Tabel 12.3
Transmigrasi Umum di Propinsi Penerima, 1971-1980 dan1980-1985
Propinsi Jumlah Transmigran Umum Presentase Transmigran dari
(000) Jumlah Penduduk
Daerah Istimewa 1971-1980 1980-1985 1980 1985
Aceh 9,6 61,0 0 2
Sumatera Utara 1,8 37,1 0 0
Sumatera Barat 34,8 23,2 1 2
Riau 29,3 177,9 1 8
Jambi 96,0 107,8 7 12
Bengkulu 41,7 61,1 5 11
Sumatera Selatan 141,3 379,0 3 10
Lampung 133,3 188,9 3 5
Setelah tahun 1975 pengiriman tenaga kerja ke luar negeri secara resmi diprogramkan
oleh pemerintah. Apabila dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya seperti Thailand,
Philipina, Malaysia, dan Korea Selatan, maka Indonesia sangat terlambat memulai program ini
sehingga jumlah tenaga kerja yang berhasil dikirim ke luar negeri lebih sedikit dibémding
negara-negara tersebut di atas. Sebagai contoh, Indo nesia hanya mampu mengirim kurang dari
sepertiga jumlah tenaga kerja yang dikirim oleh negara Thailand pada periode yang sama.
Jumlah tenaga kerja yang berhasil dikirim ke luar negeri menurut tujuan dapat dilihat
dalam Tabel 12.4. Dari tabel tersebut dapat diketahui sebesar 62,9 peresen tenaga kerja
Indonesia menuju Malaysia, dan 6 persen menuju singapura. Jadi dapat disimpulkan bahwa
Arab Saudi merupakan negara tujuan utama, dan Malaysia dan singapura merupakan negara
tujuan kedua bagi Tenaga Kerja Indonesia menuju ke luar negeri.
Tabel 12.4
Jumlah Tenagah Kerja Indonesia (TKI) yang ke Luar Negeri
Meurut Negara Tujuan, 1969-1993.
Negara Pelita I Pellita II Pelita III Pelita IV Pelita V Jumlah Persen
Tujuan 969/74 974/79 1979/84 1984/89 1989/94 Total
Saufi Arabia - 3817 55976 223573 268585 552224 62,9
Timteng lain - 1235 5349 3428 5142 1557 1,7
Malaysia 12 536 11441 37785 122941 172715 19,7
Singapura 8 2432 5007 10537 34496 52483 6,0
Brunei - - - 920 7794 8714 1,0
Hongkong 44 1297 1761 1735 3579 8512 1,0
Jepang 2925 451 920 395 2435 4497 0,2
Korea - - - - 1693 1693 05
Taiwan 37 - - 178 2025 2240 0,3
Belanda 3332 6637 10104 4375 4336 28784 3,3
AS 146 176 2981 6897 9842 20042 2,3
Lain – lain 1653 461 2871 2439 2832 10256 1,2
Total 5624 17042 96410 292262 465972 877310 100
Tabel 12.6
Perbedaan Upah Antara Indonesia dan Malaysia
Upah di Upah di Selisih
Tahun Daerah Asal Indonesia Malaysia (persen)
1990 Lombok Rp. 500.00,- Rp. 7.000,- 800
Rp. 1.000,00 Rp. 8.000,00
Per hari Per hari di
Perkebunan
1989 Indonesia S$70.S$ 100 S$300 300
Per bulan Per hari
1984 Jawa Timur Rp. 3.000,00 Rp. 9.000,00 300
Per hari Per hari
1982 Bawean Rp. 5.00,00 Rp. 9.000,00 1.000
Per hari Per hari
1990 Indonesia Rp. 1.000,00 Rp. 10.000,00 432
Per hari Per hari
1991 Semarang Rp. 2.500,00 (Serawak)
Per hari
90 90
Setengah Setengah
90 90 90
menganggur menganggur
90 90
90
90
Lapangan Pekerjaan Jenis Pekerjaan Status Pekerjaan
90
Gambar 37. Pembangian Penduduk Usia Keja, Menurut Kegiatan Ekonomi.
90
90
90 90
90
13.3 PENDUDUK USIA KERJA
Distribusi penduduk usia kerja menurut pulau-pulau di Indonesia relatif tetap dari waktu
ke waktu (Tabel 13.1) Dalam contoh ini untuk analisis perbandingan maka penduduk usia kerja
menggunakan batasan usia 10 tahun ke atas dan bukan 15 tahun ke atas seperti pada SP 2000
maupun Sakernas 2000. Hanya mulai tampak adanya sedikit penurunan di Pulau Jawa yang
dibarengi dengan peningkatan untuk pulau-pulau lain terutama untuk pulau Sumatra. Hal ini
berkaitan dengan perluasan program transmigrasi. Program Keluarga Berencana yang
dilaksanakan sejak tahun 1970-an kiranya belum banyak berpengaruh terhadap jumlah
penduduk usia kerja pada tahun 1980-an sebab adanya tenggang waktu 10 tahun untuk
memasuki batas waktu minimum penduduk usia kerja
Tabel 13.1
Persentase Penduduk Usia Kerja 10 Tahun ke Atas di Indonesia
Menurut Pulau, 1961, 1971, 1980, dan 1990.
Peningkatan pendidikan angkatan kerja dapat dilihat dari dua sisi. Pertama,
sebagaimana disebutkan oleh Gardiner, dkk (1994) ada anggapan bahwa pembahasan yang
terlalu menekankan pada tingkat pendidikan yang rendah dilakukan dalam rangka untuk
menarik investasi asing karena mutu angkatan kerja yang rendah hati berkaitan dengan upah
buruh yang rendah, padahal angkatan kerja yang berpendidikan rendah mempunyai tingkat
kompetisi rendah, yang terlihat dari beberapa cirri yang kurang menguntungkan (simanjuntak,
1994).
*Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) adalah perbandingan jumlah Angkatan Kerja
dengan jumlah penduduk usia kerja (di Indonesia umur 15 tahun ke atas).
Ukuran angkatan kerja yang sering digunakan adalah tingkat partisipasi angkatan kerja
(TPAK) dan tingkat pengangguran (pengangguran terbuka). Kedua ukuran itu biasanya
dianalisis menurut umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin dan perbedaan antara desa-kota.
13.5.1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
TPAK adalah angka yang menunjukkan persentase angkatan kerja terhadap penduduk
usia kerja. Secara umum TPAK dapat dirumuskan :
Angkatan Kerja
TPAK = x 100
Penduduk Usia Kerja
Angka TPAK dapat digunakan sebagai dasar untuk mengetahui penduduk yang aktif
bekerja ataupun mencari pekerjaan. Bila angka TPAK kecil maka dapat diduga bahwa
penduduk usia kerja banyak yang tergolong bukan angkatan kerja baik yang sedang sekolah
maupun mengurus rumah tangga dan lainnya. Dengan demikian angka TPAK dipengaruhi oleh
faktor jumlah penduduk yang masih bersekolah dan penduduk yang mengurus rumah tangga.
Kedua faktor tersebut dapat pula dipengaruhi oleh keadaan ekonomi dan sosial budaya. Oleh
karena itu, di negara-negara yang sudah maju, TPAK cenderung tinggi pada golongan umur
dan tingkat pendidikan tertentu. Biasanya untuk mengamati perkembangan suatu negara atau
daerah, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan menurut golongan umur dan pendidikan
yang sering diperhatikan. Pola TPAK perempuan ini dapat memberikan petunjuk yang berguna
dalam mengamati arah perkembangan aktifitas ekonomi di suatu negara atau daerah. Berlainan
dengan laki-laki, umumnya perempuan mempunyai peranan ganda sebagai ibu yang
melaksanakan tugas rumah tangga, mengasuh dan membesarkan anak dan bekerja untuk
menambah penghasilan keluarga. Oleh karena itu, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan
amat dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial dan ekonomi. Tak mengherankan jika TPAK
perempuan berdasarkan golongan umur, status perkawinan, dan pendindikan berbeda dari
waktu ke waktu, baik antar daerah maupun negara.
