Anda di halaman 1dari 6

Policy Brief

Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Secara Komprehensif Sebagai


Wujud Tatanan Normal Baru untuk Memelihara Momentum
Pembangunan Berkelanjutan

Pesan Utama:
1. Melakukan inventarisasi, sinkronisasi dan integrasi kebijakan mulai dari UU, Perubahan terhadap UU, Peraturan
Pemerintah dan perubahan-perubahannya, serta turunan kebijakan sampai tingkat daerah. Dengan demikian
kesadaran literasi hukum masyarakat tentang pencegahan kebakaran hutan dan lahan dapat meningkat serta
efektifitas dan efisiensi implementasi dari kebijakan dapat terwujud.
2. Memastikan keberlanjutan tata kelola air rawa gambut berbasis kesatuan hidrologi gambut, dengan memanfaatkan
teknologi hidrologi, informasi, penginderaan jarak jauh, pemetaan untuk memelihara tingkat kebasahan gambut; serta
melengkapi sistem peringatan dini munculnya hot spot, melalui pemantauan berkelanjutan faktor-faktor, seperti
tingkat kekeringan vegetasi, kekeringan gambut dan tinggi muka air tanah.
3. Moratorium pembukaan kanal baru yang membelah kawasan rawa dan lahan gambut (kawasan hidrologi gambut),
serta memastikan upaya restorasi gambut secara berkelanjutan sesuai dengan kondisi setempat.
4. Mencegah bencana penurunan muka tanah (land subsidence) melalui upaya pengembangan ekonomi hijau yang
mengintegrasikan tujuan-tujuan konservasi, restorasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat, khususnya
pada lahan gambut yang telah mengalami degradasi / kerusakan.
5. Mengembangkan Pusat Penelitian dan Pendidikan tentang konservasi hutan dan rawa gambut tropis.

terjadinya kebakaran lahan dan hutan, memicu masalah


1. LATAR BELAKANG kabut lokal dan masalah kabut lintas batas [1-4].
Kejadian kebakaran hutan di Indonesia seperti dilaporkan di
Konversi kawasan hutan dan rawa gambut menjadi lahan media massa, berbeda secara visual dengan kebakaran hutan
perkebunan dan pertanian, daerah industri, dan pemukiman di Amerika atau Australia. Kebakaran hutan di Amerika dan
tidak terelakkan sejalan dengan meningkatnya pembangunan Australia dapat digolongkan sebagai flaming combustion yang
ekonomi dan bertambahnya penduduk. Perubahan tata ditandai dengan nyala api besar yang membakar pepohonan
ruang wilayah juga ditandai dengan praktik yang memberikan dan semak-belukar dengan temperatur nyala api mencapai
dampak negatif terhadap lingkungan, seperti kegiatan land lebih dari 1000oC. Sementara itu, kebakaran hutan dan lahan
clearing yang berkaitan dengan kegiatan komersial hasil-hasil di Indonesia juga terjadi di lahan gambut berupa kebakaran
hutan, seperti pembalakan kayu dan konversi berlebihan membara (smoldering combustion) dengan temperature 400
menjadi lahan perkebunan. Perubahan kondisi alamiah s.d. 600oC, yang terjadi di bawah lapisan tanah gambut
menjadi kondisi yang baru telah meningkatkan potensi risiko (Gambar 1) [2], yang menghasilkan asap pekat yang
terjadinya kebakaran akibat menurunnya kandungan air di membatasi jarak pandangan. Kebakaran membara gambut
rawa dan lahan rendah, yang secara alamiah memiliki dapat terjadi selama berminggu-minggu, hingga berbulan-
kandungan air (moisture) yang tinggi. Kebakaran lahan dan bulan, disertai dengan pelepasan emisi gas rumah kaca dan
hutan telah menjadi bencana. Kebakaran hutan dan lahan gas beracun lainnya, hingga mencapai 90 jenis gas [3]. Baik
gambut di Indonesia telah menjadi masalah lingkungan yang kebakaran hutan dan lahan yang bersifat flaming combustion
serius, karena bersifat berulang hampir di setiap tahunnya. dan smoldering akan menghasilkan asap pembakaran yang
Kebakaran lahan dan hutan (karhutla) telah memusnahkan terdiri dari gas hasil pembakaran tidak sempurna, beracun,
juta hektar hutan dan lahan yang menyebabkan kerugian serta disertai pelepasan partikel halus (particulate matter -
ekonomi, masalah sosial termasuk penyakit akibat polusi PM) (haze) yang dapat tersuspensi di lokasi kebakaran dalam
udara dan bencana lingkungan dengan dampak jangka waktu yang lama, bahkan menyebar jauh ke lokasi-lokasi di
panjang. Kondisi kemarau panjang juga telah memperparah sekitarnya dalam bentuk plume.
