitrator
dan instruktur konflik.
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 87

7. Komunikasi sosial, yaitu menjembatani pemahaman di antara


komunitas manusia, pertukaran pesan (berkomunikasi) untuk
menciptakan makna dan memperkaya pengetahuan bersama,
seringkali terjadi dalam menghadapi perubahan. Komunikasi sosial
dalam konteks inisiatif ko-manajemen berkaitan dengan upaya untuk
menciptakan kondisi pengambilan keputusan yang diinformasikan
dalam masyarakat, antara lain: mendorong pertukaran informasi dan
diskusi atas masalah, peluang dan pilihan aksi alternatif.
Secara ringkas model konseptual pengelolaan kolaboratif TN dapat dilihat
pada diagram pada Gambar 12.

Gambar 12. Model konseptual pengelolaan kolaboratif TN


Sumber: Dimodifikasi dari Borrini-Feyerabend et al. (2000)
88 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

3. Prospek, Kerugian, dan Hambatan


Pengelolaan Kolaboratif
Berbagai upaya untuk memaksimumkan keuntungan dan meminimumkan
kerugian dari seluruh pihak yang terlibat merupakan arena di mana
keseluruhan proses kolaboratif berlangsung. Pembagian biaya dan manfaat
yang adil dari berbagai pihak yang terlibat merupakan alat penting untuk
mencapai sasaran: kemandirian pengelolaan taman nasional; keberdayaan
masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya;
dan peningkatan peran ekonomi taman nasional dalam pembangunan
wilayah. Dalam hal ini diperlukan mekanisme pendanaan (fund rising
dan fund engineering) yang handal guna mendukung keberlanjutan
program-program pengelolaan secara lestari. Pengelolaan kolaboratif yang
diimplementasikan secara salah dapat menimbulkan biaya transaksi dan
kehilangan sumber daya yang besar. Perencanaan kolaboratif yang cermat
diperlukan untuk menetapkan masalah dan solusi masalah yang tepat serta
menghasilkan manfaat yang jelas.
Borrini-Feyerabend (1997) dalam PHKA-Dephut, NRM/EPIQ, WWF-
Wallacea dan TNC (2002) dengan panjang lebar telah menguraikan
tentang potensi manfaat, pengeluaran, dan hambatan yang ditemui
dalam praktik-praktik pengelolaan kolaboratif berdasarkan pengalaman-
pengalaman lapangan di berbagai belahan dunia yang dilakukan oleh
banyak pihak, sebagaimana dipaparkan di bawah ini.
Adapun prospek dari implementasi pengelolaan kolaboratif dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Aliansi antara institusi pemerintah dengan pemangku kepentingan
lokal akan mengurangi eksploitasi sumber daya dari kepentingan
nonlokal yang seringkali mewakili ancaman utama terhadap usaha
konservasi.
2. Manfaat spesifik dari semua pihak kepentingan yang terlibat dapat
dinegosiasikan dalam persetujuan, khususnya manfaat bagi masyarakat
lokal yang terancam hidupnya atau memperoleh kompensasi.
3. Meningkatkan efektivitas pengelolaan sebagai konsekuensi
pemanfataan pengetahuan, kemampuan dan keunggulan komparatif
dari para pihak yang terlibat.
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 89

4. Memajukan kapasitas pengelolaan sumber daya institusi pemerintah


dan kelompok kepentingan lainnya sebagai konsekuensi adanya
peningkatan komunikasi dan dialog.
5. Meningkatkan kepercayaan antara lembaga pemerintah dengan
kelompok kepentingan, pembagian ‘kepemilikan’ proses kegiatan
konservasi dan memperbesar komitmen untuk mengimplementasikan
keputusan yang telah disepakati bersama.
6. Mengurangi pengeluaran biaya penegakan hukum, karena adanya
karakter kerelaan (voluntary) di antara pihak yang terlibat.
7. Meningkatkan rasa keamanan dan stabilitas kebijakan, sehingga
meningkatkan kepercayaan berinvestasi, perspektif jangka panjang,
dan kelangsungan pengelolaan negosiasi.
8. Meningkatkan pengertian, pengetahuan, serta pandangan dan
posisi di antara pihak yang terlibat dan selanjutnya dapat mencegah
terjadinya masalah atau sengketa dan penghamburan sumber daya
untuk penanggulangan pertikaian.
9. Meningkatkan kesadartahuan masyarakat terhadap isu-isu
konservasi.
10. Lebih memajukan integrasi usaha konservasi ke dalam isu dan
agenda sosial, ekonomi dan budaya di dalam maupun di luar kawasan
konservasi.
11. Memberikan kontribusi menuju masyarakat yang lebih demokratik
dan partisipatif yang direfleksikan dari pemajuan kebijakan dan
hukum yang dibentuk.
IFM dan ICLARM (2001) dalam PHKA-Dephut, NRM/EPIQ,
WWF-Wallacea dan TNC (2002) menambahkan potensi manfaat dari
implementasi pengelolaan kolaboratif sebagai berikut:
1. Memperbesar legitimasi sistem pengelolaan di antara pengguna
sumber daya.
2. Memperkecil pengeluaran biaya transaksi.
3. Mengurangi biaya penegakan hukum dan meningkatkan tingkat
konsistensi penegakan peraturan.
4. Meningkatnya kelenturan atau cepat tanggap kelembagaan dalam
menghadapi goncangan politik, ekonomi, dan sosial.
5. Memperbaiki perilaku pengguna sumber daya dalam pengelolaan dan
penggunaan sumber daya.
90 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

6. Memperbaiki kesehatan ekosistem alam.


7. Meningkatkan dan memperbaiki pengetahuan dan data sumber daya
dan pertukaran informasi di antara pengguna sumber daya.
8. Mengurangi masalah politik dan keadilan dalam komunitas lokal.
10. Memperbaiki tingkat pengurusan sumber daya.
Pengelolaan kolaboratif bukanlah satu-satunya ‘obat mujarab’, sejumlah
kerugian dan potensi kendala perlu dievaluasi sebelum dimulainya proses
pengelolaan kolaboratif, di antaranya meliputi hal-hal sebagai berikut
(PHKA-Dephut, NRM/EPIQ, WWF-Wallacea dan TNC 2002):
1. Pada saat dimulainya proses persiapan sampai pengembangan
kesepakatan antar para pihak membutuhkan biaya transaksi yang
tinggi, seperti waktu, finansial dan sumber daya manusia. Oleh karena
alternatif penyelesaian konflik adalah kolaboratif, membutuhkan
waktu yang lama untuk mendapatkan titik temu dari pihak yang
bertikai agar tidak ada pihak yang dikalahkan. Sumber daya manusia
yang dibutuhkan harus profesional dengan kemampuan khusus, seperti
analisis kelompok kepentingan atau fasilitasi proses partisipatoris.
Waktu yang dibutuhkan juga tidak sesuai dengan lembaga donor
yang biasanya bersifat proyek jangka pendek.
2. Memiliki potensi beroposisi dengan lembaga atau individu lain yang
tidak menginginkan adanya pembagian wewenang kepada pihak
berkepentingan.
3. Memiliki potensi beroposisi dengan penduduk lokal yang pekerjaan
dan pengembangan ekonominya bergantung pada daerah konservasi.
4. Memiliki potensi beroposisi dengan kelompok kepentingan yang
selama ini mengambil manfaat dengan adanya konflik masyarakat-
daerah dilindungi, seperti politisi atau pelaku bisnis.
5. Kemungkinan kesepakatan pengelolaan kolaboratif tidak dapat
dicapai tanpa adanya kompromi dengan tujuan konservasi daerah
dilindungi.
6. Kemungkinan kesepakatan pengelolaan kolaboratif tidak dapat
dipelihara, karena kurangnya komitmen para pihak, adanya masalah
yang sebelumnya tidak diperkirakan atau faktor intervensi lainnya,
seperti perubahan ekonomi, perubahan administrasi politik, kerusuhan
sosial bersifat tindakan kekerasan atau munculnya kekuatan dari
keleompok kepentingan baru.
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 91

7. Proses kadangkala terkooptasi oleh kelompok kepentingan yang kuat


seperti industri atau pemerintah.
8. Untuk mengatasi hambatan tersebut, keberhasilan pengelolaan
kolaboratif bergantung dari banyak faktor, di antaranya penetapan
tujuan bersama, kapasitas mitra kerja, hubungan kolaboratif
dan kepercayaan, proses yang tepat, ketersediaan informasi dan
pengetahuan, kebijakan yang mendukung, proses komunikasi dan
pengelolaan konflik serta struktur kerja antarpihak seperti persetujuan
yang negotiatif dan badan pekerja yang efektif.
Walsh dan Meldon (2004) menyatakan bahwa peran sentral kemitraan
dalam pendekatan adi-terapan (best practices) pembangunan lokal
dikonfirmasi oleh OECD (1999). Dalam laporannya, OECD menyatakan
bahwa manajemen profesional dan kepemimpinan efektif sangat penting
dalam mendukung kemitraan. Studi tersebut juga menyatakan bahwa pola
kemitraan yang berbeda mungkin sesuai untuk diterapkan pada kondisi
yang berbeda, bergantung pada permasalahan yang dihadapi, budaya
politik lokal, dan lingkungan kelembagaan. Namun demikian, mereka
menyimpulkan bahwa seluruh pola kemitraan harus menjamin bahwa:
• Setiap aktor telah mengakui perannya dan memastikan kejelasan
manfaat yang akan diperolehnya.
• Perwakilan pada struktur kemitraan adalah individu yang memiliki
komitmen dengan kewenangan dan pengaruh yang nyata dalam
masing-masing organisasinya.
• Terdapat jalur komunikasi yang jelas antara para mitra dengan majelis
perwalian, struktur komite, dan forum.
• Struktur kemitraan dapat beradaptasi dengan kondisi yang berubah.
Keuntungan dan kerugian kemitraan di ulas oleh Walsh dan Meldon (2004)
sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Dari tabel tersebut, dapat diketahui
bahwa untuk memaksimumkan keuntungan dan menekan kerugian,
desain dan perencanaan kemitraan merupakan kunci untuk memastikan
tercapainya tujuan kemitraan. Dalam konteks ini, ilustrasi mengenai pro-
kontra terhadap ko-manajemen atau manajemen kolaboratif dan jalan
tengah yang mungkin ditempuh melalui proses-proses negosiasi antar para
pihak yang relevan disajikan pada Gambar 13 (Borrini-Feyerabend et al.
2000).
92 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Tabel 3. Keuntungan dan kelemahan kemitraan


KEUNTUNGAN KELEMAHAN
Kemitraan dapat menciptakan stabilitas Kemitraan dapat meningkatkan kompleksitas
dalam kegoncangan lingkungan yang dan kegoncangan lingkungan. Kemitraan
terjadi akibat perubahan ekonomi, sosial, diwujudkan melalui banyak strategi yang
dan politik. Para pihak bersama-sama seringkali menyebabkan kerancuan dan
membangun organisasi yang kompleks, campur aduk aliansi kemitraan dan strategi
fleksibel dan mampu beradaptasi secara cepat. yang saling terkait dan tumpang tindih.
Pemberdayaan di tingkat lokal akan Kemitraan dapat saja tidak demokratis.
meningkatkan demokrasi lokal sebagaimana Kemungkinan adanya penguatan kekuasaan
kelompok-kelompok yang terisolir secara salah satu anggota dewan kemitraan, misalnya
tradisional diberikan kesempatan untuk politisi lokal, hingga mengurangi akuntabilitas
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. kemitraan tersebut. Anggota komunitas atau
sektor organisasi voluntir dapat saja tidak
merepresentasikan komunitas/organisasinya.
Para pihak yang terlibat dalam Kemitraan dapat menemui kesulitan untuk
pengembangan pendekatan umum mengembangkan satu pendekatan umum.
menciptakan kebijakan yang lebih efektif Akibat inklusi berbagai kepentingan,
dan terkoordinasi. Kemitraan mengadopsi kemitraan rawan terhadap terjadinya konflik
pendekatan banyak lembaga dalam dan sulit mempertahankan kebersamaan
menyelesaikan masalah multidimensi. seluruh mitra.
Pelibatan para pihak dalam kemitraan Kemitraan merupakan mekanisme yang rentan
menumbuhkan keberdayaan dan kepemilikan (fragile) dan tidak berkelanjutan. Para pihak
yang akan mengukuhkan program yang terlibat dalam program kemitraan karena ingin
berkelanjutan dan budaya mandiri (a culture mendapatkan dana tambahan.
of self help).
Sinergi: organisasi kemitraan dapat mencapai Kemitraan mungkin didominasi oleh
aksi bersama lebih baik dibanding sendiri- kepentingan dominan yang menciptakan
sendiri melalui mekanisme saling belajar dan konflik dan menghambat pengembangan
berbagi. pendekatan umum yang disepakati.
Para pihak dalam kemitraan dapat Kemitraan pengelolaan TN di Indonesia
memperoleh kendali atas sumber daya dan menghadapi kendala hukum yang
memaksimumkan budget. meminumkan hak dan akses masyarakat
terhadap sumber daya1).
Diadapstasi dari Greer (2001) dalam Walsh dan Meldon (2004)
1)
Butir ini ditambahkan oleh penulis
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 93

Gambar 13. Ilustrasi pro dan kontra kemitraan (ko-manajemen) dan jalan
tengah yang diusulkan (dimodifikasi dari Borrini-Feyerabend
et al. 2000)

B. Peraturan Perundang-undangan
Tahun 2004 dapat dikatakan sebagai tonggak penting dalam
pengembangan model atau pendekatan pengelolaan taman nasional di
Indonesia. Dengan lahirnya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/
Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam, dapat dikatakan pengaturan kemitraan
pengelolaan kawasan konservasi, termasuk di kawasan taman nasional
telah memiliki dasar hukum yang cukup kuat. Pengaturan secara spesifik
ini telah membuka ruang bagi pengelola taman nasional untuk melakukan
kemitraan atau kolaborasi dengan berbagai pihak. Permenhut ini secara
94 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

eksplisit menyebutkan bahwa kedudukannya merupakan acuan umum


dan landasan para pihak yang berkepentingan dalam melaksanakan
kolaborasi untuk membantu meningkatkan efektivitas dan kemanfaatan
pengelolaan KSA dan KPA bagi kesejahteraan masyarakat. Melalui
peraturan ini diharapkan terwujudnya persamaan visi, misi dan langkah-
langkah strategis dalam mendukung, memperkuat dan meningkatkan
pengelolaan kawasan sesuai dengan kondisi fisik, sosial, budaya, dan
aspirasi setempat.
Dalam Permenhut ini diatur mengenai pelaksanaan kolaborasi
pengelolaan, pembinaan dan pengendalian, serta pelaporan. Aturan
mengenai pelaksanaan kolaborasi pengelolaan sendiri mencakup
jenis kegiatan yang dapat dikolaborasikan, para pihak yang dapat
berkolaborasi, bentuk dukungan para pihak, tahapan pelaksanaan
kolaborasi, ketentuan dalam kolaborasi, pendanaan kegiatan kolaborasi,
dan jangka waktu kolaborasi.
Jenis-jenis kegiatan yang dapat dikolaborasikan di KSA/KPA adalah
penataan kawasan berupa dukungan dalam percepatan tata batas kawasan
dan penataan zonasi; penyusunan rencana pengelolaan; pembinaan daya
dukung kawasan yang meliputi inventarisasi dan monitoring flora fauna,
pembinaan populasi dan habitat jenis, rehabilitasi kawasan di luar cagar
alam dan zona inti taman nasional. Jenis kegiatan lainnya yang juga dapat
dikolaborasikan yaitu pemanfaatan kawasan berupa kegiatan pariwisata
alam dan jasa lingkungan serta pendidikan bina cinta alam dan interpretasi;
penelitian dan pengembangan; perlindungan dan pengamanan potensi
kawasan; pengembangan SDM; pembangunan sarana dan prasarana; dan
pembinaan partisipasi masyarakat.
Pihak-pihak yang dapat menjalin kolaborasi di antaranya kelompok
masyarakat setempat, perorangan baik dari dalam maupun luar negeri,
LSM setempat/nasional/internasional yang bergerak di bidang konservasi
sumber daya alam hayati, pemerintah pusat dan daerah, BUMN, BUMD,
BUMS, serta perguruan tinggi/lembaga ilmiah/lembaga pendidikan.
Pihak-pihak tersebut dapat bertindak sebagai inisiator, fasilitator ataupun
pendampingan. Sedangkan dukungan dalam melakukan kolaborasi dapat
berupa sumber daya manusia, sarana dan prasarana, data dan informasi,
dana atau dukungan lain sesuai kesepakatan bersama.
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 95

Pelaksanaan kolaborasi oleh para pihak dituangkan secara tertulis dalam


bentuk kesepakatan bersama. Dalam kesepakatan tersebut dituangkan
kegiatan pengelolaan yang akan dikolaborasikan; dukungan, hak dan
kewajiban masing-masing pihak; jangka waktu kolaborasi; serta pengaturan
sarana prasarana yang timbul akibat adanya kolaborasi setelah jangka waktu
berakhir. Guna memperlancar pelaksanaan kolaborasi pengelolaan dapat
dibentuk kelembagaan. Diperlukan juga penyusunan rencana kegiatan
serta monitoring dan evaluasi secara bersama untuk mencari masukan
guna meningkatkan aktivitas dan efektivitasnya.
Kolaborasi pengelolaan KSA dan KPA sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Kehutanan No. P 19/Menhut-II/2004 menggunakan
pendanaan yang didasarkan pada kesepakatan antar para pihak yang
tidak berasal dari hutang dan tidak mengikat. Pelaksanaan kolaborasi
pengelolaan dilakukan dengan ketentuan:
1. Tidak mengubah status kawasan KSA dan KPA sebagai kawasan
konservasi.
2. Kewenangan penyelenggaraan pengelolaan KSA dan KPA tetap berada
pada Menteri Kehutanan.
3. Pelaksanaan kegiatan dalam rangka kolaborasi yang dilakukan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip kolaborasi dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang konservasi.
Saat ini, unit pengelola taman nasional sebagai bagian dari lembaga
pemerintah pusat yang bertanggung jawab untuk mengelola suatu taman
nasional dengan sendirinya dapat menjadikan Permenhut No. P.19 Tahun
2004 ini sebagai pegangan dalam pelaksanaan kemitraan/kolaborasi di
taman nasional yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan demikian,
tidak perlu lagi muncul kekhawatiran bagi setiap unit pengelola taman
nasional untuk mengambil langkah-langkah yang dapat mendorong upaya
kolaborasi karena jelas telah memiliki dasar hukum yang kuat.
Lahirnya PP Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang menggantikan PP Nomor 68
Tahun 1998 juga menguatkan langkah pengelolaan kolaborasi taman
nasional. Landasan legal yang menyangkut aspek kerja sama penyelenggaraan
KSA dan KPA, serta pemberdayaan dan peran serta masyarakat pada PP
ini termaktub dalam Pasal 43, Pasal 49, dan Pasal 50. Disebutkan bahwa
96 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

penyelenggaraan KSA dan KPA dapat dikerjasamakan dengan badan usaha,


lembaga internasional, atau pihak lainnya seperti masyarakat setempat,
LSM, perorangan dan lembaga pendidikan untuk penguatan fungsi KSA
dan KPA, serta kepentingan pembangunan strategis yang tidak dapat
dielakkan. Adapun yang dimaksud dengan “pembangunan strategis yang
tidak dapat dielakkan” di sini adalah kegiatan yang mempunyai pengaruh
sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan
keamanan negara dan sarana komunikasi, transportasi terbatas, dan
jaringan listrik untuk kepentingan nasional.
Selanjutnya, pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten/kota) diharuskan
memberdayakan masyarakat di sekitar KSA dan KPA dalam rangka
meningkatkan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat yang
dimaksudkan di sini meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dan
pemberian akses pemanfaatan KSA dan KPA yang dapat dilakukan melalui:
(a) pengembangan desa konservasi; (b) pemberian izin untuk memungut
hasil hutan bukan kayu di zona atau blok pemanfaatan, izin pemanfaatan
tradisional, serta izin pengusahaan jasa wisata alam; dan (c) fasilitasi
kemitraan pemegang izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat.
Kaitannya dengan peran serta masyarakat, dalam PP ini diatur bahwa
masyarakat memiliki hak untuk:
a. mengetahui rencana pengelolaan KSA dan KPA;
b. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam penyelenggaraan
KSA dan KPA;
c. melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan KSA dan KPA;
dan
d. menjaga dan memelihara KSA dan KPA.
Jika mau melihat sedikit ke belakang, sebelum tahun 2004, pengaturan
yang terkait mengenai kemitraan dapat dikategorikan ke dalam dua jenis
yaitu:
1. Kebijakan yang memberi ruang dikembangkannya kemitraan dengan
penyediaan instrumen hukum yang bersifat mengatur dan/atau bersifat
teknis, yang berlaku hanya untuk satu kawasan taman nasional,
2. Kebijakan yang secara umum mengatur mengenai pelibatan
masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, baik yang terdapat
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 97

dalam berbagai pengaturan bidang kehutanan maupun peraturan


perundang-undangan lain seperti di bidang pengelolaan lingkungan,
penataan ruang, pengelolaan sumber daya air maupun perikanan.
Beberapa di antara kebijakan yang mengatur pelibatan masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya alam diuraikan seperti di bawah ini.
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
Dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya dan penjelasannya dinyatakan bahwa tujuan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah untuk
mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan
ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Oleh
karena sifatnya yang luas dan menyangkut kepentingan masyarakat
secara keseluruhan, upaya konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah
serta masyarakat.
Peran serta rakyat dalam konservasi diarahkan dan digerakkan oleh
pemerintah melalui kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
Untuk itu, pemerintah berkewajiban meningkatkan pendidikan dan
penyuluhan bagi masyarakat dalam rangka sadar konservasi melalui
jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah.
Peran serta rakyat dapat berupa perorangan dan kelompok masyarakat
baik yang terorganisasi maupun tidak. Agar rakyat dapat berperan
secara aktif dalam kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, melalui kegiatan penyuluhan, pemerintah mengarahkan
dan menggerakkan rakyat dengan mengikutsertakan kelompok-
kelompok masyarakat.
2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1994
Pada beberapa pasal dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1994
tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Keanekaragaman Hayati dapat ditemukan substansi hukum yang
dapat menjadi salah satu pertimbangan yuridis manajemen kolaboratif
yang secara hukum mengikat pemerintah dan warga negara Indonesia
(legally binding), karena Indonesia telah meratifikasi konvensi ini pada
tanggal 1 Agustus 1994. Dengan kata lain, konvensi dan undang-
98 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

undang tersebut menimbukan hak dan kewajiban bagi semua warga


negara untuk melaksanakan aturan yang telah ditetapkan dalam
konvensi.
Dalam Pasal 8 tentang konservasi in-situ jelas dalam pengelolaan
kawasan konservasi harus diarusutamakan (mainstreaming) dengan
pembangunan yang berkelanjutan di daerah sekitarnya. Pasal 10
dalam undang-undang ini dengan lugas dijelaskan bahwa pelibatan
penduduk lokal dan kerja sama para pihak kalangan pemerintah dan
nonpemerintah dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati secara
berkelanjutan. Dari kedua pasal ini jelas sudah peran serta komunitas
lokal dan kerja sama para pihak sebagai esensi dalam proses manajemen
kolaboratif telah mendapat posisinya dalan konteks yuridis.
Selanjutnya para pihak dalam Conference of Parties (COP) Convention
of Biological Diversity (CBD)) ke-7 Tahun 2004 di Kuala Lumpur
menetapkan keputusan yang tertuang dalam Decision VII/28 Article
8 (a–e) yang menyatakan bahwa pengurusan kawasan dilindungi
(protected areas), selain tipe pengurusan yang diselenggarakan oleh
pihak pemerintah dan swasta, tipe pengurusannya dapat berupa
Co-managed Protected Areas dan Local Community Conserved Areas.
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut
melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan
United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati)
tentunya mempunyai konsekuensi hukum untuk menjalankan
konvensi dan keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh COP.
3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, masyarakat memiliki posisi
yang sangat kuat, bahkan eksistensi dan hak-hak masyarakat adat
serta kearifan tradisional juga diakui secara eskplisit. Secara khusus,
peran serta masyarakat mendapat landasan legalnya pada Pasal 70:
1. Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-
luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
2. Peran masyarakat dapat berupa:
a. pengawasan sosial;
b. pemberian saran, pendapat, usul,
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 99

c. keberatan, pengaduan; dan/atau


d. penyampaian informasi dan/atau laporan.
3. Peran masyarakat dilakukan untuk:
a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan
kemitraan;
c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan
masyarakat;
d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat
untuk melakukan pengawasan sosial; dan
e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal
dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
Dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa
penyelenggaraan kehutanan pada dasarnya bertujuan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk
memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan
bagi kesejahteraan masyarakat, pada prinsipnya semua hutan dan
kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memerhatikan sifat,
karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah
fungsi pokoknya.
Taman nasional sebagai kawasan hutan yang ditunjuk dan/atau
ditetapkan oleh pemerintah dengan fungsi pokok konservasi, dalam
pengelolaannya harus memerhatikan hal-hal berikut:
i. Tujuannya adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan
fungsi konservasi untuk manfaat lingkungan, sosial, budaya dan
ekonomi yang seimbang dan lestari; meningkatkan kemampuan
untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat
secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan;
serta menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan
berkelanjutan.
ii. Harus memerhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur
lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.
iii. Harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada
semua warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga
dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat.
100 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

iv. Harus menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin


keterkaitan dan ketergantungan secara sinergis antara masyarakat
setempat dengan BUMN atau BUMD, dan BUMS Indonesia,
dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan
koperasi.
v. Harus mengikutsertakan masyarakat dan memerhatikan aspirasi
masyarakat.
vi. Harus dilakukan secara terpadu dengan memerhatikan
kepentingan nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat.
Terkait peran serta masyarakat, lebih lanjut diatur sebagai berikut:
i. Dalam kerja sama dengan masyarakat, kearifan tradisional dan
nilai-nilai keutamaan yang terkandung dalam budaya masyarakat
dan sudah mengakar dapat dijadikan aturan yang disepakati
bersama.
ii. Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang
dihasilkan hutan.
iii. Masyarakat dapat memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
iv. Masyarakat dapat mengetahui rencana peruntukan hutan,
pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan.
v. Masyarakat dapat memberi informasi, saran, serta pertimbangan
dalam pembangunan kehutanan.
vi. Masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak
langsung.
vii. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh
kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya
sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
viii. Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan
menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan.
ix. Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui
berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan
berhasil guna.
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 101

5) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999


Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia telah diatur hubungan antara masyarakat tempatan khususnya
masyarakat adat dengan lingkungannya, di antaranya adalah:
1) Perlindungan dan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat.
2) Hak untuk berpartisipasi dalam perencanaan, perumusan
dan implementasi kebijakan taman nasional, khususnya atas
penyusunan rencana pengelolaan.
3) Hak atas kepemilikan taman nasional.
4) Hak atas pengembangan diri.
5) Hak atas informasi, di mana pemerintah harus memberikan dan
menyediakan informasi yang cukup, adil dan transparan dalam
kebijakan taman nasional dan kebijakan pemerintah secara
umum.
6) Hak untuk hidup secara bermartabat di taman nasional.
7) Hak atas tanah ulayat di taman nasional.
8) Hak kelompok khusus, di mana pemerintah secara umum
harus memberikan perlakuan dan perlindungan lebih terhadap
masyarakat sebagai kelompok khusus dalam kebijakan
pembangunan.
6) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Pada Pasal 2 dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa ada hubungan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, baik pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten mengenai bidang pemanfaatan
sumber daya alam. Hubungan itu meliputi kewenangan, keadilan
dan keselarasan serta yang menimbulkan dampak administrasi dan
kewilayahan. Dalam Pasal 17 diatur lebih terinci mengenai hubungan
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam hal kewenangan,
tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak,
budi daya dan pelestarian, bagi hasil atas pemanfaatan sumber
daya alam serta penyerasian lingkungan dengan tata ruang. Hal ini
menunjukkan bahwa kegiatan konservasi alam bukan semata-mata
wewenang pemerintah pusat sebagaimana ketentuan peraturan
perundangan sebelumnya, tapi juga tanggung jawab dan wewenang
pemerintah daerah.
102 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

C. Meletakkan Platform Pengelolaan


Kolaboratif: Beberapa Pertanyaan
Kebijakan
Teori sistem kompleks (complex system theory) melihat dunia dengan
cara pandang yang unik. Teori ini menekankan karakteristik dunia
yang diwarnai dengan interaksi nonlinier dinamis yang menghasilkan
ketidaksinambungan dan kejutan, bukan mengedepankan dunia yang
hampir mendekati ekuilibrium. Dalam konteks pemikiran teori tersebut,
kemampuan ekosistem dalam memulihkan dirinya akibat aktivitas manusia
dan perilaku alam menjadi faktor penentu kelestarian. Penyederhanaan
dalam memandang sebuah ekosistem dalam pengelolaan sumber daya
alam tidak memiliki cukup harapan untuk menjamin kelestariannya,
mengingat keterprakiraan (predictability) dan ketidakpastian (uncertainty)
banyak diabaikan (Plummer dan Armitage 2007). Hal ini menguatkan
pemikiran mengenai kerbatasan pendekatan perintah-kendali (command
and control) dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber daya
alam yang memiliki ciri sebagai CPR ”common pool resources“ atau sumber
daya berakses terbuka ”open access“.
Berangkat dari teori sistem kompleks dan kesamaan kerja dengan para
pakar sosial seperti Marx dan Weber, konsep mengenai kolaborasi dalam
pengelolaan sumber daya alam, khususnya yang memilki ciri sebagai sumber
daya publik atau CPR berkembang. Pokok persoalan yang dihadapi adalah
bagaimana menemu-kenali manfaat optimum dari sumber daya alam tanpa
mengabaikan kelestariannya, sehingga mampu menopang kepentingan
pengguna dalam dinamika sosial ekonomi yang terus berlangsung dari
waktu ke waktu. Dalam konteks ini, batas kemampuan sumber daya alam
untuk menghasilkan suatu produk secara berkelanjutan harus direspons
secara adaptif oleh kelembagaan sosial yang menjadi pengguna langsung
dari sumber daya tersebut. Pada sisi lain, lemahnya pengetahuan atas
karakteristik sumber daya dalam sebuah ekosistem alam yang juga dinamis
menurut ruang dan waktu, serta besarnya biaya yang harus ditanggung
untuk menjaga sumber daya inti agar tetap mampu menyediakan barang
dan jasa secara lestari, seringkali menyebabkan persoalan manajemen akibat
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 103

kontestasi kekuasaan para pihak yang berkepentingan dengan sumber daya


alam tersebut. Dalam banyak kasus kerusakan barang publik, akar masalah
seringkali diketahui manakala kerusakan telah terjadi dalam situasi yang
tak terpulihkan. Hardin (1968) menyebutkannya dengan “tradegy of the
commons”.
Sumber daya di dalam sebuah taman nasional merupakan agregat sumber
daya alam yang memiliki ciri sebagai CPR atau sumber daya milik umum
yang dikelola pemerintah. Dalam sudut pandang ilmu ekonomi, CPR
merupakan jenis barang (good), terdiri dari sistem sumber daya alam atau
buatan, yang ukuran dan/atau karakteristiknya menyebabkan biaya mahal,
tetapi bukan tidak mungkin, bagi pengguna untuk mendapatkan manfaat
dari penggunaannya. Tidak seperti barang publik murni (public good), CPR
mengalami masalah kongesti atau lewah penggunaan, karena sifatnya yang
dapat berkurang (substactable: konsumsi oleh seseorang menghilangkan
manfaat bagi orang lain). CPR umumnya terdiri dari sumber daya inti
(misalnya: air atau ikan), yang menentukan variabel sediaan (variable
stock), dengan tetap menyediakan hasil ikutan yang jumlahnya terbatas
dan dapat berkurang yang menentukan variabel alir (flow variable).
Perlindungan sumber daya inti diperlukan agar dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan dan hasil ikutannya tetap dapat dipanen atau dikonsumsi.
CPR dapat dimiliki dan dikelola oleh pemerintah, komunitas masyarakat
atau bahkan partikelir (private). Apabila kepemilikan tidak jelas, CPR
akan menjadi sumber daya akses terbuka (open access resource) yang rentan
terhadap kerusakan. CPR umumnya mudah mengalami masalah kongesti,
polusi, lewah panen, dan kerusakan bila pemanfaatannya tidak diikuti
dengan aturan main yang jelas dan ditegakkan.
Dalam perspektif sejarah, karakteristik sumber daya CPR yang dikelola
oleh komunitas masyarakat menunjukkan sebuah rezim kepemilikan
yang unik, di mana pemanfaatan sumber daya dilakukan melalui norma
sosial yang dikembangkan melalui pengambilan keputusan kolektif dan
dilembagakan berdasarkan hukum tidak tertulis. Apabila diketahui ada
masalah akibat perilaku individu atau kelompok tertentu di luar norma
yang berlaku, mereka akan meresponsnya dengan aksi kolektif guna
mencari solusi atas masalah yang timbul terhadap CPR.
104 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Taman nasional tidak hanya berisi sumber daya alam yang memiliki ciri
barang publik atau CPR, tetapi merupakan sebuah konsep pengelolaan
sumber daya alam yang memiliki mandat legal untuk mencapai tujuan
tertentu yang dalam beberapa hal tidak sejalan dengan harapan pihak
tertentu, termasuk masyarakat lokal yang telah menjadi bagian dari
ekosistem di mana sumber daya alam tersebut berada. Isu-isu pengelolaan
taman nasional yang mencuat ke permukaan seringkali diwarnai oleh
konflik tenurial, akses, dan pemanfaatan sumber daya alam secara
ilegal. Secara sosial, hadirnya pengelola taman nasional dengan mandat
tertentu merupakan inisiatif baru yang mengundang para penunggang-
bebas (free-rider) untuk memanfaatkan kesempatan guna mendapatkan
manfaat sumber daya alam secara mudah dan murah, sehingga akan
direspons melalui aksi kolektif oleh masyarakat lokal yang sudah memiliki
kelembagaan baku. Lemahnya kapasitas pengelola taman nasional dan
lemahnya dukungan para pihak terhadap pencapaian tujuan pengelolaan
taman nasional, memperburuk situasi dan menyulitkan pengelola untuk
memenuhi kinerja harapan. Taman nasional ibarat sebuah sistem CPR
yang besar dan memiliki beberapa atau banyak subsistem CPR yang secara
teoritis sudah atau dapat dikelola melalui berbagai aksi kolektif untuk
merespons dinamika sosial-budaya dan ekonomi yang terus berlangsung.
Pendekatan zonasi dalam pengelolaan taman nasional secara jitu mampu
mewadahi berbagai kategori CPR bila dikemas dengan cara yang tepat
untuk memenuhi seluruh aspirasi terhadap sumber daya alam yang
berkembang, tetapi masih sesuai dengan koridor untuk mencapai tujuan
pengelolaan taman nasional secara menyeluruh. Kerangka pikir untuk
memecahkan masalah tersebut telah mendorong pengelolaan kolaboratif
taman nasional di Indonesia.
Memahami PKTN—yang pada tingkat tertentu mendorong terwujudnya
pengelolaan taman nasional berbasis masyarakat—secara utuh tidak
cukup dengan mengandalkan ilmu-ilmu ekologi, sosial, dan ekonomi
yang konvensional. Konsep pluralisme sebagai basis kemitraan dalam
pengelolaan sumber daya hutan telah dibahas oleh Wollenberg, Anderson
dan Lopez (2005) serta Suporahardjo (2005). Selain itu, berbagai bidang/
subbidang ilmu ”baru” yang lahir antara periode 1970–1980-an juga
merupakan fondasi penting untuk memahami konsep kemitraan pada
tingkat ideal, yaitu (Berkes 2004):
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 105

