TIMUR
OLEH :
Penulis
ii
Daftar Pustaka
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang 1
B.Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 3
BAB II ISI
A.KESIMPULAN
B.SARAN
DAFTAR PUSTAKA
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Daerah arid memiliki luas sekitar 1/3 luas daratan yang
ada di bumi. Kawasan tersebut dihuni kurang lebih 850 juta
penduduk (Ffolliott at al, 1995). Ariditas suatu kawasan
ditentukan oleh perbandingan rata-rata presipitasi tahunan
dengan rata-rata evapotranspirasi tahunan. Hasil
perbandingan tersebut membagi daerah arid menjadi 3
kelompok zona bioklimatis yaitu hyper arid, arid dan semi arid.
Daerah semiarid memiliki curah hujan rendah, eratik, dengan
curah hujan tahunan dan musiman yang bervariasi. Padanan
yang sering dipakai untuk semi-arid adalah lahan kering
beriklim kering dengan curah hujan tahunan kurang dari 1.500
mm dan musim kemarau lebih dari enam bulan (Bamualim,
2011).
Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu daerah semi
arid yang ada di Indonesia. Secara klimatologis, NTT tergolong
ke dalam daerah semi-arid dengan curah hujan yang rendah.
Musim hujan dan bulan basah umumnya berlangsung pendek,
yaitu sekitar 3 (tiga) sampai 4 (empat) bulan dan bulan kering
berlangsung antara 6 (enam) sampai 9 (sembilan) bulan
(BMKGNTT, 2013). Curah hujan rata-rata pertahun sebesar
850 – 2.500 mm. Hal ini menyebabkan potensi lahan di NTT
1
sangat rendah. Wilayah NTT yang tergolong dalam kelompok
agak kritis sampai dengan sangat kritis mencapai 93,68 %
(BPDAS Benain Noelmina, 2011).
Volume hujan yang besar dapat melebihi kapasitas
infiltrasi tanah sehingga menghasilkan aliran permukaan dan
erosi yang besar. Laju erosi yang tinggi dapat membawa hara
tanah, menurunkan kesuburan tanah, dan produktivitas tanah
(Yanti,2012). Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi
pemerintah dan masyarakat NTT.
Hal ini harus didukung dengan berbagai cara dan strategi
dalam pengolahan lahan yang baik agar ekologi semiaride ini
dapat mendatangkan berbagai macam manfaat bagi semua
kesatuan ekosistem yang ada di lingkungan NTT.
Berdasarkan latar belakang ekologi semiaride yang
terbentuk di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) maka dalam
makalah ini, penulis akan menyajikan berbagai hal yang
berhubungan dengan ekologi semiaride di Nusa Tenggara
Timur(NTT).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar ekologi semiaride ?
2. Bagaimana karakteristik ekologi semiaride di Nusa
Tenggara Timur ?
3. Bagaimana pengolahan lahan semiaride di Nusa Tenggara
Timur ?
2
4. Bagaimana potensi, permasalahan dan tantangan Ekologi
semiaride di Nusa Tenggara Timur ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep dasar ekologi semiaride.
2. Untuk mengetahui karakteristik ekologi semiaride di Nusa
Tenggara Timur.
3. Untuk mengetahui pengolahan lahan semiaride di Nusa
Tenggara Timur.
4. Untuk mengetahui potensi, permasalahan dan tantangan
Ekologi semiaride di Nusa Tenggara Timur.
3
BAB II
ISI
6
unggulan baik tanaman pangan, perkebunan, peternakan,
kehutanan, bahkan perikanan (darat).
Karakteristik Tanah
8
Untuk Provinsi NTT, bahan induk tanah yang
mempunyai sebaran terluas ialah sedimen dan volkan yang
menurunkan tanah dominan Inceptisols (Haplustepts) yang
berasosiasi dengan Alfisols (Haplustalfs) dan Entisols
(Ustortherts) sekitar 2,1 juta ha.
9
berbukit (lereng 15-25%) dan bergunung (lereng >25%). Di
NTT sekitar 38,1% bergunung dan 33,2% berbukit.
Karakteristik Iklim
10
Pulau Alor, curah hujan tahunan hanya 925 mm dengan 1
bulan basah dan 7 bulan kering. Hanya sedikit wilayah yang
mempunyai curah hujan > 2.000 mm, yaitu di Kabupaten
Sumba Barat, Ngada, dan Manggarai (Mulyani et al. 2014).
14
Berdasarkan karakteristik biofisik lahan terutama
ketinggian tempat dan lereng, Balitbangtan (2012) membagi
wilayah lahan kering (kasus Bima) menjadi tiga klaster, yaitu
klaster A, B, dan C (Gambar 1). Klaster A umumnya
mempunyai bentuk wilayah datar sampai bergelombang
dengan lereng < 15%, terletak pada ketinggian < 200 m dpl.
Wilayah yang termasuk klaster B umumnya bergelombang
sampai berbukit dengan lereng 15-40%, terletak pada
ketinggian 200-700 m dpl. Klaster C berupa daerah berbukit
sampai bergunung dengan lereng > 40% dan ketinggian
tempat > 700 m dpl.
