Anda di halaman 1dari 14

MEMBANGUN BUDAYA DAMAI DALAM MASYARAKAT PLURAL

(Tugas Mata Kuliah Hubungan antar kelompok dan konflik)

DISUSUN OLEH :

 Mariana : E031191067 St. Radiah : E031191046


 Tri Indah Utami : E031201024 Junianti Camelia S : E031191054
 Nurul Wakiah : E031201002 Andi Annisa Hermansyah : E031191073
 Juwita : E031191032 Muh Alief Fahry : E031191014
 Harfinah Hamzah : E031201013 Betsina Theodora Hallatu : E031201052
 Audy Hidayatullah N : E031201030 M Muflih Ahnaf B : E031201035

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2021
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tulisan inI adalah hasil karya kami, serta semua kutipan dan rujukan telah kami
sebutkan sumbernya dengan benar.

Mariana : E031191067
St. Radiah : E031191046
Tri Indah Utami : E031201024
Junianti Camelia S : E031191054
Nurul Wakiah : E031201002
Andi Annisa Hermansyah : E031191073
Juwita : E031191032
Muh Alief Fahry : E031191014
Harfinah Hamzah : E031201013
Betsina Theodora Hallatu : E031201052
Audy Hidayatullah N : E031201030
M Muflih Ahnaf B : E031201035

Yang Menyatakan

Kelompok 4

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat-Nya yang
selama ini kami dapatkan, yang memberi hikmah dan yang paling bermanfaat bagi
seluruh umat manusia, sehingga oleh karenanya kami dapat menyelesaikan tugas ini
dengan baik dan tepat waktu. Adapun maksud dan tujuan kami menyusun Makalah
ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh Dosen pada mata
kuliah Hubungan antar kelompok dan konflik.

Dalam proses penyusunan tugas ini kami menjumpai berbagai hambatan, namun
berkat dukungan materil dari berbagai pihak, akhirnya kami dapat menyelesaikan
tugas ini dengan cukup baik, oleh karena itu melalui kesempatan ini kami
menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak
terkait yang telah membantu terselesaikannya tugas ini.

Tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan
segala saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat saya harapkan demi
perbaikan pada tugas selanjutnya. Harapan kami semoga tugas ini bermanfaat
khususnya bagi kami penyusun dan bagi pembaca lain pada umumnya.

Makassar, 20 April 2021

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 3
C. Tujuan................................................................................................... 3
D. Manfaat................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 4

A. Pengertian/Konsep Dalam Upaya Membangun Budaya Damai


Dalam Masyarakat Plural..................................................................... 4
B. Upaya Membangun Budaya Damai Dalam Masyarakat Plural............ 5
C. Contoh Kasus Dalam Upaya Membangun Budaya Damai Dalam
Masyarakat Plural................................................................................. 8
BAB III PENUTUP......................................................................................... 10

A. Kesimpulan........................................................................................... 10
B. Saran..................................................................................................... 10
DATAR PUSTAKA........................................................................................ 11

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT dengan berbeda-beda dan
beragam, dari jenis kelamin, suku bangsa, bahasa, hingga agama. Sejatinya keragaman ini
menjadi alat perekat harmonisasi bangunan kebersamaan antar sesama. Namun faktanya,
perbedaan acapkali memicu timbulnya sebuah konflik ketegangan. Padahal kemajemukan
merupakan sunnatullah yang meski terjadi, sebagaimana terjadinya langit dan bumi.
Namun pengingkaran atas kemajemukan berarti juga pembangkangan atas kehendaknya
(Rozi, 2017).
Seiring berubahnya zaman dan majunya perkembangan teknologi, wacana tentang
pluralisme menjadi isu penting yang kerap melahirkan berbagai macam problema baik
dalam pemahamamannya terhadap istilah (pluralisme) serta dampak sosial dan politik
yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta ini. Pemahaman dan
penafsiran yang salah (misunderstanding) tentang pluralisme akan melahirkan dampak
sosial dan politik yang tidak stabil dan sekaligus menggaggu dan mengancam keutuhan
NKRI seperti melahirkan pertikaian antar suku, ras, agama, kepercayaan dan golongan.
Kenyataan bahwa Indonesia adalah bangsa yang memiliki keragaman corak bahasa, suku,
adat-istiadat, budaya, ekonomi, yang sangat beragam merupakan fakta yang tidak bisa
dipungkiri oleh siapapun. Oleh karena itu para founding father Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) pada pertengahan 1940-an yang telah melekat pada lambang Pancasila
yaitu “Bhinneka Tunggal Eka” berbeda-beda tetapi tetap satu juga (Rozi, 2017).
Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk (pluralistic society). Hal ini dapat
dilihat dari realitas sosial yang ada. Masyarakat Indonesia yang plural, dilandasi oleh
berbagai perbedaan, baik horizontal meliputi kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan suku
bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama. Sementara perbedaan yang bersifat vertikal yaitu
menyangkut perbedaan pada lapisan atas dan bawah yang menyangkut bidang politik,
sosial, ekonomi maupun budaya. Senada dengan H.A.R. Tilaar menyatakan bahwa:
masyarakat multikultrural menyimpan banyak kekuatan dari masing-masing kelompok
tetapi juga menyimpang benih-benih perpecahan”yang berasal dari benturan antar budaya,

