Anda di halaman 1dari 25

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM


BALAI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGA PULUH
Jl. Lintas Timur km.3, Puncak Selasih, Rengat Barat, Inhu, Riau. Telp.0769-7000030,
Email: umum.btnbt@gmail.com

RENCANA PELAKSANAAN KEGIATAN

IDENTIFIKASI BURUNG RANGKONG


DI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGA PULUH

RENGAT, JANUARI 2021


RENCANA PELAKSANAAN KEGIATAN

INVENTARISASI / IDENTIFIKASI BURUNG RANGKONG


DI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGA PULUH

Rengat, Januari 2021

Mengesahkan, Penyusun
Kepala Sub Bagian Tata Usaha

Azmardi, S.Si. MH Rio Eka Putra, S.ST


NIP. 19750412 199903 1 004 NIP. 19830721 200212 1 002

Mengetahui,
Kepala Balai TNBT

Fifin Arfiana Jogasara, SHut., M.Si


NIP. 19680702 199803 2 002
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat karunia, curahan kasih
sayang, rahmat dan hidayah-Nya dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK)
Inventarisasi / Identifikasi Burung Rangkong di Taman Nasional Bukit Tigapuluh ini dapat
diselesaikan.

Penyusunan RPK ini merupakan pedoman pelaksanaan kegiatan yang menguraikan


tahapan pelaksanaan kegiatan yang akan dilaksanakan di lapangan. Selanjutnya, kami
megucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama proses
penyelesaian pembuatan RPK ini.

Akhirnya demikian kami sampaikan, semoga RPK ini dapat bermanfaat untuk
pengelolaan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.

Rengat, Januari 2021

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv

I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Maksud dan Tujuan 2
C. Ruang Lingkup dan Sasaran 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 3


A. Gambaran Umum Lokasi 3
1. Letak 3
2. Iklim 3
3. Topografi 3
4. Flora 3
5. Fauna 4
B. Gambaran Khusus Kegiatan 4
1. Klasifikasi dan Morfologi 4
2. Penyebaran dan Status 6
3. Habitat Keluarga Burung Rangkong 7
4. Ekologi Pakan 7
5. Reproduksi 8
6. Interaksi Rangkong Dengan Satwa Lain 9

III. METODE PELAKSANAAN KEGIATAN 11


A. Dasar Pelaksanaan Kegiatan 11
B. Waktu dan Lokasi 11
C. Pelaksana 11
D. Alat dan Bahan 11
E. Metode Pelaksanaan 12
a. Survey Pendahuluan 12
b. Metode 12
c. Tata Cara Pelaksanaan 12
F. Analisis Data 12
G. Rancangan Anggaran Biaya 13
Daftar Pustaka 14
Lampiran 15

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar petugas pelaksana kegiatan 11


