“MIGRASI URBANISASI”
Disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Ekonomi Pembangunan
Dosen Pengampu : Dr. Saparuddin Mukhtar, S.E., M.Si.
Dikerjakan oleh:
Dinda Putri Wulandari (1701619054)
Dwi Octavianti Santoso (1701619109)
Rainhard Benjamin (1701619035)
Ridho Mulyo Pambagyo (1701619032)
Pendidikan Ekonomi Koperasi A 2019
Asumsi Model Todaro menyatakan bahwa keputusan migrasi didasarkan pada perbedaan
pendapatan yang diharapkan antara daerah pedesaan dengan perkotaan daripada perbedaan
upah. Urbanisasi merupakan pergeseran populasi dari daerah perdesaan menuju ke daerah
perkotaan sehingga jumlah penduduk di perkotaan semakin tinggi.Pandangan Viet Cuong
dalam Does Urbanization Help Poverty Reduction in Rural Areas? Evidence from a
Developing Country dapat menjadi suatu acuan mendasar bahwa urbanisasi adalah “a key
feature of economic development”. Kebijakan yang diambil pemerintah antara lain; Reformasi
agraria sebagai basis pendapatan masyarakat dan petani di pedesaan secepatnya segera
direalisasikan, evitalisasi pembangungan ekonomi pedesaan dan lain sebagainya.
Kata Kunci : Teori Migrasi, Teori Urbanisasi, Model Todaro, Pembangunan Ekonomi, Analisis Kebijakan
I. Pendahuluan/Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi berpengaruh terhadap kebutuhan
dalam sumber daya alam akan meningkat terutama persoalan lahan. Perubahan lahan
dapat menimbulkan perkembangan wilayah pinggiran kota dan wilayah desa
sekitarnya. Pertumbuhan penduduk merupakan masalah yang sangat serius bagi bangsa
Indonesia. Hal itu bisa terlihat bahwa Indonesia merupakan negara keempat dengan
jumlah penduduk terbesar di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Berdasarkan data Kementrian Dalam Negeri melalui Dukcapil bahwa Data Penduduk
Indonesia semester 1 per 30 Juni 2020 sebanyak 268.583.016 jiwa. Jumlah ini
mengalami penurunan sebanyak 0,99 persen dari tahun 2019 dimana pada saat itu
sebanyak 270.680.179. Mungkin hal itu disebabkan virus corona yang menyerang
seluruh dunia termasuk Indonesia.
Penataan ruang sebagai matra spasial pembangunan kota merupakan alat untuk
mengkoordinasikan pembangunan perkotaan secara berkelanjutan. Urbanisasi adalah
perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi merupakan masalah yang cukup
serius bagi wilayah kota. Persebaran penduduk menjadi tidak merata antara wilayah
desa dengan perkotaan akan menimbulkan suatu masalah dalam kehidupan sosial
masyarakat. Jumlah penduduk yang naik secara signifikan tanpa diimbangi dengan
penciptaan lapangan kerja, sarana dan prasarana, apparat pengegak hukum, penyediaan
pangan bagi masyarakat merupakan contoh masalah yang harus dicarikan solusinya.
Proses urbanisasi sangat berkaitan erat dengan migrasi maupun mobilitas
penduduk. Namun ada yang membedakan kedua hal tersebut, yaitu mobilitas penduduk
didefinisikan sebagai perpindahan penduduk namun tidak berniat untuk menentap
dengan waktu yang lama, sedangkan migrasi penduduk diartikan sebagai perpindahan
penduduk dengan tujuan untuk menetap dengan waktu yang lama di daerah yang baru.
Maraknya urbanisasi ini dilakukan oleh masyarkat dalam artian migrasi pun
dapat berdampak kerugian baik untuk kota sendiri maupun desa. Dalam kurun waktu
20 tahun penduduk kota bertambah hampir 50 persen, sebaliknya setengah penduduk
desa sudah bertransformasi menjadi penduduk kota. Berdasarkan data BPS tahun 2010
jumlah penduduk kota 47,9 persen sementara BPS memprediksikan bahwa pada tahun
2025 jumlah penduduk kota akan meningkat menjadi 68 persen.
