Anda di halaman 1dari 10

Materi Kuliah_4 Maret 2024

Corak Lahan Kering Wilayah Nusa Tenggara Timur dan Pengaruhnya


terhadap Budaya Lahan Kering
Istilah lahan kering secara umum selalu diakaitkan dengan lahan tanpa pengairan. Dalam
pengertian ini, di Indonesia terdapat area lahan kering yang luas baik di Jawa, Sumatra,
Kalimantan, Suawesi, Maluku dan Papua. Namun lahan kering dalam pengertian tersebut
secara klimatologis berada di zone agroklimat basah. Dalam kaitan lahan kering pada
materi kuliah ini, batasan lahan kering yang dimaksudkan adalah lahan tanpa pengairan di
area yang tidak pernah jenuh oleh air secara permanen sepanjang musim (Widyatmika,
1987). Daerah demikian pada umumnya terdapat pada daerah yang curah hujannya relatif
rendah. Daerah dengan curah hujan relatif rendah pada umumnya merupakan daerah yang
secara klimatologis termasuk daerah Arid dan Semi Arid.

Daerah Semi Arid didefinisikan dengan berbagai cara. Salah satunya dikembangkan oleh
Thornwhite (1948) yang mendasarkan atas hubungan antara rata-rata bulan hujan dan
potensi evapotranspirasi. Definisi lain dikembangkan oleh de Martonine yang didasarkan
atas nilai Indeks Ariditas. Daerah Semi Arid didefinisikan sebagi daerah yang nilai Indeks
Ariditasnya jatuh antara 10 - 20 (Finkel, 1986). Menurut kriteria Ferguson, dikatakan
bulan basah apabila CH-nya < 60 mm/bulan dan dikatakan bulan kering apabila CH-nya >
100 mm/bulan. Selanjutnya suatu daerah disebut kering apabila memiliki tipe Curah Hujan
D, E dan F dengan 4,5 – 7,9 bulan kering. Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman (bulan
kering = CH-nya < 100 mm/bulan). Menurut Throll (1966 dalam Ruthenberg, 1980), salah
satu unsur Curah Hujan (CH) yang dipakai untuk klasifikasi agroklimat di daerah tropik
adalah CH bulanan, dimana CH bulanan > dari 200 mm/bulan disebut bulan basah.
Selanjutnya berdasarkan banyaknya bulan basah dalam setahun, daerah tropik dapat dibagi
menjadi 4 (empat) zone agroklimat yaitu:

a. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 9 bulan.


b. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 7 – 9 bulan
c. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 4,5 - 7 bulan
d. Daerah beriklim setengah kering, dengan bulan basah > 2 – 4,5 bulan.
e. Daerah beriklim kering, dengan bulan basah < 2 bulan.

Daerah NTT sebenarnya secara keseluruhan tidak persis termasuk daerah Semi Arid,
karena terdapat daerah-daerah yang memiliki CH bulanan relatif tinggi. Secara
klimatologis menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, sekitar 60 % daratan di NTT
bertipe iklim E, 30 % nya F dan 10 %nya dengan tipe iklim B dan D. Sedangkan menurut
klasifikasi Oldeman, 62,6 % dari total wilayah NTT memiliki 7-9 bulan kering (Tipe D4
dan E3). Itulah sebabnya, Soegiri (1972 dalam Widyatmika, 1987) berpendapat bahwa
NTT termasuk wilayah beriklim kering (Arid) atau semi kering (Semi Arid) dan
vegetasinya cenderung didominasi oleh savana dan stepa.

Dalam Benu dan Nuningsih (2001) ditulis bahwa Provinsi NTT merupakan wilayah
kepulauan yang terdiri atas 75,0% laut dan sisanya daratan. Wilayah NTT seluas 47.349,90
km2, terdiri dari 566 buah pulau besar dan kecil, dan hanya 42 pulau yang berpenghuni.
Secara morfologis topografis, 73,13 % wilayah daratannya bergunung dan berbukit, yang
dengan kemiringan 15 %-40 % seluas 38,07 % dan dengan kemiringan > 40 % seluas 35,46
%; dengan variasi ketinggian tempat antara 100-1.000 m di atas permukaan laut. Menurut
laporan CIDA (1976) dari total luas wilayah NTT, ada 66,4 % (3.227.660 ha) yang
memiliki kemiringan tajam sehingga tidak cocok diusahakan sebagai lahan pertanian. Luas
lahan pertanian sekitar 1.637.000 ha (34 % dari luas wilayah), 92 %nya adalah lahan
kering.

