17
Tapi kondisi ini tidak dapat terjadi secara otomatis, namun tergantung pada
keberhasilan pengembangan wilayah dan kota (permukiman). Dengan demikian
untuk pencapaian mobilitas penduduk yang lebih seimbang, agendanya akan
sangat melekat pada program pengembangan wilayah dan perkotaan, khususnya
di luar Jawa.
Transmigrasi merupakan salah satu unsur utama rencana pembangunan
Indonesia. Tujuan sosial transmigrasi adalah menolong rakyat Indonesia yang
termiskin, yaitu petani tanpa lahan, penganggur di kota dan gelandangan.
Transmigrasi bertujuan pula untuk membangun daerah luar Jawa, dengan
memanfaatkan lahan-lahan luas yang belum diolah, mengubah tanah yang belum
digarap menjadi tanah yang lebih produktif (Levang, 2003).
Program transmigrasi telah dimulai sejak Indonesia masih dibawah
pemerintahan kolonial Belanda yaitu pada Fase Percobaan (1905-1931). Pada
masa ini dalam setiap proyek, pemerintah Belanda membangun kelompok inti
yang terdiri atas 500 kepala keluarga.
jaminan selama satu tahun pertama. Setiap keluarga juga diberi subsidi yang
mendorong mereka mendatangkan sanak keluarganya, sehingga memicu migrasi
spontan (Levang, 2003).
Fase Transmigrasi Kedua (1931-1941). Tahun 1931 terjadi krisis pada
sektor perkebunan besar yang mengakibatkan ribuan buruh Jawa diberhentikan
dari pekerjaannya. Tahun 1905-1941, pemerintah Belanda secara keseluruhan
memindahkan sekitar 200 ribu jiwa dari Jawa ke luar Jawa.
Fase Pemecahan Masalah Pascaperang. Pada fase ini pemimpin Republik
Indonesia tetap menerapkan cara dan pola yang sama seperti yang dilakukan oleh
pemerintah Belanda. Tetapi tahun 1947 istilah kolonisasi diganti menjadi
18
transmigrasi dibawah Departemen Tenaga Kerja dan Sosial. Tahun 1948 urusan
transmigrasi dipindahkan dibawah Depertemen Dalam Negeri. Kondisi ini terus
berlangsung, dan tahun 1983 transmigrasi sepenuhnya dibawah Departemen
Transmigrasi.
Pelita III dan IV merupakan masa target. Pada Pelita III (1979-1984),
pemerintah memutuskan untuk membagi tugas kepada departemen-departemen
terkait. Departemen pekerjaan umum bertugas mempersiapkan lokasi, departemen
transmigrasi bertugas merekrut, memindahkan, dan membina para transmigran.
Departemen pertanian mengurus masalah pertanian, departemen agama mengurus
masalah tempat ibadah dan departemen kesehatan mengurus masalah puskesmas.
Untuk memecahkan masalah koordinasi antar dinas dari departemen-departemen
tersebut, maka pemerintah menciptakan instansi baru yang dinamakan Badan
Koordinasi Transmigrasi (Bakortrans). Pada Pelita IV (1984-1989), pemerintah
memindahkan 750 ribu kepala keluarga. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan,
karena lama kelamaan penduduk asli menjadi minoritas di daerahnya sendiri
(Levang, 2003).
Pada Pelita V kebijaksanaan penyelenggaraan transmigrasi ditangani oleh
satu departemen yaitu departemen transmigrasi.
19
sesuai kondisi politik saat itu.
20
perusahaan multinasional, serta perubahan struktural dalam pasar kerja yang
berkaitan dengan perubahan dalam pembagian kerja di tingkat internasional
(international division of labour). Perpindahan penduduk dari negara pengirim
(sending country) ke negara penerima tenaga kerja migran (receiving country)
akan membuat negara pengirim mendapat keuntungan remittance, sedangkan
negara penerima akan mendapat keuntungan pasokan tenaga kerja murah
(Mulyadi, 2003).
Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka pengangguran yang
cukup tinggi. Kondisi ini disebabkan oleh jumlah angkatan kerja yang terus
meningkat, sebaliknya kesempatan kerja semakin menurun, sehingga mendorong
masyarakat untuk migrasi ke tempat bahkan ke negara lain untuk memperoleh
pendapatan yang lebih tinggi. Pengiriman tenaga kerja migran Indonesia (TKI) ke
luar negeri secara resmi telah diprogramkan oleh pemerintah sejak 1975. Program
ini merupakan salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah
Indonesia untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan tersebut.
Umumnya migrasi internasional sangat berhubungan dengan pertumbuhan
ekonomi dan transisi demografi dalam suatu negara.
21
Jumlah tenaga kerja migran internasional Indonesia hingga saat ini terus
meningkat. Sekitar 70 persen dari jumlah tenaga kerja tersebut adalah perempuan
yang rentan terhadap masalah. Migrasi internasional dapat membawa dampak
positif bagi negara tujuan, negara asal dan para migran beserta keluarganya. Bagi
negara tujuan, kehadiran migran ini dapat mengisi segmen-segmen lapangan kerja
yang sudah ditinggalkan oleh penduduk setempat karena tingkat kemakmuran
negara tersebut semakin meningkat.
Kondisi
ini berarti
22
ke luar negeri, dan ini menjadi fokus utama pemerintah untuk membekali
pendidikan ketrampilan kepada tenaga kerja tersebut.
Menjadi tenaga kerja migran tidak hanya mempertimbangkan skill atau
teknis keahlian saja, tetapi pemahaman dan wawasan terutama budaya masyarakat
tempat dimana mereka akan bekerja juga merupakan hal yang tidak dapat
diabaikan. Karena kualitas tenaga kerja dan tingkat pendidikan selalu memiliki
keterkaitan. Tenaga kerja migran yang memiliki tingkat pendidikan tinggi,
umumnya bekerja pada lembaga jasa seperti rumah sakit, pertokoan, dan restoran
yang memang memerlukan keahlian khusus dari pekerjanya. Pola rekrutmennya
dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan kejuruan yang memiliki jaringan
kerja sama dengan penempatan tenaga kerja dengan luar negeri. Kondisi tenaga
kerja migran ini umumnya lebih baik, dan sangat berbeda dengan tenaga kerja
migran yang berangkat hanya berbekal pendidikan dan keahlian yang tidak
memadai. Tenaga kerja migran yang mempunyai latar pendidikan rendah lebih
banyak ditempatkan pada sektor informal seperti pembantu rumah tangga, sopir,
pekerja perkebunan dan sebagainya.
Menindaklanjuti kondisi tersebut, maka diperlukan suatu manajemen
terpadu antara program pemantauan kebutuhan tenaga kerja asing di luar negeri
oleh diplomasi perwakilan Republik Indondesia di luar negeri, program
perlindungan buruh migran, dan program-program peningkatan keterampilan di
dalam negeri yang sesuai dengan kebutuhan pasar internasional.
Informasi mengenai kondisi serta kebutuhan tenaga kerja di mancanegara
diharapkan dapat tersedia bagi para calon tenaga kerja migran, sehingga mereka
mengetahui dengan jelas kondisi dan resiko kesempatan tersebut.
Umumnya
informasi yang paling baik bukan dari sumber resmi pemerintah tetapi dari
23
mantan tenaga kerja migran, tetapi pemerintah sebaiknya dapat membantu
menyediakan informasi yang benar.
Peran jasa pengerah tenaga kerja Indonesia tetap sangat penting, karena
pemerintah tidak akan berhasil melaksanakannya sendiri, tetapi ketertiban dan
pemantauan merupakan tujuan pemerintah untuk melindungi calon tenaga kerja.
Salah satu hal yang perlu diketahui oleh calon tenaga kerja migran Indonesia
adalah menyiapkan diri untuk memenuhi kualifikasi yang diharapkan oleh
pengguna jasa tenaga kerja tersebut.
