Pulau Timor adalah pulau terbesar dari lima pulau besar lainnya seperti pulau Flores, sumba, Alor dan Lembata. Secara administratif, kawasan tersebut meliputi enam kabupaten/kota yakni kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), TimorTengah Utara (TTU), Belu, Rote Ndao dan Kota Kupang atau mencakup luas wilayah 1 580 498ha. Berdasarkan agro-klimatologi, kawasan Timor dan sekitarnya tergolong sebagai kawasan semi-arid yang dicirikan oleh jumlah curah hujan < 1500mm/tahun; 3 sampai 4 bulan kering (BK) yakni antara bulan April sampai November atau hanya satu puncak curah hujan (single wave) kecuali di bagian selatan kabupaten Belu yang mempunyai dua puncak curah hujan (doublewave). Menurut Pramudia (dalam Basuki, Lidjang, Nulik) tipe curah hujan menurut klasifikasi Schimitd dan Ferguson, kawasan ini didominasi oleh tipe D3 dan E, selanjutnya menurut klasifikasi Oldeman kawasan ini berada pada zona C3, D3, D4 dan E4 (Basuki et al., 1997). Sementra rata-rata suhu harian tergolong panas yakni antara. Menurut klasifikasi AEZ (Agro Ecological Zone), pulau Timor dan sekitarnya telah teridentifikasi kedalam delapan AEZ (Basuki et al., 1997). Sebagian besar (84.39%) kawasan ini adalah wilayah dataran rendah antara 0 sampai 700 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan regim suhu panas(isohypotermic) dengan rata-rata suhu udara antara 26 – 32 o C; dan sisanya adalah dataran tinggi antara >700 sampai 2000 mdpl. Sementara kondisi topografinya didominasi (86.56 %) oleh perbukitan kapur dan 12.39 % adalah lahan datar aluvial. Pada lahan-lahan fisiografi aluvial,umumnya telah dimanfaatkan sebagai pusat produksi tanaman pangan semusim seperti jagung, kacang-kacangan dan ubi-ubian. Dan jika pada fisiografi memeliki jaringan irigasi, maka kawasan ini telah digunakan sebagai kawasan sawah irigasi, seperti dapat di jumpai di Noelbaki, Oesao,Oepoli, Bena, Wini, Betun- Besikama, Airoki dan Sukabitetek. Dari aspek tanah, kawasan ini tersebar jenis tanah tingkat ordo yakni Entisol, Inseptisol,Alfisol, Molisol dan Vertisol menurut klasifikasi taxnomi tanah. Tanah-tanah ini memiliki reaksi tanah alkalin atau ber pH antara 7.2 sampai 7.8, namun umumnya bersolum rendah antara < 20 cm, kecuali bagi pada tanah-tanah vertisol yang memiliki solum tanah > 80 cm. Dari jenis-jenis tanah tersebut di atas, dengan dipengaruhi oleh kondisi fisikkawasan maka turunan sub-ordo tanah Haplustalfs, Ustropepts, Haplustolls, Tropaquepts, Fluvaquents dan Haplusterts. Faktor pembatas yang dijumpai pada tanah-tanah ini umumnya adalah batuan permukaan dan ketersediaan air. Atoni pah meto merupakan kata majemuk yang terdiri dari atoni (dapat berarti laki-laki dan berarti juga kelompok orang/suku bangsa). Pah, berarti tempat atau wilayah. Meto, berarti kering atau daratan. Dengan demikian, atoni pah meto, adalah orang yang mendiami daratan sekaligus nama penduduk Pulau Timor bagian Barat, dan sebagian Kabupaten Kupang. Bahasa yang digunakan adalah uab meto. Sebutan atoni pah meto sekaligus membedakan atoni pah meto dengan orang lain atau pendatang yang disebut kase. Nama itu menunjukkan pula bahwa atoni pah meto menggantungkan kehidupannya pada pertanian di lahan kering (berladang), atau dalam istilah lokal disebut malak. Atoni pah meto di pulau Timor, secara turun-temurun menggantungkan kehidupannya pada pertanian, terutama pertanian lahan kering, dan peternakan. Kehidupan itu sejalan dengan apa yang dikatakan Arsyad (2010, 405), peran sektor pertanian dalam kehidupan pembangunan ekonomi sangat penting karena sebagian besar penduduk di negara miskin menyandarkan hidupnya pada sektor itu. Pertanian lahan kering merupakan kegiatan budi daya tanaman yang dilakukan dalam kondisi kekeringan sedang sampai berat selama sebagian besar musim tanam. Akibatnya, diperlukan teknik budi daya khusus, jenis tanaman, dan sistem usaha tani tertentu untuk memungkinkan produksi yang berkelanjutan (Benu dan Mudita 2013, 20). Pertanian lahan kering atau berladang yang dipraktikkan atoni pah meto juga mengenal teknik tertentu dan pada