15
tanaman pangan terutama, padi, jagung, dan kacang hijau di
NTT.
18
konservasi dengan berbagai jenis tanaman yang adaptif
dengan kondisi lahan.
22
dibakar atau dengan herbisida, serta tanam dengan
tugal.
5. Ketersediaan tenaga kerja untuk kegiatan tanam dan
panen umumnya terbatas sehingga masyarakat
menerapkan arisan tenaga kerja antarrumah tangga,
terutama untuk padi dan jagung. Cara ini
mengakibatkan masa tanam dan masa panen di suatu
lokasi menjadi panjang sehingga berdampak pada
peningkatan serangan organisme pengganggu tanaman
(OPT). Pengaturan pola dan masa tanam juga sulit
dilakukan sehingga mempersulit pemanfaatan sumber
air dari curah hujan.
6. Kebiasaan masyarakat menggembalakan ternak di
lahan usaha tani pada musim kemarau menjadi kendala
utama dalam peningkatan indeks pertanaman sehingga
petani perlu melakukan pemagaran di sekeliling lahan
usaha tani. Pengandangan ternak (kandang komunal)
yang dilengkapi dengan bank pakan untuk musim
kemarau, serta penyediaan hijauan pakan dapat
meningkatkan indeks pertanaman pada musim
kemarau.
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
1. Curah hujan yang rendah di wilayah beriklim kering
menyebabkan tanah tidak mengalami pencucian yang
intensif sehingga basa-basa di dalam tanah cukup tinggi,
24
kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa tinggi, serta
tingkat kesuburan tanah relatif tinggi.
2. Lahan kering NTT memilki iklim kering yaitu: tipe iklim D3 (3-
4 bulan basah dan 4-6 bulan kering), tipe iklim D4 (3-4 bulan
basah dan >6 bulan kering), tipe iklim E3 ( 6 bulan kering).
3. Inovasi teknologi pertanian pangan untuk pengembangan
lahan kering iklim kering sudah banyak dihasilkan oleh
berbagai lembaga penelitian di Indonesia, meliputi varietas
toleran kekeringan dan tahan hama/penyakit serta
pengelolaan hara dan tanah, bahan organik, dan ternak.
4. potensi pengembangan pertanian dipilah berdasarkan
ketinggian tempat (dataran tinggi dan dataran rendah) serta
iklim basah dan iklim kering, dan yang paling luas
potensinya ialah pada wilayah dataran rendah beriklim
kering.
B.SARAN
1. Untuk para pembaca, agar mencari referensi yang lebih dari
makalah ini karena masih kurangnya referensi yang ada
tentang ekologi semiaride di NTT.
25
DAFTAR PUSTAKA
Paga, B., Mulyani, A., Prasetyo, B. . (2015). Seminar Nasional “Biodiversitas Savana Di Nusa Tenggara”
Kupang, 24 November 2015. In Karakteristik spasial habitat fisik Burung Cikukua Timor (Philemon
inornatus G.R.Gray,1846) di Lanskap Camplong (Nomor Biodiversitas Savana Nusa Tenggara).
Ngongo, Y., Basuki, T., Derosari, B., Mau, Y. S., Noerwijati, K., Dasilva, H., Sitorus, A., Kotta, N. R. E.,
Utomo, W. H., & Wisnubroto, E. I. (2022). The Roles of Cassava in Marginal Semi-Arid Farming in East
Nusa Tenggara—Indonesia. Sustainability (Switzerland), 14(9), 1–22. https://doi.org/10.3390/su14095439
Sardjono, M. A., Djogo, T., Arifin, H. S., & Wijayanto, N. (2003). Klasifikasi dan pola kombinasi komponen
agroforestri. Bahan Ajar Agroforestry 2, Bagian 1, 25.
26
Yanti, R., & Ibrahim, H. (2018). Kajian Sosiologi Perilaku Konservasi dengan Wanatani Wilayah Semi Arid
Khatulistiwa (Studi Kasus: di Kecamatan Amarasi, NTT). Journal of Applied Agricultural Science and
Technology, 2(2), 55–71. https://doi.org/10.32530/jaast.v2i2.46
Perladangan, S., Bakar, T., Upaya, D. A. N., Pertanian, P., & Kapa, M. A. X. J. (2020). SISTEM
PERLADANGAN TEBAS BAKAR DAN UPAYA PENGEMBANGAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
(KASUS DI DAS MANIKIN, TIMOR BARAT) MAX JUNUS KAPA, Prof. Dr. Totok Gunawan, M.S.
Matheus, R., Basri, M., Rompon, M. S., & Neonufa, N. (2017). Strategi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering
Dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan Di Nusa Tenggrara Timur. Partner, 22(2), 529.
https://doi.org/10.35726/jp.v22i2.246
Pengkajian, P., Kering, L., & Rehabilitasi, D. (2003). BERCARI PENGELOLAAN LAHAN KERING YANG
BERKELANJUTAN ( Toward Sustainable Management of Dryland ) 1. 37.
27