Daerah Semi Arid didefinisikan dengan berbagai cara. Salah satunya dikembangkan oleh
Thornwhite (1948) yang mendasarkan atas hubungan antara rata-rata bulan hujan dan
potensi evapotranspirasi. Definisi lain dikembangkan oleh de Martonine yang didasarkan
atas nilai Indeks Ariditas. Daerah Semi Arid didefinisikan sebagi daerah yang nilai Indeks
Ariditasnya jatuh antara 10 - 20 (Finkel, 1986). Menurut kriteria Ferguson, dikatakan
bulan basah apabila CH-nya < 60 mm/bulan dan dikatakan bulan kering apabila CH-nya >
100 mm/bulan. Selanjutnya suatu daerah disebut kering apabila memiliki tipe Curah Hujan
D, E dan F dengan 4,5 – 7,9 bulan kering. Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman (bulan
kering = CH-nya < 100 mm/bulan). Menurut Throll (1966 dalam Ruthenberg, 1980), salah
satu unsur Curah Hujan (CH) yang dipakai untuk klasifikasi agroklimat di daerah tropik
adalah CH bulanan, dimana CH bulanan > dari 200 mm/bulan disebut bulan basah.
Selanjutnya berdasarkan banyaknya bulan basah dalam setahun, daerah tropik dapat dibagi
menjadi 4 (empat) zone agroklimat yaitu:
Daerah NTT sebenarnya secara keseluruhan tidak persis termasuk daerah Semi Arid,
karena terdapat daerah-daerah yang memiliki CH bulanan relatif tinggi. Secara
klimatologis menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, sekitar 60 % daratan di NTT
bertipe iklim E, 30 % nya F dan 10 %nya dengan tipe iklim B dan D. Sedangkan menurut
klasifikasi Oldeman, 62,6 % dari total wilayah NTT memiliki 7-9 bulan kering (Tipe D4
dan E3). Itulah sebabnya, Soegiri (1972 dalam Widyatmika, 1987) berpendapat bahwa
NTT termasuk wilayah beriklim kering (Arid) atau semi kering (Semi Arid) dan
vegetasinya cenderung didominasi oleh savana dan stepa.
Dalam Benu dan Nuningsih (2001) ditulis bahwa Provinsi NTT merupakan wilayah
kepulauan yang terdiri atas 75,0% laut dan sisanya daratan. Wilayah NTT seluas 47.349,90
km2, terdiri dari 566 buah pulau besar dan kecil, dan hanya 42 pulau yang berpenghuni.
Secara morfologis topografis, 73,13 % wilayah daratannya bergunung dan berbukit, yang
dengan kemiringan 15 %-40 % seluas 38,07 % dan dengan kemiringan > 40 % seluas 35,46
%; dengan variasi ketinggian tempat antara 100-1.000 m di atas permukaan laut. Menurut
laporan CIDA (1976) dari total luas wilayah NTT, ada 66,4 % (3.227.660 ha) yang
memiliki kemiringan tajam sehingga tidak cocok diusahakan sebagai lahan pertanian. Luas
lahan pertanian sekitar 1.637.000 ha (34 % dari luas wilayah), 92 %nya adalah lahan
kering.
Berdasarkan beberapa data di atas maka jelaslah bahwa sebagian besar wilayah NTT
adalah didominasi oleh lahan kering beriklim kering. Lahan kering di NTT tersebar di
Timor Barat, Sumba, Alor, Sabu dan Flores.
Kondisi klimatologis dan geografis tersebut sangat memberi warna pada pola kehidupan
dan perilaku bagi masyarakatnya terutama pada aktivitas pertanian dan peternakan sebagai
mata pencaharian sebagian besar penduduknya. Salah satu ciri pembatas kehidupan
usahatani di lahan kering adalah kekeringan yang berdampak pada risiko kegagalan panen
yang besar antara lain untuk tanaman pakan ternak (berbagai rumput-rumputan) dan
tanaman pangan setahun (padi dan palawija). Selain itu, keringnya rerumputan dan
tanaman semak menyebabkan rawan api. Kebakaran sebagai akibat baik ketidak sengajaan
maupun kegiatan pembersihan dalam membuka ladang baru atau untuk menumbuhkan
rumput muda dan berburu sering ditemui.