Apabila kebakaran lahan gambut sudah terjadi dan meluas, sistem imun, (iii) Penurunan ketahanan terhadap infeksi, (iv)
maka upaya untuk pemadamannya akan membutuhkan Meningkatnya respon inflamasi, (v) Alterasi fungsi paru.
upaya yang sulit berkaitan dengan akses, serta kebutuhan air Meskipun belum ada bukti dan laporan terjadinya kanker
yang sangat banyak untuk upaya pemadamannya [4]. Upaya akibat pajanan asap kebakaran hutan, namun data penelitian
pemadaman sangat sulit dilakukan akibat mengeringnya terbaru RS Persahabatan yang dilakukan pada tahun 2016,
sumber air permukaan selama musim kemarau panjang. kadar karsinogen dalam darah (BPDE) pada petugas
pemadam kebakaran di Pekanbaru, nilainya jauh diatas nilai
normal. Ini karena terdapat bahan karsinogen pada asap
kebakaran hutan (contoh polisiklik aromatic
hidrokarbon/PAH) [5].
Dengan jumlah luas karhutla tahun 2015 yang mencapai
2.425.000 hektar, kerugian sekitar 222 Triliun [7], perlu dikaji
dengan cermat dampaknya terhadap kesehatan masyarakat
di Indonesia ditunjukkan meningkatnya penderita Infeksi
Saluran Pernafasan Atas (ISPA), pneumonia, iritasi kulit, dan
iritasi mata [5]. Tidak dapat diabaikan bahwa Indeks Standar
Pencemar Udara (ISPU) Karhutla di Indonesia sudah dalam
tahap mengkhawatirkan. Apabila karhutla tidak kunjung
dapat dicegah untuk kembali berulang, tidak menutup
kemungkinan berdampak sosial dan ekonomi yang lebih
serius terkait dampak kesehatan. Oleh sebab itu, pencegahan
hutan sangat perlu dilakukan dan menjadi prioritas utama,
dan harus dilakukan.
Bambang Hero Saharjo (Fak Kehutanan GB Perlindungan
HUtan IPB University), 2020 berpendapat bahwa Kebakaran
hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia adalah karena
perbuatan manusia 99,9% sehingga oleh karenanya dapat
dikendalikan. Hampir sebagian besar kebakaran hutan dan
lahan di Indonesia tidak berdiri sendiri. Meningkatnya luas
gambut yang terbakar seharusnya menjadi perhatian (tidak
Gambar 1. Ilustrasi kebakaran hutan dan kebakaran membara hanya pemerintah pusat), karena mencerminkan upaya yang
lahan gambut oleh Usup. A., dkk. (2004) [2]. dilakukan di tingkat tapak dan pembiaran akan meningkatkan
emisi GRK (Akibatnya 99 gas beracun yg terjadi, emisi factor
2. TANTANGAN meningkat). Pengendalian kebakaran cenderung political
based dan bukan scientific based. Pengendalian kebakaran
2.1. Dampak Asap Kebakaran Hutan dan Lahan terhadap hutan dan lahan di Indonesia lebih mengedepankan
Kesehatan penyelesaian sesaat dan belum merupakan upaya yang
Komposisi asap kebakaran lahan gambut selain terdiri dari sistematis (mengakar). Pengendalian kebakaran hutan dan
berbagai jenis gas, juga mengandung partikulat (particulate lahan menjadi tidak fokus dan tepat sasaran, karena tidak
matter - PM) yang sangat memprihatinkan, mengingat sedikit stakeholder yang menganggap bahwa kegiatan
ukurannya yang sangat kecil dan kemampuan untuk dihirup pengendalian kebakaran belum merupakan prioritas utama
dalam-dalam ke paru-paru. Paparan PM, seperti Partikel untuk ditangani.