Untuk menghitung TPAK menurut golongan umur dan pendidikan digunakan rumus :
Tabel 13.3
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Pengangguran Terbuka
menurut Jenis Kelamin di Indonesia Tahun 2000
Tingkat
5,6 6,7 6,1
Penganggur
Terbuka
Sumber : Sakernas, 2000 hal 8, 9, dan 10.
Tingkat partisipasi angkatan kerja ini lebih menarik apabila dilihat menurut pendidikan
tertinggi yang ditamatkan dan status perkawinan serta tempat tinggal desa-kota. Pada umumnya
semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula TPAK nya. Di daerag perkotaan angka
TPAK akan lebih rendah daripada di pedesaan. Mereka yang berstatus belum menikah TPAK
nya lebih tinggi daripada yang berstatus pernah menikah.
13.5.2 Tingkat Pengangguran
Menurut Sensus 1980, 1990, dan 2000, yang digolongkan mencari pekerjaan adalah :
1. Mereka yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan atau
pencari kerja baru.
2. Mereka yang pernah bekerja, pada saat pencacahan sedang menanggur dan berusaha
mendapatkan pekerjaan atau pencari kerja lama.
3. Mereka yang dibebastugaskan dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan atau pencari
kerja lama.
Definisi diatas belum dapat menangkap gejala setengah penganggur, dan dalam usaha
menangkap gejala itu sejak sensus 1980 digunakan pertanyaan mengenai jam kerja.
Berdasarkan ini kemudian dapat dibedakan antara mereka yang termasuk setengah penganggur.
Perlu dicatat jam kerja normal yang dipakai adalah 35 jam seminggu, namun sejak tahun 1990
jam kerja normal ada yang menggunakan 38 jam, ada pula yang menggunakan 40 jam.
Berdasarkan angka jam kerja normal (kurang 35 jam per minggu). Setelah penganggur kritis,
adalah mereka yang bekerja kurang dari 15 jam seminggu. Menurut sebab terjadinya
penganggur dapat dibedakan menjadi tiga:
1. Pengangguran Friksional
Pengangguran yang terjadi karena kesulitan yang bersifat temporer dalam
mempertemukan pencari kerja dengan lowongan kerja.
2. Pengangguran Struktural
Pengangguran yang terjadi karena adanya perubahan dalam struktur perekonomian.
3. Pengangguran Musiman
Pengangguran yang terjadi karena pengaruh musim.
Tingkat Penganggur (TP) adalah angka yang menunjukkan persentase yang sedang
mencari pekerjaan terhadap angkatan kerja. Secara umum dapat dirumuskan :
Tingkat penganggur ini biasanya dianalisis menurut umur, pendidikan, dan perbedaan
menurut jenis kelamin atau desa-kota.
Sedang mecari kerja (gol. Umur)
TP ( gol. Umur) = x 100
Angkatan Kerja (gol. Umur)
Parameter TPAK dan PT seringkali harus digunakan secara hati-hati untuk negara berkembang.
Ini disebabkan karena banyaknya yang termasuk ke dalam kelompok angkatan kerja
(bekerja+sedang mencari pekerjaan tetapi dengan referensi waktu/jumlah jam kerja relatif
rendah 1 (satu) jam seminggu). Sebagai akibatnya TPAK akan cenderung tinggi angkanya dan
sebaliknya. Tingkat pengangguran menjadi relatif rendah. Sejalan dengan hal ini maka
parameter setengah pengangguran penting untuk digunakan untuk menanggulangi masalah
tersebut. Beberapa ukuran setengah pengangguran adalah sebagai berikut. Tingkat atau Angka
Setengah Pengangguran biasanya dinyatakan dalam persen per tahun.
Sejak tahun 1998, BPS telah mengembangkan metode baru dalam mengukur Tingkat
Pengangguran (TP) karena angka TP ini dianggap terlalu rendah dan tidak sesuai dengan
keadaan di lapangan. Angka pengangguran yang tidak baru disebut Tingkat pengangguran
Terbuka (TPT) atau Angka Pengangguran Terbuka (APT) tetapi cukup disebut dengan Tingkat
Pengangguran saja, ada yang menggunakan tingkat pengangguran Metode Baru. Ada yang
menggunakan Tingkat Pengangguran Metode Baru yang dihitung dengan cara :
Tingkat Pengangguran Baru = TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) + TPST
(TingkatSetengah Pengangguran Terpaksa ) dinyatakan
dalam persen
Contoh : TPT Indonesia 1998 = 4,2 %
TSPT Indonesia 1998 = 12,4 %
Angka/Tingkat Pengangguran Baru = 4,2 % + 12,4 %
= 16,6%
Angka Pengangguran Pendekatan Baru ini dianggap lebih realistis dari pada angka 4,2
persen. Data Sakernas 2000 mengungkapkan bahwa TPT sekitar 6,1 persen sedangkan TSPT
mencapai 9,4 persen. Dengan demikian Tingkat Pengangguran Pendekatan Baru memberikan
angka sekitar 15,5 persen. Suroto (1996) mengukur Tingkat pengangguran dengan Metode
Ekivalen jumlah jam kerja normal 40 jam seminggu. Dengan menggunakan data SP1990
didapatkan Tingkat Pengangguran Pendekatan Baru, namun sangat berbeda sekali dengan
Tingkat Pengangguran Terbuka yang selama ini selalu diperdebatkan karena angkanya terlalu
rendah.
Jumlah angkatan kerja yang bekerja biasanya dipandang sebagai jumlah kesempatan
kerja yang tersedia di suatu wilayah. Dalam pengertian ‘kesempatan kerja’ tidaklah sama
dengan “lapangan kerja yang masih terbuka”. Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya,
yang dimaksud dengan “bekerja” dalam Sensus Penduduk 1980 ialah selama seminggu sebelum
pencacahan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh
penghasilan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit satu jam dalam sehari. Pada
Sensus Penduduk 1971 definisi bekerja tidak sama dengan yang digunakan dalam Sensus
Penduduk 1980, hanya batas waktu bekerja yang digunakan minimal 2 hari dalam seminggu
dengan bekerja paling sedikit satu jam dalam sehari. Batasan ini digunakan secara konsisten
sejak Sakernas 1976 maupun Susenas 1977 serta Supas 1985.
Sebenarnya dalam membandingkan kesempatan kerja dari kedua sensus tersebut diatas
diperlukan penyesusaian menurut perhitungan, simpangan akibat perbedaan batas waktu
bekerja tersebut relatif kecil. Dari Sensus Penduduk 1980 jumlah angkatan kerja yang tergolong
bekerja dengan batas waktu satu jam dalam seminggu sebesar 51.533,1 ribu orang, sedangkan
yang mempergunakan batas waktu dua hari perminggu bekerja besarnya 51.257,2 ribu. Ini
berarti perbedaannya hanya sekitar 0,57 persen.
Klasifikasi 9 lapangan pekerjaan ini sejak tahun 2000 mengalami perubahan. Bidang
pekerjaan/lapangan usaha sejak SP2000 maupun Sakernas 2000 mengalami perubahan yang
cukup mendasar, yaitu digolongkan ke dalam 5 sub sektor pertanian dan 5 sektor lainnya
dengan rincian sebagai berikut.