Tabel 2. Rancangan Anggaran Biaya 13

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Kawasan TNBT 6

iv
v
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) ditetapkan melalui Surat Keputusan
Menteri Kehutanan nomor 6407/Kpts-II/2002 tanggal 21 Juni 2002 dengan luas 144.223
ha. TNBT adalah salah satu kawasan pelestarian alam yang merupakan perwakilan
ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah mempunyai fungsi konservasi yang luar
biasa penting dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan sumber plasma nutfah
potensial.
Burung adalah salah satu bagian dari keanekaragaman hayati. Berabad-abad
burung menjadi sumber inspirasi dan memberikan kesenangan kepada masyarakat
Indonesia karena keindahan suara dan bulunya. Burung juga merupakan indikator yang
sangat baik untuk kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman hayati lainnya
(Rombang dan Rudyanto, 1999 dalam Rusmendro, 2009). Burung merupakan salah satu
hewan yang dinilai penting untuk ekosistem Taman Nasional karena dapat membantu
penyerbukan bunga, penyebaran biji, dan mencegah kerusakan tanaman dari serangan
serangga. Sebagai salah satu komponen dalam ekosistem, keberadaan burung dapat
menjadi indikator apakah lingkungan tersebut mendukung kehidupan suatu organisme
atau tidak karena mempunyai hubungan timbal balik dan saling tergantung dengan
lingkungannya.
Burung Rangkong (Bucerotidae) merupakan kelompok burung yang memiliki fungsi
ekologi tinggi. Burung tersebut merupakan kelompok burung frugivor yang berfungsi
sebagai agen penyebar biji berbagai tumbuhan hutan (Noerdjito 2005). Keluarga burung
rangkong hidup di hutan-hutan hujan tropika dan membutuhkan hutan primer sebagai
habitat alaminya. Umumnya burung rangkong hidup pada tajuk-tajuk pohon hutan yang
menjulang tinggi. Tajuk-tajuk hutan digunakan sebagai tempat hinggap, mencari makan,
serta bersarang.
Indonesia memiliki 13 jenis burung rangkong (Noerdjito 2005), yang tersebar di
hutan-hutan Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumba dan Papua (Hadiprakarsa
1999). Pulau Sumatera memiliki jumlah jenis rangkong terbanyak di Indonesia, yaitu
sebanyak 9 jenis. Saat ini persebaran burung rangkong di Sumatera terkonsentrasi hanya
pada daerah berhutan saja, terutama pada hutan alam yang kondisinya masih relatif
bagus.
1
Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang
dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Tumbuhan dan Satwa serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan No. 106 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi, hal ini
diakarenakan kondisi populasinya yang kecil dan semakin terancam punah sebagai akibat
dari ketersediaan habitat yang semakin berkurang. Konversi hutan menjadi lahan
pemukiman, lahan budidaya, perkebunan, industri, dan sarana transportasi
mengakibatkan semakin menyempitnya habitat bagi keluarga burung rangkong.
Meningkatnya perburuan satwa liar dan kehilangan habitatnya dialam menjadikan
Taman Nasional sebagai benteng terakhir dalam upaya konservasi burung rangkong,
oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan identifikasi burung rangkong didalam kawasan
TNBT dalam menunjang fungsi Taman Nasional sebagai pengawetan keanekaragaman
hayati.

B. Maksud dan tujuan


Maksud dilaksanakannya kegiatan ini adalah untuk mengumpulkan informasi
mengenai keanekaragaman jenis burung yang ada di TNBT.
Tujuan kegiatan identifikasi dan inventarisasi burung adalah:
1. Mendapatkan data jenis-jenis burung rangkong (Bucerotidae) yang ada di kawasan
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
2. Mendapatkan data mengenai potensi jenis pohon sumber pakan burung rangkong
(Bucerotidae) yang ada di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
3. Mendapatkan data mengenai potensi jenis pohon sarang burung rangkong
(Bucerotidae) yang ada di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh

C. Ruang lingkup kegiatan


Ruang lingkup kegiatan identifikasi burung rangkong adalah lokasi yang
kemungkinan merupakan habitat burung Rangkong di kawasan TNBT.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Lokasi

a. Letak
TNBT secara geografis terletak pada koordinat 040’ - 125’ LS dan 10210” -
10250’ BT. Secara administratif terletak pada 2 (dua) propinsi yaitu Propinsi
Riau dan Propinsi Jambi dan 4 (empat) kabupaten yaitu Kabupaten Indragiri
Hulu dan Indragiri Hilir (Riau) serta Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung
Jabung Barat (Jambi) (BTNBT, 2014). Dalam pengelolaannya TNBT dibagi
kedalam 2 (dua) Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah yaitu SPTN I Tebo
Tengah Jambi dan SPTN II Belilas, serta 6 (enam) wilayah resort yaitu resort
Lahai, Talang Lakat, Siambul, Keritang, Lubuk Mandarsah, dan Suo-Suo.
b. Iklim
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, TNBT termasuk tipe iklim A,
curah hujan rata-rata 2,577 mm/tahun, dengan kelembaban relatif antara 50%
dan 90% temperatur udara antara 20,8 - 33 C (BTNBT, 2014).