1
suku, ras, etik, dan nilai-nilai yang berlaku yang pada nantinya menjadi benih dan
menciptakan disintegrasi bangsa Indonesia (Tilar, 2004).
Konflik kekerasan terhadap etnis dan suku pada masa era Orde Baru, misalnya di
daerah Kalimantan Barat yang terjadi pada tahun 1967, 1968, 1977, 1978, 1979, 1983 dan
1993. Menjelang reformasi, konflik berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan)
pada tahun 1996 dan 1997 yang terjadi di Sambas, kasus Sampit, konflik Ambon, konflik
Poso dan konflik yang lainnya merupakan kekerasan yang mulai mengikis keragaman
bangsa Indonesia. Pasca reformasi konflik dan kekerasan kian merebak di Indonesia
(2008) seperti kekerasan atas nama agama—misalnya konflik antara Aliansi Kebangsaan
Untuk Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (AKKBB) dengan ormas Islam dari Front
Pembela Islam (FPI). Konflik kekerasan tersebut membuat bangsa Indonesia di mata dunia
seakan-akan tidak memiliki nilai-nilai kearifan budaya lokal dalam menghargai perbedaan
keyakinan dan agama semakin tidak diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara (Rozi, 2017).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, kami merumuskan masalah dalam makalah ini antara
lain:
1. Apa Pengertian/Konsep Dalam Upaya Membangun Budaya Damai Dalam Masyarakat
Plural?
2. Bagaimana Upaya Membangun Budaya Damai Dalam Masyarakat Plural?
3. Bagaimana Contoh Kasus Dalam Upaya Membangun Budaya Damai Dalam
Masyarakat Plural?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, kami menyimpulkan tujuan dari makalah ini
antara lain:
1. Untuk Mengetahui Pengertian/Konsep Dalam Upaya Membangun Budaya Damai
Dalam Masyarakat Plural.
2. Untuk Mengetahui Upaya Membangun Budaya Damai Dalam Masyarakat Plural.

2
3. Untuk Mengetahui Contoh Kasus Dalam Upaya Membangun Budaya Damai Dalam
Masyarakat Plural.

D. Manfaat
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat positif terhadap pengembangan
wawasan, sekaligus dari hasil penelitian ini diharapakan memberikan motivasi dan
dorongan bagi peneliti lain untuk dimanfaatkan sebagai bahan acuan ataupun
perbandingan dalam melakukan penelitian yang lebih mendalam dan lebih lengkap.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Membangun Budaya Damai dalam Masyarakat Plural


Perdamaian adalah suatu proses : suatu pertarungan multidimensional yang tidak
pernah berakhir dalam usaha untuk mengubah kekerasan baik mereka yang setuju dengan
penggunaan paksaan termasuk kekerasan, maupun mereka yang menganut Anti Kekerasan
sepenuhnya dan sebagian besar pihak lain . Diantara kedua pendapat ini setuju bahwa
perdamaian harus ditegakkan meskipun pemikiran mereka tentang perdamaian yang
sesungguhnya agar berbeda titik perdamaian yang stabil relatif jarang terjadi banyak
masyarakat yang tidak dapat menikmati perdamaian karena faktor-faktor ekonomi, politik
dan, sosial perdamaian sering disamakan dengan kesehatan yang lebih mudah dirasakan
ketika orang sedang tidak sehat seperti halnya kesehatan Semua orang mempunyai akses
terhadap perdamaian namun tidak seperti arti kesehatan arti masyarakat yang Damai masih
diperdebatkan (Simon, 2000).
Banyak orang memahami perdamaian sebagai keadaan tanpa peperangan, tidak adanya
perang tentu saja penting Tetapi keadaan ini hanyalah langkah awal kearah cita-cita yang
lebih sempurna dengan mendefinisikan perdamaian sebagai menjalin hubungan antar
individu, kelompok, dan lembaga yang menghargai keragaman nilai dan mendorong
pengembangan potensi manusia secara utuh (Simon, 2000).
Pluralitas berasal dari kata plurality (Inggris) yang berarti banyak atau beranekaragam.
Nurcholis Majid pluralisme merupakan pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan
keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds). Pluralisme yang ada di
Indonesia merupakan fakta historis yang tak dapat disangkal. Maksudnya, munculnya
istilah pluralisme tidak lepas dari fakta sejarah yang berkembang di Indonesia seperti
adanya perkembangan agama Hindu dan Budha yang cukup kuat adat istiadatnya hingga
bukti-bukti peninggalannya masih tetap utuh sampai sekarang (Muallifin, 2019).
Semenjak zaman penjajahan Belanda sampai Jepang, negara Indonesia telah memiliki
berbagai macam suku, adat istiadat, budaya, dan agama. Namun, dengan adanya
penjajahan ini, telah mempengaruhi kebudayaan di Indonesia dalam hubungannya dengan
pluralisme agama. Ketika bangsa barat menjajah yang awalnya hanya berdagang dan