Lahan kering beriklim kering dengan topografi berombak dan bergunung berdampak pada
budaya masyarakat NTT yang meliputi pola pikir, perilaku dan hasil perilaku
masyarakatnya. Dengan kata lain, berdasarkan lingkungan hidup yang khusus, masyarakat
NTT adalah masyarakat lahan kering. Masyarakat lahan kering di wilayah beriklim kering
ini memiliki ciri-ciri sosial budaya yang membedakan dirinya baik dari masyarakat yang
hidup di lahan basah ataupun lahan kering di wilayah beriklim basah.
1.2 Keterkaitan Budaya Masyarakat Lahan Kering dengan Sistem Mata Pencaharian
Budaya masyarakat NTT adalah budaya masyarakat yang bertumpu pada pertanian
(Widyatmika, 1987). Menurut Nordholdt (1969), antara agama (kepercayaan) dan sistem
pertanian serta sistem politik pada masyarakat Atoni (Timor) ada saling keterkaitan yang
erat.
Mata pencaharian hidup yang paling utama dari masyarakat lahan kering di NTT adalah
bertani. Dalam kehidupan bertani, terdapat 2 (dua) sumber kehidupan yakni usaha tani
lahan kering dan beternak. Selain bertani dan berternak, masyarakat yang tingggal di pantai
memiliki mata pencaharian menangkap ikan di laut dan mencari biota laut yang bisa
dikonsumsi (ikan, kerang, keong, kepiting, dan rumput laut) di laut sepanjang pesisir pantai
pada saat makameting (air laut surut).
Kehidupan usaha tani lahan kering adalah berupa perladangan berpindah, berkebun (untuk
tanaman keras atau tanaman tahunan) dan pemanfaatan lahan pekarangan. Lahan untuk
perladangan ada 2 (dua) jenis yakni ladang baru yaitu yang baru dibuka dengan membabat
semak belukar dan hutan desa kemudian membersihkan dengan cara membakar, dan ladang
lama yaitu yang sudah diusahakan beberapa tahun. Dalam mengusahakan perladangan,
setelah ladang diusahakan beberapa tahun, kemudian tidak diusahakan(bero) selama
beberapa musim tanam karena kesuburan tanahnya menurun.
Lahan pekarangan dimanfaatkan untuk memelihara ternak sedang (babi dan kambing) serta
ternak kecil (ayam dan itik) serta berbagai jenis tanaman pangan dan hortikultuta serta
pakan ternak. Jenis-jenis tanaman pangan yang diusahakan di ladang dan pekarangan
adalah padi ladang, jagung, sorghum, jewawut, ketela pohon, ubi jalar, kacang nasi, kacang
hijau, kacang kayu, kacang tanah, talas, pisang, mangga, jambu, pepaya dll. Jenis-jenis
tanaman yang diusahakan di kebun yaitu pinang, kelapa, kemiri, buah-buahan dan berbagai
pohon yang daunnya dimanfaatkan untuk pakan ternak seperti lamtoro, turi, dan gamal.
Di lahan kering beriklim kering, kendala utama adalah penyediaan pakan untuk ruminansia
dan kurang bermutunya padang rumput pada musim kering. Terkait dengan kondisi fisik
geografis di NTT, ternak besar (sapi, kerbau dan kuda) diusahakan secara ekstensif dengan
cara penggembalaan di padang.
Kegiatan berburu dilakukan oleh penduduk khusus laki-laki secara berkelompok dengan
bantuan anjing dan hasilnya dibagi menurut peran masing-masing. Satwa yang menjadi
obyek berburu secara umum adalah rusa, babi hutan, kera, musang dan berbagai jenis
burung serta itik liar. Di Pulau Sumba (khususnya di Dusun Dasa Elu, Dusun Konda dan
Dusun Maloba, dulu dikenal sebagai pada perburuan kaum bangsawan Desa Konda Maloba
Kabupaten Sumba Tengah, dan kerbau liar pernah menjadi satwa yang menjadi obyek
berburu para tokoh pemerintahan dan tokoh masyarakat. Namun sejak tahun 1993 kerbau-
kerbau liar ini tidak ada lagi karena berpindah dengan cara berenang melalui laut ke pantai
Ti’das, akibat kegiatan berburu dilakukan dengan senjata api. Hal menarik, penduduk
memiliki pengetahuan yang baik tentang perilaku satwa buruan dan mereka memiliki
peralatan berburu seperti panah, sumpit, tombak, ranjau dari bambu, serta anjing untuk
mengejar dan menangkap hewan buruan.
