Anda di halaman 1dari 78

BAB XII

KEBIJAKSANAAN REDISTRIBUSI PENDUDUK DI INDONESIA DAN PENGIRIMAN


TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI
BAB XII
12.1 PENDAHULUAN
Hingga akhir tahun 2000 terdapat beberapa masalah penduduk di Indonesia antara lain
adalah sebagai berikut:
1. Jumlah penduduk yang besar (tahun 2000 berjumlah 203,5 juta jiwa).
2. Persebaran penduduk yang tidak merata. Sekitar 60 persen penduduk Indonesia
berdomisili di Pulau Jawa yang luas wilayahnya sekitar 6,9 persen dari luas wilayah
seluruh daratan Indonesia ( Tabel 12.1).
3. Presentasr yang bekerja pada sector pertanian masih tinggi (sekitar 60 persen jumlah
angkatan kerja) di lain pihak luas lahan pertanian semakin berkurang karena
dipergunakan untuk kepentingan non pertanian.
4. Jumlah penganggur terbuka tinggi dan kualitas tenaga kerja baik fisik maupun non fisik
masih rendah.
5. Dalam Bab XII akan disoroti masalah ketimpangan penyebaran penduduk di Indonesia
dan kebijaksanaan pemerintah untuk mengatasinya. Di samping itu akan disoroti
pengiriman TKI ke luar negeri sebagai usaha untuk meningkatkan ekonomi rumah
tangga penduduk dan menekan pengangguran terbuka.
Tabel 112.1
Luas dan Presentase Penduduk dari Beberapa Pulau di Indonesia Tahun 1930-2005
Pulau Luas% 1930% 1961% 1971% 1980% 1990% 2000%
Jawadan Madura 6,9 68,7 65,0 63,8 61,9 59,9 57,9
Sumatra 24,7 13,5 16,2 17,5 19,0 20,3 21,4
Kalimantan 28,1 3,6 4,2 4,4 4,5 5,1 5,6
Sulawesi 9,9 6,9 7,3 7,1 7,1 7,0 7,2
Pulau-pulau yang 30,4 7,3 7,3 7,2 7,5 7,7 7,9
lain
Indonesia% 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
N 1,9 60,7 97,0 119,2 147,5 179,1 203,6
(Km2) (juta) (juta) (juta) (juta) (juta) (juta)
Sumber: Biro Biro Statistik, 1982,1991, 1998, dan 2001a
12.2PROGRAM REDISTRIBUSI PENDUDUK
Persebaran penduduk yang tidak merata menimbulkan beberapa masalah, diantaranya
kelebihan penduduk di Pulau Jawad an Madura yang terwujud dalam sulitnya angkatan
kerja mendapatkan pekerjaan, pendapatan penduduk yang rendah dan angka pengangguran
meningkat. di luar Jawa banyak sumber daya alam yang belum sempat dijamah oleh
manusia. Menurut Yudohusodo (1998) di Pulau Jawa proses pemiskinan terjadi karena
terlalu padatnya penduduk. Sebaliknya, di luar Pulau Jawa pemiskinan disebabkan
kekurangan penduduk.
Desa-desa di luar Pulau Jawa berpenduduk sangat sedikit dan lokasinya terpencil
sehingga jika dibangun sekolah akan kekurangan murid; jika dibangun jalan atau dipasang
jaringan listrik, biayanya sangat mahal dan tidak efisien; jika dibagun pasar, barang yang
diperjualbelikan sedikit. Akibatnya, desa-desa itu tetap tertinggal.
Memperhatikan keadaan tersebut di atas, Pelzer (1945) mengusulkan pemecahan
penduduk ini dengan memindahkan sebagian penduduk dari Jawa ke luar Jawa.
Gejala kelebihan pendududk di Pulau Jawad an Madura, dan kekurangan penduduk di
luar Pulau Jawa telah disadari pemerintah Hindia Belanda, dan kesadaran tersebut
dipengaruhi oleh tulisan C. Th. Van Deventer yang berjudul Een Ereschuld Oe Gids yang
terbit pada tahun 1899. Tulisan tersebut membeberkan kemiskinan di Pulau Jawa serta
kaitannya dengan Cultur Stelsel dna pelaksanaan kerja paksa oleh pemerintah Belanda.
Dalam tulisan itu Van Deventer menghimbau agar pemerintahan belanda melakukan
upaya-upaya yang dapat membantu memperbaiki kehidupan rakyat di Pulau Jawa (Mantra
dan Nasrudin Harahap, 2000).
Tergugah oleh pernyataan tersebut, pemerintah colonial Belanda menyiapkan satu
program yang dapat membantu memperbaiki kehidupan rakyat jajahan dan meminta Van
Deventer ikut memberikan saran. Program-program yang merupakan bagian dari politik
balas budi ini meliputi program: irigasi, edukasi, dan kolonialisasi.
Khusus untuk program kolonialisasi ini, pemerintah Hindia Belanda menugaskan H.G.
heyting, seorang asisten residen untuk mempelajari kemungkinan pemindahan beberapa
penduduk Pulau Jawa ke daerah-daerah yang lain yang jarang penduduknya, yang dianggap
potensialbagi pengmbangan usaha pertania. Pada tahun 1903 Heyting menyarankan agar
pemerintahan Belanda membangun desa-desa baru di luar Pulau Jawa dengan jumlah
penduduk rata-rata sekitar 500 KK setiap desa disertai dengan bantuan ekonomi
secukupnya agar desa-desa tersebut dapat berkembang serta memiliki daya Tarik bagi
pendatang-pendatang baru (Yudohusodo, 1998).
12.2.1 Dari Kolonialisasi ke Transmigrasi
Program kolonialisasi dimulai tahun 1905 dengan mengirimkan sejumlah 155
KK (815 jiwa) yang berasal dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen, dan Purworejo
(waktu itu termasuk daerah Karesidenan Kedu Jawa Tengah) ke Gedong Tataan, sekitar
25 km barat Tanjung Karang. Daerah inilah merupakan daerah kolonisasi yang pertama.
Sebelum penetapandaerah ini sebagai daerah permukiman kolonisasi, lebih dahulu
diadakan penelitian atas beberapa daerah di Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, dan
Palembang; akhirnya pilihan jatuh pada daerah Gedong Tataan. Pada tahun-tahun
selanjutnya hingga tahun 1942 dibangun daerah-daerah kolonisasi di luar Pulau Jawa.
Adapun tujuan dari program kolonisasi ini ialah untuk memperbaiki
kesejahteraan rakyat dengan cara mengurangi kepadatan dan kelebihan penduduk di
Pulau Jawa sebab akar kemiskinan berada di Jawa karena factor kelebihan penduduk.
Maka dari itu, dengan program kolonisasi pemerintah berusaha memindahkan
penduduk sebanyak-banyaknya dari Pulau Jawa.
Pada tahun 1922 sebuah permukiman yang lebih besar yang diberi nama
Wonosobo didirikan di dekat Kota Agung di Lampung Selatan. Di Samping itu
didirikan pula beberapa permukiman besar dekat Sukadana di Lampung Tengah,
sedangkan permukiman-permukiman yang lebih kecil didirikan di Sumatera Selatan,
Bengkulu, Kalimantan dan Sulawesi. Pada akhir tahun 1941 telah ada 173.959 orang
yang tinggal dalam proyek-proyek kolonisasi di Lampung (termasuk orang yang
dilahirkan di desa-desa baru ini), dan telah ada leb ih dari 56.000 orang di proyek
kolonisasi di daerah lain (Pelzer, 1946).
Setelah perang dunia ke II usaha pemindahan penduduk oleh pemerintah
Republik Indonesia dimulai dengan mendirikan Jawatan Transmigrasi* dalam tahun
1947 yang merupakan bagian dari Kementrian Sosial, kemidian menjadi bagian
Kementrian Pembangunan dan Pemuda pada tahun 1948, kemudian dipindahkan dalam
Kementrian Dalam Negeri. baru setelah terbentuk Negara Kesatuan dalam tahun 1950
Jawatan Transmigrasi yang merupakan bagian dari Kementrian Sosial mulai dengan
memindahkan penduduk dari Jawa ke luar Jawa. Adapun tujuan dari program
transmigrasi adalah:
“…mempertinggi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan jalan
mengadakan pemindahan penduduk dari suatu daerah (tempat) ke daerah (tempat) yang
lainnya, yang ditujukan kea rah pembangunan perekonomian dalam segala lapangan…”
(Keyfitz, et.al, 1964)
Jadi transmigrasinya merupakan salah satu usaha untuk mengatasi kemiskinan
di Jawa. Tujuan transmigrasi seperti di atas berlaku hingga tahun 1960-an (Oey,1980).
Pemerintah mengharapkan bahwa di masa mendatang proses perpindahan
penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain dapat terjadi dengan sendirinya tanpa ada
bantuan dari pemerintah atau pihak lain. Jadi penyelenggaraan transmgrasi harus lebih
mengutamakan swadaya masyarakat. Sejak Pelita III dan IV dari seluruh transmigran
yang dikirim, prosentase jumlah transmigran swakarsa meningkat, sedangkan
transmigrasi umum meningkat. sebagai contoh pada Pelita V transmigran yang
direncanakan untuk dipindahkan sebesar 550.000 KK, dari sejumlah dipindahkan hanya
sebesar 257.313 orang (1,3 persen dari jumlah pertumbuhan pendudu). Untuk periode
1961-1985, presentase penduduk yang dapat dipindahkandari Pulau Jawad dan Bali
meningkat menjadi 8,2 persen dari jumlah pertumbuhan penduduk di kedua pulau
tersebut. Jadi walaupun terjadi peningkatan presentase ini disebabkan oleh
meningkatnya pengiriman transmigrasi pada Pelita III.
Memperhatikan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dari segi
demografis jumlah transmigran yang berhasil dipindahkan tidak banyak berarti bagi
daerah pengirim. Paradigma lama yang menyatakanbahwa program transmigrasi akan
dapat mengurangi tekanan dan kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan Madura ternyata
tidak berlaku.
Kalau dari daerah pengirim , terutama Pulau Jawa, jumlah transmigran yang
mampu dipindahkan tidak begitu berarti dibandingkan dengan jumlah pertumbuhannya,
bagaimana dengan daerah penerima? Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul: “
Indonesia, The Transmigration Program in Perspective” memuat data tentang
transmigran umum di masing-masing propinsi penerima pada periode tahun 1971-1980
dan tahun 1980-1985 seperti pada Tabel I 12.3
Dari Tabel 12.3 terlihat bahwa pada periode tahun 1971-1980, sekitar 65 persen
transmigran umum menuju ke Sumatera Selatan dan Lampung. Pada periode tersebut
memang Sumatera merupakan daerah tujuan utama bagi pengiriman transmigrasi. Hal
ini disebabkan karena beberapa factor, yaitu: dekat dengan daerah pengirim utama
(Pulau Jawa), daya tamping luas, prasarana transport yang baik. Pada periode tersebut
sebesar 32,2 persen dikirim ke Sulawesi (terutama Sulawesi Tengah) dan Kalimantan
(terutama Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur). Untuk propinsi Maluku dan Irian
Jaya (Papua) persentasenya sangat kecil yaitu masing-masing hanya 0,005 dan 1,4
persen.
Sesudah tahun 1980-an pengiriman transmigran umum terutama diarahkan ke
Indonesia bagian Timur. Propinsi-propinsi yang dijadikan daerah permukiman
transmigrasi dewasa ini adalah: Daerah Iastimewa Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas,
pada periode tahun 1980-1985: persentase transmigran yang menuju ke Sumatera
menurun, sedangkan yang menuju ke Kalimantan, Maluku, dan Irian Jaya meningkat.
Tabel 12.3 juga memuat persentase transmigran berdasarkan jumlah dari
masing-masing propinsi penerima. Pada tahun 1980 jumlah transmigran di masing-
masing propinsi penerima sangat rendah, umumnya kurang dari 4 persen kecuali
propinsi Jambi dan Bengkulu yang besarnya masing-masing 7 dan 5 persen. Pada tahun
1985 angka-angka tersebut meningkat, misalnya untuk propinsi Jambi, dan Sulawesi
Tenggara presentase transmigran masing-masing besarnya 12 persen dari jumlah
penduduknya. Propinsi Bengkulu dan Kalimantan Tengah masing-masing besarnya 11
persen dan Sumatera Selatan 10 persen. Beberapa propinsi penerima dengan kepadatan
penduduk tinggi, presentase transmigrannya rendah, misalnya Sumatera Utara dengan
kepadatan penduduk sebesar 133 orang/Km2, presentase transmigran adalah 0, begitu
juga untuk Sulawesi Utara, angka kepadata penduduknya sebesar 122 orang/Km2
persentase transmigran umum besarnya 1 persen. Menurut laporan Bank Dunia tersebut,
pada Pelita III sewjumlah 9 dari 19 propinsi penerima, jumlah transmigran yang dating
lebih dua kali lipat. Jumlah transmigran di masing-masing propinsi kurang dari 12
persen dari jumlah penduduknya. Jadi untuk propinsi penerima, jumlah transmigran
yang dating dari segi demografis juga tidak banyak artinya.

Tabel 12.3
Transmigrasi Umum di Propinsi Penerima, 1971-1980 dan1980-1985
Propinsi Jumlah Transmigran Umum Presentase Transmigran dari
(000) Jumlah Penduduk
Daerah Istimewa 1971-1980 1980-1985 1980 1985
Aceh 9,6 61,0 0 2
Sumatera Utara 1,8 37,1 0 0
Sumatera Barat 34,8 23,2 1 2
Riau 29,3 177,9 1 8
Jambi 96,0 107,8 7 12
Bengkulu 41,7 61,1 5 11
Sumatera Selatan 141,3 379,0 3 10
Lampung 133,3 188,9 3 5