akhirnya dikenal dengan budaya bertani lahan kering atoni pah meto di pulau Timor. Keadaan itu juga sejalan dengan pendapat Mardimin (2004, 12) yang mendefinisikan, “kebudayaan adalah seluruh cara hidup manusia yang dianut bersama dalam suatu masyarakat guna mencapai taraf hidup yang lebih baik”. Budaya bertani lahan kering atoni pah meto tidaklah statis tetapi dinamis. Dinamika terjadi berkat interaksi antara atoni pah meto dan bangsa, suku bangsa, etnis, dan subetnis sehingga terjadi pertukaran budaya. Dalam dua sampai tiga dekade terakhir, pertanian lahan kering atoni pah meto terkena dampak perubahan iklim global (global climate change). Dampak perubahan iklim global yang dirasakan antara lain atoni pah meto mengalami gagal tanam dan juga gagal panen sebagai akibat hujan yang kurang atau hujan yang berlebihan. Bencana lain adalah kemarau yang berkepanjangan, serangan hama terutama belalang kumbara yang kian ganas, bencana angin puting beliung, dan bencana alam lain. Perubahan iklim global telah menjadi isu penting dan menarik perhatian berbagai pihak, baik negarawan, akademisi, praktisi, maupun petani, nelayan, dan pedagang. Iklim menunjukkan anomali yang ditandai dengan berbagai perubahan khususnya perubahan musim yang signifikan dan berpengaruh pada kehidupan, tingkat produksi usaha tani. Perubahan iklim global ditengarai bukan lagi sekadar wacana. melainkan telah benar-benar merupakan ancaman kehidupan di planet Bumi. Kondisi yang paling dirasakan oleh manusia adalah musim yang bersifat paradoksal seperti dirasakan di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Indonesia dipengaruhi iklim tropis yang mengenal dua musim, yakni musim penghujan dan musim kemarau, masing-masing selama enam bulan, tidak lagi seperti dahulu. Beberapa daerah mengalami banjir pada musim kemarau, demikian juga sebaliknya. Ancaman anomali iklim adalah gagal panen yang sudah pasti mengakibatkan gangguan stok pangan nasional dan kelaparan (Arjana 2010, 2). Perubahan iklim global di atas mendorong atoni pah mato untuk meninggalkan ladangnya, ada yang memilih menjual lahannya untuk dijadikan tambang mangan. Ada pula untuk modal mengadu peruntungan di tanah rantau, baik di dalam negeri maupun di luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) sekalipun dari aspek sumber daya manusia tidak memadai untuk bekerja di luar negeri. Kondisi itu tentu saja bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Foni (2002, 91) bahwa kebun (lele) bagi atoni pah meto merupakan kampung kedua setelah kuan karena lele memberikan sejuta harapan tentang masa depan atoni. Perubahan iklim tidak lagi diperdebatkan keberadaannya, tetapi sudah menjadi permasalahan bersama antarkomunitas, antarinstansi, antarnegara. Bahkan sudah menjadi permasalahan global sehingga harus ditangani secara serius. Begitu banyak aspek kehidupan yang terkena dampaknya, apalagi sektor pertanian. Produktivitas dan progres sektor pertanian dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama anomali iklim. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa usaha di sektor pertanian berada pada posisi ketidakpastian (unpredictable), (Nurdin n.d.). Dalam pandangan penulis ini, jika petani di negara maju dengan teknologi mutakhir saja masih mengeluhkan dampak perubahan iklim global, apalagi petani atoni pah meto di pulau Timor yang dapat dikatakan masih sangat bergantung pada alam dan menggunakan teknologi yang sangat sederhana warisan turun-temurun. Tidaklah mengherankan tatkala kegalauan itu menjadi pokok bahasan di kala kami berdiskusi dengan petani di Pulau Timor. Nordholt (1971, 53–91) mengatakan bahwa dalam pertanian lahan kering atoni pah meto Pulau Timor, terdapat empat belas ritus, yakni : (a) memilih sebidang tanah; (b) meminta izin; (c) mengasah parang; (d) menebang pohon; (e) membakar kebun baru; (f) memadamkan obor bambu; (g) membendung erosi; (h) menghindarikemarau panjang dan kegagalan panen; (i) membayar tobe; (j) menjaga tanaman muda; (k) memetik jagung pertama; (l) memanen padi; (m) memanen jagung; (n) kembali ke kampung.
