Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Peran
Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan”
benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah
pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang
dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan
saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini.
SANDY ADI PRATAMA. The role of Ngos in the empowerment of rural communities.
Supervised by Lala M Kolopaking.
Oleh
SANDY ADI PRATAMA
I34110092
Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa : Sandy Adi Pratama
Nomor Pokok : I34110092
Judul : Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Pemberdayaan
Masyarakat Pedesaan
dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Disetujui oleh
Diketahui oleh
DAFTAR GAMBAR
Latar Belakang
1
Data Badan Pusat Statistik yang diakses pada 12 Januari 2014 dan dapat diunduh dari
http://www.beritasatu.com/nasional/193810-bps-maret-2014-jumlah-penduduk-miskin-indonesia-capai-
28-juta.html
2
cenderung tidak dapat merasakan manfaat program. Peran serta lembaga swadaya
masyarakat (LSM) diharapkan dapat menumbuhkan partisipasi dan kemandirian para
petani. Diharapkan LSM dapat menjadi penggerak semangat partisipasi dan
kemandirian dalam masyarakat karena program yang diberikan lebih mendekat dan
menyatu dengan masyarakat.
Tujuan Tulisan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka tujuan studi pustaka dengan
judul Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Pemberdayaan Masyarakat, yaitu :
1. Mengetahui peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pemberdayaan
masyarakat pedesaan
2. Mengetahui sejauhmana program yang diberikan Lembaga Swadaya
Masyarakat memberikan perubahan terhadap kehidupan masyarakat
pedesaan
3. Mengetahui partisipasi masyarakat terhadap program-program yang
diberikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat di pedesaan
4. Mengetahui tingkatan partisipasi masyarakat di pedesaan
Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan studi pustaka ini adalah metode analisa
terhadap data sekunder yang relevan dengan topik studi pustaka. Bahan pustaka yang
digunakan dalam penulisan ini berasal dari hasil penelitian, yaitu berupa: skripsi, tesis,
jurnal ilmiah, dan buku teks yang berkaitan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), program pemerdayaan serta partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam
pemberdayaan. Bahan pustaka yang sudah terkumpul kemudian dipelajari, disusun, dan
dianalisis sehingga menjadi suatu tulisan ilmiah yang berisi tinjauan teoritis dan
tinjauan faktual beserta analisis dan sintesisnya. Selanjutnya ialah penarikan hubungan
dari studi pustaka ini menghasilkan kerangka pemikiran serta pertanyaan penelitian
yang akan digunakan sebagai acuan dalam penelitian yang akan dilakukan.
RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA
Ringkasan
Perempuan merupakan bagian tak terpisahkan dalam sebuah masyarakat, tak
terkecuali dalam masyarakat miskin. Perempuan memiliki potensi yang sama dengan
laki-laki untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan masyarakat. Namun pada
kenyataannya, perempuan masih belum diberi peran yang lebih, bahkan juga
terpinggirkan.
Partisipasi perempuan merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai
tujuan pembangunan. Upaya pengembangan usaha mikro yang dilakukan oleh
perempuan ini menjadi penting, karena perempuan berhadapan dengan kendala-kendala
tertentu yang dikenal dengan istilah “tripple burden of women”, yaitu ketika mereka
‘diminta’ menjalankan fungsi reproduksi, produksi, sekaligus fungsi sosial di
masyarakat pada saat yang bersamaan. Hal tersebut menyebabkan kesempatan
perempuan untuk memanfaatkan peluang ekonomi yang ada menjadi sangat terbatas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Lembaga Advokasi Pendidikan
Yogyakarta (LAPY) dalam memberdayakan perekonomian perempuan serta
mengetahui faktor pendukung dan penghambat pemberdayaan perempuan program life
skill menjahit.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan dikantor
LAPY, tempat pelatihan dan tempat usaha/rumah peserta pelatihan Life Skill. Beberapa
informan penelitian ini yaitu peserta pelatihan, tutor pelatihan, dan pengurus LAPY.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan wawancara, pengamatan
dan dokumentasi. Teknik analisis data yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi.
4
Analisis
Peran LSM sebenarnya tidak terlepas dari sejarah berdirinya bangsa ini. LSM
jaman penjajahan didirikan dengan motivasi membebaskan diri dari kungkungan
penjajahan dengan upaya pendidikan dan usaha di bidang ekonomi. Dalam bidang
pendidikan, LSM memegang peranan yang cukup penting sebagai media penyadaran
masyarakat. Bermula dari kesadaran inilah kemudian bisa berlanjut ke kerja-kerja
pemberdayaan seperti advokasi pendidikan dan pengorganisasian masyarakat. Asumsi
yang mendasaari penggunaan strategi advokasi adalah bahwa suatu perubahan social
yang lebih besar dan luas dapat terjadi (atau paling tidak dapat dimulai) dengan
merubah satu per satu kebijakan publik yang memang strategis atau sangat menentukan
dalam kehidupan masyarakat luas. Dengan memahami rekonstruksi unsur-unsur
pemberdayaan, dapatlah kemudian disusun program-program pengembangan yang
merupakan peran LSM untuk mendorong keberhasilan penyelenggaraan kelompok
swadaya, yaitu program pengembangan sumber daya manusia, program pengembangan
kelembagaan kelompok, program pemupukan modal swadaya, program pengembangan
usaha dan program penyediaan informasi tepat guna. Secara keseluruhan hasil
penelitian ini merupakan hasil evaluasi program pelatihan menjahit yang diadakan oleh
LAPY. Oleh karena itu hasil pembahasan lebih baik menggunakan evaluasi efektifitas,
evaluasi proses, evaluasi biaya dan manfaat yang di dapatkan serta evaluasi dampak.
5
Ringkasan
Skripsi dengan judul Peran LSM HUMUS Dalam Pemberdayaan Anak Jalanan
Di Wilayah Pasar Proyek Bekasi Timur, dilatarbelakangi dengan semakin
meningkatnya angka anaka jalanan saat ini, khususnya di wilayah Bekasi. Banyak anak
jalanan dalam mencari kebutuhan ekonomi, menjadi seorang pengamen, pengemis,
pemulung, dan pedagang asongan. Pemerintah memiliki regulasi terhadap nasib para
pekerja anak, tetapi pemerintah belum sanggup menangani permasalahan anak jalanan.
Oleh karena itu diperlukan sinergi antara pemerintah dan masyarakat maupun LSM
dalam memecahkan perasalahan anak jalanan.
Melihat permasalahan anak jalanan yang semakin meningkat, untuk itu peran
serta masyarakat dan LSM diharapkan dapat mereduksi angka anak jalanan melalui
program-program pemberdayaan bagi anak jalanan, lalu bagaimana peran LSM
HUMUS dalam pemberdayaan anak jalanan di wilayah Pasar Proyek Bekasi Timur, apa
saja program-program dalam pemberdayaan anak jalanan, bagaimana respons anak
jalanan terhadap pemberdayaan, dan apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam
program pemberdayaan.