Banyaknya penduduk yang pindah dari desa menuju kota menyebabkan di
perkotaan penduduknya menjadi padat sehingga dapat menyebabkan tingginya tingkat
pengangguran di perkotaan. Untuk mengatasi masalah melonjaknya perpindahan
penduduk dari desa menuju kota pemerintah melakukan sebuah program yaitu
pengembangan desa. Namun hal tersebut seringkali gagal karena kurangnya
pemahaman alasan orang untuk melakukan perpindahan.
Menurut (Tjiptoherijanto, 2016) pertambahan penduduk yang tinggal di
perkotaan dapat disebabkan oleh beberapa factor diantaranya kelahiran alamiah yang
terjadi di daerah tersebut, perpindahan penduduk baik dari perkotaan lainnya maupun
dari pedesaan, anexasi, dan reklasifikasi. Dengan demikian perpindahan penduduk dari
desa ke kota hanyalah sebagian factor mempengaruhi tingkat urbanisasi. Dari berbagai
studi mengatakan bahwa semakin maju tingkat perekonomian suatu negara, maka
semakin tinggi pula tingkat urbanisasinya. Oleh karena itu urbanisasi merupakan
fenomena alamiah yang sejalan dengan perkembangan ekonomi dan tingkat
kesejahteraan penduduk di suatu negara.
II. Kajian Teori
1. Teori Migrasi
1.1 Pengertian
Dalam arti luas, migrasi merupakan perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi
permanen (Tjiptoherijanto, 2009). Dalam pengertian yang demikian tersebut tidak ada
pembatasan baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, serta tidak dibedakan antara migrasi
dalam negeri dengan migrasi luar negeri (Lee, 2011). Sejarah kehidupan suatu bangsa selalu
diwarnai dengan adanya migrasi, dan oleh karena itu pula terjadi proses pencampuran darah
dan kebudayaan. Migrasi juga dapat diartikan sebagai perubahan tempat tinggal seseorang baik
secara permanen maupun semi permanen, dan tidak ada batasan jarak bagi perubahan tempat
tinggal tersebut (Lee, 2011). Migrasi salah satu dari tiga komponen dasar dalam demografi.
(Kotijah, 2008).Tinjauan migrasi sangat penting dilakukan terutama terkait dengan kepadatan
dan distribusi penduduk yang tidak merata. (Agung Stiyawan, Adi Dwi Susanto, Bhian Rangga
JR, M.Khanif Mahmudin, Ricky Fitriyana, 2010). Migrasi adalah perpindahan orang-orang
dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan menetap, secara permanen atau sementara di
lokasi baru. (Trendyari & Yasa, 2014). Ditinjau dari jaraknya, perpindahan ini dapat terjadi
pada jarak jauh dari satu negara ke negara lain, tetapi dapat juga terjadi secara internal dalam
satu negara. (Υπο & Οικονομιεσ, 1980).
1.2 Teori Migrasi
Dalam pandangannya, migrasi sangat ditentukan oleh faktor ekonomi yang seringkali
melatarbelakangi seseorang untuk melakukan perpindahan (Rutman, 1970). Pengertian migrasi
sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari satu tempat ketempat lain
melampau batas politik/negara ataupun batas administratif atau batas bagian suatu Negara.
Jadi dalam pengertian ini migrasi dapatlah diatakan sebagai perpindahan yang cukup permanen
dari satu tempat ketempat lain.(Munir, Rozy 1981). migrasi adalah suatu bentuk respon yang
ada dalam diri manusia terhadap kondisi/peristiwa yang tidak menyenangkan di daerah asal,
seperti halnya dengan sistem pemilikan tanah yang tidak sama sekali menguntungkan, dan lain
sebagainya.(Syariffudin, La Ode 1985).Negara-negara yang sedang berkembang terdapat
dualisme kegiatan perekonomian, yaitu di sector ekonomi subsisten (pertanian) di pedesaan,
dan sector ekonomi modern dengan tingkat prodiktivitas yang tinggi
diperkotaan.(Lewin,1954).