4
mencari rempah-rempah, telah berkembang dengan misi menyebarkan agama Nasrani.
Dari kemajemukan internal agama bisa menimbulkan perpecahan dan pertentangan. Hal
ini terjadi karena perbedaan prinsip, inklusifisme, dan subyektibvitas kelompok atau
golongan. Hingga muncul gerakan reformasi atau pembaharuan yang menimbulkan rekasi
pro-kontra bahkan konflik yang berkepanjangan dan sulit diredam (Muallifin, 2019).
Pentingnya masalah pluralis dipahami sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat
Indonesia yang pluralis. Diantara masalah yang sedang dihadapi bangsa ini adalah masalah
pluralis di bidang agama, pluralis suku, pluralis ras, budaya, dan lain sebagainya. Beberapa
faktor keberagaman yang muncul terutama dalam hal agama antara lain disebabkan karena
perbedaan sudut pandang dalam pemahaman teks-teks keagamaan, ajaran-ajarannya,
pedoman, serta lambang yang digunakan (Muallifin, 2019).

B. Upaya Membangun Budaya Damai dalam Masyarakat Plural


Dalam analisis dan interpretasi terhadap masyarakat plural di Indonesia, telah
memunculkan berbagai konflik bernuansa agama. Dalam berbagai laporan riset tampak
bahwa agama bukan penyebab utama konflik, namun lebih banyak disebabkan oleh
persoalan-persoalan politik, ekonomi dan sosial (Oliver, 2003) dalam [ CITATION Fai20 \l
1033 ]. Meski demikian, patut diakui bahwa dalam berbagai konflik di Indonesia, agama
sering berada dalam lingkaran tersebut. Biasanya keterlibatan agama dalam konflik itu
lebih banyak berperan sebagai alat mobilisasi dan legitimasi dalam proses terjadinya
konflik, bukan sebagai basis dari konflik itu sendiri. Meskipun ada berbagai paham
keagamaan yang radikal bisa menjadi landasan berkembangnya sebuah konflik sebagai
akibat dari pembacaan “yang salah” terhadap sejarah agama yang dikombinasikan dengan
idealisasi berlebihan terhadap doktrin agama pada masa tertentu [ CITATION Fai20 \l 1033 ].
Belakangan ini, agama dituntut menghadirkan berbagai cara untuk membangun kondisi
damai. Kondisi damai yang dimaksud bisa dibangun dalam situasi apapun termasuk dalam
situasi di mana konflik itu akan terjadi, sedang terjadi atau telah terjadi. Kondisi damai
dibangun atas dasar bahwa dalam kondisi apapun, termasuk dalam kondisi konflik,
manusia selalu terbuka tanpa terkecuali- pada sentuhan cinta kasih dan kebutuhan
perdamaian. Kebutuhan rasa damai telah banyak dijelaskan secara mendalam oleh seorang
antropolog terkemuka yaitu Bronislaw Malinowski, bahwa salah satu kebutuhan dasar