Dalam penelitian ini, metode penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif
dengan metode deskriptif, di mana peneliti melakukan observasi langsung ke lapang,
melihat, mengamati keadaan social masyarakat, anak-anak jalanan Komunitas Pinggir
Kali Pasar Proyek Bekasi Timur dan LSM HUMUS. Objek penelitian yang diteliti
adalah LSM HUMUS, anak-anak jalanan dan masyarakat sekitar.
LSM HUMUS merupakan salah satu LSM yang konsen terhadap anak jalanan di
wilayah Bekasi Timur, aktif dalam hal pemberdayaan dalam bidang pendidikan. Di
dalam pemberdayaan LSM HUMUS menjalankan program-program pendidikan, seperti
pendidikan anak usia dini (PAUD), bimbingan belajar, pendidikan kesetaraan paket A,
B, dan C, pendidikan keagamaan, beasiswa sekolah formal, konseling anak dan
keluarga, dan kesenian.
6
Analisis
Pada penelitian ini keberadaan LSM berfungsi sebagai advokasi, pendampingan
sosial, maupun pemberdayaan bagi masyarakat miskin dalam aspek sosial, ekonomi,
budaya, dan agama. LSM HUMUS adalah LSM yang konsen terhadap permasalahan
anak-anak jalanan. LSM ini berperan sebagai pembina atau pengajar, serta
memfasilitatori anak jalanan untuk mendapatkan beasiswa baik dalam pendidikan
formal maupn pendidikan keagamaan dan juga dalam bimbingan konseling anak dan
keluarga, serta kesenian.
7
Ringkasan
Pelaksanaan pembangunan, khususnya di wilayah pesisir di provinsi Riau belum
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama yang berdiam di daerah
pedesaan. Terjadinya kesenjangan antara daerah pedesaan dan perkotaan disebabkan
karena bias dan distorsi pembangunan yang lebih banyak berpihak kepada ekonomi
perkotaan. Akibatnya timbul daerah-daerah tertinggal yang miskin dan terkebelakang.
Strategi pengembangan desa tertinggal di kabupaten Bengkalis adalah pembangunan
sektor pertanian berbasis agribisnis, karena sebagian besar penduduknya merupakan
petani dan nelayan. Dalam upaya memacu pembangunan dari sisi aspek ekonomi dan
sosial di daerah tertinggal, maka program pembangunan pedesaan harus
memproritaskan tiga aspek utama, yaitu peningkatan ekonomi rakyat (mengentaskan
kemiskinan), peningkatan kualitas sumberdaya manusia (kebodohan), dan
pembangunan infrastruktur.
Salah satu kabupaten yang merasakan ketimpangan dan banyaknya daerah
tertinggal di provinsi Riau adalah Kabupaten Kepulauan Meranti. Kabupaten tersebut
merupakan pemekaran dari kabupaten induk yakni Kabupaten Bengkalis. Kabupaten
Kepulauan Meranti merupakan salah satu kabupaten otonomi baru yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009. Kabupaten Kepulauan Meranti
memiliki 5 (lima) kecamatan dengan luas daerah 3.707.84 km2. Jumlah penduduk
sebanyak 216.329 jiwa. Strategi Pengembangan Daerah Tertinggal (Almasdi Syahza
dan Suarman) 127 Kabupaten Kepulauan Meranti juga berdekatan dengan
pengembangan Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
(KPBPB) yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2007 dan bahagian
yang tidak terpisahkan dari Free Trade Zone Batam, Bintan dan Karimun (FTZ-BBK).
Batam sebagai Free Trade Zone (FTZ) yang sebelumnya telah diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas (KPBPB), berubah menjadi suatu usaha untuk mempercepat
pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan
8
ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah dalam
kesatuan ekonomi nasional yang dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). KEK
adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hokum Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsiperekonomian dan
memperoleh fasilitas tertentu (Zainal, 2010). Kedudukan strategis Kabupaten
Kepulauan Meranti yang berdekatan dengan Batam sebagai FTZ terhadap Singapura
akan memberikan berbagai peluang pengembangan kawasan hinterland Batam, melalui
penetapan peran sinergis terhadap pengembangan aktifitas ekonomi dan sosial, baik
untuk jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Kawasan hinterland
Batam (dalam hal ini wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti) dapat memainkan
peranannya sebagai extension activity and buffer area. Kabupaten Kepulauan Meranti
sebagai salah satu hinterland Batam dapat menjadi key success factor dan stimulator
bagi penyelenggaran Kawasan Ekonomi Khusus Batam Bintan dan Karimum (KEK-
BBK). Di samping itu dapat pula mentransformasi diri agar memiliki daya saing dalam
menangkap berbagai peluang ekonomi KEK-BBK. Pengembangan kawasan Kabupaten
Kepulauan Meranti untuk mendukung KEK-BBK harus dicermati sejak dini agar
berbagai konsep pengembangan wilayah di Kabupaten Kepulauan Meranti benar-benar
fokus dan terstruktur dengan baik. Dalam upaya menciptakan Kabupaten Kepulauan
Meranti sebagai hinterland KEK Batam, diperlukan arah pengembangan antara lain
memperkuat fungsi Kabupaten Kepulauan Meranti di bidang pertanian, perkebunan,
perikanan, infra struktur, peningkatan sumber daya manusia tempatan, pariwisata, yang
kesemuanya itu tentunya haruslah sejalan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Meranti itu sendiri. Dengan demikian penentuan kebijakan dan strategi
pembangunan ekonomi yang tepat sangat diperlukan. Arah penentuan kebijakan strategi
tersebut adalah tercapainya kriteriakriteria prioritas pembangunan berupa penurunan
bentuk-bentuk ketimpangan, kebijakan yang sesuai dengan keinginan masyarakat dan
pembangunan yang mampu meningkatkan pertumbuhan daerah. Sedangkan harapan
dari pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri adalah terciptanya kesejahteraan
masyarakat yang semakin meningkat. Dalam kaitan tersebut, salah satu langkah yang
perlu dilakukan pemerintah daerah adalah merumuskan kebijakan pembangunan yang
tepat dan terarah.
Analisis
Pada penelitian ini diuatarakan bahwa untuk memacu pertumbuhan ekonomi,
kebijaksanaan ekonomi harus menganut paradigma baru dimana pemberdayaan
ekonomi rakyat harus menjadi perhatian utama. Karena sebagian besar di daerah
pedesaan rakyat hidup pada sektor pertanian dan pada sektor ini masih memberikan
kontribusi yang besar pada perekonomian daerah, maka pemberdayaan ekonomi rakyat
juga berarti membangun ekonomi pedesaan dengan lebih baik. Pembangunan industri
harus memperhatikan pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah dan pemasaran
yang baik sehingga produk yang dihasilkan tidak sia-sia. Pengembangan sektor
pertanian di pedesaan harus diarahkan kepada sistem agribisnis, karena pada pendekatan
ini akan dapat meningkatkan nilai tambah sektor pertanian.