c. Topografi
Topografi kawasan TNBT dengan perbukitan yang cukup curam dengan
ketinggian berkisar antara 60 – 843 m dpl dan secara garis besar fisiografi dapat
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian (BTNBT, 2014), yaitu:
- Pegunungan dengan lereng sangat curam (75%).
- Pegunungan dengan lereng agak curam sampai sangat curam (24% - 75%).
- Daratan antar pegunungan dan perbukutan kecil (<16%).
Relief pada umumnya berbukit-bukit dan merupakan daerah aliran sungai.
d. Flora
TNBT memiliki keragaman tumbuhan yang tinggi, hal ini ditunjukkan oleh nilai
dari indek keragaman Shannon sebesar 4,66 dimana skala yang dipergunakan
adalah 0 sampai dengan 5,23 (Meirani,2010 dalam BTNBT, 2014). Tidak kurang
dari 1.500 spesies tumbuhan terdapat di TNBT yang sebagian besar adalah jenis
penghasil kayu, getah, kulit, buah, dan obat-obatan (BKSDA Riau 1997 dalam
BTNBT, 2014). Selain itu, terdapat 27 jenis tumbuhan hias, 16 jenis untuk

3
bumbu masak, 10 jenis sumber karbohidrat, 5 jenis penghasil lateks dan resin,
26 jenis keperluan ritual, dan 3 jenis sumber pewarna (Schumacer 1994 dalam
BTNBT, 2014).
Flora yang terdapat pada TNBT seperti : cendawan mukarimau (Rafflesia
hasseltii), salo (Johannesteijsmannia altifrons), mapau (Pinanga multiflora),
mapau kalui (Iguanura wallichiana), jelutung (Dyera costulata), ramin
(Gonistylus bancanus), kemenyan (Styrax benzoin), pasak bumi (Eurycoma
longifolia), pinang bacung (Nenga gajah), kabau tupai (Archidendron
bubalinum), akar mendera (Phanera kochiana), keduduk rimba (Baccaurea
racemosa), silima tahun (Baccaurea stipulata), (Wiriadinata, H 1994 dalam
BTNBT, 2014).
e. Fauna
TNBT merupakan habitat ideal beragam jenis satwa terutama satwa-satwa
endemik Sumatera. Terdapat sekitar 59 jenis mamalia, 193 jenis burung, 18
jenis kelelawar, dan 134 jenis serangga yang tercatat dan ditemukan di dalam
dan sekitar TNBT (Danielsen dan Heegard 1994 dalam BTNBT, 2014).
Keanekaragaman jenis ikan di TNBT cukup tinggi, dicatat 97 jenis ikan dari 52
genus dan 25 famili diperairan sekitar TNBT (Siregar et al 1993 dalam BTNBT,
2014). Dari jenis satwa liar tersebut, terdapat jenis yang tergolong terancam
punah dengan status perlindungan khusus, baik menurut PP. 7/1999, CITES,
dan IUCN.
Jenis fauna yang menjadi spesies kunci di TNBT adalah harimau sumatera
(Panthera tigris sumatrae). Sejak tahun 1996 harimau sumatera dikategorikan
sebagai satwa terancam punah yang dilindungi oleh undang-undang. Pada
tahun 1992, jumlah harimau sumatera diperkirakan di dua taman nasional dan
dua Kawasan Suaka Margasatwa sekitar 400 ekor, sedangkan yang berada di
luar kawasan konservasi diperkirakan sekitar 100 ekor (Soehartono et al. 2007
dalam BTNBT, 2014).

4
B. Gambaran Khusus Kegiatan

1. Klasifikasi dan Morfologi


Klasifikasi kerabat burung rangkong (Bucerotidae) di Sumatera (Sukmantoro et al
2007) adalah:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Aves
Ordo : Coraciiformes
Family : Bucerotidae
Genus : Berenicornis
Anorrhinus
Aceros
Rhyticeros
Rhabdotorrhinus
Anthracoceros
Buceros
Rhinoplax
Species : Rhinoplax vigil
Buceros rhinoceros
Buceros bicornis
Rhyticeros undulatus
Rhabdotorrhinus corrugatus
Berenicornis comatus
Anorrhinus galeritus
Anthracoceros malayanus
Anthracoceros albirostris