Berdasarkan beberapa data di atas maka jelaslah bahwa sebagian besar wilayah NTT
adalah didominasi oleh lahan kering beriklim kering. Lahan kering di NTT tersebar di
Timor Barat, Sumba, Alor, Sabu dan Flores.

Kondisi klimatologis dan geografis tersebut sangat memberi warna pada pola kehidupan
dan perilaku bagi masyarakatnya terutama pada aktivitas pertanian dan peternakan sebagai
mata pencaharian sebagian besar penduduknya. Salah satu ciri pembatas kehidupan
usahatani di lahan kering adalah kekeringan yang berdampak pada risiko kegagalan panen
yang besar antara lain untuk tanaman pakan ternak (berbagai rumput-rumputan) dan
tanaman pangan setahun (padi dan palawija). Selain itu, keringnya rerumputan dan
tanaman semak menyebabkan rawan api. Kebakaran sebagai akibat baik ketidak sengajaan
maupun kegiatan pembersihan dalam membuka ladang baru atau untuk menumbuhkan
rumput muda dan berburu sering ditemui.

Lahan kering beriklim kering dengan topografi berombak dan bergunung berdampak pada
budaya masyarakat NTT yang meliputi pola pikir, perilaku dan hasil perilaku
masyarakatnya. Dengan kata lain, berdasarkan lingkungan hidup yang khusus, masyarakat
NTT adalah masyarakat lahan kering. Masyarakat lahan kering di wilayah beriklim kering
ini memiliki ciri-ciri sosial budaya yang membedakan dirinya baik dari masyarakat yang
hidup di lahan basah ataupun lahan kering di wilayah beriklim basah.

1.2 Keterkaitan Budaya Masyarakat Lahan Kering dengan Sistem Mata Pencaharian

Budaya masyarakat NTT adalah budaya masyarakat yang bertumpu pada pertanian
(Widyatmika, 1987). Menurut Nordholdt (1969), antara agama (kepercayaan) dan sistem
pertanian serta sistem politik pada masyarakat Atoni (Timor) ada saling keterkaitan yang
erat.
Mata pencaharian hidup yang paling utama dari masyarakat lahan kering di NTT adalah
bertani. Dalam kehidupan bertani, terdapat 2 (dua) sumber kehidupan yakni usaha tani
lahan kering dan beternak. Selain bertani dan berternak, masyarakat yang tingggal di pantai
memiliki mata pencaharian menangkap ikan di laut dan mencari biota laut yang bisa
dikonsumsi (ikan, kerang, keong, kepiting, dan rumput laut) di laut sepanjang pesisir pantai
pada saat makameting (air laut surut).

Kehidupan usaha tani lahan kering adalah berupa perladangan berpindah, berkebun (untuk
tanaman keras atau tanaman tahunan) dan pemanfaatan lahan pekarangan. Lahan untuk
perladangan ada 2 (dua) jenis yakni ladang baru yaitu yang baru dibuka dengan membabat
semak belukar dan hutan desa kemudian membersihkan dengan cara membakar, dan ladang
lama yaitu yang sudah diusahakan beberapa tahun. Dalam mengusahakan perladangan,
setelah ladang diusahakan beberapa tahun, kemudian tidak diusahakan(bero) selama
beberapa musim tanam karena kesuburan tanahnya menurun.