• Kepemilikan Umum (common property): Mengkaji hubungan antara


pengelolaan sumber daya dengan organisasi sosial; analisis mengenai
sistem kelembagaan dan hak kepemilikan (property right) dapat
menyebabkan terjadinya ”tragedi barang umum” (tragedy of the
common).
• Pengetahuan Ekologi Tradisional: Mengacu pada pengetahuan lokal
atau tradisional yang dikembangkan bukan oleh pakar, tetapi pengguna
sumber daya. Mempertanyakan ilmu pengetahuan dan beragumen
mengenai adanya keragaman pengetahuan.
• Etika Lingkungan: Mengakui akan adanya keragaman tradisi spiritual
dan etika di dunia dan menawarkan pengganti untuk pandangan barat
mengenai posisi manusia dalam ekosistem alam.
• Ekologi Politik: Menganalisis hubungan kekuasaan antar-aktor
mengenai cara pengambilan keputusan dan pembagian manfaat;
menginterpretasikan kejadian dalam hubungannya dengan perilaku
para aktor untuk memenuhi agenda politiknya.
• Sejarah Lingkungan: Menginterpretasikan bentang-alam dalam hal
sejarah dan menganalisis dinamikanya, menjadikan praktik-praktik
penggunaan sumber daya yang membentuk bentang-alam tersebut
ramah lingkungan atau bernuansa ekologi.
• Ekonomi Ekologi: Mempromosikan pandangan terpadu ekonomi di
dalam suatu ekosistem, memandang sistem ekonomi sebagai bagian
dari sistem ekologi; mempedulikan kisaran nilai yang lebih beragam
dan horizon waktu yang lebih panjang.
Dalam implementasinya di Indonesia, PKTN menghadapi dinding-
dinding tebal yang berakar pada ketidaksiapan tata-budaya pemerintahan
dan budaya masyarakat yang cenderung mengabaikan terbangunnya kapital
sosial dalam pengelolaan barang publik. Tata-budaya pemerintahan yang
berbasis pada pendekatan sektoral, warisan pemerintahan sentralistik
masa lalu, dan transisi kebijakan desentralisasi yang belum tuntas telah
menciptakan fragmen-fragmen yang menyulitkan terwujudnya sinergi
pencapaian tujuan pengelolaan taman nasional melalui tata hubungan
antarlembaga pemerintahan. Berbagai hasil studi mengonfirmasikan bahwa
tata-kepemerintahan partisipatif menghadapi kendala utama berupa
keengganan para politisi dan birokrat tingkat tinggi untuk mendelegasikan
kekuasaan ke level di bawahnya. Kendala penting lainnya berakar pada
lemahnya posisi tawar masyarakat miskin terhadap dominasi elite dalam
struktur kekuasaaan tradisional yang ada.
106 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Akar budaya masyarakat Indonesia berciri paternalistik dan maternalistik


yang menunjukkan kekuatan hubungan kekeluargaan dan ketokohan.
Ciri tersebut mencuat ke permukaan melalui tingginya ego (family and
kinship connection) untuk menguatkan kapital keluarga/kelompok, dan
rendahnya kualitas untuk membentuk kapital sosial yang peduli atas
kelestarian barang publik pada skala yang lebih makro. Prinsip-prinsip
untuk mendahulukan kepentingan publik atas kepentingan pribadi/
kelompok yang banyak ditemukan dalam teks-teks normatif semakin
lama semakin hilang dari kamus komunikasi dan tindakan publik, akibat
sedikitnya teladan dan bukti yang secara cepat dapat dilihat di dunia
nyata. Pernyataan ini, walaupun disimpulkan dari pengamatan yang
terbatas, dapat ditunjukkan dengan sedikitnya bukti bahwa konservasi
barang publik bernilai tinggi, seperti hutan dan terumbu karang, bebas
dari tekanan yang bersumber pada dominasi kepentingan individu/
kelompok masyarakat tertentu. Walaupun argumen-argumen mikronya
seringkali mendapatkan dukungan ilmiah dari sudut pandang bidang ilmu
tertentu, faktanya kerusakan sumber daya alam yang terjadi seringkali tak
terpulihkan.
Dalam akar budaya semacam itu, PKTN lambat laun justru dapat mengikis
esensi agenda konservasi yang memiliki tujuan sosial yang jauh lebih luas
dan dalam. Pembenaran atas konsep PKTN akan bermuara pada akar
masalah yang menunjuk lemahnya kebijakan, kelembagaan pengelolaan
taman nasional dan tata-pemerintahan, serta ketidak-cukupan pengetahuan
akibat kompleksitas permasalahan yang dihadapi atau menyalahkan konsep
taman nasional itu sendiri. Namun demikian, pada saat konsep tersebut
dilaksanakan dengan keberhasilan selama periode implementasi program,
seringkali gagal mempertahankan keberlanjutannya akibat lemahnya
posisi tawar untuk mendongkrak perubahan/perbaikan atas argumen
pembenarannya. Melalui kerangka konseptual yang berbeda, kesimpulan
sejenis pernah dikemukakan dalam hasil evaluasi program-program DFID
(Fahmi, Zakaria, Kartodihardjo dan Wahono 2003), yakni ditinjau dari
syarat perlu (necessary condition) dan syarat cukup (sufficient condition),
pendekatan multipihak masih jauh dari berhasil, walaupun memiliki nilai
pembelajaran yang tinggi. Proses-proses aksi kolektif yang menghasilkan
kesepakatan bagus seringkali melemah pada saat implementasi dan
kurang mendapatkan dukungan pada tingkat konstitusional. Kesimpulan
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 107

yang sama juga diketahui dari 44 gagasan/inisiatif/model kemitraan di


31 TN di Indonesia, di mana sebagian besar masih terfokus pada level
aksi kolektif dan sebagian kecil tingkat implementasi. Dari pengalaman
tersebut, kendala-kendala utama yang umum dihadapi adalah kapasitas
SDM, kepemimpinan, keterbatasan dana dan sarana prasarana, lemahnya
dukungan kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, lemahnya
koordinasi, serta tekanan pihak luar.
Mampukah kemitraan pengelolaan taman nasional merajut kesenjangan
antara kepentingan konservasi dengan penanggulangan kemiskinan?
Dalam keremangan keberhasilan program-program kemitraan di
Indonesia, pertanyaan semacam itu memang pantas diungkapkan dan
hanya akan memperoleh argumen pembenaran manakala kita sepakat
untuk menjadikannya sebagai ajang pembelajaran. Namun, tuntutan
yang semakin menguat atas perbaikan kinerja pengelolaan taman nasional
di Indonesia menghendaki ketepatan penetapan lokus kontekstual
kemitraan untuk memperkecil trade-off atas sumber daya, berpegang teguh
pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan cermat dalam
perencanaan guna menjamin keberhasilannya.
Mampukah kemitraan pengelolaan taman nasional mengentaskan
kemiskinan masyarakat sekitar hutan? Jawaban atas pertanyaan ini
mungkin telah melahirkan berbagai proyek. Namun, sesungguhnya
agak terkesan berlebihan ditinjau dari 2 hal pokok: (1) fungsi utama
taman nasional adalah sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari, sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Dengan fungsi ini bentuk-bentuk pemanfataan yang bersifat komersial
berbasis komoditas (barang) menjadi sangat terbatas; (2) kemiskinan
merupakan masalah multidimensi yang penyelesaiannya bersifat terpadu,
lintas sektor dan melibatkan para pihak. Pengelola taman nasional tidak
memiliki wewenang dan kompetensi memadai untuk mengentaskan
masalah kemiskinan. Program PKTN seyogianya menempatkan diri
pada posisi untuk mengamankan penghidupan masyarakat sehari-hari
(livelihood) dan menemukan pengungkit bagi sistem ekonomi masyarakat
yang orientasi pertumbuhannya didorong di luar kawasan taman nasional,
sekalipun tetap mengandalkan potensi sumber daya alam di dalam taman
nasional. Orientasi pengembangan sistem ekonomi di dalam kawasan
108 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

taman nasional akan menciptakan pusat pertumbuhan yang akan menarik


masyarakat luar untuk masuk ke dalam taman nasional. Kesadaran akan
pentingnya masalah ini, akan menentukan fokus dialog dan arena yang
spesifik, kontekstual, dan berada pada batas-batas kendali yang dibenarkan
sesuai prinsip pengelolaan taman nasional.
Pengelolaan kolaboratif telah dicoba dalam pengelolaan kawasan konservasi,
khususnya taman nasional, dan mendapatkan dukungan legal melalui
keluarnya Peraturan Menteri No. 19/Menhut II/Tahun 2004, umumnya
melibatkan pengelola, instansi pemerintah lainnya, LSM dan masyarakat.
Kolaborasi antara pemerintah dengan partikelir (privat/swasta) telah
diinisiasikan di Taman Nasional Kutai, melalui pembentuk Mitra TN
Kutai, khususnya bertujuan untuk menyediakan pendanaan mendukung
program pengelolaan TN dan pemberdayaan masyarakat di dalam dan
sekitar taman nasional. Secara keseluruhan pengelolaan kolaboratif masih
belum menemukan bentuk yang mampu mendorong kinerja pengelolaan
kawasan konservasi yang dapat diukur dan dipertanggung-gugatkan kepada
publik. Dalam konteks kemitraan publik-partikelir, pokok persoalan yang
dihadapi dalam pengembangan pengelolaan kolaboratif berdasarkan P19/
Menhut II/2004 tersebut antara lain: terfokus pada input pengelolaan
kawasan konservasi dan ketiadaan mekanisme berbagi keuntungan,
sehingga tidak ada insentif yang memadai bagi para pihak untuk terlibat
dalam kolaborasi. Selain itu, organisasi BB/BTN dan BB/BKSDA sebagai
penyelenggara pengelolaan tidak dibenarkan untuk menerima pembagian
keuntungan dari pihak lain menurut norma hukum yang berlaku.
Berdasarkan pengalaman pengelolaan kolaboratif yang pernah dilakukan,
pertanyaan kunci yang harus dijawab melalui kebijakan pemerintah
dengan demikian terfokus pada:
1. Seperti apa model PKTN yang dapat diimplementasikan di
lapangan?
2. Apa program PKTN yang memiliki prioritas tinggi untuk
dikembangkan?
3. Bagaimana kelembagaan PKTN dapat dikembangkan?
4. Bagaimana pola investasi dan mekanisme pendanaan dapat
dikembangkan dalam struktur kelembagaan PKTN?
5. Bagaimana kerangka hukum/legal dapat mendukung keberlanjutan
PKTN tersebut?
Implementasi
Pengelolaan Kolaboratif
Taman Nasional
di Indonesia

Dalam 2 dekade terakhir ini, pengelolaan taman


nasional di Indonesia mengalami pergeseran dari
orientasi yang semata-mata pada perlindungan
sistem penyangga kehidupan dan pengawetan
keanekaragaman spesies dan ekosistem ke perluasan
orientasi pada aspek pemanfaatan yang terfokus
pada jasa lingkungan dan wisata alam, serta manfaat
lain yang dapat dikelola secara berkelanjutan.
Perubahan tersebut secara umum dipengaruhi
pergeseran paradigma dari pemikiran ekuilibrium
ke nonekuilibrium, dari perintah-kendali ke aksi
kolektif dan dari sentralistik ke desentralistik.
Selain itu, kesadaran akan kerangka berfikir yang
lebih holistis, ketergantungan, dan pemahaman
bahwa manusia merupakan bagian jejaring ekologi
telah mendorong PKTN. Kontinum kerangka
pikir dari positivisme ke konstruksivisme dan dari
reduksionis ke holistis, membuka ruang-ruang
pilihan pengelolaan ekosistem skala lanskap dengan
merajut aksi kolektif di tingkat tapak, melalui
perencanaan kolaboratif yang menjamin mekanisme
pembagian manfaat yang lebih adil dan tindakan
yang lebih bertanggung-gugat.
110 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Pergeseran paradigma pengelolaan taman nasional ini didasari oleh


beberapa capaian dalam pengelolaan taman nasional selama ini. Beberapa
capaian penting dalam beberapa dekade terakhir, antara lain:
Capaian 1: Fokus utama perencanaan dan pengelolaan taman nasional
saat ini sudah bergeser dari tingkat kawasan tunggal
menjadi skala lanskap (bentang alam)
• Sebelumnya taman nasional dilihat sebagai suatu kawasan
yang layaknya sebuah benteng. Sedangkan saat ini, TN
dipandang sebagai suatu sistem, merupakan bagian dari
suatu jaringan kawasan dilindungi, mencakup konteks
ekonomi dan sosial yang lebih luas serta merupakan
komponen dari suatu ekosistem atau bentang alam.
• Dengan semakin meningkatnya tekanan terhadap TN
akibat dinamika politik-ekonomi-sosial, TN tidak dapat
dikelola pada skala TN tersebut saja.
• TN saat ini sudah semakin banyak yang dihubungkan
dengan kebijakan-kebijakan nasional melalui rencana
aksi lingkungan nasional, strategi konservasi nasional,
strategi nasional untuk pembangunan berkelanjutan dan
sebagainya.
• Intervensi pembangunan di zona penyangga serta daerah
sekitar kawasan untuk mewujudkan tujuan konservasi
serta pembangunan berkelanjutan, telah menciptakan
kegiatan-kegiatan yang berbasis pada konservasi dan
pembangunan.
Capaian 2: Sistem zonasi dalam pengelolaan taman nasional
merupakan suatu pendekatan yang memerhatikan
hubungan antara manusia dengan alam
• Salah satu capaian terbaik dalam bidang pengelolaan TN
adalah zonasi yang memungkinkan terciptanya integrasi
antara nilai-nilai ekologi, sosial, dan budaya. Zonasi
dapat diperluas hingga skala lanskap sebagaimana konsep
cagar biosfer atau kabupaten konservasi.
• Konsep zonasi yang semula berorientasi pada
pengendalian intensitas pemanfaatan taman nasional
untuk rekreasi alam, kini telah berkembang untuk
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 111

mengadopsi kepentingan dan hak-hak masyarakat lokal,


serta pembangunan wilayah secara berkelanjutan dalam
arti luas.
Capaian 3: Taman nasional semakin diharapkan untuk tidak hanya
meningkat dalam hal luas dan skala, tetapi juga mampu
untuk membentuk kemitraan dengan masyarakat lokal
dan pengguna sumber daya alam lainnya
• Zona penyangga dan masyarakat yang tinggal di dalam
kawasan TN biasanya berada di luar yurisdiksi pengelola
TN, sehingga dalam pengelolaannya membutuhkan
kemitraan serta peran sukarela berbagai pihak melalui
pengembangan program-program insentif yang dari para
pihak (stakeholders).
• Taman nasional juga diharapkan mampu memberikan
kontribusi bagi pembangunan ekonomi wilayah secara
berkelanjutan.
Capaian 4: Munculnya keragaman kelembagaan
• Meskipun pengelolaan TN masih didominasi oleh
pemerintah, terdapat suatu pergerakan ke arah
desentralisasi, di mana tanggung jawab pengelolaan perlu
dibagi dengan pemerintah provinsi dan/atau pemerintah
kabupaten.
• Desentralisasi juga bisa direfleksikan dengan diakuinya
tanah adat dalam kawasan TN dan mendorong
dilakukannya delegasi kewenangan pengelolaan pada
sebagian atau seluruh kawasan TN kepada masyarakat
adat.
Capaian 5: Pihak-pihak swasta yang memiliki areal yang cukup luas
mulai menyisihkan sebagian kawasannya sebagai areal
konservasi
• Integrasi pengelolaan kawasan konservasi ke dalam
pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, baik
melalui skema sukarela, kebijakan pemerintah, atau
melalui program insentif sebagai persyaratan dalam
112 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

perdagangan internasional atau sertifikasi pengelolaan


hutan/kebun lestari telah mendorong para pelaku usaha
untuk menyisihkan areal bernilai konservasi tinggi.
• Perusahaan swasta maupun masyarakat lokal/adat
semakin banyak yang terlibat dalam pembentukan dan/
atau pengelolaan areal dilindungi, termasuk Cagar Biosfer
dan TN.
Capaian 6: Hubungan antara taman nasional dengan masyarakat lokal
telah berubah, dari konflik menjadi partisipasi, kemitraan
dan kolaborasi
• Konservasi pada awalnya ditujukan untuk melindungi
hidupan liar serta sumber daya alam di dalam kawasan yang
dibebaskan dari kehadiran manusia. Namun, pandangan
ini sekarang sudah mulai berubah menjadi pengelolaan
taman nasional bersama masyarakat.
• Kesadaran akan pentingnya upaya mengamankan
penghidupan masyarakat secara berkelanjutan (sustainable
livelihood) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
dalam dan sekitar TN telah mendorong arena kolaborasi
yang melibatkan semua pemangku kepentingan
utama, termasuk pengelola kawasan, masyarakat lokal,
pengguna sumber daya alam, dan instansi terkait lainnya.
Program-program konservasi terpadu dan proyek-proyek
pembangunan lainnya menjadi sangat penting dalam
membangun modal sosial, kapasitas lokal dan kelembagaan
untuk memperkuat pengelolaan taman nasional.
Capaian 7: Kolaborasi saat ini telah menjadi alat manajemen yang
penting dalam pengelolaan taman nasional
• Proses kolaborasi dapat membangun dan memperkuat
kemitraan dengan melibatkan beberapa atau semua
pemangku kepentingan yang relevan dalam perencanaan
dan manajemen taman nasional.
• Proses kolaborasi meliputi berbagai aktivitas untuk
mengembangkan visi dan tujuan bersama, membangun
rasa saling percaya, saling menghargai, dan saling
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 113

memberikan manfaat antarpihak yang terlibat. Proses


kolaborasi didahului dengan identifikasi stakeholder,
kepentingan dan pengaruh, tanggung jawab, wewenang,
hak-hak, dan kewajiban mereka. Pada awalnya, pengelolaan
kolaboratif sumber daya alam dilakukan secara intensif
pada pengelolaan hutan berbasis masyarakat, di mana
mencapai partisipasi dan pembagian keuntungan dapat
dilakukan dengan relatif mudah. Pemanfaatan sumber
daya hutan memberikan peluang keuntungan ekonomi
yang manfaatnya dapat segera dirasakan oleh para
pemangku kepentingan.
Capaian 8: PKTN memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat
lokal
• PKTN dapat memberikan kesempatan untuk menunjukkan
peran taman nasional dalam mengentaskan kemiskinan
dan menyediakan mata pencaharian berkelanjutan di
daerah pedesaan yang selama ini kurang tersentuh program
pembangunan.
Selain capaian di atas, PKTN juga menghadapi berbagai tantangan, baik
secara internal maupun eksternal. Beberapa tantangan berikut menegaskan
pentingnya PKTN:
Tantangan 1: Kebutuhan atas kemampuan baru dalam perencanaan
dan pengelolaan TN
• PKTN membutuhkan peningkatan kapasitas
pengelola TN untuk mengembangkan hubungan
dan kerja sama dengan para mitra.
• Pengelola TN diharuskan memiliki kepemimpinan dan
kemampuan untuk bekerja sama dengan masyarakat,
melakukan negosiasi, mengembangkan perjanjian-
perjanjian kerja sama dengan mitra, mengelola
konflik serta menjalankan bisnis yang menghasilkan
keuntungan finansial guna meningkatkan pendanaan
TN.
114 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Tantangan 2: Kebutuhan akan kemampuan baru tidak diimbangi


oleh peningkatan wewenang, sumber daya maupun
kapasitas
• Pengelolaan TN masih merupakan suatu hal yang
terpinggirkan dalam proses perencanaan dan
pembangunan wilayah, baik pada tingkat lokal,
wilayah maupun nasional. Dalam banyak kasus,
pengelola TN tidak dianggap sebagai pihak yang
harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan
akibat masalah kewenangan.
• Kapasitas pengelola TN dalam koordinasi, integrasi
program dan negosiasi masih merupakan masalah
fundamental yang harus dituntaskan.
Tantangan 3: Taman nasional dianggap membatasi akses masyarakat
ke tanah adat ataupun hak-hak tradisional lainnya,
sehingga seringkali dianggap musuh oleh masyarakat
• Pengelolaan TN harus bekerja sama dengan,
didukung oleh, dan memberikan manfaat untuk
masyarakat setempat, sehingga masyarakat mitra
menjadi mitra yang handal dalam mewujudkan
tujuan pengelolaan.
Tantangan 4: Tidak banyak bukti bahwa program-program
pengembangan masyarakat mampu mengurangi
ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya
dalam kawasan taman nasional
• Partisipasi masyarakat yang efektif hanya bisa tercipta
jika isu-isu tenurial dan hak pemanfaatan atas
sumber daya alam diperhatikan. Pada kenyataannya,
mengembangkan mekanisme pengambilan keputusan
bersama dan pembagian keuntungan (benefit sharing)
yang adil bukanlah pekerjaan yang mudah.
Pengelolaan kolaboratif sebagai sebuah pendekatan partisipatif semakin
banyak didengungkan seiring menguatnya posisi masyarakat dan para
pihak dalam pengelolaan kawasan konservasi. Pendekatan ini kemudian
diwadahi oleh Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004
tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 115

Pelestarian Alam (KPA) untuk meredam benturan hukum yang kerap kali
terjadi dalam implementasinya. Selain itu, kolaborasi diharapkan mampu
menjawab permasalahan konflik tenurial dan akses terhadap sumber
daya alam, sekaligus menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat
guna meningkatkan kualitas penghidupannya. Dari sisi kelembagaan,
pengelolaan kolaboratif dapat dipandang sebagai instrumen untuk
mengembangkan kemitraan melalui pembagian peran, biaya dan manfaat
yang adil antarpihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan taman
nasional, baik secara keseluruhan atau bagian-bagiannya. Pada tataran
implementasi, kemitraan pengelolaan taman nasional bersifat unik dan
spesifik tapak sesuai dengan keragaman ruang ekologi, sosial-budaya,
kewenangan, dan ekonomi wilayah.

A. Praktik Kolaborasi di Beberapa Taman


Nasional
Kebijakan kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi telah
mengundang perhatian banyak pihak untuk mencermati kembali
bentuk-bentuk pengelolaan yang selama ini dijalankan. Selain prinsip
dan mekanisme yang menjadi topik dalam berbagai pembicaraan
kolaborasi, implementasi kebijakan ini juga banyak dipertanyakan. Tak
sedikit yang memandang pesimis bahwa kawasan konservasi, termasuk
taman nasional akan lestari. Terlebih lagi, kisah sukses tentang inisiatif
konservasi lokal yang melibatkan kolaborasi para pihak belum banyak
dimunculkan sebagai bahan pembelajaran. Dalam subbab ini secara
khusus akan menguraikan secara ringkas beberapa praktik kolaborasi
atau kemitraan yang telah dan sedang dilakukan di berbagai kawasan
konservasi di Indonesia. Pengalaman implementasi kolaborasi ini
disarikan dari berbagai laporan penelitian, jurnal, buletin, buku, dan
juga informasi-informasi pada website Pusat Informasi Pengelolaan
Kolaboratif1.

1. Ekowisata Berbasis Masyarakat di TNGL


Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) adalah salah satu kawasan
taman nasional di Indonesia yang melaksanakan kegiatan ekowisata dalam
rangka pengelolaan kawasan. Permasalahan terbesar yang sebelumnya
1 http://www.kolaboratif.org/
116 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

dihadapi oleh taman nasional ini khususnya wilayah Hutan Tangkahan


adalah maraknya perambahan hutan sehingga mengakibatkan kerusakan
kawasan yang sangat parah. Masyarakat sekitar Kawasan Tangkahan
dulunya berprofesi sebagai penebang liar. Tuntutan ekonomi menyebabkan
masyarakat melakukan illegal logging, di samping adanya pengaruh pihak
luar (Ginting et al. 2010).
Kondisi tersebut merupakan ancaman, padahal masyarakat seharusnya
menjadi modal sosial bagi pelestarian kawasan TNGL. Dari situlah muncul
inisiatif kolaborasi konservasi. Salah satu upaya yang dilakukan sejak
tahun 2001 yaitu pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat di Kawasan
Tangkahan dengan dukungan kolaborasi para pihak yaitu di Desa Namo
Sialang dan Sei Serdang. Tujuannya adalah mencari alternatif pendapatan
ekonomi agar perilaku masyarakat yang destruktif dapat diubah.
Kawasan Tangkahan memiliki modal alam luar biasa yang merupakan
kekuatan dari kawasan tersebut untuk dikembangkan sebagai daerah
tujuan wisata, di samping juga modal sosial dan budaya serta sumber daya
manusianya. Pengembangan wisata Tangkahan dimulai dari perencanaan
partisipatif dengan masyarakat lokal di 2 desa dalam pengelolaan
ekowisata di zona pemanfaatan TNGL. Kemudian ditindaklanjuti dengan
pembentukan dan penguatan insitusi lokal berupa Lembaga Pariwisata
Tangkahan (LPT) melalui MoU antara masyarakat, Balai TNGL, dengan
Perusahaan Indecon. LPT dibentuk atas dasar kesadaran masyarakat
untuk bisa memperoleh kegiatan yang bermanfaat sebagai salah satu solusi
alternatif peningkatan perekonomian keluarga (Lubis 2006).
Kesadaran konservasi pun muncul dari masyarakat dengan keluarnya
Peraturan Desa Kawasan Ekowisata Tangkahan untuk pelestarian dan
pemanfaatan SDA hayati dan ekosistem TNGL. Selanjutnya, LPT
melakukan penyusunan master plan, perencanaan bisnis dan peningkatan
kapasitas, di antaranya perencanaan pengembangan ekowisata, pembuatan
jalur tracking, dan kepemanduan wisata (community tour operator/CTO).
Dari sisi aturan pengelolaan wisata, sudah terdapat kesepakatan kode
etik pengunjung dan standard operation procedure (SOP). Akhirnya,
masyarakat lokal berperan dalam pengamanan Kawasan Tangkahan
dengan membentuk unit ranger (Tangkahan Simalem Ranger).
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 117

Upaya pengembangan ekowisata berbasis masyarakat ini telah mengubah


pola pikir masyarakat dari “perusak” ke “pelestari”, dari perambah menjadi
penjaga hutan, sehingga Kawasan Langkat menjadi aman secara ekologis.
Hal ini dibuktikan dari 63 eks perambah hutan berubah menjadi pegiat
konservasi. Walaupun belum mampu menjadi katup pengaman sumber
daya hutan di TNGL, kegiatan ekowisata di Tangkahan telah mengubah
masyarakat menjadi “social buffer” untuk menjaga taman nasional
(Ginting et al. 2010). Perlindungan ekosistem Langkat ini mendorong
perbaikan habitat dan populasi primata. Pendapatan ekonomi masyarakat
juga relatif semakin meningkat seiring berkembangnya kegiatan
pariwisata alam. Berkembangnya kegiatan pariwisata alam dibarengi
dengan penguatan lembaga pengelolaan ekowisata, pembentukan tour
operator, dan peningkatan kualitas pelayanan pariwisata. Puncaknya,
model pengelolaan di Kawasan Tangkahan dengan pola partisipatif ini
mendapatkan pengakuan secara nasional melalui penghargaan ”Inovasi
Pariwisata Indonesia” oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada
tahun 2005.
Melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan taman nasional melalui
konsep ekowisata dimaksudkan sebagai perangsang untuk mengendalikan
dampak manusia pada taman nasional. Dengan perangsang ini, masyarakat
lokal tidak lagi memandang taman nasional hanya sebagai kawasan
hutan dengan sumber daya ekonomi yang melimpah tetapi tidak dapat
dimanfaatkan (Siburian 2008). Dengan keterlibatan masyarakat ikut serta
mengelola taman nasional, mereka akan tampil menjadi garda depan
dalam upaya melestarikan ekosistem kawasan untuk keberlanjutan usaha
ekowisata mereka. Pengakuan atas hak dan kepentingan komunitas lokal
memunculkan rasa tanggung jawab, sehingga terjadi sinergi atas kelestarian
hutan dan peningkatan kesejahteraan komunitas lokal (Ginting et al.
2010).
Untuk keberlanjutan usaha yang sudah dibangun dibutuhkan dukungan
dari pemerintah (daerah dan pusat), dukungan dana/investasi dalam
jangka panjang, konsistensi penerapan kebijakan oleh para pihak, dan
konsistensi keterlibatan staf TNGL. Penting juga untuk menyusun rencana
aksi yang komprehensif serta membuat mekanisme investasi pariwisata
yang prorakyat.
118 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

2. KKM Sebagai Basis Pengelolaan Kolaboratif


TNLL
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) merupakan kawasan konservasi
ekosistem teresterial terpenting pulau Sulawesi yang menjadi wakil
Ekoregion hutan pegunungan Sulawesi. Seperti halnya kebanyakan
kawasan konservasi lain di Indonesia, TNLL sebelumnya juga merupakan
kawasan tanah adat yang memiliki interaksi yang sangat mendalam/
intens dengan masyarakat lokal dalam berbagai hal termasuk pemenuhan
kebutuhan hidup dan budaya mereka. Eksistensi dan sejarah panjang
masyarakat di sekitar Kawasan TNLL telah berkembang jauh sebelum
penetapan kawasan.
Upaya kolaborasi di TNLL berawal dari isu konflik kepentingan terhadap
akses sumber daya hutan antara masyarakat adat dan pengelola TNLL.
The Nature Conservancy (TNC) dan dua LSM lainnya yaitu CARE dan
YTM mengupayakan inisiatif konservasi pengelolaan kolaboratif untuk
menjembatani konflik kepentingan antara TNLL dengan masyarakat sejak
tahun 2001 melalui konsep yang dikenal sebagai Kesepakatan Konservasi
Masyarakat (KKM).
Gagasan pengelolaan kolaboratif KKM diawali di Kecamatan Lore Utara
yang secara turun-temurun didiami oleh masyarakat adat etnis Pekurehua-
Tawaelia. KKM merupakan gerbang utama menuju partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan TNLL. Menurut Kassa (2009), melalui KKM
kepentingan masyarakat terhadap kawasan dan sumber daya kawasan yang
didasarkan pada kesejarahan, pola pengelolaan tradisional dan hukum
adat atau hukum setempat yang disepakati mendapat pengakuan dari Balai
TNLL sebagai wakil pemerintah dalam pengelolaan TNLL. KKM juga
diharapkan dapat meminimalisir dampak yang terjadi akibat perambahan
di sekitar kawasan TNLL melalui keikutsertaan masyarakat secara
aktif dalam pengelolaan TNLL terutama dalam kegiatan pengamanan
kawasan.
Untuk mengawal proses Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM),
dibentuk kelembagaan di tingkat desa yaitu Lembaga Konservasi Desa
(LKD) berdasarkan SK Kepala Desa untuk kurun waktu tertentu. LKD
memiliki peran dan fungsi untuk: mewadahi komunikasi antara masyarakat
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 119

dengan Balai TNLL, membuat perencanaan pengelolaan partisipatif


bersama Balai TNLL, melaksanakan monitoring dan pengawasan KKM,
mengevaluasi pelaksanaan KKM, dan melaporkan hasil evaluasi KKM
kepada kepala desa.
Melalui KKM tercapai ruang kesepakatan, yakni wilayah adat desa yang
masuk dalam kawasan TNLL. Selanjutnya, pemetaan wilayah kesepakatan
dilakukan secara partisipatif. Peningkatan kapasitas yang dilakukan LKD
meliputi pelatihan monitoring hutan dan GPS; pelatihan pengembangan
kerajinan; pengembangan budi daya rotan, bambu, tanaman kayu asli;
dan pengembangan agroforestry.
Bentuk kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam pengelolaan kolaboratif
di antaranya: 1) OMBO (pembatasan pengambilan sumber daya alam untuk
waktu yang ditentukan); 2) Pengembangan jenis tanaman asli TNLL: Leda
(Eucalyptus deglupta), Agathis sp., dan kemiri; 3) Pembuatan batas hidup
TNLL (living boundary) dengan pengembangan tanaman kemiri sekaligus
memberikan hasil ekonomi bagi masyarakat sekitar TNLL; 4) Monitoring
partisipatif wilayah kesepakatan dan sidang adat jika ada pelanggaran; 5)
Pengembangan obat-obatan tradisional dan tanaman produktif di wilayah
penyangga TNLL; serta 6) Mengembangkan pengelolaan Danau Lindu
dan DAS.
Kelembagaan pengelolaan kolaboratif ini terdapat pada tiap level
pemerintahan. Di tingkat kecamatan terdapat FWP (Forum wilayah
penyangga), di tingkat kabupaten terdapat Tim Koordinasi Pengelola
Daerah Penyangga (TKPDP) Poso dan Donggala, dan di level provinsi
terdapat Forum Pengelolaan Bersama (FPB) TNLL.

3. Kesepakatan Pelestarian Alam Desa dan


Penataan Batas Partisipatif di TN Manupeu
Tanadaru
Taman Nasional Manupeu Tanadaru (TN-MT) berada di Pulau Sumba
untuk mempertahankan hutan yang masih baik, yang tinggal 6,5% dari
luas pulau. TN-MT memiliki komposisi ekosistem yang unik yaitu antara
padang rumput dan hutan monsoon, serta mempunyai empat fungsi utama
yaitu (1) daerah tangkapan air/DAS (water catchments area), (2) habitat
120 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

satwa endemik, (3) ekoturisme, dan (4) fungsi produksi serta fungsi
lainnya. TN-MT merupakan rumah dari 9 jenis burung endemik yang
ada di Pulau Sumba di samping flora dan fauna lainnya yang sangat kaya.
Terdapat 22 desa yang berdampingan langsung dengan taman nasional.
Iklim yang kering menjadikan taman nasional sebagai salah satu daerah
tangkapan air yang penting bagi masyarakat Pulau Sumba.
Kondisi alam yang semakin memprihatinkan, ancaman kepunahan spesies
burung endemik, semakin berkurangnya sumber mata air, tingginya
aktivitas illegal logging untuk pemenuhan kebutuhan kayu yang meningkat,
berkurangnya kekuatan hubungan sosial budaya di dalam masyarakat serta
nilai-nilai lokal yang berwawasan konservasi memunculkan gagasan untuk
melakukan pengelolaan kolaboratif. Selain itu, adanya target peningkatan
luas penutupan hutan menjadi 30% dari luas pulau untuk memenuhi
keseimbangan ekosistem, adanya resistensi dari masyarakat terhadap
penunjukan taman nasional karena tidak jelasnya tata batas kawasan, serta
belum terakomodirnya aspirasi masyarakat dalam strategi pengelolaan
sumber daya alam memunculkan gagasan untuk melakukan pengelolaan
kolaboratif.
Melalui pengelolaan kolaboratif diharapkan dapat dicapainya pengelolaan
Taman Nasional Manupeu Tanadaru dengan batas definitif yang diakui
dan diterima semua pihak; serta mampu mengomunikasikan dan
mengoordinasikan permasalahan dan kepentingan para pihak. Lebih lanjut
diharapkan terakomodirnya kepentingan dan aspirasi masyarakat dalam
pelestarian sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Untuk mengawal kolaborasi dibentuk sebuah kemitraan antara beberapa
pihak, yaitu BKSDA, kelembagaan formal pemerintah seperti Panitia Tata
Batas oleh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Balai Pemantapan Kawasan
Hutan (BPKH) Wilayah VIII Bali, LSM (BirdLife Indonesia, Yayasan
Pakta dan Tananua), kelembagaan yang ada di desa, (KMPH/ Kelompok
Masyarakat Pelestarian Hutan, FKAD/Forum Komunikasi Antar Desa),
serta masyarakat adat. KMPH merupakan lembaga yang mendukung
masyarakat dan pemerintahan desa dalam pelestarian sumber daya alam
dan sebagai leader dalam implementasi KPAD. LSM berperan sebagai
mediator dalam penyelesaian masalah dan fasilitator dalam pemberdayaan
masyarakat termasuk untuk penyelesaian masalah batas.
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 121

KPAD (Kesepakatan Pelestarian Alam Desa) merupakan kesepakatan


antara pemerintah dan masyarakat dalam melestarikan sumber daya alam
desa dan taman nasional. Sebagai sebuah dokumen perencanaan tingkat
desa, KPAD dikaji dan diolah berdasarkan kesepakatan masyarakat tingkat
dusun dan tingkat desa. KPAD berisikan potensi SDA desa, sejarah desa,
klaim lahan dalam kawasan, kekuatan dan kelemahan masyarakat dalam
bidang ekonomi, informasi sosial kemasyarakatan (kesehatan, pendidikan,
keamanan), informasi kebakaran padang, kebutuhan kayu, kebutuhan air/
kelestarian mata air, dan tata ruang desa. KPAD berfungsi sebagai acuan
pemerintah desa dalam penyusunan pembangunan desa yang akan dibawa
dalam musbag di kecamatan atau kabupaten, nilai tawar masyarakat untuk
kompensasi terhadap kepedulian terhadap kawasan, dokumen acuan dalam
pembuatan rencana pembinaan daerah penyangga, dokumen penerapan
perdes, analisis SWOT desa yang menjadi dasar perencanaan peningkatan
ekonomi desa.
Kegiatan yang dilakukan di antaranya fasilitasi tata batas dan penguatan
kapasitas. Peningkatan kapasitas dilakukan dengan pelatihan,
pendampingan, pertemuan tahunan KMPH se-Sumba, fasilitasi KMPH
dengan lembaga donor, serta meningkatkan kerja sama antarlembaga.
Sosialisasi tata batas dan KPAD, mendorong fungsi dan peran Panitia
Tata Batas (PTB) dalam penyelesaian hak-hak pihak ketiga, dokumentasi
data akses masyarakat berdasarkan KPAD (sejarah desa, profil desa, klaim
lahan, status lahan, luas dan harapan masyarakat, monitoring tekanan
dan ancaman terhadap sumber daya alam desa dan taman nasional secara
berkala, implementasi dari inisiatif-inisiatif pelestarian alam yang sudah
tertuang dalam KPAD seperti pemeliharaan mata air, membawa hutan ke
kebun, atau pertanian berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat). Kegiatan-kegiatan untuk peningkatan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat desa mendapat dukungan dana dari NGO
(seperti GEF Small Grant, Canada Fund, Access, Danida).
Capaian penting dari kolaborasi antara lain tersusunnya SPHS (Strategi
Pelestarian Hutan Sumba), terbentuknya KMPH berdasarkan kelompok-
kelompok yang ada (tani, pidra, ternak), terbangunnya KPAD pada beberapa
desa (antara lain Desa Umbu langgang, Mamurara, Waimanu, Watumbelar,
dan Konda Maloba), terbentuknya FKAD yang mengakomodir kegiatan
antar-KMPH pada tingkat keamanan, penyelesaian hak-hak pihak ketiga,
dan tata batas definitif.
122 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Emilia dan Aulia (2006) mengemukakan bahwa kesepakatan yang


dibangun dan proses tata batas yang mengedepankan pengambilan
keputusan secara partisipatif, dirasakan mampu menyelesaikan konflik
dan ketegangan antara masyarakat dengan pengelola TN. Masyarakat
memperoleh jaminan keamanan untuk melanjutkan hidup dan mengelola
lahan, serta meningkatkan taraf hidup mereka. Pada sisi lain, kesadaran
masyarakat akan nilai-nilai konservasi meningkat. Masyarakat tidak lagi
menebang kayu di dalam kawasan TN untuk memenuhi kebutuhan
akan kayu konstruksi. Masyarakat digugah untuk menanam pohon di
lahan mereka sendiri dan secara sadar tidak melakukan perburuan dan
penggembalaan di dalam kawasan TN.