1.3.2.1 Imigrasi
Pengertian imigrasi merupakan masuknya penduduk yang ada di negara lain ke suatu negara
berniat untuk menetap dengan tujuan untuk secara totalitas menjadi bagian dari negara yang
bersangkutan tersebut.(Budiharsono, 2015).
1.3.2.2 Emigrasi
Pengertian emigrasi merupakan keluarnya penduduk yang ada dalam suatu negara ke suatu
negara ke negara lain lagi guna menetap dengan niatan secara nyata mengambil pada negara
yang baru. Contoh dalam kasus ini yaitu seperti artis ternama Indonesia, yakni artis cantik
Anggun yang memilih menjadi Warga Negara Prancis daripada Indonesia.(-, 2017).
1.3.2.4 . Turisme
Pengertian Turisme yaitu orang-orang yang bepergian ke luar untuk mengunjungi tempat-
tempat pariwisata di daerah/Negara yang dituju.(Daniah & Apriani, 2018).
Secara singkat bisa disebutkan disini bahwa model migrasi dari Todaro mempunyai 4
karakteristik utama(Millock, 2015). yaitu:
1. Migrasi terutama sekali dirangsang oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis yang
rasional. Misalnya pertimbangan manfaan (benefits) dan biaya (cost), terutama sekali
secara finansial tetapi juga secara psikologis.
2. Keputusan untuk bermigrasi lebih tergantung pada perbedaan upah riil “yang diharapkan”
daripada “yang terjadi” Antara pedesaan dan perkotaan, dimana perbedaan yang
“diharapkan” itu ditentukan oleh interaksi Antara dua variable yaitu perbedaan upah
pedesaan-perkotaan yang terjadi dan kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan disektor
perkotaan.
3. Kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan diperkotaan berhubungan terbaik dengan
tingkat pengangguran di perkotaan.
4. Tingkat migrasi yang melebihi tingkat pertumbuhan kesempatan kerja di perkotaan sangat
mungkin terjadi. Oleh karena itu, tingkat pengangguran yang tinggi diperkotaan
merupakan hal yang tidak terelakan karena adanya ketidakseimbangan yang parah Antara
kesempatan-kesempatan ekonomi di perkotaan dan di pedesaan pada hampir semua NSB.
Sumber: Faculty.washington.edu
2. Pembangunan Migrasi
Sampai sekarang ini persoalan migrasi dari desa-desar ternyata masih dipandang
sebagai suatu hal yang positif dalam kajian ilmu ekonomi pembangunan pada umumnya.
Perpindahan dalam suatu negara (migrasi internal) dianggap sebagai proses alamiah yang
menyalurkan surplus tenaga kerja dari daerah-daerah pedesaan untuk memenuhi tenaga
kerja bagi pertumbuhan industri perkotaan (teori Lewis). Akan tetapi kenyataan-kenyataan
di negara berkembang pada masa sekarang ini seperti Indonesia memang sangat
bertentangan dengan pandangan para ahli ekonomi tradisional tersebut. Arus perpindahan
tenaga kerja dari daerah ke kota-kota telah jauh melampaui tingkat penciptaan atau
penambahan lapangan kerja. Migrasi yang berlangsung sedemikian deras telah jauh
melampaui daya serap sektor-sektor industri maupun jasa-jasa pelayanan sosial yang ada
di daerah perkotaan. Dengan kata lain, migrasi desa-kota harus dillihat sebagai suatu faktor
negatif yang menyebabkan surplus tenaga kerja perkotaan secara berlebihan serta sebagai
suatu kekuatan yang secara terus-menerus memperburuk masalah pengangguran di
berbagai daerah perkotaan.