9
Ringkasan
Pemberdayaan keluara miskin di sektor pertanian tidak dapat dilakukan dengan
hanya melalui program peningkatan produksi, tetapi juga pada upaya peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan petani. Terkait dengan upaya tersebut, maka keberadaan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menjadi sangat penting untuk melakukan sinergi
dengan lembaga pemerintah. Pendekatan dan peran serta yang telah dilakukan Bina
Swadaya dalam penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan beberapa langkah
strategis, yaitu peningkatan kapasitas aparat pemerintah dalam program-program
penanggulangan kemiskinan, peningkatan peran coorporat melalui CSR, peningkatan
kapasitas kelembagaan local masyarakat dalam program kemiskinan, penyediaan
fasilitas kredit mikro melalui LKM, dan penyediaan informasi pertanian. Dalam proses
pendampingan pemberdayaan masyarakat miskin, LSM masih menghadapi beberapa
kendala baik eksternal maupun internal. Tantangan eksternal dapat berupa terbukanya
era globalisasi ekonomi, aplikasi pemberdayaan yang kurang compatible pada waktu
diaplikasikan di tingkat makro, serta bagaimana menjadi mediator yang handal dalam
menjalin kesinergian antara stakeholder yang terlibat dalam program pe,berdayaan.
Sementara kendala internal terkait dengan masih belum optimalnya LSM dalam
manajemen organisasi untuk mengikuti perkembangan paradigma pembangunan yang
dinamis. Diperlukan fleksibilitas dan komitmen LSM untuk mengembangkan
metodologi yang strategis sehingga tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat untuk
mampu mengangkat dirinya dari jurang kemiskinan.
Analisis
Dalam penelitian ini, dikemukakan bahwa pada dasarnya keberpihakan dan
komitmen aktivitas LSM lebih diarahkan kepada masyarakat kecil, sehingga
berdasarkan perkembangan aktivitas LSM mempunyai peran yang beragam dalam
10
Ringkasan
Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan di daerah
terpencil sulit dilakukan oleh pemerintah. Kontrak bidan dan dokter perorangan masih
belum dapat memberikan jawaban tentang penyelesaian masalah daerah terpencil ini.
Laporan dari Pusrengun tahun 2007 menyatakan bahwa 30% dari 7.500 Puskesmas di
daerah terpencil tidak mempunyai tenaga dokter. Survei yang dilakukan Pusrengun di
78 kabupaten di 17 propinsi di Indonesia menemukan hal menarik. Dari 1.165
Puskesmas di daerah tersebut, 364 Puskesmas (31%) berada di daerah terpencil/belum
berkembang/perbatasan/konflik dan bencana atau di daerah yang buruk situasinya.
Sekitar 50% dari 364 Puskesmas dilaporkan tidak mempunyai dokter, 18% tanpa
perawat, 12% tanpa bidan, 42% tanpa tenaga sanitarian, dan 64% tanpa tenaga ahli gizi.
Dibandingkan dengan daerah biasa, gambaran ini sangat buruk. Sebagai contoh, di
daerah biasa hanya 5% Puskesmas yang tanpa dokter. Dalam hal tenaga spesialis juga
terlihat ketimpangan.
11
Menurut data dari KKI (2007), DKI Jakarta mempunyai 2.890 spesialis
(23,92%). Jawa Timur 1.980 (16.39%), JawaBarat 1.881 (15,57%). Sementara itu, di
Sumatera Barat hanya 167 (1.38%). Ketidaktersediaan tenaga medik dan kesehatan ini
menjadi semakin berat implikasinya karena adanya Jaminan Kesehatan Masyarakat.
Ketimpangan penyebaran spesialis ini merupakan hal yang tidak adil, terutama dalam
konteks kebijakan nasional yang menggunakan pembayaran penuh untuk masyarakat
miskin. Di daerah yang jarang dokter spesialisnya, masyarakat miskin atau setengah
miskin akan kesulitan mendapatkan akses ke pelayanan medik. Sebaliknya di tempat
yang banyak dokternya akan sangat mudah. Akibatnya dana pusat untuk masyarakat
miskin dikhawatirkan terpakai lebih banyak di kota-kota besar dan di pulau Jawa.
Problem kontrak perorangan memang kompleks. Untuk daerah-daerah terpencil dapat
dibayangkan betapa sulitnya seorang dokter muda atau bidan muda untuk berangkat
sendiri, bekerja dilingkungan yang baru tanpa ada dukungan tim kerja yang baik.
Akhirnya di beberapa daerah dilaporkan bahwa dokter kontrak di daerah sangat
terpencil tidak pernah sampai atau jarang berada di tempat. Pengalaman di Kabupaten
Aceh Barat seperti yang dilaporkan dalam JMPK edisi lalu menunjukkan bahwa
pengiriman tim merupakan hal yang baik walaupun biaya menjadi lebih besar.
Pertanyaan penting dalam hal ini adalah bagaimana mengatasi masalah pengiriman
tenaga ke daerah. Tanpa ada pengiriman maka berbagai fasilitas fisik dan peralatan
yang ada di daerah akan sia-sia karena tidak ada yang menjalankan. Dalam hal ini ada
pertanyaan mengenai peranan Lembaga Swadaya Masyarakat dan Yayasan Keagamaan,
Apakah LSM dan Yayasan keagamaan dapat dimobilisir untuk mengatasi masalah ini?
Dalam konteks pengadaan tenaga, LSM yang baik dan Yayasan Keagamaan merupakan
pihak yang dapat memobilisir, mengirimkandan menjamin mutu pelayanan. Kerjasama
antara pemerintah dengan LSM dan Yayasan Keagamaan dapat berupa kontrak kerja.
Pertanyaan tersebut menarik untuk dijawab karenaselama ini belum ada hubungan yang
terjadi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan Lembaga Swadaya dan
Yayasan Kemanusiaan. Masih ada stigma bahwa LSM merupakan lembaga yang sering
berbeda pendapat dengan pemerintah. Di samping itu juga diakui bahwa kemampuan
LSM untuk memberikan pelayanan kesehatan, terutama di daerah sulit dan terpencil
masih belum banyak. Pengalaman sukarelawan di dalam bencana alam di Aceh tahun
2005 menunjukkan bahwa bantuan pemberian pelayanan didominasi oleh LSM luar
negeri. Pertanyaan ini sebenarya merupakan ide yang perlu dicoba. Diharapka ada
eksperimen mengenai hal ini. Jika berhasil uji-cobanya, di masa depan diharapkan
pemerintah dapat menjalin kerjasama dengan LSM dan Yayasan Keagamaan untuk
pengiriman tenaga di daerah terpencil.
Analisis
Dalam penelitian ini dikemukakan bahwa pelayanan kesehatan di daerah
terpencil sangat sulit dilakukan oleh pemerintah, karena jelas sekali terlihat
ketimpangan dalam tenaga spesialis. Ketidaktersediaan tenaga medik dan kesehatan
tersebut merupakan hal yang tidak adil, terutama dalam konteks kebijakan nasional
yang menggunakan pembayaran penuh untuk masyarakat miskin. Di daerah yang jarang
dokter spesialisnya, masyarakat miskin akan kesulitan mendapatkan akses pada
pelayanan medik.