1. Sub sektor pertanian tanaman pangan
2. Sub sektor perkebunan
3. Sub sektor perikanan
4. Sub sektor pertenakan
5. Sub sektor pertanian lainnya
6. Sektor industri pengolahan
7. Sektor perdagangan
8. Sektor jasa kemasyarakatan
9. Sektor angkutan
10. Sektor lainnya (bangunan, keuangan, listrik, gas, dan air).
Penggolongan jenis/ jabatan dapat dilihat secara rinci kedalam satu digit ,dua
digit, tiga digit , dan empat digit seperti yang disajikan oleh BPS (2000) dalam buku
KlarifikasiJabatan Indonesia (KJI) yang dari tahun ketahun terusdisempurnakan .
penggolongan jenis pekerjaankedalam 9 kelompokinimerupakan yang paling baru dan
lebih rinci dibandingkan penggolongansebelumnya. Urutanjenispekerjaan (darinomer 1
sampai 9) merujuk pada urutan produktivitas kerja ,mulaidari yang paling produktif
atau mulai dari produktivitas kerja yang paling tinggi ke yang paling rendah. Distribusi
pekerja menurut jenis pekerjaan di Indonesia adalah seperti berikut : (tabel 13.5)
Tabel 13.5
Angkatan kerjaberumur 15 tahunkeatas yang bekerjamenurutjenispekerjaan dan
jeniskelamin di Indonesia tahun 2000
Tabel 13.6
Angkatan kerjaberumur 15 tahunkeatas yang bekerjamenurut status pekerjaan di Indonesia
tahun 2000
Status pekerjaan Lakila Peremp Jumla
ki uan h
(000) % (000) % (000) %
1. Berusahasendiri 13.222 23,8 6.279 18,3 19,501 27,7
2. Berusahadibantuburuh/ 16.128 29,1 4.592 13,3 20,720 23,1
pekerjatetap/pekerjatak
dibayar
3. Berusahadibantuburuh / 1.608 2,9 424 1,2 2,032 2,3
pekerjatidakdibayar
4. Pekerja/buruh/karyawan 19.788 35,7 9.709 28,2 29,497 32,8
5. Pekerjatidakdibayar 4.692 8,5 1.3393 39,0 18.085 14,1
Jumlah 55.439 100,0 34.399 100,0 89.838 100,0
BAB XIV
PROYEKSI PENDUDUK
14.1 PENDAHULUAN
Semuaperencanaanpembangunansangatmembutuhkan data penduduktidaksaja pada
saatmerencanakanpembangunantetapi juga pada masa masamendatang yang
disebutdenganproyeksipenduduk.
Proyeksipendudukbukanmerupakanramalanjumlahpendudukuntuk masa mendatang,
tetapisuatuperhitunganilmiah yang didasarkanasumsidarikomponen –
komponenlajupertumbuhanpendudukyaitu ,kelahiran , kematian , dan migrasipenduduk.
Ketigakomponeninilah yang menentukanbesarnyajumlahpendudukstrukturpendudukdimasa
yang akandatang.
Ketajamanproyeksipenduduksangattergantung pada
ketajamanasumsitrenkomponenpertumbuhanpenduduk yang dibuat. menurut BPS (1998),
untukmenentukanasumsitingkatkelahiran ,kematian dan perpindahandimasa yang
akandatangdiperlukan data yang menggambarkantren di masa lampauhinggasaatini , faktor-
faktor yang mempengaruhimasing-masingkomponen , dan
hubunganantarasatukomponendengan yang lain serta target yang akandicapaiataudiharapkan
pada masa yang akandatang.
Proyeksipendudukinisecaraperiodikperludirevisi
,karenaseringterjadibahwaasumsitentangkecenderungantingkatkelahiran , kematian , dan
perpindahanpenduduk (migrasi) yang melandasiproyeksi lama
tidaksesuailagidengankenyataan. Biro pusatstatistik (1998) sudahbeberapa kali
membuatproyeksipendudukyaitu pada setiaptersediannya data hasilsensuspenduduk (SP) 1971,
1980, 1990, dan survey PendudukAntarSensus (SUPAS) 1985 dan 1995.
14.2 DATA DASAR
Data dasar yang diperlukanuntukpembuatanproyeksipendudukadalahsebagaiberikut:
a.) Jumlahpendudukmenurutkelompokumur dan jeniskelaminsebaga data
dasarpembuatanproyeksipenduduk.
b.) Besar dan perkembanganangkakelahiran ,kematian dan migrasipenduduk;
c.) Tabelkematian yang sesuaidenganperkembangankomponendemografi pada
periodeproyeksitersebut.
14.2.1 Evaluasi Data Umur dan Jenis Kelamin.
Menurut BPS (1998) data yang diperoleh dari hasil sensus dan survey biasanya masih
mengandung beberapa kesalahan, walaupun telah diusahakan agar kesalahan tersebut tidak
terjadi atau sekecil mungkin. Kesalahan ini sering terjadi, antara lain karena banyak penduduk
terutama di daerah pedesaan yang tidak melaporkan umur mereka dengan benar. Hal ini
disebabkan karena memang penduduk tersebut tidak menegetahui tanggal kelahirannya atau
umurnya, sehingga pelaporan umurnya hanya berdasarkan perkiraan dia sendiri atau perkiraan
pencacah. Selain itu walaupun ada penduduk yang mengetahui umurnya secara pasti tetapi
karena alasan-alasan tertentu melaporkan umurnya lebih tua atau lebih muda dari umur
sebenarnya.
Seperti telah disebutkan di atas, salah satu data dasar yang dibutuhkan untuk membuat
proyeksi penduduk dengan metode komponen adalah jumlah penduduk yang dirinci menurut
umur dan jenis kelamin. Oleh Karena itu, untuk keperluan proyeksi ini data dasar yang
mengandung beberapa kesalahan perlu dievaluasi ,secara cermat kemudian dilakukan
perapihan (adjustment) dengan tujuan untuk menghapus atau memperkecil berbagai kesalahan
yang ditemukan. Mengingat pentingnya data mengenai umur, maka untuk memperoleh
keterangan tentang umur yang lebih baik dalam sensus penduduk yang lalu dan SUPAS 1995
oleh BPS telah ditempuh berbagai cara. Bagi responden yang tahu tanggal lahirnnya dalam
kalender masehi, umur responden bias langsung dihitung, sedangkan bagi responden yang tahu
tanggal kelahirannya dalam kalender islam, jawa dan sunda umur responden dihitung dengan
menggunakan table konversi kalender yang disediakan dalam buku pedoman pencacahan .
terakhir untuk responden yang tidak tahu tanggal kelahirannya, tetap diupayakan memperoleh
keterangan tentang umur dengan menghubungkan kejadian penting setempat atau nasional atau
membandingkan dengan umur orang/tokoh setempat yang diketahui waktu kelahirannya (BPS,
1998).
Setelah data SUPAS 1995 diperoleh, BPS membuat proyeksi penduduk Indonesia per
provinsi selama 10 tahun (hingga tahun 2005). Walaupun berbagai usaha untuk
memperoleh keterangan tentang umur sudah dilakukan namun data penduduk menurut umur
dalam SUPAS 1995 masih tidak terlepas dari kesalahan dalam pelaporan. Kesalahan yang
terjadi antara lain karena adanya kebiasaan penduduk, terutama yang tidak tahu tanggal
lahirnya, melaporkan umurnya pada tahun tahun yang berakhiran 0 dan 5. Disamping itu,
seperti talah disebutkan diatas terjadi juga kesalahan pada penduduk yang tahu secara pasti
umurnya tetapi karena alasan terntentu mereka melaporkan umurnya lebih tua atau lebih muda
dari yang seharusnya.
Menurut BPS (1998) kesalahan pelaporan umur pada hasil SUPAS 1995 misalnya dapat
dilihat pada data Rasio Jenis Kelamin (RJK) menurut umur. Kalau pelaporan Umur baik, RJK
pada suatu Umur tertentu tidak berbeda besar dengan Umur yang disekitarnya. Pada usia 0-4
tahun biasanya sedikit diatas 10, setelah umur tersebut RJK turun secara teratur dan mencapai
nilai dibawah 100 pada usia tua. Gambaran seperti ini tidak terlihat pada Tabel 14.1, karena
RJK berfluktuasi naik turun tidak menentu dan yang cukup menarik RJK pada usia 20-24 tahun,
25-29 tahun , dan 30-34 tahun sangat rendah. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa hal ini
karena mobilitas laki-laki pada usia tersebut sangat besar, sehingga banyak yang lewat cacah
pada waktu pencacahan.
Tabel 14.1.
Rasio jenis kelamin Menurut Golongan Umur tahun 1971-1995
GolonganUmur 1971 1980 1990 1995
Sebagai contoh :
P25-29 = 1/16 (-p15-19) + 4P20-29 + 10P 25-29 + 4P30-34 – P35-39 )
Hasil perapihan jumlah penduduk menurut jenis kelamin kelompok umur 10-64 tahun
menggambarkan keadaan pada tanggal 31 oktober 1994 (masa pencacahan SUPAS 1995).
Sebagai dasar perhitungan proyeksi, data ini digeser ke akhir tahun ( 31 Desember 1995
)dengan menggunakan laju pertumbuhan penduduk 1990-1995 dan dengan asumsi dalam 2
bulan terakhir ditahun 1995 tidak terjadi perubahan penting pada susunan umur dan jenis
kelamin.