1. Proses Migrasi
Migrasi dapat diartikan sebagai perpindahan penduduk dari suatu daerah tertentu
ke daerah lainnya dalam batas waktu tertentu. Orang yang pindah tersebut dinamakan
dengan migran. Pada dasarnya migrasi merupakan suatu proses memilih (selective process)
yang mempengaruhi individu-individu dengan karakteristik-karakteristik ekonomi, sosial,
pendidikan, dan demografis tertentu. Hal-hal yang mempengaruhi mungkin bersifat
ekonomis atau non-ekonomis yang mungkin berbeda tidak hanya antar negara dan wilayah
tetapi juga di dalam daerah geografis dan penduduk tertentu. Tidak sedikit penelitian awal
tentang migrasi cenderung memfokuskan perhatiannya terhadap faktor-faktor sosial,
budaya, dan psikologis saja, tanpa memerhatikan arti penting dari variabel-variabel
ekonomi. Biasanya penekanan pokok dari penelitian-penelitian tersebut antara lain
menyangkut :
a. Faktor-faktor sosial termasuk hasrat para migran untuk melepaskan diri dari kendala-
kendala tradisional yang terkandung dalam organisasi-organisasi sosial yang
sebelumnya mengungkung mereka
b. Faktor-faktor fisikal, termasuk iklim dan bencana alam seperti banjir dan kekeringan
c. Faktor-faktor demografis termasuk penurunan tingkat kematian yang kemudian
mempercepat laju pertumbuhan penduduk pedesaan
d. Faktor-faktor budaya, termasuk adanya hubungan “keluarga besar” (extended family)
sesampainya di perkotaan dan daya tarik “gemerlapnya kehidupan kota”
e. Faktor-faktor komunikasi yang dihasilkan oleh perbaikan transportasi, sistem
pendidikan yang berorientasi pada kehidupan perkotaan dan dampak modernisasi dan
pengenalan radio, televisi, dan bioskop
Semua faktor non ekonomis tersebut tentu saja relevan untuk dijadikan bahan
penelitian. Namun demikian, sekarang tampaknya telah ada kesepakatan antara para ahli
ekonomi dan ahli ilmu sosial lainnnya bahwa migrasi dari desa ke kota terutama sekali
disebabkan oleh pengaruh faktor-faktor ekonomi. Kekuatan-kekuatan ekonomi yang
mendorong terjadinya migrasi tersebut bukan hanya berupa faktor pendorong (push factor)
tetapi juga faktor-faktor penarik (pull factor)
2. Karakteristik-Karakteristik Migran
Karakteristik para migran dapat dibedakan menjadi 3 kategori yaitu karakteristik
demografi, pendidikan, dan ekonomi.
a. Karakteristik Demografis
Para migran di perkotaan negara-negara berkembang pada umumnya berusia antara
15 sampai 24 tahun. Proporsi wanita yang melakukan migrasi tampaknya cenderung
meningkat karena semakin membaiknya tingkat pendidikan mereka. Di Amerika Latin,
Asia Tenggara dan Afrika Barat, misalnya migran dari desa ke kota didominasi oleh kaum
wanita.
b. Karakteristik Pendidikan
Salah satu pola hubungan yang paling konsisten dari temuan studi-studi tentang
migrasi desa-kota adalah adanya korelasi yang positif antara tingkat pendidikan yang
dicapai dengan kecenderungan untuk melakukan migrasi. Hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa tampaknya ada hubungan yang jelas antara tingkat pendidikan yang
dicapai dengan keinginan untuk bermigrasi. Orang yang berpendidikan lebih tinggi
cenderung lebih banyak melakukan migrasi daripada yang pendidikannya lebih rendah.