4. Kolaboratif Berbasis Kekuatan Peranan Pihak


Lokal di TNBG
Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) yang terletak di Kabupaten
Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara, memiliki luas 108.000 ha.
Ekosistem hutan dataran rendah dan hutan pegunungannya menjadi
rumah bagi 47 jenis mamalia, 247 jenis burung, 240 jenis tumbuhan
berpembuluh, berbagai jenis lainnya. Ditemukan juga 1.500 jenis
mikroba, di mana 115 jenis isolat diketahui berpotensi dimanfaatkan oleh
manusia.
Inisiatif kolaborasi pengelolaan ekosistem taman nasional berbasis
kekuatan peranan pihak lokal dimulai sejak tahun 2003. Banyak isu
strategis yang menjadi titik tolak untuk membangun pertimbangan
pentingnya kolaborasi, antara lain: kemantapan kawasan, keterbatasan
akses masyarakat, lemahnya institusi lokal, keterbatasan lahan, pergeseran
budaya, maraknya penebangan liar, eksplorasi tambang, perambahan
hutan, perbedaan persepsi dan kepentingan antar para pihak, serta belum
tersedianya mekanisme alternatif pendanaan jangka panjang. Tingginya
kompleksitas interaksi faktor-faktor sosiobiogeofisik yang menuntut
adanya penanganan yang lebih komprehensif, multisektor, multipihak,
multidisiplin ilmu dan multi layers yang mengaitkan dengan aspek-
aspek sosial budaya, sosial ekonomi, sosial politik dan ekologi serta aspek
dinamika otonomi daerah (Perbatakusuma et al. 2005).
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 123

Lebih lanjut Perbatakusuma et al. (2005) menjelaskan keterlibatan


para pihak dalam kolaborasi pengelolaan di TNBG diharapkan akan
lebih mampu meningkatkan keseimbangan kontrol yang sama besar
antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi-organisasi
nonpemerintah dengan masyarakat setempat. Diharapkan TNBG dapat
dikelola lebih efisien dan efektif serta keutuhan ekologisnya terlindungi
dalam jangka panjang, sehingga tidak menjadi sumber daya yang open
access. Perlindungan jangka panjang TNBG akan memberi manfaat yang
adil bagi kepentingan nasional, masyarakat setempat, pemerintah daerah,
dan masyarakat global.
Pelibatan para pihak dalam mewujudkan kolaborasi pengelolaan TNBG
difasilitasi oleh Tim Inisiator Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional
Batang Gadis yang dibentuk melalui Surat Direktur Konservasi Kawasan
Ditjen PHKA No. 01/Kpts/IV/2005. Tim ini diketuai oleh Kepala BKSDA
Sumatera Utara II dan beranggotakan perwakilan pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten, Konsorsium Bitra, Yayasan Batang Gadis, dan
Conservation International Indonesia.
Dukungan dari pemerintah provinsi, Nota Kesungguhan Kerja Sama
Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan Berkelanjutan
Taman Nasional Batang Gadis, penerbitan Keputusan Menteri Kehutanan
mengenai penunjukkan TNBG, deklarasi Penyelamatan Hutan Alam
Milik Kita Bersama di Kabupaten Mandailing Natal, legalitas proses
kegiatan kolaborasi pengelolaan TNBG melalui Surat Direktur Konservasi
Kawasan Ditjen PHKA, hingga terbentuknya Forum Kelola Batang Gadis
pada tanggal 19 Juni 2005 yang akan melaksanakan kesepakatan para
pihak merupakan wujud awal keseriusan para pihak.
Forum Kolaborasi Pengelolaan Ekosistem Taman Nasional Batang
Gadis yang selanjutnya disebut Forum Kelola Batang Gadis merupakan
representasi seluruh anggota dalam penyelenggaraan kegiatan organisasi
kolaborasi pengelolaan sehari-hari; terdiri atas perwakilan-perwakilan
pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga-lembaga swadaya
masyarakat dan organisasi-organisasi konservasi rakyat (OKR) yang
pembentukannya difasiltasi oleh Konsorsium BITRA. Forum Kelola
Batang Gadis berperan sebagai mitra kerja strategis pemerintah
untuk memperkuat pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis dan
124 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

pengembangannya. Visi bersama yang telah ditetapkan para pihak


adalah terwujudnya masyarakat sejahtera di Taman Nasional Batang
Gadis lestari dengan prinsip-prinsip kolaborasi pengelolaan. Misinya
adalah memfasilitasi, menggerakkan, mengawasi dan memberi kontribusi
terhadap pengelolaan ekosistem Taman Nasional Batang Gadis.
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
dalam kegiatan kolaborasi pengelolaan, telah dan akan dilakukan berbagai
kajian menyangkut pemetaan kelompok kepentingan dan kapasitasnya,
kapasitas teknik pengelolaan taman nasional, strategi penghidupan
masyarakat (community livelihood strategy), rencana opsi pemanfaatan
berkelanjutan, potensi pariwisata alam berbasis masyarakat, penegakan
hukum, mekanisme alternatif pendanaan jangka panjang, insentif
konservasi, serta monitoring biodiversitas di TNBG.
Capaian penting dari proses-proses yang berjalan antara lain adanya
kesepakatan para pihak tentang kolaborasi pengelolaan ekosistem
TNBG, tersusunnya Rencana Strategis Kolaborasi Pengelolaan TNBG,
terbentuknya Konsorsium BITRA (Bitra Indonesia, Walhi Sumatera
Utara, Pusaka, Samudra) untuk mendukung usaha konservasi TNBG,
terbentuknya 10 organisasi konservasi rakyat (OKR) yang mewakili 71 desa
yang bertetangga dengan TNBG dan akan berperan serta aktif dalam usaha
pelestarian TNBG. Selain itu, capaian penting lainnya yaitu meningkatnya
investasi dan infrastruktur konservasi, terciptanya lingkungan politik dan
kebijakan lokal yang kondusif untuk menyelenggarakan proses kolaborasi
pengelolaan TNBG, serta terselenggaranya sharing sumber daya para
pihak seperti finansial (APBD Pemkab Madina, APBN, lembaga-lembaga
donor luar negeri) termasuk sumber daya manusia dan keahlian untuk
mendukung kegiatan kolaborasi pengelolaan.
Penataan zonasi yang belum mengakomodasikan kepentingan para
pihak, akses pemanfataan taman nasional oleh pemerintah kabupaten
dan masyarakat lokal, serta adanya potensi beroposisi dengan kelompok
kepentingan yang selama ini mengambil manfaat eksploitatif dari TNBG
seperti spekulator tanah, petualang politik atau pelaku bisnis (perusahaan
pertambangan mas PT Sorikmas Mining atau pemodal penebangan liar)
merupakan kendala utama dalam kolaborasi di TNBG.
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 125

5. Model Pengelolaan Tracking Berbasis


Masyarakat di TN Gunung Rinjani
Inisiatif pengembangan model pengelolaan tracking berbasis masyarakat di
TN Gunung Rinjani didorong oleh situasi di mana pengelolaan tracking
belum terorganisir. Rebutan tamu oleh track organizer (TO), guide (G),
atau porter (P); perang harga; dan gangguan terhadap tamu-tamu di
dalam kawasan kerap kali terjadi. Terlebih lagi masyarakat setempat
tidak diikutsertakan baik sebagai TO, guide, ataupun porter. Dengan
dikembangkannya model pengelolaan tracking berbasis masyarakat
diharapkan mampu mengoptimalkan pemanfaatan wisata alam di TNGR
berbasis masyarakat sehingga perekonomian masyarakat bisa meningkat.
Untuk membantu memberikan arahan dan pengembangan tracking di
TNGR dibentuk forum multipihak yang terdiri dari pemerintah, NGO,
swasta dan masyarakat. Forum ditetapkan melalui SK Gubernur NTB
No. 15 Tahun 2003 tentang Pembentukan Rinjani Trek Management
Board (RTMB) atau Badan Pembina Tracking Rinjani (BPTR). Badan ini
bertugas mengorganisir pelaku wisata yang terdiri dari TO, guide, porter
dan lain-lain dalam pengelolaan tracking, meningkatkan SDM melalui
pelatihan dan pembuatan aturan (awig-awig) tracking, dan membentuk
asosiasi (TO, guide, atau porter).
Melalui pembentukan RTMB atau BPTR sudah terbentuk Rinjani
Trekking Course (RTC) di Senaru dan Rinjani Information Center (RIC)
di Sembaleu. Selain itu, sudah terbentuk juga asosiasi yang menyediakan
guide dan porter yang terlatih dari masyarakat sehingga pendakian yang
baik dan nyaman untuk para tamu bisa terlaksana. Terlebih lagi fasilitas di
jalur tracking seperti pos, shelter, camping ground dan lain-lain juga sudah
tersedia. Pada akhirnya, pengembangan ekonomi masyarakat setempat
melalui kegiatan trekking di TNGR bisa tercipta.
Berakhirnya bantuan NZAID pada bulan Juni 2005 serta rendahnya
penerimaan pemerintah sesuai dengan tarif yang ditetapkan mengharuskan
upaya keras dari forum untuk mencari donor baru. Diperlukan juga
pemungutan dana konservasi untuk pengelola dan juga peninjauan tarif
tracking yang sudah ditetapkan.
126 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

6. Pelibatan Para Pihak dalam Pengelolaan TN


Bunaken
TN Bunaken merupakan penggabungan 2 fungsi Cagar Alam Laut
Manado Tua dan Taman Wisata Laut Bunaken. Penunjukannya sebagai
taman nasional dilakukan pada tahun 1991. Zonasi TN Bunaken
sudah ditetapkan sejak tahun 1997 dan sudah di-review melalui proses
konsultatif. Taman nasional juga sudah masuk ke dalam RTRW provinsi
dan kabupaten/kota.
Belum dirasakannya keuntungan dari taman nasional oleh masyarakat
luas, adanya fenomena saling ganggu antara pihak swasta dengan nelayan,
belum dipungutnya karcis masuk oleh taman nasional, dan maraknya
penangkapan ikan yang destruktif mendorong pelibatan para pihak dalam
pengelolaan Taman Nasional Bunaken. Inisiatif pelibatan para pihak ini
diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan masyarakat
secara berlanjut baik masa sekarang maupun bagi generasi yang akan
datang.
Melalui inisiasi NRM, sejak 1998 dibentuk Dewan Pengelolaan TN
Bunaken yang bersifat koordinatif dan konsultatif, Dewan Pengelolaan ini
terdiri atas masyarakat yang tergabung melalui Forum Masyarakat Peduli
Taman Nasional Bunaken (FMPTNB), pemerintah pusat (KaBTN),
pemerintah kota/kabupaten, swasta, Polda Sulawesi Utara, pemerintah
provinsi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi, Dinas Perikanan dan
Kelautan, serta akademisi. Pendanaan diperoleh dari sumbangan donor
seperti NRM dan WWF serta sumber internal. Komitmen sumbangan
dari para pihak belum terealisasi.
Selain penataan ruang/penataan zonasi, Dewan Pengelolaan TN Bunaken
melakukan kegiatan penarikan karcis masuk, pengelolaan fasilitas, sapu
pantai dan laut, pengamanan partisipatif, serta pemberdayaan masyarakat.
Pelibatan para pihak dalam pengelolaan TN Bunaken ini berimplikasi
positif terhadap kawasan, kapasitas masyarakat, dan kapasitas petugas
balai. Persentase tutupan karang meningkat 15% per tahun, jumlah
kasus pelanggaran menurun, jumlah pengunjung dan pemasukan dari
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 127

karcis meningkat. Pusat informasi dan pusat pelatihan/pendidikan


konservasi sudah terbangun. Tempat penjualan kerajinan masyarakat di
pusat kunjungan juga sudah tersedia. Manfaat lain yang dirasakan oleh
masyarakat di 32 pemukiman, berupa beasiswa dan dana konservasi untuk
desa senilai 8–10 juta/tahun berdasarkan proposal/gagasan yang diajukkan
oleh masyarakat sendiri. Yang perlu diperhatikan adalah meningkatkan
kualitas perencanaan dan kearifan penggunaan “dana konservasi kampung”
tersebut agar benar-benar sesuai dengan kebutuhan, kondisi, serta aspirasi
warga kampung bersangkutan karena dana tersebut tidak akan mampu
membiayai seluruh aspek/bidang pembangunan perkampungan.
Permasalahan yang dihadapi di lapangan bahwa kebutuhan operasional
dewan belum memenuhi pemasukan dari karcis, masalah kebersihan
kawasan dengan banyaknya sampah dari Manado, serta adanya
kemungkinan pembagian hasil kepada lebih banyak pihak dengan adanya
wacana pemekaran kabupaten. Sementara itu, penyaluran dana bagi hasil
belum berjalan sesuai harapan. Biaya karcis dibagi sebagai berikut: 80%
untuk dana konservasi dilaksanakan oleh Dewan Pengelola TN Bunaken;
7,5% untuk Pemda Sulawesi Utara; 5% untuk Pusat; 3,5% untuk
Pemda Kabupaten Minahasa; dan 3,5% untuk Pemda Kota Manado.
Terdapat kritikan terhadap pembagian ini, tapi secara teknis maupun
legal sistem tarif masuk TN Bunaken ini telah melalui pengkajian. Sistem
tarif masuk kawasan menganut prinsip universal “pajak lingkungan”;
yaitu penghimpunan dana dari pengunjung TNB harus sebesar
mungkin dikembalikan bagi usaha konservasi TNB itu sendiri. Dengan
demikian, wajar jika 80% dana hasil tarif masuk dialokasikan kembali
untuk membiayai kegiatan-kegiatan konservasi TNB, termasuk “Dana
Konservasi” bagi semua kampung (desa dan kelurahan) yang ada di TNB.
Sisanya sebanyak 20% kemudian dibagi untuk pemasukan kas negara dan
kas daerah: 5% untuk kas negara, 7,5% untuk kas daerah Provinsi Sulut,
3,75% untuk kas Pemerintah Kota Manado, dan 3,75% untuk kas daerah
Kabupaten Minahasa. Untuk menjaga keterbukaan informasi keuangan,
setiap bulan laporan keuangan disusun dan disampaikan kepada semua
anggota Dewan Pengelolaan TNB serta diberitakan secara luas melalui
website/internet, dan diberitakan kepada media massa secara berkala.
128 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

7. Kampung dengan Tujuan Konservasi (KDTK)


di TNGHS
KDTK di Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor adalah upaya masyarakat untuk melakukan perlindungan,
pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya alam yang berpegang teguh
pada nilai-nilai budaya lokal dengan prinsip kemandirian, pemerataan,
berkeadilan, kesetaraan, berkelanjutan, dan saling menghormati. Inisiatif
KDTK muncul untuk menjawab 3 isu pokok, yakni: (1) menurunnya
kualitas lingkungan yang disebabkan oleh pengelolaan yang tidak sesuai
dengan pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat sebelumnya (bersifat
homogen/hanya pinus saja) sehingga berdampak pada menurunnya
kesuburan tanah, kekurangan mata air dan rawan bencana alam; (2)
menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat akibat penurunan kualitas
dan cakupan wilayah pengelolaan yang disebabkan pengelolaan yang
bersifat monokultur (pinus saja) sehingga berdampak pada menurunnya
pendapatan masyarakat di mana mata pencahariannya bergantung pada
sawah dan kebun; dan (3) tidak jelasnya tata batas dan ruang kelola bagi
masyarakat yang mengakibatkan tumpang tindihnya ruang kelola bagi
warga dengan pihak lain.
Inisiatif KDTK adalah upaya untuk menjaga kelestarian hutan sekaligus
menyejahterakan masyarakatnya. Indikator yang digunakan adalah
masyarakat dapat merasakan manfaat yang sebesar-besarnya atas pengelolaan
hutan baik manfaat ekologi maupun manfaat ekonomi berupa terwjudnya
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat diberi
peluang atau akses pengelolaan hutan sesuai dengan kearifan lokal yang
ada (bersifat heterogen) khusus untuk lahan dudukan dan lahan lembur.
Selain kelembagaan internal kampung, hubungan kemitraan/koordinasi
dengan pemerintah desa dan organisasi pemuda, dan KSM yang terdiri
atas kelompok tani/organisasi tani lokal dan masyarakat yang tidak
termasuk kelompok tani; terdapat juga kelembagaan eksternal kampung.
Harapannya dalam pelaksanaan/gagasan program KDTK, KSM dapat
bermitra dengan kelompok tani tetangga kampung/kecamatan dan
pemerintah daerah pada tingkatan lokal. Selain itu juga dapat bermitra
dengan LSM, peneliti, BUMN, swasta, ataupun pemerintah pusat sesuai
dengan prinsip yang dibangun dalam program KDTK.
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 129

Melalui inisiatif KDTK, telah terbentuk Kelompok Swadaya Masyarakat


(KSM); dilakukannya pemetaan partisipatif di Kampung Nyungcung;
sosialisasi konsep KDTK; penghijauan/rehabilitasi lahan; serta penguatan
kelembagaan melalui diskusi rutin, studi banding, dan pelatihan inovasi
kebun dengan dampingan dari RMI dan ICRAF dalam program “Riung
Mungpulung”. Kendala penting yang ditemukan di lapangan adalah
pemahaman warga yang belum merata, ketidaksabaran dalam berproses,
perbedaan persepsi tentang tata ruang kelola, minimnya informasi, serta
penguasaan lahan garapan yang belum merata di tingkat warga (distribusi
lahan).

8. Model Kampung Konservasi (MKK) di


TNGHS
Maraknya aktivitas pembalakan liar, penambangan liar, perambahan
kawasan, ketidakjelasan tata batas serta tingginya ketergantungan
masyarakat terhadap sumber daya hutan adalah isu-isu penting yang
mendorong pengembangan model kampung konservasi (MKK). MKK
merupakan implementasi Mode; Desa Konservasi di TNGHS dengan
nama lain ”The Supprort for Community-Based Activities”. Kampung
Konservasi menurut versi MKK didefinisikan sebagai kampung yang di
dalamnya bisa melakukan aktivitas perlindungan secara mandiri, mampu
menjaga ekosistem, dan secara ekonomi bisa memberikan kesejahteraan
bagi masyarakat. Tujuan utama MKK adalah membangun masyarakat
agar bisa hidup bersama dengan TNGHS (Harmita 2009).
Tiga alat utama yang digunakan dalam Model Kampung Konservasi
(MKK) menurut Harmita (2009) yaitu: Pertama, melakukan observasi
bersama dengan masyarakat lokal untuk monitoring situasi kawasan,
membuat jaringan komunikasi yang kuat antara komunitas lokal, LSM
dengan TNGHS; Kedua, melakukan restorasi atau rehabilitasi kawasan
TNGHS yang rusak dengan melibatkan masyarakat lokal; Ketiga, bekerja
sama dengan pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal di TNGHS.
MKK dilaksanakan pada beberapa desa di sekitar TNGHS, seperti Desa
Sirna Resmi, Cipeuteuy, Gunung Malang, dan lain-lain. Kegiatan yang
dilakukan antara lain observasi bersama antara masyarakat dengan Polhut
130 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

TNGHS; survei kolaboratif tentang sosial ekonomi yang dilakukan


bersama oleh Polhut TNGHS, LSM, dan JICA; survei kampung di area
perluasan kawasan TNGHS yang dilakukan bersama antara Polhut, LSM,
dan Pemda Kabupaten Lebak, Bogor serta Sukabumi; workshop-workshop
di kampung-kampung site focus MKK tentang perencanaan aktivitas
bersama; serta pertemuan rutin di kampung-kampung site focus MKK
tentang progress activity MKK dan monitoring bersama aktivitas MKK
antara TNGHS (melalui field officer yaitu Polhut (field officer) yang tinggal
di kampung bersama masyarakat sebagai fasilitator) dan masyarakat.
Capaian penting dari MKK adalah kemunculan pam swakarsa dari
masyarakat untuk pengamanan hutan. Namun, project oriented dari
masyarakat dan para pihak menjadi persoalan penting dalam implementasi
MKK. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya mekanisme yang jelas
dalam suatu lembaga kolaborasi.

9. Pengelolaan Kolaboratif TN Laiwanggi


Wanggameti
TN Laiwanggi Wanggameti (TNLW) dengan luas 47.000 ha merupakan
salah satu kawasan konservasi yang memiliki fungsi penting sebagai kawasan
penyangga, pengatur air, habitat bagi kehidupan flora dan fauna dengan
77 jenis burung, dan 43 jenis kupu-kupu. Isu penting dalam pengelolaan
TNLW adalah keberadaan tambang di dalam dan di luar kawasan TNLW
(10 desa) yang berpotensi menimbulkan konflik, dan belum jelasnya
pembagian wilayah kelola pemanfaatan oleh masyarakat. Kedua isu inilah
yang kemudian mendorong inisiatif pengelolaan kolaborasi.
Tujuan utama yang ingin dicapai dari pengelolaan kolaboratif TNLW yaitu
tercapainya sinergi kepentingan dan aspirasi para pihak dalam pengelolaan
sumber daya alam, meningkatnya nilai tawar masyarakat kepada para
pihak, adanya batas definitif yang diakui dan diterima semua pihak, serta
terkoordinasikannya permasalahan di tingkat kawasan kepada para pihak.
Model kelembagaan yang dikembangkan untuk menuju implementasi
tata pengelolaan bersama di TNLW adalah Forum Komunikasi Kawasan
Konservasi Laiwanggi Wanggameti (FK3LW), Forum Anda Li Liku Pala
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 131

(FALP) yang merupakan forum antardesa untuk tingkat subkawasan di 4


wilayah (Korwil), Kelompok Mitra Pelestari Hutan (KMPH) yang berada
di desa-desa di sekitar kawasan, serta Kesepakatan Pengelolaan Alam
Desa (KPAD). FK3LW bekerja di tingkat kawasan untuk berkomunikasi
dengan mitra-mitra lain di luar desa, sedangkan pada tingkat subkawasan
dikoordinir oleh FKAD. Sementara KMPH merupakan ujung tombak
untuk memperkuat SDM dan kapasitas dengan membuat kelompok-
kelompok kerja dan punya rencana program desanya yang berwawasan
konservasi di TNLW juga sebagai jagawana lokal.
Kegiatan yang telah dilakukan antara lain penataan batas TNLW secara
partisipatif, pengelolaan konflik taman nasional secara partisipatif,
pembangunan demplot tanaman obat-obatan jenis lokal dan bahan
pewarna kain tenunan Sumba, dan pengamanan kawasan. Capaian penting
pengelolaan kolaboratif TNLW bahwa masyarakat tidak lagi tergantung
pada hutan. Masyarakat mengembangkan konsep “membawa hutan ke
kebun”. Masyarakat (melalui KMPH) telah mempunyai wilayah kelola
lahan di tanah milik yang disebut sebagai hutan keluarga yang ditanami
dengan berbagai jenis tanaman hutan (kayu maupun nonkayu, termasuk
tanaman obat-obatan).
Manfaat hutan keluarga yang dinikmati oleh masyarakat adalah peningkatan
pendapatan ekonomi masyarakat melalui sistem pengelolaan lahan yang
berkelanjutan. Masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga
akan kayu bakar, kayu bangunan, pakan ternak, sayur-sayuran, buah-
buahan, memperbaiki kesuburan tanah, mengurangi pengambilan yang
berlebihan terhadap hasil hutan, menjadi pembatas lahan yang menjadi
milik atau hak garap keluarga, dan menambah pendapatan (Wora dan
Raing 2006).
Kendala utama dalam implementasi pengelolaan kolaboratif TNLW
adalah tidak adanya pihak yang menjadi inisiator. Kendala lainnya yaitu
keterbatasan data, minimnya dukungan dana untuk KMPH, dan masih
tinggi egosentris para pihak sehingga tidak ada penurunan target masing-
masing pihak.
132 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

10. Pengusahaan Ekowisata Berbasis Masyarakat


di TNGHS
Inisiatif pengusahaan ekowisata berbasis masyarakat muncul untuk
merespons berbagai isu di lapangan. Isu yang dimaksud antara lain
terbatasnya lahan produksi masyarakat dalam enclave, terbatasnya usaha
ekonomi masyarakat, dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pada sisi lain, potensi objek wisata cukup tinggi tetapi belum dimanfaatkan
secara optimal.
Pengusahaan ekowisata berbasis masyarakat mengambil lokus di Blok
enclave Nirmala, Gunung Halimun Timur yang meliputi 5 kampung dalam
2 desa yaitu Desa Malasari dan Desa Bantar Karet. Unsur utama yang dapat
menarik ekowisatawan adalah keadaan alam atau pemandangan alam yang
masih asli sebagai bentukan alam tanpa campur tangan manusia.
Pendekatan ekowisata berbasis masyarakat mengembangkan bentuk
ekowisata di mana masyarakat lokal yang mempunyai kendali penuh
dan keterlibatan baik dalam manajemen dan pengembangannya maupun
dalam pengaturan sisa manfaat di dalam masyarakat. Melalui pengusahaan
ekowisata berbasis masyarakat diharapkan akan tercapai optimalisasi
peran masyarakat lokal dan payung hukum dalam ekowisata. Dalam
implementasinya, selain pihak TNGHS, pengusahaan ekowisata berbasis
masyarakat melibatkan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) Warga
Saluyu dan Yayasan Ekowisata Halimun (YEH). KSM berperan sebagai
pengelola akomodasi, konsumsi, guide lokal, kamtibmas, dan produksi
kerajinan (NTFP); sedangkan YEH mengambil peran untuk promosi,
marketing, tour operator, dan advokasi. YEH bekerja sama dengan
masyarakat yang tergabung dalam KSM Warga Saluyu mempersiapkan
kegiatan ekowisata ini melalui pelatihan capacity building.
Kolaborasi yang terjalin antara pihak BTNGHS dan KSM Warga Saluyu
dalam pelaksanaan kegiatan ekowisata berbasis masyarakat memang hanya
sebatas penyaluran para wisawatan yang datang berkunjung, sementara
masyarakat menyediakan tempat menginap bagi para wisatawan dan
berperan sebagai pemandu lokal, porter serta penyedia konsumsi. Namun
demikian, pengusahaan ekowisata berbasis masyarakat di blok enclave
Nirmala ini telah meningkatkan jumlah kunjungan menjadi ± 4.000 orang
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 133

per tahun sehingga secara bertahap perekonomian masyarakat mengalami


peningkatan, walaupun belum dapat dijadikan sumber pendapatan
utama. Distribusi income pertahun dari ekowisata Halimun diatur sebagai
berikut: 20% manajemen KSM, 20% perawatan infrastruktur, 20% dana
sosial, 10% promosi, 10% konservasi, 10% pendidikan KSM, dan 10%
keamanan wilayah/lingkungan.
Menurut Wulandari (2011), secara sosial pengembangan ekowisata berbasis
masyarakat berdampak positif pada peningkatan partisipasi masyarakat,
peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat tentang ekowisata,
pelestarian budaya lokal khususnya budaya sunda dan terjadi pula transfer
informasi antara masyarakat dengan para wisatawan. Sedangkan dampak
positif bagi kawasan yakni meningkatnya keamanan blok hutan di sekitar
enclave nirmala karena secara tidak langsung masyarakat dituntut untuk
menjaga sumber daya alam yang ada di sekitarnya.
Kendala yang ditemui di lapangan antara lain konsep kerja sama yang
belum optimal serta keterbatasan infrastruktur dan pendanaan. Kurangnya
komunikasi antara masyarakat dengan pihak taman nasional juga menjadi
alasan tidak berkembangnya ekowisata di daerah ini secara baik. Selain
itu, kelembagaan/SDM masyarakat lokal belum kuat dan belum berbadan
hukum. Lemahnya kelembagaan disebabkan oleh beberapa hal sebagai
berikut: 1) rendahnya mutu sumber daya manusia, 2) sulitnya melakukan
koordinasi dengan sesama anggota karena lemahnya keinginan untuk
berorganisasi, 3) terjadinya kecemburuan di antara sesama anggota karena
adanya perbedaan pendapatan dari kegiatan ekowisata, 4) adanya hubungan
kekeluargaan di antara sesama anggota menyulitkan dalam penerapan
aturan-aturan organisasi yang formal, dan 5) dilema kepemilikan lahan
karena mereka tinggal dan mengembangkan kegiatan ekowisata di lahan
pemerintah yang bukan milik mereka (Wulandari 2011).

11. Fasilitasi Hunian Orang Rimba di TNBD


Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Provinsi Jambi dengan
luasan 60.500 ha, terkait dengan 3 kabupaten (Batang Hari, Tebo dan
Sarolangun). TN Bukit Dua Belas untuk tempat hidup dan penghidupan
orang rimba. TNBD menjadi model spesifik TN, karena kelahirannya untuk
mengakomodir hak-hak suku asli yaitu orang rimba yang kehidupannya
134 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

sangat bergantung pada hutan. Pengelolaan TN didasarkan pada asumsi


bahwa TN serta pemberdayaan terhadap orang rimba akan menyiapkan
pilihan-pilihan alternatif kehidupan bagi orang rimba yang sesuai dengan
perubahan dan masa depan mereka.
Upaya kolaborasi yang didorong di Taman Nasional Bukit Dua Belas
(TNBD), Jambi menyangkut isu pengakuan eksistensi orang rimba.
Mereka turun-temurun hidup dan bergantung pada SDH sebelum
penunjukan TNBD pada tahun 2000. Ironisnya, rumah tinggal orang
rimba semakin terdesak karena tekanan degradasi hutan melalui ekspansi
perkebunan, illegal logging, dan perambahan oleh masyarakat luar kawasan.
Selain itu, kebijakan TNBD menyebabkan benturan antara kepentingan
perlindungan kawasan dengan kultur orang rimba. Pengelolaan TNBD
membatasi secara ketat pemanfaatan SDH oleh orang rimba yang hidup
secara nomaden dan memanfaatkan HHNK. Benturan pun terjadi antara
hukum formal dengan hukum adat orang rimba.
Kolaborasi konservasi di TNBD dikembangkan untuk melestarikan
kehidupan Orang Rimba dengan menyiapkan alternatif kehidupan yang
sesuai dengan perkembangan dan pilihan masa depan mereka. Sejak tahun
2002, LSM WARSI, Balai TNBD, dan BKSDA Jambi memfasilitasi
pembentukan lembaga kemandirian orang rimba sebagai upaya penyiapan
modal sosial agar berdaya dan mandiri dalam memperjuangkan hak
kehidupannya serta mampu bermitra dengan para pihak dalam pengelolaan
TNBD. Kegiatan peningkatan kapasitas orang rimba dilakukan dalam
bentuk pendidikan baca-tulis-hitung, bantuan kesehatan, fasilitasi
pengelolaan “hompongon” serta pengembangan kelembagaan.
Pengelolaan “hompongan” merupakan alternatif pemanfaatan lahan
berupa pembuatan agroforestri berbasis tanaman karet di kawasan
pinggiran TNBD sehingga membatasi interaksi luar dengan wilayah hidup
orang rimba. “Hompongan” juga merupakan bentuk penataan ruang
karena berfungsi sebagai sabuk daerah penyangga yang membentengi
kawasan TNBD dari tekanan perambahan. Kemudian, melalui Rencana
Pengelolaan TNBD telah dibuat zonasi berdasarkan pola pemanfaatan
ruang orang rimba, di samping juga penataan batas dengan mengeluarkan
ladang masyarakat dari luar kawasan. Kegiatan di desa-desa interaksi
difokuskan pada pembangunan mikro dan redistribusi lahan terlantar eks-
perusahaan sekitar TNBD.
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 135

Capaian dari kolaborasi ini adalah hak wilayah hidup orang rimba seluas
60.500 ha telah diakui melalui proses panjang, termasuk pencabutan
izin perusahaan pemegang konsesi hutan sekitar TNBD pada tahun
2006. Selanjutnya “hompongan” sangat efektif untuk menahan tekanan
perambahan, di samping menjadi sumber ekonomi orang rimba. Lembaga
kemandirian berjalan dalam mengelola “hompongan” dan akses pasar
hasil hutan yang dikembangkan kader orang rimba yang dididik juga oleh
penghulu adat. Program pemberdayaan masyarakat mulai mendapatkan
dukungan riil dari pemerintah daerah, berupa pemberian fasilitas kartu
sehat orang rimba, bantuan bibit dan alat-alat pertanian serta pembangunan
wana tani untuk desa.

12. Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri


Secara Kemitraan
Tahun 1998–1999 telah terjadi penjarahan besar-besaran di Taman
Nasional Meru Betiri (TNMB) sebagai imbas dari proses reformasi politik
nasional. Tidak kurang dari 2.500 ha kawasan hutan tanaman (jati) dan
hutan alam primer di TNMB mengalami penggundulan. Kondisi tersebut
disebabkan dulunya masyarakat belum banyak dilibatkan secara aktif
dalam pengelolaan hutan, di samping minimnya akses dan kontribusi
ekonomi dari kawasan TNMB. Isu inilah yang kemudian mengawali
upaya kolaborasi di TNMB.
Inisiatif kolaborasi konservasi lokal yang dibangun di TNMB bertujuan
untuk memberdayakan masyarakat lokal sebagai aktor utama pengelolaan
taman nasional dan mitra strategis Balai TNMB dalam mewujudkan
kelestarian kawasan dan kesejahteraan sosial. Masyarakat lokal sebagai
pihak yang paling dekat dan berinteraksi langsung dengan kawasan, adalah
pihak yang akan memperoleh dampak langsung (positif atau negatitf) dari
pengelolaan TNMB. Aktivitas yang dilakukan di antaranya: perencanaan
rehabilitasi secara partisipatif, sosialisasi pembentukan kelompok,
peningkatan kapasitas, dan pembagian peran kolaborasi dalam pengelolaan
zona rehabilitasi. Berbagai aktivitas tersebut difasilitasi oleh pendamping
lapangan dari KAIL (LSM lokal) dengan asistensi dari LATIN.
Rehabilitasi zona rehabilitasi TNMB sepenuhnya mengakomodasikan
kondisi sosial dan budaya masyarakat. Rehabilitasi hutan diimplementasikan
dengan sistem agroforestri untuk pengembangan tanaman obat-obatan asli
136 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

TNMB dan tanaman pangan (Murniati 2004). Pada tahun 1996, diawali
dengan pembuatan demplot seluas 7 ha yang dikelola bersama masyarakat
dengan aturan 1 KK menggarap 0,25–0,5 ha. Kemudian masyarakat lokal
diberdayakan dengan pembentukan kelompok tani hutan (KTH) yang
mengorganisir keterlibatan KK di tiap desa. Proses penguatan kelembagaan
petani dan peningkatan kapasitas dijalankan agar masyarakat memiliki
kemampuan manajerial dan teknis. Pengembangan industri tanaman obat
skala rumah tangga menjadi entry point peningkatan pendapatan ekonomi
masyarakat dengan dukungan akses pasar. Tuntutan rehabilitasi lahan
yang semakin besar mendorong sosialisasi dan replikasi di desa-desa lain.
Perluasan skala pengelolaan zona rehabilitasi, baik luas lahan dan jumlah
keterlibatan KTH ditindaklanjuti dengan berbagai aktivitas dengan tujuan
spesifik yaitu penguatan kelembagaan lokal, pembentukan jaringan KTH
antardesa, pembentukan lembaga konservasi tiap desa, dan pemetaan
partisipatif.
Rehabilitasi zona rehabilitasi TNMB yang bertumpu pada kepentingan
masyarakat telah memacu laju pemulihan hutan, walaupun belum
sepenuhnya mampu mengimbangi laju kerusakannya. Ada kepastian
pemanfaatan hasil bagi pelaku rehabilitasi menjadi kunci peningkatan
partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi (Murniati 2004).
Pengembangan model pengelolaan zona rehabilitasi di TNMB hingga
tahun 2006 memberikan implikasi positif, baik dari segi perluasan
dampak fisik, ekologi, sosial ekonomi, dan kelembagaan. Secara fisik,
skala pengelolaan zona rehabilitasi dengan agroforestri tanaman obat
sudah diperluas dari demplot 7 ha menjadi 2.250 ha. Secara ekologi, zona
rehabilitasi sudah dapat dihijaukan dengan sekitar 250.000 pohon. Secara
ekonomi, tumpang sari dapat memenuhi 52% kebutuhan pokok petani,
sementara hasil tanaman pokok mampu menyumbang pendapatan sekitar
Rp1 juta per tahun. Sementara itu, home industry Tanaman Obat Keluarga
(TOGA) mulai berkembang di tiap-tiap desa. Secara sosial, tercipta
simbiosis mutualisme dengan Balai TNMB karena masyarakat sekitar ikut
berperan dalam pengamanan kawasan. Secara kelembagaan, jumlah KTH
berkembang mencapai 108 buah sehingga mendorong pembelajaran
petani antardesa dan pengembangan kader konservasi potensial. Bahkan
terdapat 32 buah usaha bersama yang dikembangkan oleh jaringan KTH
tersebut.
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 137

13. Kolaborasi Swasta dalam Konservasi TN


Kutai
Taman Nasional Kutai (TNK) merupakan salah satu kawasan pelestarian
yang penting di Indonesia karena menyimpan contoh hutan hujan
Dipterocarpaceae dataran rendah dan hutan kayu ulin paling baik, paling
luas, dan khas di Kalimantan Timur. Potensi ekologisnya mengandung
11 dari 13 jenis primata Borneo, lebih dari separuh jenis mamalia Borneo
serta mengandung 80% dari seluruh jenis burung di Borneo.
Upaya kolaborasi di TNK berawal dari isu kepedulian perusahaan di
sekeliling TNK untuk mendukung kelestarian pengelolaan kawasan.
Seperti tertuang dalam perjanjian kerja sama antara Departemen
Kehutanan (Dephut) dengan Pertamina, PT Badak NGL, PT Porodisa,
PT Kiani Lestari, PT Surya Hutani Jaya, dan PT Kaltim Prima Coal
(KPC) pada tahun 1994, lahirlah perjanjian kerja sama antara Departemen
Kehutanan dengan perusahaan sebagai ”Mitra Kutai” (Friends of Kutai).
Kesepakatan tersebut akhirnya diperkuat dengan SK Dirjen Perlindungan
Hutan. Gagasan kolaborasi swasta ini didasari pada lokasi TN Kutai
yang dikelilingi perusahaan industri besar sehingga dapat mengundang
masyarakat pendatang yang berpotensi memberikan tekanan sosial
terhadap hutan.
Pada tahun 1995 anggotanya bertambah menjadi 8 (ditambah PT Pupuk
Kaltim dan PT Indominco Mandiri). Namun, seiring dengan berkurangnya
hutan di Kaltim, dua perusahaan kayu anggota Mitra Kutai kemudian tidak
aktif lagi, yaitu PT Porodisa dan PT Kiani Lestari. Kemudian pada tahun
2000, Mitra Kutai juga sudah mulai membuka ruang bagi pihak lain yaitu
LSM Yayasan BIKAL dan Natural Resource Management/NRM-USAID
untuk berpartisipasi dalam kegiatan Mitra Kutai. Perluasan keanggotaan
Mitra Kutai pada akhirnya terwadahi dalam Peraturan Menhut No. 19/
Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam
(KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Kelompok-kelompok
masyarakat juga ikut dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan Mitra Kutai.
Kegiatan yang dilakukan Mitra Kutai di antaranya penguatan kelembagaan,
peningkatan kapasitas, dan kemitraan pengelolaan TNK. Pertama,
penguatan kelembagaan dilakukan melalui pertemuan reguler dan tahunan
138 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

untuk membahas program kerja, membentuk sekretariat pelaksana dan


rekrutmen staf, usaha pembentukan Yayasan Mitra Kutai dan kegiatan
kampanye program, misalnya: program TV dan radio, pendidikan
lingkungan hidup, lomba lintas alam “Kutai Wana Rally”, lomba
cerdas cermat lingkungan hidup, hingga pembuatan bahan kampanye
lingkungan (sticker, kaos, kalender, poster, papan informasi, dan lain-
lain.). Kedua, peningkatan kapasitas dilakukan dengan perbaikan sarana
prasana (pengadaan citra landsat, sarana wisata, dan lain-lain), pelatihan
bagi SDM Balai TNK dan fasilitasi pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Ketiga, kemitraan program pengembangan TNK yang melibatkan peran
LSM, yaitu: resolusi konflik para pihak dan penguatan ekonomi masyarakat
sekitar. Keempat, Mitra Kutai terlibat dalam kolaborasi penyusunan
Rencana Pengelolaan TNK 2008–2012 bersama 3 pemda (Kabupaten
Kutai Timur, Kutai Kartanegara, dan Kota Bontang).
Yayasan Bina Kelola Lingkungan (Bikal) sebagai salah satu bagian dari
Mitra Kutai aktif melakukan kegiatan fasilitasi resolusi konflik melalui
pertemuan reguler, lokakarya resolusi konflik, studi sosial ekonomi, dan
pelatihan. Kegiatan lainnya adalah peningkatan kapasitas dalam pemasaran
konservasi melalui lokalatih, serta penguatan partisipasi publik melalui
dialog dan diskusi.
Kolaborasi konservasi ini akhirnya mendorong terbentuknya networking
TNK, baik secara institusi maupun personal. Mitra Kutai juga mampu
memotori penggalangan dana corporate social responsibility (CSR) yang
membantu kegiatan konservasi TNK. Kemudian berperan meningkatkan
kapasitas SDM Balai TNK dalam berbagai bidang, di samping bantuan
pembangunan fasilitas pengelolaan TNK. Program pengelolaan TNK juga
terpublikasikan melalui kegiatan promosi dan media melalui kolaborasi
Mitra Kutai. Lebih lanjut, kolaborasi Mitra Kutai dengan LSM mampu
meminimalkan konflik pengelolaan TNK dan menguatkan perekonomian
masyarakat lokal. Sambodo (2004) menegaskan beberapa keberhasilan
Mitra Kutai dalam melakukan pengelolaan konservasi TNK, yaitu: (1)
mendorong Balai TNK secara lembaga dan personel untuk membangun
jaringan dan bekerja sama dengan lembaga lain; (2) memperkenalkan TNK
melalui berbagai kegiatan dan media; dan (3) memperbaiki komunikasi
dengan masyarakat dalam kawasan TNK.
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 139

Sisi lain yang juga harus diakui bahwa Mitra Kutai belum benar-benar
menjadi lembaga yang terbuka, bahkan belum bisa membangun semangat
Pemda bahwa kemitraan ini dibentuk atas semangat banyak pihak
termasuk Pemda. Mitra Kutai belum berhasil didorong untuk menjadi
salah satu bentuk kolaboratif pengelolaan TN Kutai yang mampu
menjembatani kepentingan banyak pihak dalam pengelolaan TN Kutai.
Dalam melaksanakan program pengelolaan TNK, tidak jarang masing-
masing pemangku kepentingan, termasuk swasta yang tergabung dalam
Mitra Kutai menjalankan programnya secara terpisah (tidak terintegrasi
atau kurang koordinasi) sehingga hasilnya tidak optimal (Sambodo
2004).