PM10 (mampu melewati saluran pernapasan atas dan
2.2. Mengapa karhutla terus berulang terjadi dan
disimpan di saluran udara), dan partikel PM2.5 (dapat dihirup
bagaimana hal itu bisa dihentikan?
lebih dalam ke paru-paru dan diendapkan didaerah
pertukaran gas terminal brokus dan alveoli) [5,6]. Kerugian Sampai sekarang, tidak ada jawaban pasti apa sebenarnya
akibat kebakaran hutan dan lahan tidak hanya diukur dengan yang menjadi penyebab rutinnya karhutla di Indonesia.
kerugian materi. Dampak kesehatan dan kehilangan Pendapat pakar dan lembaga resmi Pemerintah tentang hal
keanekaragaman hayati akibat kebakaran hutan dan lahan ini, juga beragam.
perlu menjadi perhatian serius. Studi yang dilakukan Susanto Menurut Kusratmoko [8], hubungan antara fenomena
dan Fitriani [5] menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, cuaca/kekeringan dengan kebakaran lahan dan hutan
dampak asap kebakaran hutan dan lahan terhadap kesehatan diperlihatkan secara sederhana untuk kasus di Provinsi Jambi
manusia dapat menyebabkan (i) Kanker, (ii) Penurunan dalam kurun waktu tahun 2005-2014. Secara temporal
kekeringan yang terjadi di Indonesia sebagai akibat fenomena perkebunan [1,9]. Karhutla terjadi di lahan perkebunan, di
El Nino dapat menjadi pemicu meningkatnya jumlah titik perbatasan hutan dan perkebunan, dan di sekitar
panas. Namun demikian, secara spasial tidak seluruhnya permukiman penduduk. Penyebab kebakaran hutan dan
faktor kekeringan menjadi pemicu peningkatan jumlah titik lahan di Indonesia kompleks, rumit, multi dimensi dan
panas. Jika dikaitkan dengan sebaran titik panas yang sehingga belum teridentifikasi secara pasti. Penyebab yang
sebagian besar terkonsentrasi di wilayah pertanian, maka tidak jelas, menimbulkan kesulitan untuk mengidentifikasi
faktor manusia sebagai pemicu munculnya titik panas sangat akar masalahnya.
besar. Perlu penyelidikan yang lebih terstruktur untuk Pemerintah sudah melakukan segala upaya untuk mengatasi
mengindentifikasi wilayah-wilayah yang rentan kebakaran kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sudah banyak
karena faktor manusia peraturan perundang-undangan dan petunjuk teknis yang
Dari sisi legal culture (budaya hukum) dapat dilihat mengatur larangan membakar hutan dan lahan, termasuk
bagaimana sikap orang terhadap sistem hukum, menyangkut terobosan baru sudah banyak dilakukan. Perubahan terhadap
nilai, pikiran atau ide dan harapan mereka [6]. Sikap UU Kehutanan dan Peraturan Pemerintah (PP) telah banyak
masyarakat yang cenderung “memanfaatkan” kebolehan dilakukan, namun informasi tentang hal ini tidak cukup
yang dimiliki masyarakat adat dengan kearifan lokalnya untuk tersedia sehingga dapat menimbulkan interpretasi yang keliru
membakar hutan menjadi salah satu pemicu karhutla. terhadap sebuah UU dan Peraturan-peraturan dibawahnya
Perusahaan melakukan kontrak “illegal” dengan masyarakat (Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri/Permen). Dari
setempat, dan persyaratan harus memiliki peralatan sisi konsistensi dan efektifitas, terlalu banyak peraturan
pengelolaan kebakaran tidak mencukupi karena bentang luas mengenai kebakaran hutan dan lahan yang dikeluarkan pada
lahan/kebun yang dimiliki. Dari sisi Pemerintah Daerah, berbagai tingkat yang berbeda, mulai dari Presiden sampai
memiliki keterbatasan kewenangan, sehingga cenderung berbagai Kementerian terkait dan Perda, menimbulkan
tidak cepat tanggap, dan keterbatasan dalam hal dana dan masalah tersendiri. Dari sisi substansi, tidak semua aturan
sumber daya manusia (SDM). tentang penggunaan dan atau pemanfaatan hasil hutan
Terus terjadinya karhutla, dijelaskan Nurhadi dapat menyebutkan larangan untuk membuka lahan dengan cara
bersumber pada Hakim [7]. Terbuka kemungkinan membakar. Padahal, aktivitas ini ditenggarai menjadi salah
dipengaruhi hal-hal yang di luar teknis hukum, seperti suap satu penyebab karhutla.