Oleh karena itu tanggal 18 Oktober 2004, pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan
tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Dalam undang-undang ini selain mengatur
tentang landasan hukum bagi perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri,
juga mengatur tentang kompetensi calon tenaga kerja. Dalam hal ini dinyatakan
bahwa calon tenaga kerja wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja sesuai
dengan prasyarat jabatan. Jika belum memiliki, wajib mengikuti pendidikan dan
latihan yang diselenggarakan oleh pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia.
Pendidikan dan latihan dimaksudkan untuk (Sembiring, 2006):
1. Membekali, menempatkan dan mengembangkan kompetensi kerja calon
tenaga kerja Indonesia.
2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat
istiadat, budaya, agama, dan resiko kerja diluar negeri.
3. Membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahasa negara tujuan dan
4. Memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban calon
tenaga kerja.
24
Oleh karena itu dalam sudut pandang normatif, dengan dikeluarkannya undangundang ini, maka perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja
di luar negeri semakin kuat.
25
transmigrasi secara teratur dalam jumlah yang sebesar-besarnya. Undang-undang
ini kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tentang ketentuan-ketentuan pokok
transmigrasi menetapkan (Departemen Transmigrasi RI, 1986):
1. Transmigrasi merupakan pemindahan penduduk dari satu daerah ke daerah
lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan
pembangunan negara atau atas alasan-alasan yang dipandang perlu oleh
pemerintah.
2. Fungsi transmigrasi adalah sebagai sarana pembangunan yang penting baik
ditinjau dari segi pengembangan proyek-proyek pembangunan nasional
maupun regional. Dalam hal ini, transmigrasi berarti penyebaran dan
penyediaan tenaga kerja serta ketrampilan, baik untuk perluasan produksi
maupun pembukaan lapangan kerja baru di daerah tujuan.
Tahun 1973 ditetapkan Keputusan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1973
tentang penetapan daerah penempatan transmigran yaitu: Lampung, Sumatera
Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan
Timur.
koperasi.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang ketransmigrasian dan
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan transmigrasi
menyatakan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan migran, maka para migran
memperoleh hak-hak sebagai berikut: hak kepemilikan tanah atas namanya;
rumah tempat tinggal yang layak dengan aksessibilitas yang memadai; lahan
sebagai modal usaha atau sarana lainnya sebagai sarana penyediaan kesempatan
26
kerja sesuai pola pengembangannya; bimbingan, sarana dan prasarana usaha;
sarana dan fasilitas sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan.
Selanjutnya kebijakan umum penyelenggaraan transmigrasi juga diatur
dalam GBHN 1983 antara lain :
1. Transmigrasi ditujukan untuk meningkatkan penyebaran penduduk dan tenaga
kerja serta pembukaan dan pengembangan daerah produksi baru, terutama
daerah pertanian dalam rangka pembangunan daerah, khususnya di luar Jawa
dan Bali, yang dapat menjamin peningkatan taraf hidup para transmigran dan
masyarakat di sekitarnya.
2. Untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan transmigrasi,
yang perlu
Menurut
27
Pembangunan di Jawa yang relatif cepat menjadi magnit bagi migran luar Jawa,
sehingga ketimpangan jumla penduduk tetap terjadi antara Jawa dan luar Jawa.
Asumsi Geographic Fallacy yang mengasumsikan bahwa masih banyak tanah
luas di luar Jawa yang belum berpenghuni, sehingga sangat tepat jika penduduk
jika penduduk Jawa dipindahkan ke tempat kosong tersebut.
Asumsi Economic
Fallacy
melalui
pemindahan penduduk Jawa yang miskin ke luar Jawa untuk bekerja sebagai
petani pemilik dan buruh perkebunan pola PIR akan meningkatkan kesejahteraan
kaum miskin tersebut.