Kemudian dikemukakan juga belum adanya peranan LSM dan Yayasan
Keagamaan dalam konteks pengadaan tenaga medik serta hubungan yang terjadi antara
Pemerintah Daerah dengan Lembaga Swadaya dan Yayasan Kemanusiaan daerah.
Masih ada stigma bahwa LSM merupakan lembaga yang sering berbeda pendapat
12
dengan pemerintah menjadi salah satu alasan belum terjalinnya hubungan antara LSM
dan pemerintah. Di sampingitu, juga diakui bahwa kemampuan dari LSM untuk
memberikan pelayanan kesehatan, terutama di daerah sulit dan terpencil masih belum
banyak dan kurangnya dalam hal pengalaman.
Ringkasan
Pemberdayaan masyarakat yang kompetitif dan akan ditujukan untuk
masyarakat mandiri, sehingga masyarakat bisa mengetahui dan melaksanakan
pembangunan masyarakat yang bebas untuk memberdayakan diri mereka. Ini adalah
tujuan dengan melihat kesuksesan penelitian yang dilakukan oleh program
pemberdayaan masyarakat oleh Trukajaya di desa Lembu dan menganalisis faktor yang
mempengaruhi hasil pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat berdasarkan
persepsi. Cara kualitatif ini digunakan dalam kajian dan penelitian yang termasuk dalam
studi kasus. Dari sudut pandang masyarakat, pembangunan program ini tidak semua
berhasil tapi tidak juga sepenuhnya gagal, karena hal itu disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, dalam pemberdayaan masyarakat melalui program Trukajaya akan
mengurangi jumlah orang miskin di desa Lembu. Kedua, pemberdayaan masyarakat
melalui program Trukajaya dilakukan untuk membantu warga yang kurang mampu
dalam peningkatan pendapatan keluarga, mengembangkan ide pendayagunaan sumber
daya yang tersedia. Ketiga, program pemberdayaan masyarakat dapat dilaksanakan oleh
Trukajaya dalam memberikan perhatian kepada masyarakat, dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan keluarga miskin di wilayah tersebut. Keempat, program pemberdayaan
masyarakat dapat dilaksanakan oleh Trukajaya untuk meningkatkan kelangsungan
hidup dari masyarakat. Kelima, dengan program pemberdayaan masyarakat dapat
dilaksanakan secara bersama-sama untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan
pemerataan pendapatan karena banyak keluarga miskin yang tidak signifikan.
13
Analisis
Dalam penelitian ini dikemukakan bahwa implementasi program pemberdayaan
masyarakat pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki peran penting untuk
memberdayakan masyarakat dalam rangka mengatasi persoalan kemiskinan. Di Kota
Salatiga terdapat sebuah LSM bernama Yayasan Kristen Trukajaya yang bergerak
dalam bidang pemberdayaan masyarakat di desa-desa dampingan di berbagai daerah.
Implementasi program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh Trukajaya
dapat berdampak pada dua hal, yaitu masyarakat menjadi bergantung pada program
tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan adalah budaya, di mana
masyarakat terbiasa berada dalam hirarki, birokrasi dan kontrol manajemen yang tegas,
sehingga membuat mereka terpola dalam berpikir dan berbuat dalam rutinitas
(Sumaryadi, 2005). Kedua, masyarakat menjadi berdaya dan mandiri. Hal tersebut
merupakan salah satu indikator keberhasilan program berdasarkan perspektif
pemberdayaan masyarakat, yaitu meningkatkan kemandirian kelompok yang ditandai
dengan makin berkembangnya usaha produktif anggota dan kelompok, makin kuatnya
permodalan kelompok, makin rapinya system administrasi kelompok, serta makin
luasnya interaksi kelompok lain di dalam masyarakat (Sumodiningrat, 1999).
Trukajaya melaksanakan beberapa program pemberdayaan masyarakat di Desa
Lembu sebagai salah satu desa binaannya, antara lain biogas, pertanian organik,
gaduhan ternak, pendidikan gender dan demokratisasi desa. Sebelum melaksanakan
program-program tersebut, Trukajaya telah menyusun berbagai rencana program.
Program-program tersebut dilaksanakan melalui berbaga kegiatan dengan jangka waktu
dan anggaran tertentu, serta kelompok sasaran yang berasal dari berbagai kalangan
masyarakat. Dalam rencana tersebut, Trukajaya memiliki berbagai tujuan dari
implementasi program-program tersebut, yaitu berkurangnya penduduk miskin,
berkembangnya usaha peningkatan pendapatan, meningkatnya kepedulian masyarakat
terhadap upaya peningkatan kesejahteraan, peningkatan kemandirian kelompok, dan
meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan.
14
Ringkasan
Membangun ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peranan pemerintah,
lembaga-lembaga di sektor keuangan, dan pelaku-pelaku usaha. Pemerintah sebagai
pembuat dan pengatur kebijakan diharapkan dapat memberikan iklim yang kondusif
bagi dunia usaha, sehingga lembaga keuangan baik perbankan maupun bukan
perbankan serta pelaku usaha di lapangan mampu memanfaatkan kebijakan dan
melaksanakan kegiatan usaha dengan lancar sehingga dapat mendorong percepatan
pembangunan ekonomi. Salah satu pelaku usaha yang memiliki eksistensi penting
namun kadang dianggap “terlupakan” dalam percaturan kebijakan di negeri ini adalah
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Peran UMKM bukanlah sekedar
pendukung dalam kontribusi ekonomi nasional, tetapi UMKM memiliki peran yang
sangat sentral. UMKM dalam perekonomian nasional memiliki peran yang penting dan
strategis, kondisi tersebut dapat dilihat dari berbagai data empiris yang mendukung
bahwa eksistensi UMKM cukup dominan dalam perekonomian Indonesia, yaitu
Pertama, jumlah industri yang besar dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi. Pada
tahun 2005 tercatat jumlah UMKM adalah 44,69 unit atau 99,9% dari jumlah total unit
usaha. Kedua, potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja. Setiap unit
investasi pada sektor UMKM dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bila
dibandingkan dengan investasi yang sama pada usaha besar. Sektor UMKM menyerap
77,68 juta tenaga kerja atau 96,77% dari total angkatan kerja yang bekerja. Ketiga,
kontribusi UMKM dalam pembentukan PDB cukup signifikan yakni sebesar 54,22%
dari total PDB. Sejarah telah menunjukkan bahwa UMKM di Indonesia tetap eksis dan
berkembang dengan adanya krisis ekonomi pada tahun 1997, bahkan menjadi katup
penyelamat bagi pemulihan ekonomi bangsa karena kemampuannya memberikan
sumbangan yang cukup signifikan pada PDB maupun penyerapan tenaga kerja. Data
tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah UMKM secara nasional ada 42,4 juta dengan
memberikan sumbangan terhadap PDB mencapai Rp 1.013,5 trillun (56,7% dari total
PDB) dan kemampuan penyerapan tenaga kerja sebesar 79 juta jiwa (BDS LPPM UNS,
15
Analisis
Dalam penelitian tersebut dikemukakan bahwa adanya pengaruh dari LSM
terhadap produktivitas UMKM di Kecamatan Gemolong Kabupaten Sragen. Jenis usaha
dalam penelitian ini digolongkan dalam lima jenis, yaitu industri rumah tangga,
perdagangan, pertanian, jasa, dan peternakan. Pengaruh terhadap produktivitas usaha
tersebut dibuktikan dengan adanya dampak dari program pendampingan oleh LSM di
Kabupaten Sragen yang diketahui dengan melihat perubahan produktivitas dari usaha,
jumlah tenaga kerja, dan keuntungan usaha sebelum dan setelah adanya program
pendampingan oleh LSM dan didapatkan bahwa adanya perbedaan rata–rata yang
signifikan dari produktivitas usaha oleh angggota sebelum dan setelah adanya program
pendampingan oleh LSM tersebut, dimana produktivitas setelah adanya program
pendampingan oleh LSM lebih besar dibandingkan dengan sebelum adanya progam
tersebut. Hasil ini menunjukan bahwa dengan adanya pendampingan oleh LSM sebagai
konsultan usaha maka dapat meningkatkan produktivitas usaha di daerah tersebut.