Lahan pekarangan dimanfaatkan untuk memelihara ternak sedang (babi dan kambing) serta
ternak kecil (ayam dan itik) serta berbagai jenis tanaman pangan dan hortikultuta serta
pakan ternak. Jenis-jenis tanaman pangan yang diusahakan di ladang dan pekarangan
adalah padi ladang, jagung, sorghum, jewawut, ketela pohon, ubi jalar, kacang nasi, kacang
hijau, kacang kayu, kacang tanah, talas, pisang, mangga, jambu, pepaya dll. Jenis-jenis
tanaman yang diusahakan di kebun yaitu pinang, kelapa, kemiri, buah-buahan dan berbagai
pohon yang daunnya dimanfaatkan untuk pakan ternak seperti lamtoro, turi, dan gamal.

Di lahan kering beriklim kering, kendala utama adalah penyediaan pakan untuk ruminansia
dan kurang bermutunya padang rumput pada musim kering. Terkait dengan kondisi fisik
geografis di NTT, ternak besar (sapi, kerbau dan kuda) diusahakan secara ekstensif dengan
cara penggembalaan di padang.

Kegiatan berburu dilakukan oleh penduduk khusus laki-laki secara berkelompok dengan
bantuan anjing dan hasilnya dibagi menurut peran masing-masing. Satwa yang menjadi
obyek berburu secara umum adalah rusa, babi hutan, kera, musang dan berbagai jenis
burung serta itik liar. Di Pulau Sumba (khususnya di Dusun Dasa Elu, Dusun Konda dan
Dusun Maloba, dulu dikenal sebagai pada perburuan kaum bangsawan Desa Konda Maloba
Kabupaten Sumba Tengah, dan kerbau liar pernah menjadi satwa yang menjadi obyek
berburu para tokoh pemerintahan dan tokoh masyarakat. Namun sejak tahun 1993 kerbau-
kerbau liar ini tidak ada lagi karena berpindah dengan cara berenang melalui laut ke pantai
Ti’das, akibat kegiatan berburu dilakukan dengan senjata api. Hal menarik, penduduk
memiliki pengetahuan yang baik tentang perilaku satwa buruan dan mereka memiliki
peralatan berburu seperti panah, sumpit, tombak, ranjau dari bambu, serta anjing untuk
mengejar dan menangkap hewan buruan.

Provinsi NTT memiliki jenis sumber daya kelautan yaitu:


a. Sumber mineral berupa garam industri dan garam pangan, modul nikel dan mangan
di dasar laut.
b. Suberdaya hayati atas ikan, kerang mutiara alam dan budidaya di (Labuan Bajo, Alor
dan Kupang), rumput laut, udang, teripang dan ikan hias.
c. Suberdaya wisata bahari.

Jenis sumberdaya ikan yang potensial antara lain:

 Ikan demersial
 Ikan pelagis
 Ikan tuna
 Ikan cakalang
 Ikan tongkol
 Ikan tembang
 Ikan kembung
 Udang barong (prawn)
 Udang (shrimp)
 Cumi
 Teripang

Rendahnya produksi ikan karena kualitas teknologi penangkapan ikan masih sederhana.

1.3 Pengetahuan dan Teknologi Pertanian Lahan Kering Beriklim Kering

Pengetahuan adalah hasil pengalaman manusia yang diperoleh dari proses interaksi dengan
lingkungan. Intraksi manusia dengan lingkungan pada dasarnya didorong oleh hasrat untuk
memenuhi kebutuhan dasar (basic human needs). Semua pengalaman yang diperoleh
manusia sebagai hasil interaksi dengan lingkungan direkam dalam ingatan. Pengalaman
yang baik dan bermanfaat akan dipraktekkan dalam hidup secara berulang-ulang dan
disebut sebagai kebiasaan-kebiasaan. Sebaliknya pengalaman yang tidak mengenakkan
atau merugikan yang dihindari, melahirkan konsep tabu atau pantangan atau dikenal
dengan istilah pemali. Keseluruhan hasil pengalaman apakah berupa kebiasaan dan
pantangan disebut pengetahuan. Penggunaan pengetahuan secara sistematis dan berulang-
ulang disebut Ilmu Pengetahuan. Dalam proses interaksi dengan lingkungan, manusia
memperoleh pengetahuan tentang cara-cara terbaik yang memudahkan dalam mencapai
tujuan sehingga lahirlah teknologi atau pengetahuan berupa alat-alat, bahan, dan cara serta
pemakaiannya untuk mendapatkan efisiensi kerja.

Pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh suatu masyarakat, adalah berupa
pengetahuan sebatas lingkungan hidup atau kondisi fisik yang melingkupinya. Secara
umum, pengetahuan masyarakat terkait kegiatan pertanian secara lokal disesuaikan dengan
kondisi SDA setempat, oleh Warren disebut dengan suatu istilah yaitu indigenouse
knowledge (pengetahuan dan teknologi asli berupa kearifan budaya lokal) yang
mengandung 2 (dua) aspek yaitu:
a. Tempat (local).
b. Keaslian atau kedekatan dengan alam (belonging naturally).

Dipandang dari aspek sejarah dan dinamika pengetahuan, indigenouse knowledge oleh
Louise Gtenier dikatakan sebagai merupakan pengetahuan yang bersifat unik tradisional
dan lokal yang dikembangkan oleh masyarakat sesuai dengan lingkungannya dan memiliki
dimensi biologi. Dalam prakteknya sehari-hari, dapat berupa pola pikir tradisional dari
berbagai kondisi lapangan dengan ruang lingkup pertanian, peternakan, perikanan dsb.
Dengan indigenouse knowledge, manusia:

a. Memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam (SDA) untuk memenuhi


kebutuhan dasarnya (basic human needs) agar bisa bertahan hidup dan
melanjutkan keturunan.
b. Dapat mengatasi berbagai masalah yang berhubungan dengan:
 Ketahanan pangan (food security).
 Keselamatan ternak.
 Pengelolaan lingkungan.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian, risiko kegagalan panen dalam berusaha tani diatasi
dengan menerapkan:

a. Usahatani ladang berpindah. Indikator yang digunakan untuk mengetahui bahwa


suatu lahan sudah bisa diusahakan kembali sangat bervariasi. Di Desa Parabubu
(Therik, dkk, 1989) adalah dengan melihat keberadaan tai faka (kotoran cacing
tanah). Apabila ditemukan dalam jumlah banyak, berarti tanahnya dinilai sudah
kembali subur sehingga lahannya bisa diusahakan kembali. Sedangkan petani di
Timor, menggunakan indikator “ladang sudah masak”, yaitu seluruh permukaan
lahan sudah dipadati dengan rerumputan dan semak belukar.
b. Pola tanam campuran (mix croping), yaitu pada lahan yang sama diusahakan
berbagai jenis tanaman tanpa jarak tanam teratur. Beberapa jenis tanaman bahkan
ditanam dalam satu lubang yang sama (dikenal dengan istilah “salome” atau satu
lubang rame-rame). Masyarakat mengetahui jenis-jenis tanaman yang dapat ditanam
dalam satu lubang, misalnya padi ladang dengan labu kuning (pumpin), sedangkan
jagung dengan kacang nasi dimana batang jagung sekaligus berfungsi sebagai ajir
(tempat tanaman kacang nasi merambat).
c. Penentuan saat tanam yang tepat dengan menggunakan indikator alam yaitu
ditemukannya tumbuhan berbiji kecil dan pipih telah tumbuh dalam populasi besar
atau permukaan air sumur sudah mencapai bibir sumur. Secara teoritis, “kebutuhan
air untuk waktu tanam” berkaitan erat dengan “Curah Hujan Efektif”, yaitu bagian
dari CH yang betul-betul masuk ke dalam tanah dan tinggal di daerah perakaran
tanaman sehingga dapat diambil oleh tanaman. Permulaan waktu tanam efektif atau
CH Efektif yang juga umum disepakati adalah: (i) hujan selama 10 hari berturut-
turut dan setelah waktu tersebut maka minimum sama dengan 20 mm, atau (ii) waktu
hujan turun dan jumlahnya telah mampu membasahi bagian yang berada pada 5 cm
lapisan tanah paling atas sampai berada pada keadaan kapasitas lapang.
d. Memprediksi munculnya serangan hama dan menggeser waktu tanam. Petani
ternyata memiliki pengetahuan bentuk dewasa (imago) hama tanaman dan jangka
waktu bentuk kupu-kupunya bertelur sampai menetas menjadi ulat. Misalnya ketika
mereka melihat jenis kupu-kupu tertentu yang menjadi imago hama ulat tentara atau
dikenal sebagai ulat “grayak’ (merupakan salah satu hama utama tanaman jagung)
maka petani akan menggeser waktu tanam untuk menghindarkan tanaman jagung
yang baru tumbuh diserang oleh hama ulat tentara.
e. Kalender musim atau pranoto mongso (istilah dalam bahasa Jawa yang telah
populer), yaitu pengalokasian waktu dalam satu tahun yang terdiri dari 12 bulan atau
wula (dalam bahasa Anakalang di Sumba TengahMasing-masing bulan ditandai
dengan gejala alam yang bisa berupa perilaku tumbuhan, satwa, angin, air, bintang
dan bulan.