14. Pengelolaan Kolaboratif di Taman Nasional


Kayan Mentarang
Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) memiliki karakter wilayah
yang unik baik dilihat dari segi posisi geografi, ekologi, sosial, politik, dan
ekonomi. Wilayahnya yang terbagi habis ke dalam 11 wilayah adat besar
menjadikan pengelolaan TNKM sangat kompleks dan menuntut usaha
keras untuk mewujudkan kelestarian serta keseimbangan fungsi ekologis,
ekonomis, serta sosial budaya. Atas dasar keinginan untuk berbagi
tanggung jawab, peran, dan manfaat dengan didukung oleh kearifan lokal
yang ada maka ditetapkan pengelolaan TNKM secara kolaboratif. Basis
legal pengelolaan kolaboratif TN Kayan Mentarang adalah SK Menteri
Kehutanan No. 1213/Kpts-II/2002, No. 1214/Kpts-II/2002, dan No.
1215/Kpts-II/2002 tanggal 4 April 2002 tentang Rencana Pengelolaan
TNKM, Pengelolaan Kolaboratif TNKM, dan Pembentukan Dewan
Penentu Kebijakan TNKM. Selanjutnya, untuk melaksanakan fungsi
pembinaan dan pengendalian pengelolaan kolaboratif di Taman Nasional
Kayan Mentarang, Menteri Kehutanan melalui Keputusan Menteri
Kehutanan No. 374/Menhut-II/2007 tanggal 14 November 2007
membentuk DP3K TNKM (Dewan Pembina dan Pengendali Pengelolaan
Kolaboratif Taman Nasional Kayan Mentarang).
Hingga saat ini, TNKM merupakan satu-satunya taman nasional yang
secara legal dinyatakan sebagai Taman Nasional Kolaboratif, dan
merepresentasikan secara formal hubungan antara pemerintah dengan
140 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

pemerintah kabupaten, serta perwakilan masyarakat adat dalam proses


pengambilan kebijakannya. Sejak tahun 2007 hingga kini, secara
administratif fungsi DP3K sudah dapat berjalan (meskipun belum optimal).
Namun, implementasi di tingkat lapangan masih perlu ditingkatkan
untuk lebih mengoptimalkan fungsi dan peran DP3K. Beberapa hal
yang dirasakan masih menjadi kendala bagi DP3K adalah permasalahan
dana, struktur kelembagaan, dan mekanisme hubungan kerja. Dengan
berubahnya nama DPK menjadi DP3K, perlu sosialisasi mengenai makna
perubahan bagi masyarakat dan diharapkan akan menjadikan lembaga ini
bisa berperan optimal secara bersama-sama dalam pengelolaan TNKM
pada masa yang akan datang.
Untuk melaksanakan tugas dan kewenangan DP3K-TNKM, atas dasar SK
Ketua DP3K-TNKM No. 01/DP3K-1/06/2008 dibentuklah Sekretariat
DP3K TNKM, dengan tugas utama melaksanakan peran pelayanan
administratif bagi DP3K sehingga memperlancar pelaksanaan tugas dan
wewenang DP3K dalam melakukan pembinaan dan pengendalian terhadap
pengelolaan kolaboratif TNKM. Walaupun demikian, tugas dan kewenangan
DP3K-TNKM masih perlu dijabarkan menjadi rincian kerja/kegiatan
(job description) yang bersifat operasional yang dipahami dan dilaksanakan
secara konsisten oleh komponen pembentuk DP3K-TNKM. Berbagai
pertemuan koordinasi telah dilakukan guna mewujudkan penjabaran
tersebut pada tataran operasional. Namun, hingga saat ini masih belum
bisa diimplementasikan secara optimal, karena berbagai hambatan, di
antaranya kendala dukungan dana operasional.
Sampai dengan 2009, biaya operasional DP3K-TNKM masih mengandalkan
dari dana kerja sama GTZ-WWF. Dengan demikian, alokasi anggaran
sampai dengan 2009 masih menjadi satu dengan pengeluaran dana oleh
Proyek GTZ-WWF. Sebagian besar alokasi dana diperuntukkan bagi
kegiatan koordinasi dan pengembangan mekanisme (tata hubungan) kerja
antara DP3K dengan para pihak, khususnya BTNKM, masyarakat, dan
para pihak lain yang juga menjadi stakeholder kunci dalam pengelolaan
TNKM.
Implementasi pengelolaan kolaboratif TNKM dimulai dengan upaya
pemetaan desa partisipatif di tiap wilayah adat besar beserta penggalian
peraturan adatnya. Dari sini diperoleh peta tata guna lahan 10 wilayah adat
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 141

besar dan menjadi konsep awal zonasi di TNKM. Selanjutnya, dukungan


teknis dari WWF telah banyak membantu masyarakat dalam mengatasi
beberapa permasalahan di wilayah mereka, seperti dukungan pelatihan
dan pembuatan peta tata guna lahan, serta pelatihan pengembangan
ekonomi dan budi daya. Semuanya merupakan bekal bagi masyarakat
yang diarahkan menjadi pengelola utama TNKM.
Salah satu capaian penting PKTN Kayan Mentarang adalah dilakukannya
devolusi pengelolaan Stasiun Penelitian di Lalut Birai kepada Badan
Pengelola Tanah Ulen (BPTU) yang merupakan bagian dari lembaga
adat masyarakat di Desa Long Alango, Kecamatan Bahau Hulu, Malinau.
Dalam hal ini BPTU diberi kewenangan penuh untuk mengelola Tana’
Ulen (Hutan Adat) dan Stasiun Penelitian yang selama ini telah dibangun
oleh WWF dan BTNKM bekerja sama dengan para pihak. Proses
penandatangan Nota Kesepahaman antara BTNKM dengan BPTU
dilakukan di Fakultas Kehutanan IPB, bersamaan dengan lokakarya para
pihak untuk menyusun program kolaboratif yang pelaksana utamanya
adalah BPTU.
Melalui proses di DP3K, capaian penting lain dalam PKTN Kayan
Mentarang adalah kesepakatan yang menyatukan zonasi menurut Peraturan
Menteri Kehutanan No.P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi
Taman Nasional dengan zonasi menurut masyarakat adat di TNKM.
Kesepakatan tersebut dinyatakan dalam Dokumen Kriteria dan Indikator
Zonasi TNKM yang ditandatangani oleh Kepala Balai dan disyahkan
oleh Direktur Kawasan Konservasi, Dirjen PHKA pada bulan Juli 2010.
Berdasarkan pemetaan dan hasil kalkulasi yang telah dilakukan, terjadi
perbedaan yang signifikan sebagai berikut: Berdasarkan P 56/Menhut-
II/2006 di TNKM terdapat 6 zona, yaitu: zona inti (119.400 ha), zona
rimba (219.600 ha), zona pemanfaatan (376.500 ha), zona tradisional
(399.100 ha), dan zona khusus (226.200 ha). Sedangkan menurut
aspirasi masyarakat adat, TNKM hanya memiliki 3 zona, yaitu: zona inti
(215.415,8 ha), zona pemanfaatan tradisional (813.712,7 ha), dan zona
khusus (317.542,9 ha). Gambar 14 menunjukkan Draft Peta Zonasi
yang menggambarkan kedua sistem zonasi tersebut. Untuk menghindari
terjadinya penafsiran sepihak, dokumen Kriteria dan Indikator Zonasi
TNKM dilengkapi dengan pengertian dan arahan pengelolaan yang jelas
mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada setiap zona.
142 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Sumber: WWF 2012


Gambar 14. Zonasi TNKM menurut Peraturan Menteri Kehutanan No.56/2006
yang ditampalkan (overlay) dengan Zonasi Menurut FoMMA
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 143

Berdasarkan dua capaian penting di atas, DP3K telah menyusun pedoman


pengelolaan zona pemanfaatan tradisional, yang utamanya terfokus pada
langkah-langkah yang diperlukan dalam mengakomodasikan hak-hak
masyarakat adat (WWF 2012). Pengelolaan zona pemanfaatan tradisional
pada dasarnya harus mampu mengakomodasikan seluruh kepentingan
masyarakat sesuai dengan adat yang berlaku, serta mendorong agar setiap
tindakan pemanfaatan sumber daya alam mampu menjamin kelestariannya.
Selain itu, pengelolaan zona ini harus dapat diintegrasikan dengan fungsi-
fungsi zonasi menurut Permenhut No. 56/2006. Secara garis besar strategi
pengelolaan zona pemanfaatan tradisional disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15. Strategi pengelolaan zona pemanfaatan tradisional


144 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

(a) Membangun Kesepakatan Mengenai Tema Pengelolaan


Wilayah adat yang dialokasikan sebagai zona pemanfaatan tradisional
merupakan wilayah di mana masyarakat menjalankan kehidupan
sehari-hari dan berinteraksi dengan sumber daya alam. Mengingat
fungsi penting wilayah tersebut dalam menopang kehidupan
masyarakat dan dalam konservasi sumber daya alam hayati, diperlukan
identifikasi seluruh tema pengelolaan berbasis adat dan menyepakati
prinsip-prinsip pengelolaan sesuai tema yang telah diidentifikasi. Selain
itu, diidentifikasi tema-tema pengelolaan sumber daya yang dikaji
berdasarkan pengenalan teknologi, atau inovasi baru yang potensial
dikembangkan sesuai modal sosial yang ada juga perlu diidentifikasi
bersama masyarakat. Beberapa contoh tema pengelolaan, baik yang
berbasis adat maupun inovasi baru, antara lain:
1. Pengelolaan Berbasis Adat
Pengelolaan Tana’ Ulen: Tanah yang dilindungi secara adat dan
pemanfaatannya diatur melalui hukum adat dikenal dengan nama
yang berbeda pada beberapa suku dayak di TNKM, antara lain:
Tana’Ulen (Suku Dayak Kenyah), Tana’ Ang (Dayak Kayan),
Tana’ Jakah (Dayak Punan), Tana’ Imud, Tana’ Lelumen.
Secara umum pengelolaan tana’ ulen secara adat mengatur akses
terhadap sumber daya alam, siapa yang memiliki akses, kegiatan
yang boleh dilakukan di tana ‘ulen, dan pemeliharaan tana’ ulen.
Peraturan pemanfaatan secara adat juga mengatur secara khusus
mengenai pemanfaatan beberapa jenis sumber daya alam, seperti:
kayu, hasil hutan nonkayu, tumbuhan obat-obatan, perburuan
satwa liar, penangkapan ikan, dan pemanenan anggrek. Selain itu
juga diatur mengenai pelanggaran dan sanksi, serta mekanisme
resolusi konflik dan penyelesaian kasus pelanggaran.
Pengelolaan tana’ ulen merupakan tema pengelolaan sumber daya
alam yang sejalan dengan prinsip-prinsip dan tujuan konservasi
sumber daya alam hayati yang perlu dikuatkan kelembagaan
pengelolaannya, termasuk: inventarisasi potensi, pengenalan
teknik pemanfaatan yang ramah lingkungan, dan menjamin
kelestariannya secara jangka panjang, serta mekanisme penegakan
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 145

peraturan adat yang berlaku. Selain itu, perlu dikembangkan


mekanisme kerja sama dan dukungan dari seluruh stakeholders
pengelolaan TNKM, khususnya Balai TNKM dan DP3K.
Pengelolaan Perburuan Satwa Liar: Kegiatan berburu di dalam
Zona Pemanfaatan Tradisional dapat menggunakan alat-
alat tradisional seperti tombak, anjing, parang, sumpit, jerat,
perangkap dan lain-lain. Penggunaan senjata api tidak diizinkan
sesuai dengan undang-undang negara. Pada saat ini penggunaan
senjata api telah banyak menggantikan penggunaan alat-alat
berburu tradisional, sehingga diperlukan penguatan kelembagaan
adat agar masyarakat bersedia untuk kembali menggunakan alat-
alat berburu tradisional. Selain itu, pelaporan setiap hasil buruan
oleh masyarakat kepada lembaga adat perlu dilakukan untuk
mengetahui apakah populasi satwa yang diburu masih dalam
kondisi baik atau menurun. Pengaturan perburuan satwa liar
merupakan tema yang sangat berkaitan dengan fungsi konservasi
jenis di TNKM, khususnya untuk mengembangkan peraturan
adat mengenai jenis satwa tidak boleh diburu, terutama jenis-
jenis yang memiliki kategori sangat langka atau sangat terancam
punah (critically endangered species), wilayah perburuan, dan masa
berburu.
Pengelolaan Penangkapan Ikan: Penangkapan ikan di dalam
Zona Pemanfaatan Tradisional dapat dilakukan dengan
menggunakan peralatan tradisional seperti pukat, jala, dan alat
pancing. Penangkapan ikan menggunakan listrik atau bahan
kimia tidak diizinkan. Banyak masyarakat setempat menggunakan
peralatan dengan tenaga baterai untuk membuat pingsan ikan
sehingga mudah ditangkap, walaupun banyak Wilayah Adat
telah melarangnya. Sebagai kesepakatan bersama, pelaksanaan
peraturan tersebut menjadi tanggung jawab Lembaga Adat lokal.
Tema pengelolaan ini sangat penting dalam upaya konservasi
keanekaragaman hayati perairan, khususnya dalam hal pelaporan
jenis dan jumlah ikan tangkapan para pelaku penangkapan ikan,
pengaturan ruang untuk penangkapan ikan dan perlindungan
146 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

jenis-jenis ikan yang mulai langka melalui penguatan peraturan


adat. Penguatan lembaga adat merupakan bagian penting dalam
tema pengelolaan ini.
Pengelolaan Ladang Gilir Balik: Sistem tradisional ladang gilir
balik yang dilakukan oleh masyarakat adat merupakan cara
pertanian yang produktif, ekonomis, memerlukan input usaha
dan modal minimal, serta tidak menyebabkan kerusakan hutan
bila dilakukan pada skala yang seimbang dengan daya dukung
wilayah. Tema pengelolaan ini penting untuk dijadikan basis bagi
penataan ruang mikro wilayah adat, serta memahami pola suksesi
hutan di TNKM dengan memantau jenis-jenis flora dan fauna
yang terdapat pada berbagai kelas umur ladang. Pengembangan
sistem pelaporan masyarakat kepada lembaga adat mengenai
spesies flora-fauna yang ditemukan di berbagai kelas umur ladang,
merupakan langkah awal yang sangat penting untuk menemu-
kenali pengembangan pengelolaan agro-ekosistem lestari.
Pengelolaan Sawah (Irigasi-Gunung): Di bagian utara TNKM
masyarakat umumnya menanam padi sawah irigasi. Di bagian
dataran tinggi di Krayan, masyarakat melakukan sistem terpadu
untuk budi daya sawah dan menggunakan kerbau untuk
membajak tanah. Walaupun mayoritas masyarakat Kenyah,
Kayan, dan Punan yang tinggal di bagian selatan dan tengah
taman nasional merupakan peladang padi dengan sistem gilir
balik, mereka juga membudidayakan sawah di daerah yang rata
dekat sungai sekitar desa. Tema pengelolaan sawah dan agro-
ekosistem yang telah dibangun berdasarkan sistem pengetahuan
tradisional perlu didokumentasikan dan dipertahankan melalui
penataan ruang mikro wilayah adat. Pengembangan sistem
pelaporan masyarakat kepada lembaga adat mengenai spesies
flora fauna yang ditemukan, merupakan langkah awal yang sangat
penting untuk menemu-kenali pengembangan pengelolaan agro-
ekosistem lestari.
Pengelolaan Pemanenan Gaharu: Gaharu merupakan sumber
ekonomi penting bagi masyarakat TNKM, walaupun pada saat
ini banyak mengalami penurunan sediaannya di alam akibat
pemanenan berlebihan, khususnya bila dilakukan oleh masyarakat
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 147

dari luar wilayah adat. Pemanenan gaharu dengan didasarkan pada


sistem pengetahuan tradisional diharapkan mampu menjamin
kelestarian spesies yang bernilai sangat tinggi tersebut. Tema
pengelolaan ini perlu dikembangkan dengan membangun sistem
pemanenan yang lebih sistematis dan menjamin kelestariannya.
Pencatatan produksi gaharu yang diperoleh masyarakat, melalui
sistem pelaporan masyarakat kepada lembaga adat, perlu
dilakukan agar diketahui kapasitas produksi lestari gaharu pada
zona pemanfaatan tradisional. Selain itu, penguatan kelembagaan
adat untuk mengembangkan peraturan adat bagi pemanfaaan
gaharu lestari perlu dilakukan, termasuk penguatan kapasitas
penegakan larangan adat bagi orang luar yang memanen gaharu
di wilayah adatnya.
Pengelolaan Pemanenan Rotan dan Hasil Hutan Bukan Kayu:
Rotan dan hasil hutan bukan kayu, termasuk tumbuhan obat,
merupakan sumber ekonomi dan budaya bagi masyarakat TNKM.
Tema pengelolaan ini penting untuk mengembangkan sistem
pemanfaatan yang mampu menjamin kelestarian sediaannya di
alam, serta meningkatkan nilai tambahnya bagi masyarakat adat.
Tindakan untuk merekam hasil perolehan masyarakat, melalui
sistem pelaporan masyarakat kepada lembaga adat, merupakan
langkah awal yang sangat penting untuk menemu-kenali sistem
pemanenan lestari.
2. Pengelolaan Inovatif
Selain pengelolaan berbasis adat-istiadat masyarakat, beberapa
pengelolaan inovatif yang mengenalkan teknologi dan ilmu
pengetahuan modern mungkin dapat disepakati sebagai tema
pengelolaan wilayah adat, antara lain:
Budi Daya Gaharu: Sebagai komoditas bernilai ekonomi tinggi,
budi daya gaharu merupakan tema pengelolaan yang menarik,
baik dilakukan secara in-situ melalui cara permudaan alam atau
buatan, maupun secara ek-situ dengan menanam gaharu di
ladang-ladang masyarakat yang diinokulasi dengan jenis kapang
penghasil gaharu. Tema pengelolaan ini membutuhkan kerja
sama dengan lembaga penelitian atau perguruan tinggi dan
penguatan kapasitas masyarakat untuk mengembangkan modal
148 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

sosial budi daya gaharu. Penguatan kapasitas lembaga adat juga


merupakan prasyarat penting untuk mendorong keberhasilan
budi daya gaharu pada masa yang akan datang.
Budi Daya Rotan: Sebagaimana gaharu, rotan juga memiliki
prospek ekonomi yang tinggi, mengingat di berbagai ekosistem
alam di Indonesia sediaan rotan telah sangat menurun. Budi
daya rotan dapat dilakukan secara in-situ di seluruh wilayah
adat dan secara ek-situ di ladang-ladang masyarakat. Tema
pengelolaan ini membutuhkan kerja sama dengan pemerintah
daerah, lembaga penelitian atau perguruan tinggi, dan penguatan
kapasitas masyarakat untuk mengembangkan modal sosial budi
daya rotan. Penguatan kapasitas lembaga adat juga merupakan
prasyarat penting untuk mendorong keberhasilan budi daya
rotan dan pemasarannya.
Budi Daya Ikan: Budi daya ikan lokal melalui sistem karamba
atau bendung pada anak-anak sungai yang dilindungi merupakan
tantangan pengembangan ekonomi yang dapat dikembangkan
sebagai tema pengelolaan. Sistem budi daya ikan lokal diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani
yang sehat dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui
sistem perdagangan lokal.
Penangkaran Satwa Liar dan Tumbuhan Bernilai Ekonomi
Tinggi: Walaupun masih membutuhkan penelitian, budi daya
beberapa spesies satwa liar seperti cucak rawa dan kucica, serta
spesies anggrek unik memiliki prospek ekonomi yang baik pada
masa yang akan datang. Tema pengelolaan ini membutuhkan
penguatan kapasitas masyarakat untuk mengembangkan modal
sosial penangkaran satwa liar dan tumbuhan langka, serta kerja
sama dengan pemerintah daerah, Balai TNKM, DP3K, dan PT
PLN.
Pengelolaan Listrik Mikrohidro: Berdasarkan Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral No. 31 Tahun 2009, PT PLN
(Persero) wajib membeli tenaga listrik dari pembangkit tenaga
listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan
menengah dengan kapasitas sampai dengan 10 MW atau kelebihan
tenaga listrik (excess power) dari badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 149

masyarakat guna memperkuat sistem penyediaan tenaga listrik


setempat. Lembaga Adat dapat mengembangkan pembangkit
tenaga listrik mikrohidro secara swadaya atau berkolaborasi
dengan mitra untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, apabila
dimungkinkan dapat mengembangkan bisnis tenaga listrik
berbasis mikrohidro. Tema pengelolaan ini membutuhkan kerja
sama dengan pemerintah daerah, Balai TNKM, DP3K, dan PT
PLN.
Pengelolaan Ekowisata: Walaupun disadari bahwa pengembangan
ekowisata akan menghadapi kesulitan akibat keterpencilan
wilayah, tema pengelolaan ini patut dikembangkan mengingat
daya tarik wisata di TNKM sangat tinggi, serta dukungan terhadap
upaya konservasi dan peningkatan penghidupan masyarakat
secara berkelanjutan (sustainable livelihood). Tema pengelolaan
berbasis jasa lingkungan ini memiliki ceruk pasar global
yang cukup luas. Namun, pengembangannya membutuhkan
dukungan seluruh stakeholders TNKM, baik pemerintah daerah,
lembaga penelitian, perguruan tinggi, pemerintah provinsi dan
pemerintah, LSM serta para pelaku bisnis wisata yang bersedia
membela konservasi dan memberikan manfaat bagi masyarakat
lokal. Tema pengelolaan ini membutuhkan penguatan kapasitas
lembaga adat dan masyarakat untuk mengembangkan modal
sosial sebagai tuan rumah bagi wisatawan minat khusus.
(b) Melakukan Penataan Ruang Mikro di Wilayah Adat
Berdasarkan tema-tema pengelolaan yang telah disepakati, pemetaaan
ruang yang diperlukan untuk menjalankan tema-tema tersebut dapat
disepakati untuk seluruh wilayah adat. Hasil pemetaan tersebut
kemudian dikaji secara mendalam untuk menentukan rencana
penggunaan ruang di seluruh wilayah adat serta pengembangan
peraturan adat mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
pada setiap zona mikro yang ditetapkan. Proses penataan ruang mikro
di wilayah adat harus dilakukan secara partisipatif dan transparan
untuk menghindarkan terjadinya konflik vertikal maupun horizontal.
Dalam hal ini, dukungan lembaga adat, Balai TNKM, FoMMA, dan
pemerintah daerah sangat penting untuk mengawal seluruh proses
penataan tersebut.
150 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

(c) Melakukan Perencanaan Pemanfaatan Ruang


Berdasarkan tema-tema pengelolaan dan penataan ruang mikro
yang disepakati, dapat dilakukan perencanaan pemanfaatan
ruang secara partisipatif dengan tetap mengakomodasikan
seluruh aspirasi masyarakat adat dan mempertimbangkan prinsip
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Perencanaan
difokuskan pada tujuan masing-masing tema pengelolaan yang
disepakati guna meningkatkan penghidupan masyarakat dan
kinerja pengelolaan TNKM sebagai kawasan konservasi. Setiap
proses harus mengutamakan pengetahuan tradisional sebagai basis
bagi setiap tindakan yang direncanakan, diikuti dengan penguatan
sistem administrasi pemanfaatan sumber daya alam untuk menjamin
terjadinya akumulasi pengetahuan mengenai data dasar sumber
daya alam di TNKM, intensitas pemanfaatannya, dan keberlanjutan
pemanfaatannya pada masa yang akan datang. Selain itu, perencanaan
harus mampu mengidentifikasi mitra strategis untuk setiap tema
pengelolaan dan dukungan pendanaan dalam implementasinya, baik
dari dana pemerintah, dana publik maupun investasi swasta.
(d) Pendelegasian Wewenang Pengelolaan
Pendelegasian kewenangan pengelolaan dari pemerintah, dalam hal
ini Balai TNKM, kepada masyarakat adat dengan mitra strategisnya
merupakan tahapan kunci bagi keberhasilan pengelolaan kolaboratif
TNKM. Pengalaman dalam hal delegasi kewenangan pengelolaan
Tana’ Ulen di Bahau Hulu kepada BPTU, merupakan langkah jitu
yang dapat diperluas cakupan tema dan wilayahnya. Pendelegasian
wewenang perlu diikuti dengan penguatan pemahaman masyarakat
akan pentingnya nilai-nilai konservasi TNKM, serta pendampingan
oleh Balai TNKM, DP3K, FoMMA, dan seluruh stakeholders
pengelolaan TNKM secara kolaboratif. Delegasi kewenangan yang
dilandasi dengan prinsip saling percaya, saling menghomati, dan saling
memberikan manfaat secara perlahan akan membangkitkan tanggung
jawab dan tanggung gugat masyarakat bersama Balai TNKM dalam
mengelola seluruh fungsi konservasi, baik fungsi perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan sumber daya alam hayati dan
ekosistem, maupun pemanfaatan secara berkelanjutan spesies dan
ekosistem di kawasan tersebut.
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 151

(e) Penguatan Kelembagaan Lokal


Penguatan kelembagaan lokal difokuskan pada penguatan kapasitas
lembaga adat lokal dan mekanisme koordinasinya dengan FoMMA,
Balai TNKM, dan DP3K. Penguatan kelembagaan ini diharapkan
mampu menguraikan secara jelas aturan main pengelolaan zona
pemanfaatan tradisional yang mengintegrasikan peraturan adat dan
hukum nasional, serta pembagian peran yang jelas bagi seluruh mitra
TNKM, dengan aktor utama masyarakat adat dan Balai TNKM.
Penguatan kelembagaan lokal membutuhkan dukungan kebijakan
dari pemerintah dan pemerintah daerah, penguatan manajerial
lembaga adat, FoMMA dan DP3K, serta dukungan pendanaan dari
seluruh mitra TNKM. Secara kumulatif, penguatan kelembagaan
lokal harus mampu meningkatkan kapasitas pengelolaan TNKM dan
mendongkrak kinerja pengelolaan kolaboratif TNKM.
(f) Pengembangan Program Kolaboratif
Dalam setiap tema pengelolaan yang disepakati, perlu dikaji
kemungkinan pengembangan program kolaboratif yang berorientasi
pada tercapainya tujuan setiap tema, yaitu: peningkatan kualitas
penghidupan masyarakat dan konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya. Pengembangan program kolaboratif harus menjadi
bagian dari rencana pemanfaatan ruang pada zona pemanfaatan
tradisional sebagaimana telah diuraikan pada subbab sebelumnya.
Pengembangan program kolaboratif pada dasarnya merupakan arena
bagi para mitra strategis dalam memberdayakan masyarakat adat
agar mampu mengimplementasikan kesepakatan untuk setiap tema
pengelolaan yang telah dituangkan dalam rencana pemanfaatan ruang.
Pengembangan program kolaboratif harus berpegang teguh pada
ketersediaan modal alam, modal sosial, dan kapasitas riil masyarakat
adat untuk mengadopsi setiap inovasi yang mungkin berkembang
dalam prosesnya menurut waktu.
(g) Peran Para Pihak
Secara umum, peran para pihak adalah memberikan dukungan
terhadap masyarakat adat agar secara mandiri mampu mengelola
sumber daya alam di wilayah adatnya secara berkelanjutan dan
mengedepankan prinsip-prinsip konservasi sumber daya alam
152 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

hayati dan ekosistemnya. Dukungan yang diberikan dapat berupa


dukungan kebijakan, penguatan kapasitas teknis dan manajerial,
kapasitas lembaga adat, dan dukungan finansial. Dalam konteks
ini, mitra strategis bagi masyarakat adat dan lembaga adatnya adalah
Balai TNKM, FoMMA, DP3K, dan Pemerintan Daerah. Dalam
pelaksanaannya, para mitra strategis dapat mengembangkan jejaring
kerja sesuai tema-tema pengelolaan yang telah disepakati.
(h) Mekanisme Pendanaan
Pendanaan dalam pengelolaan zona pemanfaatan tradisional harus
mengedepankan swadaya masyarakat, didukung dengan dana APBN
dari Balai TNKM dan dana APBD dari pemerintah daerah. Melalui
pengembangan program kolaboratif, dukungan pendanaan dari
dana publik melalui LSM atau Donor, serta investasi swasta dapat
diberikan guna meningkatkan keberdayaan masyarakat adat dalam
mengimplementasikan rencana kerja sesuai aturan main untuk setiap
tema yang disepakati.
Selain praktik pengelolaan kolaborasi seperti diuraikan di atas, dari
hasil workshop pengelolaan kolaboratif taman nasional tahun 2009
yang diselenggarakan WWF Indonesia dan GTZ, secara umum dapat
diketahui bahwa kegiatan dominan dalam pengelolaan taman nasional
secara kolaboratif adalah perlindungan dan pengamanan potensi kawasan,
penelitian dan pengembangan, pengembangan sumber daya manusia, serta
peningkatan partisipasi masyarakat. Adapun fondasi penting pengelolaan
secara kolaboratif, yaitu perencanaan taman nasional justru baru
dilaksanakan 4 taman nasional. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan
konseptual mengenai pengelolaan kolaboratif belum dimiliki oleh seluruh
taman nasional. Informasi selengkapnya disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Jenis Kegiatan menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 yang telah
dikolaborasikan di delapan taman nasional peserta workshop pengelolaan kolaboratif taman nasional tahun
2009
No. KEGIATAN KOLABORASI TNKM TNS TNBK TNTN TNBB TNWasur TNBW TNGHS
1. A. Penataan Kawasan  
1. Dukungan dalam rangka  X (Zonasi dilakukan (dalam X   
percepatan tata batas kawasan/ melalui proses proses)
pemeliharaan batas. konsultasi publik)
2. Penataan Zonasi.
2. Penyusunan Rencana Pengelolaan 
Kawasan Suaka Alam dan atau (dibuat X X  X X  
Kawasan Pelestarian Alam sebelum (dalam penyusunan (dalam
ada BTN) RKL dilibatkan) proses)
3. Pembinaan Daya Dukung Kawasan
1. Inventarisasi/monitoring flora X  X  X X  
fauna dan ekosistem. (orang utan, flora)
2. Pembinaan populasi dan habitat
jenis.
3. Monitoring populasi dan habitat
jenis.
4. Rehabilitasi kawasan di luar
cagar alam dan zona inti taman
nasional.
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
153
154
Tabel 4. Jenis Kegiatan menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 yang telah
dikolaborasikan di delapan taman nasional peserta workshop pengelolaan kolaboratif taman nasional tahun
2009 (lanjutan)
No. KEGIATAN KOLABORASI TNKM TNS TNBK TNTN TNBB TNWasur TNBW TNGHS
4. Pemanfaatan Kawasan 
1. Pariwisata alam dan jasa X  (ada inisiasi para X    
lingkungan (agroforestry dan pihak untuk
 Studi potensi dan obyek ekowisata di mengembangkan
wisata alam dan jasa beberapa desa) ekowisata)
lingkungan
 Perencanaan aktivitas wisata
alam
2. Pendidikan bina cinta alam dan
interpretasi
 Menyusun program
interpretasi
 Pengembangan media,
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

sarana-prasarana interpretasi
5. Penelitian dan Pengembangan
1. Pengembangan program       X 
penelitian flora, fauna dan
ekosistemnya
2. Identifikasi/inventarisasi sosial,
budaya masyarakat
Tabel 4. Jenis Kegiatan menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 yang telah
dikolaborasikan di delapan taman nasional peserta workshop pengelolaan kolaboratif taman nasional tahun
2009 (lanjutan)
No. KEGIATAN KOLABORASI TNKM TNS TNBK TNTN TNBB TNWasur TNBW TNGHS
6. Perlindungan dan Pengamanan 
Potensi Kawasan   (ada inisiasi para     
 Penguatan pelaksanaan pihak untuk
perlindungan dan pengamanan mendukung
 Penguatan pencegahan dan pengamanan
penanggulangan kebakaran hutan kawasan)
7. Pengembangan Sumber Daya Manusia 
dalam rangka mendukung pengelolaan X  (ada inisiasi para     
KSA dan KPA pihak untuk
 Pendidikan dan Pelatihan mendukung
terhadap petugas. pendidikan dan
 Pendidikan dan Pelatihan pelatihan thd
terhadap masyarakat setempat. masyarakat)
8. Pembangunan Sarana dan Prasarana 
dalam rangka menunjang pelaksanaan   (ada inisiasi para  X  X 
kolaborasi pihak)
 Sarana pengelolaan
 Sarana pemanfaatan
9. Pembinaan Partisipasi Masyarakat 
 Program peningkatan   (ada inisiasi para     
kesejahteraan masyarakat pihak)
 Program peningkatan kesadaran
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

masyarakat
Keterangan:
155

= Telah dikolaborasikan; X = Belum dikolaborasikan atau dikolaborasikan dalam intensitas rendah


Sumber: WWF (2009)
156 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

B. Pelajaran dari Praktik Pengelolaan


Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
PKTN dapat dikenali dengan menggunakan pendekatan sebagaimana
disajikan dalam Gambar 16. Dalam pendekatan tersebut, pengelolaan
kolaboratif dipandang sebagai instrumen pengelolaan yang targetnya
adalah: (1) Terwujudnya pengelolaan konflik atas sumber daya alam,
termasuk lahan; (2) Mengoptimalkan manfaat taman nasional, baik
secara sosial maupun ekonomi; (3) Mewujudkan pengelolaan taman
nasional mandiri. Untuk mencapai target tersebut diperlukan visi dan
spirit bersama—saling percaya (mutual trust), saling menghargai (mutual
respect), dan saling menguntungkan (mutual benefit)—yang kemudian
dijadikan basis dalam penyusunan rencana kolaboratif melalui proses-
proses multipihak.