16
Ringkasan
Masalah penelitian adalah bagaimana meningkatkan keberdayaan masyarakat
melalui proses modal manusia dan modal fisik. Hubungan antara modal dan perbaikan
keberdayaan akan diuji dengan meletakkan proses pemberdayaan sebagai variabel
mediasi untuk menjelaskan aktivitas-aktivitas yang terkait. Data yang digunakan adalah
data primer dan sekunder, data primer dikumpulkan dengan menggunakan metode
survei melalui kuesioner. Selanjutnya, analisis statistik yang digunakan adalah
Structural Equation Modeling (SEM)-Smart Partial Least Square. Temuan penelitian
menunjukkan ada dua pola cara yang mengarah pada peningkatan keberdayaan
masyarakat. Terdapat korelasi dimana semakin tinggi proses pemberdayaan akan dapat
menciptakan keberdayaan masyarakat. Implementasi dari hasil penelitian ini adalah
bahwa pemberdayaan menginginkan pengembangan modal manusia, dan akan lebih
baik lagi jika pemberdayaan didukung oleh pengembangan kemampuan pelaku
pemberdayaan. Tanggung jawab utama dalam program pembangunan adalah
masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang
dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama,
kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip
pemberdayaan. Kemampuan berdaya mempunyai arti yang sama dengan kemandirian
masyarakat. Terkait dengan program pembangunan, bahwa tujuan yang ingin dicapai
adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian
tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka
lakukan.
Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh
masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta
melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah
yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang dimiliki. Daya
kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan
afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/ material. Kemandirian masyarakat
dapat dicapai tentu memerlukan sebuah proses belajar. Masyarakat yang mengikuti
17
proses belajar yang baik, secara bertahap akan memperoleh daya, kekuatan atau
kemampuan yang bermanfaat dalam proses pengambilan keputusan secara mandiri.
Berkaitan dengan hal ini, Sumodiningrat (2000) menjelaskan bahwa keberdayaan
masyarakat yang ditandai adanya kemandiriannya dapat dicapai melalui proses
pemberdayaan masyarakat. Keberdayaan masyarakat dapat diwujudkan melalui
partisipasi aktif masyarakat yang difasilitasi dengan adanya pelaku pemberdayaan.
Sasaran utama pemberdayaan masyarakat adalah mereka yang lemah dan tidak
memiliki daya, kekuatan atau kemampuan mengakses sumberdaya produktif atau
masyarakat yang terpinggirkan dalam pembangunan. Tujuan akhir dari proses
pemberdayaan masyarakat adalah untuk memandirikan warga masyarakat agar dapat
meningkatkan taraf hidup keluarga dan mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya.
Secara sosial, masyarakat sekitar kawasan hutan lindung sampai saat ini tetap
teridentifikasi sebagai masyarakat marginal (terpinggirkan) dan tidak memiliki daya,
kekuatan, dan kemampuan yang dapat diandalkan serta tidak memiliki modal yang
memadai untuk bersaing dengan masyarakat kapitalis atau masyarakat pengusaha yang
secara sosial dan politik memiliki daya, kekuatan, dan kemampuan yang memadai.
Ketidakberdayaan masyarakat secara sosial dan ekonomi menjadi salah satu ganjalan
bagi masyarakat untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan sesama
saudaranya yang telah berhasil. Kondisi inilah yang perlu dipahami dan dijadikan salah
satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan perencanaan penyusunan
program, agar setiap kebijakan dan program tentang pengaturan pengelolaan hutan yang
diambil tetap memperhatikan kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat sekitar
kawasan hutan lindung. Paradigma perencanaan pengelolaan hutan dan pemberdayaan
masyarakat yang sentralistik dimana program dirancang dari atas tanpa melibatkan
masyarakat, harus diubah kearah peningkatan partisipasi masyarakat lokal secara
optimal. Pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu pelimpahan atau pemberian
kekuatan (power) yang akan menghasilkan hierarki kekuatan dan ketiadaan kekuatan,
seperti yang dikemukakan Simon (1993) bahwa pemberdayaan merupakan suatu
aktvitas refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh
agen atau subyek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (self-
determination). Sulistiyani (2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara etimologis
pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau kemampuan.
Analisis
Dalam penelitian ini dikemukakan bahwa meningkatkan keberdayaan
masyarakat melalui proses modal manusia dan modal fisik. Temuan penelitian
menunjukkan ada dua pola cara yang mengarah pada peningkatan keberdayaan
masyarakat, yaitu pola yang terdiri dari dua tahapan untuk keberdayaan, dan pola yang
menunjukkan bahwa untuk meningkatkan keberdayaan diperlukan tiga tahapan proses
aktivitas. Terdapat korelasi dimana semakin tinggi proses pemberdayaan maka akan
dapat menciptakan keberdayaan masyarakat yang lebih baik. Tanggung jawab utama
dalam program pembangunan adalah masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan
atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material,
ekonomi, kelembagaan, kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam
menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan. Kemampuan berdaya mempunyai arti yang
sama dengan kemandirian. Kemandirian masyarakat. Terkait dengan program
pembangunan, bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah untuk membentuk individu dan
masyarakat menjadi lebih mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir,
bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat
merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan
18
Ringkasan
Pada saat ini pengembangan sumber daya manusia diarahkan pada upaya
pembangunan fungsi katalis dari perorangan maupun lembaga untuk dapat mendorong,
membuka jalan atau mempercepat terjadinya proses pemberdayaan sosial ekonomi.