5
manusia adalah rasa damai (Marzali, 2014) dalam [ CITATION Fai20 \l 1033 ]. Lebih lanjut
Malinowski menjelaskan bahwa keberagamaan manusia didasari juga pada kebutuhan rasa
damai ini. Dalam konteks inilah, strategi membangun budaya damai menemukan titik
pijaknya. Berikut adalah upaya membangun budaya damai dalam masyarakat plural yang
telah disusun:
Pertama, reformatif dalam pengelolaan konflik dengan basis kebudayaan. Adanya
konflik mengharuskan hadirnya manajemen konflik, atau pengelolaan konflik, penanganan
konflik, advokasi konflik, facilitating contexts, resolusi konflik dan berbagai cara-cara
lainnya. Celakanya selama ini konflik termasuk konflik keagamaan dilihat sebagai bagian
dari patologi sosial. Dalam makna yang lebih kasar konflik dilihat sebagai “penyakit
sosial” yang hadir dalam kehidupan masyarakat. Asumsi konflik sebagai patologi,
mengharuskan mencarai penyakitnya dan “mengamputasi”-nya sehingga konflik tidak
terjadi lagi (Susan, 2019) dalam [ CITATION Fai20 \l 1033 ]. Maka langkah reformatifnya
adalah dengan meletakkan konflik sebagai proses negosiasi untuk melahirkan pemahaman
baru, pengertian dan penghormatan sebagai hasil dari transformasi yang diperoleh dari
proses terjadinya konflik tersebut [ CITATION Fai20 \l 1033 ].
Dengan pengelolaan yang baik, konflik menjadi awal dari fasilitasi tercapainya
rekonsiliasi atas berbagai kepentingan. Coser sebagaimana dikutip oleh Dean G. Fruitt
mengatakan bahwa konflik dapat mempererat persatuan kelompok atau integrasi sosial
(Dean and Jeffrey, 2009) dalam [ CITATION Fai20 \l 1033 ]. Dasarnya jelas bahwa konflik
jika dikelola dengan baik dengan manajemen konflik, ia akan melahirkan kapasitas pada
perubahan sosial dan rekonsiliasi atas berbagai kepentingan yang ada dalam konflik
tersebut. Tanpa adanya kapasitas perubahan sosial atau rekonsiliasi atas kepentingan
individu yang berbeda, maka transformasi pada solidaritas kelompok tampaknya akan
merosot dengan membawa serta efektivitas kelompok dan kenikmatan pengalaman
kelompoknya sendiri. Hasil akhirnya sering kali berupa disintegrasi kelompok [ CITATION
Fai20 \l 1033 ].
Kedua, membangun budaya nasional reformatif-transformatif yang relevan bagi
kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Budaya adalah jalan hidup yang
ditransmisikan sepanjang waktu, mewujud dalam institusi komunitas, norma dan praktik-
praktik yang diterima dalam masyarakat. Dalam konteks yang demikian dapat dipahami

6
bagaimana kehidupan sosial dioperasikan. Budaya dilihat secara luas dalam world views
yang mempengaruhi tindakan di mana sebuah komunitas sosial menggunakannya secara
langsung sebagai metode untuk membentuk tingkah laku anggota-anggotanya. Dalam
konteks ini budaya dilihat juga sebagai shared rules yang dapat membimbing tingkah laku
anggota-anggotanya sekalipun tidak ada sebuah institusi yang memaksa untuk melakukan
hal tersebut (Marc, 1993) dalam [ CITATION Fai20 \l 1033 ] .Dalam konteks pemahaman
yang demikian, maka budaya dapat disusun untuk membangun sesuatu yang relevan
dengan kebutuhan masyarakat.
Ketiga, reformulasi paham dan interpretasi keagamaan sebagai ujung tombak
pembangunan dan pemeliharaan perdamaian (religious peace building). Agama adalah
realitas paling dekat dalam kehidupan manusia. (Peter L Berger) Agama mampu
menggerakkan manusia karena ia hidup di bagian terdalam dari manusia. Kata Berger
agama berperan sebagai the secret canopy (Kevin, 2020) dalam [ CITATION Fai20 \l 1033 ].
Karena itu pemahaman manusia terhadap agamanya berpengaruh pada tindakan manusia
karena agama juga berperan sebagai instrumen pengetahuan manusia yang dijadikan
sebagai pedoman atau penginterpretasi keseluruhan tindakan manusia itu sendiri. Selama
ini, agama yang mempengaruhi tindakan manusia tampak masih bersifat teosentris atau
pemahaman manusia pada agamanya yang berpusat pada Tuhan semata. Hal ini
memerlukan reform dan interpretasi agama yang juga bersifat antroposentris, yaitu
pemahaman keagamaan yang berpusat pada manusia [ CITATION Fai20 \l 1033 ].
Langkah-langkah di atas tentu bersifat makro dan bercorak pardigmatik yang
membutuhkan koreksi dan penyempurnaan untuk mentransformasikan konflik menjadi
potensi kreativitas bagi pembangunan dan pemeliharaan budaya damai. Memang tidak
mudah langkah-langkah tersebut di atas untuk dilakukan, namun tetap harus diusahakan.
Karena itu, sebagaimana penulis kemukakan di atas bahwa perjuangan untuk membangun
dan memelihara budaya damai adalah perjuangan sepanjang masa dan seumur hidup. Ia
tidak hadir hanya ketika konflik itu melanda dan hadir dalam kehidupan manusia namun
usaha membangun damai itu harus selalu hadir dalam setiap helaan napas manusia.
Seluruh elemen dalam masyarakat memiliki peran dalam setiap langkah upaya ini,
termasuk pemimpin agama dan pengikut agama itu sendiri. Mengutip pendapat Alim
Ruswantoro bahwa kekuatan-kekuatan dari luar seperti dari institusi-institusi politik