dan korupsi. Selain itu, tidak semua Hakim yang menangani
perkara memiliki sertifikat di bidang lingkungan/kebakaran 3. UPAYA PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN
hutan, dan pemahaman yang cenderung legalistis tanpa LAHAN DAN RESTORASI GAMBUT
memperhatikan dampak yang begitu dahsyat bagi kerusakan
lingkungan. 3.1. Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan
Pemerintah dalam hal ini Kementerian LHK menurut Nurhadi
memiliki keterbatasan-keterbatasan, misalnya: (1) Luasnya Upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan adalah upaya
Hutan dan daya jangkau aparat kehutanan yang terbatas; (2) bersama seluruh elemen masyarakat, pemerintah dan dunia
tidak selalu didukung oleh ahli-ahli yang sangat baik dalam usaha dalam melaksanakan Pendidikan, penyuluhan,
proses penyidikan dan proses beracara di Pengadilan, dan (3) monitoring kondisi cuaca, kondisi, lahan dan kondisi vegetasi,
terbatasnya akses kedaerah, terutama dalam hal kerjasama serta seluruh aktivitas masyarakat yang dapat menimbulkan
langsung dengan BLHD Provinsi dan Kabupaten/Kota. pemicuan munculnya titik api (hot-spot) di hutan maupun di
Pemerintah Daerah dijelaskan memiliki keterbatasan dalam: lahan. Efektivitas upaya pencegahan kebakaran hutan dan
kewenangan, anggaran, keetrswediaan Aparat, dan lahan sangat dipengaruhi oleh kesungguhan para pihak untuk
koordinasi tidak optimal. melaksanakan komitmen tugas serta upaya pencegahan
Kelemahan dari sisi Peraturan Perundangan, dinyatakan kebakaran itu sendiri.
sebagai: (1) tidak optimal dalam pelaksanaannya; (2) Kewajiban untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam
pengaturan lebih lanjut yang tidak lengkap, dan (3) yang menguasai hajat hidup orang banyak secara
pemahaman yang berbeda dari berbagai pihak. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan merupakan
Dari sisi Kelembagaan, luasnya lahan pengawasan (hutan) amanat konstitusi. Hasil amandemen keempat UUD 1945
tidak sebanding dengan petugas yang mengawasi; Pasal 33 Ayat 4 menyatakan, “Perekonomian nasional
terbatasnya kewenangan Daerah dalam penanggulangan diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
kebakaran, dan pemahaman yang berbeda dari masing- prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,
masing sektor yang bidang tugasnya terkait dengan hutan dan berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
lahan. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
BNPP menyebutkan, 99,9% penyebab karhutla adalah Konstitusi mengamanatkan bahwa tata kelola hutan, lahan
disengaja (dibakar) untuk pembersihan lahan dan perluasan
dan gambut harus dirancang untuk kemajuan ekonomi, dengan tehnologi modifikasi cuaca yang baru saja dilakukan
kelestarian lingkungan dan keadilan sosial. di Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi dan diklaim telah
menghasilkan lebih dari 165 juta meter kubik air hujan.