Tahap kedua adalah perapihan penduduk yang berusia 65 tahun ke atas, menggunakan
distribusi umur penduduk 65 tahun ke atas dari suatu Negara yang penduduknya sudah stabil.
Kelompok penduduk ini tidak besar pengaruhnya terhadap hasil proyeksi karena jumlahnya
relatif kecil dan dalam waktu relatif singkat akan berkurang dan menjadi NOL.
Tahap terakhir adalah merapikan pendudukyang berumur 0-4 dan 5-9 tahun , jumlah
penduduk kelompok ini, terutama yang berumur 0 dan 1 tahun, jauh lebih kecil daripada yang
diharapkan yang diduga karena lewat cacah. Untuk merapikan diperlukan data tentang tingkat
kelahiran total (TFR) masa lampau yang menggambarkan keadaan paling tidak 10 tahun
sebelum pencacahan , dan jumlah dan susuan umur wanita usia subur serta tingkat kematian
dalam kurun waktu yang sama (BPS,1998).
Diasumsikan bahwa besarnya angka ASBRi Selama periode waktu proyeksi (mis.1990-
2005) tetap, maka untuk mendapatkan proyeksi angka kelahiran pada 5 tahun berikutnya
didapat dengan mengalikan ASBRidengan proyeksi Pfi dibagi dengan k. angka Bi ini adalah
jumlah kelahiran bayi laki-laki dan perempuan menurut kelompok umur i. Untuk mendapatkan
jumlah kelahiran seluruh bayi laki-laki dan perempuan makan Bi dijumlahkan. Karena proyeksi
bpenduduk yang dibuat adalah proyeksi penduduk perempuan, maka perlu dicari angka
kelahiran bagi perempuan dengan menggunakan rasio jenis kelamin kelahiran (sex ratio at
birth).
Angka ASBRi untuk Propinsi Jawa Tengah (Desa dan kota pada tahun 1990 terlihat pada Tabel
14.4.
Tabel 14.4
Tingkat (angka ) kelahiran menurut Umur (ASBR)
Propinsi Jawa Tengah (Desa dan Kota) pada Tahun 1990
Kelompok Umur Tiingkat Kelahirran
(tahun) Menurut Umur (ASBRi)
15-19 73
20-24 176
25-29 153
30-34 111
35-39 65
40-44 25
45-49 6
Sumber :BPS,1992
14.3.4 Rasio Kelahiran Menurut Jenis Kelamin
Pada tahun 1990 untuk Propinsi Jawa Tengah rasio kelahiran menurut jenis kelamin
(sex ratio atbirth) adalah 107, yang berarti tiap kelahiran 100 bayi perempuan terdapat 107
kelahiran bayi laki-laki. Di muka telah disebutkan bahwa kita telah mmenghitung seluruh
kelahiran bayi laki-laki dan perempuan dengan menjumlahkan kelahiran menurut kelompok
umur, atau dengan rumus ditulis.
Dengan memperhatikan sex ratio at birth (SBR) sebesar 107 maka kelahiran bayi perempuan
dapat di tulis dengan rumus.
100
Bf = 𝑥𝐵(𝑥𝜋 ± 𝑓)
207
Tabel 14.5
Proyeksi Penduduk Perempuan Jawa Tengah 1990-2005
Menurut Unur, Desa + Kota
Umur Pdd prp Pdd prp Pdd prp SR 95/00 Pdp prp SR 00/05 Pdd prp
SP 1990 Level 17 1995 Level 18 2000 Level 19 2005
0 1670741 0,91708 1900928 0,93240 2102565 0,94282 -
0-4 1572492 0,97441 1532203 0,98003 1768319 0,98514 1982340
5-9 1721002 0,99024 1532252 0,99213 1501605 0,99389 1742042
10-14 1685712 0,98950 1704205 0,99143 1520193 0,99323 1492430
15-19 1131491 0,98553 1668012 0,98803 1689600 0,99036 1509901
20-24 1243806 0,98223 1312224 0,98518 1648046 0,98794 1673312
25-29 1114547 0,97953 1221704 0,98281 1292777 0,98590 1628171
30-34 851703 0,97633 1091732 0,97990 1200703 0,98328 1274549
35-39 659640 0,97210 831543 0,97592 1069788 0,97951 1176100
40-44 683884 0,96600 676232 0,96981 811519 0,97352 104868
45-49 691052 0,95502 660632 0,95928 655817 0,96347 790030
50-54 583501 0,93775 659969 0,94289 633731 0,94796 631860
55-59 504613 0,90968 547178 0,91624 622278 0,92276 600752
60-64 381733 0,86524 45036 0,87338 501346 0,88152 574213
65-69 230606 0,79681 330291 0,80629 400913 0,81584 441947
70-74 165885 0,69691 183749 0,70747 266310 0,71816 327081
75+ 165945 0,44309 18915 0,45358 215785 0,46443 291470
Langkah Kedua
Untuk mendapatkan angka jumlah kelahiran pada masa-masa mendatang, maka angka
ASBR, yang sudah dipersiapkan dikalikan dengan proyeksi jumlah penduduk perempuan
menurut kelompok umur pada usia reproduksi. Digunakannya angka ASBR, yang sama untuk
seluruh proyeksi penduduk dengan asumsi bahwa sifat kelahiran dan kematian stabil pada
periode waktu-waktu tertentu (dalam kasus Propinsi Jawa Tengah periode 1990-2005).
Perhitungan proyeksi kelahiran pada periode proyeksi dapat dilihat dalam Tabel 14.6.
Tabel 14.6
Proyeksi Jumlah Kelahiran di Propinsi Jawa Tengah
Pada Tahun 1990 dan 1995
Kelompok ASBR, Pdd prp i Kelahiran i Pdd prp i Kelahiran i
umur (th) 1990 1990 1995 1995
(1) (2) (3) (4)=(2x3)/ (5) (6)=(2x5)/
1000 1000
Langkah Ketiga
Dalam Tabel 14.6 telah dihitung jumlah kelahiran bayi perempuan total tahun 1990
sebesar 647634 kelahiran dan pada tahun 1995 diproyeksikan sebesar 735739 kelahiran. Pada
periode tahun 1990-1995 jumlah kelahiran total (L+P) sebesar:
647634 + 735739
5 x = _______________________ 3458433
2
Langkah keempat
Setelah memproyeksikan jumlah kelahiran total (lk + pr), pada periode 1990-1995 perlu
dihitung jumlah kelahiran bayi perempuan saja. Untuk ini perlu diperhatikan rasio jenis kelamin
kelahiran, yang besarnya 107. Jadi jumlah kelahiran bayi perempuan pada periode 1990-1995
sebesar:
100
____ x 3458433 kelahiran = 1670741 kelahiran bayi perempuan
207
Letakkan angka ini pada kolom 2 (Tabel 14.5) pada kelahiran (umur 0 tahun). Kerjakan
hal yang sama untuk kelahiran bayi perempuan periode 1995-2000 dan 2000-2005 tahun
Langkah kelima
Angka kelahiran pada kolom 2 (Tabel 14.5) lalu dikalikan dengan Survival Ratio di
kolom 3 yang besarnya 0,91708 (lihat tabel 14.3) didapatkan proyeksi penduduk perempuan
umur 0-4 tahun sebesar 1.532.203 orang tahun 1995.