Berdasarkan hasil penelitian Pengkajian Sosial Budaya dan Lingkungan Masyarakat


Terasing Desa Konda Maloba Kecamatan Katikutana Kabupaten Sumba Tengah (Gomang
dkk., 1996) ditemukan bahwa masyarakat petani setempat memiliki “kalender pertanian”
unik yang penerapannya adalah untuk mengantisipasi kegagalan panen karena merujuk
pada indikator alam. Dengan menggunakan indikator alam maka saat tanam relatif tepat
waktu sehingga risiko kegagalan panen dapat ditekan. Berikut ini adalah “kalender
pertanian” yang diterapkan oleh masyarakat Desa Konda Maloba dalam berusaha tani
tanaman pangan:

Bulan 1 (Wula Hibu Mangata, bulan tumbuhan mangata berbunga), ditandai dengan
tumbuhan mangata berbunga secara serempak.

 Bulan terakhir petani menanam padi ladang. Kegiatan penanaman padi lewat waktu
tersebut diyakini tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.

Bulan 2 (Wula Laboya, bulan nyale terhempas di pantai Lamboya)

 Saat panen jagung.


 Saat awal tanam padi sawah.

Bulan 3 (Wula nyale bakul, bulan nyale banyak), ditandai dengan nyale (cacing laut)
ditemukan dalam jumlah besar di semua pantai yang berbatasan dengan Samudera
Indonesia

 Saat paling baik untuk tanam padi sawah, sampai batas pertengahan bulan.,
 Saat panen nyale di pantai.

Bulan 4 (Wula nyali nibu, bulan ujung tombak), ditandai buah polong muda tumbuhan
legum padang muncul seperti ujung tombak.

 Saat karabuk (mencabut rumput) disusul penanaman ubi jalar di ladang bekas padang
rumput.

Bulan 5 (Wula ngura, bulan ubi muda), ditandai dengan ubi manusia mulai terbentuk.

 Saat tanam jagung yang ke-II.

Bulan 6 (Wula tua, bulan ubi tua), ditandai ubi manusia, biji legum dan padi telah tua.

 Saat panen padi sawah dan panen ubi di hutan dan ladang.

Bulan 7 (Wula Rigi Manu, bulan bulu sayap ayam merenggang), ditandai suhu udara
paling dingin dan pohon dadap mekar, ayam-ayam naik di pohon atau atap rumah dengan
bulu ayam merenggang.

 Saat membuka hutan untuk ladang dengan kegiatan tebas pohon dan semak.

Bulan 8 (Wula ba’da rara, bulan daun merah), ditandai saat pohon berdaun lebar
(decidous tree) mengugurkan daunnya.

 Saat paling tepat untuk mengolah/membalik tanah ladang.


 Saat panen jagung ke-II.

Bulan 9 (Wula dapa diha, bulan tidak masuk dalam hitungan dan dianggap bulan
”panas”), ditandai dengan suhu yang sangat dingin.

 Pantang melakukan aktifitas apapun termasuk memberi nama anak, menguburkan


orang mati dan menikahkan anak.