SUMATERA 487,8 1.035,3 2 3


(65,6%) (59,0%)
Kalimantan Barat 23,7 131,9 1 6
Kalimantan 9,4 109,8 1 11
Tengah
Kalimantan 41,0 91,4 2 6
Selatan
Kalimantan 29,6 55,5 2 5
Timur
KALIMANTAN 103,7 388,6 1 3
(13,9%) (12,1%)
Sulawesi Utara 11,2 18,8 1 1
Sulawesi Tengah 51,5 75,5 4 8
Sulawesi Selatan 36,5 25,0 4 8
Sulawesi 37,9 92,1 4 12
Tenggara
SULAWESI 131,1 211,4 1 3
(18,4%) (12,1%)
Maluku 4,3 (0,005%) 35,1 (2%) 0 2
Irian Jaya 10,6 (1,4%) 75,6 (2%) 1 6
Lain-lain TT 7,0 TT TT
JUMLAH 743,5 (100%) 1.753,9 1 4
(100%)
TT= tidak ada data
Sumber: The World Bank (1998)
Walaupun dampak demografis program transmigrasi sangat kecil baik bagi
daerah pengirim maupun daerah penerima, tetapi program ini dapat meransang
transmigrasi swakarsa. Sebenarnya jumlah transmigran yang dikirm tidak perlu terlalu
besar, asalkan mereka yang dikirim mempunyai jiwa pionir dengan motivasi tinggi.
Keberhasilan mereka didaerah tujuan menghasilkan kekuatan sentripetal tinggi yang
dapat menarik penduduk di daerah basal untuk bermigrasi ke daerah tersebut. Para
transmigran akan mengabarkan keberhasilan mereka kepada sanak saudara dan
masyarakat di daerah asal. Transmigran pionir ini memegang peranan yang sangat
penting dalam usaha meningkatkan humlah transmigran swakarsa.
Sebagai contoh propinsi Lampung merupakan propinsi tertutup untuk
transmigrasi umum, tetapi hingga kini migran swakarsa tetap mengalir ke propinsi ini
melalui system migrasi berantai.
Mabogunje (1970) melihat bahwa kontribus9 dari migran terdahulu di daerah
tujuan sangat besar dalam membantu transmigran swakarsa baru yang berasal dari
daerah yang sam dengan mereka. Bantuan ini terutama diberikan pada tahap-tahap awal
dari mekanisme penyesuaian diri di daerah tujuan. Para transmigran baru tidak hanya
sekedar ditampung di rumah transmigran lama, tetapi dicukupi kebutuhan makannya,
dan dibantu untuk membeli lahan sesuai dengan kemampuan dan relasi yang dimiliki.
Jadi keberhasilan transmigrasi umum di daerah tujuan akan disusul oleh kedatangan
transmigran swakarsa sehingga secara keseluruhan jumlah transmigran menjadi besar.
12.2.2 Harapan dan Realitas
Ada kesamaan tujuan kolonisasi dan program transmigrasi dalam hal
mengurangi penderitaan rakyat dengan cara memindahkan mereka ke lur Jawa yang
masih jarang penduduknya. Perbedaan pokok tujuan pelaksanaan transmigrasi dengan
kolonisasi adalah penempatan program transmigrasi itu merupakan bagian dari system
pembangunan perekonomian nasional. Akan tetapi, ketika rumusan tujuan di atas
dijabarkan dalam bentuk program konkret telah tampak deviasi sehingga mengaburkan
makna perbedaab antara program transmigrasi dan kolonisasi. Rencana Ir. A.H.O.
Tambunan, Kepala Jawatan Transmigrasi pertama RI, untuk memindahkan 48 juta lebih
penduduk Jawa dalam waktu 35 tahun sehingga tahun 1987 penduduk Jawa menjadi 35
juta jiwa sangat tidak realistis sehingga program ini sepertinya berada di luar system
pembangunan perekonomian nasional.
Beberapa program lain yang ada hubungannya dengan ketransmigrasian selalu
berisi target jumlah penduduk yang dipindahkan keluar Jawa. Hal ini menegaskan
bahwa orientasi demografi sejak awal kuat dalam pelaksanaan transmigrasi. Bukan pada
upaya penyejahteraan rakyat sebagai bagian dari tujuan pembangunan perekonomian
nasional sebagaimana dikonsepsikan dari awal.
Inkonstensi tujuan pelaksanaan transmigrasi ini tidak lepas dari berbagai faktor
politik, ekonomi, social, budaya, dan hankam yang actual pada berbagai penggalan
masa. Hal ini bahkan tidak jarang membuat pelaksanaan transmigrasi bertujuan sangat
teknik, sebagai suatu solusi dari suatu permasalahan tertentu.
Inkonsistensi ini digambarkan Ramadhan K.K et.al . (1993) dalam kaitannya
dengan system pelembagaan transmigrasi yang terus berubah. Karena perubahan itu
terlalu sering dalam kurun waktu pendek, kesan inskonsistensikarena tekanan dari
factor-faktor pleksobudhankam yang objektif dan actual tidak terhindari. Maka dari itu,
ada masanya transmigrasi dilihat sebagai bagian dari permasalahan social sehingga
ditempatkan di bawah Kementrian Sosial (1950-1957). Tujuan pelaksanaannya pun
dalam realitas (das sein) lebih merupakan suatu perpecahan masalah social. Ada
masanya ia dilihat sebagai bagian dari upaya pengembangan ekonomi (koperasi),
khususnya di pedesaan (1957-1966;1968-1973), atau sebagai bagian dari
ketenagakerjaan (1973-1983).
Sepanjang semua program berorientasi pada pembangunan perekonomian
nasional yang berimplikasi peningkatan kesejahteraan rakyat maka program tersebut
tetap sejalan atau konsisten dengan tujuan konsepsional dari transmigrasi yang
dirumuskan sejakawal. Yang banyakterjadi adalah tujuan-tujuan praktis untuk
pemecahan masalah actual dengan cara memindahkan sejumlah manusia. Subroto
(1972) menggambarkan bahwa transmigrasi sebelumnya hanya menekankan pada aspek
social dan kurang memperhatikan aspek ekonominya sehinggatransmigrasi
memberikan kesan pemindahan orang-orang miskin dari Jawa ke daerah lain.
Pada awal pemerintahan Orde Baru tampak adanya upaya reorientasi
pelaksanaan transmigrasi. Pada rencana Pembangunan Lima Tahun (1969-1973)
disebutkan bahwa masalah transmigrasi berada pada dua sisi, yaitu sebagai masalah
persebaran penduduk dan pemenuhan kebutuhan tenaga kerja untuk pembangunan,
yang keduanya saling berkaitan. Program transmigrasi akan dikaitkan dengan proyek-
proyek pembangunan di luar Jawa sehingga ia akan berperan penting sebagai unsur
penunjang pembangunan proyek-proyek tersebut.
Dengan reorientasi ini, sudah tentu dibutuhkan karakter dan kualitas transmigran
yang bervariasi sesuai denganjenis proyek pembangunan di berbagai daerah di luar
jawa. Dalam kenyataan, seperti diungkapkan Singarimbum (dalam Heeren. 1979), tidak
terlihat adanya perbedaan yang nyata dalam kualitas transmigran yang diberangkatkan.
Umunya tingkat pendidikan mereka rendah dan tidak mempunyai keterampilan di
bidang nonpertanian, seperti halnya para transmigran sebelumnya. Akan tetapi, secara
kuantitatif target yang direncanakan relative tercapai karena sepanjang 5 tahun tersebut
telahdipindahkan sebanyak 180.749 jiwa atau sekitar 39.436 keluarga ke luar Jawa.
Pada tahun 1972 reorientasi dipertegas lagi dalam rumusan yang lebih
konsepsional dalam undang-undang,yaitu undang-undang R.I. No. 3 Tahun 1972
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi. Dalam penjelasan umumundang-
undang tersebut dinyatakan bahwa tujuan utama dari pelaksanaan transmigrasi bukanlah
untuk mencapai penyebaran penduduk yang lebih seimbang dan merata, melainkan
untuk melaksanakan pembangunan proyek-proyek yang dipandang perlu untuk
meningkatkan produksi nasional. Dengan demikian, usaha pengiriman transmigran
adalah untuk menunjang kegiatan pembangunan daerah melalui proyek-proyek
pembangunan yang memerlukan tenaga kerja. Karena proyek-proyek pembangunan itu
bersifat simultan di segala bidang kegiatan, transmigrasi berarti penyebaran dan
penyediaan tenaga kerja dengan berbagai jenis ketrampilan untuk perluasan produksi di
daerah-daerah maupun pembukaan lapangankerja baru (Kanwil Departemen
Transmigrasi Propinsi jawa Tengah, 1974).
Jadi, secara ekspilisit diulangi lagi apa yang ada pada tahun 1952 dan 1953 telah
dirumuskan bahwa pelaksanaan transmigrasi berorientasi pada pembangunan
perekonomian nasional yang berimpilikasi peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan
pada orientasi demografi. Pada U.U. No.3 Tahun 1972 rumusan tujuan dan landasan
kebijakan transmograsi itu lebih lengkap. Tujuan pada pasal 2 diuraikan bahwa secara
umum sasaran kebijakan transmigrasi itu adalah terlaksananya transmigrasi swakarsa
yang teratur dalam jumlah yang sebesar-bearnya untuk tercapainya a) peningkatan taraf
hidup, b) pembangunan daerah, c) keseimbangan persebaran penduduk, d)
pembangunan merata di seluruh Indonesia, e) pemanfaatan sumber-sumber alam dan
tenaga manusia, f) kesatuandan persatuan bangsa, dan g) memperkuat pertahanan dan
keamanan nasional. Dari uraian tentang tujuan ini dapat disimpulkan bahwa program
transmgrasi yang akan digencarkan itu tetap berorientasi pada pembangunan
perekonomian nasional yang berimplikasi social, politik, budaya, dan hankam.
Bagaimana rumusan-rumusan konsepsional itu digelindingkan dalam rangka
realitas, starget sebab jarang target jumlah penduduk yang akan dipindahkan ama seperti
pada masa pemerintahan Hindia Belanda, selalu saja ada jarak atas so/ en dengan das
sein. Di samping komentar Singarimbun di atas, berbagai studi penelitian menunjukkan
bahwa pelaksanaan program transmigrasi tetap saja berorientasi demografi daripada
orientasi pembangunan. Pelita demi pelita dari masa pemerintahan Orde Baru selalu
berisi patokan target yang akan dipindahkan, dan menjadi acuan jajaran lemabaga
transmigrasi dalam bekerja (Harahap,1986). Secara umum, pelaksanaaan transmigrasi
disebut berhasil jika selalu dengan indicator proporsi pencapaian target sebab tidak
jarang target jumlah penduduk yang akan dipindahkan itu bahkan terlampaui.
Namun, secara kualitatif dapat dipertanyakan seberapa besar konstribusi
transmigrasi terhadap pembangunan di daerah-daerah transmigrasi, yang membutuhkan
tambahan tenaga kerja dari berbagai jenis keterampilan. Pelaksanaan transmigrasi yang
berorientasi pada target, seleksi terhadap calon transmigran hamper nihil karena animo
masyarakat terhadap transmigrasi pun tidak selalu besar.
Jangankan untuk menyeleksi, memilih kualitas transmigran yang bagaimana
harus dikirim ke daerah transmigrasi yang mana (sesuai dengan kegiatan pembangunan
yang sedang berlangsung di sana) karena dikejar-kejar pemenuhan target, tidak jarang
yang terjadi malah “perburuan calon transmigran” ke desa-desa (Mantra dan Harahap,
1996).
Pada tahun 1997, keluar Undang-Undang No.15 Tahun 1997 sebagai pengganti
U.U. No.3 Tahun 1972. Tujuan transmigrasi disebut sebagai upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya, meningkatkan dan meratakan
pembangunan daerah, serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Rumusan
baru ini pun tetap konsisten pada pelaksanaan transmigrasi yang berorientasi pada
pembangunan dan kesejahteraan rakyat, serta kepedulian kuat pada perwujudan
integrasi penduduk di daerah-daerah transmigrasi. Namun, bagaimana realisasinya
perlu dicermati secara kritis karena seperti diucapkan Mubyarto (1998), masalah besar
yang kerap dihadapi pembangunan di Indonesia bukanlah pada konsepnya tetapi pada
pelaksanaan di Lapangan. Kebijakan “pembangunanisme” menyebabkan penghargaan
kepada proses berkurang karena sasaran utama adalah hasil sebagai realisasi dari target
yang seringkali tidak realistis.
12.2.3 Reorientasi pada Pembangunan Daerah
Dapat dilihat bahwa kebijakan kependudukan dalam bentuk kolonisasi atau
transmigrasi dariwaktu ke waktu sesungguhnya dimaksudkan untuk memperbaiki
kesejahteraan penduduk, sekalipun tidak jarang menimbulkan hal-hal negative sebagai
akibat dari disorientasi dalam pelaksanaan. Upaya mengurangi berbagai masalah dalam
pelaksanaan transmigrasi adalah dengan menghindari disorientasi dari tujuan yang
sebenarnya telah dirumuskan secara cermat. Hal ini dapat dimulai dengan rumusan
program aksi yang konsisten dengan tujuan konsepsional itu.
Rumusan program aksi yang detil dan konsisten ini diharapkan mampu
mengendalikan potensi-potensi disorientasi seperti ambisi subjektif yang bersifat
personal atau institusional, budaya kerja menerabas yang kurang suka pada tantangan.
Secara umum program transmigrasimemang berdampak luas terhadap
pembangunan, baik dilihat dari tata ruang wilayah melalui pembukaan wilayah
terisolasi serta pemanfaatan ruang wilayah, maupun dalam bentuk pembangunan
ekonomi wilayah (Yudohusodo,1998). Akan tetapi, mengacu pada UU No.15 Tahun
1997, pembangunan harus mampu meningkatkan kesejahteraan transmigran dan
penduduk setempat serta mengikat persatuan yang kukuh di antara kedua kelompok
penduduk tersebut. Jadi, orientasi pembangunan dari pelaksanaan transmigrasi itu lebih
spesifik karena perhatian, khususnya terhadap dua kelompok penduduk di daerah
transmigrasi. Kesadaran akan spesifikasi ini perlu sehingga semua pihak terkait
mepunyai visi dan bahasa yang sama bahwa program transmigrasi tidak hanya soal
urusan transmigran, tetapi juga urusan penduduk setempat di daerah transmigrasi yang
harus ditangai secara terpadu.
Banyak permasalahn dalam pelaksanaan transmigrasi yangbersumber dari
lemahnya kesadaran terhadap spesifikasi orientasi pembangunannya, seperti timbulnya
ketidakpuasan atau kecemburuan di kalangan penduduk setempat.
Keresahan dan konfilk yang menyebabkan berbagai usaha ekonomi tidak bia
berlangsung produktif di berbagai daerah transmigrasi terjadi. Hal ini bukan saja
menyebabkan tujuan peningkatan kesejahteraan penduduk tidak tercapai, tetapi juga
telah menyebarkan keresahan dan pertentangan antarkelompok penduduk yang bisa
menggerogoti persatuan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, keadaran tersebut perlu
dipertegas dan disosialisasikan, yang implementasinya diperlihatkan dalam program-
program aksi di lapangan. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan tentang adanya
keterbatasan sumber daya alam dan daya tamping social berbagai daerah transmigrasi,
serta seleksi calon transmigran yang lebih proposional (Mantra dan Nasrudin
harahap,2000).
12.2.1.6 penutup
Transmigrasi merupakan fase pembangunan bidang kependududkan yang
berakar jauh ke amsa pemerintahan colonial Belanda yang dilakukan samapai kini
Sejarah panjang memperlihatkan makna dan tujuannya terus bergeser sejalan
dengan perubahan situasi, sekalipun tujuan konsepsionalnya realtif sama. Secara das so
/en tujuan pelaksanaan transmigrasi tetap berorientasi pada pembangunan dan
kesejahteraan rakyat, tetapi secara das sein berorientasi demografi atau upaya
redistribusi penduduk.
Sejak masa pemerintahan Orde Baru, munsul reorientasi pelaksanaan
transmigrasi yang mengombinasikan tujuan-tujuan peningkatan kesejahteraan rakyat,
pembangunan aerah, dan integrase penduduk secara sinergis. Namun,
pelaksanaannyasbelum bisa meninggalkan orientasi demografisnya sehingga
mengundang banyak amsalah dan pertanyaan tetang kontribusi transmigrasi terhadap
tujuan-tujuan konsepsionalnya.
Memasuki era reformasi, yang antara lain berkarakter desentralisasi
pemerintahan, ksususnya setalah keluarnya Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 1999
tentang otonomi daerah, maka pelaksanaan transmigrasi memerlukan semangat baru
yang lebih berorientasi pada pembangunan daerah transmigrasi, sebagaimana pula telah
dirumuskan pada UU No.15 Tahun 1997.
Reorientasi ini membutuhkan konsistensi dan informasi yang valid tentang
sumber daya serta daya tamping social dari tiap daerah transmigrasi. Di sissi lain, seleksi
calon transmigran di daerah asal harus dilakukan lebih proposional untuk mendapatkan
calon yang betul-betul relevan bagi pembangunan daerah transmigrasi. Dengan cara ini
pelaksanaan transmigrasi diharapkan lebih berhasil secara kualitatif, yang implikasi
kualitatif mereka mengiringi. Kaum transmigran yang betul-betul berhasil pasti
merupakan magnit yang menarik banyak migran potensial dari Jawa, Bali, atau
Lombok.
12.3PENGIRIMAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI
12.3.1 Pendahuluan
Telah ditemukan oleh berbagai kalangan, masalah ketenagakerjaan nisasi atau transmigrasi dari
waktu ke waktu sesungguhnya dimaksudkan untuk memperbaiki kesejahteraan penduduk,
sekalipun tidak jarang menimbulkan hal-hal yang negatif sebagai akibat dari disorientasi dalam
pelaksanaan. Upaya mengurangi berbagai masalah dalam pelaksanaan transmigrasi adalah
dengan menghindari disorientasi dari tujuan yang sebenarnya telah dirumuskan secara cermat.
Hal ini dapat dimulai dengan rumusan program aksi yang konsisten dengan tujuan konsepsional
itu.
Rumusan program aksi yang detil dan konsisten ini diharapkan mampu mengendalikan
potensi-potensi disorientasi seperti ambisi sub' jektif yang bersifat personal atau institusional,
budaya kerja menerabas yang kurang suka pada tantangan.
Secara umum program transmigrasi memang berdampak luas terv hadap pembangunan,
baik dilihat dari tata ruang wilayah melalui pembukaan wilayah terisolasi serta pemanfaatan
ruang wilayah, maupun dalam bentuk pembangunan ekonomi wilayah (Yudohusodo, 1998).
Akan tetapi, mengacu pada UU No.15 Tahun 1997, pembangunan harus mampu meningkatkan
kesejahteraan transmigran dan penduduk setempat serta mengikat persatuan yang kukuh di
antara kedua kelompok penduduk tersebut. Iadi, orientasi pembangunan dari pelaksanaan
transmigrasi itu lebih spesifik karena perhatian, khususnya terhadap dua kelompok penduduk
di daerah transmigrasi. Kesadaran akan spesifikasi ini perlu sehingga semua pihak terkait
mempunyai visi dan bahasa yang sama bahwa program transmigrasi tidak hanya soal urusan
transmigran, tetapi juga urusan penduduk setempat di daerah transmigrasi yang harus ditangani
secara terpadu.
Banyak permasalahan dalam pelaksanaan transmigrasi yang bersumber dari lemahnya
kesadaran terhadap spesifikasi orientasi pembangunannya, seperti timbulnya ketidakpuasan
atau kecemburuan di kalangan penduduk setempat.
Keresahan dan konflik yang menyebabkan berbagai usaha ekonomi tidak bisa
berlangsung produktif di berbagai daerah transmigrasi terjadi. Hal ini bukan saja menyebabkan
tujuan peningkatkan kesejahteraan penduduk tidak tercapai, tetapi juga telah menyebarkan
keresahan dan pertentangan antarkelompok penduduk yang bisa menggerogoti persatuan dan
kesatuan bangsa. Oleh karena itu, kesadaran tersebut perlu dipertegas dan disosialisasikan, yang
implementasinya diperlihatkan dalam program-program aksi di lapangan. Dalam hal ini perlu
dipertimbangkan tentang adanya keterbatasan sumber daya alam dan daya tampung sosial
berbagai daerah transmigrasi, serta calon transmigran yang lebih proposional (Mantra dan
Nasrudin Harahap ,2000).
12.2.1.6 Penutup
Transmigrasi merupakan fase pembangunan bidang kependudukan yang berakar jauh
ke masa pemerintahan kolonial Belanda yang (11‘ lakukan sampai kini.
Sejarah yang panjang memperlihatkan makna dan tujuannya terns bergeser sejalan
dengan perubahan situasi, sekalipun tujuan konsepsionalnya relatif sama. Secara das so/en
tujuan pelaksanaan transmigrasi tetap berorientasi pada pembangunan dan kesejahteraan
rakyat, tetapi secara das sein berorientasi demografi atau upaya redistribusi penduduk.
Sejak masa pemerintahan Orde Baru, muncul reorientasi pelaksanaan transmigrasi yang
mengombinasikan tujuan-tujuan peningkatan kesejah- teraan rakyat, pembangunan daerah, dan
integrasi penduduk secara sinergiss Namun, pelaksanaannya belum bisa meninggalkan
orientasi dcmografisnya sehingga mengundang banyak masalah dan pertanyaan tentang
kontribusi transmigrasi terhadap tujuan-tujuan konsepsionalnya.
Memasuki era reformasi, yang antara lain berkarakter desentralisasi pmncrintahan,
khususnya setelah keluamya Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah,
maka pelaksanaan transmigrasi memerlukan semangat baru yang lebih berorientasi pada
pembangunan daerah. Diperlukan kesadaran baru bahwa pelaksanaan transmigrasi bukan hanya
soal redistribusi penduduk, tetapi juga soal pembangunan daerah transmigrasi, sebagaimana
pula telah dirumuskan pada UU No.15 'I'ahun 1997.
Reoorintasi ini membutuhkan konsistensi dan informasi yang valid tentang sumber daya
serta daya tampung sosial dari tiap daerah transmigmsi. Di sisi lain, seleksi calon transmigran
di daerah asal harus dilakukan lebih proporsional untuk mendapatkan calon yang betulle
relevun bagi pembangunan daerah transmigrasi. Dengan cara ini pvlakqanaan transmigrasi
diharapkan lebih berhasil secara kualitatif, yum; implikasi kuantitatif mereka mengiringi. Kaum
transmigran yang brt: sl-bv tul berhasil pasti merupakan magnit yang menarik banyak migran
potensial dari Jawa, Bali, atau Lombok.
12.3 PENGIRIMAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI
12.3.1 Pendahuluan
Telah dikemukan oleh berbagai kalangan, masalah ketenagakerjaan di Indonesia
merupakan masalah Indonesia yang berkepanjangan dari pelita ke pelita.
Dalam pengalaman pelaksanaan pembangunan selama ini, terlihat nyata bahwa
pertumbuhan angkatan kerja yang cukup pesat kurang dapat diimbangi oleh kemampuan
penciptaan kesempatan kerja sehingga tetjadi pengangguran terbuka yang terakumulasi setiap
tahunnya.
Pada tahun 1990 jumlah angkatan kerja (labour force) di Indonesia sebesar 73,9 juta
orang, pada tahun 1995 dan 2000 diperkirakan mel gingkat masing-masing 86,1 juta dan 98,9
juta orang. Jadi dari tahun ke tahun jumlah angkatan kerja meningkat terus, dan menurut
proyeksi dari Ananta et. a1 (1994), tahun 2010 jumlah angkatan kerja diperkirakan menjadi
123,6 juta orang.
Kemampuan pembangunan ekonomi untuk menciptakan kesempatan kerja baru pada
akhir Pelita V maksimal diperkirakan 9 juta, itu pun dengan berbagai skenario pembangunan
ekonomi Indonesia yang opti~ mistik, yang oleh banyak kalangan diragukan realitasnya.
Akibatnya pembengkakan jumlah pengangguran terbuka pada periode tersebut sulit dihindari,
belum lagi fenomena setengah pengangguran yang juga merupakan masalah ketenagakerjaan
yang cukup besar, dan pelik (Mantra, etal, 1992).
Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah
ketenagakerjaan ini ialah dengan mendorong pengiriman tenaga kelja ke luar negeri. Untuk
mengimplementasikan kebijakan ini dibentuklah lembaga Antar Kerja Antar Negara (AKAN)
oleh Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia, yang mengkoordia nasikan
penyelenggaraan penyaluran angkatan kerja ke luar negeri. Dalam penyelenggaraan kegiatan
ini, AKAN bekerja sama dengan berbagai Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia
(PJTKI) yang didirikan oleh swasta yang tergabung dalam Indonesia Manpower Suplier
Association (IMSA).
Ada dua faktor yang mendorong pemerintah mengambil kebijakan ini. Pertama, seperti
telah diuraikan di muka, makin kompleksnya masalah kependudukan yang terjadi di dalam
negeri dengan berbagai implikasi sosial ekonomisnya, seperti masalah pengangguran,
menyebabkan harus ditempuh langkah-Iangkah inovatif untuk berusaha mengurangi tekanan
masalah tersebut.
Kedua, terbuka kesempatan kerja yang cukup luas di negara-negara yang relatif kaya
dan baru berkembang yang dapat menyerap tenaga kerja Indonesia dalam jumlah yang cukup
besar, terutama negara-negarakaya minyak seperti di Timur Tengah, dan juga Malaysia,
Singapura pada negara-negara ASEAN. Kesempatan-kesempatan kerja tersebut selain dapat
menyerap banyak tenaga kerja juga menawarkan tingkat penghasilan dan fasilitas yang lebih
menarik dibandingkan dengan kesempatan kerja di dalam negeri. ngkat penghasilan yang lebih
baik tersebut dapat meningkatkan devisa negara.
Migrasi Intemasional di Indonesia dapat dibedakan atas dua pola, Pertama, yang
terdokumentasi pada lembaga AKAN yang secara resmi tercatat di Departemen Tenaga Kerja,
salah satu contoh adalah pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah. Kedua, tenaga kerja yang
berangkat ke luar negeri tidak terdokumentasi (secara ilegal) melalui calo, misalnya tenaga
kerja Indonesia yang pergi ke Malaysia. Mereka ini tidak tercatat di Departemen Tenaga Kerja
maupun di kantor imigrasi Indonesia maupun Malaysia.
12.3.2 Perkiraan Jumlah Tenaga Kerja Indonesia Yang Berkerja di Luar Negeri
Mobilitas tenaga kerja Indonesia ke luar negeri telah terjadi sejak dulu. Sebelum Perang
Dunia II telah banyak tenaga kerja Indonesia yang dikirim ke Malaysia, Guyana, dan New
Caledonia. Umumnya mereka berasal dari Pulau Jawa dan daerah tujuan mereka bekerja
sebagai buruh perkebunan. Setelah Perang Dunia II mulai terdapat tenaga kerja yang bekerja di
Singapura dan negara-negara lainnya, Di sampin'g itu banyak pula tenaga kerja Indonesia yang
bekerja di kapalkapal dagang maupun kapal pesiar berbendera asing baik itu Eropa, Amerika
Utara, Australia dan Asia lainnya (Mantra, et.al, 1992). Mobilitas tenaga kerja Indonesia ke
luar negeri pada masa tersebut hanya untuk mencukupi kebutuhan tenaga kerja di negara-negera
bersangkutan clan bukan merupakan kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan.

Setelah tahun 1975 pengiriman tenaga kerja ke luar negeri secara resmi diprogramkan
oleh pemerintah. Apabila dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya seperti Thailand,
Philipina, Malaysia, dan Korea Selatan, maka Indonesia sangat terlambat memulai program ini
sehingga jumlah tenaga kerja yang berhasil dikirim ke luar negeri lebih sedikit dibémding
negara-negara tersebut di atas. Sebagai contoh, Indo nesia hanya mampu mengirim kurang dari
sepertiga jumlah tenaga kerja yang dikirim oleh negara Thailand pada periode yang sama.
Jumlah tenaga kerja yang berhasil dikirim ke luar negeri menurut tujuan dapat dilihat
dalam Tabel 12.4. Dari tabel tersebut dapat diketahui sebesar 62,9 peresen tenaga kerja
Indonesia menuju Malaysia, dan 6 persen menuju singapura. Jadi dapat disimpulkan bahwa
Arab Saudi merupakan negara tujuan utama, dan Malaysia dan singapura merupakan negara
tujuan kedua bagi Tenaga Kerja Indonesia menuju ke luar negeri.
Tabel 12.4
Jumlah Tenagah Kerja Indonesia (TKI) yang ke Luar Negeri
Meurut Negara Tujuan, 1969-1993.
Negara Pelita I Pellita II Pelita III Pelita IV Pelita V Jumlah Persen
Tujuan 969/74 974/79 1979/84 1984/89 1989/94 Total
Saufi Arabia - 3817 55976 223573 268585 552224 62,9
Timteng lain - 1235 5349 3428 5142 1557 1,7
Malaysia 12 536 11441 37785 122941 172715 19,7
Singapura 8 2432 5007 10537 34496 52483 6,0
Brunei - - - 920 7794 8714 1,0
Hongkong 44 1297 1761 1735 3579 8512 1,0
Jepang 2925 451 920 395 2435 4497 0,2
Korea - - - - 1693 1693 05
Taiwan 37 - - 178 2025 2240 0,3
Belanda 3332 6637 10104 4375 4336 28784 3,3
AS 146 176 2981 6897 9842 20042 2,3
Lain – lain 1653 461 2871 2439 2832 10256 1,2
Total 5624 17042 96410 292262 465972 877310 100