Langkah keenam
Proyeksi penduduk pada kelompok terakhir (75+) digunakan rumus:
(P 70-74) x (SR 70-74) + (P 75+) x (SR 75+)
Contoh: penduduk perempuan umur 75+ pada tahun 1995
(165.885 x 0,69691) + (165.943 x 0,44309) =
115.607 + 73.528 = 18913
𝑘
Y = L+ 𝐼+𝑏𝑒 𝑎𝑡
di mana:
Y = Perkiraan IMR
L = Perkiraan asymptot bawah (IMR=20)
k = Suatu besaran, dimana k+L=180 adalah asymptot atas IMR Indonesia akan turun
dari 51 pada tahun 1991 menjadi 36 pada tahun 2002 (lihat Tabel 14.7).
c) Migrasi internasional neto dapat diabaikan (diasumsikan sama dengan nol), karena orang
yang keluar masuk Indonesia diperkiraan seimbang dan relatif sangat kecil dibandingkan
dengan penduduk Indonesia
Tabel 14.7
Estimasi Angka Kelahiran Total (TFR) dan Angka Kematian Bayi (IMR)
Menurut Propinsi 1995-2005
Propinsi TFR IMR
1995-2000 2000-2005 1995-2000 2000-2005
1. Daerah Istimewa 2,782 2,366 41,37 30,46
Yogyakarta
2. Sumatera Utara 3,076 2,746 43,60 35,12
3. Sumatera Barat 2,936 2,632 50,57 40,31
4. Riau 2,847 2,501 40,46 31,64
5. Jambi 2,867 2,501 40,46 35,87
6. Sumatera Selatan 2,784 2,465 51,37 38,22
7. Bengkulu 2,826 2,578 51,79 38,54
8. Lampung 2,737 2,387 49,55 37,04
9. DKI Jakarta 2,002 2,002 26,30 18,37
10. Jawa Barat 2,610 2,377 56,05 42,01
11. Jawa Tengah 2,413 2,251 48,08 43,22
12. D.I. Yogyakarta 2,002 2,002 27,16 20,32
13. Jawa Timur 2,021 2,021 50,71 40,51
14. Bali 2,004 2,004 33,44 25,17
15. Nusa Tenggara Barat 3,115 2,800 85,21 67,05
16. Nusa Tenggara Timur 3,235 2,838 59,20 46,57
17. Timor Timur 4,075 3,506 89,70 72,72
18. Kalimantan Barat 2,919 2,436 56,53 45,12
19. Kalimantan Tengah 2,857 2,662 37,38 31,07
20. Kalimantan Selatan 2,583 2,362 66,97 50,37
21. Kalimantan Timur 2,599 2,392 39,43 31,74
22. Sulawesi Utara 2,376 2,321 39,14 31,09
23. Sulawesi Tengah 2,783 2,497 62,98 48,97
24. Sulawesi Selatan 2,698 2,491 45,14 34,86
25. Sulawesi Tenggara 3,003 2,390 53,20 41,57
26. Maluku 3,023 2,554 48,29 38,27
27. Irian Jaya 3,104 2,780 54,94 42,82
INDONESIA 2,593 2,382 49,66 46,48
b. - IMR di setiap propinsi menurun dengan kecepatan yang berbeda, sesuai dengan tren
di masa lampau dari masing-masing propinsi, dan diproyeksikan dengan
menggunakanrumus fungsi logistik seperti proyeksi IMR Indonesia
- Disetiap propinsi IMR diproyeksikan akan mencapai sekitar 20 pada akhir PJP II.
Asumsi tersebut digunakan berdasarkan kecenderungan tren masa lampau dan
kebijaksanaan Departemen Kesehatan pada Pelita VI yang menempatkan upaya
kesehatan ibu dan anak sebagai prioritas pembangunan, yaitu dengan melakukan
berbagai terobosan strategis yang bersifat inovatif seperti penggunaan obat generik,
konversi rumah sakit sebagaiunit swadana dan sebagainya, sehingga penurunan IMR
diperkirakan menjadi lebih cepat
- Asumsi penurunan IMR per propinsi disajikan pada Tabel 14.7.
c. – Dengan terbatasnya informasi mengenai pola migrasi penduduk, maka tingkat migrasi
neto rata-rata setiap tahun antara 1990-1995 diasumsikan tetap hingga tahun 2005,
seperti disajikan pada tabel 14.6.
Tabel 14.8
Estimasi penduduk Menurut Propinsi 1995-2005 (x1000)
Propinsi 1995 2000 2005
1. Daerah Istimewa Aceh 3.862,8 4.213,4 4.545,6
2. Sumatera Utara 11.144,3 12.156,7 13.132,7
3. Sumatera Barat 4.334,3 4.657,3 4.952,3
4. Riau 3.923,0 4.383,4 4.849,0
5. Jambi 2.382,6 2.642,4 2.909,1
6. Bengkulu 7.239,3 7.858,5 8.479,0
7. Sumatera Selatan 1.417,5 1.593,8 1.790,0
8. lampung 6.680,1 7.178,7 7.650,8
Jumlah (%) 20,99 21,23 21,40
9. DKI Jakarta 9.143,5 9.720,4 10.297,9
10. Jawa Barat 39.339,9 43.089,3 46.913,2
11. Jawa Tengah 29.691,1 31.336,0 33.120,0
12. Daerah Istimewa 2.916,8 3.986,1 3.255,2
Yogyakarta
13. Jawa Timur 33.889,1 35.478,0 37.066,2
Jumlah (%) 58,88 58,32 57,88
14. Bali 2.899,6 3.091,2 3.285,0
15. NTB 3.655,3 3.990,8 4.357,3
16. NTT 3.588,2 3.915,7 4.243,4
17. Timor Timur 843,0 939,3 1.033,1
Jumlah (%) 5,63 5,67 5,72
18. Kalimantan Barat 3.650,1 4.015,1 4.360,6
19. Kalimantan Tengah 1.635,8 1.805,4 1.980,6
20. Kalimantan Selatan 2.903,8 3.152,7 3.406,6
21. Kalimantan Timur 2.330,4 2.643,1 2.970,2
Jumlah (%) 5,39 5,52 5,63
22. Sulawesi Utara 2.655,0 2.841,5 3.024,8
23. Sulawesi Tengah 1.946,3 2.176,2 2.435,1
24. Sulawesi Selatan 7.578,2 8.218,6 8.862,6
25. Sulawesi Tenggara 1.595,5 1.781,1 1.951,0
Jumlah (%) 7,05 7,13 7,21
26. Maluku 2.094,7 2.252,4 2.378,0
27. Irian Jaya 1.954,0 2.219,5 2.498,5
Jumlah 2,07 2,12 2,16
INDONESIA 195.294,5 210.485,6 225.747,8
Laju pertumbuhan 1995-2000=1,50% 2000-2005 = 1,40%
Sumber : BPS (1998)
Jumlah penduduk di setiap propinsi sangat beragam dan bertambah dengan laju
pertumbuhan yang sangat beragam pula. Dengan digunakannya asumsi tingkat kelahiran (TFR)
untuk setiap propinsi tidak ada yang lebih kecil dari 2 dan tingkat kematian bayi yang rendah
selama periode proyeksi mengakibatkan beberapa propinsi laju pertumbuhannya naik
dibandingkan dengan periode sebelumnya 1990-1995 (data tidak ditampilkan) seperti propinsi
Sumatera Utara, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa tenggara Barat,
di samping juga karena adanya pengaruh migrasi. Di samping itu juga ada propinsi yang
mempunyai laju pertumbuhannya turun dengan tajam seperti Kalimantan Timur. Hal ini
disebabkan oleh karena fertilitas dan moralitas yang turun cukup cepat, juga pengaruh migran
yang masuk yang pada periode sebelum 1990-1995 sangat tinggi.
B. Susunan Umur Penduduk
Struktur umur penduduk indonesia masih tergolong “muda”, walaupun dari hasil sensus
dan survei-survei yang lalu proporsi penduduk muda tersebut menunjukkan kecenderungan
makin menurun. Susunan umur penduduk hasil proyeksi yang disajikan pada Tabel 14.9 sampai
dengan tabel 14.11juga menunjukkan pola yang sama. Asumsi tentang penurunan tingkat
kelahiran dan kematian Indonesia seperti diuraikan di atas sangat mempengaruhi susunan umur
penduduk. Proporsi anak-anak berumur 0-4 tahun turun dari 32,8 pada tahun 1995 menjadi 27,8
pada tahun 2005 (Tabel 14.9)
Tabel 14.9
Estimasi Proprsi Penduduk Umur 0-4 Tahun
Menurut Propinsi 1995-2005
Propinsi 1995 2000 2005
1. Daerah Istimewa Aceh 37,74 33,24 30,31
2. Sumatera Utara 37,62 33,30 30,60
3. Sumatera Barat 35,14 30,96 28,87
4. Riau 36,39 32,71 30,90
5. Jambi 35,52 31,85 30,75
6. Bengkulu 37,44 32,70 30,41
7. Sumatera Selatan 36,45 31,80 30,59
8. Lampung 36,20 31,57 28,81
D. Harapan Hidup
Harapan hidup pada saat Lahir ( Disingkat “harapan hidup” ) adalah hsil (output) dari
perhitungan proyeksi yang sering dipakai sebagai salah satu indikator Kesejahteraan Rakyat.
