Abstrak
Pariwisata telah menjadi prioritas nasional berdasarkan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (2015 -2019), Pariwisata diyakini dapat meningkatkan devisa negara
dengan target jumlah wisatawan mancanegera mencapai 20 juta dan 275 ribu orang dari
wisatawan dalam negeri. Jumlah wisatawan tersebut diharapkan akan menyumbang
devisa negara sebesar 270 triliyun rupiah. Pada tahun 2016, devisa negara dari sektor ini
mencapai 13,5 juta US dollar dan sebagai penyumbang devisa kedua setelah kelapa sawit.
Kawasan lahan gambut dan pariwisata alam (ekowisata) yang didiskusikan di
atas dimiliki oleh Provinsi Kalimantan Tengah. Adanya Taman Nasional Tanjung Putting
(TNTP), Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) dan Taman Nasional
Sebangau (TNS) adalah wujud nyata pemerintah untuk melindungi kekayaan alam di
Kalimantan Tengah. Kawasan Sebangau memiliki perhatian khusus dari pemerintah
karena tingkat kerusakannya yang cukup tinggi sehingga statusnya yang merupakan
kawasan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dinaikkan status fungsinya menjadi Kawasan
Pelestarian Alam (KPA) dan kemudian ditetapkan menjadi Taman Nasional Sebangau
pada tanggal 19 Oktober 2004, sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No.423/Menhut-
II/2004 seluas sekitar 568.700 ha.
Taman Nasional Sebangau memiliki potensi sebagai aktor utama dan kunci
keberhasilan pengembangan kebijakan ekowisata di Kota Palangka Raya. Namun
demikian, fokus pengelola pada saat itu masih pada penentuan batas wilayah, konservasi
dan tindakan pengamanan sehingga kegiatan ekowisata kurang mendapatkan peran.
Namun demikian, dalam perkembangannya telah terjadi perubahan kebijakan dari Balai
Taman Nasional Sebangau untuk mendorong kegiatan ekowisata, Salah satunya
ditunjukkan dengan adanya kegiatan-kegiatan famtrip ke kawasan tertentu dalam TNS
yang menunjukkan pihak pengelola telah memberikan sinyal untuk membuka akses dan
kemudahan bagi pengunjung.
Dengan demikian, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui Kebijakan
ekowisata khususnya di Taman Nasional Sebangau yang merupakan taman nasional yang
jaraknya paling dekat dengan ibukota provinsi dibandingkan dengan taman nasional
lainnya di seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi,
wawancara dan studi dokumentasi di Taman Nasional Sebangau. Adapun Teknik analisa
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa dengan menggunakan model
interaktif (interactive models of analysis). Target dan luaran penelitian ini adalah
gambaran Kebijakan Ekowisata di Taman Nasional Sebangau.
75
Jurnal Administrasi Publik (JAP)
Volume 6 No. 2 Desember 2020
76
Jurnal Administrasi Publik (JAP)
Volume 6 No. 2 Desember 2020
77
Jurnal Administrasi Publik (JAP)
Volume 6 No. 2 Desember 2020
dalam, yaitu lahan dengan ketebalan sayuran lainnya ( Agus & Subiksa,
gambut lebih dari 300 cm. 2008).
Studi dari Sani (2011) Namun demikian, perubahan
mengungkapkan bahwa gambut dapat kondisi sosial dan ekonomi yang
dibagi berdasarkan lingkungan tempat disebabkan aktivitas kehidupan
terbentuk dan pengendapannya gambut manusia dapat mempengaruhi
di Indonesia menjadi dua jenis yaitu: lingkungan kawasan gambut. Dengan
(1) gambut Ombrogen, dimana demikian, perlu adanya sebuah regulasi
kandungan airnya hanya berasal dari air untuk menjaga kawasan gambut tetap
hujan. Gambut jenis ini dibentuk memberikan manfaat yang
dengan lingkungan pengendapan di berkelanjutan.
mana tumbuhan pembentuk yang 2. Pengertian Hukum
semasa hidupnya hanya tumbuh dari air Menurut Raharjo (2005:38)
hujan, sehingga kadar abunya adalah hukum memiliki banyak dimensi dan
asli (inherent) dari tumbuhan itu segi sehingga banyak tantangan untuk
sendiri. (2) gambut topogen, dimana memberikan definisi hukum yang sama
kandungan airnya hanya berasal dari air persis dengan kenyataan. Walaupun
permukaan. Jenis gambut ini tidak ada definisi yang sempurna
diendapkan dari sisa tumbuhan yang mengenai pengertian hukum, definisi
semasa hidupnya tumbuh dari pengaruh dari beberapa sarjana tetap digunakan
elemen yang terbawa oleh air yakni sebagai pedoman dan batasan
permukaan tersebut. Daerah gambut melakukan kajian terhadap hukum.
topogen lebih bermanfaat untuk lahan Meskipun tidak mungkin diadakan
pertanian dibandingkan dengan gambut suatu batasan yang lengkap tentang apa
ombrogen, karena gambut topogen itu hukum, namum Utrecht (1957) telah
relatif lebih banyak mengandung unsur mencoba membuat suatu batasan yang
hara. dimaksud sebagai pegangan bagi orang
Manfaat yang diberikan yang hendak mempelajari ilmu hukum.
kawasan gambut terhadap lingkungan Menurut Utrecht (1957) hukum adalah
sesuai dengan arahan Departemen himpunan peraturan-peraturan
Pertanian, lahan gambut yang dapat (perintah-perintah dan larangan -
dimanfaatkan untuk tanaman pangan larangan) yang mengurus tata tertib
disarankan pada gambut dangkal (< 100 suatu masyarakat dan oleh karena itu
cm). Dasar pertimbangannya adalah harus ditaati oleh masyarakat itu.