Sumber. Hugo, 1995


Apabila daerah tujuan utama TKI yang menuju ke luar negeri dikelompokkan menjadi
dua yaitu negara-negara Timur Tengah (Arab Saudi, Irak, Kuwait, Persatuan Emirat Arab,
Jordania) dan Malaysia + Singa~ pura, tampak bahwa dari tahun ke tahun jumlah migran TKI
yang menuju ke negara-negara tersebut makin meningkat (Tabel 12.5). Ini menunjukkan bahwa
pemerintah berusaha untuk meningkatkan pe~ ngiriman tenaga kerja ke luar negeri.
Departemen Tenaga Kerja pada Pelita VI (1994-1999) mentargetkan untuk mengirimkan
tenaga kerja sebanyak 1,5 juta ke luar negeri dan diperkirakan remitan yang dihasilkan kebesar
3 milyar dolar Amerika (Hugo, 1995).
Tabel 12.5
Jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang Dikirim Ke Luar Negeri
Oleh Departemen Tenaga Kerja selama 1989-1974
Timur Tengah Malaysia/Singapura Presentase
Tahun Pertumbuhan
Jumlah % Jumlah % Jumlah Dibanding Tahun
sebelumya
1992/93 96772 56 62535 36 172157 +15
1991/92 89244 60 51230 34 149872 +74
1990/91 39810 46 36983 43 96264 +3
1989/90 60456 72 16007 19 84074 +37
1988/89 50123 82 6614 11 61419 +1
1987/88 49723 81 7916 13 61092 +11
1986/87 45405 66 20349 30 68360 +26
1985/86 45024 83 6546 12 54297 +18
1984/85 35577 79 6034 13 46014 +58
1983/84 18691 66 5597 20 29291 +39
1982/83 9595 47 7801 38 21152 +18
1981/82 11484 63 1550 9 17904 +11
1980/81 11231 70 561 4 16186 +58
1979/80 7651 74 720 7 10378
1977 3675
Periode Repelita –
V : 1989/94* 600163 +106
IV : 1984/89 291182 +207
III : 1979/84 94921 +391
II : 1974/79 19332 +256
I : 1969/74 5423
Data hingga Nopember 1993
Sumber Kantor AKAN Jakarta terdapat dalam Hugo (1995)
Dalam Pelita IV (1984/1989) migran TKI yang menuju ke Timur Tengah lebh dari 95
persen menuju ke negara Arab Saudi, dan sekitar 83 persen terdiri dari TKI perempuan yang
terkenal dengan sebutan Tenaga Kerja Perempuan (TKP).
Menurut berita Harian Kompas (28 Februari 1990), besar remitan yang dikirim antara
tahun 1983 dan 1989 berjumlah US$ 551523.406,- dan dari sejumlah ini sebesar US$
535616.207,- berasal dari Arab Saudi.
Sulit ditentukan dengan pasti jumlah tenaga kerja yang bekerja di luar negeri, karena
banyak dari mereka yang berangkat tanpa melalul prosedur resmi, baik yang berangkat secara
perorangan maupun yang dikoordinasi oleh calo tenaga kerja yang sudah lama beroperasi.
Sebagai contoh tenaga kerja Indonesia yang menuju ke Malaysia, di daerah pengirim terdapat
calo tenaga kerja yang terkenal dengan nama taikong. Iarang sekali calo tersebut terdaftar di
AKAN. Calo yang tidak terdaftar dengan resmi ini menguasai pengiriman tenaga kerja ilegal
ke Malaysia.
Dari pendaftaran, pengaturan perjalanan, pengurusan perahu sampai mencarikan
pekerjaan di Malaysia, semua diurus oleh mereka. Cale“ calo ini mempunyai jaringan kerja
yang rapi, baik di Indonesia maupurl d1 Malaysia. TKI yang akan ke Malaysia melalui calo ini
akan dilempar dari calo satu ke calo yang lain sehingga apabila texjadi sesuatu yang tidak
diinginkan, sulit untuk ditelususri siapa yang harus bertanggung jawab (Hugo, 1993).
Berdasarkan fakta bahwa melalui jalur resmi (legal) yang dilakukan oleh beberapa
migran tenaga kerja, terlalu berbelit-belit, menghabiskan biaya dan waktu yang tidak sedikit,
menyebabkan calon migran p0tensial memilih jalur tidak resmi yang jauh lebih mudah, lebih
cepat dan biaya pertama yang dikeluarkan lebih murah (Mantra, et.el, 1999).
Perlu diketahui bahwa sebenamya masyarakat Malaysia tidak sepenuhnya menyambut
kedatangan TKI ilegal ke Malaysia karena banyak dari mereka yang terlibat dalam berbagai
kejahatan. Lee (1988) melaporkan bahwa 85 persen dari berbagai macam kejahatan
(pembunuhan, penodongan, perampokan, dan pemerkosaan) yang terjadi di Sabah dilakukan
oleh pendatang haram, termasuk yang datang dari Indonesia. Di samping itu mereka dituduh
menularkan penyakit infeksi seperti malaria dan penyakit kotor. Banyak dari mereka yang
ditahan dan dimasukkan ke dalam penjara. Pemerintah Kerajaan Malaysia selalu berusaha
untuk memulangkan TKI gelap itu ke negara masing-masing.
Surat Kabar Kedaulatan Rakyat yang terbit hari Sabtu 7 Januari 1995 memuat
pernyataan Kakanwil Departemen Kehakiman Riau, bahwa pada tahun 1994 puluhan ribu TKI
dipulangkan pemerintah Kerajaan Malaysia melalui Riau.
Mereka adalah TKI yang masuk ke Malaysia tanpa surat-surat resmi. Dari puluhan ribu
TKI yang dipulangkan itu, yang berhasil dipantau hanya sektar 9.194 orang yakni mereka yang
dipulangkan melalui Pelabuhan resmi. Diperkirakan puluhan ribu TKI yang dipulangkan lolos
dari pemantauan karena mereka masuk melalui Dermaga Rakyat Yang jumlahnya cukup
banyak di sepanjang pantai Riau.
Hal yang sama terjadi pula pada TKI yang menuju ke Timur tengah. Banyak yang
datang ke negara ini menggunakan visa turis atau visa untuk beribadah di mekah. Hanya pada
saat terjadi perang Teluk, pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah menurun dengan drastic,
bahkan sekitar 250.000 TKI kembali ke Indonesia
12.3.3 Dampak Migrasi Internasional Terhadap pendapatan Keluarga dan Pembangunan
Nasional
Dilihat dari perspektif pembangunan keluarga dan pembangunan nasional, kepergian atau
pengiriman warga Indonesia ke luar negeri untuk berkerja mempunyai bekerja mempunyai
beberapa makna strategis, antara lain sebagi berikut.
12.3.3.1 peningkatan pendapatan keluarga
Dengan bekerja di luar negeri, maka pendapatan angkatan kerja bersama keluarganya
dapat ditingkatkan secara substansial. Informasi dari berbagai pihak termasuk angkatan kerja
yang sudah kembali ke tanah air menunjukkan bahwa tingkat upah bagi tenaga kerja kasar di
Tlmur Tengah pada tahun 1990 seperti pramuwisma mencapai setara Rp. 250.000; perbulan,
sopir atau yang sederajat mencapai nilai upah Rp 400000,perbulan. Di samping itu umumnya
mereka juga menda~ patkan fasilitas tempat tinggal dan jaminan makanan sehari-hari. Penda~
patan tenaga kerja dengan status dan jenis pekerjaan yang lebih tinggi, tentunya juga jauh lebih
besar. Kondisi pengupahan yang kurang lebih sama juga diperoleh TKI di negara-negara
Malaysia.
Terdapat perbedaan upah yang kontras antara Malaysia dengan Indonesia per satuan
waktu kerja. Sebagai contoh pada tahun 1984 upah tiap hari di Iawa Timur sebesar Rp. 34.000;
sedangkan pada tahun yang sama upah buruh per hari di Malaysia sebesar Rp. 9.000,-. Iadi
terdapat selisih 300 persen. Pada tahun 1991 upah buruh per hari di Semarang sebesar Rp.
2.500,sedangkan di Serawak sebesar Rp. 10800,. Iadi ada selisih sebesar 432 persen (Tabel
12.6). Dengan tingkat pendapatan yang demikian ini berarti rata-rata upah di Malaysia
mencapai 610 kali lipat dari upah rata-rata yang diperoleh di dalam negeri untuk jenis pekerjaan
yang sama. Masalahnya ialah bagaimana para angkatan kerja itu memanfaatkan pendapatan
tersebut bagi kesejahteraan keluarganya. Hasil penelitian yang pernah dilakukan, misalnya oleh
Mantra, eta] (1986) menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen pendapatan TKI di Timur Tengah
ditabung untuk dikirim kembali kepada keluarganya di tanah air.

Tabel 12.6
Perbedaan Upah Antara Indonesia dan Malaysia
Upah di Upah di Selisih
Tahun Daerah Asal Indonesia Malaysia (persen)
1990 Lombok Rp. 500.00,- Rp. 7.000,- 800
Rp. 1.000,00 Rp. 8.000,00
Per hari Per hari di
Perkebunan
1989 Indonesia S$70.S$ 100 S$300 300
Per bulan Per hari
1984 Jawa Timur Rp. 3.000,00 Rp. 9.000,00 300
Per hari Per hari
1982 Bawean Rp. 5.00,00 Rp. 9.000,00 1.000
Per hari Per hari
1990 Indonesia Rp. 1.000,00 Rp. 10.000,00 432
Per hari Per hari
1991 Semarang Rp. 2.500,00 (Serawak)
Per hari

Sumber Hugo (1993)

12.3.2.2 Peningkatan Devisa Negara


Peningkatan devisa negara merupakan aspek paling penting yang tercakup dalam
pengiriman TKI ke luar negeri baik yang disponsori langsung oleh pemerintah maupun
lembaga-lembaga swasta atau perorangan. Dengan peningkatan devisa dari para TKI di luar
negeri, ini berarti dapat memperbaiki neraca perdagangan internasional Indonesia. Namun
demikian, peningkatan perolehan devisa negara yang dimaksud akan sangat bergantung pada
jumlah TKI yang berada di luar negeri serta tingkat pendapatan mereka di sana. Iuga akan
dipengaruhi oleh bagaimana pengelolaan pendapatan tersebut oleh TKI yang bersangkutan. ‘
Dalam hal penerimaan devisa negara remitan (remittance) tenaga kerja yang bekerja di
luar negeri terutama di Timur Tengah ini, Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan
beberapa negara. Asia lainnya. Pakistan misalnya, 40 persen dari nilai pertukaran luar
negerinya diperoleh dari dana remitan yang berasal dari pengiriman tenaga kerja ke Timur
Tengah. Dana ini mencapai 8 persen dari GNP Pakistan (Shah. 1983). Korea Selata'n, Philipina,
Thailand juga mampu mengungguli Indoneisa dalam perolehan devisa dari TK mereka di luar
negeri (Renld, 1984). Penyebabnya selain karena jumlah tenagah kerja mereka relative lebih
besar jumlahnya juga karena jenis-jenis perkejaan yang mereka dibandingkan dengan TKI di
Timur Tengah yang sebagian besar tenagah kerja kasar atau lapisan rendah.
2.3.2.3 Peningkatan ketrampilan kerja
Salah satu keuntungan (benefit) yang terkandung dalam migrasi penduduk ke luar negeri
adalah pembentukan dan peningkatan keahlian kerja (skill) yang amat penting bagi
pembangunan yang berlandaskan industrialisasi (Stahl, 1982). Hal ini ~ jelas akan bermanfaat
bagi Indonesia dalam melaksanakan pembangunan ekonominya lebih lanjut yang benyak
mengandalkan pada penggunaan IPTEK. Hal ini lebih terasa lagi bagi Indonesia kalau dikaitkan
dengan mahalnya biaya yang harus dikeluar~ kan kalau pembangunan peningkatan ketrampilan
itu harus dilakukan di dalam negeri dalam bentuk latihan atau kursus ketrampilan.
Dengan bekerja di luar negeri terutama di negara-negra yang secara ekonomi sudah
lebih maju, maka para tenaga kerja Indonesia akan mengalami juga proses peningkatan
ketrampilan atas biaya negara di tempat mereka bekerja. Proses ini terjadi karena pada
umumnya sudah menggunakan perangkat teknologi yang relatif lebih tinggi.
12.3.2.4 Pengurangan masalah pengangguran
Suatu argumentasi penting yang menyertai keberangkatan tenaga kexja ke luar negeri,
ialah bahwa kepergiannya dapat merupakan salah satu upaya pemecahan atau pengurangan
masalah pengangguran di dalam negeri. Hal ini sangat penting bagi negara-negara yang dilanda
tingkat pengangguran yang tinggi seperti Indonesia. Selain itu, kepergian mereka juga
dipandang dapat membebaskan sebagian dana masyarakat yang turut dikonsumsi selama masih
tinggal. Kepergiannya dapat mengurangi beban konsumsi masyarakat, tanpa mengurangi
produksi. Sedangkan untuk kepentingan pengembangan daerah pedesaan, kepergian tenaga-
tenaga yang menganggur itu dinilai dapat memperbaiki kepadatan penduduk (land man ratio)
yang berarti dapat meningkatkan kapasitas produksi.
Namun demikian argumentasi-argumentasi di atas didasarkan pada asumsi bahwa yang
berangkat itu adalah angkatan kerja yang benar - benar menganggur. Dalam hal angkatan kerja
yang pergi tersebut adalah tenaga kerja yang telah mempunyai pekerjaan tetap, maka
pengaruhnya ;erhadap pembangunan di tanah air dapat bersifat positif dan dapat juga negatif
(Mantra, etal, 1993).
Apabila tenaga kerja tersebut berangkat kemudian dapat menyumx pang produktivitas
yang lebih tinggi, antara lain berupa remitan dan tabungan yang lebih tinggi dari pada
produkivitasnya sebelum berangkat atau mendapatkan ketrampilan yang lebih baik untuk
dimanfaatkan kelak setelah kembali, maka hal ini dipandang sebagai pengaruh yang Positif.
Bagi Indonesia yang mempunyai jumlah penduduk dan angkatan kerja yang besar,
pengaruh positif pengiriman tenaga kerja ke luar gegeri terhadap usaha pemecahan masalah
pengangguran dan setengah pengangguran di dalam negeri akan sangat ditentukan oleh
besamya proporsi angkatan kerja yang pergi dari seluruh angkatan kerja yang, tersedia.
Meskipun tingkat penghasilan yang diperoleh di luar negeri lebih tinggi, tetapi jumlah yang
dikirim relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang ada di dalam negeri, maka
maknanya terhadap upaya pemecahan masalah pengangguran di Indonesia kurang penting.
Bab. XIII
KETENAGAKERJAAN
13.1 PENDAHULUAN
DALAM perencanaan pembangunan, data mengenai ketenagakerjaan memegang
peranan penting. Tanpa data tersebut tidaklah mungkin program pembangunan direncanakan
dan dilaksanakan. Makin lengkap dan tepat data mengenai ketenagakerjaan yang tersedia makin
mudah dan tepat rencana pembangunan itu disusun. Iadi dapat dikatakan bahwa faktor kekuatan
manusia merupakan unsur yang penting dalam pembangunan. Lebih-lebih dalam pelaksanaan
Pembangunan Lima Tahun (PELITA) di Indonesia dewasa ini, dibutuhkan sekali data
mengenai jumlah tenaga kerja dan angkatan kerja baik dari aspek kualitas maupun kuantitas.
Uraian mengenai ketenagakerjaan dalam bab ini terutama akan disoroti mengenai
ketenagakerjaan di Indonesia. Data yang digunakan di samping hasil Sensus Penduduk juga
digunakan hasil Sakemas (Survei Angkatan Kerja Nasional) maupun hasil Susenas (Survei
Sosial Ekonomi Nasional) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik Jakarta. Dalam
kaitannya dengan otonomi daerah data ketenagakerjaan dari Susenas lebih banyak digunakan
daripada data Sokernas karena dimungkinkan untuk analisis wilayah Kabupaten/Kotamadya.
13.2 KONSEP DAN DEFINISI
Istilah Tenaga Kerja tidaklah identik dengan Angkatan Kerja. Yang dimaksud dengan
Tenaga Kerja (Man Power) ialah besarnya bagian dari penduduk yang dapat diikutsertakan
dalam proses ekonomi (Tan Goan Tiang, 1965). Pada awalnya banyak indikator yang
digunakan untuk mengukur keterlibatan dalam kegiatan ekonomi, utamanya ekonomi upah.
Artinya kegiatan tersebut harus menghasilkan barang dan atau jasa yang berguna bagi
masyarakat. Perdebatan muncul karena definisi upah sebab di negara sedang berkembang
persentase pekerja yang tidak dibayar masih cukup tinggi. Oleh ILO akhirnya diputuskan
bahwa seseorang dapat maupun belum dapat dilibatkan dalam kegiatan ekonomi didasarkan
pada umur. Dan batasan umur ini diserahkan ke pada setiap negara dalam hubungannya dengan
pembangunan ekonomi. Di beberapa negara misalnya: Amerika Serikat, jerman Barat, dan
negara-negara Eropa yang lain, bagian penduduk yang termasuk usia kerja ialah kelompok
umur (15-64) tahun. Di Indonesia, Biro Pusat Statistik mengambil penduduk umur 10 tahun ke
atas sebagai kelompok penduduk usia kerja. Akan tetapi sejak 1998 mulai menggunakan usia
15 tahun ke atas, atau lebih tua batas usia kerja pada periode sebelumnya. Biasanya batasan
umur yang digunakan berbeda-beda untuk tiap negara, tetapi yang sering dijadikan
pertimbangan adalah tingkat perekonomian dan situasi tenaga ktea. Semakin maju
perekonomian di suatu daerah atau negara batas umur yang ditentukan untuk usia kerja
minimum semakin tinggi.
Secara umum pengukuran kegiatan ekonomi dapat didekati dengan dua cara, yakni
gainful worker approach (pendekatan kebiasaan) dan labour force approach (pendekatan saat
ini). Dalam gainful worker approacfz seseorang dalam batas umur tertentu akan ditanya:
“Kegiatan apa yang biasa ia lakukan”. Menurut Suharso (1983) dalam mempergunakan kata
“biasa” tersimpul di dalamnya usaha tidak menganggap penting kegiatan-kegiatan lain yang
tidak termasuk kategori yang biasa ia lakukan. Oleh karena itu dapat saja terjadi bahwa
seseorang yang dalam kurun waktu tertentu “biasanya sekolah" tetapi pada saat pencacahan
sedang mencari pekerjaan, maka dalam gainful worker approach ini akan dimasukkan dalam
kategori sekolah.
Konsep ini kurang dapat memberikan gambaran statistik yang tepat antara mereka yang bekelja
dan sedang mencari pekerjaan. Kelemahan ini amatlah dirasakan bila ingin mengetahui jumlah
anglgatan kerja yang sedang mencari pekerjaan (penganggur terbuka). Konsep ini cenderung
menghasilkan angka penganggur terbuka relatif kecil.
Pendekatan lain dan yang paling banyak digunakan adalah labour force approach.
Dalam pendekatan ini seluruh peduduk dalam kelompok umur tertentu dan dalam kurun waktu
tertentu seperti sebulan, seminggu yang lalu ditanyakan kegiatan utama. Dengan demikian
pendekatan ini memberikan batas yang tegas dalam jangka waktu seminggu ini, apa kegiatan
utamanya. Oleh sebab itu Labour Force Approach lebih dikenal dengan pendekatan aktivitas
kini dengan jangka waktu tertentu.
Di Indonesia konsep Labour Force digunakan sejak Sensus Penduduk 1961 yakni apa
kegiatan utama yang dilakukan minimal 2 bulan selama 6 bulan yang lalu hingga sesus
dilaksanakan. Kemudian pada Sensus Penduduk 1971 menggunakan referensi waktu 2 hari
dalam seminggu, dan mulai Sakernas 1976 sampai saat ini menggunakan referensi selama 1
jam selama seminggu. Pengertiaan 1 jam adalah berturut-turut, misalnya pada hari senin bekerja
atau sedang mencari pekerjaan minimal kegiatan tersebut memerlukan waktu satu jam. Dengan
referensi waktu yang tegas untuk kegiatan utama/waktu yang terbanyak maka penduduk
berumur 15 tahun keatas dengan mudah dibedakan kedalam angkata kerja dan bukan angkatan
kerja.
Di Indonesia yang dimaksud dengan angkatan kerja adalah penduduk yan berumur 15
tahun ke atas yang secara aktif melakukan kegiatan ekonomis (Biro Pusat Statistik, 1983).
Angkatan Kerja terdiri dari penduduk yang bekerja, mempunyai pekerjaan tetap tetapi
sementara tidak bekerja, dan tidak mempunyai pekerjaan sama sekali tetapi mencari pekerjaan
secara aktif. Mereka yang berumur 15 tahun atau tidak bekerja atau tidak mencari pekerjaan
karena sekolah, mengurus rumah tangga, pension, atau secara fisik dan mental tidak
memungkinkan untuk bekerja tidak dimasukkan dalam angkatan kerja.
Bekerja dapat diartikan sebagai melakukan suatu kegiatan untuk menghasilkan atau
membantu menghasilkan barang atau jasa dengan maksud untuk memperoleh penghasilan
berupa uang atau barang, dalam kurun waktu (time reference) tertentu. Hanya disayangkan
bahwa dalam kurun waktu yang digunakan untuk mendefinisikan apakah seseorang itu bekerja
atau tidak, berbeda dari penelitian satu dengan yang lain, sehingga angka yang diperoleh
mempunyai kesulitan untuk diperbandingkan. Oleh sebab itu diperlukan kecermatan dalam
melakukan analisis perbandingan. Biro Pusat Statistik (1983) pernah melakukan uji coba
perbandingan konsep bekerja dari Sensus Penduduk 1971 yakni dua hari dalam seminggu
dengan konsep bekerja dari Sensu Penduduk1980 yakni satu jam seminggu. Data bekerja satu
jam seminggu ditransformasikan ke dalam bekerja 2 hari seminggu dan sebaliknya disajikan
oleh BPS (1983) secara statistik perbedaan konsep yang digunakan dalam pengukuran yang
berbeda dapat diperbandingkan. Dan yang lebih penting adalah diberikan catatan tentang
perbedaan tersebut.
Dengan Labour Force Approach ini berarti mereka yang bekerja sekedarnya saja sudah
dianggap bekerja (employed) dan dengan demikian unemployed dan ekuivalen dengan
penganggur adalah mereka yang tidak bekerja sama sekali dan aktif mencari pekerjaan.
Pengertian ini adalah pengertian penganggur terbuka atau open-unployment (Hananto Sigit,
1983).
Untuk mengatasi kelemahan dari Labour Force Approach (LFA) di atas, oleh para ahli
demografi diantaranya Philip M. Hauser, diadakan pendekatan baru yang disebut dengan
Labour Utiliziation Aprroach (LUA). LUA pada dasarnya merupakan penyempurnaan dan
penyesuaian konsep LFA untuk negara agraris (Suharso, 1983). Penyempurnaan yang
dilakukan hanya pada kelompok angkatan kerja. Mereka yang bekerja dibagi menjadi dua yaitu
: fully employed (full utilized) dan under employed (under employed). Angkatan kerja yang
bekerja penuh diartikan sebagai dimanfaatkan penuh (fully utilized). Dan yang bekerja tidak
penuh yakni kurang dimanfaatkan (under untilized) didasarkan pada jumlah jam kerja seminggu
yang lebih dikenal dengan setengah penganggur karena jam kerja yang rendah. Ada pula yang
membedakan setengah penganggur karena upah yang rendah, setengah penganggur karena jam
kerja yang rendah yaitu kurang dari 35 jam seminggu. Setengah penganggur dibedakan ke
dalam dua kelompok yaitu setengah penganggur sukarela (SPS) dan setengah penganggur
terpaksa (SPT). SPS adalah yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu tetapi tidak ingin
mencari pekerjaan dan diberi tambahan pekerjaan pun tidak mau menerim. Kemudian SPT
dibedakan menjadi SPT aktif mencari pekerjaan (SPTA) dan SPT pasif dalam mencari
pekerjaan tambahan (SPTP). Kelompok ini tidak mencari pekerjaan tetapi kalau diberi
pekerjaan tambahan bersedia menerimanya . baik SPTA maupun SPTP dihubungkan dengan
tipe pekerjaan yaitu pekerjaan paruh waktu (part time) dan pekerjaan penuh (full time). Mereka
yang menerima/mencari pekerjaan penuh baik SPTA maupun SPTP identik dengan ingin
berganti pekerjaan seperti gambar 37 berikut. Pendekatan baru ini lebih menarik dalam
hubungannya dengan perluasan kesempatan kerja, sebab mereka yang ada pada kelompok
setengah penganggur sukarela (SPS) tidak membutuhkan tambahan pekerjaan. Mereka ini
memang rela menjadi SPS karena pertimbangan-pertimbangan lain seperti lokasi tempat
bekerja, jumlah dan umur anak. Sebgaian besar dari kelompok SPS ini adalah pekerja
perempuan.

Penduduk Usia Kerja


(Usia 15+)

Angkatan Kerja Bukan Angkatan Kerja

Bekerja Sedang Bekerja Sekolah Mengurus Lain-lain


rumah tangga

Bekerja Penuh 90 Bekerja Tidak Penuh


(Setelah menganggur)

90 90

Setengah Setengah
90 90 90
menganggur menganggur
90 90

90 Setengah menganggur Setelah


Terpaksa Aktif 90
menganggur
Tipe Pekerjaan
90

Penuh Waktu Paruh Waktu 90

90
90
Lapangan Pekerjaan Jenis Pekerjaan Status Pekerjaan
90
Gambar 37. Pembangian Penduduk Usia Keja, Menurut Kegiatan Ekonomi.

90
90
90 90

90
13.3 PENDUDUK USIA KERJA
Distribusi penduduk usia kerja menurut pulau-pulau di Indonesia relatif tetap dari waktu
ke waktu (Tabel 13.1) Dalam contoh ini untuk analisis perbandingan maka penduduk usia kerja
menggunakan batasan usia 10 tahun ke atas dan bukan 15 tahun ke atas seperti pada SP 2000
maupun Sakernas 2000. Hanya mulai tampak adanya sedikit penurunan di Pulau Jawa yang
dibarengi dengan peningkatan untuk pulau-pulau lain terutama untuk pulau Sumatra. Hal ini
berkaitan dengan perluasan program transmigrasi. Program Keluarga Berencana yang
dilaksanakan sejak tahun 1970-an kiranya belum banyak berpengaruh terhadap jumlah
penduduk usia kerja pada tahun 1980-an sebab adanya tenggang waktu 10 tahun untuk
memasuki batas waktu minimum penduduk usia kerja
Tabel 13.1
Persentase Penduduk Usia Kerja 10 Tahun ke Atas di Indonesia
Menurut Pulau, 1961, 1971, 1980, dan 1990.