Untuk menjamin agar proses-proses tersebut berjalan sesuai harapan,


diperlukan ketepatan mengenai siapa pihak-pihak yang seharusnya
terlibat dalam proses dan dukungan kebijakan yang memadai. Akhirnya,
pengelolaan kolaboratif TN yang berhasil harus dapat diukur kinerja
prosesnya berdasarkan beberapa kriteria kunci sebagai berikut:
1. Komitmen untuk bekerja bersama.
2. Kesukarelaan untuk bermitra.
3. Kesepakatan peran dan tanggung jawab.
4. Kesepakatan hak dan kewajiban.
5. Kesetaraan distribusi biaya dan manfaat.
6. Saling bertanggung-gugat.
7. Transparansi pengambilan keputusan.
8. Komitmen untuk saling menguatkan kapasitas.
Delapan kriteria di atas harus dapat dibuktikan dalam keseluruhan
proses kemitraan, sehingga terwujud kelembagaan kemitraan tertentu
yang kinerjanya semakin baik dari waktu ke waktu melalui mekanisme
perbaikan terus-menerus (continual improvement).
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 157

Gambar 16. Pendekatan yang diadopsi untuk mengkaji pengalaman


pengelolaan kolaboratif taman nasional di Indonesia
Dalam tataran implementasi, pengelolaan taman nasional secara kolaboratif
harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/1994 Tentang
Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
158 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Alam. Dalam peraturan menteri tersebut, kolaborasi pengelolaan diberi


batasan sebagai pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah
dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan
suaka alam dan kawasan pelestarian alam secara bersama dan sinergis
oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan kolaborasi
pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam adalah
terwujudnya persamaan visi, misi, dan langkah-langkah strategis dalam
mendukung, memperkuat, dan meningkatkan pengelolaan kawasan suaka
alam dan kawasan pelestarian alam sesuai dengan kondisi fisik, sosial,
budaya, dan aspirasi setempat. Kerangka pikir yang melandasi kolaborasi
dalam pengelolaan taman nasional sesuai peraturan perundang-undangan
adalah agar para pihak dapat berperan serta dalam pengelolaan taman
nasional sesuai tujuan yang juga ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan.
Dalam koridor peraturan tersebut beberapa batasan yang perlu diketahui,
antara lain:
1. Para pihak adalah semua pihak yang memiliki minat, kepedulian,
atau kepentingan dengan upaya konservasi KPA dan KSA, antara lain
lembaga pemerintah pusat, lembaga pemerintah daerah (eksekutif
dan legislatif), masyarakat setempat, LSM, BUMN, BUD, swasta
nasional, perorangan maupun masyarakat internasional, perguruan
tinggi/universitas/lembaga pendidikan/lembaga ilmiah.
2. Peran serta para pihak adalah kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan
oleh para pihak yang timbul atas minat, kepedulian, kehendak dan atas
keinginan sendiri untuk bertindak dan membantu dalam mendukung
pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
3. Kelembagaan kolaborasi dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam adalah pengaturan
yang meliputi wadah (organisasi), sarana pendukung, pembiayaan
termasuk mekanisme kerja dalam rangka melaksanakan pengelolaan
kolaborasi yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.
Kolaborasi dalam rangka pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan
pelestarian alam adalah proses kerja sama yang dilakukan oleh para
pihak yang bersepakat atas dasar prinsip-prinsip saling menghormati/
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia 159

menghargai (mutual respect), saling percaya (mutual trust), dan saling


memberikan kemanfaatan (mutual benefit). Prinsip tersebut merupakan
spirit agar kolaborasi dapat berlangsung dan dilembagakan dengan baik.
Dalam proses kolaborasi masing-masing pihak dapat bertindak sebagai
inisiator, fasilitator, maupun pendampingan. Adapun kriteria para pihak
(selain pengelola kawasan) yang dapat berkolaborasi antara lain:
a. Merupakan representasi dari pihak-pihak yang berkepentingan
atau peduli terhadap kelestarian kawasan suaka alam dan kawasan
pelestarian alam.
b. Memiliki perhatian, keinginan dan kemampuan untuk mendukung
pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, baik
berupa sumber daya manusia, sarana dan prasarana, data/informasi,
dana, atau dukungan lain sesuai kesepakatan bersama.
Dari evaluasi kinerja pengelolaan kolaboratif sebagaimana disajikan
pada Tabel 5, dapat diketahui bahwa kolaborasi penuh (pada skala
taman nasional) mengalami hambatan legal pada saat pembentukan
kelembagaan. Hal ini diindikasikan oleh lemahnya prinsip kecukupan
(sufficient principles). Selain itu, rekaman mengenai terpenuhinya prinsip-
prinsip pemungkin (enabling principles) kurang dinyatakan secara eksplisit.
Bahkan rekaman yang menggambarkan kesatuan spirit juga tidak tampak
jelas pada sebagian besar taman nasional. Kondisi tersebut ditambah
dengan lemahnya mekanisme pendanaan dan kapasitas pengelolaan telah
menyebabkan kurang efektifnya pengelolaan kolaboratif yang telah ada.
Dalam kasus pengelolaan kolaboratif di tingkat program, kemandekan
seringkali terjadi akibat terhentinya aliran pendanaan dari para pihak.
Menggeser pendekatan PKTN yang selama ini terpusat pada BTN melalui
delegasi kewenangan kepada masyarakat yang telah memiliki modal sosial
relatif memadai, sebagaimana telah dicoba di TNKM, penting untuk
dicermati guna menentukan arah PKTN ke depan. Walaupun pendekatan
di TNKM masih kental menempatkan kendali legal sebagaimana dapat
diketahui dari instrumen Nota Kesepahaman dengan BTN, memberikan
kontrol kepada lembaga masyarakat merupakan lompatan yang penting
dalam pendekatan PKTN.
Tabel 5. Hasil evaluasi pengelolaan kolaboratif di delapan TN berdasarkan variabel dan kriteria yang ditetapkan 160
(TNKM, TNS, TNBK, TNTN)
VARIABEL
No. TNKM TNS TNBK TNTN
EVALUASI
DSEKRIPSI UMUM KEMITRAAN
1. Level Sejalan dengan Status Kolaborasi di tingkat Kolaborasi masih terbatas Kolaborasi menyeluruh
Kolaborasi Kawasan sebagai TN program, terutama aspek pada tingkat program. telah digagas para pihak,
Kolaboratif, pengelolaan pengamanan kawasan, Status Kapuas Hulu sebagai fokus pada koordinasi
TNKM seharusnya penelitian flora, vegetasi, Kabupaten Konservasi program dan pendanaan.
dilakukan oleh Lembaga monitoring populasi orang telah menyebabkan para
Kolaboratif yang menangani utan, dan pemberdayaan pihak mengembangkan
seluruh aspek pengelolaan masyarakat inisiatif untuk mendukung
TN. Kehadiran BTN dan pengelolaan TNBK, tetapi
aspek legal pengelolaan TN kemasan kolaborasinya sangat
menjadi kendala kolaborasi lemah.
penuh.
2. Rencana RPTN 2001–2025 telah RPTN 2007–2026 belum RPTN disusun melalui proses Rencana pengelolaan
Kolaboratif disusun dengan melibatkan disusun secara kolaboratif. konsultasi para pihak. disusun dengan meibatkan
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

para pihak dan ditandangani Implementasi program pada para piihak. Perluasan
oleh Bupati Malinau, Bupati RKL I melibatkan para dalam proses Kajian Tim
Nunukan, Dirjen PHKA, pihak. Terpadu dan RPTN dalam
dan Menteri Kehutanan proses penyelesaian.
3. Eksistensi Telah ada DP3K sebagai Belum ada Belum ada Yayasan Tesso Nilo
Lembaga lembaga kolaboratif TNKM. merupakan wadah kerja
Kolaboratif sama para pihak.
Tabel 5. Hasil evaluasi pengelolaan kolaboratif di delapan TN berdasarkan variabel dan kriteria yang ditetapkan
(TNKM, TNS, TNBK, TNTN) (lanjutan)
VARIABEL
No. TNKM TNS TNBK TNTN
EVALUASI
SPIRIT:
4. Mutual Trust Komunikas belum terjalin Pada tingkat program Pada tingkat program tertentu Proses ”trust building”
secara memadai sehingga pengamanan dan telah ada proses ”trust masih terus berlangsung.
sulit menggambarkan pemberdayaan proses ”trust building”, terutama dalam Proses tersebut telah
terjadinya mutual trust, building” sudah dimulai. aspek pengamanan kawasan. mendapatkan dukungan
walaupun pada tahap awal para pihak untuk perluasan
pembentukannya partisipasi TN.
para pihak tinggi.
5. Mutual Eksistensi para pihak Eksistensi masyarakat Eksistensi para pihak telah Eksistensi para pihak
Respect telah dihargai dan dan pemerintah daerah diakomodasikan, mekanisme telah diakomodasikan,
diakomodasikan dalam telah diakomodasikan, pengambilan keputusan mekanisme pengambilan
pengelolaan TNKM; mekanisme pengambilan bersama belum dilembagakan. keputusan bersama
pengambilan keputusan keputusan bersama belum dilembagakan melalui
bersama dalam proses dilembagakan. Yayasan Tesso Nilo.
untuk diwujudkan dalam
kelembagaan kolaboratif
6. Mutual Manfaat ekologi dapat Manfaat ekologi dapat Manfaat ekologi dapat Manfaat ekologi dapat
Benefit dirasakan bersama, tetapi dirasakan bersama, tetapi dirasakan bersama, tetapi dirasakan bersama, tetapi
manfaat sosial dan ekonomi manfaat sosial dan ekonomi manfaat sosial dan ekonomi manfaat sosial dan ekonomi
belum dirasakan secara belum dirasakan secara belum dirasakan secara belum dirasakan secara
nyata oleh masyarakat dan nyata oleh masyarakat dan nyata oleh masyarakat dan nyata oleh masyarakat dan
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

pemerintah daerah. pemerintah daerah. pemerintah daerah. pemerintah daerah.


161
Tabel 5. Hasil evaluasi pengelolaan kolaboratif di delapan TN berdasarkan variabel dan kriteria yang ditetapkan 162
(TNKM, TNS, TNBK, TNTN) (lanjutan)
VARIABEL
No. TNKM TNS TNBK TNTN
EVALUASI
ENABLING PRINCIPLES:
7. Komiten Komitmen ini ditunjukkan Tidak tampak ada proses Dalam berbagai proses nilai- Komitmen ini ditunjukkan
Kerja Berbasis dengan terbentuknya DP3K untuk menyatukan sistem nilai konservasi telah diadopsi dengan terbentuknya
Nilai-nilai dan kespekatan program nilai, tetapi di tingkat bersama, tetapi belum Yayasan Tesso Nilo,
yang Sama yang mengacu pada RPTN program telah ada proses melembaga dalam konteks walaupun belum
TNKM yang mengarah pada pengelolaan TNBK. sepenuhnya operasional.
komitmen tersebut.
8. Kesukarelaan Prinsip kesukarelaan Prinsip kesukarelaan bermitra Kesukarelaan bermitra Prinsip kesukarelaan
Bermitra bermitra cukup tinggi masih sulit diukur nampaknya cukup tinggi bermitra cukup tinggi
akibat kebijakan daerah
sebagai Kabupaten Konservasi.
BASIC PRINCIPLES:
9. Kesepakatan Telah ada pembagian peran Peran dan tanggung jawab Secara eksplisit, kesepakatan Kesepakatan peran dan
Peran dan dan tanggung jawab, namun ditata ditingkat program, peran dan tanggung jawab tanggung jawab belum
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Tanggung belum dapat diwujudkan BTN masih menjadi pusat belum dapat diwujudkan sepenuhnya dapat
Jawab secara maksimal di pengambilan keputusan diwujudkan dan masih
tingkat praktis dan belum dikemas pada tingkat
melembaga. program.
10. Kesepakatan Telah ada pembagian hak Hak dan kewajiban di tata di Secara eksplisit, kesepakatan Kesepakatan hak dan
Hak dan dan kewajiban. tingkat program, BTN masih hak dan kewajiban belum kewajiban belum
Kewajiban menjadi pusat pengambilan dapat diwujudkan sepenuhnya dapat
keputusan diwujudkan dan masih
dikemas pada tingkat
program
Tabel 5. Hasil evaluasi pengelolaan kolaboratif di delapan TN berdasarkan variabel dan kriteria yang ditetapkan
(TNKM, TNS, TNBK, TNTN) (lanjutan)
VARIABEL
No. TNKM TNS TNBK TNTN
EVALUASI
11. Kesetaraan Sudah ada kontribusi biaya Masih berpusat pada biaya Sudah ada kontribusi biaya Kontribusi biaya dari
Distribusi pada tingkat program dari yang bersumber dari APBN. pada tingkat program dari para pihak masih dikemas
Biaya dan para pihak, tetapi belum para pihak, tetapi belum pada tingkat program,
Manfaat dapat dilembagakan. dilembagakan. mekanisme “trust fund”
belum operasional
SUFFICIENT PRINCIPLES:
12. Saling Belum dapat dilembagakan. Belum ada proses untuk Belum ada proses untuk Belum ada proses untuk
Bertanggung- merumuskan mekanisme merumuskan mekanisme merumuskan mekanisme
gugat tanggung gugat. tanggung gugat. tanggung gugat.
13. Transparansi Di tingkat kebijakan Tidak nampak ada proses Tidak nampak ada proses Mekanisme pengambilan
Pengambilan transparansi pengambilan pengambilan keputusan pengambilan keputusan keputusan bersama belum
Keputusan keputusan di DP3K telah bersama di tingkat bersama di tingkat jelas.
Bersama dilakukan. pengelolaan TN. pengelolaan TN.
14. Komitmen Secara prinsip komitmen Komitmen belum terbentuk Sudah ada program saling Sudah ada program saling
Saling telah terbentuk, belum menguatkan kapasitas dari menguatkan kapasitas dari
Menguatkan diimplementasikan secara inisiatif para pihak. inisiatif para pihak.
Kapasitas optimal.
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia
163
Tabel 5. Hasil evaluasi pengelolaan kolaboratif di delapan TN berdasarkan variabel dan kriteria yang ditetapkan
(TNBB, TNWasur, TNW, TNGHS) 164
VARIABEL
No. TNBB TNWasur TNW TNGHS
EVALUASI
DSEKRIPSI UMUM KEMITRAAN
1. Level Kolaborasi di tingkat Kolaborasi di tingkat Kolaborasi penuh, mengingat Kolaborasi penuh,
Kolaborasi program secara parsial. program, khususnya luas TN Wakatobi overlap mengingat banyak terdapat
pemberdayaan adat dalam 100% dengan Luas Kabupaten desa dan kampung di dalam
pengelolaan TN dan Wakatobi. TNGHS.
mekanisme pendanaan.
2. Rencana RPTN belum disusun Tidak ada informasi apakah RPTN disusun secara RPTN (RPJP) dan RPJM
Kolaboratif secara kolaboratif. RPTN disusun secara kolaboratif pada tahun 2008 disusun secara kolaboratif
Implementasi beberapa kolaboratif atau tidak.
program melibatkan para
pihak, terutama dalam
pemberdayaan nelayan.
3. Eksistensi Terdapat Forum Komunikasi Terdapat Forum Komunikasi Terdapat Forum Peduli Terdapat Perkumpulan
Lembaga Masyarakat Peduli Pesisir Pengelolaan TN Wasur, Wakatobi dan Tim Gedepahala yang menjadi
Kolaboratif TNBB sebagai wadah sebagai wadah koordinasi Pengawasan Terpadu Perairan lembaga kolaboratif
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

koordinasi pelaksanaan para pihak di Kabupaten Wakatobi (SK


program para pihak Bupati)
SPIRIT:
4. Mutual Trust ”Trust building” dilakukan Mutual Trust di tingkat Trust building masih terus Mutual Trust diantara para
ditingkat program masyarakat telah terjadi dibangun melalui berbagai pihak telah terjadi, tetapi
program masih perlu penguatan
secara terus menerus
mengingat dinamika sosial-
budaya dan ekonomi sangat
tinggi
Tabel 5. Hasil evaluasi pengelolaan kolaboratif di delapan TN berdasarkan variabel dan kriteria yang ditetapkan
(TNBB, TNWasur, TNW, TNGHS) (lanjutan)
VARIABEL
No. TNBB TNWasur TNW TNGHS
EVALUASI
5. Mutual Eksistensi masyarakat Eksistensi masyarakat Eksistensi masyarakat dan para Eksistensi masyarakat
Respect telah diakomodasikan, adat dan para pihak pihak telah diakomodasikan dan para pihak telah
mekanisme pengambilan telah diakomodasikan secara baik diakomodasikan secara baik,
keputusan bersama belum dengan baik, sudah walaupun masih terdapat
dilembagakan. dilembagakan dalam bentuk beberapa situasi konflik.
protokol pengelolaan
sumber daya alam, yang
mengakomodasikan hukum
adat dan hukum formal.
6. Mutual Secara umum, manfaat Pada tingkat tertentu mutual Pada tingkat tertentu mutual Pada tingkat tertentu
Benefit sosial telah dirasakan oleh benefit telah dirasakan benefit telah dirasakan mutual benefit telah
masyarakat. dirasakan
ENABLING PRINCIPLES:
7. Komiten Tidak tergambarkan secara Komitmen untuk Komitmen untuk Komitmen untuk
Kerja Berbasis jelas menyelamatkan TNW telah menyelamatkan sumber menyelamatkan TNGHS
Nilai-nilai terbentuk dan tersosialisasi daya perairan Kabupaten telah terbentuk dan
yang Sama dengan baik. Wakatobi telah terbentuk dan tersosialisasi dengan baik.
tersosialisasi dengan baik.
8. Kesukarelaan Kesukarelaan bermitra pada Kesukareaan bermitra tinggi. Kesukarelaan bermitra cukup Kesukarelaan bermitra para
Bermitra program tertentu tinggi. tinggi pihak tinggi
BASIC PRINCIPLES:
9. Kesepakatan Peran dan tanggung jawab ditata ditingkat program, BTN Peran dan tanggung jawab telah ditata tingkat kebijakan dan
Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Peran dan masih menjadi pusat pengambilan keputusan operasional


Tanggung
Jawab Peran dan tanggung jawab ditata secara umum dan di Peran dan tanggung jawab telah ditata tingkat kebijakan dan
165

tingkat program proram (operasional)


Tabel 5. Hasil evaluasi pengelolaan kolaboratif di delapan TN berdasarkan variabel dan kriteria yang ditetapkan 166
(TNBB, TNWasur, TNW, TNGHS) (lanjutan)
VARIABEL
No. TNBB TNWasur TNW TNGHS
EVALUASI
10. Kesepakatan Hak dan kewajiban di tata di tingkat program, BTN masih Peran dan tanggung jawab telah ditata tingkat kebijakan dan
Hak dan menjadi pusat pengambilan keputusan operasional
Kewajiban
Hak dan Kewajiban ditata di tingkat program Peran dan tanggungjawab telah ditata tingkat kebijakan dan
operasional
11. Kesetaraan Komitmen distribusi biaya terjadi di tingkat program Telah ada upaya untuk distribusi biaya dan manfaat antar
Distribusi para pihak, khususnya Pemerintah Kabupaten
Biaya dan Telah ada upaya untuk distribusi biaya dan manfaat antar
Manfaat para pihak Telah ada upaya untuk distribusi biaya dan manfaat antar
para pihak
SUFFICIENT PRINCIPLES:
12. Saling Belum ada proses untuk Belum nampak secara Belum nampak secara Belum nampak secara
Bertanggung- merumuskan mekanisme jelas mekanisme saling jelas mekanisme saling jelas mekanisme saling
gugat tanggung gugat bertanggung-gugat bertanggung-gugat bertanggung-gugat
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

13. Transparansi Tidak nampak ada proses Pengambilan keputusan Pengambilan keputusan Pengambilan keputusan
Pengambilan pengambilan keputusan bersama telah terjadi pada bersama telah terjadi pada bersama telah terjadi
Keputusan bersama di tingkat tingkat program tingkat rencana dan program pada tingkat rencana dan
Bersama pengelolaan TN program
14. Komitmen Komitmen belum terbentuk Proses untuk membangun Proses untuk membangun Dalam beberapa hal,
Saling komitmen telah terjadi komitmen telah terjadi melalui komitmen ini telah terjadi
Menguatkan melalui beberapa program beberapa program
Kapasitas
Sumber: WWF (2009)
Penguatan Kapasitas
Pengelolaan Kolaboratif
Taman Nasional

A. Membangun Visi Berbasis


Kinerja Holistis
Penetapan kawasan konservasi di Indonesia
dilandasi atas kesadaran mengenai pentingnya
upaya melindungi sistem penyangga kehidupan,
bagi terpeliharanya proses-proses ekologis penting
yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
mutu kehidupan manusia. Kesadaran untuk
mengalokasikan suatu wilayah tertentu dengan ciri
khas, unik, dan merepresentasikan proses-proses
ekologis penting di seluruh wilayah Indonesia
telah ditetapkan sebagai peraturan yang ditetapkan
berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun
1990, Peraturan Pemerintah No 28/2011 (dulu
Peraturan Pemerintah No. 68/1999) dan berbagai
peraturan turunannya. Penegakan produk hukum
ini diterjemahkan dengan penetapan UPT sebagai
organisasi penyelenggara setingkat eselon II/III,
yaitu Balai Besar/Balai Konservasi Sumberdaya Alam
dan Balai Besar/Balai Taman Nasional. Sepanjang
perjalanan pengelolaan kawasan konservasi,
kehadiran organisasi penyelenggara pengelolaan,
sebagai pemangku kawasan, telah menunjukkan
keberhasilan untuk menekan terjadinya deforestasi
168 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

relatif terhadap kawasan hutan dengan fungsi lainnya, walaupun tingkat


deforestasi di dalam kawasan konservasi masih cukup tinggi (55.600
ha/tahun selama periode 2003–2006). Pengelola kawasan konservasi
juga dinilai gagal menunjukkan kinerja pengelolaan secara menyeluruh
sebagaimana yang diharapkan, khususnya akibat lemahnya kapasitas
profesional sumber daya manusia dan masalah-masalah struktural lain,
termasuk keseriusan pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya yang
diperlukan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Pada saat ini alokasi
dana pemerintah untuk mengelola kawasan konservasi diperkirakan
sebesar US$ 0,48 per ha (Total Pagu Tahun 2012 = Rp0,637 triliun),
termasuk gaji pegawai.
Upaya untuk membenahi dan memperbaiki kinerja pengelolaan kawasan
konservasi di Indonesia membutuhkan usaha besar dari pelaku politik,
pengambil kebijakan, pelaku pembangunan, dan masyarakat untuk
menyatukan kerangka pikir dan mengembangkan inovasi-inovasi pada
situasi regulasi dan tata pemerintahan yang cenderung belum akan berubah
hingga 10 tahun ke depan. Dalam konteks ini, permasalahan pokok
yang dihadapi saat ini adalah masalah keterlanjuran yang mencuat ke
permukaan dalam wujud konflik tenurial dan akses terhadap sumber daya
alam, serta lemahnya kapasitas pengelolaan dan pendanaan pengelolaan
kawasan konservasi. Salah satu bentuk inovasi dalam pengelolaan kawasan
konservasi adalah mengembangkan kolaborasi dengan berbagai pihak, baik
antarlembaga pemerintah, lembaga pemerintah dengan organisasi nirlaba
(ONL), lembaga pemerintah dengan privat/swasta, dengan melibatkan
masyarakat lokal sebagai penerima manfaat utama dalam kolaborasi
tersebut.
Pengelolaan taman nasional yang berorientasi pada kinerja harus mampu
mengukuhkan eksistensinya sebagai Pusat Keanekaragaman Hayati yang
berfungsi optimal sebagai sistem penyangga kehidupan dan penopang
sistem sosial-ekonomi-budaya pada tingkat komunitas dan wilayah secara
lestari. Tuntutan untuk mengembangkan kolaborasi secara visioner
dapat dipandang sebagai bagian dari penguatan kapasitas pengelolaan dan
kelembagaan, serta mewujudkan tercapainya tata kepemerintahan yang
baik (good governance), sekaligus menjadi instrumen damai dalam reforma
agraria. Di antara paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi dan
keanekaragaman hayati yang penting, antara lain adalah:
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 169

• Menekankan inklusivisme dari pada eksklusivisme kawasan


konservasi
Teori dan praktik pengelolaan kawasan-kawasan konservasi di masa
depan harus diubah, pendekatan defensif serba “tidak boleh” tidak
lagi sesuai dengan era demokratis. Pada masa mendatang, pengelolaan
kawasan konservasi keanekaragaman hayati harus lebih fleksibel
dalam tujuan-tujuannya, definisi, ukuran maupun pendekatan
pengelolaannya. Kawasan konservasi harus menjadi inklusif sebagai
bagian dari sistem sosial-budaya masyarakat daripada eksklusif bagi
kelompok konservasionis. Dalam hubungan ini, prioritas-prioritas
konservasi harus lebih luas dari sekedar konservasi keanekaragaman
hayati, tetapi juga harus termasuk perlindungan daerah aliran sungai,
cagar-cagar ekstraktif, fungsi budaya, dan religi. Secara khusus,
harus diakui bahwa penggusuran penduduk dari kawasan-kawasan
konservasi yang telah memiliki alas hak sebelumnya, tidak saja
menciptakan konflik tetapi terkadang dapat merusak kualitas kawasan
konservasi.
• Menekankan pada proses, dinamika, dan hubungan-hubungan
daripada “end point stability” dari kawasan konservasi
Pendekatan ini pada dasarnya mengakui bahwa kawasan konservasi
tidak dapat dengan mudah dikonversi sebagai suatu cagar yang
terisolasi dari lingkungan sekitarnya; bahwa kawasan konservasi tidak
akan mempertahankan dirinya sendiri dalam suatu konfigurasi yang
stabil dan seimbang; dan bahwa kawasan-kawasan konservasi akan
selalu mendapatkan “gangguan” baik alami maupun dari manusia.
Dengan kata lain, kawasan konservasi sebagai suatu sistem ekologi
tidak berada dalam titik stabil, tetapi terbuka pada pertukaran bahan
dan energi dari sekitarnya, tidak secara internal mempertahankan
keseimbangan dirinya sendiri, dan sangat dipengaruhi oleh gangguan-
gangguan periodik yang memengaruhi struktur dan fungsi internalnya.
Jika suatu kawasan konservasi terganggu, akan mengarah pada suatu
status keseimbangan baru. Ini merupakan suatu perspektif yang
menekankan proses, dinamika, dan hubungan-hubungan daripada
stabilitas statis yang tidak berubah.
170 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

• Kawasan konservasi tunggal merupakan bagian dari jejaring


kawasan konservasi dan ekosistem pada skala lanskap
Kawasan konservasi terhubung dengan kawasan konservasi lain pada
skala lanskap atau regional oleh koridor-koridor ekosistem di luar
kawasan konservasi, baik alamiah atau buatan manusia, yang secara
agregat akan menentukan kapasitas dan kualitas perlindungannya
secara jangka panjang. Pendekatan ini pada dasarnya menekankan
pada pentingnya perencanaan bioregional pada wilayah di mana
kawasan konservasi tersebut berada.
• “ Think globally, act locally ”
Konservasi keanekaragaman hayati pada dasarnya berpijak pada cara
berpikir global, namun tidak sedikit hambatan justru datang secara
lokal. “Act locally” mengandung makna “co-adaptive management”,
suatu konsep yang mengutamakan sikap, proses, dan aksi lokal dalam
mempertahankan integritas ekologi di tingkat tapak secara lintas
generasi.
Tujuan pembangunan kawasan konservasi antara lain untuk menyelamatkan
keanekaragaman hayati dan keunikan alam (landscape) bagi peningkatan
kesejahteraan manusia generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Prinsip pertama yang digunakan dalam penentuan kawasan konservasi
adalah keterwakilan dan kelangkaan atau keterancaman (ekosistem
atau spesies) dari kepunahan. Oleh karena ekosistem dan spesies di
Indonesia sangat beragam, untuk dapat memenuhi asas keterwakilan
tersebut diperlukan banyak kawasan konservasi yang tersebar di berbagai
daerah. Oleh karena itu, landasan yang paling tepat untuk menentukan
suatu kawasan konservasi, sesuai dengan Convention on Conservation of
Biodiversity, adalah “save it, study it, and use it” yang secara harfiah dapat
dimaknai: “selamatkanlah suatu ekosistem atau spesies sebelum hilang
(rusak), kemudian kaji kegunaannya dan manfaatkan secara berkelanjutan
bagi peningkatan kesejahteraan hidup manusia”. Landasan lainnya adalah
makin banyak dan makin luas kawasan konservasi keanekaragaman hayati
akan makin banyak tipe ekosistem atau spesies yang diselamatkan.
Untuk mendapatkan kredibilitas dari semua pihak terkait, termasuk
konsumen, pengelolaan taman nasional harus bersifat transparan. Sebagai
konsekuensinya, diperlukan sistem dan standar dalam setiap tahapan proses
pengelolaannya. Transparansi ini juga berkaitan dengan eksistensi taman
nasional sebagai lembaga publik yang terbuka bagi semua pihak. Agar proses
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 171

pengelolaan taman nasional dapat transparan, sistem dan standar perlu


mengembangkan model pengelolaan yang dapat diyakini keabsahannya
dan dapat diperiksa semua pihak. Untuk menjamin bahwa sistem dan
standar juga dilandaskan pada konsep kemitraan, model tersebut harus
dapat digunakan baik oleh audit internal untuk memperoleh umpan balik
perbaikan pengelolaan, maupun oleh audit eksternal untuk memperoleh
kepercayaan publik yang lebih luas.
Sejak tahun 2004, PHKA bekerja sama dengan IPB telah mengembangkan
standar kinerja pengelolaan taman nasional, tetapi hingga saat ini standar
kinerja tersebut belum diberlakukan sebagai instrumen penguatan kapasitas
pengelolaan taman nasional. Standar tersebut telah dibahas secara internal
PHKA dan telah digunakan dalam lokalatih Pengelolaan Taman Nasional
Model di Safari Garden, Bogor pada tanggal 24–27 Juli 2006. Berdasarkan
rekomendasi pada lokalatih tersebut, standar kinerja pengelolaan taman
nasional disepakati untuk ditetapkan sebagai Surat Keputusan Direktur
Jenderal PHKA yang hingga saat ini tidak pernah ditindaklanjuti.
Kinerja pengelolaan taman nasional dapat diturunkan mengikuti logical
framework yang berhierarki dimulai dari level yang paling abstrak sampai
dengan level yang paling konkrit/operasional yang dapat diukur. Hierarki
tersebut dimulai dari elemen goal atau tujuan pengelolaan taman nasional,
kemudian diikuti oleh elemen prinsipal, kriteria, dan indikator. Adapun
pengertian dari setiap elemen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Goal atau tujuan merupakan keinginan yang paling abstrak dari suatu
pengelolaan taman nasional, umumnya dinyatakan sebagai tujuan
akhir yang ingin dicapai oleh pengelolaan dalam jangka waktu yang
tak terbatas.
2. Prinsip adalah aturan mendasar untuk pembenaran kerangka pikir
dan aksi. Prinsip memiliki karakter dari suatu tujuan atau pandangan
mengenai fungsi sumber daya alam dan lingkungan atau mengenai
aspek-aspek yang relevan dari sistem sosial yang berinteraksi dengan
sumber daya alam. Prinsip adalah unsur eksplisit dari tujuan.
3. Kriteria adalah pikiran yang memiliki karakter khusus yang mana
dengannya sesuatu dapat diputuskan atau diambil suatu kesimpulan
atau kondisi atau aspek-aspek dari proses dinamis sumber daya alam
dan lingkungan atau kondisi sistem sosial terkait yang harus dikaji
sebagai implikasi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
172 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Kriteria merupakan suatu alat atau media, di mana dengan alat atau
media tersebut dapat diketahui apakah suatu unit manajemen telah
melaksanakan atau tidak prinsip-prinsip pengelolaan.
4. Indikator adalah parameter kualitatif dan atau kuantitatif yang
dapat diukur dalam kaitannya dengan kriteria. Indikator merupakan
komponen khusus dari suatu kriteria yang dapat diukur dan diuji
keabsahannya, di mana melalui indikator dapat diketahui, apakah
suatu unit manajemen telah mencapai atau tidak kriteria-kriteria
pengelolaan.
5. Norma adalah nilai acuan, tolok ukur, atau baku mutu dari suatu
indikator yang digunakan sebagai dasar penilaian atau bahan
pembanding. Dengan adanya norma ini, indikator, kriteria, dan
prinsip merupakan suatu instrumen penilaian yang terukur dan dapat
diuji keabsahannya.
6. Verifier adalah satu atau sekumpulan informasi/data yang terukur dan
dapat diuji keabsahannya dari suatu indikator. Dengan adanya verifier
ini, nilai suatu indikator dapat ditentukan.
Penjenjangan informasi (Tujuan, Prinsip [P], Kriteria [K], dan Indikator
[I]) dalam penilaian pengelolaan taman nasional lestari dilakukan untuk
menjamin konsistensi berpikir dalam mengembangkan standar yang
koheren. Penjenjangan P, K dan I memfasilitasi perumusan parameter-
parameter penilaian pengelolaan taman nasional secara konsisten dan
koheren. Setiap jenjang informasi menjelaskan fungsinya dalam pengelolaan
taman nasional sesuai levelnya serta menjelaskan karakteristik parameter
yang muncul pada level tertentu. Secara umum fungsi penjenjangan
informasi adalah sebagai berikut:
1. Menambah peluang tercakupnya seluruh aspek penting yang harus
dipantau dan dinilai.
2. Mencegah kerancuan dengan membatasi P, K dan I pada tingkat
minimum (parameter kunci) serta menghindarkan parameter yang
berlebihan.
3. Hasil penilaian memiliki hubungan transparan, setiap parameter
yang diukur memiliki hubungan yang jelas dengan prinsip yang
melandasinya.
4. Memberikan kemungkinan untuk menelusuri parameter yang kurang/
tidak sesuai dengan pengelolaan taman nasional sehingga dapat
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 173

dirumuskan rekomendasi atau panduan untuk mencapai pengelolaan


taman nasional lestari bagi Unit Manajemen.
Dalam penjenjangan informasi perlu diperhatikan konsistensi horizontal
dan konsistensi vertikal. Konsistensi horizontal berarti bahwa parameter-
parameter yang muncul dalam level yang sama tidak saling tampal (overlap),
sedangkan konsistensi vertikal berarti bahwa parameter-parameter yang
terletak pada level bawah menerangkan hubungan yang jelas dengan level
di atasnya. Selain itu, parameter tersebut terletak pada hierarki yang benar
dan menggunakan istilah yang benar.
Perumusan standar pengelolaan taman nasional dilakukan dengan
menggunakan ”logical framework” yang dimodifikasi. Dalam pengembangan
P, K dan I, keseluruhan hierarki informasi (dimensi hasil atau outcome)
dipadukan dengan dimensi manajemen yang menggambarkan strategi
pencapaian hasil sesuai dengan persyaratan pengelolaan taman nasional.
Dalam hal ini, prinsip sebagai bagian eksplisit dari tujuan pengelolaan
taman nasional, dipandang sebagai dimensi hasil yang harus dicapai
dalam tingkat unit manajemen melalui penilaian serangkaian kriteria
yang ditetapkan. Indikator kemudian dikembangkan di dalam matriks
silang antara kriteria dengan strategi manajemen tertentu yang dipandang
penting dalam pencapaian pengelolaan taman nasional. Pendekatan ini
digunakan untuk mempertahankan konsistensi dan koherensi indikator-
indikator yang benar-benar relevan dalam penilaian pengelolaan taman
nasional.

1. Dimensi Hasil Taman Nasional


Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, prinsip-prinsip yang harus
diadopsi dalam pengelolaan taman nasional adalah: prinsip kemantapan
kawasan, kelestarian fungsi ekologi, kelestarian fungsi ekonomi sumber
daya alam, dan kelestarian fungsi sosial budaya. Prinsip-prinsip tersebut
dijabarkan menjadi dimensi hasil yang kemudian dinyatakan sebagai
kriteria kinerja pencapaian pengelolaan taman nasional lestari sebagai
berikut:
a. Kemantapan Kawasan, adalah prinsip mengenai pentingnya
keberadaan kawasan taman nasional yang diakui, baik secara legal
maupun aktual. Mengingat kondisi sosio-politik masyarakat bersifat
174 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

dinamis, pengakuan masyarakat merupakan faktor penting yang


menjamin pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan, terdiri
atas satu kriteria: terjaminnya kemantapan kawasan secara legal dan
aktual.
b. Kelestarian Fungsi Ekologi, adalah prinsip yang menjelaskan ukuran
keberhasilan dari sisi ekologi dan lingkungan, sehingga menjamin
pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan, terdiri atas satu
kriteria: terjaminnya fungsi ekosistem kawasan taman nasional.
c. Kelestarian Fungsi Ekonomi Sumber Daya Alam (SDA), adalah
terjaminnya fungsi taman nasional untuk memberikan manfaat
dengan tetap mempertahankan sistem penyangga kehidupan berbagai
spesies dan plasma nutfah asli serta ekosistem unik yang terdapat di
dalamnya, dicirikan oleh kriteria:
1. Tersedianya akses manfaat ekonomi dalam pembangunan
wilayah.
2. Tersedia insentif bagi pelaku konservasi.
3. Tersedianya akses pemanfaatan sumber plasma nutfah bagi budi
daya.
d. Kelestarian Fungsi Sosial Budaya, adalah terjaminnya fungsi taman
nasional untuk keberlangsungan manfaat sosial maupun budaya sesuai
dengan aspirasi, kebutuhan serta tatanan pranata sosial yang diterima
dan berlaku dalam kehidupan masyarakat setempat yang dicirikan
oleh kriteria:
1. Hubungan harmonis budaya lokal dan sumber daya alam.
2. Terjaminnya ruang kelola masyarakat.
3. Kontribusi terhadap perkembangan pendidikan dan pengetahuan
baru sumber daya alam (SDAL).
2. Dimensi Manajemen Taman Nasional
Dimensi manajemen Taman Nasional Lestari menggambarkan tingkat
upaya yang harus dilakukan guna mencapai hasil yang dinyatakan dalam
dimensi hasil. Dimensi manajemen mencakup:
a. Manajemen Kawasan, adalah strategi pengelolaan taman nasional yang
meliputi pemantapan kawasan, penataan kawasan, dan pengamanan
kawasan. Manajemen kawasan merupakan prasyarat keharusan dalam
pengelolaan taman nasional lestari. Adapun dimensi manajemen ini
meliputi:
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 175

a. Pengukuhan Kawasan
b. Penataan Kawasan
c. Pengamanan Kawasan
b. Manajemen Sumber Daya Alam, adalah strategi pengelolaan taman
nasional yang merupakan inti kegiatan dalam pengelolaan Taman
Nasional Lestari. Secara operasional, dimensi manajemen tersebut
meliputi:
a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan.
b. Pengawetan keanekaragaman hayati.
c. Pemanfaatan sumber daya alam.
c. Manajemen Kelembagaan, merupakan prasyarat kecukupan agar
pengelolaan taman nasional dapat berlangsung dan berkembang sesuai
dengan target yang telah ditetapkan. Dalam dimensi manajemen ini,
minimal terdapat 3 (tiga) hal pokok, yakni:
a. Penataan Organisasi
b. Sumber Daya Manusia
c. Keuangan
3. Kriteria dan Indikator Pengelolaan Taman
Nasional
Apabila dimensi hasil diletakkan dalam kolom suatu matrik dan dimensi
manajemen diletakkan dalam baris matrik tersebut, akan tercermin adanya
keteraturan hubungan keterkaitan dan ketergantungan antara kedua
dimensi. Sedangkan perpotongan dari masing-masing kolom dan baris
akan menunjukkan indikator apa yang sebaiknya ada apabila dilakukan
kegiatan utama tertentu untuk menghasilkan kriteria yang diinginkan.
Setiap pengelola taman nasional pada dasarnya terikat oleh 4 kategori
ruang yang berbeda-beda, yaitu: ruang ekologi, ruang sosial, ruang
ekonomi, dan ruang kewenangan. Ruang ekologi menggambarkan posisi
taman nasional dalam konektivitasnya dengan lanskap ekosistem alam
di sekitarnya; ruang sosial menggambarkan posisi taman nasional dalam
relasinya dengan keadaan sosial masyarakat lokal dalam makna koherensi
hubungan sosialnya; ruang ekonomi menggambarkan posisi taman nasional
dalam konteks pembangunan wilayah regional; dan ruang kewenangan
176 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

menggambarkan posisi taman nasional dalam hubungannya dengan


kewenangan administratif pemerintahan. Oleh karena itu, penerapan
standar kinerja pengelolaan taman nasional memerlukan adaptasi
terhadap kondisi spesifik taman nasional. Untuk menjembatani proses ini
dikembangkan tipologi pengelolaan taman nasional sebagaimana disajikan
dalam Gambar 17. Dari gambar tersebut diketahui bahwa konteks spesifik
pengelolaan taman nasional dapat dikelompokkan menjadi 4 kuadran
yang dibentuk oleh garis yang menggambarkan kompleksitas ruang
kewenangan dan garis berimpit yang menggambarkan ”trade off” antara
kepentingan ekologi dengan sosial budaya, sehingga menentukan faktor
pendorong kuncinya. Keempat kuadran tersebut pada gilirannya akan
menentukan tipe aktivitas ekonomi yang mungkin dikembangkan dalam
pengelolaan taman nasional.
Penilaian kinerja terhadap 21 taman nasional model berdasarkan standar
tersebut menunjukkan bahwa belum satupun taman nasional yang
memenuhi standar yang diharapkan. Tiga taman nasional terbaik yang
mendekati pencapaian standar kinerja adalah TN Alas Purwo, TN Gunung
Gede-Pangrango, dan TN Komodo, di mana ketiganya termasuk dalam
taman nasional tipologi “ecological-driven”, artinya memiliki tujuan utama
untuk menyelamatkan fungsi-fungsi ekologi di dalam kawasan taman
nasional. Dalam hal ini aspek-aspek sosial budaya menjadi pertimbangan
kedua.
Ketersediaan standar tersebut memberikan instrumen bagi pengelola
untuk mengembangkan rencana kerja yang dapat diukur kinerjanya,
sehingga mendorong profesionalisme dan akuntabilitas pengelolaan taman
nasional. Selain itu, standar menyediakan instrumen bagi pemerintah,
khususnya Ditjen PHKA, untuk mengembangkan mekanisme evaluasi
pengelolaan taman nasional. Bagi pihak-pihak independen yang peduli
pada pengelolaan taman nasional, standar kinerja dapat digunakan sebagai
instrumen audit publik. Pengembangan “National Park Watch” dapat
dilakukan melalui jaringan kerja para pihak yang peduli pada pengelolaan
taman nasional.
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 177

Gambar 17. Tipologi pengelolaan taman nasional di Indonesia


Pemahaman mengenai kriteria dan indikator kinerja selanjutnya akan
menjadi acuan dalam perencanaan taman nasional secara kolaboratif.
Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa PKTN merupakan salah
satu pendekatan pengelolaan untuk mencapai kinerja tertentu yang di
harapkan. Kerangka logis pengembangan kriteria kinerja yang holistis
diharapkan mampu mencakup keseluruhan harapan para pihak kunci,
sehingga mampu mewadahi dinamika sosial-ekonomi-budaya dan politik
secara adaptif tanpa harus mengorbankan visi dan tujuan pengelolaan
taman nasional pada masa yang akan datang.