Dalam kaitanyya dengan upaya pemberdayaan masyarakat tentunya diperlukan agen
penggerak. Secara operasional kegiatan ini dapat ditangai oleh pemerintah ataupun
swasta melalui LSM. Membangun pada hakekatnya adalah upaya untuk mempersiapkan
manusia menghadapi perubahan. Karena suka atau tidak suka, dirancang atau tidak,
ubahan akan dihadapi oleh manusia. Ada dua pilihan bagi manusia dalam menghadapi
perubahan ini. Pilihan pertama, membiarkan ubahan itu terjadi sesuai kodratnya dan
manusia menerima saja keharusan dan akibat ubahan itu. Kedua, menyerahkan
semuanya pada kehendak nasib namun dengan tekad untuk tetap bias menguasai arah,
mutu serta terpeliharanya tujuan hidup.
Penanganan dalam sektor sosial ekonomi sangat diutamakan, karena
kedudukannya sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia mempunyai arti yang
penting dan menetukan bagi kehidupan seseorang di dalam membangun dan
mengembangkan kepribadiannya. Ada beberapa strategi yang dapat digunakan untuk
mempercepat proses perubahan (Harper, 1994), meliputi strategi fasilitas, strategi
19
Analisis
Dalam penelitian tersebut dikemukakan bahwa pengembangan sumber daya
manusia diarahkan pada upaya pembangunan fungsi katalis dari perorangan maupun
lembaga yang ada. Strategi yang dilakukan LSM untuk memberdayakan kehidupan
sosial ekonomi masyarakat adalah dengan jalan mengadakan komunikasi interpersonal
dalam wadah kelompok-kelompok. Untuk mendukung strategi tersebut, pihak LSM
melalui unit kegiatan poliklinik, kesejahteraan keluarga, pengadaan air bersih,
transmigrasi swakarsa mengadakan pebinaan kepada masyarakat. Dan hasil dari
kegiatan yang dijalankan oleh LSM cukup efektif dan terdapat perubahan berupa
peningkatan baik dari kemampuan, maupun hasil yang didapat.
Ringkasan
Model pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered)
menekankan bahwa pembangunan bukan sekedar meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dan pendapatan nasional (GNP) serta terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat, tetapi
yang lebih penting lagi adalah pada upaya meningkatkan kualitas manusia agar dapat
meningkatkan partisipasi secara nyata dalam berbagai aktifitas kehidupan untuk
mendorong terciptanya kegiatan produktif yang bernilai tinggi. Model pembangunan ini
mencoba mengembangkan rasa keefektifan politis yang akan mengubah penerima pasif
20
dan reaktif menjadi peserta aktif yang memberikan kontribusinya dalam proses
pembangunan, masyarakat yang aktif dan berkembang yang dapat turut serta dalam
memilih isu kemasyarakatan. Ada tiga model pembangunan yang pernah dilewati oleh
bangsa kita ini dalam usahanya untuk mensejahterakan rakyat, yaitu Pertama, model
pembangunan nasional yang berorientasi pada pertumbuhan. Model ini memandang
tujuan pembangunan nasional sebagai pertumbuhan ekonomi dalam arti sempit, yaitu
menyangkut kapasitas ekonomi nasional yang semula dalam jangka waktu panjang dan
lama berada dalam kondisi statis, kemudian bangkit untuk menghasilkan peningkatan
GNP pertahun pada angka 5 sampai 7 persen atau kalau mungkin bisa lebih. Untuk
mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti itu, maka pemilihan struktur
produksi jasa dan manufaktur, serta mengurangi porsi sektor pertanian secara seimbang,
barangkali tidak dapat dihindari. Karena itu, proses pembangunan terpusat pada
produksi, sementara penghapusan kemiskinan, pengangguran dan ketidakadilan
menduduki urutan penanganan kedua, lebih-lebih penghapusan ketiga masalah penting
ini hanya dicapai dengan "trickle-down effect". Model pembangunan ini benar-benar
mengesampingkan unsure masyarakat. Masyarakat hanya dipandang sebagai obyek dari
pembangunan bukan dipandang sebagai subyek dari pembangunan, partisipasi
masyarakat dalam pembangunan pada model pembangunan yang berorientasi pada
pertumbuhan ini tidak diperlukan. Oleh karena itu data empirik menunjukkan bahwa
model pembangunan ini gagal untuk mengangkat derajat kehidupan kaum miskin dan
bahkan ketimpanganketimpangan makin menajam. Kedua, odel pembangunan yang
berorientasi pada kebutuhan dasar. Setelah gagal mengangkat harkat dan martabat
kehidupan ekonomi masyarakat dengan model pertumbuhan, maka pemerintah berusaha
mengembangkan model lain yaitu model pemenuhan kebutuhan dasar atau
kesejahteraan. Model ini memfokuskan diri pada bagian penduduk yang miskin dan
menandaskan bahwa masalah kemiskinan yang ada sekarang ini merupakan akibat dari
marginalisasi masyarakat dari proses pembangunan. Oleh karena itu, model
pembangunan ini mencoba memecahkan masalah kemiskinan secara langsung dengan
hdak melalui mekanisme "trickk-donm effect". Pada dasarnya model ini merupakan
suatu program bantuan untuk mencapai kesejahteraan bagi orang yang sangat miskin
melalui pemenuhan kebutuhan dasar mereka, yang mencakup kesempatan memperoleh
penghasilan dan akses terhadap pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, air
bersih, transportasi, penerangan dan Iain-lain. Alasan utama yang mendasari model
pembangunan yang berpusat pada pemenuhan kebutuhan dasar ini menurut Moeljarto
ada tiga, yaitu banyak dari masyarakat miskin yang tidak memiliki asset-aset produktif
selain kekuatan fisik, keinginan kerja dan inteligensi dasar mereka. Pemeliharaan asset
tersebut tergantung pada peningkatan akses terhadap pelayanan public seperti
pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyediaan. Peningkatan pendapatan masyarakat
miskin boleh jadi tidak meningkatkan standar hidup mereka kalau barang-barang dan
jasa yang cocok dengan kebutuhan dan tingkat pendapatan mereka tidak tersedia.
Peningkatan standar hidup golongan termiskin dari yang miskin melalui peningkatan
produktifitas mereka memerlukan wakru yang sangat lama, dan dalam kondisi dan
situasi tertentu mereka kerapkali tidak dapat bekerja. Oleh karena itu program subsidi
jangka pendek dan mungkin program subsidi permanen diperlukan agar masyarakat
mendapat bagian dari hasil-hasil pembangunan.
21
Analisis
Dalam penelitian ini dikemukakan bahwa dalam proses pembangunan yang
partisipatif mutlak memerlukan landasan epistimologi dan kerangka teori yang
memberikan pengakuan terhadap kapabilitas kelompok lapis bawah sebagai aktor atau
pelaku yang memiliki kemampuan dan kemandirian. Sebuah kebijakan yang berbasis
pada masyarakat akan lebih memberikan jaminan dalam rangka mewujudkan keadilan
yang berkelanjutan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan lebih
sustainable dan tahan lama, karena memperoleh dukungan dari semua elemen
masyarakat. Dalam konteks ini, maka kebijakan yang berbasis pada masyarakat akan
menyebabkan masyarakat memiliki rasa handarbeni (sense of belonging) terhadap
keputusan-keputusan yang telah dibuat. Dengan melibatkan masyarakat dalam
keseluruhan proses pengambilan kebijakan berarti ketrampilan analitis dan perencanaan
akan menjadi teralihkan kepada mereka.