gambut dangkal memiliki tingkat Pengertian lain mengenai
kesuburan relatif lebih tinggi dan hukum, disampaikan oleh
memiliki risiko lingkungan lebih Mertokusumo dalam Raharjo
rendah dibandingkan gambut dalam. (2005:45), yang mengartikan hukum
Lahan gambut dengan kedalaman 1,4 - sebgai kumpulan peraturan-peraturan
2 m tergolong sesuai marjinal (kelas atau kaidah-kaidahdalam suatu
kesesuaian) untuk berbagai jenis kehidupan bersama, keseluruhan
tanaman pangan. Faktor pembatas peraturan tentang tingkah laku yang
utama adalah kondisi media perakaran berlaku dalam kehidupan bersama,
dan unsur hara yang tidak mendukung yang dapat dipaksakan pelaksaannya
pertumbuhan tanaman. Tanaman dengan suatu sanksi. Hukum sebagai
pangan yang mampu beradaptasi antara kumpulan peraturan atau kaidah
lain padi, jagung, kedelai, ubikayu, mempunyai isi yang bersifat umum dan
kacang panjang dan berbagai jenis normatif, umum karena berlaku bagi
78
Jurnal Administrasi Publik (JAP)
Volume 6 No. 2 Desember 2020
79
Jurnal Administrasi Publik (JAP)
Volume 6 No. 2 Desember 2020
Taman Nasional, Taman Hutan Raya, konsep awal ini telah menempatkan
dan Taman Wisata Alam (Lembaran perlindungan alam sebagai fungsi
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 utama di atas fungsi menghasilkan
Nomor 25, Tambahan Lembaran uang. Fungsi pendidikan, mutu
Negara Republik Indonesia Nomor pariwisata, dan partisipasi lokal baru
3550). datang kemudian.
Menurut Barker (2009) dalam Menurut CREST (2010) dalam
Rhama (2019:77) Ekowisata dapat Rhama (2019:78) mengatakan bahwa
didefinisi secara luas atau secara ketat. konsep ini baru mengalami
Secara luas, ekowisata tidak lain adalah perkembangan di akhir tahun 1970-an
pariwisata berbasis alam. Dalam sebagai bagian dari kesadaran
definisi yang paling ketat, ekowisata lingkungan global. Perserikatan
adalah “perjalanan menuju wilayah Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan
yang rapuh, asli, dan biasanya bahwa tahun 2002 adalah tahun
terlindungi, yang diharapkan ekowisata internasional. Walau begitu,
memberikan dampak minimum dan seiring perkembangan, konsep
berskala kecil, dan mendidik ekowisata sering digunakan untuk
pengunjung, menyediakan dana untuk praktik promosi pariwisata alam yang
konservasi, memberikan manfaat tidak menggunakan prinsip-prinsip
ekonomi langsung dan pemberdayaan berkelanjutan. Operator tur sering
politik masyarakat lokal, serta hanya memberikan label ekopada
memberikan penghargaan terhadap paketnya, tanpa menerapkan prinsip-
berbagai budaya dan hak asasi prinsip ekowisata secara ketat
manusia”. (Himoonde, 2007).
Penelitian sebelumnya dari Menurut Gouvea (2004) dalam
McGahey (2012) dalam Rhama (2019) Rhama (2019:81) menyebutkan banyak
mengatakan bahwa konsep ekowisata manfaat potensial dari ekowisata antara
berkembang sebagai makna upaya lain:
melawan dampak negatif dari a. transaksi yang menggunakan
pariwisata massal yang terus mata uang asing memberikan
berkembang dan banyak memberikan nilai ekspor yang baik;
dampak buruk pada lingkungan hidup. b.memberikan perlindungan
Konsep ini mulai hadir di pertengahan keanekaragaman hayati;
1960-an ketika Hetzer (1995) c. menciptakan lapangan kerja,
mengemukakan empat pilar pariwisata baik langsung maupun tidak
yang bertanggung jawab, mencakup langsung;
minimalisasi dampak lingkungan, d. mendorong pembentukan
memaksimalkan dampak baik bagi usaha kecil menengah
penduduk lokal, menghargai negara masyarakat lokal;
sumber, dan mengoptimalkan kepuasan e. menciptakan kesempatan
wisatawan. pengembangan
Walau demikian, Hetzer (1965) kewirausahaan lokal;
dalam Rhama (2019:78) f. menciptakan pendapatan
mendefinisikan ekowisata sebagai pajak yang dapat dialihkan
“bentuk pariwisata yang berdasarkan ke masyarakat lokal;
pada sumber daya alam dan arkeologis g.memberikan pelatihan
seperti gua, lokasi fosil, dan situs personil bagi masyarakat
arkeologi”. Walaupun demikian, lokal.
80
Jurnal Administrasi Publik (JAP)
Volume 6 No. 2 Desember 2020
81
Jurnal Administrasi Publik (JAP)
Volume 6 No. 2 Desember 2020
82
Jurnal Administrasi Publik (JAP)
Volume 6 No. 2 Desember 2020
83
Jurnal Administrasi Publik (JAP)
Volume 6 No. 2 Desember 2020
84
Jurnal Administrasi Publik (JAP)
Volume 6 No. 2 Desember 2020
85
Jurnal Administrasi Publik (JAP)
Volume 6 No. 2 Desember 2020
86
Jurnal Administrasi Publik (JAP)
Volume 6 No. 2 Desember 2020
Jurnal
Qirom, M.A., Susianto, A., Supriadi.
2017. Belajar Pengelolaan
Ekowisata dari Halinjuangan.
Bekantan Vol. 5 No. 1.
87