B. Penguatan Kapasitas Pengelolaan


Kolaboratif
Salah satu faktor kondusif bagi penguatan kapasitas pengelolaan taman
nasional ditetapkannya kebijakan pengelolaan taman nasional berbasis
resort (Resort-based Management atau RBM). Menurut panduan RBM,
178 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

justifikasi teknis perlunya penerapan sistem pengelolaan berbasis resort


pada taman nasional adalah:
1) Kawasan taman nasional belum dijaga dengan efektif. Hal ini
disebabkan kawasan yang luas, rendahnya tingkat kehadiran petugas
resort, dan belum aktifnya petugas resort dalam melaksanakan tugas
pemangkuan kawasan. Sistem penjagaan kawasan sangat ditentukan
oleh kebijakan di tingkat balai. Apabila hanya terbatas pada patroli
rutin, tanpa ada upaya membangun sistem penjagaan (secara lebih
rutin) dan pengelolaan kawasan di tingkat resort, banyak persoalan
kawasan tidak diketahui dengan pasti akar penyebabnya, sehingga
terkesan ada unsur pembiaran yang berakibat persoalan menjadi
semakin besar dan kompleks.
2) Potensi kawasan taman nasional terutama yang dimanfaatkan oleh
masyarakat belum banyak diketahui secara komprehensif, baik pola,
besaran, nilai ekonomi, sosial/budaya, maupun dampaknya. Hal ini
disebabkan belum adanya kegiatan di tingkat resort yang diprioritaskan
untuk melakukan pendataan terkait dengan pemanfaatan potensi
kawasan.
3) Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sekitar taman
nasional belum banyak dikenali. Hal ini disebabkan tidak adanya
penugasan bagi staf resort untuk melakukan identifikasi atau pendataan
tentang kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat yang tinggal
di dalam maupun di sekitar kawasan taman nasional. Padahal, data
dan informasi tentang tipologi masyarakat ini sangat penting dalam
kaitannya dengan pola interaksi dan bagaimana menempatkan atau
memposisikan masyarakat dalam mendukung pengelolaan taman
nasional.
4) Belum tersedianya data dan informasi tentang kondisi kawasan taman
nasional yang lengkap, valid/akurat, terbarui, dan berkala, sebagai
data dasar. Hal ini disebabkan petugas resort belum diberikan tugas
untuk melakukan pendataan/pencatatan, dan analisis secara baik dan
sistematis ketika sedang bertugas di lapangan.
5) Eksistensi taman nasional belum banyak dikenal dan dipahami oleh
para pihak khususnya masyarakat dan pemerintah daerah. Hal ini
disebabkan belum intensifnya aktivitas komunikasi, penyuluhan,
dan sosialisasi yang dilakukan baik oleh petugas resort, seksi wilayah,
maupun di tingkat balai.
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 179

6) Kawasan taman nasional dinilai oleh banyak pihak belum banyak


memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat sekitar maupun
pertumbuhan ekonomi daerah. Sementara itu, fakta membuktikan
bahwa nilai manfaat ekonomi taman nasional telah dirasakan oleh
masyarakat di sekitarnya, tetapi nilai tersebut tidak dihitung sebagai
manfaat nyata. Nilai air pertanian, air konsumsi, penjaga kesuburan
tanah, pencegah erosi, dan lain sebagainya.
7) Pengelolaan taman nasional belum mendapatkan dukungan secara
memadai dari masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Hal
ini lebih disebabkan kurang intensifnya komunikasi dan sosialisasi
tentang manfaat nyata (langsung) maupun manfaat tidak langsung
taman nasional bagi para pihak. Kurangnya data dan informasi dan
analisis tentang nilai ekonomi, ekologi, dan sosial budaya taman
nasional merupakan salah satu faktor penyebabnya.
Menurut Kelompok Juanda 15 (2012)1, ciri-ciri kelembagaan UPT yang
telah menerapkan RBM adalah:
• Antisipatif: dapat melakukan antisipasi munculnya berbagai
persoalan.
• Responsif: mampu melakukan tanggapan dengan cepat terhadap
berbagai persoalan dan potensi yang dapat dikembangkan.
• Inovatif: berani melakukan berbagai inovasi atau terobosan menghadapi
persoalan internal dan eksternal.
• Adaptif: mampu melakukan penyesuaikan strategi, taktik, dan
mobilisasi sumber daya dalam merespons beragamnya perubahan
situasi dan kondisi yang akan berdampak pada kelestarian kawasan
dan fungsinya.
• Transparan: berani melakukan perubahan paradigma menjadi
lebih terbuka dan melibatkan berbagai pihak kunci dalam “siklus
manajemen”.
• Akuntabel: memenuhi kaidah-kaidah tertib administrasi keuangan,
tertib pelaporan, dan kualitas pekerjaan.
• Menjadi Leading Agency dalam penyusunan dan penerapan kebijakan
pembangunan yang berkelanjutan.
• Berhasilnya dibangun leadership di berbagai tingkatan khususnya di
lingkungan internal dan jaringan kerja ke lingkungan eksternal.
1 http://konservasiwiratno.blogspot.com/2012_01_01_archive.html
180 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

• Terkelolanya berbagai persoalan dan potensi dengan lebih manusiawi


dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, tanpa harus
mengorbankan prinsip-prinsip kelestariannya.
• Memulai kesadaran (spiritual dan intelektual) tentang pentingnya
budaya “membaca” yang didesain untuk mempercepat proses
pemahaman dan penguasaan data, informasi, dan pengetahuan tentang
kawasan dan isinya, termasuk kemanfaatannya bagi masyarakat dan
ilmu pengetahuan.
Hingga saat ini, hanya ada beberapa UPT TN yang telah memulai RBM
dengan berbagai varian dan pemahamannya, seperti di TNGHS (dari
awal penunjukannya, TNGHS telah didampingi dan didukung oleh JICA
selama 15 tahun); TNAP (inisiatif Kepala Balai), TNKJ (inisiatif Kepala
Balai berdasarkan pengalaman di TN Teluk Cenderawasi), TN Baluran
(inisiatif Kepala Balai yang didukung PEH), TN Tanjung Puting (inisiatif
Kepala Balai dan tim inti yang sangat aktif membangun SIM RBM UPT);
TN Merbabu (inisiatif Kepala Balai mendukung kelengkapan laptop/
GPS untuk setiap resort); TN Komodo (telah lama dilakukan penjagaan
di lapangan dan RBM merupakan inisiatif Kepala Balai yang diwujudkan
dalam alokasi anggaran SIM 2011 dan logistik resort di seluruh pulau);
dan TN Ujung Kulon, yang sebenarnya telah lama membangun pola
patroli lapangan (inisiatif Kepala Balai), dan saat ini terus dilanjutkan oleh
tim khusus untuk monitoring badak jawa. Di TNBBS, pola-pola kerja
lapangan yang serupa dengan RBM lebih didominasi oleh Rhino Patrol
Unit (RPU) yang dilakukan oleh WCS dengan melibatkan staf Balai Besar
TNBBS. Sedangkan WWF Riau lebih fokus pada program camera trap
untuk monitoring dan pendugaan populasi harimau sumatera, khususnya
di kawasan TN Bukit Tigapuluh, SM Rimbang Baling, dan TN Tesso
Nilo.
Kebijakan RBM telah membuka ruang yang lebih luas bagi resort, sebagai
unit teritorial terkecil, untuk lebih berperan dalam pengelolaan taman
nasional, sejak pengumpulan data dasar, perencanaan, implementasi,
hingga evaluasi dan monitoringnya. Sumber daya manusia (SDM) di
tingkat resort merupakan ujung tombak di mana taman nasional berhadapan
dengan berbagai permasalahan dan berinteraksi dengan masyarakat lokal.
Dalam konteks PKTN, resort merupakan arena yang paling strategis
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 181

untuk mengembangkan rencana kolaboratif dengan masyarakat. Atas


dasar pertimbangan ini, proyek JICA bekerja sama dengan Pusdiklat
Kehutanan—berjudul “Strategy for Strengthening Conservation
through Appropriate National Park management and Human
Resource Development” (selanjutnya disebut sebagai proyek JICA-
CFET)—mengembangkan pelatihan yang berorientasi pada penguatan
kapasitas perencanaan kolaboratif. Pelatihan yang diperkenalkan sebagai
“life training” ini dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu:
1. Pelatihan Dasar (basic training): berlangsung lebih kurang selama satu
bulan untuk target grup SDM tingkat resort; dua minggu untuk target
grup tingkat seksi; dan seminggu untuk target grup tingkat kepala
balai atau kepala bidang pada balai besar. Ketiga target grup menjalani
pelatihan dalam kesatuan skema PKTN, dengan fokus yang berbeda
sesuai dengan peran masing-masing dalam organisasi pengelola taman
nasional. Akhir dari pelatihan dasar ini adalah sebuah rencana aksi
untuk menyusun perencanaan kolaboratif di lapangan disiapkan oleh
resort, dan disetujui oleh kepala seksi dan kepala balai atau kepala
bidang balai besar.
2. Implementasi Rencana Aksi: hasil pelatihan dasar diimplementasikan
selama lebih kurang 1 tahun dengan pembiayaan dari proyek JICA-
CFET dan dipantau 3 kali selama proses implementasi oleh Tim
Pelatih (Training Team). Hasil akhir dari implementasi rencana aksi
adalah sebuah rencana kolaboratif yang disetujui oleh kepala balai dan
akan didanai melalui skema pendanaan pemerintah.
3. Pelatihan Lanjutan (Follow Up Training): Hasil proses perencanaan
kolaboratif di lapangan kemudian dipresentasikan dalam pelatihan
lanjutan yang selain diikuti oleh seluruh peserta pelatihan pada
pelatihan dasar, juga diikuti oleh para stakeholder yang selama ini
berproses dalam perencanaan di lapangan. Selain itu, pelatihan
lanjutan dibagi menjadi dua kelompok, kelompok BTN dan kelompok
stakeholder. Fokus pelatihan lanjutan untuk kelompok BTN adalah
membangun pemahaman mengenai evaluasi rencana kolaboratif,
implementasi program kolaboratif, dan pengembangan kelembagaan
kolaboratif, termasuk skema pendanaannya. Fokus untuk kelompok
182 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

para pihak, lebih berorientasi untuk meningkatkan pemahaman


mengenai fungsi taman nasional dan penguatan peran mereka dalam
program kolaboratif yang telah direncanakan.
Selain berorientasi pada penguatan kapasitas perencanaan dan
implementasi PKTN, proyek JICA-CFET juga berorientasi pada penguatan
kapasitas penyelenggaraan pelatihan di Pusdiklat Kehutanan dengan
memperkenalkan metode pelatihan orang dewasa yang dilaksanakan
secara partisipatif. Sampai saat buku ini ditulis, proyek JICA-CFET
telah menyelenggarakan pelatihan dasar sebanyak 3 kali untuk 12 taman
nasional, di mana pelatihan dasar ke-3 sepenuhnya diselenggarakan oleh
Pusdiklat Kehutanan; dan 2 kali untuk pelatihan lanjutan. Hasil evaluasi
tim independen menunjukkan bahwa proyek JICA-CFET memberikan
banyak hasil positif, khususnya dalam hal penguatan kapasitas perencanaan
kolaboratif taman nasional dan penguatan kapasitas penyelenggaraan
pelatihan di Pusdiklat Kehutanan. Hasil yang sangat nyata diperoleh
dengan meningkatnya kapasitas resort dalam perencanaan kolaboratif,
di mana resort mampu melaksanakan sendiri proses-proses fasilitasi
masyarakat dan para pihak dengan dukungan kepala seksi dan kepala balai
taman nasional.
Dalam banyak hal, permasalahan yang sering muncul adalah
kesalahpahaman dalam berkomunikasi dan perbedaan pandangan antara
pengelola taman nasional, pemerintah daerah, masyarakat lokal dengan
para pihak lainnya. Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh banyak hal,
diantaranya adalah:
1. Kurang berfungsinya unit teritori terkecil (resort) dalam keseluruhan
pengelolaan taman nasional.
2. Masih terjadi kesenjangan yang besar dalam pemahaman PKTN
pada Tingkat Balai—Seksi Wilayah—resort dan bahkan antar-unit
manajemen taman nasional dan pemerintah daerah.
3. Terbatasnya ruang lingkup PKTN bersama masyarakat (masih dalam
kerangka penyelesaian konflik).Masih lemahnya tata hubungan dan
mekanisme kerja serta koordinasi antara Balai taman nasional dengan
stakeholder.
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 183

4. Masih belum dipenuhinya prinsip-prinsip kolaborasi dalam proses


PKTN.
5. Lemahnya akuntabilitas publik dalam pengelolaan taman nasional.
6. Ketidakpastian hukum.
7. Kompetensi kepala resort dalam mengimplementasikan unsur-unsur
kunci PKTN masih lemah.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa permasalahan mendasar
yang dihadapi oleh UPT taman nasional di Indonesia adalah masih
lemahnya kompetensi dan belum dipahaminya secara utuh konsep PKTN
oleh keseluruhan unsur di BTN.
PKTN mengharuskan adanya perubahan dalam budaya pengelolaan
kawasan taman nasional, yaitu berperan sebagai pengelola serta fasilitator
yang akan membawa para pihak bersama serta melibatkan mereka dalam
proses pengambilan keputusan. Intinya adalah memfokuskan pengelolaan
kepada manfaat-manfaat yang saling menguntungkan bagi para pemangku
kepentingan, tanpa mengabaikan tujuan utama pengelolaan TN. Pengelola
TN sebagai aparatur negara akan menjadi sumber daya manusia yang lebih
baik jika dapat melayani masyarakat, sehingga mampu mencapai tujuan
pengelolaan TN dan memenuhi kepentingan para pihak selain mereka
sendiri.
Peran sebagai fasilitator mengharuskan pengelola taman nasional memiliki
kemampuan dalam bidang komunikasi, tidak hanya pengetahuan mengenai
keanekaragaman hayati, terutama bagi staf resort yang kesehariannya
berhadapan langsung dengan masyarakat. Agar dapat menjalankan misi ini
dan menjadikan balai taman nasional sebagai suatu organisasi yang efektif,
staf balai harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan pekerjaannya di
lapangan dan dedikasi untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Oleh
karena itu, performa (kinerja) kerja sumber daya manusia TN harus
ditingkatkan.
Kinerja (performance) sumber daya manusia adalah faktor pemungkin
(enabling factor) penting yang memengaruhi potensi suatu organisasi
untuk mencapai tujuannya. Organisasi yang sukses akan memastikan
dirinya agar memiliki lingkungan yang memungkinkan potensi penuh
184 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

dari stafnya dapat diwujudkan. Selain itu juga, ada penyelarasan antara
tujuan manajemen sumber daya manusia dengan tujuan organisasi. Kinerja
sumber daya manusia dapat ditingkatkan melalui tiga komponen perilaku
yaitu pengetahuan, kemampuan, dan sikap. Hasil penelitian Gagne (1985)
dan Merrill (2002) menemukan bahwa belajar paling baik dilakukan
jika subjek yang harus dipelajari dipecah menjadi pengetahuan yang
dibutuhkan untuk melakukan suatu tugas, keterampilan yang diperlukan
untuk melaksanakan tugas, dan dalam kasus lanjutan, kompetensi, yang
merupakan kombinasi dari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan
untuk melaksanakan tugas-tugas kompleks. Kompetensi tidak hanya
terfokus pada aspek teknis untuk melakukan pekerjaan dengan baik, tetapi
juga pada aspek manajerial dan kepribadian interpersonal yang diperlukan
untuk berfungsi sebagai seorang profesional. Seyogianya seorang staf TN
harus memiliki pengetahuan yang cukup, harus termotivasi, dan harus
memiliki kemampuan agar merasa berdaya dalam melaksanakan tugasnya.
Pengetahuan, kemampuan, dan sikap yang menyatu dalam pelaksanaan
tugas profesional akan meningkatkan kinerja seseorang. Dengan kata lain,
peningkatan kompetensi akan meningkatkan kinerja.
Kompetensi dibutuhkan untuk mencapai kinerja yang efektif dalam
melaksanakan pekerjaan. Kompetensi dalam kolaborasi dapat dilakukan
pada level balai, seksi maupun resort yang pengembangannya disesuaikan
dengan wewenang masing-masing. Tabel 6 menunjukkan uraian unit
kompetensi untuk kepala balai, kepala seksi wilayah dan kepala resort
taman nasional terkait dengan PKTN. Daftar unit kompetensi terpilih
sesuai dengan Standar Kompetensi SDM KPH Konservasi yang telah
divalidasi melalui keputusan Ketua BNSP No. KEP-26/BNSP/VI/2008
tanggal 13 Juni 2008 tentang Penetapan Kelayakan Standar Kompetensi
Jabatan Pengelola Kawasan Konservasi (Competence Standards for
Protected Area Jobs in South East Asia ,Regional Centre for Biodifersity
Conservation) sebagai acuan dalam skema sertifikasi kompetensi pihak
pertama.
Tabel 6. Kompetensi kepala balai, kepala seksi wilayah, dan kepala resort taman nasional terkait dengan manajemen
kolaborasi
Kepala Kepala Kepala
Kompetensi
Balai Seksi Resort
HRM Pengembangan Sumber Daya Manusia
3.1 Mengarahkan, mengawasi dan memotivasi setiap individu serta kelompok √
3.2 Memantau dan mengevaluasi kinerja staf/pegawai √
3.3 Menemukan sumber penyebab rendahnya kinerja staf /pegawai dan mengonsultasikannya dengan staf √
terkait untuk setiap permasalahan kinerja
3.4 Memulai perilaku disiplin secara formal dan membangun mekanisme penyampaian permasalahan √
3.5 Menyelesaikan konflik di lingkungan tempat kerja √
FIN Pengelolaan Sumber Daya Fisik dan Keuangan
3.1 Mempersiapkan alokasi anggaran dan merencanakan serta memantau penggunaan sumber daya √
3.2 Menerapkan standar lingkungan yang baik dalam pemanfaatan sumber daya √

COM Komunikasi
2.1 Membuat presentasi lisan secara efektif √
2.2 Menyiapkan laporan untuk setiap aktivitas pekerjaan √
2.3 Komunikasi dalam bahasa lain dan/atau dialek √
3.1 Mengorganisasi dan memimpin pertemuan formal √
3.2 Memberikan presentasi dan mengajaeteknis secara formal √ √
3.3 Menulis laporan teknis/makalah √ √
3.4 Menganalisis dan mensosialisasikan isu-isu kompleks √ √
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional

3.5 Mewakili pengelola kawasan konservasi pada acara-acara umum √


4.1 Membangun kesepakatan dalam menyelesaikan perselisihan dan konflik √
185

4.3 Mekanisme kelembagaan untuk konsultasi publik dan komunikasi keputusan, kebijaksanaan, dan √
perencanaan
Tabel 6. Kompetensi kepala balai, kepala seksi wilayah, dan kepala resort taman nasional terkait dengan manajemen 186
kolaborasi (lanjutan)
Kepala Kepala Kepala
Kompetensi
Balai Seksi Resort
PRO Pengelolaan dan Pengembangan Program Pembangunan
3.1 Mengembangkan rencana operasional √
3.2 Mengatur ketua-ketua tim, para kontraktor, kolaborator pada tatanan implementasi rencana kerja √
3.3 Mencatat dan memantau hasil-hasil program pembangunan √
3.4 Menyiapkan rencana teknis program pembangunan √
4.4 Memimpin pembangunan kolaborasi kemitraan dan program dengan lembaga lain √
NAT Penilaian Sumber Daya Alam
1.1 Mengidentifikasi jenis-jenis tumbuhan dan satwa serta tipe habitat √
1.2 Mencatat dan melaporkan pengamatan hidupan liar secara tepat √
1.2 Membantu kegiatan sensus, monitoring, dan pekerjaan lapangan lainnya √
SOC Penilaian Sosial, Ekonomi dan Budaya
2.1 Melakukan survei sosial ekonomi dan budaya di lapangan menggunakan teknik dasar √
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

3.1 Melaksanakan analisis para pihak √ √ √


3.2 Merencanakan, mensupervisi dan memfasilitasi kegiatan pengumpulan informasi ekonomi dan mata √ √ √
pencaharian masyarakat
3.3 Menganalisis dan menyajikan data survei √ √
3.4 Memimpin program penilaian dan pemantauan etnografi dan warisan budaya √
Tabel 6. Kompetensi kepala balai, kepala seksi wilayah, dan kepala resort taman nasional terkait dengan manajemen
kolaborasi (lanjutan)
Kepala Kepala Kepala
Kompetensi
Balai Seksi Resort
DEV Pembangunan Berkelanjutan dan Masyarakat
2.1 Melakukan koordinasi dengan kelompok masyarakat √ √
2.2 Mengatur pertemuan lokal, kegiatan dan presentasi √ √
2.3 Menyiapkan informasi, pedoman dan bantuan teknis bagi masyarakat atas dasar konservasi dan pemanfaatan √ √
lestari
2.4 Memantau kesesuaian dengan kesepakatan di lapangan √ √
3.1 Memungkinkan input dari komunitas dari kepentingan perencanaan, pengambilan keputusan dan √ √
pengelolaan
3.2 Membangun kesepakatan antara komunitas dan pengelola √ √
3.3 Merencanakan, mengoordinasikan, dan memfasilitasi pengembangan kapasitas komunikasi √ √
3.4 Mempromosikan pengembangkan jaringan dan organisasi lokal √ √
3.5 Memberikan masukan/saran kepada komunitas yang didasarkan pada pemanfaatan dan pengelolaan sumber √ √
daya alam
3.6 Menyiapkan masukan/saran/petunjuk pendanaan bagi komunitas √ √
3.7 Melakukan komunikasi dengan pemuka agama dan ketua adat untuk mempromosikan konservasi dan √ √
pemanfaatan yang lestari
3.8 Memberikan saran/petunjuk pada masyarakat sesuai dengan keahlian dan pengalaman perorangan √ √
4.1 Mendesain dan menegosiasikan komponen komunitas sebagai bagian dari program pembangunan √
berkelanjutan dan konservasi terpadu
4.2 Mengembangkan kesepakatan akses dan pemanfaatan sumber daya √
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional

4.3 Menyelesaikan klaim lahan dan relokasinya √


4.4 Menyelesaikan konflik yang terkait dengan kawasan konservasi, komunitas dan pihak lainnya √
187

4.5 Mengidentifikasi dan memobilisasi sumber daya lainnya untuk membantu, mendukung dan mendanai √
komunitas lokal
Tabel 6. Kompetensi kepala balai, kepala seksi wilayah, dan kepala resort taman nasional terkait dengan manajemen 188
kolaborasi (lanjutan)
Kepala Kepala Kepala
Kompetensi
Balai Seksi Resort
PAM Kebijakan, Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi
4.1 Mengkoordinasikan desain sistem zonasi kawasan konservasi sehingga terpenuhi kepentingan konservasi dan √
kepentingan lainnya
4.2 Memimpin penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi √
4.3 Membangun kesepakatan dengan pihak lokal untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi √
5.4 Mengembangkan dan implementasi sistem manajemen alternatif kawasan konservasi √
5.5 Mengelola proses penunjukan, penataan batas, dan penetapan kawasan konservasi √
5.6 Memberikan kontribusi dalam pengembangan dan pembaharuan kebijakan yang terkait dengan kawasan √
konservasi
REC Rekreasi dan Wisata
3.1 Mengidentifikasi potensi dan kegiatan wisata yang sesuai √
3.2 Mengidentifikasi kebutuhan informasi yang terkait dengan pengunjung dan perencanaan survei wisata √
Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

3.3 Mengidentifikasi dampak wisata yang potensial serta mendesain sistem pemantauan dampak √
3.4 Menyusun standar pencegahan/ pengurangan/ mitigasi dampak pengunjung √
3.5 Mensupervisi keselamatan dan keamanan pengunjung dan pengguna lain √
3.6 Memantau dan mensupervisi kegiatan √
Tabel 6. Kompetensi kepala balai, kepala seksi wilayah, dan kepala resort taman nasional terkait dengan manajemen
kolaborasi (lanjutan)
Kepala Kepala Kepala
Kompetensi
Balai Seksi Resort
AEP Penyuluhan, Pendidikan dan Kehumasan
1.1 Memberikan informasi dasar ke stakeholder dan pengunjung √ √
2.1 Memberikan informasi pada pengunjung anggota masyarakat dan umum √
2.3 Menyampaikan struktur program awarness bagi orang dewasa/masyarakat √
3.1 Merencanakan kegiatan program pendidikan dan awarness √
3.2 Melakukan penelitian, membuat rencana, desain awarness/dan penulisan publikasi pendidikan √
3.3 Melakukan penelitian, membuat rencana dan desain jalur interpretasi √
3.4 Mengorganisir event khusus untuk publik √
3.5 Melakukan penelitian, membuat rencana dan desain interpretasi atau papan petunjuk/pameran √
3.6 Melakukan penelitian, membuat rencana dan desain dasar program kurikulum di sekolah √
3.7 Mengumpulkan, memverifikasi dan menyebarluaskan berita dan informasi √
3.8 Memberikan informasi untuk media √
Sumber: Modul Kepala Balai, Modul Kepala Seksi dan Modul Kepala Resort, Basic Training I Collaborative Management for National Park Staff
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional
189
190 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Pengembangan kolaborasi membutuhkan kemampuan dalam komunikasi,


pengembangan jejaring, melihat peluang untuk berkolaborasi berdasarkan
pengetahuan akan jenis-jenis sumber daya yang dapat dikelola secara
kolaboratif, serta yang tidak kalah pentingnya adalah keterampilan
dalam kepemimpinan (leadership) dengan efektif. Kepemimpinan
menggambarkan perubahan dalam budaya organisasi. Seorang pengelola
taman nasional harus dapat berperan sebagai penyelenggara, pengelola
dan fasilitator yang membawa para pihak dalam proses pengambilan
keputusan bersama. Sudah saatnya seorang pengelola taman nasional
mengembangkan hubungan dengan mitra melalui komunikasi, sehingga
mitra dapat memahami dan mendengar hal yang sama. Berkerja sama
dengan para pihak berarti bermitra dan berkolaborasi. Organisasi seperti
Balai Taman Nasional menghadapi tantangan yang cukup besar, sehingga
kinerja yang tinggi dari staf balai taman nasional diharapkan dapat
menghadapi tantangan-tantangan tersebut dan mencapai tujuan institusi.
Pelatihan secara strategis digunakan untuk memperkuat organisasi balai
taman nasional serta meningkatkan kinerja sumber daya manusianya.
Pelatihan merupakan sebuah aktivitas yang dilakukan untuk memastikan
bahwa semua tenaga kerja pada semua tingkatan memiliki keterampilan
yang dibutuhkan untuk menjalankan perannya secara efektif dan untuk
memastikan tercapainya tujuan organisasi. Pelatihan adalah sebuah proses
yang membantu individu untuk meningkatkan kemampuan, keterampilan
dan sikap, berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa. Pelatihan
merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap performa
staf serta bagaimana mereka menjalankan tugasnya. Pelatihan yang efektif
akan mampu mengubah perilaku. Suatu pelatihan adalah usaha untuk
mengubah perilaku dan performa dengan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan, serta aspek-aspek yang memengaruhi perubahan perilaku.
Beberapa ciri penting pelatihan yang telah diselenggarakan oleh proyek
JICA-CFET dalam penguatan kapasitas pengelolaan kolaboratif adalah:
1. Berbasis Kompetensi
Tidak seperti pelatihan pada umumnya, pelatihan PKTN telah
memperhitungkan standar kompetensi yang harus dimiliki pada
setiap tingkat jabatan pengelolaan sesuai dengan kompetensi yang
dapat dilihat pada Tabel 6. Oleh karenanya, Pelatihan Manajemen
Kolaborasi ini sebenarnya mengarah kepada Pelatihan Berbasis
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 191

Kompetensi (PBK) walaupun belum sepenuhnya terimplementasikan.


Dalam pelatihan, kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk
setiap tingkat jabatan peserta pelatihan sudah dipertimbangkan dalam
materi dan praktiknya.
Tujuan PBK adalah membantu individu untuk menguasai
keterampilan, pengetahuan, dan sikap sehingga mereka mampu
menunjukkan hasi kerjanya pada standar di tempat kerja pada kondisi
tertentu. Sesuai dengan keputusan Dirjen Pembinaan, Pelatihan dan
Produktivitas No. KEP.225/LATTAS/VIII/2006, bahwa pelatihan
berbasis kompetensi merupakan salah satu pendekatan penyelenggaraan
pelatihan kerja yang mengacu kepada Standar Kompetensi Kerja
sesuai kebutuhan industri/pasar kerja. Program pelatihan berbasis
kompetensi diselenggarakan secara terpadu baik di lembaga pelatihan
kerja maupun di tempat kerja yang secara langsung dibimbing dan
diawasi oleh instruktur dan atau pekerja/karyawan yang kompeten
di bidangnya. Pelatihan diselenggarakan dengan berorientasi pada
keluaran (output dan outcome) yang pelaksanaannya bergantung pada
kecepatan dan keaktifan masing-masing peserta dalam menyelesaikan
unit kompetensi yang dipilih.
Dengan mempertimbangan kompetensi-kompetensi staf balai taman
nasional yang terkait dengan manajemen kolaborasi, melalui pelatihan
ini diharapkan akan mempercepat peningkatan kapasitas staf balai
TN dalam melakukan kegiatan manajemen kolaborasi. Terlebih lagi,
dalam pelatihan ini, staf balai TN juga diminta untuk membuat sebuah
Rencana Aksi yang dapat diterapkan bersama dengan stakeholder di
lapangan, sehingga pelatihan ini tidak hanya berhenti begitu pelatihan
selesai tetapi masih berlanjut di lokasi kerja masing-masing.
2. Pendekatan Andragogi (Pendidikan Orang Dewasa)
Pelatihan Manajemen Kolaborasi juga membantu mempercepat
kegiatan manajemen kolaborasi di lapangan karena peningkatan
kapasitas staf menggunakan pendekatan pendidikan orang dewasa.
Secara proses, pelatihan ini lebih bertumpu pada peserta diklat untuk
saling menggali dan membagi pengalaman masing-masing sehingga
kapasitas setiap peserta menjadi meningkat dan bukan merupakan
proses kegiatan pelatih mengajarkan sesuatu. Sebagai alat pedagogis,
kerangka ini berbeda dari pendekatan pengajaran tradisional dengan
berfokus pada output bukan input. Tujuan pembelajaran ini kemudian
192 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

disesuaikan dengan pendekatan pengembangan kapasitas yang sesuai


termasuk modul pelatihan khusus/kursus. Pembelajaran orang dewasa
menegaskan bahwa seorang dewasa akan belajar apa yang ingin
mereka pelajari. Setiap keterampilan yang diajarkan tidak terlepas dari
standar kompetensi yang harus dimiliki peserta. Dengan mengetahui
kompetensi standar yang harus dimiliki oleh staf balai taman nasional,
dapat ditentukan keterampilan apa yang harus dimiliki partisipan.
Penyelenggaraan diklat manajemen kolaborasi menekankan pada
prinsip learning by doing di mana seorang dewasa akan belajar dari
pengalaman sendiri, dari pengalaman orang lain, dan pembelajaran
bersama. Cara terbaik untuk mendapatkan ini adalah melalui kerja
kelompok, misalnya studi kasus di taman nasional masing-masing
seperti yang diterapkan dalam pelatihan manajemen kolaborasi.
Dari hari pertama peserta datang, mereka sudah dibangun rasa
kebersamaannya melalui pembentukan kelompok-kelompok Taman
Nasional Virtual. Dengan demikian, mereka pun belajar untuk bersatu
dengan orang lain serta memahami proses-proses yang mempercepat
maupun menghambat proses kolaborasi, yang memudahkan mereka
ketika kembali ke tempat kerja.
Orang dewasa adalah orang-orang yang kaya pengalaman, punya
pendirian, dan sikap nilai tertentu. Untuk itu, terdapat prinsip
membelajarkan orang dewasa, yaitu:.
Prinsip pertama; tidak menggurui atau mengajari mereka, tetapi
ajaklah mereka belajar bersama.
Prinsip Kedua; jangan menyalahkan atau merendahkan pendapat
mereka.
Prinsip Ketiga; kembangkan proses belajar dari pengalaman
masyarakat atau hubungkan antara teori dengan kehidupan sehari-
hari mereka.
Prinsip Keempat; berikan informasi yang memang dibutuhkan
mereka.
Prinsip Kelima; pertimbangkan keterbatasan kemampuan belajar
mereka.
Kelima prinsip di atas diterapkan dalam pelatihan ini, di mana
pelatih lebih bersifat sebagai fasilitator yang mengundang pendapat
dari peserta terutama terkait permasalahan di lokasi kerja. Peserta
pada umumnya sangat menyukai studi kasus seperti ini. Terbukti dari
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 193

hasil evaluasi yang selalu meminta untuk memperbanyak studi kasus.