3.2. Restorasi Gambut Page, S.E. dkk (2002) [14] juga menunjukkan bahwa
kerusakan lahan gambut terbesar saat terjadi kebakaran
Indonesia adalah negara yang memiliki luasan rawa gambut hutan Tahun 1997 terjadi di lokasi pembuatan kanal-kanal
yang terbesar di Asia Tenggara. Tanah gambut tersebar di untuk pengairan. Pembangunan kanal-kanal yang membelah
Sumatra, Kalimantan dan Papua. Gambut tropis Indonesia rawa gambut telah mendorong terjadinya pengeringan
sangat penting untuk mendukung vegetasi di hutan rawa dan gambut yang berlebihan di saat musim kemarau.
ekosistem dataran rendah pada umumnya. Gambut tropis Berdasarkan penelitian dan pengamatan lapangan, maka
berperan penting sebagai penyimpan carbon dan air. kemampuan untuk mempertahankan kondisi hidrologis
Ketebalan gambut di Indonesia dapat mencapai lebih dari 10 gambut, sehingga gambut senantiasa dalam keadaan basah di
m [10]. sepanjang tahun, menjadi kunci bagi upaya restorasi dan
Gambut mempunyai kemampuan untuk menyerap dan pencegahan kebakaran gambut yang hebat.
menyimpan air dalam jumlah yang sangat tinggi. Mutalib et al Kebijakan untuk melaksanakan restorasi gambut secara
[11] menggambarkan bahwa kandungan air dalam tanah khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh telah
gambut dapat mencapai 100 s.d. 1300 %, yang berarti mampu dimulai secara nasional dengan pembentukan Badan
menyerap air hingga 1 s.d. 13 kali bobot gambut kering. Restorasi Gambut (BRG) pada tahun 2016. Komitmen untuk
Namun demikian, berdasarkan penelitian skala laboratorium melaksanakan kegiatan restorasi gambut perlu melibatkan
yang dilakukan oleh Perdana, L.R., dkk (2018) [12], proses seluruh stake-holder yang berkaitan dengan lahan gambut,
pengeringan yang berlebihan akan menyebabkan volume agar potensi munculnya kebakaran dan dampak asap yang
gambut menyusut dan mengubah sifat gambut dari bersifat dihasilkan dapat dicegah. Pemanfaatan teknologi
hydrophilic (dapat menyerap air) menjadi bersifat pendeteksian tinggi muka air tanah dan munculnya titik panas
hydrophobic (menolak air). perlu diimplementasikan dengan tingkat detail yang semakin
Dari pengamatan di lapangan yang dilakukan oleh Y.S. baik dan dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan,
Nugroho pada Tahun 2018 s.d. 2019 di Propinsi Riau, termasuk yang bersifat teknis [15].
Kalimantan Tengah dan Jambi, telah terjadi alih fungsi rawa
gambut menjadi lahan perkebunan, dengan tanaman
4. REKOMENDASI
produksi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Kondisi
ekosistem lahan gambut di lokasi pengamatan tersebut pada Dengan memperhatikan dampak kesehatan dan dampak
umumnya telah mengalami degradasi, terutama disebabkan kerusakan lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati,
oleh kegiatan-kegiatan pertanian, perkebunan dan industri serta tingkat kesulitan, dan besarnya biaya yang dikeluarkan
kehutanan skala besar beserta jaringan-jaringan kanalnya, dalam operasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan, maka
serta peristiwa kebakaran hutan dan lahan gambut yang terus upaya menekan kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan,
berulang. lebih difokuskan pada upaya pencegahan kebakaran hutan
Indonesia menjadi role model dunia untuk pengelolaan lahan dan lahan (karhutla) secara komprehensif sebagai wujud
gambut yaitu dengan [13]: komitmen nasional jangka panjang dalam memelihara
(1) Model restorasi Ekosistem (berbasis Kawasan hidrologi momentum pembangunan berkelanjutan.
gambut dengan tiga kegiatan utama yaitu’ ‘rewetting’sudah
dilakukan pada Canal Block 6.353 units; Deep Well 13.766 4.1. Regulasi
Units; Canal backfilling 152 unit; revegetasi sudah dilakukan Peraturan dan perundang-undangan sudah sangat lengkap.