Pulau 1961 1971 1980 1990


Sumatra 15,8 17,1 18,3 19,0
Jawa 66,1 64,9 63,4 62,3
Kalimantan 4,3 4,4 4,4 4,9
Sulawesi 7,2 7,1 6,9 6,9
Pulau-pulau lain 6,6 6,5 7,0 6,6
Jumlah (N=juta) 100,0 100,0 100,0 100,0
63,9 80,5 104,4 135,01
Sumber Biro Pusat Statistik, 1961, 1971 (seri D), 1980 (seri S-2), Dan 1990 (seri S-2)
Dari Tabel 13.1 di atas dapat juga dilihat betapa tidak meratanya distribusi potensi
tenaga kerja di Indonesia. Hampir dua pertiga dari penduduk usia kerja yang bertempat tinggal
di Pulau Jawa. Di samping itu lebih dari tiga perempat penduduk usia kerja di Indonesia berada
di daerah pedesaan. Dengan demikian pada masa-masa mendatang akan terjadi migrasi tenaga
kerja dari desa menuju ke kota.
Kurang dari separoh penduduk usia kerja tersebut tergolong bukan angkatan kerja.
Mereka itu terdiri dari yang mengurus rumah tangga , sekolah, orang-orang cacat, orang-orang
tua (jompo), dan orang-orang dengan kegiatan termasuk kegiatan tidak aktif secara ekonomi
seperti pensiunan, penerima pendapatan dan lain-lain yang tidak jelas kegiatannya. Sebagai
contoh hasil SP2000 dengan menggunakan usia 15 tahun ke atas yang termasuk dalam
kelompok bukan angkatan kerja adalah 42,6 juta dari 140 juta atau sekitar 30 persen terdiri dari
21 persen mengurus rumah tangga dan sekolah sekitar 7 persen.
13.4 ANGKATAN KERJA
Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada tahun 1971 sebesar 41,26 juta, dan pada tahun
1980 menjadi 52,43 juta. Jadi selama 9 tahun terjadi kenaikan sebesar 27 persen atau kurang
lebih sebesar 2,7 persen pertahun. Ini lebih besar dari rata-rata kenaikan penduduk pertahun
yang besarnya 2,3 persen pada periode yang sama.
Jumlah angkatan kerja dipengaruhi oleh jumlah Tingkat Partisipasi Angkatan Keja
(TPAK)* dan jumlah pemduduk usia kerja atau struktur umur penduduk. Kalau diperhatikan
dari waktu ke waktu, TPAK cenderung menurun, maka pertambahan angkatan kerja
dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah penduduk usia kerja. Ledakan kelahiran yang terjadi
pada tahun 1950-an, telah memasuki usia kerja pada tahun 1971-1980.
Penurunan TPAK disebabkan karena turunnya tingkat partisipasi anak-anak umur
sekolah dalam kegiatan angkatab kerja karena membaiknya fasilitas dan keadaan pendidikan.
Dalam masa-masa yang akan datang TPAK anak umur sekolah masih akan menurun, tetapi
TPAK perempuan diperkirakan akan naik, sehingga secara keseluruhan TPAK tidak dapat
diharapkan akan turun (Hananto Sigit, 1983).
Penurunan tingkat kelahiran karena keberhasilan program Keluarga Berencana sejak
1970 akan mulai terasa hasilnya pada dasa warsa 1980-1990 sehingga diharapkan tingkat
pertambahan penduduk usia kerja mulai menurun. Dengan demikian penambahan angkatan
kerja pada dasa warsa 980-1990 diharapkan tidak secepat dasa warsa sebelumnya.
Di samping masalah ketenagakerjaan di Indonesia yang sulit dipecahkan, menurut
Sukamdi (1996) terdapat perubahan kualitas angkatan kerja yang cukup menggembirakan
selama periode 1980-1990, misalnya, telah terjadi peningkatan kualitas angkatan kerja yang
cukup menggembirakan (dengan dasar pendidikan formal). Hal itu dapat dilihat penurunan
presentase angkatan kerja yang berpendidikan rendah (SD ke bawah) dan peningkatan angkatan
kerja berpendidikan SLP ke atas (lihat Tabel 13.2). Selama ini penekanan dalam diskusi
mengenai kualitas angkatan kerja cenderung masih apda kulaitas rendah, sementara itu semakin
membaiknya kualitas angkatan kerja yang dikemukakan.
Tabel 13.2
Persentase Angkatan Kerja dan Pertumbuhan Penganggur Menurut Tingkat Pendidikan
dan Daerah Tempat Tinggal, Indonesia 1980 dan 1990

Angkatan Kerja Pertumbuhan


Penganggur (%
Pendidikan
1980 1990 tahun)
Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Total
< SD 40,9 73,2 67,0 24,4 52,5 44,7 6,1 -2,3 -0,5
SD 25,7 20,2 21,3 27,6 33,1 31,3 12,8 11,0 11,7
SMTP 12,9 3,1 5,8 26,5 6,7 12,2 16,5 15,8 16,2
SMTA 17,2 3,1 5,8 26,5 6,7 12,2 21,3 20,5 21,1
Diploma/AK/Universitas 3,3 0,2 0,8 6,6 0,8 2,4 30,7 27,3 30,0
Sumber : Diolah dari hasil sensus penduduk 1980 dan 1990, seri S-2

Peningkatan pendidikan angkatan kerja dapat dilihat dari dua sisi. Pertama,
sebagaimana disebutkan oleh Gardiner, dkk (1994) ada anggapan bahwa pembahasan yang
terlalu menekankan pada tingkat pendidikan yang rendah dilakukan dalam rangka untuk
menarik investasi asing karena mutu angkatan kerja yang rendah hati berkaitan dengan upah
buruh yang rendah, padahal angkatan kerja yang berpendidikan rendah mempunyai tingkat
kompetisi rendah, yang terlihat dari beberapa cirri yang kurang menguntungkan (simanjuntak,
1994).

*Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) adalah perbandingan jumlah Angkatan Kerja
dengan jumlah penduduk usia kerja (di Indonesia umur 15 tahun ke atas).

13.5 UKURAN DASAR KETENAGAKERJAAN

Ukuran angkatan kerja yang sering digunakan adalah tingkat partisipasi angkatan kerja
(TPAK) dan tingkat pengangguran (pengangguran terbuka). Kedua ukuran itu biasanya
dianalisis menurut umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin dan perbedaan antara desa-kota.
13.5.1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)

TPAK adalah angka yang menunjukkan persentase angkatan kerja terhadap penduduk
usia kerja. Secara umum TPAK dapat dirumuskan :

Angkatan Kerja
TPAK = x 100
Penduduk Usia Kerja

Angka TPAK dapat digunakan sebagai dasar untuk mengetahui penduduk yang aktif
bekerja ataupun mencari pekerjaan. Bila angka TPAK kecil maka dapat diduga bahwa
penduduk usia kerja banyak yang tergolong bukan angkatan kerja baik yang sedang sekolah
maupun mengurus rumah tangga dan lainnya. Dengan demikian angka TPAK dipengaruhi oleh
faktor jumlah penduduk yang masih bersekolah dan penduduk yang mengurus rumah tangga.
Kedua faktor tersebut dapat pula dipengaruhi oleh keadaan ekonomi dan sosial budaya. Oleh
karena itu, di negara-negara yang sudah maju, TPAK cenderung tinggi pada golongan umur
dan tingkat pendidikan tertentu. Biasanya untuk mengamati perkembangan suatu negara atau
daerah, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan menurut golongan umur dan pendidikan
yang sering diperhatikan. Pola TPAK perempuan ini dapat memberikan petunjuk yang berguna
dalam mengamati arah perkembangan aktifitas ekonomi di suatu negara atau daerah. Berlainan
dengan laki-laki, umumnya perempuan mempunyai peranan ganda sebagai ibu yang
melaksanakan tugas rumah tangga, mengasuh dan membesarkan anak dan bekerja untuk
menambah penghasilan keluarga. Oleh karena itu, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan
amat dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial dan ekonomi. Tak mengherankan jika TPAK
perempuan berdasarkan golongan umur, status perkawinan, dan pendindikan berbeda dari
waktu ke waktu, baik antar daerah maupun negara.

Untuk menghitung TPAK menurut golongan umur dan pendidikan digunakan rumus :

Angkatan Kerja (gol. Umur)


TPAK (Gol. Umur ) = x 100
Penduduk Usia Kerja (gol. Umur)

Angkatan Kerja (gol. Umur)


TPAK (Tk. Pendidikan ) = x 100
Penduduk Usia Kerja (gol. Umur)
Sebagai contoh TPAK perempuan 1990 adalah 48,1 persen sedangkan pada tahun 2000
adalah 51,7 persen (untuk usia 15 tahun ke atas). Propinsi D.I. Yogyakarta, Bali, dan Sulawesi
Utara Mempunyai TPAK perempuan yang relatif tinggi (67,8 persen) sedangkan Jawa Barat,
Sulawesi Selatan mempunyai TPAK yang relatif rendah yakni 45,4 persen Tabel 13.3.

Tabel 13.3
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Pengangguran Terbuka
menurut Jenis Kelamin di Indonesia Tahun 2000

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja


Umur
Laki-Laki Perempuan Laki-Laki+Perempuan
15-19 42,6 33,5 38,1
20-24 63,4 53,1 67,3
25-29 95,4 53,3 73,2
30-34 98,5 53,5 76,0
35-39 98,8 59,8 79,0
40-44 98,1 64,2 81,6
45-49 99,4 61,8 80,9
50-54 96,5 61,7 79,4
55-59 98,6 56,1 72,3
60+ 66,8 36,9 51,4

Jumlah 84,2 51,7 67,8

Tingkat
5,6 6,7 6,1
Penganggur
Terbuka
Sumber : Sakernas, 2000 hal 8, 9, dan 10.

Tingkat partisipasi angkatan kerja ini lebih menarik apabila dilihat menurut pendidikan
tertinggi yang ditamatkan dan status perkawinan serta tempat tinggal desa-kota. Pada umumnya
semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula TPAK nya. Di daerag perkotaan angka
TPAK akan lebih rendah daripada di pedesaan. Mereka yang berstatus belum menikah TPAK
nya lebih tinggi daripada yang berstatus pernah menikah.
13.5.2 Tingkat Pengangguran

Menurut Effendi (1987), konsep pengangguran amat sulit diterapkan di Indonesia,


karena konsep yang digunakan dalam sensus maupun survai adalah konsep yang sesuai untuk
negara-negara maju. Di negara maju pengangguran dicatat pada kantor sosial sebagai ‘pencari
kerja’ dan apabila memenuhi syarat yang ditentukan oleh pemerintah mereka akan mendapat
tunjangan pengangguran. Di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia,
pengangguran tidak mendapat tunjangan pengangguran, sehingga amat sedikit orang yang mau
menganggur, kecuali ada orang (keluarga) yang bersedia menanggung biaya hidupnya. Sebagai
penduduk bersedia bekerja bekerja dengan jam kerja panjang dan pendapatan rendah. Jadi,
masalah pengangguran bukanlah pengangguran terbuka tetapi adalah setengah pengangguran
terbuka (pencari kerja) dari hasil sensus maupun survai kita perlu berhati-hati dan menyadari
sepenuhnya definisi pengangguran itu hanya mencerminkan pengangguran terbuka (pencari
kerja).

Menurut Sensus 1980, 1990, dan 2000, yang digolongkan mencari pekerjaan adalah :

1. Mereka yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan atau
pencari kerja baru.
2. Mereka yang pernah bekerja, pada saat pencacahan sedang menanggur dan berusaha
mendapatkan pekerjaan atau pencari kerja lama.
3. Mereka yang dibebastugaskan dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan atau pencari
kerja lama.

Definisi diatas belum dapat menangkap gejala setengah penganggur, dan dalam usaha
menangkap gejala itu sejak sensus 1980 digunakan pertanyaan mengenai jam kerja.
Berdasarkan ini kemudian dapat dibedakan antara mereka yang termasuk setengah penganggur.
Perlu dicatat jam kerja normal yang dipakai adalah 35 jam seminggu, namun sejak tahun 1990
jam kerja normal ada yang menggunakan 38 jam, ada pula yang menggunakan 40 jam.
Berdasarkan angka jam kerja normal (kurang 35 jam per minggu). Setelah penganggur kritis,
adalah mereka yang bekerja kurang dari 15 jam seminggu. Menurut sebab terjadinya
penganggur dapat dibedakan menjadi tiga:

1. Pengangguran Friksional
Pengangguran yang terjadi karena kesulitan yang bersifat temporer dalam
mempertemukan pencari kerja dengan lowongan kerja.
2. Pengangguran Struktural
Pengangguran yang terjadi karena adanya perubahan dalam struktur perekonomian.
3. Pengangguran Musiman
Pengangguran yang terjadi karena pengaruh musim.

Tingkat Penganggur (TP) adalah angka yang menunjukkan persentase yang sedang
mencari pekerjaan terhadap angkatan kerja. Secara umum dapat dirumuskan :

Sedang mecari kerja


TP = x 100
Angkatan Kerja

Tingkat penganggur ini biasanya dianalisis menurut umur, pendidikan, dan perbedaan
menurut jenis kelamin atau desa-kota.
Sedang mecari kerja (gol. Umur)
TP ( gol. Umur) = x 100
Angkatan Kerja (gol. Umur)

Sedang mecari kerja (Tk. Pendidikan)


TP (Tk. Pendidikan) = x 100
Angkatan Kerja (Tk. Pendidikan )

13.5.3 Setengah Penganggur

Parameter TPAK dan PT seringkali harus digunakan secara hati-hati untuk negara berkembang.
Ini disebabkan karena banyaknya yang termasuk ke dalam kelompok angkatan kerja
(bekerja+sedang mencari pekerjaan tetapi dengan referensi waktu/jumlah jam kerja relatif
rendah 1 (satu) jam seminggu). Sebagai akibatnya TPAK akan cenderung tinggi angkanya dan
sebaliknya. Tingkat pengangguran menjadi relatif rendah. Sejalan dengan hal ini maka
parameter setengah pengangguran penting untuk digunakan untuk menanggulangi masalah
tersebut. Beberapa ukuran setengah pengangguran adalah sebagai berikut. Tingkat atau Angka
Setengah Pengangguran biasanya dinyatakan dalam persen per tahun.

Tingkat Setengah Pengangguran (TSP)

Jumlah yang bekerja <35 jam perminggu


TSP = x 100
Jumlah yang bekerja seluruhnya
Tingkat Setengah pengangguran Kritis (TSPK)

Jumlah yang bekerja <15 jam perminggu


TSPK = x 100
Jumlah yang bekerja seluruhnya

Tingkay Setengah Pengangguran Sukarela (TSPS)

Jumlah yang bekerja <35 jam perminggu dan tidak bersedia


menerima tawaran pekerjaan
TSPS = x 100
Jumlah yang bekerja seluruhnya

Tingkat Setengah Pengangguran Terpaksa

Jumlah yang bekerja <35 jam perminggu dan masih


mencari pekerjaan
TSPS = x 100
Jumlah yang bekerja seluruhnya

Sejak tahun 1998, BPS telah mengembangkan metode baru dalam mengukur Tingkat
Pengangguran (TP) karena angka TP ini dianggap terlalu rendah dan tidak sesuai dengan
keadaan di lapangan. Angka pengangguran yang tidak baru disebut Tingkat pengangguran
Terbuka (TPT) atau Angka Pengangguran Terbuka (APT) tetapi cukup disebut dengan Tingkat
Pengangguran saja, ada yang menggunakan tingkat pengangguran Metode Baru. Ada yang
menggunakan Tingkat Pengangguran Metode Baru yang dihitung dengan cara :
Tingkat Pengangguran Baru = TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) + TPST
(TingkatSetengah Pengangguran Terpaksa ) dinyatakan
dalam persen
Contoh : TPT Indonesia 1998 = 4,2 %
TSPT Indonesia 1998 = 12,4 %
Angka/Tingkat Pengangguran Baru = 4,2 % + 12,4 %
= 16,6%

Angka Pengangguran Pendekatan Baru ini dianggap lebih realistis dari pada angka 4,2
persen. Data Sakernas 2000 mengungkapkan bahwa TPT sekitar 6,1 persen sedangkan TSPT
mencapai 9,4 persen. Dengan demikian Tingkat Pengangguran Pendekatan Baru memberikan
angka sekitar 15,5 persen. Suroto (1996) mengukur Tingkat pengangguran dengan Metode
Ekivalen jumlah jam kerja normal 40 jam seminggu. Dengan menggunakan data SP1990
didapatkan Tingkat Pengangguran Pendekatan Baru, namun sangat berbeda sekali dengan
Tingkat Pengangguran Terbuka yang selama ini selalu diperdebatkan karena angkanya terlalu
rendah.

13.6 KESEMPATAN KERJA

Jumlah angkatan kerja yang bekerja biasanya dipandang sebagai jumlah kesempatan
kerja yang tersedia di suatu wilayah. Dalam pengertian ‘kesempatan kerja’ tidaklah sama
dengan “lapangan kerja yang masih terbuka”. Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya,
yang dimaksud dengan “bekerja” dalam Sensus Penduduk 1980 ialah selama seminggu sebelum
pencacahan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh
penghasilan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit satu jam dalam sehari. Pada
Sensus Penduduk 1971 definisi bekerja tidak sama dengan yang digunakan dalam Sensus
Penduduk 1980, hanya batas waktu bekerja yang digunakan minimal 2 hari dalam seminggu
dengan bekerja paling sedikit satu jam dalam sehari. Batasan ini digunakan secara konsisten
sejak Sakernas 1976 maupun Susenas 1977 serta Supas 1985.

Sebenarnya dalam membandingkan kesempatan kerja dari kedua sensus tersebut diatas
diperlukan penyesusaian menurut perhitungan, simpangan akibat perbedaan batas waktu
bekerja tersebut relatif kecil. Dari Sensus Penduduk 1980 jumlah angkatan kerja yang tergolong
bekerja dengan batas waktu satu jam dalam seminggu sebesar 51.533,1 ribu orang, sedangkan
yang mempergunakan batas waktu dua hari perminggu bekerja besarnya 51.257,2 ribu. Ini
berarti perbedaannya hanya sekitar 0,57 persen.

13.6.1 Menurut Sektor/Lapangan Usaha


Menurut Chris Manning (1983) analisis data mengenai kegiatan ekonomi penduduk
umumnya menitik beratkan pada alokasi angkatan kerja yang bekerja menurut sektor, tren
perpindahan, (terutama dari sektor pertanian ke sektor lain) dan penyebab perpindahan tersebut
serta implikasinya. Pentingnya pembagian angkatan kerja yang bekerja menurut sektor dalam
pembangunan pertama-tama dipopulerkan oleh Clark dalam tulisannya Condition of Economic
Progress pada tahun 1931, kemudian diteliti secara seksama dalam berbagai tulisan Kuznets
(1957,1966) terutama dalam tujuannya terhadap sejarah pembangunan di negara barat. Alokasi
pekerja dari sektor pertanian ke sektor industry merupakan inti dari teori “kelebihan pekerja”
yang dikembangkan oleh Lewis dan “teori ekonomi dualistis” (lihat misalnya Fei dan Peauw
1974) yang mengaitkan penyerapan pekerja di sektor industri dengan titik balik (turning point)
dalam pembangunan ekonomi. Proses ini banyak diteliti dalam tulisan mengenai sejarah
pembangunan ekonomi di Jepang ()lihat misalnya Minami, 1978).
Pembagian angkatan kerja yang bekerja dan perkembangannya menurut sektor
dianalisis dengan membedakan tiga sektor.
1. Sektor A (Pertanian, perburuhan, kehutanan dan perikanan).
2. Sektor M (Termasuk pertambangan, manufaktur, pembangunan listrik dan air,
pengangkutan, perhubungan, dan gas).
3. Sektor S (Perdagangan, rumah makan, hotel, keuangan, asuransi, jasa-jasa
kemasyarakatan, sosial dan pribadi).

Klasifikasi 9 lapangan pekerjaan ini sejak tahun 2000 mengalami perubahan. Bidang
pekerjaan/lapangan usaha sejak SP2000 maupun Sakernas 2000 mengalami perubahan yang
cukup mendasar, yaitu digolongkan ke dalam 5 sub sektor pertanian dan 5 sektor lainnya
dengan rincian sebagai berikut.
1. Sub sektor pertanian tanaman pangan
2. Sub sektor perkebunan
3. Sub sektor perikanan
4. Sub sektor pertenakan
5. Sub sektor pertanian lainnya
6. Sektor industri pengolahan
7. Sektor perdagangan
8. Sektor jasa kemasyarakatan
9. Sektor angkutan
10. Sektor lainnya (bangunan, keuangan, listrik, gas, dan air).

Analisis perbandingan seperti pertumbuhan kesempatan kerja dan perubahan struktur


antara data setelah tahun 2000 dan sebelumnya akan mengalami kendala karena perbedaan
klasifikasi lapangan usaha. Artinya 5 sub sektor dijadikan satu sektor yaitu sektor pertanian,
sedangkan sektor bangunan, keuangan, listrik, gas dan air menjadi sektor lain-lain, kemudian
baru dapat digunakan untuk analisis pertumbuhan maupun perubahan struktur lapangan usaha.
Pendekatan lain yang banyak digunakan adalah model Sakernas 2000 dengan
menggunakan 8 sektor, sektor pertanian tidak dirinci ke dalam sub sektor dan tetap menjadi
satu sektor, sektor pertambangan, listrik, gas dan air dimasukkan ke sektor 8 yakni sektor lain-
lain. Dengan demikian, pendekatan SP2000 maupun Sakernas 2000 dan di tahun mendatang
analisis A (Pertanian), M (Manufaktur), dan S (Jasa) semakin ditinggalkan setelah adanya revisi
Klarifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI) dan Klarifikasi Jabatan Indonesia (KJI) yang
dari waktu ke waktu mengalami pembaharuan. Pembaharuan dan pengelompokan lapangan
pekerjaan dan jenis pekerjaan dapat diikuti dari buku KLUI dan KJI, publikasi dari Badan Pusat
Statistik.
Tabel 13.4
Angkatan kerja Berumur 15 tahunkeatas yang bekerja

Menurut Lapangan Usaha Indonesia


Lapanganpekerjaan/u Laki - Perempua Jumlah
saha Laki n

(000) % (000) % (000) %

1. Pertanian 24.600 44,4 16.076 46,7 40.676 45,3


2. IndustriPengolah 6.722 12,1 4.918 14,3 11.640 13,0
an
3. Bangunan 3.356 6,1 140 0,4 3.496 3,9

4. Perdagangan 9.605 17,3 8.804 25,6 18.409 20,5

5. Angkutan 4.364 7,9 190 0,6 4.554 5,1


6. Keuangan 627 1,1 255 0,7 882 1,0
7. JasaKemasyarak 5.647 10,2 3.926 11,4 9.573 10,6
atan
8. Lain- lain 435 0,9 88 0,3 523 0,6
(pertambangan
,listrik, gas dan
Air )
55.439 100,0 34.398 100,0 89.838 100,0

 PembagianLapanganusaha modal sakernas 2000 dan seterusnyaakansama,


tetapiberbedadengansakernastahun-tahunsebelumnya . pada SP2000 adapenggolongan
lain yaitu sector pertanian( dirincike 5 sub sector) dan 5 sektorlainnya , yang
lebihdikenaldenganklasifikasi 55.
Sumber :sakernas 2000 , hal. 68,69,dan 70
Tampakjelas pada Tabel 13.4 bahwa pada tahun 2000 saatkrisisekonomimasihberlangsung ,
sektorpertanianmasihmerupakanunggulanutamadalammenyerapkesempatankerja ,
baikuntukpekerjalaki-lakimaupunperempuan . sector perdagangan dan industry
pengolahanlebihdidominasi oleh pekerjaperempuandaripadalaki-laki . Data lapanganpekerjaan
/ usahainiakanlebihmenarikapabiladilihatmenurut wilayah desa-kota , Pendidikan pekerja ,
jumlah jam kerja yang rendah , sertaupah/gaji yang
dapatdigunakanuntukmengetahuiproduktivitaskerjauntuksetiap sector.
Analisispertumbuhankesempatankerjadapatdilakukansetiaptahun (2000, 2001, 2002, dan 2003)
maupunanalisisperubahanstrukturkesempatankerjauntukperiodewaktu yang sama .
13.6.2 Menurutjenis / jabatanpekerjaan
Jenis / jabatan pekerjaan dikelompokkan berdasarkan atas macam pekerjaan yang
sedang atau pernah dilakukan termasuk golongan bekerja atau orang orang yang sedang
mencari pekerjaan dan pernah bekerja .Jabatandibedakan :
1. Pemimpin dan Manajer Senior
2. Tenaga ahli
3. Teknisi dan sejenisnya
4. Tenaga produksi dan tenagaterkait
5. Tata usaha dan usahajasatingkatlanjutan
6. Tata usaha dan usahajenistingkatmenengah
7. Pekerjaproduksi dan Angkutantingkatmenengah
8. Tata usahapenjualan dan jasatingkatrendah
9. Pekerjakasar dan pekerjaterkait .