Dengan asumsi kecenderungan “angka kematian bayi” yang menurun serta perubahan susunan
umur penduduk seperti telah diuraikan di atas, maka harapan hidup penduduk Indonesia (Laki-
laki dan perempuan naik dari 64,7 persen pada periode 1995-2000 menjadi 67,86 tahun pada
periode 2000-2005. Dalam table 14.14 juga terlihat bahwa variasi harapan hidup menurut
propinsi tidak terlalu besar pada awal tahun produksi, angka harapan hidup terendah 55,91
tahun untuk Timor Timur dan Tertinggi 70,63 tahun untuk DKI Jakarta. Pada akhir periode
peroyeksi variasi itu menjadi berkisar antara 59,45 tahun 72,93 tahun untukpropinsi-propinsi
yang sama seperti pada awal proyeksi.
Tabel 14.13
Estimasi Net Reproduction Rate (NRR)
Menurut Propinsi, 1995-2005
Propinsi Periode
2000-2005 1995-2000
1. Daerah Istimewa Aceh 1,258 1,096
2. Sumatera Utara 1,382 1,259
3. Sumatera Barat 1,295 1,191
4. Riau 1,291 1,157
5. Jambi 1,283 1,179
6. Bengkulu 1,231 1,179
7. Sumatera Selatan 1,249 1,137
8. Lampung 1,213 1,091
9. DKI Jakarta 0,936 0,948
10. Jawa Barat 1,138 1,073
11. Jawa Tengah 1,075 1,035
12. Daerah Istimewa Yogyakarta 0,934 0,946
13. Jawa Timur 0,895 0,917
14. Bali 0,925 0,940
15. NTB 1,255 1,186
16. NTT 1,393 1,264
17. Timor Timur 1,612 1,455
18. Kalimantan Barat 1,273 1,094
19. Kalimantan Tengah 1,304 1,233
20. Kalimantan Selatan 1,096 1,046
21. Kalimantan Timur 1,183 1,107
22. Sulawesi Utara 1,081 1,075
23. Sulawesi Tengah 1,194 1,110
24. Sulawesi Selatan 1,208 1,143
25. Sulawesi Tenggara 1,321 1,082
26. Maluku 1,341 1,161
27. Irian Jaya 1,357 1,23
INDONESIA 1,149 1,090
Sumber:BPS (1998)
Tabel 14.14
Estimasi Angka Harapan Hidup (eo)
Menurut Propinsi, 1995-2005
Propinsi Periode
1995-2000 2000-2005
1. Daerah Istimewa Aceh 66,69 69,47
2. Sumatera Utara 66,15 68,21
3. Sumatera Barat 64,49 66,93
4. Riau 66,91 69,17
5. Jambi 65,64 68,01
6. Bengkulu 64,32 67,45
7. Sumatera Selatan 64,19 67,37
8. Lampung 64,74 67,71
9. DKI Jakarta 70,63 72,93
10. Jawa Barat 63,19 66,54
11. Jawa Tengah 65,10 68,46
12. Daerah Istimewa Yogyakarta 70,39 72,37
13. Jawa Timur 64,47 66,88
14. Bali 68,66 70,95
15. NTB 56,83 60,69
16. NTT 62,48 65,45
17. Timor Timur 55,91 59,45
18. Kalimantan Barat 63,06 65,79
19. Kalimantan Tengah 67,52 69,32
20. Kalimantan Selatan 60,72 64,54
21. Kalimantan Timur 67,15 69,15
22. Sulawesi Utara 67,23 69,32
23. Sulawesi Tengah 61,62 64,88
24. Sulawesi Selatan 65,79 68,29
25. Sulawesi Tenggara 63,88 66,64
26. Maluku 65,03 67,42
27. Irian Jaya 63,46 66,35
INDONESIA 64,71 67,86
Sumber: BPS (1998)
DAFTAR PUSTAKA
Connel, John. 1976. Mingration from Rural Areas: The Evidence from Village Studies. New
Delhi: Oxford University Press.
Daldjuni, N. 1975. Masalah Registrasi Penduduk Indonesia. Ekonomi dan keuangan
Indonesia. 4.
Dharmapatni, I. A. I., and T. Firman. 1992 . Problems and Challenges of Mega Urban
Regions in Indonesia : The Case of Jabotabek and The Bandung Metropolitan Area, in T.G.
McGee and Ira M. Robison (eds). The Mega Urban Regions Of Southeast Asia. Vancouver:
UBC Press.
Ediastuti, Endang. 1996. Pola dan Trend Demografi Indonesia, dalam Agus Dwiyanto. Et al
(el), penduduk dan pembangunan. Yogyakarta: Aditya Media.
Effendi, Tajuddin Noer. 1987. Konsep dan Ukuran Ketenagakerjaan. Lokakarya Pendidikan
Kependudukan dan Lingkungan Hidup, diselenggarakan di yogyakarta 16 Februari-7 Maret
ole Meneg KLH berkerjasama dengan PPK dan PPLH, UGM.
Gardiner, Peter. 1981. Vial Registration in Indonesia: A Study of Completeness and
Behavioral Determinants of Reporting of Birth and Deaths. Unpublished Ph.D Thesis,
Australian National University. Canberra.
Gardiner, P., Mayling Oey., Evelyn Sullemn, dan Christiadi. 1994. Masalah Sumberdaya
Manusia Indonesia. Makalah untuk Seminar Sumber Daya Manusia. Di Yogyakarta, 4-9 Juli.
Hananto, Sigit. 1983. Perkembangan Kesempatan Kerja dan Ciri-ciri Pekerja Sektor Formal-
Informal Paper Lokakarya Nasional Angkatan Kerja dan Kesempatan Kerja . Jakarta: 12-14
Januari.
Hauser, Philip M., and Otis Dudley Duncan, eds. 1959. The Sludy of Population: An
Inverstorty and Appraisal. Chicago: The University of Chicago Press.
Hellingman, Larry. 1976. Morlalitas di Indonesia 1961-1971, (diterjemahkan oleh Hans
Daeng). Yogyakarta: Lembaga Kepmdudukan Universitas Gadjah Mada.
Hugo, Greame John. 1975. Population Mobility in West Java Indmesia. Unpublished PhD.
Dissertation. Australian National University.
Iskandar, N. 1980. Teori-teori Kependudukan. jakarta: Lembaga Demografi, FE, Universitas
Indonesia.
Jones, W. Gavin. 1977. The Population of North Sulawesi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
.1981. Labour Force Development Since 1971, The Indonesian Economic During The
Suharto Era (A Booth and P. McCawley,eds). Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Kammeyer, Kenneth C. W 1971. An Introducation to Population. San Frasisco. Chander
Publishing Company.
Kasto 1995. Karakteristik Demografi, Sosial dan Ekonomi Sumberdaya, Pemuda Indonesia,
Populasi.6 (1).
Kasto dan Henry Sembiring. 1995. Profil Kependudukan Indonesia Selama PJP I Awal PJP II.
Yogyakarta: PPK-UGM.
Keyfitz, Nathan. 1977. Cause of Death in Future Mortality. International Conference, Mexico
City Proceeding, Vol. I.
keyfitz, Nathan. dan Wijojo Nilisastro. 1984. Soal Penduduk dan pembangunan Indonesia.
Jakarta: Pembangunan.
Kuznets, S. 1957. Quantitative Aspects of The Economic Gtowth of Nations: In Industrial
Distribution of National Product and Labom Fume. Economic Development and Cultural
Change.5 (4) Part 2.
Lee, Everett. 1970. A Theory of Migration. in Demko, George J., Harold M. Rose and George
A. Schneel. Population Geography : A Reader. New York; McGraw-Hill Book Company.
Levang, Patrice., and O. Sevin. 1989.Transmigration and Christabel Young.1982. Pengantar
kependudukan. Penerjemah Nin Bakdi Sumanto, Riningsih Saladi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, dan PPSK-UGM.