2. Optimalisasi pemanfaatan lahan kering
Optimalisasi pemanfaatan lahan kering untuk pertanian sering terabaikan karena program lebih difokuskan pada peningkatan produksi pangan di lahan sawah. Hal ini karena peningkatan produksi pada lahan sawah lebih potensial dan mudah dibandingkan dengan di lahan kering yang mempunyai banyak kendala. Wilayah lahan kering beriklim kering mempunyai permasalahan dan tantangan yang khas dibandingkan dengan wilayah lahan kering beriklim basah, baik dari aspek sumber daya lahan (tanah, iklim, air) maupun dari aspek sosial budaya, termasuk kebiasaan masyarakat dalam berusaha tani. Faktor pembatas yang banyak ditemukan di lahan kering beriklim kering adalah Keterbatasan air dengan curah hujan rendah < 2.000 mm/tahun, bahkan di banyak tempat < 1.000 mm/ tahun dan bulan kering 7-8 bulan, sehingga tanpa upaya khusus, lahan hanya dapat dimanfaatkan satu kali tanam dalam setahun. Selain itu sebagian besar bentuk wilayah di pulau timor berbukit dan bergunung dengan lereng 15-40%, bahkan sebagian lahan memiliki lereng > 40%, sementara masyarakat memerlukan lahan untuk berusaha tani dan tidak ada pilihan lahan lain untuk dikembangkan serta sebagian besar lahan kering iklim kering mempunyai kedalaman tanah (solum) dangkal dan berbatu. Dari sektor perternakan kebiasaan masyarakat menggembalakan ternak di lahan usaha tani pada musim kemarau menjadi kendala utama dalam peningkatan indeks pertanaman sehingga petani perlu melakukan pemagaran di sekeliling lahan usaha tani. Sebagian besar wilayah di pulau Timor memiliki iklim kering dengan curah hujan rendah sehingga sumber air utama adalah dari curah hujan. Namun, sumber air permukaan dan air tanah banyak ditemukan di beberapa lokasi dan berpotensi dikembangkan sebagai sumber air untuk pertanian, yaitu di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang terdapat air tanah/artesis dan di beberapa lokasi terdapat embung. Di Kota Kupang terdapat 10 embung dan Kabupaten Kupang 66 embung.