Ringkasan
Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau besar dan
kecil, wilayah laut dan seluruh perairan laut dalam dan dangkal merupakan bagian
integral dari wilayah kedaulatan negara Indonesia. Wilayah pesisir dan laut yang luas
tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang
kedua di dunia. Sumberdaya hayati dan nonhayati pesisir dan laut yang dimiliki ini
demikian besar dan merupakan salah satu sumberdaya yang penting. Namun demikian
laju pertumbuhan penduduk yang terus bertambah akan menambah tekanan terhadap
sumberdaya yang ada didarat, sehingga mendorong meningkatnya penggunaan
suberdaya kelautan yang lebih besar. Berdasarkan hal tersebut, maka pengembangan
sektor kelautan tidak bias ditunda lagi. Banyaknya potensi yang ada di wilayah pesisir
22
dan laut ini menarik berbagai pihak untukmemanfaatkannya, baik dari pemerintah
sendiri, swasta dan masyarakat setempat telah mendorong persaingan dala
pemanfaatannya.
Masyarakat adalah ujung tombak pembangunan kawasan pesisir. Tanpa
keikutsertaan mereka, maka pembangunan akan sering menimbulkan konflik dan
ketidakseimbangan dalam bidang sosial dan ekonomi. Berdasarkan gambaran tersebut
maka untuk mempertahankan kelestarian pengelolaan sumberdaya alam wilayah pesisir
dan lautan dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan mereka, maka mereka harus
diberdayakan, baik dalam hal kehidupan sosial maupun ekonomi. Keterlibatan instansi-
instansi pemerintah dan swasta serta stakeholder lainnya terutama Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dalam supaya pemberdayaan masyarakat pesisir ini sangat
dibutuhkan, agar mereka dapat terlibat dalam setiap proses pembangunan dan sekaligus
menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut.
Pulau Barrang Caddi adalah merupakan salah satu dari sekian ratus pulau yang
termasuk dalam gugusan Kepulauan Spermonde yang terletak pada pesisir Selat
Makassar. Pulau Barrang Caddi sendiri termasuk salah satu dari empat pulau yang
secara administrative masuk dalam Wilayah Kelurahan Barrang Caddi Kecamatan
Ujung Tanah Kota Makassar. Sebagian besar penduduk pulau ini adalah nelayan.
Masyarakat nelayan di pulau ini memiliki pandangan bahwa laut adalah milik semua
orang. Pandangan inilah yang dijadikan pegangan dalam melakukan kegiatan
penangkapan yang kadang melewati batas wilayah nya.
Analisis
Dalam penelitian ini dikemukakan bahwa strategi dan pendekatan yang
dilakukan oleh LSM dalam memberdayakan masyarakat, khususnya nelayan di pulau
ini adalah dengan membentuk dan membina serta memberdayakan kelompok nelayan
yang ada. LSM melalui divisi kegiatannya menyelenggarakan penyuluhan yang diikuti
oleh semua responden, kemudian dari kegiatan tersebut pula hasilkan pengetahuan yang
lebih dari para nelayan. Namun strategi yang digunakan masih belum bias
dipertahankan dan diperluas, dan hendaknya program pembinaan dan pelatihan
disesuaikan dengan kondisi dan waktu luang kelompok dari target pelatihan.
23
Ringkasan
Lembaga Swadaya Masyarakat Dian Desa Yogyakarta adalah Lembaga
Swadaya Masyarakat yang didirikan tahun 1972 di Yogyakarta, program kegiatan yang
dikembnagkan yaitu suplai air dan teknologi perairan, teknologi pangan dan pertanian
serta industri kerajian penyamakan kulit ikan pari. Secara luas istilah pemberdayaan
diartikan sebagai pemberkuasaan, pemberian atau peningkatan kekuasaan kepada
masyarakat lemah. Berdasarkan potensi wilayah tersebut, sumberdaya kelautan akan
menjadi tumpuan harapan bangsa di masa depan.
Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan masyarakat pesisir
dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang meliputi
terciptanya suasana yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optial,
memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam
memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya, melindungi masyarakat dari
tindasan kelopok lain, memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu
menjalankan peranan dan tugas dalam kehidupanna, dan memelihara kondisi yang
kondusif yang tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai
kelompok dalam masyarakat.
Analisis
Dalam penelitian ini dikemukakan bahwa keterlibatan semua unsur masyarakat
sebagai sarana percepatan proses pembangunan perlu ditekankan tentang pentingnya
pendekatan alternatif berupa pendekatan pembangunan yang diawali oleh proses
pemberdayaan masyarakat local. Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang
sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial, dan transformasi budaya.
Partisipasi masyarakat melalui LSM merupakan kunci partisipasi efektif untuk
mengatasi asalah kemiskinan.
24
Istilah Lembaga Swadaya Masyarakat muncul pertama kali pada suatu seminar
yang diselenggarakan Sekretariat Bina Desa (SBD) di Ungaran, Jawa Tengah pada
tahun 1978. Pada kalangan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), lembaga ini disebut Non
Government Organization (NGO) yang kemudian diterjemahkan menjadi Organisasi
Non Pemerintah (ORNOP). Namun, istilah ORNOP dan NGO memiliki perbedaan
pengertian dimana ORNOP mencakup berbagai organisasi yang bukan pemerintah,
sedangkan NGO lebih mengkhususkan pada pembangunan. Terkait dengan timbulnya
kejanggalan atas istilah tersebut, Prof. Sayogyo dalam Bambang Ismawan (2003),
kemudian memperkenalkan istilah Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat
(LPSM) untuk SHPI dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk SHO. (Baroroh,
2008)
Istilah LSM kemudian didefinisikan secara tegas dalam Instruksi Menteri Dalam
Negeri (Inmendagri) No. 8 tahun 1990, yang ditujukan kepada gubernur di seluruh
Indonesia tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat. Pada lampiran II dari
Inmendagri menyebutkan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat adalah organisasi/
lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Republik Indonesia
secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat serta bergerak dibidang kegiatan
tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/ lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat
dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitik
beratkan kepada pengabdian secara swadaya.
Namun istilah LSM ini secara resmi sudah diakui sebelumnya dalam Undang-
undang No. 4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan
hidup. Pada asal 19 dalam undang-undang tersebut dikemukakan bahwa LSM brperan
dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Budairi (2002) menyebutkan bahwa LSM dalam pengertian lebih politis adalah
organisasi keswadayaan masyarakat yang diorientasikan sebagai tandingan pemerintah,
bahkan bisa diartikan berlawanan dan pesaing pemerintah. Namun dalam
perkembangannya LSM mulai menjadi mitra pemerintah dalam pembangunan sehingga
peran kritis LSM terhadap pemerintah semakin berkurang.