1.007 ha dan revitalisasi sudah dilakukan 520 aktifitas. Pada saat ini yang diperlukan adalah konsistensi pengaturan
(2) Monitoring dinamika tinggi muka air gambut untuk di tingkat implementasi dan efektifitas pelaksanaannya.
mengantisipasi kebakaran gambut dan hutan gambut,
mengurangi emisi karbon dan menjaga kebasahan gambut 4.1.1. Inventarisasi, sinkronisasi dan Integrasi regulasi dan
yang dikenal dengan’ Sesame’ kebijakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan
(3) Metode pemanfaatan teknologi pengindraan jauh dalam
Diperlukannya inventarisasi, sinkronisasi dan integrasi
rangka mendeteksi lokasi kubah gambut, flora, ketebalan dan
kebijakan mulai dari UU, Perubahan terhadap UU, Peraturan
penerapan sekat kanal dikawasan hidrologi gambut dengan
Pemerintah dan perubahan-perubahannya, serta turunan
menggunakan alat khusus.
kebijakan sampai tingkat daerah. Dengan demikian kesadaran
(4). Memadamkan kebakaran gambut dan hutan gambut
literasi hukum masyarakat dapat meningkat serta efektifitas
dengan tehnologi modifikasi cuaca. Pemerintah sudah
dan efisiensi implementasi dari kebijakan dapat terwujud.
menyiapkan hujan buatan untuk mencegah kebakaran
4.1.2. Koordinasi antar Kementrian/Lembaga untuk memungkinkan upaya untuk mencegah terjadinya tumpang
pencegahan kebakaran hutan dan lahan tindih dalam hal perijinan multi sektor. Penerbitan Standar
Diperlukan koordinasi antar Kementrian/Lembaga untuk Nasional Indonesia (SNI) 7925:2019 tentang Pemetaan Lahan
memperjelas tugas pokok dan fungsi dalam pencegahan Gambut Skala 1:50.000 [16] diharapkan dapat meningkatkan
kebakaran hutan dan lahan yang dapat dilaksanakan sampai pengetahuan dan ketepatan dalam pengambilan keputusan
tingkat daerah. Sesuai dengan UU no 32 tahun 2009 tentang terutama yang berkaitan dengan kegiatan konservasi dan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perpres no restorasi rawa gambut.
92 tahun 2020 tentang Kementrian Lingkungan Hidup dan Pengembangan pusat penelitian lahan gambut tropis dan
Kehutanan. pendidikan mengenai konservasi hutan dan lahan secara
berkelanjutan sangat diperlukan untuk meningkatkan
4.1.3. Kebutuhan data base kebakaran hutan yang bersifat kemampuan sains dan teknologi sebagai basis dalam
terbuka untuk publik pengembangan kebijakan dan pengambilan keputusan yang
komprehensif dan mampu laksana di tingkat
Diperlukan data base penyebab kebakaran hutan dan lahan
implementasinya.
yang dikembangkan secara spesifik, bersifat terbuka untuk
Pusat pendidikan tentang konservasi dan restorasi gambut
public, dan terdokumentasi dengan baik untuk mendukung
diperlukan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang
upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Seluruh data
mempunyai pengetahuan dan keterampilan khusus untuk
dan informasi yang diperoleh (root cause analysis: what, why,
mendukung program konservasi, restorasi dan pencegahan
and how), akan dipergunakan oleh Pemerintah dan
kebakaran hutan dan lahan. Kemampuan masyarakat pada
Pemerintah Daerah dan pihak terkait dalam rangka
umumnya dan masyarakat adat dalam mencegah terjadinya
menyusun program dan langkah aksi untuk mencegah dan
kebakaran hutan dan lahan perlu didukung oleh kemajuan
menanggulangi kebakaran hutan dan lahan.
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tersedianya sumber
daya manusia yang memadai.
