Anda di halaman 1dari 19

BLUE CARBON

Fajriansyah Nadir Muh. Fauzi Rafiq


P032211001 P032211004

MK. Politik Lingkungan Global dan Nasional


Pengelolaan Lingkungan Hidup
Program Pascasarjana
OUTLINE
Project analysis slide 3
1. Apa itu Blue Carbon ? Sejarah kemunculan dan perkembangannya
2. Mengapa blue karbon penting bagi Indonesia ?
3. Status01.Global Blue Carbon Sekarang, Hubungan dengan mekanisme pasar
Apa itu Blue
karbon? dan
Carbon pengaruh terhadap realisasi penurunan emisi di Indonesia
Sejarah
kemunculan dan
4. perkembangannya
Regulasi Indonesia terkait Blue Carbon dan prediksi/ realisasi pencapaian
target mitigasi/adaptasi
5. Apa saja tantangan ke depan sehubungan dengan isu pemanasan global dan
perubahan iklim terutama bagi Indonesia ?
Apa itu Blue Carbon ? Sejarah kemunculun dan perkembangannya
 Blue carbon atau Karbon biru merujuk pada karbon yang diserap dan disimpan di
dalam laut dan ekosistem pesisir.
 Disebut ‘biru’ karena terbentuk di bawah air.
 Pada perkembangannya, ada tiga ekosistem yang menjadi fokus utama blue carbon
yaitu hutan bakau (mangrove), padang lamun (seagrass) dan rawa asin (salt marsh).
Keutamaan dari ketiga ekosistem tersebut adalah memiliki daya serap dan simpan
karbon yang besar.
 Tempat penyimpanan Karbon
• Biomassa atas : Batang, daun dan ranting
• Biomassa bawah: Akar
• Biomassa mati : Pohon yang mati, serasah
• Tanah
 Karbon yang tersimpan pada komponen penyimpanan karbon di sebut stok karbon.
 Stok karbon : jumlah karbon yang tesimpan pada komponen-komponen tempat
penyimpanan korbon di mangrove, lamun dan rawa asin (satuan dalam MgC/ha atau
Ton C/ha

 Ekosistem Blue Carbon  Ekosistem


pesisir yang mampu menyerap dan
menyimpan karbon.
Sejarah Blue Carbon dan perkembangannya
 Berawal dari proses perubahan iklim yang dipengaruhi oleh GRK. Yang diperkirakan
kenaikan rata-rata suhu global naik sekitar 2 % tahun 2025
 Menanggapi hal itu Desember 1990 majelis umum PBB mendirikan Intergovermental
Negotiating Committee/INC (Komite Negosiasi Antar Pemerintah untuk menegosiasikan
konvensi untuk mencegah perubahan iklim) Kemudian pada sidangnya yang kelima Mei
1992, INC berhasil mengadopsi sebuah kerangka hukum yaitu united nations framework
convention on climate change/ UNFCCC.
 The UNFCCC tidak memutuskan angka-angka pengurangan, maka untuk melahirkan
angka-angka pengurangan (regulatory measures) negara anggota membuat Kyoto
Protocol to the UNFCCC yang diadopsi pada Conference Of the Parties/ COP ke-3 pada
bulan Desember 1997.
 Adapun tujuan dibentuknya Kyoto Protocol untuk memberikan kewajiban bagi negara-
negara maju baik secara individu atau bersama-sama untuk membatasi dan menurunkan
emisi gas rumah kacanya
 Untuk melanjutkan Kyoto Protocol maka negara anggota membuat komitmen baru yaitu
Paris Agreement to the UNFCCC yang berhasil dirumuskan pada COP-21 UNFCCC tahun
2015 di Paris.
 Sebagai bentuk tindak lanjut Paris Agreement seluruh negara anggota wajib melakukan
upaya yang ambisius untuk memerangi perubahan iklim yang ditetapkan dalam Nationally
Determined Contribution/ NDC. NDC adalah bentuk komitmen yang berisi kontribusi
masing-masing negara anggota yang ditetapkan secara nasional untuk mengurangi gas
rumah kaca.
 NDC Indonesia meliputi upaya mitigasi Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan usaha kerjasama internasional pada
 Sektor hutan dan lahan di Indonesia merupakan sektor yang menyumbangkan emisi
sekaligus mempunyai potensi penurunan emisi yang besar. Melihat kondisi ini, Indonesia
memiliki komitmen yang jelas untuk menempatkan posisi REDD+ sebagai usaha utama
dalam pencapaian komitmennya.
 REDD+ adalah sebuah mekanisme insentif internasional yang bertujuan untuk mendorong
kebijakan dan tindakan di negara-negara berkembang pemilik hutan untuk mengurangi
deforestasi dan degradasi hutan.
 REDD+ terfokus pada permasalahan hutan yaitu bagaimana pengelolaan hutan dilakukan
dalam rangka mereduksi emisi CO2 melalui upaya pengurangan dan pencegahan
deforestasi dan degradasi hutan dan atau perlindungan hutan untuk meningkatkan
kuantitas tutupan hutan atau stock carbon, diberi simbol (+) karena termasuk di dalamnya
adalah upaya konservasi dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
 REDD+ harus menjadi bagian penting dari penurunan emisi
 REDD+ diimplementasikan untuk menekan laju terjadinya deforestasi dan degradasi pada
hutan, meningkatkan penanaman dan penyerapan GRK, serta penyerapan GRK dari
hutan mangrove atau hutan pantai.
 Penyerapan GRK dari hutan mangrove atau hutan pantai inilah yang disebut dengan Blue
Carbon
Mengapa blue karbon penting bagi Indonesia ?