Mabogunje, A. L. 1970. System Approach to a Theory of Rural-Urban Migration.
Geografhical Anaysis, (2).
Malthus, T. R. 1978.Principles of Population (7th ,ed. London: J. Johnson.
Manning, Chris. 1983. Kegiatan Ekonomi Angkatan Kerja: Lapangan Pekerjaan Janis dan
Status Pekerjaan, dalam Peter F. McDonald (ed), pedoman Analisis Data sensus 1971-1980.
Canberra: Australian Universities Intemational Development Program.
Mantra, Ida Bagoes. 1981. Population Problems and Transmigration. Program in Indonesia.
Paper Presented at The Meeting Of the ASEAN Technical Cooperation Among Developing
Countries, to be held in Jakarta , August 27.
.1981. Population Movement in wet Rice Communities: A Case Study of Two Dukuh in
Yogyakarta special Region. Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss.
.1985. Pangantar Studi Demogmj Yogyakarta: Nur Cahaya.
.1980. Urbanization and Population Distribution Policies in Indonesia
Nesia. Paper Presented at The International Workshop on Urbanization and Population
Distribution Polities in Asia. Honolulu, Hawaii, March 27-31.
.1995. Mobilitas Penduduk Non Permanen dan Pembangunan Daerah Asal. Makalah
Seminar Bangga Suka Desa, di Yogyakarta 6 Juni, diselenggarakan oleh BKKBN, DIY.
.1996. Dampak Pembangunan terhadap Mobilitas Penduduk, dalam Agus Dwiyanto, et
al
(eds). Penduduk dan Pembangunan. Yogyakarta: Aditya Media.
.1999. Illegal Indonesia Labour Movement from Lombok to Malaysia. Acia Pasific
Viewpoint. 40(I). Published by Blackwell, Publishers Oxford).
Mantra, Ida Bagoes., Kasto., A. J. Suharjo., dan Cuk Susanto. 1970. Evaluasi Pemantapan
Transmigrasi Daerah Bergambut Tebal Rasau Jaya Kalimantan Barat. Laporan
Penelitian
untuk Departemen Transmigrasi.
Mantra, Ida Bagoes., Kasto., dan Yeremias T. Keban. 1999. Mobilitas Tenaga Kerja Indonesia
ke
Malaysia. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.
Mantra, Ida Bagoes., dan Nasruddin Harahap. 1993. Analisis Perkembangan Kependudukan
Menurut Sensus Penduduk 1990: Dinamika Mobilitas Indonesia. Yogyakarta: Pusat
Penelitian Kependudukan, UGM.
.2000. Program Transmigrasi dari Waktu ke Waktu: Reorientasi pada Pembangunan
Daerah, dalam Reorientasi Kebijakan Kependudukan: Penyunting Faturochman dan Agus
Dwiyanto. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.
McDonald, P. 1982. The Equality of Distribution of Child Mortality: Java-Bali 1950-1976.
Bulletin
of Indonesia Economic Studies, 16, 3.
Mertens, W., and S. Alatas. 1978. Rural Urban Defenision and Urban Agricuture in Indonesia.
Majalah Demografi Indonesia (10).
Mitchel J. Slyde. 1961. The Causes of Labour Migration. Migrant Labour in Africa South of
The
Sahara. Abidjan: C.C.T.A.
Mosley, W. Henry., and Lincoln C. Vhen. 1984. An Analytical Framework for the Study of
Child
Survival in Developing Caountries, dalam W. Henry and Chen, Lincoln., eds. Child
Survival
Strategies for Research. London: Cambridge Unversity Press.
Naim, Mochtar.1979. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Norris, Robbert E. 1972. Migration as Spatial Interaction. Journal of Geography, 71 (5).
Oey, Mailing. 1980. The Transmigration Program in Indonesia. Paper Presented at The Seminar
On
Government Resettlement Programmes in South East Asia. Tuesday, 7 October
Canberra:
Australian National University.
Palmore, James, A. 1975. Meansuring Mortality: A Self-Teaching Guide to Elementary
Measure.
Honolulu : East West Population Institute.
.1975. Meansuring Fertility and Natural Increase: A Self Teaching Guide to Elementary
Measures. Honolulu: East West Population Institute.
Pelzer, Karl J. 1945. Pioneer Settlement in the Asiatic Tropics: Studies in Land Utilization in
the
Southeastern Asia. New York: International Secretariat Institute of Pasific Relation.
Pressat, Roland. 1972. Demographic Analysis. New York: Aldine. Atherton.
Revenstein, E. G. 1889. The Law of Migration. Journal of The Royal Statistical Society. June,
L.11.
Said Rusli. 1983. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: LP3ES.
Sajogyo. 1977. Perkembangan Transmigrasi di Indonesia, dalam Muhajir Utomo, Rofiq
Ahmad,
(eds) 90 Tahun Kolonisasi 45 Tahun Transmigrasi. Jakarta: Puspa Swara.
Sam Suharto., and Lee-Jay Cho. 1978. Preliminory Estimates of Indonesia Fertility Based on
The
1976 Intercensal Population Survey. Honolulu: East West Population Institute.
Shyrock, Henry S., and Siegel. 1971. The Methods and Materials of Demography. Washington
D.C.
US Bureau of The Cencus.
Simanjuntak, Pajaman. 2000. Pengangguran di Indonesia. Harian Kompas, 26 Februari, hal. 6.
Siswanto, Agus Wilopo. 1996. Kebijaksanaan Kependudukan Indonesia Selama Repelita V1,
dalam
Agus Dwiyanto, et al (ads), Penduduk dan Pembangunan. Yogyakarta: Aditya Media.
Siswono Yudohusodo. 1998. Transmigrasi Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk
Heterogen
dengan Persebaran yang Timpang. Jakarta: PT Jurnalindo Aksara Grafika.
Soegijoko, B. T. S. and Bulkin. 1994. Arahan Kebijaksanaan Tata Ruang Nasional: Studi Kasus
Jabodetabek. Prisma, 23(2).
Soemarwoto, Otto. 1985. A Quantitative Model of Population Pressure and The Potensial Use
in
Development Planning. Majalah Demografi Indonesia. No. 24. Jakarta.
Stahl, c. W., Ferd Arnold. 1989. Overseas Workers Remittance in Asian Development in
International Migration Review, 20(4).
Standing, Guy. 1981. Migration and The Labour Process For Migration Survey. Geneva:
International Labour Office.
Steele, Ross. 1983. Migrasi dalam Peter McDonald, Pedoman Analisa Data Sensus Indonesia
1971
1980. Australian Vice-Chunchellor Committee Australia University International.
Suharso. 1982. Transmigran: Ciri,Proses, dan Aspirasinya, Sebuah Studi Kasus di Way Abung
Lampung Utara. Jakarta: LEKNAS-LIPI.
Sukamdi. 1996. Transformasi Struktural dan Persoalan Ketenagakerjaan di Indonesia, dalam
Agus
Dwiyanto et al (eds). Penduduk dan Pembangunan. Yogyakarta: Aditya Media.
Sunarto, HS. 1995. Remitan dan Pemanfaatannya. Makalah Seminar Bangsa Suku Desa,
Tanggal 6
Juni 1995 di BKKBN Yogyakarta.
Sunaryo Urip. 1995 Changing Migration Differentials and Regional Economic In-Equality in
Indonesia, 1971-1990. Unpublished Ph.D. Thesis, The Flinder Unicersity of Shouth
Australia.
Sundrum, R. M. Unemployment in Indonesia: An Analysis of Cencus Data. Ekonomi Keuangan
Indonesia. 13(3).
Suratman. 1978. Transmigrasi Swakarsa. Yogyakarta: PPSK, UGM.
Suyono. 1996. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, dalam Konteks Hidrologi dan Kaitannya
dengan
Pembangunan Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Lektor Kepala Madya pada
Fakultas Geografi UGM, 26 Juli.
Speare, Alden. 1976. Quasi Stable Population Methods for Adjusting Age Distribution in
Indonesia.
(Mimeographed). Jakarta: Leknas-LIPI.