4.2. Pengembangan Pusat Penelitian dan Pendidikan Lahan
Gambut Tropis 4.3. Konservasi, Kesejahteraan Sosial, Kesehatan, dan
Pemberdayaan Masyarakat
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
memungkinkan pemanfaatan teknologi informasi dan Ekosistem gambut merupakan suatu ekosistem yang mudah
teknologi penginderaan jarak Jauh dalam memantau rapuh walaupun mempunyai peran yang sangat penting
terjadinya kebakaran hutan dan lahan sekaligus sebagai
dalam menyimpan karbon. Dengan demikian, rawa dan lahan
sistem peringatan dini.
gambut memiliki fungsi konservasi alam, serta fungsi
Dalam implementasinya sistem pencegahan kebakaran hutan ekonomi, sehingga pengelolaan rawa dan lahan gambut perlu
dan lahan dapat dibangun secara terintegrasi pada tingkat dilakukan secara bijaksana dan penuh kehati-hatian.
nasional dengan menempatkan sensor-sensor terverifikasi
Pengelolaan rawa dan lahan gambut apabila tidak dilakukan
dan tervalidasi sebagai sistem pemantauan secara
secara benar, dapat menyebabkan kerusakan masif dan
berkelanjutan berbasis teknologi informasi terhadap faktor- hilangnya keanekaragaman hayati. Oleh karenanya upaya
faktor yang mempercepat perambatan nyala dan bara, untuk memastikan keberlanjutan manajemen tata kelola air
seperti tingkat kekeringan vegetasi, kekeringan gambut dan rawa gambut berbasis kesatuan hidrologi gambut merupakan
parameter hidrologi lahan seperti tinggi muka air tanah, arah
upaya yang amat penting untuk mencegah penurunan
dan kecepatan angin, kelembaban udara, dan fluks intensitas
permukaan tanah (land subsidence) dan degradasi fungsi
cahaya matahari yang mengenai permukaan tanah. rawa gambut [17].
Keberadaan teknologi ini memungkinkan proses pengambilan Upaya konservasi dan restorasi rawa gambut melalui
keputusan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan,
pengembangan ekonomi hijau, tanpa melakukan
serta penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi
pengeringan rawa dan lahan gambut perlu diintegrasikan
(misalnya terjadi kegiatan pembakaran hutan dan lahan dengan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat
secara sengaja) dapat dilakukan dengan efektif dan berbasis setempat, khususnya pada lahan gambut yang telah
sains. mengalami degradasi / kerusakan. Kemajuan pesat dalam
Perkembangan teknologi pemetaan muka bumi secara cepat
perkembangan teknologi hidrologi, teknologi informasi,
dan beresolusi tinggi juga telah memungkinkan penyediaan
teknologi penginderaan jarak jauh, teknologi pemetaan dan
peta tunggal nasional yang dikelola oleh Badan Informasi ketersediaan peta tunggal, perlu dioptimalkan untuk
Geospatial (BIG). Peta ini telah pula dikembangkan menjadi memelihara tingkat kebasahan gambut sebagai upaya nyata
peta tematik yang disusun oleh Kementerian dan Lembaga
mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan, bencana
serta Pemerintah Daerah. Keberadaan peta tunggal ini, telah
asap yang dapat menimbulkan dampak luas termasuk
kesehatan [18], ekonomi dan sosial masyarakat pada skala [9] Jarwansah, SPd., MAP., MM., Upaya BNPB dalam
nasional dan regional. Perlu pengalihan ekonomi masyarakat Pencegahan dan Penanganan Bencana Asap Akibat
misalnya beralih pembalak dari menjadi petani yang sukses. Karhutla, disampaikan pada FGD Pencegahan dan
Potensi jasa ekosistem, komoditas paludikultur, dan Penanggulangan Kebakaran Lahan dan Hutan di
perikanan rawa gambut harus digali dan dimanfaatkan sebaik Indonesia., Kampus UI, 20 Oktober 2016.
mungkin sebagai payung ekonomi hijau di lahan gambut
[10] Rieley, J, Peat, Pulp, and Paper, Climate Impact of Pulp
Tree Plantations on Peatland in Indonesia, PPT
Daftar Acuan
Presentation, University of Nottingham, UK, International
[1] Saharjo., Bambang Hero., Pembuktian Ilmiah (Scientific Peat Society.