 Mengingat ekosistem karbon biru merupakan penyerap karbon yang efektif dan dapat
berperan besar dalam mencapai target perubahan iklim nasional dan global.
 Ekosistem karbon bisa berperan efektif bagi masyarakat sebagai solusi adaptasi
alami dan mitigasi dampak perubahan iklim. Hal itu, seperti cuaca ekstrim dan
perlindungan pesisir terhadap bencana alam
 Ekosistem karbon biru juga menyediakan lapangan kerja dan pendapatan bagi
ekonomi lokal, meningkatkan kualitas air, mendukung perikanan yang sehat.
 Pengelolaan Karbon biru meningkatkan jasa lingkungan bagi masyarakat lokal.
 Termasuk kedalam tujuan pembangunan berkelanjutan poin 14 yaitu untuk
“melindungi dan secara berkelanjutan memanfaatkan secara berkelanjutan
samudera, laut dan sumber daya perairan.
 Tegakkan hutan basah pesisir menyimpan karbon biru dalam jumlah besar. Sebaliknya,
menggunduli lahan basah berarti melepas simpanan itu ke atmosfer.
 Hal ini memberi dampak lanjutan pada nilai-nilai yang belum terukur dengan baik dalam
ekosistem ini, seperti kapasitas menyediakan habitat bagi spesies terancam di lahan
dan air, meningkatkan kualitas air, dan melindungi area pesisir, badai dan erosi
 Ekosistem karbon biru yang baik menjadi penting agar berbagai negara dapat
melangkah maju dalam memenuhi komitmen kontribusi nasional perjanjian paris, yang
merupakan salah satu tujuan iklim.
Status Global Blue Carbon Sekarang, Hubungan dengan mekanisme pasar
karbon dan pengaruh terhadap realisasi penurunan emisi di Indonesia