28
2.2.1.2. Instrumen Kebijakan Migrasi Internal
Pada era paradigma baru ketransmigrasian dalam mendukung otonomi
daerah, sebaiknya keunggulan program tidak hanya terletak pada kebijakan
migrasi langsung (direct policy) yaitu pemerintah memindahkan penduduk secara
massal ke daerah tujuan migrasi, tetapi lebih mengutamakan keterbukaan dan
sosialisasi kebijakan dan program, yang lebih fokus pada kebijakan tidak
langsung ( indirect policy) dengan mengedepankan potensi daerah tujuan migrasi.
Berdasarkan kebijakan migrasi internal yang telah ditetapkan pemerintah,
maka beberapa bentuk kebijakan tidak langsung yang merupakan instrumen
kebijakan makroekonomi yang mendukung kebijakan-kebijakan tersebut adalah:
1. Upah Minimum Regional. Tujuan seseorang untuk migrasi adalah untuk
memperoleh kesejahteraan dan pendapatan yang lebih baik. Jika upah minimum
regional atau upah minimum propinsi di luar Jawa ditingkatkan lebih besar
dibandingkan dengan peningkatan upah minimum regional di Pulau Jawa,
diharapkan dapat mengurangi keinginan penduduk di luar Jawa untuk migrasi ke
Jawa dan meningkatkan keinginan penduduk Jawa untuk migrasi ke luar Jawa,
sehingga distribusi penduduk di Indonesia lebih merata.
2. Pengeluaran Infrastruktur. Pembangunan infrastruktur berfungsi untuk
menunjang
Dampak
pembangunan
dan
perbaikan
infrastruktur
29
anggaran pengeluaran infrastruktur di luar Jawa lebih besar dibanding
peningkatan jumlah anggaran pengeluaran infrastruktur di Jawa, diharapkan
dapat meningkatkan jumlah migran dari Jawa ke luar Jawa, dan menurunkan
jumlah migran dari luar Jawa untuk migrasi ke Jawa.
3. Suku Bunga. Suku bunga merupakan variabel penting yang mempengaruhi
investasi. Penurunan suku bunga diharapkan dapat mendorong perusahaanperusahaan daerah untuk meningkatkan dan membuka investasi baru. Pembukaan
dan peningkatan investasi tersebut, diharapkan juga dapat membuka kesempatan
kerja di daerah bersangkutan, sehingga dapat menurunkan jumlah pengangguran
dan keinginan migrasi penduduk ke daerah lain, serta menjadi daya tarik bagi
penduduk lain untuk migrasi ke daerah tersebut.
30
dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor: PER.04/MEN/II/2005.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004, menetapkan
penempatan tenaga kerja migran merupakan kegiatan pelayanan untuk
mempertemukan tenaga kerja migran sesuai bakat, minat dan kemampuannya
dengan pemberi kerja diluar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan,
pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan
pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari
negara tujuan.
Perlindungan tenaga kerja migran adalah segala upaya untuk melindungi
kepentingan calon tenaga kerja migran dalam mewujudkan terjaminnya
pemenuhan
hak-haknya
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan.
31
Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1999 tentang Badan Koordinasi
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BPTKI).
32
Untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan tenaga kerja migran, maka
Depnakertrans dalam tahun 2005 menetapkan program Peningkatan Kualitas dan
Produktivitas Tenaga Kerja dengan dana sebesar 324.86 milyar rupiah, yang lebih
besar dari tahun 2004 yaitu sebesar 133.31 milyar rupiah, artinya mengalami
kenaikan sekitar 45 persen.
Nilai tukar
berpengaruh terhadap upah yang akan diterima tenaga kerja migran Indonesia
yang bekerja di luar negeri, karena upah yang mereka terima dalam bentuk mata
uang asing sesuai dengan tempat kerja mereka. Nilai tukar yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dollar Amerika, ringgit Malaysia, dollar Singapura, dan
dollar Hongkong. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, akan
33
meningkatkan upah yang akan mereka terima dalam bentuk rupiah. Hal ini dapat
meningkatkan keinginan tenaga kerja migran Indonesia untuk bekerja di luar
negeri.