Evidence) dalam Mengungkap Terjadinya Kebakaran
[11] Mutalib, A.A, J.S. Lim, M.H. Wong, and L. Koonvai. 1991.
Hutan dan atau Lahan, Fakultas Kehutanan Institut
Characterization, distribution and utilization of peat in
Pertanian Bogor, 2016.
Malaysia. In Proc. International Symposium on Tropical
[2] Usup, A., Hashimoto, Y., Takahashi, H. and Hayasaka, H. Peatland. 6-10 May 1991, Kuching, Serawak, Malaysia.
(2004), Combustion and thermal characteristics of peat
[12] L R Perdana et al. (2018), Hydrophilic and hydrophobic
fire in tropical peatland in Central Kalimantan, Indonesia,
characteristics of dry peat, IOP Conf. Ser.: Earth Environ.
Tropics, Vol. 14 (1), Issued August 31, 2004, pp. 1-19.
Sci. 105 012083.
[3] Stockwell, C. E., Jayarathne, T., Cochrane, M. A., Ryan, K.
[13] Setiad, B. DGB UI Policy Brief Webinar Series:
C., Putra, E. I., Saharjo, B. H., Nurhayati, A. D., Albar, I.,
Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan secara
Blake, D. R., Simpson, I. J., Stone, E. A., and Yokelson, R. J.:
Komprehensif sebagai Wujud Tatanan Normal Baru untuk
Field measurements of trace gases and aerosols emitted
Memelihara Momentum Pembangunan Berkelanjutan, 4
by peat fires in Central Kalimantan, Indonesia, during the
November 2020
2015 El Niño, Atmos. Chem. Phys., 16, 11711–11732,
https://doi.org/10.5194/acp-16-11711-2016, 2016. [14] Page, S.E., Siegert, F., Rieley, J.O., Boehm, H-D.V., Jayak,
A., dan Limin, S., The amount of carbon released from peat
[4] Ramadhan, M. L., Palamba, P., Imran, F. A., Kosasih, E. A.,
and forest fires in Indonesia during 1997, Nature
& Nugroho, Y. S. (2017). Experimental study of the effect
420(6911):61-5 · December 2002.
of water spray on the spread of smoldering in Indonesian
peat fires. Fire Safety Journal, 91, 671-679. [15] Peraturan Kepala Badan Restorasi Gambut Republik
https://doi.org/10.1016/j.firesaf.2017.04.012 Indonesia Nomor P. 5 /KB BRG- SB/11/2016 tentang
Rencana Strategis Badan Restorasi Gambut Tahun 2016-
[5] Susanto., Agus Dwi. Dr. dr. Sp. P(K)., Fitriani., Feni SpP(K),
2020.
M. Ped.Ked., Dampak Asap Kebakaran Hutan terhadap
Kesehatan, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)., [16] SNI 7925:2019 Pemetaan lahan gambut skala 1:50.000,
Departemen Pulmonologi FKUI., RS Persahabatan- http://pesta.bsn.go.id/produk/detail/12566-
Jakarta., 2016. sni79252019.

[6] Koplitz, S.N. et al.: Public health impacts of the severe haze [17] Dariah, A., Maftuah, E., dan Maswar, Karakteristik Lahan
in Equatorial Asia in September–October 2015: Gambut,
demonstration of a new framework for informing fire http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumenta
management strategies to reduce downwind smoke si/juknis/panduan%20gambut%20terdegradasi/03ai_kar
exposure. Environmental Research Letters Vol. 11, No. 9, akteristik.pdf.
2016, doi:10.1088/1748-9326/11/9/094023., dalam
Lestari (2016).

[7] Nursadi., Harsanto., Kebakaran Hutan dalam Prespektif


Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016.

[8] Kusratmoko, Eko., Fenomena Cuaca di Indonesia dan


Dampaknya Terhadap kebakaran Lanhan dan Hutan
Departemen Geografi, FMIPA, Universitas Indonesia.,
2016.

Anda mungkin juga menyukai