Ikan demersial
Ikan pelagis
Ikan tuna
Ikan cakalang
Ikan tongkol
Ikan tembang
Ikan kembung
Udang barong (prawn)
Udang (shrimp)
Cumi
Teripang
Rendahnya produksi ikan karena kualitas teknologi penangkapan ikan masih sederhana.
Pengetahuan adalah hasil pengalaman manusia yang diperoleh dari proses interaksi dengan
lingkungan. Intraksi manusia dengan lingkungan pada dasarnya didorong oleh hasrat untuk
memenuhi kebutuhan dasar (basic human needs). Semua pengalaman yang diperoleh
manusia sebagai hasil interaksi dengan lingkungan direkam dalam ingatan. Pengalaman
yang baik dan bermanfaat akan dipraktekkan dalam hidup secara berulang-ulang dan
disebut sebagai kebiasaan-kebiasaan. Sebaliknya pengalaman yang tidak mengenakkan
atau merugikan yang dihindari, melahirkan konsep tabu atau pantangan atau dikenal
dengan istilah pemali. Keseluruhan hasil pengalaman apakah berupa kebiasaan dan
pantangan disebut pengetahuan. Penggunaan pengetahuan secara sistematis dan berulang-
ulang disebut Ilmu Pengetahuan. Dalam proses interaksi dengan lingkungan, manusia
memperoleh pengetahuan tentang cara-cara terbaik yang memudahkan dalam mencapai
tujuan sehingga lahirlah teknologi atau pengetahuan berupa alat-alat, bahan, dan cara serta
pemakaiannya untuk mendapatkan efisiensi kerja.
Pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh suatu masyarakat, adalah berupa
pengetahuan sebatas lingkungan hidup atau kondisi fisik yang melingkupinya. Secara
umum, pengetahuan masyarakat terkait kegiatan pertanian secara lokal disesuaikan dengan
kondisi SDA setempat, oleh Warren disebut dengan suatu istilah yaitu indigenouse
knowledge (pengetahuan dan teknologi asli berupa kearifan budaya lokal) yang
mengandung 2 (dua) aspek yaitu:
a. Tempat (local).
b. Keaslian atau kedekatan dengan alam (belonging naturally).
Dipandang dari aspek sejarah dan dinamika pengetahuan, indigenouse knowledge oleh
Louise Gtenier dikatakan sebagai merupakan pengetahuan yang bersifat unik tradisional
dan lokal yang dikembangkan oleh masyarakat sesuai dengan lingkungannya dan memiliki
dimensi biologi. Dalam prakteknya sehari-hari, dapat berupa pola pikir tradisional dari
berbagai kondisi lapangan dengan ruang lingkup pertanian, peternakan, perikanan dsb.
Dengan indigenouse knowledge, manusia:
Berdasarkan beberapa hasil penelitian, risiko kegagalan panen dalam berusaha tani diatasi
dengan menerapkan:
Bulan 1 (Wula Hibu Mangata, bulan tumbuhan mangata berbunga), ditandai dengan
tumbuhan mangata berbunga secara serempak.
Bulan terakhir petani menanam padi ladang. Kegiatan penanaman padi lewat waktu
tersebut diyakini tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.
Bulan 3 (Wula nyale bakul, bulan nyale banyak), ditandai dengan nyale (cacing laut)
ditemukan dalam jumlah besar di semua pantai yang berbatasan dengan Samudera
Indonesia
Saat paling baik untuk tanam padi sawah, sampai batas pertengahan bulan.,
Saat panen nyale di pantai.