2.3. Tinjauan Studi Terdahulu
2.3.1. Migrasi
Penelitian mengenai migrasi lebih banyak dilakukan dalam skala mikro dan
spasial/wilayah. Migrasi penduduk merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan proses berkembangnya pembangunan di Indonesia. Migrasi penduduk
merupakan produk dari berbagai faktor antara lain kepadatan penduduk,
langkanya lapangan kerja di daerah asal, keinginan untuk mencapai taraf hidup
yang lebih baik, daya tarik kota, dan berbagai faktor lainnya yang pada dasarnya
dapat diklasifikasikan pada faktor penarik dan pendorong terjadinya migrasi.
Ananta et al. (1999) dalam analisis mereka mengenai age- sex pattern of
migrants and movers: a multilevel analysis on an Indonesian data set bertujuan
untuk membedakan pola kuantitatif dari migran dan mover.
Secara umum,
menjadi migran lebih tinggi pada saat usia anak-anak dan tua. Sementara pada
usia muda (antara anak-anak dan tua) lebih banyak menjadi mover. Selama usia
muda, mereka masih ingin mencari kerja diluar tempat tinggal mereka untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ketika mereka tua, mereka lebih senang
bekerja pada tempat tinggal mereka sendiri. Anak-anak umumnya ikut orang tua
mereka, sehingga pada usia ini lebih banyak menjadi migran dibanding mover.
Analisis ini membandingkan kemungkinan menjadi migran, mover dan
stayer. Kemungkinan wanita menjadi stayer lebih tinggi dibanding migran atau
mover. Sementara pria, awalnya menjadi stayer lebih tinggi dibandingkan mover
dan migran. Tetapi pada titik tertentu, menjadi stayer lebih rendah dibandingkan
34
mover dan migran. Pada usia tua menjadi stayer tinggi kembali. Hasil analisis
statistik disimpulkan bahwa faktor-faktor penarik mendorong orang mencari
pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup diluar tempat tinggal mereka.
Andriani (2000) dalam analisisnya yang berjudul dampak kebijakan
pemerintah terhadap keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis
ekonomi di Indonesia menyimpulkan bahwa penurunan jumlah angkatan kerja
pedesaan dipengaruhi oleh migrasi desa ke kota. Hal ini merupakan petunjuk
bahwa peningkatan migrasi desa ke kota secara besar-besaran akan mengarah
pada terjadinya kelangkaan angkatan kerja diwilayah pedesaan dan limpahan
angkatan kerja di perkotaan. Hasil analisis menunjukkan juga bahwa upah riil
tinggi di luar Jawa daripada di Jawa. Oleh karena upah merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi seseorang untuk bermigrasi, maka perbedaannya
diperkirakan akan mendorong terjadinya arus perpindahan dari Jawa ke luar Jawa
Suprihadi (2002) dalam analisisnya yang berjudul dampak kebijakan
pemerintah terhadap keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis dan
sebelum krisis ekonomi di Indonesia menyimpulkan bahwa migrasi dari desa ke
kota lebih responsif terhadap perubahan upah riil sektor industri. Sedangkan
migrasi dari kota ke desa lebih responsif terhadap perubahan jumlah penduduk
laki-laki usia produktif di perkotaan dibandingkan faktor-faktor lain. Hal ini
menunjukkan bahwa keputusan untuk migrasi ke kota disebabkan oleh faktor
penarik daripada faktor pendorong. Sebaliknya keputusan untuk migrasi ke desa
disebabkan oleh faktor pendorong yaitu perubahan jumlah penduduk laki-laki usia
produktif di perkotaan.
Desiar (2003) dalam analisisnya yang berjudul dampak migrasi terhadap
pengangguran dan sektor informal di DKI Jakarta, menyatakan dampak dari arus
35
migrasi masuk ke Jakarta adalah meningkatnya pengangguran dan berkembangnya sektor informal dari tahun ke tahun.