Selain itu, pembahasan-pembahasan pun diarahkan sesuai dengan
jabatan mereka di lokasi kerja, sehingga peserta merasa nyaman dalam
pelatihan ini. Tidak lupa juga beberapa materi disampaikan oleh
narasumber yang tidak asing di bidang PHKA sehingga menambah
semangat dan motivasi pada peserta.
3. Implementasi Rencana Aksi
Secara umum kegiatan yang dilakukan oleh tim pelaksana rencana
aksi adalah analisis para pihak, pengumpulan data dan informasi
melalui survei potensi sumber daya alam dan survei sosial ekonomi
yang dilakukan secara partisipatif, pendampingan, dan pertemuan-
pertemuan untuk menyusun kesepakatan dengan para pihak. Para
pihak yang dilibatkan dalam rencana aksi pada umumnya adalah
komunitas lokal, pemerintah desa, serta perwakilan dan dinas
pemerintah daerah terkait. Taman Nasional Betung Kerihun dan
Rawa Aopa melibatkan organisasi nonpemerintah. Taman Nasional
Betung Kerihun dan Taman Nasional Lorentz melibatkan perusahaan
swasta.
Pada tahapan pelaksanaan rencana aksi, perbaikan rencana aksi
dilakukan ketika kunjungan monitoring karena:
• Usulan rencana aksi mengalami perubahan dengan usulan rencana
aksi yang diusulkan selama diklat dasar berlangsung. Perubahan
ini disebabkan oleh belum terinternalisasinya dengan baik hasil-
hasil diklat dasar ke dalam sistem manajemen balai taman nasional
yang bersangkutan. Perpindahan peserta diklat tingkat balai satu
bulan setelah diklat mengakibatkan interprestasi yang berbeda
terhadap usulan rencana aksi oleh staf taman nasional lain.
• Usulan rencana aksi yang ditulis selama diklat tidak sesuai dengan
situasi sebenarnya. Bahan dan informasi yang dibawa oleh
peserta diklat dasar bersifat umum dan tidak membawa informasi
khas daerah yang akan dijadikan tempat kegiatan rencana aksi
berlangsung. Akibatnya, sasaran usulan rencana aksi menjadi
tidak realistis.
Pada tanggal 31 Oktober–4 November 2011 , para peserta Diklat
Manajemen Kolaborasi bagi Staf Taman Nasional Angkatan I dan
perwakilan para pihak menghadiri Diklat Lanjutan Manajemen Kolaborasi
di Pusdiklat Kehutanan, Bogor. Mereka memaparkan capaian rencana
194 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

aksi mereka dengan catatan: belum seluruhnya tahapan kegiatan yang


tercantum di usulan rencana aksi selesai dilaksanakan. Rencana pada saat
pelatihan dasar dan capaian yang dipresentasikan pada saat pelatihan
lanjutan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Sasaran dan capaian implementasi rencana aksi peserta diklat


manajemen kolaborasi taman nasional angkatan I dan II
Taman Sasaran (disusun saat pelatihan Capaian (dipresentasikan pada
Nasional dasar) saat pelatihan lanjutan)
Taman Nasional Terwujudnya Kelembagaan Program kolaborasi Kelompok
Lore Lindu Kolaborasi dan Budi Daya alami Penangkar Satwa Cakar Maleo
Burung Maleo (Macrocephalon
maleo) yang mantap di Dusun
Saluki, Desa Omu, Kec.
Gumbasa, Kab. Sigi di tahun
2011
Taman Nasional Tersusunnya dokumen Terjalin komunikasi antar para
Lorentz perencanaan bersama para pihak dengan masyarakat Tsinga
pihak dalam pengembangan
ekowisata di Dusun Beanekogom,
Aquarama dan Doliningokngin,
kampung Tsinga.
Taman Nasional Membangun Nota Kesepakatan Dasar implementasi rencana
Wakatobi (MoU) bersama dan menetapkan aksi 5 tahun bersama paravpihak
tugas, peran, dan tanggung dalam pengembangan ekowisata
jawab masing-masing stakeholder di Pulau Kapota
dalam pembangunan kolaborasi
pengelolaan potensi ekowisata di
Pulau Kapota, Taman Nasional
Wakatobi.
Taman Nasional Terwujudnya rencana kolaboratif • Tersusunnya Nota
Betung Kerihun pengembangan Dusun Sadap Kesepakatan tentang
sebagai Dusun Wisata tahun pengembangan Dusun
2012–2014 Sadap sebagai Dusun
Wisata
• Tersusunnya draf rencana
pembangunan Dusun
Sadap dalam rangka
menuju Dusun Wisata
• Launching/pencanangan
Dusun Sadap sebagai
Dusun Wisata oleh Bupati
Kapuas Hulu
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 195

Tabel 7. Sasaran dan capaian implementasi rencana aksi peserta diklat


manajemen kolaborasi taman nasional angkatan I dan II
(lanjutan)
Taman Sasaran (disusun saat pelatihan Capaian (dipresentasikan pada
Nasional dasar) saat pelatihan lanjutan)
Taman Nasional Membuat kesepakatan antara Kesepakatan antara TNRAW
Rawa Aopa TNRAW dengan masyarakat/ dengan masyarakat/LKM dalam
Watumohai LKM dalam pemanfaatan (ruang pemanfaatan (ruang dan pola)
dan pola) pada hutan mangrove pada hutan mangrove secara
secara lestari lestari
Taman Nasional Tercapainya rencana kegiatan Rencana kegiatan bersama aksi
Tanjung Puting bersama aksi kolaborasi antara kolaborasi antara Balai TNTP,
Balai TNTP, masyarakat Desa masyarakat Desa Teluk Pulai,
Teluk Pulai, dan para pihak dan para pihak lainnya dalam
lainnya dalam rangka kegiatan rangka kegiatan perlindungan
perlindungan hutan terhadap hutan terhadap kebakaran hutan
kebakaran hutan di Desa Teluk di Desa Teluk Pulai
Pulai
Taman Nasional Terwujudnya kesepakatan Kesepakatan pemanfaatan
Manusela pemanfaatan getah Damar antara getah Damar antara Taman
Taman Nasional, masyarakat Desa Nasional, masyarakat Desa
Sawai-Masihulan dan para pihak Sawai-Masihulan dan para pihak
lainnya lainnya
Taman Nasional Tercapainya kesepakatan Kesepakatan pengelolaan zona
Bukit Dua Belas pengelolaan zona pemanfaatan pemanfaatan Taman Nasional
Taman Nasional bersama Suku bersama Suku Anak Dalam
Anak Dalam dan masyarakat desa dan masyarakat desa Pematang
Pematang Kabau Kabau

Dari hasil monitoring diketahui bahwa capaian rencana aksi ini


bergantung dari bagaimana pihak BTN mengelola semaksimal mungkin
modal sosial yang dimilikinya. Ini artinya, di aras balai, Kepala Balai
mengintegrasikan manajemen kolaborasi ke dalam kebijakan balai
taman nasional yang diterjemahkan ke dalam serangkaian prosedur dan
pendelegasian wewenang yang mencerminkan hal tersebut. Selanjutnya,
seksi dan resort akan meneruskan kebijakan itu sesuai dengan kewenangan
arasnya. Unjuk kerjanya bisa dilihat dari hal yang sederhana: sejauh
mana balai melibatkan staf bukan peserta Diklat Manajemen Kolaborasi
dalam kegiatan pelaksanaan rencana aksi. Dalam aras yang lebih tinggi,
unjuk kerja ditunjukkan dengan mengintegrasikan rencana aksi ke dalam
kegiatan manajemen kolaborasi lain yang dimiliki oleh balai menjadi
196 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

satu kesatuan. Memaksimalkan modal sosial berarti juga memaksimalkan


upaya jejaring untuk memaksimalkan modal sosial yang dimiliki oleh para
pihak. Balai dan seksi berjejaring dan berkoordinasi dengan para pihak
di arasnya. Petugas resort sebagai petugas garda depan membangun mutual
trust melalui proses integrasi dengan para pihak di wilayah kerjanya,
terutama komunitas lokal.
Beberapa pembelajaran penting dari implementasi rencana aksi dan
respons spesifik lokal pada masing-masing BTN adalah sebagai berikut:
• Balai TNBK mengintegrasikan rencana aksi Diklat Manajemen
Kolaborasinya dengan kegiatan Festival Danau Sentarum Betung
Kerihun yang merupakan kegiatan bersama Dirjen PHKA dan
Pemerintah Daerah Kapuas Hulu. Patut dicatat bahwa letak Kantor
Resort Sadap terletak bersebelahan dengan Kampung Sadap. Karena
letaknya yang berdekatan, terjadi interaksi sehari-hari dengan
Komunitas Dayak Iban Sadap. Ada beberapa kegiatan ritual yang
dilaksanakan di halaman kantor resort. Pada sisi lain, beberapa penduduk
lokal bekerja sebagai petugas bantu di kantor resort. Catatan menarik
pengalaman pelaksanaan rencana aksi didapat dari pengalaman Balai
Taman Nasional Betung Kerihun. Pada awal pelaksanaan rencana aksi
awal 2011, terjadi konflik dengan komunitas dayak terkait dengan
rencana pengembilan kayu di TNBK untuk membangun rumah adat.
Konflik ini membuat rencana aksi tertunda pelaksanaannya. Dengan
memaksimalkan modal sosial komunitas dayak: penghormatan
terhadap hukum adat, pendekatan dilakukan oleh TNBK ke berbagai
pihak. Konflik ini diselesaikan dengan penandatanganan MoU
antara Masyarakat Hukum Adat Ketemanggungan Tamambaloh,
Iban, Labian dan Tamambaloh Apalin dengan Balai Besar TNBK.
MoU ini mencantumkan keterlibatan masyarakat hukum adat dalam
pengelolaan TNBK. Ditandatanganinya MoU menjadi modal bagi
kegiatan-kegiatan kolaborasi selanjutnya, termasuk pelaksanaan
rencana aksi Diklat Dasar Manajemen Kolaborasi.
• Herman Sasia, petugas Balai Taman Nasional Lore Lindu, tinggal
di tengah-tengah masayarakat Desa Saluki. Beliau menjadi
motivator masyarakat. Bersama beberapa anggota masyarakat, beliau
memelopori pembangunan jalan ke kebun-kebun kopi masyarakat
untuk mempermudah transportasi hasil panen. Keberhasilannya
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 197

menjadikan beliau dipercaya oleh masyarakat. Ketika beliau


menginisiasi pembentukan Kelompok Penangkar Satwa- Cakar Maleo
dan pengembangan wisata alam Saluki, kegiatan itu memperoleh
dukungan masyarakat.
• Tim rencana aksi Taman Nasional Lorentz menggandeng PT Freeport
untuk membantu transportasi mereka ke kampung Tsinga dengan
menggunakan helikopter. Diperlukan waktu 20 menit penerbangan
dari Timika ke Tsinga.
• Tim rencana aksi Taman Nasional Wakatobi memanfaatkan Jumat
Bersih sebagai bagian dari program yang disepakati bersama parapihak
untuk membersihakan pantai lokasi wisata alam. Tiap Jumat,
masyarakat Kapota terbiasa melakukan kerja bakti kebersihan
• BTNBD menandatangani kesepakatan zona pemanfaatan TNBD
Resort Pematang Kabau dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Jambi bertindak untuk dan atas nama Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Jambi, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Provinsi Jambi bertindak untuk dan atas nama Dinas Sosial, Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jambi, Balai Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (DAS) Batang Hari, Universitas Jambi, Program studi
Biologi Universitas Jambi, Dinas Pertanian Kabupaten Sarolangun,
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten
Sarolangun, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten
Sarolangun, Dinas Sosial dan tenaga Kerja Kabupaten Sarolangun,
Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Sarolangun, UPTD Balai
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kecamatan Air
Hitam, masyarakat Desa Pematang Kabau, Model Desa Konservasi,
Masyarakat Mitra Polhut, Tumenggung SAD Pematang kabau.
Kesepakatan ini mendukung kegiatan pengembangan potensi wisata
alam di zona pemanfaatan kawasan TNBD Resort Pematang Kabau
di wilayah Desa Pematang Kabau Kecamatan Air Hitam Kabupaten
Sarolangun dengan sinkronisasi program para pihak terkait dengan
kegiatan kolaborasi di zona pemanfaatan tersebut.
• TNM memberlakukan mekanisme trade off dengan Kelompok
Masyarakat Pemanfaat dan Pengelola Getah Damar dari Dusun
Masihulan, Desa Sawai, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku
Tengah. TNM memberikan ruang areal pemanfaatan getah damar
bagi komunitas ini dengan syarat: komunitas penyadap getah damar
198 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

berpartisipasi dalam kegiatan pengamanan dan rehabilitasi hutan.


Mereka juga tidak diperkenankan untuk memperluas areal penyadapan
getah damar mereka. Ruang pemanfaatan untuk penyadapan getah
damar diakomodasikan ke dalam zona pemanfaatan tradisional.
Hanya anggota komunitas yang menandatangani kesepakatan dengan
TNM, yang diperkenankan dalam memperoleh akses penyadapan
damar ini.
• TNRAW mengembangkan zona pemanfaatan pengelolaan mangrove
secara lestari di Kabupaten Konawe Selatan. Bersama Lembaga
Komunitas Mangrove Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
Kabupaten Konawe Selatan, BTNRAW mengembangkan program
prioritas:
a. Peningkatan perlindungan dan pengamanan kawasan Taman
Nasional Rawa Aopa Watumohai khususnya di wilayah
Kabupaten Konawe Selatan.
b. Pelestarian dan Pengawetan SDA.
c. Pemanfaatan SDA Mangrove secara lestari.
d. Penataan pondok singgah.
e. Pengalihan pemanfaatan kayu mangrove kepada jenis lainnya
sebagai bahan baku pokok dalam budi daya rumput laut dan
pondok singgah/pondok kerja.
f. Penguatan kelembagaan komunitas mangrove dan peningkatan
sumber daya manusia.
g. Penyuluhan, sosialisasi, dan promosi kawasan mangrove.
• TNTP mengembangkan kesepakatan dengan para pihak di kabupaten
mengenai pencegahan hutan dan lahan di desa Teluk Pulai. Para pihak
yang terlibat antara lain Masyarakat Mitra Polhut, Bappeda Kabupaten
Kotawaringin Barat, obar, KP2KP, Dinas Pertanian dan Peternakan,
Dinas Kelautan dan Pesisir, Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan,
Dishut, KSDA, Pemerintah Kecamatan Kumai, Pemerintah Desa
Teluk Pulai. Selain soal koordinasi mengenai pencegahan kebakaran
hutan, kesepakatan terkait dengan sinkronisasi kegiatan pemberdayaan
masyarakat yang ada di Satuan Kerja Pemerintah Daerah berkaitan
dengan kegiatan-kegiatan kolaborasi dicapai.
Selain menyelesaikan beberapa kegiatan yang tersisa, pekerjaan rumah bagi
taman nasional peserta diklat adalah bagaimana memastikan kesepakatan-
kesepakatan yang dibangun itu dapat berjalan. Kepastian ini hanya dapat
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 199

dibangun melalui pengembangan kelembagaan kolaborasi yang efektif:


bukan sekedar memastikan siapa berbuat apa dan mekanisme bertanggung
gugatnya kepada publik, tetapi juga memastikan siklus belajar dalam
berkolaborasi berjalan efektif.
Siklus belajar ini sifatnya mendasar karena pada dasarnya manajemen
kolaborasi taman nasional bersifat dinamis dan juga harus memenuhi
prinsip kehati-hatian: sesuai dengan tujuan pengelolaan taman nasional
itu sendiri. Tanpa siklus belajar, kolaborasi bisa terjebak dalam aktivisme
atau justru kontra produktif dengan pengelolaan tujuan pengelolaan
taman nasional itu sendiri. Oleh karenanya, sangatlah penting untuk
mengembangkan indikator kinerja kolaborasi serta mekanisme pemantauan
dan evaluasinya di masing-masing taman nasional. Tentu saja, ini masih
membutuhkan jalan panjang.
Pada sisi lain, setelah diklat dasar, agaknya proses asistensi pascadiklat
berperan penting, terutama dalam mendampingi petugas garda depan
dalam memfasilitasi proses kolaborasi. Jika dilakukan pendampingan
dari Pusdiklat Kehutanan, akan memakan biaya tidak sedikit. Untuk
itu pilihannya adalah meningkatkan kapasitas Balai Diklat Kehutanan
daerah untuk menyelenggarakan Diklat Manajemen Kolaborasi
sekaligus melakukan asistensi pascadiklat dalam pelaksanaan rencana aksi
pascaproyek dengan JICA berakhir.
Berdasarkan pengalaman monitoring pelaksanaan rencana aksi Diklat I dan
II, beberapa hal yang yang perlu dilakukan dalam proses pendampingan
pelaksanaan rencana aksi adalah:
a. Asistensi Analisis Survei Sosial Ekonomi
Secara umum para peserta tidak mengalami kesulitan dalam
melakukan kegiatan pengumpulan data dan informasi. Akan tetapi,
tim monitoring mencatat bahwa dalam kegiatan survei sosial ekonomi
secara partispatif, para peserta kesulitan melakukan analisis data hasil
wawancara, observasi maupun Participatory Rural Apraisal yang
mereka lakukan.
b. Asistensi Proses Fasilitasi
Memfasilitasi proses perencanaan partisipatif merupakan hal yang
baru bagi petugas taman nasional, terutama bagi petugas resort. Apalagi
dengan sebagian besar berlatar belakang polisi hutan, memfasilitasi
200 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

pertemuan-pertemuan dengan para pihak merupakan pengalaman


tersendiri. Tidaklah mengherankan jika dalam kunjungan monitoring,
tim monitoring perlu melakukan asistensi proses pertemuan
dengan para pihak, mulai dari tata ruang pertemuan sampai teknik
memfasilitasi.
c. Asistensi Pelaporan Dan Dokumentasi
Kelemahan teknis yang paling menonjol dalam pelaksanaan rencana
aksi Diklat Manajemen Kolaborasi I dan II adalah lemahnya proses
dokumentasi dan pelaporan. Padahal dua hal inilah yang mendasar
dalam siklus belajar kolaborasi: tanpanya, indikator kinerja sebaik
apapun yang telah disusun tidak dapat digunakan. Pun tak ada yang
dapat dimaknai sehingga tak ada proses belajar. Kelemahan ini juga
mesti mendapatkan perhatian
Hasil evaluasi keseluruhan rangkaian pelatihan, baik pada pelatihan dasar
maupun lanjutan, menunjukkan bahwa peran Pelatihan Manajemen
Kolaborasi bagi staf taman nasional telah membantu mempercepat
(mengakselerasi) kegiatan manajemen kolaborasi taman nasional di lokasi
peserta. Berdasarkan hasil evaluasi “Joint Terminal” diketahui bahwa
pelatihan memiliki relevansi dan efektivitas yang tinggi, sedangkan untuk
aspek efisiensi dan keberlanjutan dinilai relatif tinggi.
Berdasarkan hasil evaluasi dari para peserta pelatihan, diperoleh hasil yang
menegaskan bahwa pelatihan ini memang bermanfaat dalam meningkatkan
kapasitas staf taman nasional dan juga mempercepat kegiatan manajemen
kolaborasi di lokasi kerja sebagaimana disajikan pada Tabel 8 dan 9.

Tabel 8. Hasil evaluasi basic training I dan II


Basic Training I (%) Basic Training II (%)
Kriteria
Puas Tidak Puas Puas Tidak Puas
Proses Belajar-Mengajar 84,52 15,48 94,54 5,46
Substansi Pelatihan – kelebihan
70,00 30,00 93,34 6,66
materi Pengajaran
Administrasi dan Jasa Komunikasi 69,64 30,36 88,89 11,11
Ruang belajar 75,00 25,00 73,27 26,73
Akomodasi dan Konsumsi 83,04 16,96 70,83 29,17
Rata-rata 76,44 23,56 84,17 15,83
Sumber: hasil evaluasi basic training I dan II
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 201

Tabel 9. Evaluasi follow up training I


Kriteria Indikator Subtotal % Total %
Abstain 1 2,22
Tidak
Tidak bermanfaat 1 2,22 3 6,67
Bermanfaat
Belum bermanfaat 1 2,22
Cukup bermanfaat 1 2,22
Bermanfaat 15 33,33
Bermanfaat 42 93,33
Sangat bermanfaat 24 53,33
Sangat sangat bermanfaat2 4,44
45 100,00 45 100,00
Apakah dapat Diterapkan di Tempat Kerja?
Ya (Optimis) 40 88,89
Ya 43 95,56
Ya (tetapi tidak optimis) 3 6,67
Tidak Abstain 2 4,44 2 4,44
45 100,00 45 100,00
Sumber: evaluasi harian follow up training I

Tabel 7 dan 8 di atas menunjukkan bahwa hampir semua peserta Pelatihan


I dan II puas dengan pelatihan Basic Training dan Follow Up Training yang
mereka terima. Berdasarkan hasil evaluasi peserta Follow Up Training II
mengenai peran pelatihan ini dalam upaya penerapan kegiatan kolaborasi
di lapangan, didapatkan hasil bahwa 100% peserta merasakan manfaat
dari pelatihan ini dalam beberapa aspek.
Sebanyak 69,56% mengatakan bahwa pelatihan ini meningkatkan
pengetahuan peserta, 1,09% mengatakan meningkatkan pemahaman
serta 29,35% mengatakan meningkatkan keterampilan mereka dalam
melaksanakan kegiatan kolaborasi dengan stakeholder lainnya. Pada
dasarnya, semua jawaban ini menunjukkan bahwa peran pelatihan
manajemen kolaborasi di dalam meningkatkan kegiatan manajemen
kolaborasi di lokasi kerja taman nasional peserta sangatlah besar.
Materi yang terutama dirasakan paling memberikan penguatan kapasitas
peserta dalam melaksanakan kegiatan kolaborasi di lapangan adalah
Participatory Rural Appraisal (PRA), Survei Partisipatif, Pemetaaan
Partisipatif, dan Analisis Stakeholder. Materi-materi ini tidak hanya
diberikan dalam kelas, tetapi diikuti praktik di luar kelas, serta praktik
langsung di taman nasional contoh selama satu minggu. Selain itu, tahapan
202 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

yang diajarkan dalam membuat rencana aksi juga sangat membantu


peserta dalam menjalankan rencana berkolaborasi di lapangan. Semua
materi ini merupakan materi dasar yang harus dimiliki setiap peserta agar
dapat melaksanakan kegiatan kolaborasi dengan benar. Semua peserta
mengawali kegiatan dengan melakukan PRA dan survei partisipatif, yang
mana peserta mengatakan bahwa dari hasil kegiatan ini, baik peserta
maupun masyarakat sasaran menjadi saling memahami akan kondisi TN,
kondisi masyarakatnya serta dapat menjalin komunikasi yang lebih baik
dan mengurangi konflik atau kesalahpahaman di lapangan. Sehingga
melalui ilmu yang sudah didapatkan dari Pelatihan Basic Training and
Follow Up Training mengenai Manajemen Kolaborasi, performa staf
taman nasional, dan taman nasional itu sendiri meningkat.
Pelatihan juga membuka ruang komunikasi dan menguatkan komitmen
internal antarstaf BTN pada tingkat Resort, Seksi, dan Kepala Balai atau
unit organisasi di atasnya. Membangun kapasitas di tingkat resort untuk
memfasilitasi proses kolaborasi dengan para pihak yang diakui sebagai
bagian proses perencanaan teknis di tingkat BTN tampaknya merupakan
kebutuhan absolut yang tidak bisa ditawar. Pelatihan juga menunjukkan
indikasi kuat bagi peningkatan rasa percaya diri para staf di tingkat
resort, serta mematangkan kepemimpinan dan mekanisme pengambilan
keputusan di tingkat BTN secara keseluruhan. Struktur ini bak “gayung
bersambut” dengan kebijakan pengelolaan taman nasional berbasis resort
(RBM) yang telah menjadi target Direktorat Jenderal PHKA saat ini.
Pelatihan di atas merupakan salah satu langkah penting dalam penguatan
kapasitas PKTN. Selain melalui pelatihan, pola-pola lain yang dipandang
efektif adalah mengembangkan mekanisme pendampingan ke suatu taman
nasional sebagaimana banyak dilakukan oleh LSM penggiat pengelolaan
kolaboratif dan pengembangan pusat keunggulan (Center of Excellence atau
CoE) yang saat ini sedang dikembangkan di TNGHS untuk pembangunan
PKB dan TNUK untuk pembangunan JRSCA. CoE tidak hanya berperan
dalam mempercepat perencanaan kolaboratif, tetapi juga menyediakan
bantuan teknis dan pendanaan yang diperlukan bagi para pihak dalam
berbagai aspek PKTN.
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 203

C. Membangun Lembaga Kolaboratif


Secara umum kelembagaan adalah aturan main (rule of the game), baik
formal maupun informal, yang mengikat aktor-aktor sosial dalam jejaring
pada kerangka kerja normatif bersama yang dikodifikasi melalui hukum,
kode etik informal, norma, maupun konvensi/kesepakatan. Kelembagaan
menentukan bagaimana perilaku yang paling sesuai bagi kelompok sosial
tertentu. Sebaliknya, siapa pun yang melanggar aturan dan norma akan
mendapatkan hukuman dan sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya.
Dalam kelompok masyarakat, sanksi atas pelanggaran norma tertentu
seringkali berkembang menjadi perilaku normatif (sanksi sosial).
Kelembagaan secara ringkas menggambarkan pranata sosial dan aturan
main yang merajut semua pelaku untuk mencapai visi bersama.
Mengacu pada berbagai sumber, Lesorogol (2008) menjelaskan bahwa
kelembagaan sangat penting karena memudahkan dan memungkinkan
terjadinya relasi antar-anggota kelompok sosial dengan memberikan
informasi yang terpercaya (credible) mengenai bagaimana seseorang
akan bertindak dalam situasi tertentu. Berdasarkan informasi tersebut,
aktor-aktor sosial dapat mengembangkan harapan yang cukup akurat
terhadap perilaku aktor lain dan bertindak berdasarkan harapan tersebut.
Dengan cara tersebut, biaya untuk mendapatkan informasi menjadi
sangat berkurang dengan hasil seluruh interaksi sosial dapat difasilitasi.
Eksistensi kelembagaan akan menurunkan biaya transaksi dan memiliki
implikasi langsung dalam pertukaran ekonomi. Lebih jauh lagi, para
aktor dapat membangun kepercayaan pada anggota komunitas lainnya
dan membangun modal sosial melalui interaksi yang dibangun atas dasar
kepercayaan.
Pentingnya kelembagaan berpilar pada peranannya dalam memudahkan
interaksi, termasuk relasi produksi dan pertukaran sumber daya. Dengan
menspesifikkan aturan main, kelembagaan merupakan roda kehidupan
sosial yang mengurangi biaya untuk mendapatkan informasi mengenai
apa yang akan dilakukan aktor sosial lainnya. Dengan memberikan celah
informasi yang terpercaya mengenai perilaku anggota kelompok sosial dan
menurunkan seluruh biaya transaksi apapun, memungkinkan anggota
204 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

untuk memproduksi dan mereproduksi segala sesuatu atau melakukan


upaya untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara yang efisien yang tidak
mungkin dicapai tanpa kelembagaan tersebut.
Prinsip-prinsip desain kelembagaan dalam pengelolaan CPR dijelaskan
oleh Ostrom (1999) sebagai berikut:
1. Batas-batas ditetapkan dengan jelas (clearly defined boundaries): setiap
orang yang memiliki hak atas unit-unit sumber daya dari CPR dan
batas-batas CPR tersebut ditetapkan dengan jelas.
2. Harmoni (Congruence): (a) Distribusi manfaat dari aturan pemberian
hak secara umum sesuai dengan biaya yang ditanggung oleh penyediaan
aturan tersebut; (b) Aturan pemberian hak membatasi waktu, tempat,
teknologi dan/atau jumlah unit sumber daya sesuai kondisi lokal.
3. Pengaturan pilihan kolektif: sebagian besar individu yang dipengaruhi
oleh aturan main berhak untuk berpartisipasi dalam memodifikasi
aturan main tersebut.
4. Pemantauan: pemantau, yang secara aktif mengaudit kondisi sumber
daya persediaan dan perilaku pengguna, bertanggung jawab kepada
pengguna dan/atau anggota pengguna tersebut.
5. Sanksi yang tegas: pengguna yang melanggar aturan operasional harus
mendapat sanksi yang tegas (bergantung pada keseriusan dan konteks
pelanggarannya) dari pengguna lain, dari petugas yang bertanggung-
gugat kepada pengguna atau keduanya.
6. Mekanisme resolusi konflik: pengguna dan para petugas memiliki
akses cepat yang murah dan arena lokal untuk menyelesaikan konflik
antarpengguna atau antara pengguna dengan para petugas.
7. Pengakuan minimal atas hak mengorganisasikan diri (minimal
recognition of rights to organise): hak pengguna untuk merencanakan
institusinya tidak ditolak oleh pemegang wewenang dari pemerintahan
eksternal.
8. “Nested enterprises”: untuk CPR yang merupakan bagian dari sistem
yang lebih besar: aktivitas pemberian hak, penyediaan, pemantauan,
penegakan, resolusi konflik, dan kepemerintahan diorganisasikan
dalam lapisan ganda dari “nested enterprises”.
Prinsip-prinsip di atas memberikan ruang bagi pelaksanaan pengelolaan
kolaboratif yang melibatkan aksi kolektif para pihak yang berkepentingan
dengan sumber daya hutan di dalam taman nasional. Wujud kolaborasi
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 205

yang umum adalah jejaring—dijelaskan O’Toole (1997) sebagaimana diacu


oleh Fleishman (2009)—yaitu struktur ketergantungan yang melibatkan
berbagai organisasi atau bagian organisasi tersebut, di mana satu unit tidak
memiliki subordinasi formal terhadap unit lainnya dalam tatanan hierarki
yang lebih besar. Jejaring menunjukkan stabilitas struktural, melampaui
hubungan yang dibentuk secara formal dan ditetapkan oleh kebijakan.
Perekat institusional dalam jejaring mencakup ikatan kewenangan,
hubungan pertukaran, dan koalisi berbasis kepentingan bersama,
keseluruhannya dalam struktur tunggal berunit ganda. Mengacu dari
berbagai sumber, Fleishman (2009) menjelaskan secara ringkas mengenai
beberapa teori yang sering digunakan untuk menjelaskan partisipasi
organisasional dalam jejaring, antara lain:
1. Tujuan umum (Common purpose): organisasi membentuk jejaring
untuk mencapai tujuan yang sama, tepat-sambung (compatible) atau
serupa.
2. Kesamaan keyakinan (Shared beliefs): kesamaan nilai dan sikap
mental (attitude) memungkinkan hubungan antar-organisasi dijalin
melalui jejaring atau membantu hubungan tersebut semakin stabil
menurut waktu. Sistem keyakinan yang umum, mencakup norma,
nilai, persepsi dan prinsip—merupakan perekat utama dalam suatu
jejaring.
3. Kepentingan politik (Political interest): organisasi seringkali mengejar
kepentingan politiknya melalui jejaring. Melalui partisipasi dalam
jejaring kebijakan, organisasi dapat: (1) mempromosikan pandangan
atau keinginan anggota atau konstituennya; (2) memperoleh akses
pada pejabat politik atau proses pengambilan keputusan dan/
atau membentuk aliansi politik; (3) memperoleh legitimasi politik
atau kewenangan; (4) mempromosikan kebijakan atau program
organisasi.
4. Aktor katalitik (Catalytic actors): kepemimpinan, baik dalam organisasi
dan pemimpin atau koordinator jejaring penting dalam membangun
hubungan jejaring.
PKTN melalui tata jejaring yang memiliki dimensi vertikal dan horizontal,
melibatkan berbagai aktor pemerintah, swasta, dan organisasi nirlaba
(NPO). Pengelola jejaring dapat secara simultan mengelola jejaring
melampaui batas tugas pokok dan fungsi masing-masing organisasi dan/
atau melalui tanggung jawab kontrak formal. Dalam beberapa kasus,
206 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

jejaring dibentuk secara formal melalui regulasi pemerintah atau kebijakan


pemerintah di bidang tertentu. Jejaring dengan struktur informal juga
sering ditemukan dalam berbagai kasus kolaborasi. Salah satu pendekatan
lain, adalah para pihak bersama-sama mengembangkan lembaga otonom
tertentu yang berbadan hukum dengan mandat sebagai co-manager dalam
pengelolaan taman nasional yang secara legal telah memiliki pengelola,
tetapi secara fungsional memiliki karakter sebagai CPR, sehingga kinerjanya
rendah akibat lemahnya kapasitas (“incapacity”).
Secara prinsip kelembagaan, PKTN harus mampu menguatkan
pengelolaan taman nasional melalui penguatan kapasitas pengelolaan,
peningkatan pendanaan dan mewujudkan pemberdayaan masyarakat,
tanpa mengabaikan manfaat ekonomi yang mungkin dikembangkan
untuk menghasilkan keuntungan bisnis. Prinsip ini mengharuskan setiap
program yang dikembangkan harus terikat dan menjadi bagian dari rencana
pengelolaan kawasan konservasi jangka panjang. Upaya untuk mendorong
terjadinya mekanisme pembagian keuntungan hanya akan dapat dilakukan
jika dan hanya jika pengelola kawasan konservasi diberikan ruang otonom
untuk mengelola cash flow untuk mencapai kinerja terbaiknya, misalnya:
menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum (BLU).
Dalam kondisi di mana BLU masih merupakan harapan, pengembangan
lembaga berbadan hukum yang ditetapkan melalui kebijakan sebagai “co
manager” pengelolaan kawasan konservasi merupakan bentuk inovasi yang
dapat diadopsi. Mengingat karakteristik sumber daya di dalam kawasan
konservasi sebagai CPR, lembaga “co-manager” sebaiknya lebih memainkan
peran sebagai pusat keunggulan atau “center of excellence” (CoE), sementara
implementasi setiap programnya dapat dilaksanakan oleh para stakeholder
yang relevan dan memiliki kompetensi memadai.

D. Menuju Taman Nasional Mandiri:


Model Konseptual CoE Pusat
Konservasi Biodiversitas TNGHS
Dalam mewujudkan visinya” “menjadi taman nasional terbaik yang
dikonstruksikan secara sosial dan menjamin kelestarian fungsinya sebagai
sistem penyangga kehidupan”, pengelolaan TNGHS didukung oleh berbagai
pemangku kepentingan yang diwujudkan dalam dokumen Rencana
Pengelolaan TNGHS 2007–2026 yang disusun secara kolaboratif. Untuk
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 207

mewujudkan visi tersebut, TNGHS mengembangkan Pusat Konservasi


Biodiversitas TNGHS, sebagai Center of Excellent (CoE) yang diharapkan
mampu menopang pencapaian tujuan dan mengembangkan kemandirian
pengelolaan TNGHS. Dalam rencana yang telah disusun, PKB-TNGHS
akan mengembangan 3 CoE, yaitu CoE Riset dan Pendidikan Konservasi,
CoE Pemanfaatan Sumber Daya Alam Lestari, dan CoE Restorasi
Ekosistem dan Spesies. Ketiga CoE ini secara utuh akan menjawab
permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan TNGHS saat ini dan
masa depan (TNGHS 2011).
Sebagai sebuah model konseptual, pembangunan PKB-TNGHS
mengadopsi prinsip yang berorientasi pada kolaborasi publik-publik-
NPO dan masyarakat, publik-NPO dan masyarakat, publik-partikelir-
masyarakat dan publik-partikelir secara simultan.

1. Kelembagaan
Sebagai sebuah inisiatif kelembagaan baru, PKB-TNGHS merupakan
bagian tak terpisahkan dari BTNGHS tetapi bekerja secara otonom
sebagai badan hukum tersendiri untuk mengatasi kesenjangan dalam
fleksibilitas penggunaan dana pemerintah dengan menggalang dana
dari berbagai pihak yang bersifat tidak mengikat. Dengan demikian,
kejelasan pembagian peran antara BTNGHS dan PKB menjadi prasyarat
utama bagi terwujudnya pengelolaan kolaboratif TNGHS. Gambar
18 menyajikan kerangka kelembagaan PKB dan posisinya terhadap
BTNGHS, berikut fokus kegiatan masing-masing dan kegiatan bersama,
namun keduanya terikat pada visi, misi, tujuan dan sasaran pengelolaan
TNGHS sebagaimana telah dituangkan dalam RPJP TNGHS Periode
2007–2026. Untuk menguatkan posisi PKB sebagai “co-manager”
BTNGHS diperlukan dukungan legalitas dalam bentuk Surat Keputusan
Menteri Kehutanan yang mengikat secara hukum.
Pusat Konservasi Biodiversitas memiliki tiga pusat keunggulan (CoE)
yang bertanggung jawab dalam mobilisasi para pihak dan melakukan
berbagai komunikasi publik dan politik, serta menggalang kemitraan dan
dana publik guna memastikan keberhasilan pengelolaan keanekaragaman
hayati di TNGHS. Didukung oleh unit penggalangan dana yang harus
mengembangkan mekanisme kerja sama dan mobilisasi kapasitas finansial
para pihak untuk menggerakkan CoE, para stakeholder diharapkan dapat
208 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

meningkatkan pembiayaan pengelolaan TNGHS pada masa yang akan


datang. Mekanisme penggalangan dana diharapkan mampu mendorong
kemandirian pendanaan pengelolaan taman nasional, khususnya untuk
pengelolaan keanekaragaman hayati secara kolaboratif, dan pada masa
yang datang dapat menjadi mitra bisnis BTNGHS bila telah menerapkan
pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) sehingga
pembagian keuntungan dapat langsung digunakan untuk menguatkan
kapasitas pengelolaan.
Selain itu, PKB bertanggung jawab dalam promosi dan pencitraan
keseluruhan program pengelolaan keanekaragaman hayati jangka panjang,
termasuk menarik investor berdasarkan potensi bisnis yang mungkin
dikembangkan. Secara garis besar, mekanisme kerja PKB, termasuk
mekanisme pendanaannya disajikan pada Gambar 19.
Dalam implementasinya, PKB harus mengembangkan perencanaan jangka
panjang bersama para pihak kunci yang relevan, baik instansi pemerintah,
LSM, masyarakat, dan lembaga swasta. PKB juga bertanggung jawab
untuk:
1. Menetapkan mekanisme pendanaan yang berasal dari berbagai sumber
bagi implementasi program yang relevan.
2. Memastikan implementasi program oleh para pihak, bisa fokus pada
tindakan pengelolaan keanekaragaman hayati di dalam TNGHS,
pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar TNGHS, maupun
bisnis yang mungkin dikembangkan bersama para pihak yang
relevan.
3. Melakukan sistem monitoring dan evaluasi objektif atas kinerja
seluruh program yang telah diimplementasikan oleh para pihak.
4. Mengembangkan mekanisme akuntabilitas kinerja, termasuk
penyampaian akuntabilitas program dan keuangan kepada publik
melalui media massa.
5. Mendukung pengembangan kapasitas TNGHS melalui penguatan
kapasitas manajerial dan tenaga fungsional dalam pengelolaan
keanekaragaman hayati.
Bersama-sama TNGHS dan para pihak, PKB harus mampu mendorong
kesepakatan mengenai aturan main pengelolaan keanekaragaman hayati,
termasuk mekanisme penegakan aturan main tersebut, sistem insentif
dan disinsentif, reward dan punishment, serta pertukaran data/informasi
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 209

dari hasil-hasil riset yang dilakukan. Kesepakatan tersebut secara eksplisit


menunjukkan peran kunci BTNGHS dan PKB dalam mendukung
pencapaian kinerja pengelolaan keanekargaman hayati di TNGHS,
sebagaimana telah dinyatakan di dalam RPJP TNGHS Periode 2007–
2026.

Gambar 18. Kerangka kelembagaan PKB dan posisi relatifnya terhadap


BTNGHS
210 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

Pengembangan PKB harus dilandaskan atas perencanaan jangka panjang


yang mampu mendongkrak kinerja pengelolaan keanekaragaman hayati di
TNGHS. Fokus orientasi pengembangan terbagi menjadi beberapa aspek
fundamental, yaitu:
1. Pengembangan lembaga kolaboratif yang menjadi arena para pihak
untuk mengembangkan program kemitraan melalui kerja CoE yang
handal dan terpercaya, diikuti dengan penyediaan sumber daya awal
untuk menggerakkan kerja lembaga kolaboratif hingga mampu
menjalankan roda organisasi secara mandiri. Lembaga kolaboratif
merupakan syarat perlu (prasyarat) agar pengelolaan keanekaragaman
hayati TNGHS dapat dibangun melalui prinsip-prinsip kolaborasi
yang valid dan berkelanjutan.
2. PKB yang dibentuk harus menyusun rencana program kolaboratif
jangka panjang berbasis kinerja yang mengacu pada sasaran pengelolaan
TNGHS yang tertuang dalam rencana pengelolaan jangka panjang
TNGHS.
3. PKB harus mengembangkan rencana bisnis yang mengakomodasikan
kepentingan pelaku bisnis, termasuk para investor dan masyarakat.
4. PKB harus mengembangkan program secara terinci, yang secara
langsung melibatkan para pihak kunci yang relevan dengan bidang
tertentu yang memiliki prioritas tinggi untuk dikerjakan, sekaligus
mengembangkan mekanisme akuntabilitas publik kelembagaan
kolaboratif yang dibangun, termasuk akuntabilitas keuangan.
5. Berdasarkan mandat yang diterima, PKB bertanggung jawab untuk
mengembangkan strategi mobilisasi sumber daya yang dimiliki para
pihak, baik pemerintah, swasta maupun publik dalam arti luas.
Keseluruhan sumber daya, khususnya dana, harus dialokasikan
secara jelas, baik yang bersifat hibah maupun investasi bisnis, dan
didistribusikan sesuai prioritas program melalui mekanisme pendanaan
yang akuntabilitasnya tertelusur (traceable).
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional

Gambar 19. Mekanisme kerja PKB TNGHS, menunjukkan peran CoE, fund raising unit, dan mekanisme
211

pendanaan
212 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

6. Dalam hal investasi, bisnis diproyeksikan dapat menghasilkan


keuntungan finansial, mekanisme pembagian keuntungan antara
pelaku bisnis, termasuk masyarakat, dengan lembaga kolaboratif harus
disepakati sejak tahap perencanaan guna memutar roda kelembagaan
kolaboratif secara keseluruhan.
7. Dalam hal BTNGHS telah menerapkan pola pengelolaan keuangan
BLU, pembagian keuntungan harus dibagi dengan pengelola kawasan
secara adil untuk menguatkan kapasitas pengelolaan yang menjadi
tanggung jawabnya.
Untuk menjalankan mekanisme kerja di atas, PKB memiliki struktur
organisasi (Gambar 20) dengan dukungan infrastruktur berupa sarana
prasarana yang pengelolaannya sebaiknya diserahkan kepada BTNGHS.