Penggolongan jenis/ jabatan dapat dilihat secara rinci kedalam satu digit ,dua
digit, tiga digit , dan empat digit seperti yang disajikan oleh BPS (2000) dalam buku
KlarifikasiJabatan Indonesia (KJI) yang dari tahun ketahun terusdisempurnakan .
penggolongan jenis pekerjaankedalam 9 kelompokinimerupakan yang paling baru dan
lebih rinci dibandingkan penggolongansebelumnya. Urutanjenispekerjaan (darinomer 1
sampai 9) merujuk pada urutan produktivitas kerja ,mulaidari yang paling produktif
atau mulai dari produktivitas kerja yang paling tinggi ke yang paling rendah. Distribusi
pekerja menurut jenis pekerjaan di Indonesia adalah seperti berikut : (tabel 13.5)
Tabel 13.5
Angkatan kerjaberumur 15 tahunkeatas yang bekerjamenurutjenispekerjaan dan
jeniskelamin di Indonesia tahun 2000

Jenispekerjaan Laki- Peremp Jumlah


Laki uan
(000) % (000) % (000) %
1. Pemimpin dan 579 1,1 284 0,9 863 1,0
Manajer Senior
2. Tenaga Ahli 1.440 2,6 1.302 3,8 2.742 3,1
3. Teknisi 479 0,9 114 0,3 611 0,7
4. Tenaga Produksi 18.004 32,4 5.191 15,1 23.195 25,8
5. Tata 161 0,3 120 0,3 281 0,3
usahatingkatlanjutan
6. Tata 5.010 9,1 2.537 7,4 7.547 8,4
usahatingkatmenenga
h
7. Tenaga 5.020 9,1 515 1,5 5.535 6,2
produksitingkatmene
ngah
8. Tata 6.584 11,9 6.820 19,8 13.404 14,9
usahatingkatrendah
9. Pekerjakasar 18.144 32,6 17.516 50,9 35.660 39,6
Jumlah n (persen) 55.439 100,0 34.399 100,0 89.838 100,0
Sumber :Sakermas 2000, hal. 104, 105, dan 106 (tidaktermasukpropinsi Maluku)
Dilihatdarijenispekerjaan ,tampakjelasbahwasekitar 55,5 persendari yang bekerja
(nomer 8 dan 9) adalahpekerjatingkatrendah dan pekerjakasar yang
identikdenganproduktivitaskerja yang rendah pula . kemudian yang
bekerjadenganpekerjaantrampil dan produktivitaskerja yang sangattinggitidaksampai 5
persendaripekerja yang ada
.jaditantanganutamanyaadalahbanyaknyapekerjadenganproduktivitaskerja yang rendah yang
identic denganpekerja miskin.
Analisisjenispekerjaan /
jabataniniakanmenarikapabiladilihatmenurutpertumbuhankesempatankerjaseperti 2000-2001;
2001-2002 dan 2002-2003 dan seterusnyasehinggadapatdiketahui pada jenispekerjaan yang
mana banyakpekerja. Hal yang sama juga
dapatdilakukanuntukanalisisperubahanstrukturjenispekerjaanmulaidaripekerjatrampil
(manajer senior dan pemimpin) denganproduktivitaskerja yang tinggisampai pada
pekerjakasardenganproduktivitaskerja yang rendah. selainitu,
jenispekerjaanseringkalidihubungkandengantingkat Pendidikan
denganketerampilanuntukanalisismismatch, jumlah jam
kerjauntukmengetahuidimanaadasetengahpengangguran dan
tempattinggalmaupunmobilitaspekerjaandenganmenghubungkanjenispekerjaan pada tahun-
tahunsebelumnya.

13.6.3 Menurut Status Pekerjaan


Status pekerjaan dikelompokkanberdasarkanatascaramelakukanusaha yang
sedangdikerjakan. status
pekerjaanadalahkedudukanseseorangdalammelakukanpekerjaandisuatu unit usaha. Status
dibedakan :
1.) Berusahasendiritanpabantuan orang lain termasukkelompokini
a. Tukangbecak yang membawabecakatasresikosendiri
b. Sopirtaksi yang membawamobilatasresikosendiri
c. Kuli-kuli di pasar, yang tidakmempunyaimajikan.
2.) Berusahadengandibantuanggotarumahtangga, buruhtidaktetaptermasukkelompokini:
a. Pengusahawarung yang dibantukeluargaataudibantuburuhtidaktetap dan
tidakdibayar
b. Penjajakelilingdengandibantukeluargaataudibantuburuhtidaktetap
c. Petani yang
mengusahakantanahsendiridengandibantuanggotakeluargaatausewaktu-
waktumenggunakanburuhtidaktetap .
3.) Berusahadenganburuhtetap ,pengusaha yang
memperkerjakanburuhtetapdibayartanpamemprhatikanadakegiatanapatidak .
4.) Buruhkaryawan; seseorang yang bekerja pada orang lain
atauinstansidenganmenerimaupahberupauang dan ataubarang
5.) Pekerja; tanpamenerimaupah, misalnyaanakmembantuibuberjualan ,pekerjakeluarga ,
pekerjabukankeluargatetaptidakdibayar .
Dalamanalisispekerjamenurut status pekerjaanada yang bertujuanuntukmengetahui status
pekerjaan formal dan status pekerjaan nonformal. Pekerjaan pada status pekerjaan formal
diasumsikanproduktivitaskerjaadalahlebihtinggidaripadapekerjaandengan status
pekerjaandalamhubungannyadenganpendapatan/produktivitastidakseluruhnyabetul,
akantetapicukupbermanfaatuntukmelihatkesempatankerja yang
adadenganproduktivitastidakseluruhnyabetul,
akantetapicukupbermanfaatuntukmelihatkesempatankerja yang
adadenganproduktivitaskerjameskipunsangatkasar. Distribusi Angkatan kerja yang
bekerjamenurut status pekerjaansepertitabel 13.6 berikutini .

Tabel 13.6
Angkatan kerjaberumur 15 tahunkeatas yang bekerjamenurut status pekerjaan di Indonesia
tahun 2000
Status pekerjaan Lakila Peremp Jumla
ki uan h
(000) % (000) % (000) %
1. Berusahasendiri 13.222 23,8 6.279 18,3 19,501 27,7
2. Berusahadibantuburuh/ 16.128 29,1 4.592 13,3 20,720 23,1
pekerjatetap/pekerjatak
dibayar
3. Berusahadibantuburuh / 1.608 2,9 424 1,2 2,032 2,3
pekerjatidakdibayar
4. Pekerja/buruh/karyawan 19.788 35,7 9.709 28,2 29,497 32,8
5. Pekerjatidakdibayar 4.692 8,5 1.3393 39,0 18.085 14,1
Jumlah 55.439 100,0 34.399 100,0 89.838 100,0

Sumber: sakernas 2000, hal 73, 74, dan 75


Data inimengungkapkanbahwa Angkatan kerja yang bekerja pada status pekerjaan informal
atau sector informal sangattinggiyaknimencapaisekitar 64,9 persen (status 1, 2, dan 5).
Dengandemikianhampirduapertigadaripekerja yang
adaproduktivitaskerjanyarendahatauidentikdenganpekerja miskin. keadaan yang
lebihmenarikadalahtingginyapekerjaperempuan yang tidakdibayar (39 persen) atau hamper
tigaperempat (70,9 persen) pekerjaperempuanbekerja pada sector informal sedangkanlaki-laki
juga relatifmasihtinggi pula yakni 61A persensebagaipekerja sector informal.
Klasifikasi status pekerjaansejaktahun 1971 tidakmengalamiperubahanhinggatahun 2000 dan
tampaknyauntukperiodeseterusnyadibandingkandenganklasifikasilapanganusahamaupunjenis
pekerjaan yang selalumengalamipenyesuaian. Dengandemikiananalisisperubahan status
pekerjaanmaupunpertumbuhannyamudahdilakukan. Status pekerjaan yang
seringdigunakansebagaiperkiraan sector formal-informal
akanlebihmenarikapabiladihubungkandenganlapanganpekerjaan dan Janis pekerjaan,
Pendidikan, jam kerja , dan upah / gaji. Pada lapanganpekerjaanatau sector yang mana yang
banyakmenyerappekerjadengan status pekerjaan sector informal. Hal yang sama juga
untukjenispekerjaan, tempattinggaldesa-kota dan jam kerja.

BAB XIV
PROYEKSI PENDUDUK

14.1 PENDAHULUAN
Semuaperencanaanpembangunansangatmembutuhkan data penduduktidaksaja pada
saatmerencanakanpembangunantetapi juga pada masa masamendatang yang
disebutdenganproyeksipenduduk.
Proyeksipendudukbukanmerupakanramalanjumlahpendudukuntuk masa mendatang,
tetapisuatuperhitunganilmiah yang didasarkanasumsidarikomponen –
komponenlajupertumbuhanpendudukyaitu ,kelahiran , kematian , dan migrasipenduduk.
Ketigakomponeninilah yang menentukanbesarnyajumlahpendudukstrukturpendudukdimasa
yang akandatang.
Ketajamanproyeksipenduduksangattergantung pada
ketajamanasumsitrenkomponenpertumbuhanpenduduk yang dibuat. menurut BPS (1998),
untukmenentukanasumsitingkatkelahiran ,kematian dan perpindahandimasa yang
akandatangdiperlukan data yang menggambarkantren di masa lampauhinggasaatini , faktor-
faktor yang mempengaruhimasing-masingkomponen , dan
hubunganantarasatukomponendengan yang lain serta target yang akandicapaiataudiharapkan
pada masa yang akandatang.
Proyeksipendudukinisecaraperiodikperludirevisi
,karenaseringterjadibahwaasumsitentangkecenderungantingkatkelahiran , kematian , dan
perpindahanpenduduk (migrasi) yang melandasiproyeksi lama
tidaksesuailagidengankenyataan. Biro pusatstatistik (1998) sudahbeberapa kali
membuatproyeksipendudukyaitu pada setiaptersediannya data hasilsensuspenduduk (SP) 1971,
1980, 1990, dan survey PendudukAntarSensus (SUPAS) 1985 dan 1995.
14.2 DATA DASAR
Data dasar yang diperlukanuntukpembuatanproyeksipendudukadalahsebagaiberikut:
a.) Jumlahpendudukmenurutkelompokumur dan jeniskelaminsebaga data
dasarpembuatanproyeksipenduduk.
b.) Besar dan perkembanganangkakelahiran ,kematian dan migrasipenduduk;
c.) Tabelkematian yang sesuaidenganperkembangankomponendemografi pada
periodeproyeksitersebut.
14.2.1 Evaluasi Data Umur dan Jenis Kelamin.
Menurut BPS (1998) data yang diperoleh dari hasil sensus dan survey biasanya masih
mengandung beberapa kesalahan, walaupun telah diusahakan agar kesalahan tersebut tidak
terjadi atau sekecil mungkin. Kesalahan ini sering terjadi, antara lain karena banyak penduduk
terutama di daerah pedesaan yang tidak melaporkan umur mereka dengan benar. Hal ini
disebabkan karena memang penduduk tersebut tidak menegetahui tanggal kelahirannya atau
umurnya, sehingga pelaporan umurnya hanya berdasarkan perkiraan dia sendiri atau perkiraan
pencacah. Selain itu walaupun ada penduduk yang mengetahui umurnya secara pasti tetapi
karena alasan-alasan tertentu melaporkan umurnya lebih tua atau lebih muda dari umur
sebenarnya.
Seperti telah disebutkan di atas, salah satu data dasar yang dibutuhkan untuk membuat
proyeksi penduduk dengan metode komponen adalah jumlah penduduk yang dirinci menurut
umur dan jenis kelamin. Oleh Karena itu, untuk keperluan proyeksi ini data dasar yang
mengandung beberapa kesalahan perlu dievaluasi ,secara cermat kemudian dilakukan
perapihan (adjustment) dengan tujuan untuk menghapus atau memperkecil berbagai kesalahan
yang ditemukan. Mengingat pentingnya data mengenai umur, maka untuk memperoleh
keterangan tentang umur yang lebih baik dalam sensus penduduk yang lalu dan SUPAS 1995
oleh BPS telah ditempuh berbagai cara. Bagi responden yang tahu tanggal lahirnnya dalam
kalender masehi, umur responden bias langsung dihitung, sedangkan bagi responden yang tahu
tanggal kelahirannya dalam kalender islam, jawa dan sunda umur responden dihitung dengan
menggunakan table konversi kalender yang disediakan dalam buku pedoman pencacahan .
terakhir untuk responden yang tidak tahu tanggal kelahirannya, tetap diupayakan memperoleh
keterangan tentang umur dengan menghubungkan kejadian penting setempat atau nasional atau
membandingkan dengan umur orang/tokoh setempat yang diketahui waktu kelahirannya (BPS,
1998).
Setelah data SUPAS 1995 diperoleh, BPS membuat proyeksi penduduk Indonesia per
provinsi selama 10 tahun (hingga tahun 2005). Walaupun berbagai usaha untuk
memperoleh keterangan tentang umur sudah dilakukan namun data penduduk menurut umur
dalam SUPAS 1995 masih tidak terlepas dari kesalahan dalam pelaporan. Kesalahan yang
terjadi antara lain karena adanya kebiasaan penduduk, terutama yang tidak tahu tanggal
lahirnya, melaporkan umurnya pada tahun tahun yang berakhiran 0 dan 5. Disamping itu,
seperti talah disebutkan diatas terjadi juga kesalahan pada penduduk yang tahu secara pasti
umurnya tetapi karena alasan terntentu mereka melaporkan umurnya lebih tua atau lebih muda
dari yang seharusnya.
Menurut BPS (1998) kesalahan pelaporan umur pada hasil SUPAS 1995 misalnya dapat
dilihat pada data Rasio Jenis Kelamin (RJK) menurut umur. Kalau pelaporan Umur baik, RJK
pada suatu Umur tertentu tidak berbeda besar dengan Umur yang disekitarnya. Pada usia 0-4
tahun biasanya sedikit diatas 10, setelah umur tersebut RJK turun secara teratur dan mencapai
nilai dibawah 100 pada usia tua. Gambaran seperti ini tidak terlihat pada Tabel 14.1, karena
RJK berfluktuasi naik turun tidak menentu dan yang cukup menarik RJK pada usia 20-24 tahun,
25-29 tahun , dan 30-34 tahun sangat rendah. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa hal ini
karena mobilitas laki-laki pada usia tersebut sangat besar, sehingga banyak yang lewat cacah
pada waktu pencacahan.

Tabel 14.1.
Rasio jenis kelamin Menurut Golongan Umur tahun 1971-1995
GolonganUmur 1971 1980 1990 1995

0,4 101,2 104,3 105,2 103,8


5-9 103,1 104,2 105,6 105,0
10-14 107,7 107,4 105,8 104,1
15-19 97,4 96,7 101,2 100,1
20-24 81,3 85,1 88,7 91,5
25-29 80,4 97,9 91,3 90,1
30-34 87,6 97,1 98,8 94,5
35-39 97,6 96,1 107,3 100,8
40-44 100,9 96,5 98,5 106,7
45-49 109,2 96,0 96,9 108,1
50-54 97,0 101,0 96,8 106,5
55-59 102,4 103,0 92,5 92,7
60-64 86,2 93,4 96,2 81,9
65-69 92,5 89,8 93,6 95,5
70-74 96,6 81,9 87,3 91,3
75+ 93,6 82,9 78,5 79,6
Jumlah 97,2 98,8 99,4 99,1
Sumber :BPS (1998)

14.2.2 Perapihan Umur


Seperti telah disinggung di muka perapihan umur dilakukan dengan tujuan untuk
memperkecil kesalahan yang ada dalam data tersebut. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka
kesalahan-kesalahan itu akan terbawa ke dalam perhitungan proyeksi, sehingga akan
mempengaruhi jumlah dan struktur umur penduduk dalam periode proyeksi tersebut. Dalam
melakukan peraoihan umur kesulitan yang dihadapi adalah tidak diketahui secara pasti letak
kesalahan-kesalahan yang ada sehingga sulit menentukan umur-umur mana saja yang sudah
pasti salah dan mana yang benar, sehingga perapihan dilakukan untuk semua kelompok umur
(BPS, 1998).
BPS mengadakan perapihan data dasar penduduk menurut umur dan jenis kelamin
(SUPAS1995) dilakukan dalam tiga tahapan yang berbeda. Pertama , merapihkan data
penduduk umur (10-64) tahun. Kedua, merapihkan data penduduk umur 65 tahun keatas, ketiga
tahap terakhir adalah merapikan data penduduk umur (0-9) tahun. Masing-masing tahap
perapihan data dasar dilakukan dengan metode yang berbeda.
Tahap pertama menggunakan metode dari perserikatan Bangsa-bangsa (UN,1956)yang
disusun dalam paket computer Micro Computer Programs for Demographics Analysis
(MCPDA). Secara umum formula yang digunakan adalah sebgai berikut :

S= 1/16 (-PX-2 + 4PX-1 + 10PX+ 4Px+1 - Px+2)

Sebagai contoh :
P25-29 = 1/16 (-p15-19) + 4P20-29 + 10P 25-29 + 4P30-34 – P35-39 )

Hasil perapihan jumlah penduduk menurut jenis kelamin kelompok umur 10-64 tahun
menggambarkan keadaan pada tanggal 31 oktober 1994 (masa pencacahan SUPAS 1995).
Sebagai dasar perhitungan proyeksi, data ini digeser ke akhir tahun ( 31 Desember 1995
)dengan menggunakan laju pertumbuhan penduduk 1990-1995 dan dengan asumsi dalam 2
bulan terakhir ditahun 1995 tidak terjadi perubahan penting pada susunan umur dan jenis
kelamin.
Tahap kedua adalah perapihan penduduk yang berusia 65 tahun ke atas, menggunakan
distribusi umur penduduk 65 tahun ke atas dari suatu Negara yang penduduknya sudah stabil.
Kelompok penduduk ini tidak besar pengaruhnya terhadap hasil proyeksi karena jumlahnya
relatif kecil dan dalam waktu relatif singkat akan berkurang dan menjadi NOL.

Tahap terakhir adalah merapikan pendudukyang berumur 0-4 dan 5-9 tahun , jumlah
penduduk kelompok ini, terutama yang berumur 0 dan 1 tahun, jauh lebih kecil daripada yang
diharapkan yang diduga karena lewat cacah. Untuk merapikan diperlukan data tentang tingkat
kelahiran total (TFR) masa lampau yang menggambarkan keadaan paling tidak 10 tahun
sebelum pencacahan , dan jumlah dan susuan umur wanita usia subur serta tingkat kematian
dalam kurun waktu yang sama (BPS,1998).