Bulan 4 (Wula nyali nibu, bulan ujung tombak), ditandai buah polong muda tumbuhan
legum padang muncul seperti ujung tombak.
Saat karabuk (mencabut rumput) disusul penanaman ubi jalar di ladang bekas padang
rumput.
Bulan 5 (Wula ngura, bulan ubi muda), ditandai dengan ubi manusia mulai terbentuk.
Bulan 6 (Wula tua, bulan ubi tua), ditandai ubi manusia, biji legum dan padi telah tua.
Saat panen padi sawah dan panen ubi di hutan dan ladang.
Bulan 7 (Wula Rigi Manu, bulan bulu sayap ayam merenggang), ditandai suhu udara
paling dingin dan pohon dadap mekar, ayam-ayam naik di pohon atau atap rumah dengan
bulu ayam merenggang.
Saat membuka hutan untuk ladang dengan kegiatan tebas pohon dan semak.
Bulan 8 (Wula ba’da rara, bulan daun merah), ditandai saat pohon berdaun lebar
(decidous tree) mengugurkan daunnya.
Bulan 9 (Wula dapa diha, bulan tidak masuk dalam hitungan dan dianggap bulan
”panas”), ditandai dengan suhu yang sangat dingin.
Bulan 10 (Wula wadu kudu atau wula ti’dung, bulan angin kecil atau bulan
berkedudukan di atas kepala atau bulan berkedudukan di zenith), ditandai dengan
cuaca sangat terik disertai angin bertiup sangat lembut.
Bulan 11 (Wula wadu bakul, bulan angin besar), ditandai panas terik membakar bumi
disertai angin kencang yang berlangsung selama ½ bulan, dan setengah bulan berikutnya
hujan mulai jatuh ke bumi.
Saat hujan turun, dimulai tanam jagung pertama.
Bulan 12 (Wula pahita, bulan pahit namun dianggap sebagai bulan ”suci”), ditandai
dengan hujan lebat dasertai angin dan babi hutan mulai membuat sarang di padang dari
rumput kering. Disebut bulan ”pahit” karena pada saat ini biasanya persediaan bahan
pangan di lumbung menipis atau habis untuk mendukung kegiatan kerja sawah, sebaliknya
pekerjaan sawah sangat menguras dana dan tenaga.
KESIMPULAN:
Dalam berusaha tani, masyarakat lokal memiliki kearifan budaya lokal yaitu selalu menjaga
kelestarian SDA setempat ysng menjadi bagian dari lingkungan hidupnya.
Kalender Pertanian tersebut merupakan rujukan yang relatif tepat dalam kegiatan pertanian
yang menjamin terhindarnya kegagalan panen akibat salah musim dalam memulai saat
tanam, karena masyarakat lokal melakukan aktifitas pertanian dengan menggunakan
ecological indicator, namun demikian masih perlu dikaji lebih lanjut untuk pembuktiannya.
Masyarakat lokal hanya memanfaatkan sumber daya hayati (SDH) dalam jumlah
secukupnya, tidak berlebihan meskipun di alam tersedia dalam jumlah berlimpah. Misalnya
o Masyarakat Konda Maloba hanya mengambil ubi di hutan pada musim paceklik dalam jumlah
sebatas untuk kebutuhan selama masa menunggu saat panen.
o Sangat hati-hati menangani hasil panen dari sejak di lapangan sampai di lumbung, agar tidak
terbuang atau tercecer.
o Memiliki teknik pengolahan pengawetan bahan pangan hewani dan nabati dalam upaya
mengantisipasi kekurangan bahan pangan di musim paceklik. Misalnya pengawetan daging
untuk jangka waktu penyimpanan 2 tahun, pengolahan ikan untuk bumbu masakan (mirip
pembuatan terasi dengan teknik fermentasi), pengolahan ubi jalar dan ubi kayu menjadi bahan
pangan awetan.