Nama Inggris : Hornbill


Nama Indonesia : Rangkong, julang, enggang, kangkareng
Keluarga burung rangkong merupakan kelompok burung yang mudah
dikenali karena memiliki ciri khas berupa paruh yang besar dengan struktur
5
tambahan di bagian atasnya yang menyerupai tanduk (casque). Di Indonesia,
ukuran tubuh rangkong berkisar antara 45 cm sampai 125 cm (MacKinnon 1998),
rangkong dengan ukuran kecil seperti jenis kangkareng perut putih
(Anthracoceros albirostis) sedangkan rangkong ukuran besar seperti jenis
rangkong papan (Buceros bicornis), rangkong badak (Buceros rhinoceros), dan
rangkong gading (Rhinoplax vigil). Umumnya warna bulu rangkong didominasi
oleh warna hitam untuk bagian badan dan warna putih pada bagian ekor,
sedangkan warna bagian leher dan kepala cukup bervariasi. Untuk warna paruh
kebanyakan berwarna mencolok (kuning) dan terdapat pula jenis yang paruhnya
berwarna hitam.
Keanggotaan burung rangkong ditandai dengan adanya “casque” dan hal
ini merupakan dasar dari penentuan marga dan jenis burung rangkong
berdasarkan perbedaan bentuk dan ukuran. Menurut Noerdjito (2005),
berdasarkan bentuk umum casque dibedakan menjadi bentuk bilah, tegak,
lempeng datar, balok, tembereng bola. Punggung casque dapat berbentuk
tumpul atau tajam. Ujung posterior casque dapat berbentuk runcing atau
cembung. Permukaan casque dapat beralur, datar, atau polos. Pada beberapa
jenis anggota bucerotidae ada yang memiliki lekuk pemisah antara paruh dengan
casque. Keadaan permukaan casque ada yang bergaris ada yang polos,
sedangkan panjang paruh ada yang lebih dari 15 cm dan ada yang kurang dari 15
cm. Tonjolan permukaan casque ada yang berbentuk silindris dan ada yang agak
datar, sedangkan ujung casque ada yang runcing dan ada yang tumpul. Menurut
Kemp (1995) casque terbentuk dari lapisan keratin yang mengeras dan menutupi
seluruh bagian paruh. Fungsi dari casque diduga sebagai penguat/penahan
bagian tengah dari paruh yang melengkung dan panjang ketika menusuk dengan
keras. Selain itu casque juga berfungsi sebagai identitas pembeda antar spesies,
pembeda antar jenis kelamin, dan digunakan dalam interaksi sosial. Pada spesies
Ceratogymna diketahui berfungsi sebagai resonator suara, selain itu pada spesies
Buceros (termasuk Rhinoplax) diketahui berfungsi untuk menjatuhkan buah.
2. Penyebaran dan Status
Terdapat 54 jenis burung rangkong di seluruh dunia (Kemp 1995). Burung
rangkong mempunyai sebaran mulai dari daerah sub-sahara Afrika, India, Asia

6
Tenggara, New Guinea dan Kepulauan Solomon. Sebagian besar hidup di hutan
hujan tropis dan hanya beberapa jenis saja yang hidup di daerah kering seperti di
Afrika. Indonesia merupakan rumah bagi 13 jenis burung rangkong yang tersebar
di hutan hujan tropis, tiga diantaranya bersifat endemik.
Pulau Sumatera menempati urutan pertama dalam hal jumlah jenis
rangkong yaitu sebanyak 9 jenis, jumlah jenis terbanyak kedua adalah
Kalimantan sebanyak 8 jenis, Jawa sebanyak 3 jenis, Sulawesi 2 Jenis (endemik),
Papua 1 jenis, dan Sumba 1 jenis (endemik). Burung rangkong di Sumatera
tersebar merata ke seluruh hutan-hutan alam mulai dari ujung utara sampai
ujung selatan Sumatera, namun saat ini sebarannya terbatas pada kawasan
lindung, taman nasional, kawasan konservasi lainnya, dan beberapa daerah yang
masih berhutan. Beberapa jenis memiliki sebaran yang sangat luas seperti julang
emas (Rhyticeros undulatus) dan kangkareng perut putih (Anthracoceros
albirostris), kedua jenis tersebut biasa ditemukan di banyak lokasi di Sumatera
maupun di pulau lainnya. Terdapat pula jenis yang memiliki sebaran terbatas
karena habitatnya yang spesifik seperti Julang jambul hitam (Aceros corrugatus)
dan Rangkong papan (Buceros bicornis) yang hanya menghuni hutan dataran
rendah hutan perbukitan, dan hutan rawa (Holmes et al 1993).
3. Habitat Keluarga Burung Rangkong
Habitat burung rangkong adalah hutan alam mulai dari ketinggian 0 –
1000 mdpl. Pada daerah pegunungan (>1000 m dpl) rangkong mulai jarang
ditemukan. Menurut MacKinnon (1991) burung rangkong hidup di hutan yang
masih lebat (primary forest) dan menempati pohon-pohon besar dan tinggi.
Kriteria pohon besar menurut Poonswad (1993) adalah pohon dengan diameter
lebih dari 40 cm atau yang memiliki keliling lebih dari 125 cm.
Rangkong papan (Buceros bicornis) biasanya menempati habitat hutan
primer yang selalu hijau sepanjang tahun (primary evergreen), hutan
Dipterocarpaceae, dan hutan gugur yang lembab (deciduous forest), dan
terutama pada hutan dataran rendah di bawah 1000 m dpl. (Kemp & Poonswad
1993). Menurut Kemp (1995) Aceros corrugatus menghuni hutan primer dataran
rendah yang hijau sepanjang tahun (primary evergreen forest) khususnya hutan
rawa yang dekat dengan pesisir/pantai, sedangkan Buceros rhinoceros juga