Menurut Wirosardjono (1992) dalam Hagul (1992), LSM belakangan ini
berkembang menjadi salah satu wadah yang menyalurkan peran serta masyarakat, corak
kegiatan yang khas yang dilandasi oleh motivasi yang khas pula. Setidaknya terdapat 5
motivasi yang dapat dikategorikan sebagai ciri LSM yaitu, (1) Ada naluri religi yang
tertanam dalam hati untuk berbuat bagi kebaikan manusia; (2) Ada naluri kesetia
kawanan sosial yang memperhatikan kondisi masyarakat yang kekurangan dan miskin;
(3) Ada naluri kebutuhan menjalin hubungan antar manusia, hubungan sosial dan
solidaritas sosial; (4) Ada motivasi untuk berbuat sesuatu secara mandiri; serta (5) Ada
motivasi untuk berprestasi dengan hasil baik.
Hagul (1992) mengemukakan bahwa ada lima ciri yang ditonjolkan LSM sebagi
identitasnya, yaitu (1) dapat menjangkau penduduk termiskin; (2) mendorong partiipasi
yang lebih luas; (3) tidak birokratis; (4) mampu bereksperimen; dan (5) membutuhkan
biaya murah.
Menurut Gaffar (2006) peran LSM sangat besar dalam kehidupan masyarakat
dan melihat LSM sebagai alternatif untuk munculnya civil society. Dalam keadaan civil
25
Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan Masyarakat
Pengertian Partisipasi
Secara etimologi arti kata partisipasi berasal dari bahasa latin, pars artinya
bagian dan capare berarti mengambil bagian atau dapat juga disebut peran serta atau
keikutsertaan. Jadi partisipasi adalah keikutsertaan atau keterlibatan secara sukarela oleh
masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri (Supriyadi 2001 dalam
Wibowo 2011).
Dalam kamus sosiologi, partisipasi merupakan keikutsertaan seseorang didalam
kelompok sosial untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakatnya, di luar
pekerjaan atau profesinya sendiri (Mardikanto 2010). Dalam kegiatan pembangunan,
partisipasi masyarakat merupakan perwujudan dari kesadaran dan kepedulian serta
tanggung jawab masyarakat terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk
memperbaiki mutu hidup mereka. Artinya, melalui partisipasi yang diberikan, berarti
benar-benar menyadari bahwa kegiatan pembangunan bukanlah sekedar kewajiban yang
dilaksanakan oleh aparat pemerintah sendiri, tetapi juga menuntut keterlibatan
masyarakat yang akan diperbaiki hidupnya.
Partisipasi adalah proses aktif inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri,
dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses
(lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif.
Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: pertama, warga komunitas dilibatkan dalam
tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang
lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari
masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak,
kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut pada subjek yang sadar (Nasdian
2006).
Slamet dalam Mardikanto (2010), menyatakan bahwa tumbuh dan
berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sangat ditentukan tiga
unsur pokok yaitu:
a) Adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi
b) Adanya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi
c) Adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi
Menurut Wibowo (2011), partisipasi rakyat merupakan prasyarat utama untuk
keberhasilan proses pembangunan di Indonesia. Namun hal ini belum menjadi perhatian
utama karena di lapangan masih terdapat hambatan yaitu belum dipahaminya konsep
partisipasi yang sebenarnya oleh pihak perencana dan pihak pembangunan. .
Tahapan-tahapan Partisipasi
Menurut Cohen dan Uphoff seperti yang dikutip oleh Girsang (2011),
menjelaskan pengertian partisipasi adalah keterlibatan aktif masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi. Cohen dan
Uphoff juga membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat
dalam rapat-rapat.
2. Tahap pelaksanaan, yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan, sebab
inti dari pembangunan adalah pelaksanaannya. Wujud nyata partisipasi pada tahap
ini dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan
32
Tingkatan Partisipasi
Arnstein (1969) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat identik dengan
kekuasaan masyarakat (citizen partisipation is citizen power). Partisipasi masyarakat
juga menggambarkan bagaimana terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil
(redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok penerima kegiatan.
Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi, derajat wewenang dan
tanggung jawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Tingkatan
partisipasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
KESIMPULAN
masyarakat sendiri, artinya meskipun ada kesempatan yang diberikan oleh pemerintah
atau negara untuk membangun infrastuktur tetapi jika tidak ada kemampuan dan
kemauan dari masyarakat maka pertisipasi tidak akan terwujud. Dalam kegiatan
pembangunan, partisipasi masyarakat merupakan perwujudan dari kesadaran dan
kepedulian serta tanggung jawab masyarakat terhadap pentingnya pembangunan yang
bertujuan untuk memperbaiki mutu hidup mereka. Artinya, melalui partisipasi yang
diberikan, berarti benar-benar menyadari bahwa kegiatan pembangunan bukanlah
sekedar kewajiban yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah sendiri, tetapi juga
menuntut keterlibatan masyarakat yang akan diperbaiki hidupnya. Keterlibatan aktif
masyarakat dapat terlihat pada tahap proses pengambilan keputusan, pelaksanaan,
pemanfaatan hasil dan evaluasi program pembangunan. Pada proses pengambilan
keputusan, partisipasi masyarakat memiliki tingkatan sesuai dengan gradasi, derajat
wewenang dan tanggung jawab. Tingkatan tersebut yaitu, (1) manipulasi, (2) terapi, (3)
pemberitahuan, (4) konsultasi, (5) penentraman, (6) kemitraan, (7) pendelegasian
kekuasaan, serta (8) kontrol masyarakat.
Berdasarkan rangkuman dan pembahasan, dan simpulan yang telah dibuat, maka
dapat dirumuskan pertanyaan penelitian, antara lain:
1. Bagaimana peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam upaya
pemberdayaan masyarakat pedesaan?
2. Sejauhmana program-program yang diberikan oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat memberikan perubahan pada kehidupan masyarakat pedesaan?
3. Bagaimana partisipasi masyarakat terhadap program-program yang
diberikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat di pedesaan?
4. Sejauhmana tingkatan partisipasi masyarakat di pedesaan?
stakeholder, pelibatan masyarakat juga merupakan hal yang penting yang menjadi
faktor keberhasilan program tersebut. Partisipasi aktif masyarakat juga turut mengambil
tempat dalam proses pemberdayaan ini karena dalam pemberdayaan ini masyarakat
ditempatkan sebagai subyek pembangunan dan bukan obyek pembangunan. Partisipasi
aktif masyarakat dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan,
pemanfaatan hasil dan evaluasi.
Partisipasi Masyarakat
dalam
a. Tahap pengambilan
keputusan
b. Tahap pelaksanaan
c. Tahan menikmati
hasil
d. Tahap evaluasi
Kesejahteraan
Masyarakat
Keterangan :
: Mempengaruhi
: Hubungan
: Diuji
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Riwayat Hidup