3. Pembangunan lahan kering
- Ameliorasi Tanah Upaya praktis yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas tanah adalah melalui ameliorasi (bahan pembenah tanah). Ameliorasi tanah dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari pemberian pupuk organik seperti pupuk kandang, kompos dan biochar dari limbah pertanian. Mateus, et al., (2017) menjelaskan bahwa biochar dari limbah pertanian berpotensi besar untuk meningkatkan kualitas tanah dalam jangka waktu yang lama karena resisten terhadap pelapukan. Tindakan ameliorasi pada tanah-tanah pertanian yang produktif saat ini, sangat tepat sebagai upaya untuk memulihkan lahanlahan pertanian (baik lahan basah maupun lahan kering) karena berada dalam keadaan jenuh. Upaya ameliorasi ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi pemupukan, sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan pertanian. Bagi petani lahan kering, penggunaan bahan amelioran eks-situ berupa pupuk organik (pupuk kandang, kompos, biochar) seringkali sulit dijangkau oleh petani kita, alasan karena jumlah yang dibutuhkan relatif banyak, yaitu berkisar 5-20 t ha-1 dan tidak bersifat in situ. Untuk itu perlu dicari polaameliorasi tanah yang secara ekonomis menguntungkan, secara sosial dapat diaplikasikan oleh petani lahan kering, dan secara ekologis sangat tepat untuk mendukung sistem kehidupan dalam tanah dan sebagai salah satu strategi mitigasi untuk menekan emisi gas karbon di atmosfir. Sistem pemberaan dengan tanaman legum penutup tanah (LPT), setelah panen tanaman semusim menjadi solusi terbaik untuk mengatasi masalahketersediaan bahan organik in situ, karena murah dan mudah bagi. Penanaman tanaman legum penutup tanah potensial lahan kering, dapat dilakukan menjelang panen tanaman semusim, dan dibiarkan tumbuh selama masa bera sampai musim tanam berikutnya.Ditinjau dari aspek ekologis pemanfaatan LPT pada masa bera sangat menguntungkan, karena secara umum LPT dapat berperan sebagai sumber C-organik tanah dalam memelihara kesehatan dan kualitas tanah, memiliki kualitas biomasa yang lebih tinggi (nisbah C/N dan C/P yang rendah serta lignin dan polifenol yang rendah). Keberadaan LPT dalam lahan budidaya selama masa bera dapat berperan sebagai penyelamat hara (proses daur-ulang hara) dan menciptakan keseimbangan ekologis secara berkelanjutan melalui sistem perakaran dan input tutupan biomasa tanaman dari waktu ke waktu. - Pendekatan Tanaman (komoditas); Potensi pertanian lahan kering memiliki keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif karena dapat dikembangkan berbagai jenis komoditas unggulan potensial yang memiliki daya saing, seperti di bidang tanaman pangan, ada jagung, di bidang hortikultura kita punya jeruk keprok Soe, pisang baranga, dan dibidang perkebunan serta kehutanan. Produkproduk pertanian yang dihasilkan oleh petani-petani kita sangat beragam sehingga memiliki nilai ekonomi yang rendah, serta permasalahan lainnya adalah efisiensi ekonomi dari produk-produk pertanian kita relatif rendah, hal ini karena wilayah pengembanganya terpencar. Untuk itu perlu adanya insiasi oleh pemerintah daerah melalui kebijakan-kebijakan guna meningkatkan dayasaing produk-produk komoditas unggulan kita, melalui pendekatan tanaman (komoditas) unggulan berbasis pewilayahan komoditas. Disamping itu, varietas tanaman sangat menentukan keberhasilan usaha pertanian di lahan kering. Varietas lokal walaupun umumnya sudah beradaptasi di lahan kering dan wilayah bersangkutan tetapi hasilnya lebih rendah dibandingkan dengan varietas unggul. - Pendekatan sistim pertanaman; penerapan sistem tanam yang tepat akan dapat meningkatkan produktivitas lahan usaha tani. Pendekatan sistem tanam meliputi pengaturan pola tanam dan peningkatan intensitas pertanaman.Pemanfaatan lahan kering dengan sistem tumpangsari dapat memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem bertanam secara tunggal (monokultur). Di daerah tropis, pada usaha tani berskala kecil cara ini lebih banyak digunakan dibandingkan dengan cara bertanam tunggal karena lebih produktif dan lebih efisien dalam penggunaan ruang dan waktu. Tujuan cara bertanam ini adalah untuk meningkatkan. - Teknologi Rain Harvesting Untuk mengatasi kekeringan, maka salah satu strategi teknologi rain harvesting yang paling murah, cepat dan efektif serta hasilnya langsung terlihat adalah dengan membangun embung (onfarm reservoir) yang dipadukan denganpaket teknologi budidaya, menjadi esensial untuk pengelolaan pertanian lahan kering berkelanjutan. Karena dengan membangun embung secara langsung dapat meningkatkan produktivitas dan intensitas pertanaman di lahan kering. serta dapat meningkatkan produktifitas tenaga kerja petani khususnya pada musim kemarau sehingga urbanisasi dari desa ke kota dapat ditekan BAB IV