7
menghuni hutan primer dataran rendah kecuali pada hutan rawa (Holmes 1969
dalam Kemp 1995), namun Madrim (1998) menyebutkan bahwa habitat yang
disukai oleh kangkareng perut putih justru bukan hutan lebat seperti yang biasa
digunakan oleh kerabat burung rangkong lainnya, melainkan daerah terbuka,
hutan sekunder, bahkan hutan tanaman.
4. Ekologi Pakan
Burung rangkong yang hidup di hutan hujan tropis umumnya bersifat
frugivor (pemakan buah). Buah beringin (Ficus spp) yang berbuah sepanjang
tahun di hutan tropis Indonesia merupakan makanan yang sangat penting bagi
burung rangkong (Poonswad 1993; Kemp 1995) Selain buah beringin, jenis buah-
buahan lainnya juga di konsumsi oleh beberapa jenis burung rangkong di daerah
penelitian Way Canguk menurut Hadiprakarsa dan Kinnaird (2001) adalah buah
pala hutan (Myristicaceae), kenarikenarian (Burseraceae), Lauracecae, dan
Meliaceae adalah family tumbuhan yang banyak dimanfaatkan buahnya sebagai
pakan oleh burung rangkong.
Biasanya burung rangkong memakan buah-buahan yang berdaging
ditelan bersama bijinya. Biji-biji tersebut tidak hancur melewati system
pencernaannya, sehingga apabila dikeluarkan biji tersebut utuh dan mampu
tumbuh pada tempat yang cocok (Fachrul 2007), hal ini penting dalam proses
regenarasi hutan secara alamiah.
Rangkong selain memakan buah-buahan, juga memakan invertebrata dan
vertebrata kecil. Selain untuk memenuhi kebutuhannya seperti saat
perkembangbiakan, pakan berupa invertebrata dan vertebatra kecil juga di
konsumsi sebagai pakan pengganti di saat ketersediaan buah mulai menipis.
Menurut Poonswad (1993b) burung rangkong biasanya memakan binatang lain
seperti arthropoda, mamalia kecil, burung, reptil, amfibi, mollusca, dan
crustacea. Didukung oleh postur tubuh yang memungkinkan burung rangkong
terbang cukup jauh (200-1200 m/jam,) dan kapasitas perut yang cukup besar,
burung rangkong dapat memencarkan biji hampir di seluruh bagian hutan tropis
sehingga dapat menjaga dinamika hutan.
5. Reproduksi