14.3 TEKNIK PEMBUATAN PROYEKSI PENDUDUK METODE KOMPONEN

Metode komponen merupakan metode proyeksi terhadap komponen-komponen


demografi misalnya kematian (Mortalitas), kelahiran (fertilitas ), dan migrasi penduduk. Untuk
pembuatan proyeksi penduduk dengan metode komponen perlu dipersiapkan data sebagai
berikut :

14.3.1 Data Dasar


Data dasar berupa komposisis menurut umur. Karena pola kematian menurut umur
untuk penduduk laki-laki berbeda dengan penduduk perrempuan, maka pembuatan proyeksi
penduduk harus dipisahkan antara penduduk laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh akan
dibuat proyeksi penduduk perempuan (desa dan kota) untuk propinsi Jawa Tengah dengan data
dasar sensus penduduk tahun 1990 seperti terlihat dalam tabel 14.2.
Tabel 14.2
Komposisi penduduk perempuan (desa dan kota)
Menurut kelompok Umur Propinsi Jawa Tengah Tahun 1990
Kelompok Umur Jumlah Kelompok Umur Jumlah
0-4 1572492 40-44 683884
5-9 1721002 45-49 691052
10-14 1685712 50-54 583501
15-19 1331491 55-59 504613
20-24 1243806 60-64 381733
25-29 1114547 65-69 230606
30-34 851703 70-74 165885
35-39 659640 75+ 165943
Sumber. BPS (1993)
Data ini tidak perlu dirapihkan karena perapihan telah dilaksanakan oleh BPS.
14.3.2 Tabel Kematian ( life Table)
Hingga kini tabel kematian (life table) untuk masing-masing propinsi di Indonesia
belum ada, maka pembuatan proyeksi penduduk di Indonesia juga untuk masig-masing propinsi
digunakan Regional Model life and Stable Population karangan Ansley J. Coale, dan Paul
Demeny (1994). Tobel kematian yang sementara ini cocok digunakan di Indonesia adalah
Model West. Selanjutnya dari tabel-tabel ini dipilih tabel kematian yang sesuai dengan wilayah
yang akan dibuat proyeksinya. Pemilihan tabel kematian didasarkan kepada Level of
moratalitydan angka harapan hidup waktu lahir. Setelah di pilih tabel lematian yang sesuai,
maka kolom yang akan digunakan untuk keperluan pebuatan proyeksi adalah Survival Ratio
(SR) dengan simbol npx .
Untuk propinsi Jawa Tengah, angka harapan hidup bayi perempuan pada waktu lahir
pada tahun 1990 bersama 60 tahun, maka tabel kematian yang di gunakan adalah levelof
mortality 17. Diasumsikan angka harapan hidup waktu lahir bayi perempuan akan terus
meningkat maka Angka Survival Ratio (SR) yang akan digunakan untuk perbuatan proyeksi
penduduk perempuan propinsi Jawa Tengah tahun 1990-2005 dapat diliha dalam Tabel 14.3.
Tabel 14.3
Survuival Ratio (npx) untuk Level 17,18,19
Umur (x) Level 17 Level 18 Level 19
0 0,91708* 0,93024* 0,94282*
1 0,97441** 0,98003** 0,98514**
5 0,99024 0,99213 0,00389
10 0,98950 0,99143 0,99323
15 0,98553 0,98803 0,99038
20 0,98223 0,98518 0,98794
25 0,97953 0,98281 0,98590
30 0,97633 0,97990 0,98328
35 0,97216 0,97592 0,97951
40 0,96600 0,96981 0,97325
45 0,95502 0,95929 0,96347
50 0,93775 0,94289 0,94795
55 0,90968 0,91624 0,92276
60 0,86524 0,87338 0,88152
65 0,79681 0,80629 0,81584
70 0,69691 0,70747 0,71816
75 0,44309*** 0,45358*** 0,46443**
80 0 0 0
P (kelahiran)
** P (0-4)
*** T (80)/T(75)
Sumber : Coal, Ansley J., and Demeny (1944)
14.3.3 Angka Kelahiran
Untuk memproyeksikan penduduk umur (0-4) tahun diperlukan proyeksi angka
kelahiran. Sebagai contoh, kita telah mempunyai jumlah penduduk perempuan (0-4) tahun pada
tahun 1990 sebagai penduduk dasar proyeksi. Untuk menghitung proyeksi penduduk
perempuan (0-4) tahun pada tahun 1995 dibutuhkan angka kelahiran bayi perempuan antara
tahun 1990 hingga tahun 1995.
Proyeksi angka kelahiran pendudukn ditempuh dengan jalan mengalikan tingkat kelahiran
menurut kelompok umur (ASBR) dengan proyeksi jumlah penduduk perempuan pada
kelompok umur yang bersangkutan dibagi dengan 1000(k).
𝐵𝑖
ASBRi = 𝑥𝑘
𝑝𝑖
𝐴𝑆𝐵𝑅𝑖 𝑥 𝑃
𝑖
Bi = 𝑘

Diasumsikan bahwa besarnya angka ASBRi Selama periode waktu proyeksi (mis.1990-
2005) tetap, maka untuk mendapatkan proyeksi angka kelahiran pada 5 tahun berikutnya
didapat dengan mengalikan ASBRidengan proyeksi Pfi dibagi dengan k. angka Bi ini adalah
jumlah kelahiran bayi laki-laki dan perempuan menurut kelompok umur i. Untuk mendapatkan
jumlah kelahiran seluruh bayi laki-laki dan perempuan makan Bi dijumlahkan. Karena proyeksi
bpenduduk yang dibuat adalah proyeksi penduduk perempuan, maka perlu dicari angka
kelahiran bagi perempuan dengan menggunakan rasio jenis kelamin kelahiran (sex ratio at
birth).
Angka ASBRi untuk Propinsi Jawa Tengah (Desa dan kota pada tahun 1990 terlihat pada Tabel
14.4.
Tabel 14.4
Tingkat (angka ) kelahiran menurut Umur (ASBR)
Propinsi Jawa Tengah (Desa dan Kota) pada Tahun 1990
Kelompok Umur Tiingkat Kelahirran
(tahun) Menurut Umur (ASBRi)
15-19 73
20-24 176
25-29 153
30-34 111
35-39 65
40-44 25
45-49 6
Sumber :BPS,1992
14.3.4 Rasio Kelahiran Menurut Jenis Kelamin
Pada tahun 1990 untuk Propinsi Jawa Tengah rasio kelahiran menurut jenis kelamin
(sex ratio atbirth) adalah 107, yang berarti tiap kelahiran 100 bayi perempuan terdapat 107
kelahiran bayi laki-laki. Di muka telah disebutkan bahwa kita telah mmenghitung seluruh
kelahiran bayi laki-laki dan perempuan dengan menjumlahkan kelahiran menurut kelompok
umur, atau dengan rumus ditulis.

(BM+F) = ∑Bi (M+F)

Dengan memperhatikan sex ratio at birth (SBR) sebesar 107 maka kelahiran bayi perempuan
dapat di tulis dengan rumus.
100
Bf = 𝑥𝐵(𝑥𝜋 ± 𝑓)
207

14.3.5 Estimasi Migrasi Penduduk


BPS (I998) betdasarhn dab SUPAS 1995 megikut sertakan komponen migrasi
penduduk dalam perhitungan prpyeksi penduduk. Untuk keperluanproyeksi ini data migran
yang dipakai adalah migran risen yaitu migran yang dihitung berdasarkan tempat tanggal 5
tahun yang lalu dibandingkan dengan tempat tinggal sekarang. Unit migrasi yang dipakai
adalah pindah antarpropinsii, sehingga pindah antarkabupaten/ kotamadya tetapi masih dalam
satu Propinsi dikategorikan bukan migran. Bagi Indonesia secara keseluruhan angka migrasi
internasional dapat diabaikan (diasumsikan 0). Estimasi migran risen masuk,keluar, dan
migran neto, dikelompokan-kelompokkan menurut umur dengan jenjang 5 tahun. Dengan
menerapkan metode Life Table Survival Ratio dari buku NM: “Methode of measuring Internal
Migration Normal VI, dihitung besarnya migran perkelompok numur.
Angka migrasi neto, ada yang positif dan ada pula yang negatif. Propinsi Jawa Barat
misalnya menunjukan angka migrasi risen yang propinsi yang relatif tinggi yang diduga
mendapat limpahan dari penduduk DKI Jakarta dan Jawa Tengah. Propinsi Jawa Tengah angka
mgran netonya negatif baik untuk laki-laki maupun perempuan. Migran neto yang negatif untuk
propinsi Jawa Tengah tidak hanya karena transmigrasi, tetapi termasuk juga mereka yang
pindah secara swakarsa (BPS,1998).
14.3.5 Estimasi Migrasi Penduduk
BPS (1998) berdasarkan data SUPAS 1995 mengikutsertakan komponen migrasi
penduduk dalam perhitungan proyeksi penduduk. Untuk keperluan proyeksi ini data migran
yang dipakai adalah migran risen yaitu mighran yang dihitug berdasarkan tempat tinggal 5
tahun yang lalu dibandingkan dengan tempat tinggal yang sekarang. Untuk migrasi yang
diapakai adalah pindah antar propinsi, sehingga pindah antar kabupaten/kotamadya tetapi masih
dalam satu propinsi dikategorikan bukan migran. Bagi indonesia secara keseluruhan angka
migrasi internasional dapat diabaikan (diasumsikan 0). Estimasi migran risen masuk, keluar,
dan migran neto, dikelompok-kelompokkan menurut umur dengan jenjang 5 tahun. Dengan
menerapkan metode Life Table Survival Ratio dari buku NM : “Methode of Measuring Internal
MigrationNormal IV, dihitung besarnya migran kelompok umur.
Angka migrasi neto, ada yang positif dan ada pula yang negatif. Propinsi Jawa Barat
misalnya menunjukkan angka migrasi risen yang positif yang relatif tinggi yang diduga
mendapat limpahan dari penduduk DKI Jakarta dan Jawa Tengah. Propinsi Jawa Tengah angka
migran netonya negatif baik untuk laki-laki maupun perempuan. Migran neto yang negatif
untuk Propinsi Jawa Tengah tidak hanya karena transmigrasi, tetapi termasuk juga mereka yang
pindahsecara swakarsa (BPS, 1998).
Karena sulit untuk menentukan pola migrasi di masa datang, dan keadaan migrasi pada
masa-masa yang akan datang tidak dapat diperkiraan, maka untuk keperluan proyeksi
diasumsikan bahwa pola atau angka migran per tahun yang terjadi pada periode 1990-1995
akan sama denngan pola atau migrasi untuk periode 1995-2005.
Menurut BPS (1998) mungki keadaan ini kurang tepat, tetapi karena belum ada metode
estimasi migrasi di masa yang akan datang maka estimasi ini dapat dipergunakan. Setelah
dilakukan perhitungan ternyata pengaruh migrasi terhadao penduduk di setiap propinsi sangat
kecil. Hal ini terjadi karena jumlah atau angka migrasi masih relatif kecil, sedangkan jumlah
penduduk di setiap propinsi sudah relatif besar.
14.3.6 Langkah-langkah Pembuatan Proyeksi Penduduk
Setelah bahan-bahan untuk pembuatan proyeksi penduduk terkumpul semua, maka
urut-urutan pengerjaan selanjutnya adalah sebagai berikut (Baldwin, KDS, 1975).
Langkah pertama
Dari data dasar penduduk perempuan menurut umur di propinsi Jawa Tengah, masing-
masing dikalikan dengan Survival Ratio (SR), lalu didapat jumlah penduduk perempuan pada
tahun 1995 tetapi pada kelas yang lebih tinggi. Sebagai contoh penduduk perempuan kelompok
umur (0-4) tahun sebesar 1.572.492 orang dikalikan dengan Survival Ratio yang besarnya
0,97441 menghasilkan penduduk kelompok umur (5-9) tahun 1995 yang besarnya 1.532.252.
(Tabel 14.5).
Perlu dijelaskan bahwa proyeksi penduduk perempuan kelompok umur (0-4) tahun pada
tahun 1995 belum dapat dikerjakan karena harus dihitung lebih dahulu jumlah kelahiran bayi
perempuan tahun 1990/1995.
Sebenarnya ada baiknya terlebih dahulu mebuat proyeksi penduduk perempuan menurut
kelompok umur karena akan didapat proyeksi penduduk perempuan usia reproduksi. Data ini
akan dipergunakan untuk mencari proyeksi angka kelahiran.
Dalam kasus ini diasumsikan bahwa tidak ada migrasi masuk dan migrasi keluar dan
kalau ada, jumlahnya hanya sedikit dan secara statistik tidak penting (significance), tingkat
kelahiran dan tingkat kematian turun dengan moderat setelah tahun 1990.

Tabel 14.5
Proyeksi Penduduk Perempuan Jawa Tengah 1990-2005
Menurut Unur, Desa + Kota
Umur Pdd prp Pdd prp Pdd prp SR 95/00 Pdp prp SR 00/05 Pdd prp
SP 1990 Level 17 1995 Level 18 2000 Level 19 2005
0 1670741 0,91708 1900928 0,93240 2102565 0,94282 -
0-4 1572492 0,97441 1532203 0,98003 1768319 0,98514 1982340
5-9 1721002 0,99024 1532252 0,99213 1501605 0,99389 1742042
10-14 1685712 0,98950 1704205 0,99143 1520193 0,99323 1492430
15-19 1131491 0,98553 1668012 0,98803 1689600 0,99036 1509901
20-24 1243806 0,98223 1312224 0,98518 1648046 0,98794 1673312
25-29 1114547 0,97953 1221704 0,98281 1292777 0,98590 1628171
30-34 851703 0,97633 1091732 0,97990 1200703 0,98328 1274549
35-39 659640 0,97210 831543 0,97592 1069788 0,97951 1176100
40-44 683884 0,96600 676232 0,96981 811519 0,97352 104868
45-49 691052 0,95502 660632 0,95928 655817 0,96347 790030
50-54 583501 0,93775 659969 0,94289 633731 0,94796 631860
55-59 504613 0,90968 547178 0,91624 622278 0,92276 600752
60-64 381733 0,86524 45036 0,87338 501346 0,88152 574213
65-69 230606 0,79681 330291 0,80629 400913 0,81584 441947
70-74 165885 0,69691 183749 0,70747 266310 0,71816 327081
75+ 165945 0,44309 18915 0,45358 215785 0,46443 291470

Langkah Kedua
Untuk mendapatkan angka jumlah kelahiran pada masa-masa mendatang, maka angka
ASBR, yang sudah dipersiapkan dikalikan dengan proyeksi jumlah penduduk perempuan
menurut kelompok umur pada usia reproduksi. Digunakannya angka ASBR, yang sama untuk
seluruh proyeksi penduduk dengan asumsi bahwa sifat kelahiran dan kematian stabil pada
periode waktu-waktu tertentu (dalam kasus Propinsi Jawa Tengah periode 1990-2005).
Perhitungan proyeksi kelahiran pada periode proyeksi dapat dilihat dalam Tabel 14.6.

Tabel 14.6
Proyeksi Jumlah Kelahiran di Propinsi Jawa Tengah
Pada Tahun 1990 dan 1995
Kelompok ASBR, Pdd prp i Kelahiran i Pdd prp i Kelahiran i
umur (th) 1990 1990 1995 1995
(1) (2) (3) (4)=(2x3)/ (5) (6)=(2x5)/
1000 1000

15-19 73 1331491 97199 1668012 121765


20-24 176 1243806 218910 1312224 230951
25-29 153 1114547 170526 1221704 186921
30-34 111 851703 94539 1091732 121182
35-39 65 659640 45217 831543 54050
40-44 25 683884 17097 676232 16906
45-49 6 691052 4146 660632 3964
647634 735739
(B1990) (B1995)

Langkah Ketiga
Dalam Tabel 14.6 telah dihitung jumlah kelahiran bayi perempuan total tahun 1990
sebesar 647634 kelahiran dan pada tahun 1995 diproyeksikan sebesar 735739 kelahiran. Pada
periode tahun 1990-1995 jumlah kelahiran total (L+P) sebesar:
647634 + 735739
5 x = _______________________ 3458433
2
Langkah keempat
Setelah memproyeksikan jumlah kelahiran total (lk + pr), pada periode 1990-1995 perlu
dihitung jumlah kelahiran bayi perempuan saja. Untuk ini perlu diperhatikan rasio jenis kelamin
kelahiran, yang besarnya 107. Jadi jumlah kelahiran bayi perempuan pada periode 1990-1995
sebesar:
100
____ x 3458433 kelahiran = 1670741 kelahiran bayi perempuan
207
Letakkan angka ini pada kolom 2 (Tabel 14.5) pada kelahiran (umur 0 tahun). Kerjakan
hal yang sama untuk kelahiran bayi perempuan periode 1995-2000 dan 2000-2005 tahun
Langkah kelima
Angka kelahiran pada kolom 2 (Tabel 14.5) lalu dikalikan dengan Survival Ratio di
kolom 3 yang besarnya 0,91708 (lihat tabel 14.3) didapatkan proyeksi penduduk perempuan
umur 0-4 tahun sebesar 1.532.203 orang tahun 1995.

Langkah keenam
Proyeksi penduduk pada kelompok terakhir (75+) digunakan rumus:
(P 70-74) x (SR 70-74) + (P 75+) x (SR 75+)
Contoh: penduduk perempuan umur 75+ pada tahun 1995
(165.885 x 0,69691) + (165.943 x 0,44309) =
115.607 + 73.528 = 18913

14.4 PROYEKSI PENDUDUK INDONESIA DENGAN DATA SUPAS 1995


Dengan tersedianya data SUPAS 1995, Biro pusat statistik telah membuat proyeksi
penduduk Indonesia berdasarkan propinsi. Tujuan pembuatan proyeksi ini untuk menunjang
perencanaan pembangunan jangka panjang tahap II khususnya pada pelita VII (1998/1999-
2003/2004). Periode yang diambil tidak terlalu lama dengan pertimbangan agar asumsi yang
digunakan tidak terlalu menyimpang, sehingga hasil proyeksi ini dianggap realistis. Uraian
selanjutnya dikutipkan hasil proyeksi penduduk dengan data dasar SUPAS 1995 yang dibuat
oleh BPS tahun 1998. Proyeksi tersebut dituangkan pada sebuah bukudengan judul: Proyeksi
Penduduk Indonesia Per Propinsi 1995-2005 seri:57.
14.4.1 Asumsi yang Digunakan
A. Proyeksi penduduk Indonesia (1995-2005)
a) TFR Indonesia menurun sesuai dengan tren di masa lampau, dan diproyeksikan akan
mencapai NRR = 1 pada akhir Pelita IX (tahun 2013) dengan menggunakan rumus fungsi
logistik: K
Y = L + ________
1 + be at
Dimana:
Y = Perkiraan TFR
L = Perkiraan asymptot bahwa TFR pada saat NRR=1
k = Suatu besaran (konstanta), untuk menentukan asymptot atas a dan b = koefisien
kurva logistik
t = Waktu sebagai variable bebas
e = konstanta eksponensial
Dengan demikian TFR Indonesia turun dari 2,593 pada periode 1995-2000 menjadi
2,382 pada periode 2000-2005, seperti yang disajikan dalam tabel 14.7
b) IMR Indonesia menurun sesuai dengan tren di masa lampau dan diproyeksikan akan
mencapai IMR=20 pada akhir PJPII dengan menggunakan rumus fungsi logistik:

𝑘
Y = L+ 𝐼+𝑏𝑒 𝑎𝑡

di mana:
Y = Perkiraan IMR
L = Perkiraan asymptot bawah (IMR=20)
k = Suatu besaran, dimana k+L=180 adalah asymptot atas IMR Indonesia akan turun
dari 51 pada tahun 1991 menjadi 36 pada tahun 2002 (lihat Tabel 14.7).
c) Migrasi internasional neto dapat diabaikan (diasumsikan sama dengan nol), karena orang
yang keluar masuk Indonesia diperkiraan seimbang dan relatif sangat kecil dibandingkan
dengan penduduk Indonesia
Tabel 14.7
Estimasi Angka Kelahiran Total (TFR) dan Angka Kematian Bayi (IMR)
Menurut Propinsi 1995-2005
Propinsi TFR IMR
1995-2000 2000-2005 1995-2000 2000-2005
1. Daerah Istimewa 2,782 2,366 41,37 30,46
Yogyakarta
2. Sumatera Utara 3,076 2,746 43,60 35,12
3. Sumatera Barat 2,936 2,632 50,57 40,31
4. Riau 2,847 2,501 40,46 31,64
5. Jambi 2,867 2,501 40,46 35,87
6. Sumatera Selatan 2,784 2,465 51,37 38,22
7. Bengkulu 2,826 2,578 51,79 38,54
8. Lampung 2,737 2,387 49,55 37,04
9. DKI Jakarta 2,002 2,002 26,30 18,37
10. Jawa Barat 2,610 2,377 56,05 42,01
11. Jawa Tengah 2,413 2,251 48,08 43,22
12. D.I. Yogyakarta 2,002 2,002 27,16 20,32
13. Jawa Timur 2,021 2,021 50,71 40,51
14. Bali 2,004 2,004 33,44 25,17
15. Nusa Tenggara Barat 3,115 2,800 85,21 67,05
16. Nusa Tenggara Timur 3,235 2,838 59,20 46,57
17. Timor Timur 4,075 3,506 89,70 72,72
18. Kalimantan Barat 2,919 2,436 56,53 45,12
19. Kalimantan Tengah 2,857 2,662 37,38 31,07
20. Kalimantan Selatan 2,583 2,362 66,97 50,37
21. Kalimantan Timur 2,599 2,392 39,43 31,74
22. Sulawesi Utara 2,376 2,321 39,14 31,09
23. Sulawesi Tengah 2,783 2,497 62,98 48,97
24. Sulawesi Selatan 2,698 2,491 45,14 34,86
25. Sulawesi Tenggara 3,003 2,390 53,20 41,57
26. Maluku 3,023 2,554 48,29 38,27
27. Irian Jaya 3,104 2,780 54,94 42,82
INDONESIA 2,593 2,382 49,66 46,48

B. Proyeksi Penduduk Per Propinsi (1995-2005)


a. - TFR di setiap menurun dengan kecepatan yang berbeda sesuai dengan tren di masa
lampau masing-masing propinsi dan diproyeksikan dengan menggunakan rumus fungsi
logistik seperti proyeksi TFR Indonesia
- Untuk propinsi-propinsi yang TFR-nya telah berada pada posisi TFR=2, maka kondisi
tersebut tetap dipertahankan sampai akhir periode proyeksi. Hal tersebut sebagai
konsekuensi dari kebijaksanaan kependudukan pemerintah Indonesia yang tidak
menganut paham “One Child Family”.
- Asumsi penurunan TFR disajikan pada Tabel 14.7

b. - IMR di setiap propinsi menurun dengan kecepatan yang berbeda, sesuai dengan tren
di masa lampau dari masing-masing propinsi, dan diproyeksikan dengan
menggunakanrumus fungsi logistik seperti proyeksi IMR Indonesia
- Disetiap propinsi IMR diproyeksikan akan mencapai sekitar 20 pada akhir PJP II.
Asumsi tersebut digunakan berdasarkan kecenderungan tren masa lampau dan
kebijaksanaan Departemen Kesehatan pada Pelita VI yang menempatkan upaya
kesehatan ibu dan anak sebagai prioritas pembangunan, yaitu dengan melakukan
berbagai terobosan strategis yang bersifat inovatif seperti penggunaan obat generik,
konversi rumah sakit sebagaiunit swadana dan sebagainya, sehingga penurunan IMR
diperkirakan menjadi lebih cepat
- Asumsi penurunan IMR per propinsi disajikan pada Tabel 14.7.

c. – Dengan terbatasnya informasi mengenai pola migrasi penduduk, maka tingkat migrasi
neto rata-rata setiap tahun antara 1990-1995 diasumsikan tetap hingga tahun 2005,
seperti disajikan pada tabel 14.6.

14.4.2 Hasil Proyeksi


A. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk
Hasil proyeksi penduduk menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama
sepuluh tahun mendatang akan bertambah terus dari 195,3 juta pada ahun 1995 menjadi 225,7
juta pada tahun 2005 (lihat Tabel 14.8) walaupun dengan tingkat pertumbuhan semakin
menurun. Pertumbuhan rata-rata per tahun penduduk Indonesia selama periode 1995-2005
menunjukkan kecenderungan terus menurun. Dalam dekade 1990-1995, penduduk Indonesia
bertambah dengan kecepatan 1,66 persen per tahun, kemudian antara 1995-2000 dan 2000-2005
turun menjadi 1,50 persen, dan 1,40 persen per tahun. Turunnya laju pertumbuhan ini lebih
ditentukan oleh turunnya tingkat kelahiran dan kematian, namun penurunan kelahiran lebih
cepat daripada penurunan kematian, Crude Birth Rate (CBR) turun dari sekitar 21 per 1000
penduduk pada awal proyeksi menjadi 20 per 1000 penduduk pada akhir periode proyeksi,
sedang Crude Death Rate (CDR) pada akhir proyeksi sedang Crude Death Rate (CDR) tetap
besar 7 per 1000 penduduk dalam kurun waktu yang sama.
Salah satu ciri dari penduduk Indonesia adalah persebarannya tidak merata antar pulau
dan propinsi. Sejak tahun 1930, sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa,
padahal luas pulau itu kurang dari tujuh persen total wilayah daratan Indonesia. Namun secara
perlahan presentase penduduk Indonesia yang tinggal di pulau jawa terus menurun yaitu dari
sekitar 58,9 persen pada tahun 1995 menjadi 57,9 persen pada tahun 2005. Sebaliknya
presentasi penduduk yang tinggal di pulau lainnya meningkat seperti pulau Sumatera naik dari
21,0 persen menjadi 21,4 persen, Kalimantan naik dari 5,4 persen menjadi 5,6 persen dan
Sulawesi naik dari 7,0 persen menjadi 7,2 persen pada periode yang sama. Hal tersebut
disebabkan karena selain pertumbuhan alami di pulau-pulau tersebut memang lebih tinggi dari
pertumbuhan alami di Jawa, faktor pemindahan yang mulai menyebar ke pulau-pulau tersebut
juga menentukan distribusi penduduk seperti diuraikan di atas (Tabel 14.8).