Bulan 10 (Wula wadu kudu atau wula ti’dung, bulan angin kecil atau bulan
berkedudukan di atas kepala atau bulan berkedudukan di zenith), ditandai dengan
cuaca sangat terik disertai angin bertiup sangat lembut.

 Saat membakar ranting-ranting terakhir


 Diyakini bahwa sinar matahari mampu mensterilkan tanah

Bulan 11 (Wula wadu bakul, bulan angin besar), ditandai panas terik membakar bumi
disertai angin kencang yang berlangsung selama ½ bulan, dan setengah bulan berikutnya
hujan mulai jatuh ke bumi.
 Saat hujan turun, dimulai tanam jagung pertama.

Bulan 12 (Wula pahita, bulan pahit namun dianggap sebagai bulan ”suci”), ditandai
dengan hujan lebat dasertai angin dan babi hutan mulai membuat sarang di padang dari
rumput kering. Disebut bulan ”pahit” karena pada saat ini biasanya persediaan bahan
pangan di lumbung menipis atau habis untuk mendukung kegiatan kerja sawah, sebaliknya
pekerjaan sawah sangat menguras dana dan tenaga.

 Saat melakukan kegiatan sawah yang banyak menguras tenaga


 Meskipun babi hutan pada bulan ini dalam posisi lemah yaitu bersarang di bawah
tumpukan rumput kering di padang sehingga mudah ditangkap, tapi di ”pemalikan”
untuk ditangkap atau dibunuh. Barangsiapa yang membunuh babi hutan pada kondisi
“lemah” tersebut, dianggap laki-laki bermental “pengecut”.

KESIMPULAN:

 Dalam berusaha tani, masyarakat lokal memiliki kearifan budaya lokal yaitu selalu menjaga
kelestarian SDA setempat ysng menjadi bagian dari lingkungan hidupnya.
 Kalender Pertanian tersebut merupakan rujukan yang relatif tepat dalam kegiatan pertanian
yang menjamin terhindarnya kegagalan panen akibat salah musim dalam memulai saat
tanam, karena masyarakat lokal melakukan aktifitas pertanian dengan menggunakan
ecological indicator, namun demikian masih perlu dikaji lebih lanjut untuk pembuktiannya.
 Masyarakat lokal hanya memanfaatkan sumber daya hayati (SDH) dalam jumlah
secukupnya, tidak berlebihan meskipun di alam tersedia dalam jumlah berlimpah. Misalnya

Contoh lain dari hasil penelitian di Desa Konda Maloba :

o Masyarakat Konda Maloba hanya mengambil ubi di hutan pada musim paceklik dalam jumlah
sebatas untuk kebutuhan selama masa menunggu saat panen.
o Sangat hati-hati menangani hasil panen dari sejak di lapangan sampai di lumbung, agar tidak
terbuang atau tercecer.
o Memiliki teknik pengolahan pengawetan bahan pangan hewani dan nabati dalam upaya
mengantisipasi kekurangan bahan pangan di musim paceklik. Misalnya pengawetan daging
untuk jangka waktu penyimpanan 2 tahun, pengolahan ikan untuk bumbu masakan (mirip
pembuatan terasi dengan teknik fermentasi), pengolahan ubi jalar dan ubi kayu menjadi bahan
pangan awetan.

Contoh dari hasil penelitian masyarakat terasing Desa Parabubu di Kabupaten Sikka
(Filemon da Lopez, Retno Nuningsih, Hendrikus Ataupah dan Tom Therik, 1997), petani
memiliki indigenouse knowledge antara lain:

o Memiliki varietas padi pare ampera yang tahan terhadap kendala angin kencang. Padi ini
ditanam di Detu Sokoria yang setiap musim tanam selalu mengalami kendala alam
berupa angin Barat Laut yang bertiup sangat kencang.
o Memiliki varietas padi pare wularua yang selalu ditanam dalam populasi sedikit
bersama padi lain (sebagai tanaman padi pokok di lahan sawah tadah hujan) karena
memiliki keunggulan yaitu berumur sangat genjah (2 bulan) sehingga mampu mengatasi
kebutuhan bahan pangan yang mulai menipis pada masa musim tanam (musim menunggu
saat panen), sekalipun produksinya rendah.
o Memiliki varietas jagung keo tobe yang ditanam di Detu Sokoria karena memiliki sifat
tahan rebah, bertongkol besar dan tahan dalam penyimpanan (sampai 2 tahun) tanpa
rusak. Untuk diketahui, Detu Sokoria wilayahnya datar dan berada pada ketinggian di
atas 1.000 m dpl yang selalu mengalami angin kencang selama musim tanam.
o Mengenal dengan sangat baik kegunaan dari jenis-jenis tumbuhan tertentu baik untuk
obat, bahan pangan, pakan, ramuan rumah, peralatan rumah tangga, peralatan pertanian,
dan kayu bakar.
o Mengenal dengan sangat baik lingkungan SDA pertanian (fisik dan hayati), sehingga bisa
menghindari kegagalan panen dengan menggeser waktu tanam.
o Menggunakan indikator alam untuk menentukan apakah suatu lahan sudah dapat
diusahakan kembali setelah diberakan (dalam sistem ladang berpindah) yaitu berupa
seberapa banyak tai faka (kotoran cacing) yang dapat ditemukan di atas suatu lahan.
Apabila di atas suatu lahan sudah ditemukan banyak tai faka maka berarti lahan tersebut
sudah dapat diusahakan kembali.
o Mengusahakan jenis tanaman yang sesuai dengan lingkungan fisik setempat. Masyarakat
desa Parabubu memiliki koleksi benih dari 13 varietas padi dan 3 varietas jagung.

Contoh dari hasil wawancara dengan petani disekitar Polen (TTS) :

o Memiliki teknologi pengolahan dan pengawetan hasil tanam (termasuk menghilangkan


racun dari bahan pangan) untuk tujuan food security di musim paceklik.
o Mereka menggunakan pupuk organik (kotoran sapi/kambing) dan daun-daun kering
untuk pupuk.
o Membersihkan lahan dengan cara membakar pada pagi hari atau malam hari saat tidak
ada angin, dan membuat sekat api (disebut sako) sekeliling ladang untuk mencegah api
merambat ke lahan yang lain.

Sumber Pustaka

1. Benu, A dan R. Nuningsih. 2001. Potensi Wilayah dan Masalah pembangunan Pertanian di
Wilayah Kering dan Sumberdaya Kelautan, Kajian NTT. Dalam Semangun, H dan F.F.
Karwur (Penyunting). 1995. Prosiding Konferensi Internasional Pembangunan Pertanian
Semi Arid Nusa Tenggara Timur, Timor Timur dan Maluku Tenggara Tanggal 10-16
Desember 1995 di Kupang. Penerbit Widya Sari Salatiga untuk Pemerintah Provinsi NTT
dan Universitas Kristen Satya Wacana: halaman 38-53..
2. Gomang, S., R. Nuningsih, Ataupah, H., F.D. Lopez dan Y. Benufinit. 1996. Pengkajian
Sosial Budaya dan Lingkungan Masyarakat Terasing Desa Konda Maloba Kecamatan
Katikutana, Kabupaten Sumba Barat. Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi NTT,
Kupang.
3. Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan.
4. Lopez, F.D, R. Nuningsih, T.G. Therik, dan H, Ataupah. 1997. Pengkajian Sosial Budaya
dan Lingkungan Masyarakat Terasing Desa Parabubu, Perwakilan Kecamatan Paga,
Kabupaten Sikka. Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi NTT, Kupang.
5. Nuningsih, R. 2007. Teknologi Indigenouse: Suatu Strategi Masyarakat Lokal dalam
Pertanian Berkelanjutan. Buletin Penelitian dan Pengembangan, Indonesia Australia Eastern
Universities Project Alumni Forum, Kupang, Folume 8, Nomor 3: halaman 1-8.
6. Soekanto, S. 1999. Sosiologi: Suatu Pengantar. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
7. Widiyatmika. 1987. Budaya Masyarakat Lahan Kering. Pusat Penelitian Universitas Nusa
Cendana.

Anda mungkin juga menyukai