36
Carling (2004) dalam analisisnya policy options for increasing the benefits
of
remittances
bertujuan
untuk menganalisis
keuntungan yang saling mendukung (mutual) antara migran itu sendiri dan
pemerintah, baik untuk negara asal maupun negara tujuan. (3) para migran yang
umumnya tenaga kerja yang mencari pekerjaan harus dilindungi dan ditingkatkan
kondisi dan standar hidupnya.
Wilson dan Bell (2004) dalam analisisnya yang berjudul comparative
emperical evaluation of internal migration models in subnational population
projections, membandingkan proyeksi populasi di Australia dan wilayah
teritorialnya dengan menggunakan sepuluh model migrasi internal pada periode
2001-2051.
37
model pool migrasi, biregional, dan biregional tanpa kendala memberikan suatu
kerangka kerja peramalan yang baik dengan konsep yang tepat dan praktis.
Variasi yang besar dalam proyeksi output dibutuhkan untuk pemahaman yang
lebih baik untuk struktur spatio temporal dari pola migrasi di Australia.
Tarigan (2004) dalam analisisnya yang berjudul proses adaptasi migran
sirkuler: kasus migran asal komunitas perkebunan The Rakyat Cianjur Jawa Barat,
bertujuan untuk mempelajari proses adaptasi migran sirkuler asal desa perkebunan
di Cianjur yang bekerja di pabrik gesper, kawasan industri Tangerang. Kajian
tersebut diawali dengan melihat faktor pendorong melakukan migrasi dan proses
adaptasi yang terjadi. Hasil penelitian menunjukkan alasan ekonomi dan alasan
sosial merupakan faktor pendorong sekaligus penarik terjadinya migrasi desa-kota
yang identik dengan transformasi pekerjaan pertanian-industri. Proses adaptasi
migran sirkuler dipercepat oleh aksi peran migran terdahulu. Penerapan bentuk
kehidupan desa, dengan komunikasi menggunakan bahasa ibu, membuat
perkumpulan yang sarat dengan kegiatan dan warna pemeliharaan kekayaan
kolektif pedesaan merupakan cara penyesuaian diri yang paling dominan, karena
aman secara psikologis dalam menetralisir kegugupan sosial. Migran cenderung
memiliki budaya transisi dengan menjadi manusia modern di desa asal dan
menjadi manusia tradisional di kota tujuan.
Firdausy (2005) dalam analisisnya yang berjudul issues and challenges to
increase competitiveness of Aseans labor migrants menyatakan bahwa
perekonomian di seluruh negara-negara di ASEAN telah berubah selama proses
pembangunan. Tetapi ada beberapa negara ASEAN yang mengalami perubahan
struktur ekonomi ke arah industri telah merubah kesempatan kerja pada negaranegara tersebut, dimana tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga kerja yang
38
memiliki spesifikasi dan keahlian tertentu. Impor tenaga kerja merupakan salah
satu kebijakan yang dipertimbangkan untuk mengisi kekosongan dalam pasar
kerja di negara-negara tersebut.
Hasil
39
tenaga kerja sektor pertanian dan jasa cukup besar dan berpengaruh nyata,
sedangkan terhadap permintaan tenaga kerja sektor industri pengaruhnya kecil dan
tidak nyata. Maka pemerintah harus berhati-hati dalam penerapan upah minimum
pada sektor pertanian dan jasa karena peningkatan upah minimum pada kedua
sektor tersebut akan meningkatkan pengangguran.
Adriani (2000) dalam analisisnya mengenai pasar kerja menyimpulkan
peningkatan angkatan kerja dipengaruhi oleh pertambahan penduduk usia
produktif dan jumlah angkatan kerja tahun sebelumnya, baik di wilayah perkotaan
maupun pedesaan. Upah bukan faktor pendorong dalam peningkatan angkatan
kerja.
Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah angkatan kerja pada dua
wilayah ini tidak diikuti dengan kesempatan kerja yang memadai. Peningkatan
kesempatan kerja sektoral dipengaruhi oleh pendapatan nasional sektoral, program
padat karya diperkotaan dan pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal di
pedesaan.