Dalam suatu penelitian yang komprehensif di Tanzania tentang pendidikan dan migrasi
terbukti secara jelas, terutama dalam kaitannya dengan dampak penurunan kesempatan
kerja di perkotaan terhadap karakteristik pendidikan para migran. Persentase migran
tamatan sekolah menengah ke atas menunjukkan peningkatan yang cukup tajam.
Penjelasan Barnum dan Sabot menunjukkan bahwa kesempatan untuk memperoleh
pekerjaan ditentukan oleh tingkat pendidikan. Mereka yang hanya tamatan sekolah dasar
sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, proporsi mereka dalam arus
migrasi mulai menurun.
c. Karakteristik Ekonomi
Selama beberapa tahun terakhir ini persentase migran yang terbanyak adalah kaum
miskin, tidak memiliki tanah, dan tidak mempunyai keterampilan. Pada zaman penjajahan
di Afrika, migrasi musiman didominasi oleh para migran dari berbagai tingkat pendapatan
yang sama-sama berusaha mencari pekerjaan jangka pendek di kota-kota. Para migran ini
datang dari semua tingkat sosio-ekonomi yang sebagian besar adalah sangat miskin.
Mereka ingin melepaskan diri dari belenggu kemiskinan di daerah-daerah pedesaan.
4. Pembangunan Urbanisasi
Di awal abad 21 ini Indonesia masih direpotkan dengan masalah penduduk yang
sangat serius. Jumlah penduduk yang besar dan terus bertambah (di atas 1,40 % per tahun)
menjadi beban serius setiap rejim politik pembangunan. Kualitas penduduk yang relatif
sangat rendah juga merupakan tantangan berat bagi setiap rejim politik dalam menjalankan
amanat Undang-undang 1945. Apapun konsep pembangunan yang dianut, kualitas
kehidupan masyarakat atau penduduk harus tetap menjadi fokus pencapaian pembangunan
nasional. Dengan tingkat kemiskinan di atas 27,1 persen (UNHDR, 2006), banyaknya
pengangguran terselubung (disguise unemployment, diperkirakan mencapai 40-50 %),
tidak terkendalinya perkembangan sektor informal di perkotaan, undergroud ekonomi,
berbagai indikasi kriminal di perkotaan dan tidak layaknya tempat-tempat pemukiman
menunjukkan bahwa rejim pembangunan di Indonesia masih tergolong belum mampu
mengatasi masalah kependudukan. Hal ini menunjukkan juga bahwa selama ini
perancangan dan penyelenggaraan pembangunan nasional berbasis kependudukan belum
dapat dikatakan berhasil. Di samping Indonesia telah menjadi negara berpenduduk terbesar
keempat di dunia, dengan jumlah penduduk mencapai 245 juta jiwa (2006), penyebaran
penduduk di Indonesia relatif sangat timpang. Kepadatan penduduk antara Jawa (salah satu
pulau terpadat di dunia) dan luar Jawa sangat timpang, dan demikian juga antara kota dan
desa. Sebagai gambaran, kepadatan penduduk di Jawa mencapai lebih dari 951 jiwa per
km2 (2000); lebih dari sepuluh kali lipat dibanding Sumatera (90 jiwa/km2), Sulawesi (77
jiwa/km2), juga Maluku dan Papua.