8
Burung rangkong merupakan satwa monogami, yang hanya melakukan
proses reproduksi dengan satu pasangan saja. Perilaku bersarangnya juga unik,
yaitu burung betina mengurung diri di dalam lubang pohon selama mengerami
yang ditutup dengan lumpur dan hanya disisakan satu lubang kecil untuk
melewatkan makanan yang dibawa oleh burung jantan (MacKinnon et al 1998).
Sebagian besar burung rangkong di Indonesia hidup secara berpasangan
(monogamous), hanya 3 jenis yang hidup secara berkelompok. Selama masa
perkembangbiakan semua jenis burung rangkong yang hidup di hutan tropis
bersarang di pohon berlubang yang terbentuk secara alami. Menurut
Hadiprakarsa (2001) umumnya lubang alami yang ditemukan terdapat pada
pohon yang masih hidup, terletak pada bagian batang utama atau pada cabang
yang besar dengan bagian batang bersih dari liana atau tumbuhan merambat
lainnya. Pohon yang didapati mempunyai lubang, secara alami mempunyai
ukuran pohon yang cukup besar dengan kisaran antara 65,5 – 195 cm.
Pada saat bersarang rangkong betina akan masuk kedalam lubang yang
kemudian ditutup oleh lumpur dan kotorannya, hanya disisakan sedikit celah
untuk mengambil makanan dari rangkong jantan atau anggota kelompoknya
dengan menggunakan paruh (MacKinnon 1998). Setiap jenis burung rangkong
mempunyai daur perkembangbiakan yang berbeda, hal ini dipengaruhi oleh
ketersediaan makanan, musim hujan, dan pohon berlubang di dalam habitatnya.
Setelah bersarang, selama 4-6 hari rangkong betina akan mengeluarkan telur
yang berjumlah antara dua (untuk rangkong berukuran besar) sampai delapan
butir telur (untuk rangkong berukuran kecil). Setelah telur menetas rangkong
betina akan mengerami telurnya (inkubasi) mulai dari 23 sampai 42 hari
tergantung dari jenisnya (Kemp 1995).
6. Interaksi Rangkong Dengan Satwa Lain
Burung rangkong (Bucerotidae) dalam aktivitas hidupnya juga
berinteraksi dengan satwa lainnya. Bentuk interaksi yang terjadi bisa berupa
persaingan/kompetisi dan saling mendukung/mutualisme. Bentuk interaksi
berupa persaingan biasanya terjadi antara burung rangkong dengan satwa-satwa
pemakan buah (frugivor) lainnya seperti burung dari famili Columbidae terutama
punai dan walik, Capitonidae, Pycnonotidae, Sturnidae, Psittacidae dan juga

9
primate pemakan buah seperti lutung (Presbitys sp) dan owa (Hylobates sp)
(Poonswad 1993b).
Dalam hutan hujan tropis banyak terdapat spesies yang menggunakan
lubang pada pohon sebagai tempat bersarang, tidak hanya burung rangkong atau
jenis burung lain seperti burung hantu (owl) tetapi juga mamalia dan reptil.
Beberapa hewan lain yang pernah teramati berkompetisi dengan rangkong
adalah biawak (Varanus sp), bajing terbang (Petaurista petaurista), ular king
kobra (Ophipagus sp), dan jenis lebah (Trigona sp) (Poonswad 1993b).
Meskipun rangkong memiliki ukuran tubuh yang besar serta menutup
dirinya di dalam sarang, masih terdapat beberapa hewan yang dapat memangsa
anaknya. Salah satu jenis mamalia karnivora jenis Martes flavigula pernah
dijumpai sedang memakan anakan dari jenis rangkong Anorrhinus austeni ketika
induk rangkong keluar tanpa menutup kembali sarangnya. Predator lain pernah
juga dijumpai jenis gagak kampung (Corvus macrorhynchus) yang menyerang
anakan dari kangkareng perut putih (Anthracocros albirostris), diduga karena
terjadi tumpang tindih dalam relung ekologinya. Selain itu pernah juga dijumpai
seekor burung hantu (owl) yang menyerang anakan rangkong papan (Buceros
bicornis) dan akhirnya anakan rangkong tersebut jatuh ke tanah (Poonswad,
1993b)

10
III. METODE PELAKSANAAN KEGIATAN

A. Dasar Pelaksanaan Kegiatan


Dasar Pelaksanaan Kegiatan adalah :
1. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
2. Undang – Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
3. Undang – Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
4. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang TN. Bukit Tigapuluh Tahun 2015 – 2024
5. Rencana Operasional DIPA Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh Tahun Anggaran
2021.
B. Waktu dan Lokasi
Kegiatan identifikasi burung rangkong akan dilaksanakan Pada Bulan Februari s.d
Maret 2021 di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tiga sebanyak 3 (tiga) kegiatan di
wilayah Resort Siambul, Keritang, dan Lubuk Mandarsah.