Contoh dari hasil penelitian masyarakat terasing Desa Parabubu di Kabupaten Sikka
(Filemon da Lopez, Retno Nuningsih, Hendrikus Ataupah dan Tom Therik, 1997), petani
memiliki indigenouse knowledge antara lain:
o Memiliki varietas padi pare ampera yang tahan terhadap kendala angin kencang. Padi ini
ditanam di Detu Sokoria yang setiap musim tanam selalu mengalami kendala alam
berupa angin Barat Laut yang bertiup sangat kencang.
o Memiliki varietas padi pare wularua yang selalu ditanam dalam populasi sedikit
bersama padi lain (sebagai tanaman padi pokok di lahan sawah tadah hujan) karena
memiliki keunggulan yaitu berumur sangat genjah (2 bulan) sehingga mampu mengatasi
kebutuhan bahan pangan yang mulai menipis pada masa musim tanam (musim menunggu
saat panen), sekalipun produksinya rendah.
o Memiliki varietas jagung keo tobe yang ditanam di Detu Sokoria karena memiliki sifat
tahan rebah, bertongkol besar dan tahan dalam penyimpanan (sampai 2 tahun) tanpa
rusak. Untuk diketahui, Detu Sokoria wilayahnya datar dan berada pada ketinggian di
atas 1.000 m dpl yang selalu mengalami angin kencang selama musim tanam.
o Mengenal dengan sangat baik kegunaan dari jenis-jenis tumbuhan tertentu baik untuk
obat, bahan pangan, pakan, ramuan rumah, peralatan rumah tangga, peralatan pertanian,
dan kayu bakar.
o Mengenal dengan sangat baik lingkungan SDA pertanian (fisik dan hayati), sehingga bisa
menghindari kegagalan panen dengan menggeser waktu tanam.
o Menggunakan indikator alam untuk menentukan apakah suatu lahan sudah dapat
diusahakan kembali setelah diberakan (dalam sistem ladang berpindah) yaitu berupa
seberapa banyak tai faka (kotoran cacing) yang dapat ditemukan di atas suatu lahan.
Apabila di atas suatu lahan sudah ditemukan banyak tai faka maka berarti lahan tersebut
sudah dapat diusahakan kembali.
o Mengusahakan jenis tanaman yang sesuai dengan lingkungan fisik setempat. Masyarakat
desa Parabubu memiliki koleksi benih dari 13 varietas padi dan 3 varietas jagung.
Sumber Pustaka
1. Benu, A dan R. Nuningsih. 2001. Potensi Wilayah dan Masalah pembangunan Pertanian di
Wilayah Kering dan Sumberdaya Kelautan, Kajian NTT. Dalam Semangun, H dan F.F.
Karwur (Penyunting). 1995. Prosiding Konferensi Internasional Pembangunan Pertanian
Semi Arid Nusa Tenggara Timur, Timor Timur dan Maluku Tenggara Tanggal 10-16
Desember 1995 di Kupang. Penerbit Widya Sari Salatiga untuk Pemerintah Provinsi NTT
dan Universitas Kristen Satya Wacana: halaman 38-53..
2. Gomang, S., R. Nuningsih, Ataupah, H., F.D. Lopez dan Y. Benufinit. 1996. Pengkajian
Sosial Budaya dan Lingkungan Masyarakat Terasing Desa Konda Maloba Kecamatan
Katikutana, Kabupaten Sumba Barat. Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi NTT,
Kupang.
3. Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan.
4. Lopez, F.D, R. Nuningsih, T.G. Therik, dan H, Ataupah. 1997. Pengkajian Sosial Budaya
dan Lingkungan Masyarakat Terasing Desa Parabubu, Perwakilan Kecamatan Paga,
Kabupaten Sikka. Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi NTT, Kupang.
5. Nuningsih, R. 2007. Teknologi Indigenouse: Suatu Strategi Masyarakat Lokal dalam
Pertanian Berkelanjutan. Buletin Penelitian dan Pengembangan, Indonesia Australia Eastern
Universities Project Alumni Forum, Kupang, Folume 8, Nomor 3: halaman 1-8.
6. Soekanto, S. 1999. Sosiologi: Suatu Pengantar. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
7. Widiyatmika. 1987. Budaya Masyarakat Lahan Kering. Pusat Penelitian Universitas Nusa
Cendana.