Tertinggalnya masyarakat Indonesia dengan negara-negara lain, seperti dengan
Malaysia dan Thailand, menunjukkan bahwa arah urbanisasi secara umum telah melenceng
dari tujuan pembangunan. Krisis ekonomi (dan mengarah ke multi dimensi) yang
berkepanjangan, besar dan tidak berkurangnya penduduk miskin, rusaknya lingkungan di
banyak tempat, dan tingginya index korupsi di Indonesia merupakan gambaran tentang
tidak tepatnya pendekatan pembangunan yang telah dilakukan selama lebih dari tiga decade
terakhir. Arah urbanisasi yang melenceng dari cita-cita negara, yang seharusnya untuk
mensejahterakan kehidupan rakyat banyak ditopang dengan sarana yang merata dan
peningkatan modal alam (dan lingkungan hidup) yang lebih baik, adalah sebagai
konsekuensi dari pendekatan pembangunan yang tidak tepat. Pendekatan pembangunan
yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi (mengabaikan pemerataan) dan budaya
material (mengabaikan penguatan sumberdaya manusia, modal sosial, politik,
pemerintahan yang bersih dan budaya) merupakan faktor utama tidak terarahnya proses
urbanisasi yang terjadi pada sebagian besar wilayah di Indonesia. Pendewaan terhadap
mekanisme trickle down effect, yang dibanggakan kalangan perancang pembangunan di
EKUIN, dapat dipandang sebagai keangkuhan hegemoni akademik dari kalangan penganut
ekonomi neo-klasik dari Barat Arah urbanisasi yang menyimpang dari tujuan
pembangunan dapat ditarik dari terjadinya kesenjangan antara kemajuan di pedesaan dan
perkotaan. Dengan latar belakang kesenjangan yang relatif tajam, proses urbanisasi banyak
mengarah pada penyimpangan dari tujuan pembangunan. Gejala unintended aspects (latent
function) yang muncul dan urbanisasi relatif menonjol dibanding intended aspects
(manifest function). Menurut Merton (1962), kegiatan pembangunan telah mengalami
disfungsi yang serius dalam mentransformasikan masyarakat ke arah yang lebih sejahtera.
Dari gambaran ini dapat dikembangkan pemikiran bahwa seharusnya proses urbanisasi
dapat dijadikan sebagai salah satu bagian dari strategi pembangunan berbasis
kependudukan di Indonesia. Dalam kenyataan urbanisasi tidak dapat lagi dipisahkan dari
berprosesnya kegiatan pembangunan, baik yang berlangsung di perkotaan maupun
pedesaan.
Secara umum, peningkatan proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan terjadi di
seluruh provinsi di Indonesia. Namun, proporsi serta pertumbuhannya berbeda-beda
antarprovinsi. Di antara seluruh provinsi di Indonesia, DKI Jakarta merupakan wilayah
dengan persentase penduduk kota terbesar. Pada tahun 1990, umpamanya, sebanyak 99,6
persen penduduk DKI Jakarta tinggal di wilayah yang tergolong sebagai perkotaan,
sementara di provinsi-provinsi yang lain proporsinya kurang dari 50 persen. Selanjutnya,
pada tahun 2000 dan 2010, semua penduduk DKI Jakarta tinggal di perkotaan (BPS,
Bappenas, dan UNFPA 2005). Kenyataan ini tidak mengherankan mengingat semua
wilayah DKI Jakarta termasuk dalam klasifikasi kota.
Proporsi penduduk kota di provinsi-provinsi lain terus mengalami peningkatan.
Sebagai contoh, pada tahun 1995, persentase penduduk kota di dua provinsi, yaitu DIY dan
Kalimantan Timur sudah mencapai 50 persen. Peningkatan persentase penduduk kota yang
pesat di kedua provinsi ini dapat dipahami dengan alasan-alasan berikut: kota Yogyakarta
yang terkenal sebagai kota pelajar (karena mempunyai banyak lembaga pendidikan dan
dengan biaya hidup yang relatif murah) menjadi daya tarik bagi pelajar dan mahasiswa dari
berbagai provinsi, sehingga persentase penduduk kota meningkat dengan cepat akibat
banyaknya pelajar dan mahasiswa yang ingin melanjutkan pendidikan di kota tersebut.
Selanjutnya, peningkatan pembangunan di wilayah provinsi Kalimantan Timur juga
menjadi daya tarik bagi penduduk dari berbagai wilayah di Indonesia untuk memanfaatkan
peluang ekonomi akibat proses pembangunan yang berlangsung.