C. Pelaksana
Pelaksana kegiatan identifikasi burung rangkong di TNBT adalah petugas Balai
TNBT sebanyak 3 (tiga) orang setiap lokasi, dibantu oleh masyarakat setempat sebagai
tenaga buruh lapangan sebanyak 5 (lima) orang setiap lokasi, dengan daftar nama
petugas sebagai berikut :
Tabel.1. Daftar Petugas Pelaksana Kegiatan
No Nama / NIP Jabatan Keterangan
1. PM - Ketua
2. PM - Anggota
3. PM - Anggota

D. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian meliputi: tally sheet, binokuler, jam
tangan, perekam suara, kamera digital, Global Positioning System (GPS) Garmin,
Kompas dan buku panduan lapangan identifikasi jenis burung seri “Panduan
Lapangan Identifikasi Jenis Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan”. Bahan

11
yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis burung yang terdapat di dalam
lokasi penelitian.

E. Metode Pelaksanaan
1. Survey Pendahuluan
Metode survei pendahuluan bertujuan untuk menentukan lokasi penelitian
yang refresentatif berdasarkan habitat dengan frekuensi perjumpaan berbagai
jenis burung rangkong serta menentukan metode yang tepat untuk
pengumpulan data.
2. Metode Jelajah dan Area Terkonsentrasi
Pengumpulan data keberadaan jenis rangkong dilakukan dengan menggunakan
metode jelajah dan area terkonsentrasi yang ditentukan dengan observasi
lapang dan informasi dari masyarakat mengenai lokasi yang sering di temukan
burung rangkong. Data yang diambil yaitu nama jenis rangkong, waktu
perjumpaan, jumlah individu, jenis perjumpaan (visual/audio) dan lokasi
perjumpaan. Pengumpulan data untuk potensi pohon sarang dan ketersedian
pohon pakan dilakukan dengan menggunakan metode Rapid assessment
di sekitar daerah pengamatan.
3. Tata Cara Pelaksanaan
a. Sampel burung rangkong yang digunakan adalah burung yang dijumpai
secara audio dan visual di area pengamatan penelitian.
b. Sampel pohon pakan dan sarang yang digunakan adalah jenis pohon yang
dijumpai di area pengamatan penelitian, sedang berbuah ataupun tidak
c. Penelitian dilakukan sesuai dengan kondisi cuaca yaitu cuaca cerah dan
mendung, apabila hujan tidak dilakukan penelitian.
d. Dalam melaksanakan penelitian pengamat tidak memakai pakaian cerah,
wewangian, dan membuat kegaduhan.
e. Pengamatan dilakukan selama 5 hari pada pagi hari (06.00-09.00) dan sore
hari (14.00-17.00).

12
F. Analisa Data

Analisis data pada penelitian ini yaitu menggunakan analisis deskriptif


kualitatif, yaitu peneliti menguraikan, menjelaskan dan menggambarkan hasil data
yang didapat di lapangan dan disusun dalam bentuk kalimat ilmiah secara
sistematis.
G. Rancangan Anggaran Biaya
Tabel 2. Rancangan Anggaran Biaya
No Uraian Pengeluaran Volume Kegiatan Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
1. Belanja Bahan
- Alat, bahan, dan pelaporan 3 Keg 1.100.000 3.300.000
- Bahan Makan Buruh 72 HOK 50.000 3.600.000
2. Belanja Barang Non Operasional
Lainnya
- Upah Buruh Lapangan 72 HOK 100.000 7.200.000
- BBM Kendaraan 360 Liter 10.000 3.600.000
3. Belanja Perjalanan Biasa
- Uang Harian Pelaksana 72 HOJ 350.000 25.200.000
4. Pembahasan Hasil
- Alat dan Bahan 1 Keg 500.000 500.000
- Penggandaan Laporan 5 Eks 50.000 250.000
Jumlah 43.650.000