Swasono, Sri Edi. 1986. “Kependudukan, kolonisasi, dan transmigrasi,” dalam Sri Edi
Swarsono
dan Masri Singarimbun (eds.), Transmigrasi di Indonesia 1905-1985. Jakarta: UI Press.
Tamboenan, A. H. O. 1951. Lima Tahun Rentjana. Jakarta : Pepora 9.
Tan Goang Tiang. 1965. Segi-segi Demografi dalam Jumlah dan Penggunaan Tenaga Kerja
dalam
Pembangunan Ekonomi Indonesia. Ekonomi, 6 Juli (6).
The World Bank. 1998. Indonesia The Transmigration Program in Prespectiverespective.
Washington, D. C: The World Bank.
Thomlison, R. 1965. Population Dynamic. New York: Random House Thomson, Warren S.,
and David T. Lewis. 1965. Population Problem (5th ed.). New York: McGraw-Hill.
Titus, Milan J. 1982. Migrasi Antar Daerah di Indonesia. Yogyakarta. Pusat Penelitian dan
Studi Kependudukan, Universitas Gadjah Mada (Seri Terjemahan No. 12).
Todaro, Michael P. 1979. Economic for Developing World, Introduction to a Principles
Problems and Policies. Hongkong: Longman
Tukiran. 2000. Penduduk dan Pembangunan Berkelanjutan dalam Reorientasi Kebijakan
Kependudukan. Penyunting faturochman dan Agus Dwiyanto. Yogyakarta: Pusat
Penelitian Kependudukan, United Nations. 1970. Methods of Measuring Internal
Migration, Manual VI. Population Studies Series No. 47. New York.
.1973. Determinants and Consequences of Populations of Economicand Social Affairs.
Population Studies Series No. 50. New York.
Weeks, John R. 1992. Population An Introduction to Concepts and Issues, Belmont:
Wadsworth Publishing Company.
Widjojo Nitisaro. 1970. Population Trends in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press
Yaukey, David 1990. Demography: The Study of Human Population. Llinois:
WavelandPress. Inc.
Zellinsky, W. 1971. The Hipothies of The Mobility Transition, dalam Geographical Review.
No. 2.
LAMPIRAN 1
MEMECAH KELOMPOK UMUR
Ff = jumlah penduduk dengan jenjang 10 tahunan yang akan dipecah menjadi 5 tahunan
fn-1 = jumlah penduduk jenjang 10 tahunan sebelum kelompok fn
fn-1 = jumlah penduduk jenjang 10 tahunan sesudah kelompok fn
fna = jumlah penduduk jenjang 5 tahunanan hasil pemecahan pertama
maka kelompok umur 35-39 tahun atau fn dapat di cari dengan rumus newton di atas.
F35-39 = ½ [5.727+?(7.343-3.563)]
= ½ [5.727-472,5]
= 3099,75
= 3100
B. PEMECAHAN KELOMPOK UMUR JENJANG LIMA TAHUNAN MENJADI
SATU TAHUNAN DENGAN FAKTOR PENGALI SPRAGUE
Untuk keperluan tertentu , misalnya mengetahui jumlah penduduk umur 7 tahun (umur
permulaan masuk sekolah dasar) , maka kelompok penduduk umur 5-9 tahun perlu
dipecah menjadi umur 5,6,7,8, dan 9,tahun. Pemecahan ini dapat dikerjakan dengan
menggunakan faktor pengali Sprague ( spragues Multipliers) ada 5 buah faktor pengali
untuk memecah seluruh kelompok umur jenjang 5 tahunan menjadi umur tunggal
tahunan. Sebuah untuk mengerjakan kelompok tengah (mid-panel) 2 buah untuk
kelompok akhir (end-panel) yang dibagi menjadi first end-panel dan last end-panel , dua
buah untuk kelompok sebelum dan sesudah kelompok akhir (next-to-end panel. Sebagai
contoh, kelompok penduduk dengan jenjang 5 tahunan , dimulai dengan umur 0 , dan
berakhir dengan umur 99 tahun , kelima kelompok panel di atas adalah sebagi berikut :
Kelompok umur
0-4 first end-panel
5-9 first next to end-panel
10-14
Mid-panel
85-89
90-94 last next to end-panel
95-99 last end-panel
Perlu diperhatikan , kelompok “end panel” terakhir tergantung pada nilai kelas terakhir
dari pengelompokkan tersebut. Tidak diperbolehkan ada kelas terbuka. Misalnya kelompok
umur terakhir adalah umur 100 dan lebih , dapat dijadikan kelompok umur 100-104 tahun.
Faktor pengali dan sprague
(Sprague’s Multipliers) seperti terlihat dalam tabel berikut:
TABEL
SPRAGUE MULTIPLIERS
N1 N2 N3 N4 N5
FIRST END-PANEL
N1 +0.3616 -0.2768 +0.0336 -0.0336 -
N2 +0.2640 -0.0960 +0.0400 -0.0080 -
N3 +0.1840 +0.0400 -0.0320 +0.0080 -
N4 +0.1200 +1.1360 -0.0720 +0.0160 -
N5 +0.0704 +0.1968 -0.0848 +0.0176 -
FIRST-TOENDPANEL
N1… +0.0336 +0.2272 -0.0752 +0.0144 -
N2… +0.0080 +0.2320 -0.0480 +0.0080 -
N3… -0.0080 +0.2160 -0.0080 +0.0000 -
N4… -0.0160 +0.1340 +0.0400 -0.0080 -
N5… -0.0176 +0.1408 +0.0912 -0.0144 -
MID-PANEL
N1… -0.0128 +0.0848 +0.1504 -0.0240 +0.0016
N2… -0.0016 +0.0144 +0.2224 -0.0416 +0.0064
N3… +0.0064 -0.0336 +0.2544 -0.0336 +0.0064
N4… +0.0064 -0.0416 +0.2224 +0.0336 -0.0016
N5… +0.0016 -0.0240 +0.2272 +0.0848 -0.0128
LAST NEXT-TO-END-PANEL
N1… -0.0144 +0.0912 +0.1408 -0.0176 -
N2… -0.0080 +0.0400 +0.1840 -0.0160 -
N3… +0.0000 -0.0080 +0.2160 -0.0080 -
N4… +0.0080 -0.0480 +0.2320 +0.0336 -
N5… +0.0144 -0.0752 +0.2272 +0.0336 -
LAST END-PANEL
N1… +0.0176 -0.0848 +0.1968 +0.0704 -
N2… +0.0160 -0.0720 +0.1360 +0.1200 -
N3… +0.0080 -0.0320 +0.0400 +0.1840 -
N4… -0.0080 +0.0400 -0.0960 +0.2640 -
N5… -0.0336 +0.1488 -0.2768 +0.3616 -
Nx Jumlah Penduduk pada kelompok umur lima tahunan
nx perkiraan besarnya jumlah penduduk umur satu tahunan
2. Faktor Pengali Kelompok Unsur Kelas Pertama dan Kelas Terakhir (the first end-panel
and the last end-panel multiplier)
Misalnya akan dipecah kelompok umur 0-4 atau 75-79 tahun dari penduduk Indonesia pada
tahun 1980. Factor pengali yang digunakan ialah:
a. First End-panel untuk kelompok umur 0-4 tahun.
b. Last End-Panel untuk kelompok umur 75-79 tahun.
Kalau yang akan dipecah kelompok umur 0-4 tahun, maka kelompok ini diletakkan pada
N1 pada factor pengali First End-Panel. Selanjutnya kalua yang akan dipecah kelompok
umur pada kelas terakhir, maka kelompok ini diletakkan pada N4 dari factor pengali
Last End-Panel (lihat contoh di bawah ini).
N1 = P(0-4) =21.190.672
N2 = P(10-14) =21.231.927
N3 = P(70-74) =21.231.927
N4 = P(75-79) =21.231.927
N1 = P(60-64) =1.173.885
N2 = P(65-69) =1.713.885
N3 = P(10-14) =1.530.658
N4 = P(75-79) =1.525.373
Cara pengerjaannya sama dengan contoh di atas, dan setelah dihitung maka
dapatlah pemecahan jumlah penduduk sebagai berikut:
N4 = P(75-79) =1.525.373