Clark (2000) dalam analisisnya tentang measuring the demand for labor in
the United States: the job openings and labor turnover survey. Seluruh opini
dalam analisis ini merupakan hasil karya penulis (Clark) bukan kebijakan dari biro
statistik tenaga kerja Amerika. Analisisnya menyimpulkan bahwa Job Openings
and Labor Turnover Survey (JOLTS) statistik dapat digunakan sebagai indikator
kondisi ekonomi secara umum dan sebagai alat yang penting untuk
mempertimbangkan implikasi-implikasi kebijakan ekonomi, pasar kerja dan
pengangguran.
meningkatkan pemahaman para peneliti terhadap pasar kerja yang dinamis dan
hubungannya dengan perekonomian secara keseluruhan.
40
Mahyuddin et al. (2006) menganalisis distorsi pasar kerja yang difokuskan
pada analisis kekakuan upah dan kelambanan respon permintaan tenaga kerja di
Sulawesi Selatan, menyimpulkan penyebab tingginya kekakuan upah di pedesaan,
terkait dengan informasi yang tidak sempurna, serta adanya kecenderungan
penggunaan tenaga kerja keluarga menyebabkan mekanisme pasar tidak berjalan.
Sedangkan penyebab kekakuan upah pada sektor industri terutama disebabkan
faktor efisiensi upah, dimana pengusaha tidak serta merta menurunkan upah
riilnya ketika upah riil berada diatas keseimbangan, karena dikhawatirkan akan
berdampak pada menurunnya produktivitas tenaga kerja. Selain itu, pelaku bisnis
umumnya mematuhi UMR, terutama bisnis formal.
Selanjutnya Mahyuddin et el. (2006) juga menganalisis tentang total factor
productivity (TFP) dan dampaknya terhadap kesempatan kerja di propinsi
Sulawesi Selatan. Hasil analisis menunjukkan total factor productivity memberi
kontribusi terbesar (2.31 persen) terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi
Selatan, sementara pertumbuhan tenaga kerja dan modal memberi kontribusi
sekitar 1.70 persen dan 1.87 persen. Pertumbuhan TFP sebagai pencerminan
pertumbuhan teknologi terutama terjadi di sektor industri pengolahan, sementara
teknologi pertanian justru mengalami kemerosotan, terutama sejak terjadinya
krisis. Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa kesempatan kerja sektoral, juga
dipengaruhi oleh sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaaan,
namun hanya investasi dan ekspor yang konsisten berpengaruh secara positif,
sedangkan variabel lainnya bahkan dapat mereduksi kesempatan kerja di sektor
tertentu, terutama pertanian.
Nurmanaf (2006) menganalisis peranan sektor luar pertanian terhadap
kesempatan kerja dan pendapatan di pedesaan berbasis lahan kering.
Hasil
41
analisis menunjukkan sektor pertanian masih merupakan sektor penting dalam
perekonomian rumah tangga di pedesaan yang berbasis lahan kering. Tingginya
porsi angkatan kerja rumah tangga yang bekerja pada kegiatan disektor pertanian
di pedesaan berbasis lahan kering, cenderung semakin tinggi pula porsi curahan
tenaga pada sektor tersebut. Selanjutnya semakin tinggi pula pendapatan yang
diterima dari sektor yang sama.
Di desa-desa dimana sektor pertanian lebih dominan sebagai sumber
pendapatan, porsi pendapatan perbulan cenderung lebih fluktuatif.
Sumber
42
terhadap faktor produksi tenaga kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga.
Persentase penyerapan tenaga kerja terbesar untuk sektor pertanian terdapat pada
sektor tanaman pangan (12.23%). Selanjutnya untuk agroindustri, penyerapan
tenaga kerja terbesar berada pada sektor industri makanan, minuman dan
tembakau (8.67%). Penyerapan tenaga kerja untuk sektor lainnya terdapat pada
sektor perdagangan (8.80%).
agroindustri, dan sektor produksi lainnya baik yang berasal dari dalam negeri
maupun asing memberi dampak positif bagi peningkatan produk domestik bruto
dan pendapatan rumah tangga.