13
DAFTAR PUSTAKA

BTNBT. (2014). Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
Periode 2015-2024. Kabupaten Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Tebo, Tanjung
Jabung Barat Provinsi Riau Jambi. Balai Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.
Direktorat Jenderal PHKA. Kementerian Kehutanan. Rengat.
Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Hadiprakarsa Y. 1999. Studi Komposisi Pakan Empat Jenis Burung Rangkong di Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Dalam WCS-IP. 1999. Laporan Hasil
Penelitian, Juli 1997 - Juni 1999. Bogor: PHKA/WCS-IP.
Hadiprakarsa Y, Kinnaird MF. 2001. Karakteristik Pencarian Makan Empat Jenis Burung
Rangkong. Dalam WCS-IP. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dalam Ruang
dan Waktu, Laporan Penelitian 2000-2001. Bogor: WCS-IP/ PHKA.
Holmes D, Suwelo IS, Balen BV. 1993. The Distribution and Status of Hornbills in
Indonesia. Di dalam : Poonswad P & Kemp AC, Editor. Manual to the
Conservation of Asian Hornbills. Bangkok: Faculty of Science Mahidol Univ. Hlm
316-331.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Buku. Bumi Aksara. Jakarta. 210 hlm.
Kementerian Kehutanan. 2014. Panduan Inventarisasi Satwa Liar. Direktorat Konservasi
Keanekaragaman Hayati. Jakarta. 188 hlm.
Kemp AC. 1995. The Hornbills : Bucerotiformes (Bird Families of the World). London:
Oxford University Press.
MacKinnon J, Phillips K, Balen BV. 1998. Burung-burung di Sumatera, Jawa,Bali dan
Kalimantan. Bogor: Puslitbang Biologi – LIPI – Birdlife International Indonesia
Programme.
Madrim D. 1990. Studi Habitat Kangkareng Perut Putih (Anthracoceros coronatus
convexus) di Taman Wisata dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran Ciamis
Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan
IPB.
Noerdjito M. 2005. Seri Nama Baku Fauna Indonesia, Seri kesatu Anatidae &
Bucerotidae. Bogor: Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI.
Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Buku. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 697 hlm.
Poonswad P. 1993a. Field Techniques for the Study of Hornbills. Di dalam : Poonswad P
& Kemp AC, Editor. Manual to the Conservation of Asian Hornbills. Bangkok:
Faculty of Science Mahidol Univ. Hlm 160-187.
Rohiyan, M., Setiawan, A. dan Rustiati, E. L. 2014. Keanekaragaman jenis burung di
hutan pinus dan hutan campuran Muarasipongi Kabupaten Mandailing Natal
Sumatera Utara (Diversity of bird species on pine and mixed forest Muarasipongi
Mandailing Natal Regency North Sumatera). Jurnal Sylva Lestari. 2(2) : 89-98.
Rombang, W. M. dan Rudyanto. 1999. Daerah Penting Bagi Burung di Jawa dan Bali
(Important Bird Area in Java and Bali). PKA/Birdlife International Indonesia
14
Programme.Bogor.113hlm
Sukmantoro W, Irham M, Novarino W, Hasudungan F, Kemp N, Muchtar M. 2007. Daftar
Burung Indonesia no. 2. Bogor: Indonesian Ornithologists’ Union.

15
TALLY SHEET PENGAMATAN KEANEKARAGAMAN BURUNG

Nama Pengamat :
Lokasi Pengamatan :
Waktu Pengamatan :
Tanggal Pengamatan :
Pengulangan Ke… :

Keterangan Koordinat
No Pukul Jenis Burung Jumlah Aktifitas
Audio/Visual X Y
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
1
TALLY SHEET PENGAMATAN POTENSI POHON PAKAN

Nama Pengamat :
Lokasi Pengamatan :
Tanggal Pengamatan :

No Jenis Pohon Diameter Tinggi Koordinat Keterangan


1 X Y
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

2
TALLY SHEET PENGAMATAN POTENSI POHON SARANG

Nama Pengamat :
Lokasi Pengamatan :
Tanggal Pengamatan :

No Jenis Pohon Diameter Tinggi Koordinat Keterangan


1 X Y
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Anda mungkin juga menyukai