7
memang penting, tetapi ini akan rapuh kalau tidak ada kesadaran dari dalam masyarakat
beragama itu sendiri (Roswantoro, 2013) dalam (Faiz, 2020).

C. Contoh Kasus : Budaya Kalosara Sebagai Upaya Membangun Budaya Damai di


Sulawesi Tenggara
Kearifan lokal bisa menjadi kendaraan yang Sinergi tujuan modernisasi dengan
pelestarian keunggulan lokal. Bagi Masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya Masyarakat
Tolaki yang memiliki kearifan lokal dalam bentuk kalosara yang berfungsi sebagai media
dalam etnopedagogi.
Etnopedagogi didefinisikan sebagai model pembelajaran lintas-budaya. Etnopedagogi
terkait erat dengan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural memuat perangkat
kepercayaan yang memandang penting kearifan lokal dan keberagaman yang dimiliki
komunitas etnis untuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, dan
kelompok sosial maupun negara. Ketika etnopedagogi memandang pengetahuan atau
kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan, dilanjutkan dengan pendidikan
multicultural yang memberdayakan inovasi dan keterampilan itu agar dapat
menyumbangkan masukan positif bagi kelompok sosial lain dan budaya nasional.
Beberapa penelitian terkait dengan penelitian ini, seperti Hasil penelitian Taena (2016)
menyimpulkan bahwa pendidikan karakter terintegrasi dalam pod seni budaya yang
berbasis budaya lokal sangat diterapkan di sekolah. Makna yang muncul dalam tekas
kabantikantola mengandung nasehat, kritik membangun, membingbing dan mengarahkan
karakter masyarakat untuk menjadi baik dan positif berdasarkan sudut pandang
masyarakatnya

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari makalah ini dapat kami simpulkan bahwa pluralisme keadaan masyarakat yang
majemuk baik secara budaya, agama, bahasa, politik, dan sebagainya, berbagai
kebudayaan yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat.
Upaya Membangun Budaya Damai dalam Masyarakat Plural:
 Pertama, reformatif dalam pengelolaan konflik dengan basis kebudayaan.
 Kedua, membangun budaya nasional reformatif-transformatif yang relevan bagi
kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman.
 Ketiga, reformulasi paham dan interpretasi keagamaan sebagai ujung tombak
pembangunan dan pemeliharaan perdamaian (religious peace building).

B. Saran
Sebagai penutup, kami ingin memberikan saran, agar dapat dijadikan bahan
pertimbangan bagi peningkatan kualitas penelitian selanjutnya. Saran tersebut adalah
sebagai berikut:
Makalah ini membahas secara sederhana mengenai konsep pluralisme dan upaya
membangun budaya damai dalam masyarakat plural, sehingga masih membutuhkan
koreksi tambahan untuk menambah wawasan penulis tentang pluralisme.

9
DAFTAR PUSTAKA

Faiz, A. A. (2020). Transformasi Konflik Bernuansa Agama dan Strategi Reformatif Pada
Pembangunan Budaya Damai di Indonesia. Jurnal llmiah Sosiologi Agama dan
Perubahan Sosial , 188-192.

Muallifin, M. F. (2019). Islam dan Budaya Local (Pluralisme Agama dan Budaya di
Indonesia. Jurnal Pendidkan Madrasah Ibtidaiyah 2(1) : 64-68.

Rozi, M. F. (2017). Pluralisme dan Multikulturalisme dalam Membangun Masyarakat Madani;


Kajian Paradigmatik. Jurnal Al-Ibrah 2(2).

Simon, F. E. (2000). Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak (Edisi
Bahasa Indonesia). Jakarta: The British Council, Indonesia.

Suardika, I. K. (2017). Kalosara Di Kalangan Masyarakat Tolaki Di Sulawesi

Tenggara. Mudral Jurnal Seni Budaya, 32(2).

Tilar, H. A. R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam


Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.

10

Anda mungkin juga menyukai