 Konsep perdagangan karbon melalui blue carbon/penyerapan karbon dari ekosistem


pesisir dan laut semakin menjadi perhatian global.
 Berbagai negara pemilik ekosistem pesisir dan laut mulai berminat untuk
mengeksplorasi potensi blue carbon sebagai cara untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca penyebab perubahan iklim dengan insentif pendanaan melalui perdagangan
karbon.
 Sebagai negara kepulauan tropis terbesar, Indonesia merupakan mega
biodiversity hidupan laut dan ekosistem pesisir, seperti  kawasan coral
triangle mencakup 52 persen ekosistem terumbu karang dunia, ekosistem mangrove
sekitar 3,1 juta hektar atau 23 persen dari mangrove dunia dan 30 juta hektar padang
lamun (seagrass) yang terluas di dunia.
 Melalui Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) mengatakan telah mengembangkan
konsep perdagangan karbon di Indonesia bernama Skema Karbon Nusantara (SKN),
yang dapat digunakan untuk perdagangan blue carbon. 
 Melalui SKN, upaya penyerapan karbon, bisa didaftarkan, diverifikasi dan akhirnya
mendapat sertifikasi untuk diperdagangkan yang nantinya bisa mendapatkan
kompensasi pendanaan.
 Meski blue carbon tidak disebutkan sebagai tujuh prioritas Rencana Aksi Nasional
penurunan Gas Rumah Kaca (RAN GRK) dan saat ini ekosistem pesisir dan laut masih
belum menjadi perhatian utama dalam penanganan perubahan iklim di Indonesia, meski
berkontribusi dalam penurunan emisi GRK. 
 Hal tersebut tercatat terdapat kerusakan ekosistem hutan bakau dari 3,7 juta hektar pada
1997 menjadi 1,5 juta hektar pada 2005, termasuk kerusakan 25 persen ekosistem
padang lamun (sea grass).
 Blue Carbon juga berpeluang masuk dalam Perpres No.71/2011 tentang Inventarisasi
GRK, karena berdasarkan panduan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change),
sumber emisi karbon yang signifikan bisa diinventarisasi
 Sekarang di upayakan agar  blue carbon bisa masuk sebagai penanganan perubahan
iklim sekaligus alternatif sumber dana, antara lain riset untuk mengukur emisi dan
perkiraan proyek blue carbon dari ekosistem laut dan pesisir yang terdegradasi, sistem
MRV (monitoring, reporting and verification) dengan metodologi yang relevan, sampai
dengan strategi pengembangan dan kebijakan mempromosikan blue carbon.
 Dari berbagai sumber menyebutkan pasar karbon tumbuh mencapai 140 miliar USD
per tahun. Sedangkan pasar karbon di Uni Eropa mencapai 107 miliar Euro pada
2011.
 Saat ini proyek Blue Carbon yang masuk pasar karbon internasional, tetapi jumlahnya
masih sangat kecil dibandingkan sektor lain.
 Sedangkan pada pasar perdagangan karbon sukarela (voluntary), nilai tukar satu ton
karbon bisa bervariasi antara 5 – 15 USD, meski saat ini di pasar karbon Eropa nilai
tukar satu ton karbon berkisar dibawah 1 USD.
 Apabila potensi blue carbon sebesar 138 juta ton setara karbon bisa diperdagangkan
pada pasar karbon, misalnya masuk pada pasar karbon voluntary dengan kisaran
harga 10 USD per ton, maka Indonesia bisa mendapatkan 1,38 miliar USD per tahun.
Regulasi Indonesia terkait Blue Carbon dan prediksi/realisasi pencapaian
target mitigasi/adaptasi
 Kebijakan blue carbon Indonesia pada lima tahun terakhir blue carbon telah berkembang di
Indonesia dengan ditandainya berbagai kegiatan blue carbon yang dilakukan oleh lembaga
riset nasional, universitas dan organisasi non pemerintah (NGO).
 Indonesia telah melakukan serangkaian upaya untuk mengelola ekosistem karbon biru. Dari
sisi kebijakan, Peraturan presiden mengenai Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem
Mangrove (SNPEM) diberlakukan pada 2012 dengan membentuk tim koordinasi nasional
untuk pengelolaan mangrove.
 Beberapa peraturan dan program lanjutan juga telah digagas pemerintah, seperti Perraturan
Menteri  atas pemberlakuan SNPEM,
 Kerangka Kerja Strategi Karbon Biru Indonesia (Indonesia Blue Carbon Strategy
Framework/IBCSF) dan pengembangan RPJMN 2020-2024 yang menyertakan karbon biru
dalam inisiatif pembangunan rendah karbon
 Meskipun sejumlah gagasan tersebut telah mendorong aksi rehabilitasi hutan mangrove
dengan target rehabilitasi seluas 1,8 juta hektar hutan mangrove pada tahun 2045
 Namun belum ada perangkat kebijakan yang mendukung blue carbon sehingga hingga
kini langkah blue carbon menuju NDC masih dipertimbangkan baik dalam strategi
mitigasi maupun adaptasi.Oleh karenanya dibutuhkan suatu komitmen dari pemerintah
menjamin keberlangsungan proses dari tahap persiapan hingga implementasi blue
carbon dalam skema mitigasi perubahan iklim di Indonesia.
 Walaupun sudah ada kemajuan berarti, Indonesia masih memiliki tantangan besar dalam
hal pengelolaan ekosistem karbon biru. Tujuannya sangat jelas: untuk mengelola
ekosistem secara berkelanjutan sehingga mampu mengatasi perubahan dan
memperkuat ketahanan iklim, menjaga pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Apa saja tantangan ke depan sehubungan dengan isu pemanasan global dan
perubahan iklim terutama bagi Indonesia ?

 Indonesia sangat bergantung kepada kawasan ekosistem pesisir yang berperan penting
bagi masyarakat Indonesia sebagai sumber ekonomi dari perikanan dan sekaligus
berperan dalam mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim.
 kerusakan ekosistem pesisir tidak hanya dapat mengakibatkan bencana ekologis, tapi
juga menimbulkan dampak kerugian ekonomi yang masif.
 Berdasarkan data REDD+ kerusakan ekosistem mangrove relatif lebih tinggi terutama
pulau Jawa terutama Pantura. upaya perlindungan dan restorasi di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil perlu dilakukan untuk menjamin fungsi optimal ekosistem pesisir..
 Pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP UNFCCC) ke-22 di Maroko, karbon biru
digaungkan sebagai salah satu kontribusi bagi target pengurangan emisi karbon di
dunia. Secara global, sebanyak 151 negara memiliki karbon biru, tetapi hanya 50 yang
mengagendakannya untuk pengurangan emisi dalam komitmen NDC-nya.
 Dari penelitian dari KKP sejak lima tahun terakhir padang lamun memiliki potensi
menyerap dan menyimpan karbon sekitar 4,88 ton/ha/tahun dan diperkirakan dapat
menyimpan 16,11 juta ton karbon/tahun.Sementara ekosistem mangrove, rata-rata
penyerapan dan penyimpanan karbon bisa mencapai 38,80 ton/ha/tahun dengan potensi
secara total dan sebanyak ekosistem mangrove adalah 122,22 juta ton/tahun.
 Akan tetapi, potensi besar tersebut, diiringi fakta bahwa Indonesia telah kehilangan lebih
dari seperempat luas hutan bakau dalam tiga dekade terakhir dari 4,20 juta hektar pada
tahun 1982 menjadi 3,48 juta hektar pada tahun 2017
Thank You !!!

Anda mungkin juga menyukai