Gambar 20. Struktur organisasi pusat konservasi biodiversity TNGHS

2. Pendanaan
Tujuan pendanaan dalam pengembangan PKB berbeda-beda menurut
tahapan berikut:
• Pada tahap ide, tujuan pendanaan adalah untuk pembentukan
PKB, pengumpulan data dasar oleh CoE dan penyusunan rencana
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 213

pengelolaan keanekaragaman hayati di TNGHS jangka panjang yang


dilaksanakan secara partisipatif, tetapi dimotori dan difasilitasi oleh
CoE.
• Pada tahap awal, tujuan pendanaan adalah untuk membiayai
pengembangan kapasitas dan memenuhi kebutuhan sarana prasarana
pengelolaan yang diperlukan oleh Pusat Konservasi Biodiversity.
• Pada tahap pengembangan, tujuan pendanaan adalah memastikan
bahwa seluruh unsur pengelolaan yang direncanakan dan
diimplementasikan para pihak dapat dibiayai secara memadai.
• Pada saat siklus pengelolaan Pusat Konservasi Biodiversity telah mapan,
tujuan pendanaan adalah untuk meningkatkan kinerja pengelolaan
dengan mengembangkan strategi promosi dan “fund raising” yang
lebih baik.
Berdasarkan pengalaman dari para pihak yang selama ini mendorong
kemandirian pendanaan kawasan konservasi, sumber-sumber pendanaan
yang mungkin digalang untuk membiayai pengelolaan PKB antara lain:
• APBN/APBD.
• Pendapatan Negara Bukan Pajak, antara lain: yang dibayarkan melalui
retribusi dan bagi hasil keuntungan dari berbagai usaha oleh pihak
ketiga di bidang pariwisata alam dan jasa lingkungan.
• Hasil pembagian keuntungan dari usaha/bisnis yang dilakukan dalam
konteks pengelolaan keanekaragaman hayati secara kolaboratif.
• Dana kemitraan dengan pihak LSM yang memiliki program bidang
lingkungan dan/atau swasta yang memiliki visi hijau, termasuk
program CSR (Corporate Social Responsibilty).
• Dana hibah dari kerja sama antarnegara, baik yang bersifat multilateral
maupun bilateral, melalui berbagai program (GEF, Debt for Nature
Swap, kerja sama antarnegara).
• Dana publik (donasi terbuka, pohon asuh, dana dari yayasan tertentu,
dan sebagainya).
• Trust Fund, dana yang berasal dari berbagai sumber (trustee) dan
disimpan dalam “trust account” yang dikelola untuk meningkatkan
jumlahnya, sehingga dapat digunakan untuk membiayai pengelolaan
keanekaragaman hayati di TNGHS.
• Dana Abadi (Endowment Fund), yaitu dana yang berasal dari berbagai
sumber dan diakumulasikan secara bertahap dalam suatu account
bank, serta dikelola dengan cara tertentu, sehingga menghasilkan
214 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

akumulasi jumlah uang yang memadai untuk menghasilkan bunga


guna memenuhi kebutuhan pengelolaan keanekaragaman hayati
TNGHS setiap tahun.
3. Kerangka Legal PKB-TNGHS
Sejak dua dekade terakhir, pengelolaan kawasan konservasi secara
kolaboratif telah menjadi perhatian para pihak dan mendapatkan
dukungan legal melalui Peraturan Menteri Nomor P.19/Menhut-II/2004
tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan
Pelestarian Alam (KPA). Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun
2010 sebagai penyempurnaan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1999,
tentang Pengelolaan KPA dan KSA, telah membuka ruang kolaborasi yang
semakin mantap dan memberikan harapan bagi PTNK untuk membangun
cerita sukses kemandirian.
Peran privat (badan usaha) dalam pengelolaan kawasan konservasi diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2010, terbatas dalam bidang
rehabilitasi dan restorasi kawasan (Pasal 30) dan bidang pemanfaatan
(Pasal 33 sampai dengan 37) melalui mekanisme perizinan oleh menteri/
gubernur/bupati sesuai dengan kewenangan penyelenggaraan pengelolaan
kawasan konservasi. Dalam hal peran tersebut, berkaitan dengan
pariwisata alam, pengaturannya mengacu pada PP 36 Tahun 2010 yang
secara operasional diatur melalui Peraturan Menteri No. P48 Tahun 2010
tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Dalam konteks
ini terdapat 3 bentuk izin yang dapat diperoleh oleh badan usaha, yaitu:
1. Izin pengusahaan pariwisata alam adalah izin usaha yang diberikan
untuk mengusahakan kegiatan pariwisata alam di areal suaka
margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata
alam.
2. Izin usaha penyediaan jasa wisata alam yang selanjutnya disebut
IUPJWA adalah izin usaha yang diberikan untuk penyediaan jasa
wisata alam pada kegiatan pariwisata alam.
3. Izin usaha penyediaan sarana wisata alam yang selanjutnya disebut
IUPSWA adalah izin usaha yang diberikan untuk penyediaan fasilitas
sarana serta pelayanannya yang diperlukan dalam kegiatan pariwisata
alam.
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 215

Dalam taman nasional, kegiatan pariwisata alam dan kunjungan wisata


dilakukan di dalam zona pemanfaatan, sedangkan di suaka margasatwa,
taman wisata alam dan taman hutan raya dilakukan di blok pemanfaatan.
Selain hubungan pemerintah yang bersifat perizinan, badan usaha dapat
berperan dalam kerja sama penyelenggaraan KPA dan KSA sebagaimana
diatur dalam Pasal 43, dalam hal: (a) penguatan fungsi KSA dan KPA;
dan (b) kepentingan pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan.
Kemitraan publik-privat dalam pengelolaan kolaboratif taman nasional
mendapatkan dukungan legal melalui pasal tersebut.
Salah satu persoalan pokok aspek legal dalam pengelolaan kawasan
konservasi adalah desain organisasi pengelola yang berciri sebagai
organisasi birokrasi, sehingga melemahkan kapasitasnya sebagai pengelola
kawasan konservasi yang berorientasi pada kinerja pengelolaan. Lemahnya
data/informasi dasar dan tidak berkembangnya profesionalisme dalam
pengelolaan kawasan konservasi disebabkan oleh rendahnya orientasi
kinerja pengelolaan dan ketiadaan standar kinerja pengelolaan yang
diketahui oleh publik.
Situasi tersebut diperburuk dengan ketiadaan delegasi untuk mengelola
sumber daya finansial yang berasal dari hasil pengelolaan sendiri atau hasil
usaha pemegang izin sebagai bentuk pembagian keuntungan. Sebagai
akibatnya, pengelolaan kawasan konservasi cenderung mengalami situasi
“incapacity” baik secara manajerial maupun finansial. Situasi ini dapat
diperbaiki dengan mendorong perubahan dari organisasi penyelenggara
pengelolaan menjadi organisasi pengelola yang menerapkan pola
pengelolaan keuangan BLU/D sehingga meningkatkan kinerja pengelolaan
secara keseluruhan dan memungkinkan akumulasi modal finansial untuk
mengelola kawasan konservasi. Momentum perubahan dari BB/BTN
dan BB/BKSDA menjadi KPHK sebagaimana dimandatkan dalam PP 6
Tahun 2007 jo PP 8 Tahun 2008 dapat dimanfaatkan untuk mendorong
penerapan pengelolaan keuangan BLU/D dalam pengelolaan kawasan
konservasi.
Dalam konteks legal saat ini, Pengelolaan Keuangan BLU/D (PPK-
BLU/D) mengacu pada PP 2003 Tahun 2005, di mana BLU/D
adalah instansi di lingkungan pemerintah/daerah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang
216 Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia

dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan.


Dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas. Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa
keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Karakteristik
penting organisasi ini adalah:
1. Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK BLU) dimaksudkan
untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan fleksibilitas
pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi, produktivitas,
dan penerapan praktik bisnis yang sehat.
2. Melaksanakan tugas teknis operasional (langsung berhubungan
dengan pelayanan masyarakat):
a. Menyediakan produk yang berkaitan dengan pengelolaan
kawasan konservasi.
b. Menyediakan jasa di bidang yang berkaitan dengan pengelolaan
kawasan konservasi.
3. Bersifat Mandiri: mengelola kepegawaian, keuangan dan perlengkapan
sendiri. Tempat kedudukan terpisah dari organisasi induk
4. Pengelolaan otonom berdasarkan prinsip efisiensi dan produktivitas
korporasi. Dijabarkan dalam rencana bisnis dan anggaran (sesuai
PMK No. 44/PMK.05/2009) dan ukuran akuntabilitas yang jelas
(secara keuangan dan PHL).
5. Mengelola langsung pendapatan tanpa melalui kas keuangan negara,
tetapi tetap dilaporkan sebagai PNBP, mengelola kerja sama dan
hibah.
6. Bisa memiliki PNS dan non-PNS.
7. Organisasi bersifat nirlaba dan bukan subjek pajak.
Dalam waktu tunggu untuk mewujudkan organisasi pengelolaan kawasan
konservasi yang mumpuni, pengembangan PKB sebagai lembaga otonom
berbadan hukum dan ditetapkan secara legal sebagai “co-manager”
pengelolaan TNGHS memperoleh ruang yang memadai. Dalam
implementasinya, beberapa alternatif yang dapat dilakukan antara lain:
Penguatan Kapasitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional 217

1. Membentuk PKB sebagai lembaga baru berbadan hukum yayasan.


2. Konsorsium GEDEPAHALA yang telah berbadan hukum
perkumpulan dapat ditransformasikan kelembagaan dan
strukturnya menjadi PKB dengan tiga CoE aktif sebagaimana yang
dimandatkan.
3. Mendesentralisasikan CoE pada lembaga-lembaga yang memiliki
kompetensi dan diikat melalui kesepakatan legal, sehingga organisasi
harian PKB hanya memiliki satu orang direktur eksekutif didukung
dengan unit administrasi. Unit lainnya dikelola oleh lembaga yang
sudah ada, namun dengan tim lintas lembaga, misalnya:
a. Unit Fund Raising: Yayasan Kehati.
b. CoE Riset dan Pendidikan Konservasi: IPB.
c. CoE Pemanfaatan Sumber daya Alam Lestari: Sustainable
Management Group.
d. CoE Restorasi Spesies dan Ekosistem: Suaka Elang.
Apabila diimplementasikan secara serius, desain PKB-TNGHS
membutuhkan inisiatif pemerintah bersama para pihak untuk segera
membentuk tim kerja sebagai cikal bakal CoE yang mandiri dan
bertanggung-gugat pada publik. Upaya tersebut harus diikuti dengan
penguatan kapasitas BTNGHS untuk membangun kapasitasnya sebagai
pengelola (bukan penyelenggara) taman nasional yang dicirikan dengan
profesionalisme sumber daya manusia dan pengelolaan keuangan berbasis
PPK-BLU agar mampu mengakumulasikan modal finansialnya. Dalam
format BTN sebagai organisasi pemerintah, hanya dengan cara tersebut
kemandirian pengelolaan taman nasional dapat diwujudkan, di satu sisi,
menggandeng “co-manager” yang memiliki keleluasaan dalam menggalang
partisipasi dan dana publik, di sisi lain, membangun kapasitas BLU
yang memungkinkan BTN untuk membangun kapasitas profesional,
menggalang kemitraan bisnis yang berorientasi pada peningkatan layanan
publik dan berbagi keuntungan guna meningkatkan kapasitas finansial
bagi pengelolaan taman nasional pada masa yang datang. Konsep PKTN
dengan demikian akan mencapai cerita sukses jika dan hanya jika ada
keseriusan dan komitmen pemerintah serta para pihak yang memiliki
kepedulian atas kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Epilog:
Jalan Panjang Menuju
Taman Nasional Mandiri

Kolaborasi dalam pengelolaan taman nasional telah dimulai dengan


berbagai program yang diinisiasi oleh berbagai pihak. Dalam banyak hal,
kolaborasi belum menunjukkan keberhasilan yang menggembirakan,
walaupun capaian-capaian untuk aspek tertentu memberikan harapan
akan perbaikan pengelolaan taman nasional pada masa yang akan datang.
Pencarian jati diri PKTN belum berakhir, jalan panjang pembelajaran
multipihak masih harus ditempuh guna menemukan jurus-jurus jitu atau
adi-terapan (best practices) dalam mengelola sumber daya publik tersebut.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19/2004—yang berfungsi untuk
mengisi kekosongan hukum mengenai kolaborasi pengelolaan kawasan
suaka alam dan kawasan pelestarian alam—belum memadai untuk
mengakomodasikan pengaruh dan kepentingan para pihak secara optimal.
PKTN masih asyik menikmati proses dan manfaat-manfaat langsung bagi
para penggiatnya, tetapi orientasi pada kinerja yang mengangkat citra
taman nasional belum sepenuhnya dapat dibuktikan dengan fakta yang
memadai. Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2010 dan No. 28
Tahun 2010, serta prioritas nasional pembangunan KPHK, memberikan
secercah harapan baru bagi PKTN untuk menemukan koridor bagi peran
publik, partikelir, dan masyarakat madani yang menjamin keberlanjutan
dan kemandirian pengelolaan taman nasional.
Implementasi PKTN di Indonesia—masih usia remaja—telah
menumbuhkan spirit baru namun belum cukup untuk menggantikan
pendekatan legalistik yang berbasis “perintah-kendali” (command and
control). Akumulasi pengalaman selama ini tidak cukup menumbuhkan
rasa percaya diri pemerintah untuk mengedepankan PKTN sebagai
instrumen kunci, di satu sisi ada kesadaran tentang lemahnya kapasitas
dan di sisi lain tekanan eksternal juga terus meningkat akibat wacana
220 Epilog: Jalan Panjang Menuju Taman Nasional Mandiri

politik dan lemahnya kesadaran hukum konservasi di berbagai sektor dan


pemerintah otonom. Carut marut tata kepemerintahan yang diwarnai
dengan perilaku korup dan kontestasi kekuasaan secara tidak sehat telah
memicu banyak persoalan yang terkait dengan pelemahan pengakuan atas
taman nasional, kerusakan sumber daya alam di dalam taman nasional
dan akhirnya masyarakat lokal harus dikorbankan untuk menjadi pelipur
lara dan kambing hitam kegagalan. Jalan yang dilalui untuk mewujudkan
pengelolaan taman nasional mandiri masih sangat panjang, PKTN sebagai
pendekatan menjanjikan kemungkinan untuk memotong kompas menuju
tujuan tersebut. Ketegasan posisi dan keseriusan pemerintah memang
sangat diperlukan untuk menyediakan ruang negosiasi agar penegakan
hukum menjadi lebih memiliki nurani, dan andaikan harus dilakukan,
para pihak memahami bahwa korban memang pada posisi salah.
Beberapa kendala kunci PKTN seringkali berkaitan dengan salah satu atau
lebih dari hal-hal berikut:
1. Kesalahan dalam menetapkan siapa yang seharusnya terlibat sesuai
dengan fokus masalah yang diselesaikan. Kriteria kesukarelaan
bermitra seringkali diabaikan dengan cara menyediakan dana instan
bagi proses-proses dan program kolaborasi.Lemahnya kepemimpinan
dan profesionalisme dalam pengelolaan taman nasional.Lemahnya
konsistensi untuk mewujudkan visi dan spirit bersama oleh sebagian
pihak yang terlibat dalam kolaborasi.Rendahnya komitmen para
pihak dalam menindaklanjuti kesepakatan dalam proses kolaborasi.
Ketidaktersediaan payung hukum atau kebijakan yang memadai
dalam penyelesaian tata hak dan akses masyarakat, serta pemanfaatan
sumber daya alam di dalam taman nasional.Ketidaktersediaan payung
hukum atau kebijakan yang memadai untuk menguatkan mekanisme
pendanaan pengelolaan taman nasional.
2. Lemahnya kapasitas pengelola taman nasional, baik dalam hal sumber
daya manusia, sarana-prasarana, maupun keorganisasian.Lemahnya
kebijakan untuk memprioritaskan penyelesaian konflik antara
masyarakat atau sektor tertentu dengan taman nasional.
3. Tingginya orientasi para pihak untuk mendapatkan manfaat nyata
dan langsung dalam jangka pendek.Lemahnya proses pelembagaan
PKTN.
Epilog: Jalan Panjang Menuju Taman Nasional Mandiri 221

Menyadari kendala tersebut, fokus kebijakan prioritas adalah


mengembangkan organisasi pengelola taman nasional yang profesional
dan secara adaptif mampu mengakomodasikan pengaruh dan kepentingan
berbagai pihak, serta mendorong adi-terapan kolaborasi. Organisasi
semacam itu perlu dilengkapi dengan payung hukum yang memberikan
kewenangan otonom untuk: (1) mengatur tata hak dan akses masyarakat
melalui zonasi dan aturan pemanfaatan dalam setiap zona; (2) mengelola
dana yang berasal dari berbagai sumber, termasuk keuntungan usahanya;
(3) memperoleh kepastian dukungan yang memadai dari negara untuk
menguatkan kapasitas organisasi yang sesuai dengan karakter permasalahan
yang dihadapi; (4) melaksanakan secara konsisten rencana kolaboratif
yang disepakati; dan (5) mendapatkan pengakuan para pihak sehingga
memiliki posisi tawar untuk mengintervensi mobilisasi sumber daya para
pihak sesuai peran, tanggung jawab, hak dan kewajiban yang disepakati.
Organisasi pengelola taman nasional dengan pola pengelolaan keuangan
BLU dapat memberikan jawaban dalam mengembangkan kemandirian
pengelolaan taman nasional, sepanjang didukung dengan sumber daya
manusia yang profesional.
Pada masa transisi, adi-terapan kolaborasi hanya akan dapat diwujudkan
bila pengelola taman nasional didukung oleh sebuah ”lembaga kolaborasi
eksternal” yang memiliki empat fungsi penting, yaitu: (1) menjaga
agar proses-proses kolaborasi tetap dalam koridor yang benar sesuai
misi dan spirit bersama yang disepakati; (2) memastikan bahwa taman
nasional adalah kebijakan nasional yang memiliki dasar hukum dan dasar
ilmiah kuat yang pada dasarnya harus didukung oleh semua lembaga
pemerintah dan masyarakat untuk mencapai tujuan pengelolaannya; (3)
mengembangkan mekanisme pendanaan yang diterima semua mitra; (4)
mendorong perbaikan kinerja pengelolaan taman nasional sesuai standar
yang diakui. Tanpa dukungan kelembagaan semacam itu, kolaborasi
hanya akan menghasilkan pembelajaran yang penuh ketidakpastian,
tanpa garansi untuk meningkatkan kinerja pengelolaan taman nasional
sebagaimana yang diharapkan. Fokus pada penyelamatan 34% hutan
primer yang tersisa di dalam taman nasional Indonesia dapat dijadikan
basis pengembangan instrumen penegakan hukum, sedangkan 66%
222 Epilog: Jalan Panjang Menuju Taman Nasional Mandiri

kawasan lainnya dapat menjadi acuan di mana ruang kolaborasi dapat


dikembangkan untuk mengukuhkan peran dan fungsi taman nasional
pada masa mendatang.
Fokus prioritas pada area konflik untuk mengembangkan program
kolaborasi mungkin memperoleh pembenaran secara substansi, tetapi
membutuhkan kapasitas memadai, proses negosiasi dan waktu panjang
untuk membangun cerita sukses yang dapat dibanggakan. Secara
manajerial, membangun cerita sukses pada areal-areal yang masyarakatnya
telah memiliki kekuatan modal sosial dengan mengakselerasi kemanfaatan
taman nasional bagi mereka, mungkin akan menyiarkan gaung keberhasilan
yang lebih signifikan dan memberikan efek positif bagi area konflik untuk
mereplikasikan keberhasilannya. Kedua pendekatan tersebut dapat
dilakukan secara paralel melalui PKTN yang dikemas dalam rencana
kolaboratif pada saat penyusunan rencana jangka panjang pengelolaan
taman nasional. Kasus di Long Alango, TNKM dan Sukagalih, TNGHS
apabila dikawal dengan serius dan didukung oleh lembaga kolaboratif yang
kuat akan membangun pijakan perubahan pengelolaan taman nasional
pada masa mendatang.
Dari lima pertanyaan kebijakan yang diajukan, tampaknya model PKTN
yang dapat diimplementasikan di lapangan dan program PKTN yang
memiliki prioritas tinggi untuk dikembangkan telah mulai digali dan dicari
wujudnya di lapangan. Beberapa menunjukkan kemajuan dan secercah
keberhasilan, sebagian masih mencari bentuk untuk menemukan format
yang tepat dan spesifik lokal. Tiga pertanyaan lain yang menyangkut
kelembagaan PKTN, pola investasi dan mekanisme pendanaan dalam
struktur kelembagaan PKTN, serta kerangka hukum/legal dapat
mendukung keberlanjutan PKTN tersebut masih tetap menjadi pertanyaan
yang relevan untuk dikaji dan didorong untuk dijadikan komitmen politik
dan prioritas kebijakan nasional.
Akhirnya, sebagai manusia yang terus belajar dari pengalaman dan
bertambahnya tingkat keberadaban, sudah saatnya, para pemimpin di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Indonesia
mengubah kerangka pikir, dengan membangun ideologi, keyakinan dan
nilai bahwa konservasi hanya akan berhasil bila seluruh kebenaran ilmiah
dan etika global dapat diletakkan dalam ruang sosial secara tepat dan
Epilog: Jalan Panjang Menuju Taman Nasional Mandiri 223

menunjukkan kemanfaatan di tingkat lokal. Pendekatan perintah-kendali


terbukti telah gagal melestarikan taman nasional secara utuh, saatnya PKTN
dikemas menjadi pendekatan kunci yang berorientasi pada kemanfaatan,
keadilan dan akhirnya dilegalisasi untuk memastikan terwujudnya rentang
kendali yang diterima semua pihak. Taman nasional adalah arena dimana
semua daya dan akal budi manusia Indonesia seharusnya dicurahkan untuk
melestarikan sebagian kecil dari alam asli negeri tercinta ini. Setidaknya
itulah wujud minimal rasa syukur bangsa Indonesia atas kekayaan alam
yang dikaruniakan oleh Allah SWT
Daftar Pustaka

Arnscheidt J. 2009. Debating’ Nature Conservation:Policy, Law and Practice


in Indonesia. Amsterdam: Leiden University Press.Arnstein S. 1995.
A Ladder on Citizen Participation. (In Stein. J.M. Ed., 1995). Classic
Readings In Urban Planning: An Introduction. Mcgraw-Hill, Inc.
Pp.358–374.
Badan Planologi Kehutanan. 2008. Perhitungan Deforestasi Indonesia
Tahun 2008.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 1993. Rencana
Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bappenas. Jakarta.
____________. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati
Indonesia 2003–2020. Bappenas. Jakarta.
Berkes,F. 2004. Rethinking Community-Based Conservation. Conservation
Biology Volume 18, No. 3, June 2004. Pp. 621–630.
Borrini-Feyerabend G. 1996. Collaborative Management of Protected Areas:
Tailoring the Approach to the Context. IUCN, Gland, Switzerland.
Available also in French, Spanish and Portuguese from the IUCN
Social Policy group. http://www.iucn.org/themes/spg/Tailor/index.
html.
Borrini-Feyerabend G. (Ed.). 1997 (reprinted in 2000). Beyond Fences:
Seeking Social Sustainability in Conservation. 2 volumes. IUCN,
Gland, Switzerland. http://www.bsponline.org/publications/
showhtml.php3?14.
Borrini-Feyerabend G., M.T. Farvar, J.C. Nguinguiri and V.A. Ndangang.
2000. Comanagement of Natural Resources: Organising, Negotiating and
Learning-by-Doing. GTZ and IUCN, Kasparek Verlag, Heidelberg,
Germany.
226 Daftar Pustaka

Bossel H. 1999. Indicator for Sustainable Development – a System Analysis


Approach. In Unveilling Wealth on Money, Quality of Life and
Sustainability. Peter Bartelmus (Ed.). Netherland: Kluwer Academic
Publisher.Carroll TF. 2001. Social Capital, Local Capacity Building,
and Poverty Reduction. Social Development Papers No. 3. Office of
Environment and Social Development Asian Development Bank.
Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik. 2007. Identifikasi
Desa di Dalam Kawasan Hutan. Departemen Kehutanan dan Badan
Pusat Statistik, Jakarta.
Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik. 2009. Identifikasi
Desa di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan. Departemen Kehutanan
dan Badan Pusat Statistik. Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1986. Sejarah
Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta.
[Direktorat PJLKKHL] Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan
Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung. 2010. Renstra Direktorat
Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan
Lindung. Direktorat PJLKKHL. Jakarta.
Dudley N, Hockings M, Stolton S. 2010. Precious Places: Getting
the Arguments Right. In Stolton, S. And Dudley (Eds). Arguments
for Protected Areas: Multiple Benefits for Conservation and Use.
Earthscan Ltd. London, Washington DC.
Elliott J, D Sumba. 2011. Conservation Enterprise: What Works, Where and
for Whom?. The gatekeeper series of the Natural Resources Group
at IIED. International Institute for Environment and Development.
London.
Emilia, Aulia TAB. 2006. Pendekatan Partisipatif: Membangun
Kesepakatan antar Stakeholder di Taman Nasional Manupeu-
Tanadaru, Sumba. Warta Tenure Nomor 3 - Oktober 2006 hal
9–11.
Fahmi E, RY Zakaria, H Kartodihardjo, F Wahono. 2003. Minus Malum:
Analisis Proses Perhutanan Multi-Pihak Di Indonesia. Laporan Hasil
Penelitian. Insist dan Mitra. Yogyakarta.
Daftar Pustaka 227

Fleishman R. 2009. To Participate or Not to Participate? Incentives and


Obstacles for Collaboration. In The Collaborative Public Manager:
New Ideas for the Twenty-first Century. Rosemary O’Leary and Lisa
Blomgren Bingham (Ed). Washington, D.C: Georgetown University
Press.
Gagnè R. (1985). The Conditions of Learning and the Theory of Instruction
(4th edition). New York: Holt, Rinehart, and Winston.
Ginting Y, Dharmawan AH, Sekartjakrarini S. 2010. Interaksi Komunitas
Lokal di Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Kasus Kawasan
Ekowisata Tangkahan, Sumatera Utara. Sodality: Jurnal Transdisiplin
Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 04 No. 01 April
2010 hal. 39–58.
Haeruman H. 1999. Kebijaksanaan Pembangunan Taman Nasional
dalam Rangka Otonomi Daerah. Dalam Proseding Pertemuan
Regional Pengelolaan Taman Nasional Kawasan Timur Indonesia:
Kelembagaan Pengelolaan Taman Nasional tanggal 24–27 Agustus
1999. NRM/EPIC. Jakarta.
Hardin G. 1968. The Tragedy of the Common. Science 162, 1243-1248.
[The original publication of Garrett Hardin’s article].
Harmita D. 2009. Model Kampung Konservasi (MKK): Saling Percaya
dan Menghargai Perspektif yang Berbeda. Lilis Ciyarsih (Ed.).
TNGHS dan JICA. Bogor.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources. 1994. Guidelines for Protected Area Management Categories.
WCMC-IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge UK.
_________. 1995. (McNeely, J.A., Ed.). Expanding Partnerships in
Conservation. Island Press. Washington, D.C., Covelo, California.
_________. 1997. Resolutions and Recommendations: World Conservation
Congress. 12-13 October 1996. Montreal, Canada.
_______. 2008. Conference Proceedings: High Level Conference
on Business & Biodiversity. Lisbon, 12-13 November 2007
KLH (2006). Penyusunan Pedoman Pengelolaan Keanekaragaman Hayati
di Era Otonomi Daerah. Jakarta.
228 Daftar Pustaka

Kartodihardjo H, H Jhamtani (Eds.). 2006. Politik Lingkungan dan


Kekuasan di Indonesia. : Equinox Publishing. Jakarta.
Kassa S. 2009. Konsep Pengembangan Co-Management untuk Melestarikan
Taman Nasional Lore Lindu. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia. 2011. Menuju Kepastian dan
Keadilan Tenurial: mengenai prinsip, prasyarat dan langkah reformasi
kebijakan penguasaan tanah dan kawasan hutan di Indonesia.
Kementerian Kehutanan. 2010. Rencana Strategis 2010–2014.
Kementerian Kehutanan. Jakarta.
[KPK] Komite Penanggulangan Kemiskinan. 2005. Strategi Nasional
Penanggulangan Kemiskinan. Komite Penanggulangan Kemiskinan.
Jakarta.
Kramer RA, van Schaik CP. 1997. Preservation Paradigms and Tropical Rain
Forest. Page 3–14 in R. Kramer, C van Schaik, and J Jhonson (Ed.)
Last Stand: protected areas and the defense of tropical biodiversity.
Oxpord University Press. New York.
Kusumanto T, EL Yuliani, P Macoun, Y Indriatmoko, H Adnan. 2005.
Learning to Adapt: Managing Forests Together in Indonesia. CIFOR,
YGB and PSHK-ODA
Lesorogol CK. 2008. Contesting the Commons: Privatizing Pastoral Lands
in Kenya. The University of Michigan. Ann Arbor.
Lubis HS. 2006. Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis
Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat
Provinsi Sumatera Utara. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara. Medan.
MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsell J. 1990. Pengelolaan
Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. H.H. Amir
[Penerjemah]. Terjemahan dari: Managing Protected Areas in the
Tropics. International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources (IUCN). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Daftar Pustaka 229

Malvicini CF, AT Sweetser. 2003. Cara-cara Partisipasi. Pengalaman dari


RETA 5894: Kegiatan Pembinaan Kapasitas dan Partisipasi II. Asian
Development Bank.
Merrill D (2002). First principles of instruction. Educational Technology
Research and Development, 50(3). 43–59.
Murniati. 2004. Rehabilitasi Hutan dan Lahan dengan Pendekatan
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat: Beberapa Pelajaran Strategis.
Prosiding Ekspose Penerapan Hasil Litbang Hutan dan Konservasi
Alam 15 Desember 2004. Hal 65–75.
[OECD] Organisation for Economic Co-operation and Development.
1999. OECD Partnership Report.
O’Leary R, Gazley B, McGuire M, Bingham LB. 2009. Public Managers
in Collaboration. In The Collaborative Public Manager: New Ideas
for the Twenty-first Century. Rosemary O’Leary and Lisa Blomgren
Bingham (Ed). : Georgetown University Press.
Ostrom E. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for
Collective Action. Cambridge: Cambridge University Press. ________.
1999. Self-Governance and Forest Resources. Occasional Paper No. 20.
CIFOR, Bogor, Indonesia.
________. 2000. Private and Common Property Right. Workshop
in Political Theory and Policy Analysis, and Center for the Study
of Institutions, Population, and Environmental Change, Indiana
University
________. 2008. The Challenges of Common Pool Resources. http://www.
environmentmagazine.org/Archives/Back%20Issues/July-August%202008/ostrom-full.
html

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang


Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam.
Peraturan Menteri Kehutanan No. 56 Tahun 2006 tentang Pedoman
Zonasi Taman Nasional.
230 Daftar Pustaka

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48 Tahun 2010 tentang Pengusahaan


Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman
Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata
Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya,
dan Taman Wisata Alam.
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Perbatakusuma EA, Supriatna J, Wurjanto D, Supriadi P, Ismoyo B,
Wiratno, Sihombing L, Wijayanto I, Widodo ES, Manullang BO,
Siregar S, Damanik A, Lubis AH. 2005. Bersama Membangun
Kolaborasi Pengelolaan Ekosistem Taman Nasional Batang Gadis.
Naskah Kebijakan Tim Inisiator Kolaborasi Pengelolaan Taman
Nasional Batang Gadis. Proyek Kerjasama Departemen Kehutanan,
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten
Mandailing-Natal dan Conservation International Indonesia.
Jakarta.
PHKA-Dephut, NRM/EPIQ, WWF Wallacea dan TNC. 2002.
Membangun Kembali Upaya Mengelola Kawasan Konservasi di
Indonesia Melalui Manajemen Kolaboratif: Prinsip, Kerangka Kerja
dan Panduan Implementasi. Naskah Kerja Teknis.
Plummer R, DR Armitage 2007. Charting the new territory of adaptive co-
management: a Delphi study. Ecology and Society 12(2): 10. [online]
URL: http://www.ecologyandsociety.org/vol12/iss2/art10/
Robinson A, Sumardja E. 1990. Indonesia. In Allin, C.W. (Ed). International
Handbook of NationalPark and Nature Reserve. Greenwood Press.
New York, Westport, Connecticut, London.
RRI, ITTO. 2009. Tropical Forest Tenure Assessment: Trends, Challenges
and Opportunities. Prepared for the International Conference on
Forest Tenure, Governance and Enterprise: New Opportunities for
Central & West Africa May 25–29 2009, Hôtel Mont Fébé, Yaoundé,
Cameroon.
Daftar Pustaka 231

Runte A. 2010 (4th Edition). National Parks: The American Experience.


Taylor Trade Publishing. Lanham New York Boulder Toronto
Plymouth, UK.
Sambodo T. 2004. Analisis Regulasi dan Implementasi Kebijakan Taman
Nasional Kutai (Studi Kasus di desa Teluk Pandan dan Desa Sangkima,
Kutai Timur). [Tesis]. Program Studi Magister Ilmu Lingkungan,
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
Sajogyo Institute. 2008. Analisis Isu Permukiman di Tiga Taman Nasional
di Indonesia. Kerjasama Sajogyo Institute dengan Gunung Halimun-
Salak National Park Management Project JICA
Sembiring S. 2005. Memperkuat Kebijakan dan Pengaturan Kemitraan
Pengelolaan Taman Nasional Berdasarkan Inisiatif Lapangan.
Makalah disampaikan dalam Sarasehan Nasional Membangun
Kemitraan Dalam Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia,
Caringin Bogor, Tanggal 29 Agustus–1 September 2005.
Siburian R. Pengelolaan Taman Nasional: Perpaduan Konservasi dan
Kegiatan Pariwisata. Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 3 No. 2
Juni 2008 hal. 275–290.
Soemarwoto O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Djambatan. Jakarta.
Spencer L. 1989. Winning Through Participation. Meeting the Challenge of
Corporate Change with the Technology of Participation. ICA Associates
ltd. Hongkong.
Sriyanto A, Sudibyo. 2005. Membangun Kemitraan Pengelolaan
Taman Nasional Yang Sinergis, Strategis Dan Produktif. Makalah
disampaikan dalam Sarasehan Nasional Membangun Kemitraan
Dalam Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia, Caringin Bogor,
Tanggal 29 Agustus–1 September 2005.
Sterne R, Heaney D, Britton B. 2000. The Partnership Toolbox. WWF-
UK.
Suhardjito D, A Khan, WB Jatmiko, MT Sirait, S Evelyna. 2000.
Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Pustaka Kehutanan
Masyarakat.
232 Daftar Pustaka

Suporahardjo (Ed.). 2005. Manajemen Kolaborasi. Memahami Pluralisme


Membangun Konsensus. Pustaka Latin. Bogor.
Sunderlin W, J Hatcher, M Liddle. 2008. From Exclusion to Ownership?
Challenges and Opportunities in Advancing Forest Tenure Reform.
Washington D.C.: Rights and Resources Initiative.
Suryawati. 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional.
JMPK Vol. 08/No.03/September/2005.
[TNC] The Nature Conservancy. 2005. Protected Area Conservation
Coalitions. A Guide For Evaluation And Strengthening. Resources
for Success Series Volume 5. The Nature Conservancy. Arlington,
Virginia, USA.
[TNGHS] Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2011. Master Plan
Pengembangan Taman Nasional Gunung Halimun Salak sebagai
Pusat Konservasi Biodiversitas. TNGHS. Kabandungan, Sukabumi.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Undang-Undang No.5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Walsh J, J Meldon (Eds.). 2004. Partnerships For Effective Local Development.
National Institute for Regional and Spatial Analysis (NIRSA),
National University of Ireland Maynooth. Creadel Publication Nr.
2. Charleroi.
White A, A Martin. 2002. Who Owns the World’s Forests?. Forest Trends.
Center for International Environmental Law. Washington, D.C.
Daftar Pustaka 233

Wiratno, D Indriyo, A Syarifudin, A. Kartikasari. 2004. Berkaca di


Cermin Retak. Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan
Taman Nasional. FORest Press, The Gibbon Foundation Indonesia,
Departemen Kehutanan, PILI-NGO Movement. Jakarta.
Wiratno. 2005. Seperempat Abad Taman Nasional di Indonesia: Beberapa
Catatan Pemikiran. Makalah disampaikan dalam Sarasehan Nasional
Membangun Kemitraan Dalam Pengelolaan Taman Nasional di
Indonesia, Caringin Bogor, Tanggal 29 Agustus–1 September 2005.
Tidak dipublikasikan.
Wiratno. 2010. Arah Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi.
Makalah disampailam pada Rapat Sosialisasi Batas Tahura Sultan
Adam, Banjarmasin, 3–4 Nopember 2010. Tidak Dipublikasikan.
Wollenberg E, J Anderson, C Lopez. 2005. Though All Things Differ.
Pluralism As a Basis for Cooperation in Forests. CIFOR. Bogor,
Indonesia.
Wora PD, Raing R. 2006. Inisiatif Tata Pengelolaan Bersama Taman
Nasional Laiwanggi Wanggameti di Kabupaten Sumba Timur. Warta
Tenure Nomor 3 - Oktober 2006 hal 20–22.
WRI, IUCN, UNEP. 1992. Global Biodiversity Strategy: Guidelines for
Action to Save, Study and Use Earth’s Biotic Wealth Sustainably and
Equitably. WRI. Washington.
Wulan YC, Yasmi Y, Purba C, Wollenberg E. 2004. Analisa Konflik
Sektor Kehutanan di Indonesia 1997–2003. Center for International
Forestry Research (CIFOR). Bogor,Indonesia.
Wulandari. 2011. Implementasi Manajemen Kolaboratif dalam
Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat (Studi Kasus: Kampung
Citalahab Sentral - Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun
Salak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat). [Skripsi]. Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
234 Daftar Pustaka

WWF Indonesia, GTZ Office Jakarta. 2009. Proseding Workshop


Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional: Keberhasilan dan
Tantangan Kedepan. WWF Indonesia dan GTZ Office Jakarta.
Jakarta.
WWF-Indonesia. 2004. Membuat Konservasi Bermanfaat Bagi Masyarakat.
Pengalaman WWF-Indonesia Bekerja sama dengan Masyarakat di
Dalam dan Sekitar Kawasan Konservasi. WWF Indonesia. Jakarta.
WWF. 2009. Proceding Workshop Pengelolaan Kolaboratif Taman
Nasional: Keberhasilan dan Tantangan ke Depan.
WWF. 2012. Pengembangan dan Implementasi Pola Pengelolaan Zona
Tradisional di Taman Nasional Kayan Mentarang. WWF. Malinau.

Anda mungkin juga menyukai