2.3.3. Makroekonomi
Evilisna (2007) menganalisis dampak kebijakan ketenagakerjaan terhadap
tingkat pengangguran dan perekonomian Indonesia pada era otonomi daerah.
Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun upah minimum ditargetkan bagi
buruh tanpa pengalaman dan nol masa kerja, dalam pelaksanaannya telah
menyebabkan kenaikan upah rata-rata bagi buruh pada semua level, peningkatan
pengangguran dan inflasi yang akhirnya menurunkan GDP.
Peningkatan
top
43
down. Selanjutnya diperlukan pengembangan infrastruktur yang komprehensif,
berkelanjutan, serta terintegrasi menjadi infrastruktur network yang bernilai
ekonomis tinggi. Dari sisi pendanaan, perlu dilakukan mobilisasi modal domestik
dan luar negeri dengan membedakan investasi infrastruktur menurut kompleksitas
masalah dan besaran dana yang dibutuhkan serta teknologi yang diperlukan.
Siregar dan Sukwika (2007) menjelaskan bahwa kebijakan otonomi daerah
meningkatkan penyerapan tenagakerja disektor pertanian dan jasa.
Disektor
No
1.
6.
Studi Terdahulu
Perekonomian
Studi Empiris
Dalam Negeri
Sulistyaningsih
(1997)
Mengenai
Topik
Struktur
Penyerapan
Tenaga Kerja
Migrasi,
Pasar
Kerja
dan
Kekhususan Studi
Menganalisis
keterkaitan
antara
struktur ketenagakerjaan dan kinerja
perekonomian Indonesia.
Menganalisis tentang pola kuantitatif
dari migran dan mover.
2.
3.
Safrida (1999)
4.
Adriani (2000)
Pasar Kerja
dan Migrasi
5.
Suprihadi
(2002)
dampak
kebijakan
Pasar
Kerja Menganalisis
pemerintah terhadap keragaan pasar
dan Migrasi
kerja dan migrasi pada periode krisis
44
dan sebelum
Indonesia.
6.
Siregar dan
Sukwika (2003)
krisis
ekonomi
di
Tabel 6. Lanjutan
No
Studi Empiris
Topik
Kekhususan Studi
dan pengaruhnya terhadap kondisi
PDRB di Kabupaten Bogor.
7.
Desiar (2003)
Migrasi
Internal
Menganalisis
dampak
migrasi
terhadap pengangguran dan sektor
informal di DKI Jakarta.
8.
Tarigan (2004)
Migrasi
Internal
9.
Firdausy (2005)
Migrasi
Internasional
Isu dan tantangan untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja migran
internasional di ASEAN
10.
Mahyuddin,
Juanda dan
Siregar (2006)
Pasar Kerja
Menganalisis dampak Total Factor
dan
Productivity terhadap pasar kerja dan
Makroekonomi pertumbuhan ekonomi di Sulawesi
Selatan.
11.
Mahyuddin,
Juanda dan
Siregar (2006)
Pasar Kerja
12.
Evilisna (2007)
Pasar Kerja
dan Makro
Ekonomi
13.
Tambunan
(2006)
Luar Negeri
Clark (2000)
14.
Kesempatan
Kerja
45
untuk mempertimbangkan implikasi
kebijakan ekonomi, pasar kerja dan
pengangguran.
15.
Osaki (2003)
Migrasi
dan Menganalisis tentang pengiriman
Remittances
uang oleh migran (remittances) yang
Tabel 6. Lanjutan
No
Studi Empiris
Topik
Kekhususan Studi
memberi kontribusi pada pemerataan
distribusi pendapatan rumah tangga
yang anggota keluarganya menjadi
migran internasional.
16.
Martin (2004)
Kebijakan
Migrasi
17.
Carling (2004)
Remittances
dan
Pembangunan
Ekonomi
18.
Model Migrasi