Tabel 14.8
Estimasi penduduk Menurut Propinsi 1995-2005 (x1000)
Propinsi 1995 2000 2005
1. Daerah Istimewa Aceh 3.862,8 4.213,4 4.545,6
2. Sumatera Utara 11.144,3 12.156,7 13.132,7
3. Sumatera Barat 4.334,3 4.657,3 4.952,3
4. Riau 3.923,0 4.383,4 4.849,0
5. Jambi 2.382,6 2.642,4 2.909,1
6. Bengkulu 7.239,3 7.858,5 8.479,0
7. Sumatera Selatan 1.417,5 1.593,8 1.790,0
8. lampung 6.680,1 7.178,7 7.650,8
Jumlah (%) 20,99 21,23 21,40
9. DKI Jakarta 9.143,5 9.720,4 10.297,9
10. Jawa Barat 39.339,9 43.089,3 46.913,2
11. Jawa Tengah 29.691,1 31.336,0 33.120,0
12. Daerah Istimewa 2.916,8 3.986,1 3.255,2
Yogyakarta
13. Jawa Timur 33.889,1 35.478,0 37.066,2
Jumlah (%) 58,88 58,32 57,88
14. Bali 2.899,6 3.091,2 3.285,0
15. NTB 3.655,3 3.990,8 4.357,3
16. NTT 3.588,2 3.915,7 4.243,4
17. Timor Timur 843,0 939,3 1.033,1
Jumlah (%) 5,63 5,67 5,72
18. Kalimantan Barat 3.650,1 4.015,1 4.360,6
19. Kalimantan Tengah 1.635,8 1.805,4 1.980,6
20. Kalimantan Selatan 2.903,8 3.152,7 3.406,6
21. Kalimantan Timur 2.330,4 2.643,1 2.970,2
Jumlah (%) 5,39 5,52 5,63
22. Sulawesi Utara 2.655,0 2.841,5 3.024,8
23. Sulawesi Tengah 1.946,3 2.176,2 2.435,1
24. Sulawesi Selatan 7.578,2 8.218,6 8.862,6
25. Sulawesi Tenggara 1.595,5 1.781,1 1.951,0
Jumlah (%) 7,05 7,13 7,21
26. Maluku 2.094,7 2.252,4 2.378,0
27. Irian Jaya 1.954,0 2.219,5 2.498,5
Jumlah 2,07 2,12 2,16
INDONESIA 195.294,5 210.485,6 225.747,8
Laju pertumbuhan 1995-2000=1,50% 2000-2005 = 1,40%
Sumber : BPS (1998)
Jumlah penduduk di setiap propinsi sangat beragam dan bertambah dengan laju
pertumbuhan yang sangat beragam pula. Dengan digunakannya asumsi tingkat kelahiran (TFR)
untuk setiap propinsi tidak ada yang lebih kecil dari 2 dan tingkat kematian bayi yang rendah
selama periode proyeksi mengakibatkan beberapa propinsi laju pertumbuhannya naik
dibandingkan dengan periode sebelumnya 1990-1995 (data tidak ditampilkan) seperti propinsi
Sumatera Utara, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa tenggara Barat,
di samping juga karena adanya pengaruh migrasi. Di samping itu juga ada propinsi yang
mempunyai laju pertumbuhannya turun dengan tajam seperti Kalimantan Timur. Hal ini
disebabkan oleh karena fertilitas dan moralitas yang turun cukup cepat, juga pengaruh migran
yang masuk yang pada periode sebelum 1990-1995 sangat tinggi.
B. Susunan Umur Penduduk
Struktur umur penduduk indonesia masih tergolong “muda”, walaupun dari hasil sensus
dan survei-survei yang lalu proporsi penduduk muda tersebut menunjukkan kecenderungan
makin menurun. Susunan umur penduduk hasil proyeksi yang disajikan pada Tabel 14.9 sampai
dengan tabel 14.11juga menunjukkan pola yang sama. Asumsi tentang penurunan tingkat
kelahiran dan kematian Indonesia seperti diuraikan di atas sangat mempengaruhi susunan umur
penduduk. Proporsi anak-anak berumur 0-4 tahun turun dari 32,8 pada tahun 1995 menjadi 27,8
pada tahun 2005 (Tabel 14.9)
Tabel 14.9
Estimasi Proprsi Penduduk Umur 0-4 Tahun
Menurut Propinsi 1995-2005
Propinsi 1995 2000 2005
1. Daerah Istimewa Aceh 37,74 33,24 30,31
2. Sumatera Utara 37,62 33,30 30,60
3. Sumatera Barat 35,14 30,96 28,87
4. Riau 36,39 32,71 30,90
5. Jambi 35,52 31,85 30,75
6. Bengkulu 37,44 32,70 30,41
7. Sumatera Selatan 36,45 31,80 30,59
8. Lampung 36,20 31,57 28,81

9. DKI Jakarta 27,77 25,30 25,39


10. Jawa Barat 32,68 29,55 28,00
11. Jawa Tengah 31,46 28,20 26,63
12. Daerah Istimewa 25,10 22,22 22,36
Yogyakarta
13. Jawa Timur 28,40 25,30 24,14

14. Bali 26,37 24,05 23,30


15. NTB 38,74 35,04 32,71
16. NTT 38,17 35,31 32,62
17. Timor Timur 42,98 40,64 35,80

18. Kalimantan Barat 37,20 32,85 27,50


19. Kalimantan Tengah 34,92 31,07 29,34
20. Kalimantan Selatan 33,55 30,71 29,47
21. Kalimantan Timur 39,58 35,32 31,73
22. Sulawesi Utara 30,05 28,06 27,50
23. Sulawesi Tengah 34,29 31,07 29,34
24. Sulawesi Selatan 33,55 30,71 29,47
25. Sulawesi Tenggara 39,58 35,32 31,73

26. Maluku 38,01 33,48 29,43


27. Irian Jaya 38,70 34,53 33,15

INDONESIA 32,77 29,44 27,83

Sumber : BPS (1998)


Tabel 14.10
Estimasi Penduduk Umur 15-64 Tahun
Menurut Propinsi, 1995-2005
Propinsi 1995 2000 2005
1. Daerah Istimewa Aceh 60,03 63,18 65,72
2. Sumatera Utara 59,05 62,94 64,96
3. Sumatera Barat 59,70 63,14 64,58
4. Riau 61,69 64,92 66,15
5. Jambi 62,03 65,25 65,71
6. Bengkulu 59,46 63,93 66,01
7. Sumatera Selatan 60,50 64,65 65,42
8. Lampung 60,09 64,08 66,23

9. DKI Jakarta 70,04 71,84 70,71


10. Jawa Barat 63,74 66,33 67,36
11. Jawa Tengah 63,03 65,52 66,57
12. Daerah Istimewa 66,10 67,82 66,79
Yogyakarta
13. Jawa Timur 65,57 67,62 68,07

14. Bali 67,73 69,40 69,52


15. NTB 58,12 61,49 63,44
16. NTT 57,86 60,41 62,86
17. Timor Timur 55,31 57,10 61,19
18. Kalimantan Barat 60,09 64,08 66,29
19. Kalimantan Tengah 61,55 65,44 66,43
20. Kalimantan Selatan 63,43 66,04 67,63
21. Kalimantan Timur 62,68 65,78 67,18

22. Sulawesi Utara 66,15 67,59 67,76


23. Sulawesi Tengah 62,35 65,57 67,93
24. Sulawesi Selatan 61,12 64,39 65,11
25. Sulawesi Tenggara 57,52 61,16 64,07

26. Maluku 58,38 62,44 66,00


27. Irian Jaya 60,51 64,51 65,60
Sumber : BPS (1998)
Tabel 14.11
Estimasi Proporsi Penduduk umur 65+Tahun
Menurut Propinsi, 1995-2005 (x1000)
Propinsi 1995 2000 2005
1. Daerah Istimewa Aceh 3,23 3,58 3,97
2. Sumatera Utara 3,33 3,76 4,44
3. Sumatera Barat 5,16 5,90 6,55
4. Riau 2,12 2,37 2,95
5. Jambi 2,45 2,90 3,54
6. Bengkulu 3,10 3,37 3,58
7. Sumatera Selatan 3,05 3,55 3,99
8. Lampung 3,71 4,35 4,94

9. DKI Jakarta 2,19 2,86 3,90


10. Jawa Barat 3,58 4,10 4,46
11. Jawa Tengah 5,51 6,28 6,80
12. Daerah Istimewa 8,80 9,96 10,85
Yogyakarta
13. Jawa Timur 6,03 7,08 7,79

14. Bali 5,90 6,55 7,18


15. NTB 3,14 3,47 3,85
16. NTT 3,97 4,28 4,52
17. Timor Timur 1,17 2,26 3,011

18. Kalimantan Barat 2,71 3,07 3,65


19. Kalimantan Tengah 2,16 2,48 2,97
20. Kalimantan Selatan 2,89 3,47 4,08
21. Kalimantan Timur 2,24 2,53 2,92

22. Sulawesi Utara 3,80 4,35 4,74


23. Sulawesi Tengah 2,73 3,36 2,73
24. Sulawesi Selatan 4,33 4,90 5,42
25. Sulawesi Tenggara 2,90 3,52 4,20

26. Maluku 3,61 4,08 4,57


27. Irian Jaya 0,79 0,96 1,25
INDONESIA 4,23 4,84 5,37
Sumber: BPS (1998)
Dalam kurun waktu yang sama mereka dakam usia kerja, 15-64 tahun meningkat dari
63,0 persen menjadi 66,8 persen (Tabel 14.10) dan mereka yang berusia 65 tahun ke atas naik
dari 4,2 persen menjadi 5,4 persen (Tabel 14.11). Perubahan susunan ini mnegakibatkan beban
ketergantungan (dependency ratio) turun dari 58,7,7 persen pada tahun 1995 menjadi 49,7
persen pada tahun 2005. Menurutnya rasio beban ketergantungan menunjukkan berkurangnya
beban ekonomi bagi penduduk umur produktif (usia kerja) yang menanggung penduduk umur
non produktif
Susunan umur setiap propinsi juga mengalami perubahan yang cukup besar. Susunan
umur penduduk di pulau Jawa dan Bali sedikit lebih tua dari propinsi lainnya artinya sudah
cukup tinggi. Sebagai contoh di Yogyakarta pada tahun 2005, propinsi penduduk 65 tahun ke
atas mencapai 10,8 persen Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing 6,8 persen dan 7,8
persen (Tabel 14.11). Sebaliknya, proporsi anak-anak 0-14 tahun di Pulau Jawa dan Balijauh
lebih rendah dari propinsi lainnya. Pada tahun 2005 semua propinsi di luar Jawa-bali
mempunyai proporsi anak-anak di bawah 15 tahun masih di atas 27 persen, walaupun sudah
memperlihatkan kecendurangan menurun dari keadaan tahun 1995.
Apabila di lihat Indonesia sebagai keseluruhan maka jumlah penduduk perempuan lebih
besar dibandingkan jumlah penduduk laki-laki. Pada tahun 2005 karena angka harapan hidup
meningkat untuk semua umur, maka bentuk piramida penduduk hampir berbentuk granat, tidak
cepat meruncing. Presentasi umur 65+ tahunmeningkat pada tahun 2005 (dari 4,23 persen tahun
1995 menjadi 5,37 persen tahun 2005). Untuk jelasnya lihat Tabel 14.12 dan Gambar 38
Tabel 14.12
Proyeksi Penduduk Menurut jenis kelamin
Dan Umur tahun 1995-2005 (x1000)
Umur Laki-laki Perempuan Laki-lai + Perempuan
(tahun) 1995 2000 2005 1995 2000 2005 1995 2000 2005
0-4 999,8 1105,8 11183,0 9629,7 1066,1 10774,1 19621,5 21715,9 21957,1
5-9 10758,4 9884,5 10969,0 10243,3 9512,2 10601,6 21001,7 19356,7 21570,6
10-14 11920,9 10696,8 9804,1 11456,8 10195,2 9484,3 23377,7 20892,2 19288,4
15-19 10434,4 11835,5 10639,3 10424,4 1139,8 10158,1 20858,8 23227,5 20797,4
20-24 8479,3 10321,0 11739,4 9266,6 10338,8 1131,2 17745,9 20659,8 23070,6
25-29 7747,8 8368,5 10222,4 8602,4 9170,3 10267,7 16350,2 17538,8 20490,1
30-34 7513,7 7638,1 8281,4 7950,4 8497,1 9093,5 15464,1 16135,2 17374,9
35-39 7049,9 7387,1 7540,9 6996,5 7834,1 8407,9 14046,4 15221,5 15948,8
40-44 5852,7 6894,5 7259,3 5488,1 6868,9 7725,2 11340,8 13763,4 14984,5
45-49 4459,8 5670,9 6717,8 4127,6 5356,0 6734,8 8587,4 11026,9 13452,6
50-54 3694,3 4256,5 5445,5 3470,0 3988,4 5201,3 7164,3 8244,9 10646,8
55-59 3038,7 3443,3 3996,3 3277,0 3301,6 3818,6 6215,7 6744,9 7814,9
60-64 2325,3 2730,3 3123,8 2839,9 3039,2 3089,1 5162,2 5769,5 6212,9
65-69 2325,3 2730,3 3123,8 2839,9 3039,2 2089,1 3546,4 4496,5 5077,7
70-74 1359,9 1356,6 1562,7 1489,4 1486,0 2107,5 2848,9 2842,6 3670,0
75+ 824,1 1279,7 1518,9 1035,1 1570,1 1871,4 1859,2 2849,8 3390,3
Jumlah 97192,5 104751,8 112352,2 98101,7 105733,8 113395,6 195294,2 210485,6 225747,8
Sumber : BPS (1998)

C. Net Reproduction Rate (NRR)


NRR merupakan salah satu hasil (Output) proyeksi penduduk yang sering di
Dinterprestasikan sebagai banyaknya anak perempuang yang dilahirkan oleh setiap perempuan
dalam masa reproduksinya. Sering ditanyakan , kapankah Indonesia akan mencapai NRR=1 ,
tingkat replace ment level, yaitu saat satu ibu diganti oleh satu bayi perempuan. Dengan asumsi
penurunan fertilitas dan mortalitas serta perolehan susunan umur seperti telah diuraikan di atas,
Indonesia akan mencapai NRR=1 pada sekitar tahun 2013. Pada saat itu bukannya berarti laju
pertumbuhan penduduk sama dengan nol, atau penduduk tanpa pertumbuhan, tetapi penduduk
akan tetap bertambah dengan laju pertumbuhan yang relatif stabil. Propinsi-propinsi di jawa
dan bali (kecuali propinsi Jawa Barat, dan Jawa Tengah ) sudah mencapai tingkat itu jauh
sebelumnya. Misalnya DKI Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timurdan Bali mencapai NRR pada
periode 1990-199. Pada tabel 14.13 disajikan NRR Indonesia dan juga NRR setiap propinsi.

D. Harapan Hidup
Harapan hidup pada saat Lahir ( Disingkat “harapan hidup” ) adalah hsil (output) dari
perhitungan proyeksi yang sering dipakai sebagai salah satu indikator Kesejahteraan Rakyat.
Dengan asumsi kecenderungan “angka kematian bayi” yang menurun serta perubahan susunan
umur penduduk seperti telah diuraikan di atas, maka harapan hidup penduduk Indonesia (Laki-
laki dan perempuan naik dari 64,7 persen pada periode 1995-2000 menjadi 67,86 tahun pada
periode 2000-2005. Dalam table 14.14 juga terlihat bahwa variasi harapan hidup menurut
propinsi tidak terlalu besar pada awal tahun produksi, angka harapan hidup terendah 55,91
tahun untuk Timor Timur dan Tertinggi 70,63 tahun untuk DKI Jakarta. Pada akhir periode
peroyeksi variasi itu menjadi berkisar antara 59,45 tahun 72,93 tahun untukpropinsi-propinsi
yang sama seperti pada awal proyeksi.

Tabel 14.13
Estimasi Net Reproduction Rate (NRR)
Menurut Propinsi, 1995-2005
Propinsi Periode
2000-2005 1995-2000
1. Daerah Istimewa Aceh 1,258 1,096
2. Sumatera Utara 1,382 1,259
3. Sumatera Barat 1,295 1,191
4. Riau 1,291 1,157
5. Jambi 1,283 1,179
6. Bengkulu 1,231 1,179
7. Sumatera Selatan 1,249 1,137
8. Lampung 1,213 1,091
9. DKI Jakarta 0,936 0,948
10. Jawa Barat 1,138 1,073
11. Jawa Tengah 1,075 1,035
12. Daerah Istimewa Yogyakarta 0,934 0,946
13. Jawa Timur 0,895 0,917
14. Bali 0,925 0,940
15. NTB 1,255 1,186
16. NTT 1,393 1,264
17. Timor Timur 1,612 1,455
18. Kalimantan Barat 1,273 1,094
19. Kalimantan Tengah 1,304 1,233
20. Kalimantan Selatan 1,096 1,046
21. Kalimantan Timur 1,183 1,107
22. Sulawesi Utara 1,081 1,075
23. Sulawesi Tengah 1,194 1,110
24. Sulawesi Selatan 1,208 1,143
25. Sulawesi Tenggara 1,321 1,082
26. Maluku 1,341 1,161
27. Irian Jaya 1,357 1,23
INDONESIA 1,149 1,090
Sumber:BPS (1998)

Tabel 14.14
Estimasi Angka Harapan Hidup (eo)
Menurut Propinsi, 1995-2005
Propinsi Periode
1995-2000 2000-2005
1. Daerah Istimewa Aceh 66,69 69,47
2. Sumatera Utara 66,15 68,21
3. Sumatera Barat 64,49 66,93
4. Riau 66,91 69,17
5. Jambi 65,64 68,01
6. Bengkulu 64,32 67,45
7. Sumatera Selatan 64,19 67,37
8. Lampung 64,74 67,71
9. DKI Jakarta 70,63 72,93
10. Jawa Barat 63,19 66,54
11. Jawa Tengah 65,10 68,46
12. Daerah Istimewa Yogyakarta 70,39 72,37
13. Jawa Timur 64,47 66,88
14. Bali 68,66 70,95
15. NTB 56,83 60,69
16. NTT 62,48 65,45
17. Timor Timur 55,91 59,45
18. Kalimantan Barat 63,06 65,79
19. Kalimantan Tengah 67,52 69,32
20. Kalimantan Selatan 60,72 64,54
21. Kalimantan Timur 67,15 69,15
22. Sulawesi Utara 67,23 69,32
23. Sulawesi Tengah 61,62 64,88
24. Sulawesi Selatan 65,79 68,29
25. Sulawesi Tenggara 63,88 66,64
26. Maluku 65,03 67,42
27. Irian Jaya 63,46 66,35
INDONESIA 64,71 67,86
Sumber: BPS (1998)
DAFTAR PUSTAKA

Amral, Sjamsu. 1960. Dari kolonisasi ke transmigrasi. Djakarta: Djambatan


Ananta, Aris. 1985. Transisi Demograsi, Transisi Pendidikan dan Transisi Kesehatan di
Indonesia. Penyunting Utama, Aris Ananta, Jakarta: Kantor Menteri Negara
Kependudukan/BKKBN.
_____.1995. transisi Kependudukan di Indonesia: Beberapa Masalah dan Prospek
Perekonomian. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi di Universitas
Indonesia. Jakarta: UI.
Anchalee, Singanetra Renard. 1985. Overseas Contract Labor: New Migration Paths of Thai
and Indonesian Workers. Singapore: Southeast Asian Studies Program.
Ansley J. Coale and Paul Demeny. 1944. Regional Model Life Tables and Stable Populations.
New york: Academic Press. Inc.
Azwar Rasjid. 1981. Pelaksanaan Sensus Penduduk 1980 di Indonesia. Makalah disampaikan
pada pertemuan Peneliti Analisa Sensus Penduduk 1980. 2-5 November di Yogyakarta.
Baldwin, K. D. S. 1975. Demography for Agricultural Planners. Rome: FAO & UN.
Barclay, George, W. 1958. Techniques of Populations Analysis. New York: John Wiley
Bhatta, Jitandra Nath. 1961. Regarding Internal Migration in Indonesia (With Special Reference
to South Sumatera). Djakarta: Topographical Service of The Army, Institute of Geography
Biro Pusat Statistik. 1963. Sensus Penduduk 1961 Angka-angka Sementara Series S, P-1.
Djakarta: BPS
.1974. Sensus penduduk 1971. Tabel Pendahuluan Angka sementara, Seri C.
Jakarta:BPS
.1975. Penduduk Indonesia 1971. Seri D. Jakarta : BPS.
.1981. Penduduk Menurut Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya.Seri L. Jakarta: BPS.
.1982. Ulasan Singkat Hasil Sensus Penduduk 1980. Jakarta: BPS
.1983. Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 1980. Jakarta: BPS
.1987. Hasil Survai Penduduk Antar Sensus 1985. SUPAS No. 5. Jakarta: BPS.
.1991. Penduduk Indonesia. Hasil Sensus Penduduk 1990 Seri L/I. Jakarta : BPS
.1993. Proyeksi penduduk Indonesia Per Propinsi Seri S.7.. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statisitik. 2001a. Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 Seri
L.2.2 Jakarta: BPS
.2001b. Estimasi Fertilitas, Mortalitas, Dan Migrasi. Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000.
Jakarta: BPS/
Bland, Chester and Dwinght E. Lee. 1976. The Word Population Explosion An Historical
Perspective. Massachusetts: Clark University Press.
Bogue. D.J. l. 1969 Principle of Demography. New York: John Wiley and Sons. Inc.
Bourgeouis Pichat, J. 1952. An Analysis of Infant Mortality. Population Bulletin NO. 2
United Nation, Department of Social affairs, Population Devision. New York.
Breman, J. C. 1971. Djawa Pertumbuhan Penduduk dan Struktur Demografi : Jakarta:
Bhatara. Budi Utomo. 1985. Mortalitas: Pengertian dan Contoh Kasus di Indonesia. Jakarta:
Fakultas Kesehatan Masyarakat, UI.
Cho, Lee-Jay., Sam Suharto.,Geoffrey McNicoll, S. G. Made Mamas. 1976. Perkiraan Angka
Kelahiran dan Kematian di Indonesia. Berdasarkan Sensus Penduduk 1971. Jakarta: Biro
Pusat Statistik.

Connel, John. 1976. Mingration from Rural Areas: The Evidence from Village Studies. New
Delhi: Oxford University Press.
Daldjuni, N. 1975. Masalah Registrasi Penduduk Indonesia. Ekonomi dan keuangan
Indonesia. 4.
Dharmapatni, I. A. I., and T. Firman. 1992 . Problems and Challenges of Mega Urban
Regions in Indonesia : The Case of Jabotabek and The Bandung Metropolitan Area, in T.G.
McGee and Ira M. Robison (eds). The Mega Urban Regions Of Southeast Asia. Vancouver:
UBC Press.
Ediastuti, Endang. 1996. Pola dan Trend Demografi Indonesia, dalam Agus Dwiyanto. Et al
(el), penduduk dan pembangunan. Yogyakarta: Aditya Media.
Effendi, Tajuddin Noer. 1987. Konsep dan Ukuran Ketenagakerjaan. Lokakarya Pendidikan
Kependudukan dan Lingkungan Hidup, diselenggarakan di yogyakarta 16 Februari-7 Maret
ole Meneg KLH berkerjasama dengan PPK dan PPLH, UGM.
Gardiner, Peter. 1981. Vial Registration in Indonesia: A Study of Completeness and
Behavioral Determinants of Reporting of Birth and Deaths. Unpublished Ph.D Thesis,
Australian National University. Canberra.
Gardiner, P., Mayling Oey., Evelyn Sullemn, dan Christiadi. 1994. Masalah Sumberdaya
Manusia Indonesia. Makalah untuk Seminar Sumber Daya Manusia. Di Yogyakarta, 4-9 Juli.
Hananto, Sigit. 1983. Perkembangan Kesempatan Kerja dan Ciri-ciri Pekerja Sektor Formal-
Informal Paper Lokakarya Nasional Angkatan Kerja dan Kesempatan Kerja . Jakarta: 12-14
Januari.