Pada tahun 2005, terdapat enam provinsi yang mempunyai tingkat urbanisasi lebih
dari 50 persen, yaitu DKI Jakarta, DIY, Kalimantan Timur, Banten, Jawa Barat, dan Bali
dengan urutan tertinggi sampai terendah secara berturut-turut. Sebaliknya, NTT merupakan
provinsi dengan persentase penduduk kota terendah di antara seluruh provinsi di Indonesia,
meskipun juga mengalami peningkatan persentase kelompok penduduk tersebut dalam
kurun waktu 1990 – 2005. Pertumbuhan penduduk kota di masing-masing provinsi sangat
bervariasi. Secara nasional, angka pertumbuhan penduduk perkotaan selama periode 1980
– 1990 sebesar 5,37 persen per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan
penduduk perdesaan (0,83 persen per tahun) dan penduduk Indonesia secara keseluruhan
(1,99 persen per tahun). Dalam periode 10 tahun berikutnya (1990 – 2000) angka
pertumbuhan penduduk perkotaan menurun menjadi 4,41 persen per tahun, namun masih
lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk perdesaan dan Indonesia secara umum, yaitu
(-) 0,66 persen dan 1,16 persen per tahun secara berturut-turut (dihitung dari hasil Sensus
Penduduk tahun 1980, 1990, dan 2000). Selama 2000 – 2005 angka pertumbuhan penduduk
kota adalah 1,51 persen per tahun, penduduk perdesaan 0,93 persen, dan penduduk
Indonesia sebesar 1,17 persen per tahun (dihitung dari hasil Sensus Penduduk 2000 dan
SUPAS 2005). Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa perpinadahan penduduk
(dari desa ke kota) merupakan faktor dominan yang menyebabkan tingginya pertumbuhan
penduduk di daerah perkotaan, khususnya kota menengah dan sedang, di Indonesia. Hal ini
berdasar pada asumsi bahwa jika laju pertumbuhan penduduk suatu kota di atas 2,5 persen
per tahun, maka faktor perpindahan (net migrasi positif) lebih berpengaruh daripada
pertumbuhan penduduk alami (Mamas 2000). Beberapa kota mengalami pertumbuhan
penduduk yang lebih rendah daripada pertumbuhan penduduk Indonesia secara
keseluruhan, namun sebagian lainnya masih memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi.
Selama tahun 2000 – 2005 dua kota besar (berpenduduk di atas 1.000.000 jiwa) di
Provinsi Jawa Barat (Depok dan Bekasi) mempunyai pertumbuhan penduduk di atas 3,5
persen per tahun (Romdiati 2008). Tingginya pertumbuhan penduduk di kota Depok dan
Bekasi kemungkinan besar akibat migrasi masuk, terutama ke berbagai permukiman yang
berkembang pesat di kedua daerah tersebut. Di kota Depok, khususnya, keberadaan
Universitas Indonesia kemungkinan juga berperan dalam menyebabkan tingginya
pertumbuhan penduduk kota tersebut. Banyak mahasiswa yang berasal dari luar kota yang
melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi tersebut tinggal di permukiman sekitar
kampus. Tiga kota menengah/sedang, yaitu kota yang berpenduduk antara 500.000 –
1.000.000 jiwa, yang pertumbuhan penduduknya di atas 3,5 persen per tahun adalah Bogor,
Pekanbaru, dan Batam. Pertumbuhan penduduk Kota Batam bahkan di atas 7 persen per
tahun. Banyaknya industri di kota yang perbatasan dengan negara Singapura ini menjadi
daya tarik bagi pencari kerja dari berbagai wilayah di Indonesia, baik yang berasal dari
wilayah perdesaan maupun yang dari perkotaan, untuk bermigrasi ke kota Batam.
Peningkatan proporsi penduduk perkotaan bukan hanya fenomena yang terjadi di
Indonesia. Di berbagai negara, termasuk negara berkembang juga terjadi peningkatan
proporsi penduduk kota, walaupun masih lebih rendah daripada negara-negara maju.
Dapat dikatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan penduduk
perkotaan di berbagai negara di kawasan Asia Tenggara adalah perpindahan penduduk dari
desa ke kota. Di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Laos dan Papua Nugini
merupakan dua negara yang mengalami pertumbuhan penduduk kota terbesar. Apabila
tidak disertai dengan penyediaan semua sarana dan prasarana perkotaan, maka kedua
negara tersebut kemungkinan besar akan menghadapi berbagai persoalan yang berkaitan
dengan perkotaan yang lebih berat dibandingkan dengan negara-negara yang lain.
Masyarakat Indonesia diidentifikasi melalui tingkat pertumbuhannya. Jika laju
pertumbuhan penduduk kota kurang dari 2,5 persen per tahun, maka peningkatan jumlah
penduduk kota disebabkan oleh pertumbuhan alami (selisih kelahiran dan kematian).
Namun, jika laju pertumbuhannya di atas 2,5 persen, maka faktor urbanisasi masuk lebih
berperan dalam peningkatan jumlah penduduk kota.
Daftar Pustaka
Agung, P., Hartono, D., & Awirya, A. A. (2017). Pengaruh Urbanisasi Terhadap Konsumsi
Energi Dan Emisi CO2: Analisis Provinsi di Indonesia. Jurnal Ekonomi Kuantitatif
Terapan. https://doi.org/10.24843/jekt.2017.v10.i01.p02
Agung Stiyawan, Adi Dwi Susanto, Bhian Rangga JR, M.Khanif Mahmudin, Ricky Fitriyana,
Y. S. D. (2010). Teori dan Konsep Migrasi. Program Pendidikan Geografi, Fakultas
Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.
Ainy, H., Nurrochmah, S., & Katmawanti, S. (2019). HUBUNGAN ANTARA FERTILITAS,
MORTALITAS, DAN MIGRASI DENGAN LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK.
Preventia : The Indonesian Journal of Public Health.
https://doi.org/10.17977/um044v4i1p15-22
Chang, R., Kaltani, L., & Loayza, N. V. (2009). Openness can be good for growth: The role of
policy complementarities. Journal of Development Economics.
https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2008.06.011
Daniah, R., & Apriani, F. (2018). Kebijakan Nasional Anti-Trafficking dalam Migrasi
Internasional. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan
Internasional. https://doi.org/10.22212/jp.v8i2.1140
Darmawan, B., & Chotib. (2007). Perkiraan Pola Migrasi Antarprovinsi di Indonesia
Berdasarkan “Indeks Ketertarikan Ekonomi.” Parallel Session IIIC: Poverty, Population
& Health.
Kotijah, S. (2008). Analisis Faktor Pendorong Migrasi Warga Klaten ke Jakarta. Universitas
Diponegoro Semarang.
Lubis, M. R., Wirawan, B., & Tambunan, A. (2019). Studi Hubungan Ruralisasi Dengan
Penduduk Lokal: Pola Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Daerah Pinggiran Jakarta.
ILMU USHULUDDIN. https://doi.org/10.15408/iu.v6i1.13891
Nor Ermawati Hussain, Norehan Abdullah, & Hussin Abdullah. (2015). Hubungan Migrasi
Dalaman dengan Faktor-Faktor Penarik : Kajian Kes di Malaysia. Jurnal Ekonomi
Malaysia.
Sinuraya, J. F., & Saptana. (2007). Migrasi tenaga kerja pedesaan dan pola pemanfaatannya.
SOCA Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian.
Siregar, R. (2017). Sumber Daya Manusia Dalam Pembangunan Nasional. Prosiding Seminar
Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Meda.
Υπο, Σ., & Οικονομιεσ, Μ. (1980). No Title 22–1. גלית גם- דוקטורט.
http://akademik.uhn.ac.id/portal/public_html/FISIPOL/Ridhon_Simangunsong/Pengantar%2
0Ekonomi%20Pembangunan%20opt.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/553-ID-kebijakan-terkait-migrasi-dan-pola-
migrasi.pdf