Hauser, Philip M., and Otis Dudley Duncan, eds. 1959. The Sludy of Population: An
Inverstorty and Appraisal. Chicago: The University of Chicago Press.
Hellingman, Larry. 1976. Morlalitas di Indonesia 1961-1971, (diterjemahkan oleh Hans
Daeng). Yogyakarta: Lembaga Kepmdudukan Universitas Gadjah Mada.
Hugo, Greame John. 1975. Population Mobility in West Java Indmesia. Unpublished PhD.
Dissertation. Australian National University.
Iskandar, N. 1980. Teori-teori Kependudukan. jakarta: Lembaga Demografi, FE, Universitas
Indonesia.
Jones, W. Gavin. 1977. The Population of North Sulawesi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
.1981. Labour Force Development Since 1971, The Indonesian Economic During The
Suharto Era (A Booth and P. McCawley,eds). Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Kammeyer, Kenneth C. W 1971. An Introducation to Population. San Frasisco. Chander
Publishing Company.
Kasto 1995. Karakteristik Demografi, Sosial dan Ekonomi Sumberdaya, Pemuda Indonesia,
Populasi.6 (1).
Kasto dan Henry Sembiring. 1995. Profil Kependudukan Indonesia Selama PJP I Awal PJP II.
Yogyakarta: PPK-UGM.
Keyfitz, Nathan. 1977. Cause of Death in Future Mortality. International Conference, Mexico
City Proceeding, Vol. I.
keyfitz, Nathan. dan Wijojo Nilisastro. 1984. Soal Penduduk dan pembangunan Indonesia.
Jakarta: Pembangunan.
Kuznets, S. 1957. Quantitative Aspects of The Economic Gtowth of Nations: In Industrial
Distribution of National Product and Labom Fume. Economic Development and Cultural
Change.5 (4) Part 2.
Lee, Everett. 1970. A Theory of Migration. in Demko, George J., Harold M. Rose and George
A. Schneel. Population Geography : A Reader. New York; McGraw-Hill Book Company.
Levang, Patrice., and O. Sevin. 1989.Transmigration and Christabel Young.1982. Pengantar
kependudukan. Penerjemah Nin Bakdi Sumanto, Riningsih Saladi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, dan PPSK-UGM.
Mabogunje, A. L. 1970. System Approach to a Theory of Rural-Urban Migration.
Geografhical Anaysis, (2).
Malthus, T. R. 1978.Principles of Population (7th ,ed. London: J. Johnson.
Manning, Chris. 1983. Kegiatan Ekonomi Angkatan Kerja: Lapangan Pekerjaan Janis dan
Status Pekerjaan, dalam Peter F. McDonald (ed), pedoman Analisis Data sensus 1971-1980.
Canberra: Australian Universities Intemational Development Program.
Mantra, Ida Bagoes. 1981. Population Problems and Transmigration. Program in Indonesia.
Paper Presented at The Meeting Of the ASEAN Technical Cooperation Among Developing
Countries, to be held in Jakarta , August 27.
.1981. Population Movement in wet Rice Communities: A Case Study of Two Dukuh in
Yogyakarta special Region. Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss.
.1985. Pangantar Studi Demogmj Yogyakarta: Nur Cahaya.
.1980. Urbanization and Population Distribution Policies in Indonesia
Nesia. Paper Presented at The International Workshop on Urbanization and Population
Distribution Polities in Asia. Honolulu, Hawaii, March 27-31.
.1995. Mobilitas Penduduk Non Permanen dan Pembangunan Daerah Asal. Makalah
Seminar Bangga Suka Desa, di Yogyakarta 6 Juni, diselenggarakan oleh BKKBN, DIY.
.1996. Dampak Pembangunan terhadap Mobilitas Penduduk, dalam Agus Dwiyanto, et
al
(eds). Penduduk dan Pembangunan. Yogyakarta: Aditya Media.
.1999. Illegal Indonesia Labour Movement from Lombok to Malaysia. Acia Pasific
Viewpoint. 40(I). Published by Blackwell, Publishers Oxford).
Mantra, Ida Bagoes., Kasto., A. J. Suharjo., dan Cuk Susanto. 1970. Evaluasi Pemantapan
Transmigrasi Daerah Bergambut Tebal Rasau Jaya Kalimantan Barat. Laporan
Penelitian
untuk Departemen Transmigrasi.
Mantra, Ida Bagoes., Kasto., dan Yeremias T. Keban. 1999. Mobilitas Tenaga Kerja Indonesia
ke
Malaysia. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.
Mantra, Ida Bagoes., dan Nasruddin Harahap. 1993. Analisis Perkembangan Kependudukan
Menurut Sensus Penduduk 1990: Dinamika Mobilitas Indonesia. Yogyakarta: Pusat
Penelitian Kependudukan, UGM.
.2000. Program Transmigrasi dari Waktu ke Waktu: Reorientasi pada Pembangunan
Daerah, dalam Reorientasi Kebijakan Kependudukan: Penyunting Faturochman dan Agus
Dwiyanto. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.
McDonald, P. 1982. The Equality of Distribution of Child Mortality: Java-Bali 1950-1976.
Bulletin
of Indonesia Economic Studies, 16, 3.
Mertens, W., and S. Alatas. 1978. Rural Urban Defenision and Urban Agricuture in Indonesia.
Majalah Demografi Indonesia (10).
Mitchel J. Slyde. 1961. The Causes of Labour Migration. Migrant Labour in Africa South of
The
Sahara. Abidjan: C.C.T.A.
Mosley, W. Henry., and Lincoln C. Vhen. 1984. An Analytical Framework for the Study of
Child
Survival in Developing Caountries, dalam W. Henry and Chen, Lincoln., eds. Child
Survival
Strategies for Research. London: Cambridge Unversity Press.
Naim, Mochtar.1979. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Norris, Robbert E. 1972. Migration as Spatial Interaction. Journal of Geography, 71 (5).
Oey, Mailing. 1980. The Transmigration Program in Indonesia. Paper Presented at The Seminar
On
Government Resettlement Programmes in South East Asia. Tuesday, 7 October
Canberra:
Australian National University.
Palmore, James, A. 1975. Meansuring Mortality: A Self-Teaching Guide to Elementary
Measure.
Honolulu : East West Population Institute.
.1975. Meansuring Fertility and Natural Increase: A Self Teaching Guide to Elementary
Measures. Honolulu: East West Population Institute.
Pelzer, Karl J. 1945. Pioneer Settlement in the Asiatic Tropics: Studies in Land Utilization in
the
Southeastern Asia. New York: International Secretariat Institute of Pasific Relation.
Pressat, Roland. 1972. Demographic Analysis. New York: Aldine. Atherton.
Revenstein, E. G. 1889. The Law of Migration. Journal of The Royal Statistical Society. June,
L.11.
Said Rusli. 1983. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: LP3ES.
Sajogyo. 1977. Perkembangan Transmigrasi di Indonesia, dalam Muhajir Utomo, Rofiq
Ahmad,
(eds) 90 Tahun Kolonisasi 45 Tahun Transmigrasi. Jakarta: Puspa Swara.
Sam Suharto., and Lee-Jay Cho. 1978. Preliminory Estimates of Indonesia Fertility Based on
The
1976 Intercensal Population Survey. Honolulu: East West Population Institute.
Shyrock, Henry S., and Siegel. 1971. The Methods and Materials of Demography. Washington
D.C.
US Bureau of The Cencus.
Simanjuntak, Pajaman. 2000. Pengangguran di Indonesia. Harian Kompas, 26 Februari, hal. 6.
Siswanto, Agus Wilopo. 1996. Kebijaksanaan Kependudukan Indonesia Selama Repelita V1,
dalam
Agus Dwiyanto, et al (ads), Penduduk dan Pembangunan. Yogyakarta: Aditya Media.
Siswono Yudohusodo. 1998. Transmigrasi Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk
Heterogen
dengan Persebaran yang Timpang. Jakarta: PT Jurnalindo Aksara Grafika.
Soegijoko, B. T. S. and Bulkin. 1994. Arahan Kebijaksanaan Tata Ruang Nasional: Studi Kasus
Jabodetabek. Prisma, 23(2).
Soemarwoto, Otto. 1985. A Quantitative Model of Population Pressure and The Potensial Use
in
Development Planning. Majalah Demografi Indonesia. No. 24. Jakarta.
Stahl, c. W., Ferd Arnold. 1989. Overseas Workers Remittance in Asian Development in
International Migration Review, 20(4).
Standing, Guy. 1981. Migration and The Labour Process For Migration Survey. Geneva:
International Labour Office.
Steele, Ross. 1983. Migrasi dalam Peter McDonald, Pedoman Analisa Data Sensus Indonesia
1971
1980. Australian Vice-Chunchellor Committee Australia University International.
Suharso. 1982. Transmigran: Ciri,Proses, dan Aspirasinya, Sebuah Studi Kasus di Way Abung
Lampung Utara. Jakarta: LEKNAS-LIPI.
Sukamdi. 1996. Transformasi Struktural dan Persoalan Ketenagakerjaan di Indonesia, dalam
Agus
Dwiyanto et al (eds). Penduduk dan Pembangunan. Yogyakarta: Aditya Media.
Sunarto, HS. 1995. Remitan dan Pemanfaatannya. Makalah Seminar Bangsa Suku Desa,
Tanggal 6
Juni 1995 di BKKBN Yogyakarta.
Sunaryo Urip. 1995 Changing Migration Differentials and Regional Economic In-Equality in
Indonesia, 1971-1990. Unpublished Ph.D. Thesis, The Flinder Unicersity of Shouth
Australia.
Sundrum, R. M. Unemployment in Indonesia: An Analysis of Cencus Data. Ekonomi Keuangan
Indonesia. 13(3).
Suratman. 1978. Transmigrasi Swakarsa. Yogyakarta: PPSK, UGM.
Suyono. 1996. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, dalam Konteks Hidrologi dan Kaitannya
dengan
Pembangunan Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Lektor Kepala Madya pada
Fakultas Geografi UGM, 26 Juli.
Speare, Alden. 1976. Quasi Stable Population Methods for Adjusting Age Distribution in
Indonesia.
(Mimeographed). Jakarta: Leknas-LIPI.
Swasono, Sri Edi. 1986. “Kependudukan, kolonisasi, dan transmigrasi,” dalam Sri Edi
Swarsono
dan Masri Singarimbun (eds.), Transmigrasi di Indonesia 1905-1985. Jakarta: UI Press.
Tamboenan, A. H. O. 1951. Lima Tahun Rentjana. Jakarta : Pepora 9.
Tan Goang Tiang. 1965. Segi-segi Demografi dalam Jumlah dan Penggunaan Tenaga Kerja
dalam
Pembangunan Ekonomi Indonesia. Ekonomi, 6 Juli (6).
The World Bank. 1998. Indonesia The Transmigration Program in Prespectiverespective.
Washington, D. C: The World Bank.
Thomlison, R. 1965. Population Dynamic. New York: Random House Thomson, Warren S.,
and David T. Lewis. 1965. Population Problem (5th ed.). New York: McGraw-Hill.
Titus, Milan J. 1982. Migrasi Antar Daerah di Indonesia. Yogyakarta. Pusat Penelitian dan
Studi Kependudukan, Universitas Gadjah Mada (Seri Terjemahan No. 12).
Todaro, Michael P. 1979. Economic for Developing World, Introduction to a Principles
Problems and Policies. Hongkong: Longman
Tukiran. 2000. Penduduk dan Pembangunan Berkelanjutan dalam Reorientasi Kebijakan
Kependudukan. Penyunting faturochman dan Agus Dwiyanto. Yogyakarta: Pusat
Penelitian Kependudukan, United Nations. 1970. Methods of Measuring Internal
Migration, Manual VI. Population Studies Series No. 47. New York.
.1973. Determinants and Consequences of Populations of Economicand Social Affairs.
Population Studies Series No. 50. New York.
Weeks, John R. 1992. Population An Introduction to Concepts and Issues, Belmont:
Wadsworth Publishing Company.
Widjojo Nitisaro. 1970. Population Trends in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press
Yaukey, David 1990. Demography: The Study of Human Population. Llinois:
WavelandPress. Inc.
Zellinsky, W. 1971. The Hipothies of The Mobility Transition, dalam Geographical Review.
No. 2.
LAMPIRAN 1
MEMECAH KELOMPOK UMUR

A. PEMECAHAN KELOMPOK UMUR JENJANG 10 TAHUN MENJADI


KELOMPOK UMUR 5 TAHUN

Di indonesia ( begitu pula keadaanya di negara – negara berkembang lainnya ) sulit


untuk mendapatkan informasi mengenai umur seseorang oleh karena kebanyakan dari
penduduk tidak mengetahui tanggal kelahirannya dengan pasti. Dengan alasan tersebut,
dalam pengelompokan umur penduduk sering tidak dapat dilaksanakan dengan jenjang
5 tahunan, tetapi dengan jenjang 10 tahunan. Hal ini dikerjakan untuk menghindari
kemungkinan kesalahan pengelompokan umur. Cara ini sering dijumapai pada tabel
frekuensi kelompok umur penduduk hasil pencacahan lengkap.
Untuk keperluan perbandingan, misalnya memperbandingkan kelompok penduduk
menurut umur antara wilayah A dengan wilayah B , perlu dibuat pengelompokkan
penduduk dengan jenjang yang sama , misalnya 5 tahunan . untuk itu kelompok
penduduk dengan jenjang 10 tahunan perlu di pecah. Pemecahan ini antara lain
dikerjakan dengan rumus Newton ( united Nations , 1956)

fna= ½ [fn + 1/8(fn-1-fn+1)]

Ff = jumlah penduduk dengan jenjang 10 tahunan yang akan dipecah menjadi 5 tahunan
fn-1 = jumlah penduduk jenjang 10 tahunan sebelum kelompok fn
fn-1 = jumlah penduduk jenjang 10 tahunan sesudah kelompok fn
fna = jumlah penduduk jenjang 5 tahunanan hasil pemecahan pertama

Sebagai contoh akan di adakan pemecahan kelompok penduduk umur


35-44 tahun.
fn = kelompok penduduk umur 35-44 tahun =5.727 orang
fn-1 = kelompok penduduk umur 25-34 tahun =7.343 orang
fn + 1 = kelompok penduduk umur 45-54 tahun =3.563 orang

maka kelompok umur 35-39 tahun atau fn dapat di cari dengan rumus newton di atas.
F35-39 = ½ [5.727+?(7.343-3.563)]
= ½ [5.727-472,5]
= 3099,75
= 3100
B. PEMECAHAN KELOMPOK UMUR JENJANG LIMA TAHUNAN MENJADI
SATU TAHUNAN DENGAN FAKTOR PENGALI SPRAGUE
Untuk keperluan tertentu , misalnya mengetahui jumlah penduduk umur 7 tahun (umur
permulaan masuk sekolah dasar) , maka kelompok penduduk umur 5-9 tahun perlu
dipecah menjadi umur 5,6,7,8, dan 9,tahun. Pemecahan ini dapat dikerjakan dengan
menggunakan faktor pengali Sprague ( spragues Multipliers) ada 5 buah faktor pengali
untuk memecah seluruh kelompok umur jenjang 5 tahunan menjadi umur tunggal
tahunan. Sebuah untuk mengerjakan kelompok tengah (mid-panel) 2 buah untuk
kelompok akhir (end-panel) yang dibagi menjadi first end-panel dan last end-panel , dua
buah untuk kelompok sebelum dan sesudah kelompok akhir (next-to-end panel. Sebagai
contoh, kelompok penduduk dengan jenjang 5 tahunan , dimulai dengan umur 0 , dan
berakhir dengan umur 99 tahun , kelima kelompok panel di atas adalah sebagi berikut :

Kelompok umur
0-4 first end-panel
5-9 first next to end-panel
10-14

 Mid-panel

85-89
90-94 last next to end-panel
95-99 last end-panel

Perlu diperhatikan , kelompok “end panel” terakhir tergantung pada nilai kelas terakhir
dari pengelompokkan tersebut. Tidak diperbolehkan ada kelas terbuka. Misalnya kelompok
umur terakhir adalah umur 100 dan lebih , dapat dijadikan kelompok umur 100-104 tahun.
Faktor pengali dan sprague
(Sprague’s Multipliers) seperti terlihat dalam tabel berikut:
TABEL
SPRAGUE MULTIPLIERS

N1 N2 N3 N4 N5
FIRST END-PANEL
N1 +0.3616 -0.2768 +0.0336 -0.0336 -
N2 +0.2640 -0.0960 +0.0400 -0.0080 -
N3 +0.1840 +0.0400 -0.0320 +0.0080 -
N4 +0.1200 +1.1360 -0.0720 +0.0160 -
N5 +0.0704 +0.1968 -0.0848 +0.0176 -
FIRST-TOENDPANEL
N1… +0.0336 +0.2272 -0.0752 +0.0144 -
N2… +0.0080 +0.2320 -0.0480 +0.0080 -
N3… -0.0080 +0.2160 -0.0080 +0.0000 -
N4… -0.0160 +0.1340 +0.0400 -0.0080 -
N5… -0.0176 +0.1408 +0.0912 -0.0144 -
MID-PANEL
N1… -0.0128 +0.0848 +0.1504 -0.0240 +0.0016
N2… -0.0016 +0.0144 +0.2224 -0.0416 +0.0064
N3… +0.0064 -0.0336 +0.2544 -0.0336 +0.0064
N4… +0.0064 -0.0416 +0.2224 +0.0336 -0.0016
N5… +0.0016 -0.0240 +0.2272 +0.0848 -0.0128
LAST NEXT-TO-END-PANEL
N1… -0.0144 +0.0912 +0.1408 -0.0176 -
N2… -0.0080 +0.0400 +0.1840 -0.0160 -
N3… +0.0000 -0.0080 +0.2160 -0.0080 -
N4… +0.0080 -0.0480 +0.2320 +0.0336 -
N5… +0.0144 -0.0752 +0.2272 +0.0336 -
LAST END-PANEL
N1… +0.0176 -0.0848 +0.1968 +0.0704 -
N2… +0.0160 -0.0720 +0.1360 +0.1200 -
N3… +0.0080 -0.0320 +0.0400 +0.1840 -
N4… -0.0080 +0.0400 -0.0960 +0.2640 -
N5… -0.0336 +0.1488 -0.2768 +0.3616 -
Nx Jumlah Penduduk pada kelompok umur lima tahunan
nx perkiraan besarnya jumlah penduduk umur satu tahunan

1. Faktor Pengali Kelompok Umur Tengah


Kelompok penduduk yang akan dipecah diletakkan pad N3 sedangkan N1 dan N2 alah
kelompok penduduk pada kelas-kelas sebelumnya. N4 dan N5 alah kelompok pada kelas-kelas
sesudahnya. Sebagai contoh akan dipecah kelompok umur 10-14 tahun penduduk Indonesia
hasil Sensus Penduduk 1980, maka besarnya Nx adalah sebagai berikut:
N1 = P (0-4) = 21.190.672
N2 = P (5-9) = 21.231.927
N3 = P (10-14) = 17.619.034
N4 = P (15-19) = 15.283.235
N5 = P (20-24) = 13.001.545
Perincian dari jumlah penduduk yang telah dipecah (nx) beserta contoh perhitungannya
adalah sebagai berikut:
N1 = ( 21.190.672 x -0,0128 ) + ( 21.231.927 x 0.0848 ) + ( 17.619.034 x
0,1504 ) + ( 15.283.235 x -0,0240 ) + ( 13.001.545 x 0,0016) =
3.833.134
N2 = ( 21.190.672 x -0,0016 ) + ( 21.231.927 x -0,0144 ) + ( 17.619.034 x
0,2224 ) + ( 15.283.235 x -0,0416 ) + ( 13.001.545 x 0,0064 ) =
3.637.795, begitu seterusnya
N3 = 3.474.203
N4 = 3.370.121
N5 = 3.303.840
Jadi kelompok penduduk umur 10-14 tahun yang berjumlah 17.619.034 orang yang
dapat dipecah menjadi:
P10 = 3.833.134
P11 = 3.637.735
P12 = 3.474.203
P13 = 3.370.122
P14 = 3.303.840

2. Faktor Pengali Kelompok Unsur Kelas Pertama dan Kelas Terakhir (the first end-panel
and the last end-panel multiplier)
Misalnya akan dipecah kelompok umur 0-4 atau 75-79 tahun dari penduduk Indonesia pada
tahun 1980. Factor pengali yang digunakan ialah:
a. First End-panel untuk kelompok umur 0-4 tahun.
b. Last End-Panel untuk kelompok umur 75-79 tahun.
Kalau yang akan dipecah kelompok umur 0-4 tahun, maka kelompok ini diletakkan pada
N1 pada factor pengali First End-Panel. Selanjutnya kalua yang akan dipecah kelompok
umur pada kelas terakhir, maka kelompok ini diletakkan pada N4 dari factor pengali
Last End-Panel (lihat contoh di bawah ini).

Kelompok umur (0-4) tahun yang akan dipecah

N1 = P(0-4) =21.190.672

N2 = P(10-14) =21.231.927
N3 = P(70-74) =21.231.927
N4 = P(75-79) =21.231.927

Kelompok umur (75-79) tahun yang akan dipecah

N1 = P(60-64) =1.173.885

N2 = P(65-69) =1.713.885
N3 = P(10-14) =1.530.658
N4 = P(75-79) =1.525.373

Cara pengerjaannya sama dengan contoh di atas, dan setelah dihitung maka
dapatlah pemecahan jumlah penduduk sebagai berikut:

P0 = 3.893.745 P75 = 320.106


P1 = 4.138.568 P76 = 319.472
P2 = 4.306.818 P77 = 312.880
P3 = 4.406.384 P78 = 298.482
P4 = 4.445.157 P79 = 274.433
P(0-4) = 21.190.672 P(75-79)= 1.525.373
3. Faktor Pengali Kelompok Unsur Pada Kelas Kedua atau pada Kelas Sebelum Kelas
Terakhir
Misalnya akan dipecah kelompok unsur 5-9 tahun, atau 70-74 tahun dari penduduk
Indonesia pada tahun 1980. Factor pengali yang dipergunakan ialah:
a. First Next to End Panel untuk kelompok umur 5-9 tahun.
b. Last Next to End-Panel untuk kelompok umur 70-74
Kalau yang akan dipecah kelompok umur 5-9 tahun, maka kelompok ini diletakkan pada
N2 pada factor pengali First Next to End-Panel.begitu pula kalua yang akan dipecah kelompok
umur70-74 tahun, maka kelompok ini diletakkan pada N3 dari factor pengali Last Next to End-
Panel.
Kelompok umur (5-9) tahun yang akan dipecah
N1 = P(5-9) =21.190.672
N2 = P(5-9) =21.231.927
N3 = P(10-15) =15.283.235
N4 = P(15-19) =15.283.235

Kelompok umur (70-74) tahun yang akan dipecah


N1 = P(60-64) =3.228.627
N2 = P(65-69) =1.713.885
N3 = P(70-79) =1.530.658

N4 = P(75-79) =1.525.373

Setelah dihitung maka dapatlah


P5 = 4.431.028 P70 = 298.464
P6 = 4.371.885 P71 = 299.962
P7 = 4.275.618 P72 = 304.708
P8 = 4.150.119 P73 = 310.878
P9 = 4.003.227 P74 = 316.626

P(5-9) = 21.231.927 P(70-74) = 1.530.658

Anda mungkin juga menyukai