REVITALISASI PERTANIAN
A. PERMASALAHAN
Bagian IV.17 – 1
Kesejahteraan petani dan nelayan masih rendah dan
tingkat kemiskinan relatif tinggi. Tingkat kesejahteraan yang
antara lain tercermin dari nilai tukar petani/nelayan termasuk
masyarakat yang tinggal di sekitar dan bergantung dari hutan
menunjukkan bahwa pada tahun 2003 di sebagian besar wilayah
masih memiliki nilai tukar petani/nelayan dibawah nilai tukar tahun
1983. Artinya, meskipun kontribusi sektor pertanian sangat besar
terhadap perekonomian nasional, namun kesejahteraan petani dan
nelayan tidak mengalami perubahan. Selanjutnya, sekitar 70-80
persen kelompok masyarakat ini termasuk golongan miskin dengan
usaha pertanian, perikanan dan kehutanan, yang masih tradisional
dan bersifat subsisten. Minimnya akses terhadap informasi dan
sumber permodalan, menyebabkan masyarakat petani/nelayan, dan
masyarakat pesisir tidak dapat mengembangkan usahanya secara
layak ekonomi. Kondisi ini tidak dapat dipungkiri karena rata-rata
tingkat pendidikan mereka hanya tamat Sekolah Dasar (SD) atau
bahkan tidak tamat SD, sehingga sulit untuk mengadopsi upaya-
upaya pengembangan teknologi dan perbaikan usaha yang
diberikan.
Bagian IV.17 – 2
Masih rendahnya penguasaan teknologi pengolahan
produk pertanian dan perikanan berakibat pada rendahnya
produktivitas dan nilai tambah produk pertanian dan
perikanan. Dalam sepuluh tahun terakhir, sub sektor perkebunan,
peternakan dan perikanan masing-masing tumbuh sekitar 4,9
persen per tahun, 3,6 persen, dan 5,8 persen per tahun, sementara
sub sektor pangan hanya mencapai 1,2 persen per tahun. Namun
demikian, nilai tambah komoditas ini masih rendah karena pada
umumnya ekspor dilakukan dalam bentuk segar (produk primer)
dan olahan sederhana. Perkembangan industri hasil pertanian dan
perikanan belum optimal, yang ditunjukkan oleh rendahnya tingkat
utilisasi industri hasil pertanian dan perikanan. Peningkatan nilai
tambah produk pertanian dan perikanan melalui proses pengolahan
memerlukan investasi dan teknologi pengolahan yang lebih modern.
Kondisi ini diperberat oleh semakin tingginya persaingan produk
dari luar negeri, baik yang masuk melalui jalur legal maupun ilegal.
Perkembangan dalam tiga tahun terakhir, Indonesia sudah menjadi
importir netto untuk komoditas tanaman bahan makanan, hasil
ternak dan pakan ternak, beras, jagung, dan gula.
Bagian IV.17 – 3
masyarakat sekitar kawasan hutan. Peran hutan umumnya
hanya dipandang dari sisi produksi hasil kayunya saja. Padahal
beberapa penelitian menyebutkan bahwa nilai hutan dari hasil kayu
hanya 5 persen, sementara selebihnya berasal dari hasil hutan non
kayu. Namun demikian sampai sekarang yang dimanfaatkan masih
terkonsentrasi pada kayu. Hal ini tercermin dari nilai ekspor hasil
hutan non kayu pada periode tahun 1996-2001 hanya sekitar 1
persen dari total ekspor hasil hutan yang didominasi kayu. Hasil
hutan nonkayu yang cukup potensial antara lain adalah rotan,
tanaman obat-obatan, dan madu. Data FAO 2001 menunjukkan
bahwa Indonesia mendominasi perdagangan rotan dunia hingga 80
persen sampai 90 persen pasokan rotan dunia. Sementara itu,
tanaman obat dan hasil hutan non kayu lainnya belum cukup
dihargai dan belum terdokumentasi dengan baik karena tidak
muncul dalam transaksi di pasar resmi. Data Departemen
Kehutanan tahun 2000 memperkirakan bahwa 30 juta penduduk
secara langsung mengandalkan hidupnya pada kehutanan. Sebagian
besar masyarakat ini hidup dari kegiatan perladangan berpindah,
memancing, berburu, menebang dan menjual kayu, serta
mengumpulkan hasil hutan non kayu. Dengan pola pengusahaan
yang masih tradisional ini, potensi hasil hutan non kayu tidak dapat
berkembang secara optimal sehingga berakibat pada rendahnya
tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar dan
bergantung dari hutan.
Bagian IV.17 – 4
karbohidrat lain adalah palawija dan sumber protein yang berasal
dari daging, telur dan susu, namun tingkat konsumsinya masih
rendah. Tingkat konsumsi energi mencapai sebesar 3.211 kkal
sudah melebihi skor pola pangan harapan (PPH) sebesar 2.200 kkal.
Akan tetapi dengan tingkat konsumsi energi tersebut baru
mencapai skor 66,7 dari skor ideal sebesar 100, karena
ketergantungan yang tinggi terhadap konsumsi karbohidrat
terutama beras dan masih sangat kurang pada pangan hewani,
sayur dan buah. Konsumsi sumber energi dari beras hanya
dibutuhkan sebesar 1.100 k.kal, namun tingkat konsumsinya
mencapai 2.104 kkal. Tingkat konsumsi pangan hewani yang
dibutuhkan sebesar 264 kkal, hanya mencapai 76 kkal. Pola
konsumsi seperti ini kurang mendukung pengembangan kualitas
sumberdaya manusia.
B. SASARAN
Bagian IV.17 – 5
7. Meningkatnya produksi dan ekspor hasil pertanian dan
perikanan
8. Optimalnya nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu
9. Meningkatnya hasil hutan non kayu 30 persen dari produksi
tahun 2004
10. Bertambahnya hutan tanaman seluas 3 juta ha sebagai
basis pengembangan ekonomi hutan.
C. ARAH KEBIJAKAN
Bagian IV.17 – 6
kerjasama dengan industri pangan, untuk meningkatkan
minat dan kemudahan konsumsi pangan alternatif.
Bagian IV.17 – 7
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN
Bagian IV.17 – 8
2. Penumbuhan dan penguatan lembaga pertanian dan
perdesaan untuk meningkatkan posisi tawar petani dan
nelayan;
3. Penyederhanaan mekanisme dukungan kepada petani dan
pengurangan hambatan usaha pertanian; dan
4. Pengembangan upaya pengentasan kemiskinan.
Bagian IV.17 – 9
lain dengan menjajagi kemungkinan impor dari negara
tetangga;
3. Pemberian hak pengelolaan untuk periode tertentu kepada
masyarakat untuk mengembangkan hutan tanaman dan hasil
hutan non kayu;
4. Peningkatan program hutan tanaman industri hanya pada
kawasan hutan non produktif, kemudahan perijinan usaha,
dan kemudahan permodalan/pinjaman;
5. Peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat, khususnya
masyarakat yang hidup di sekitar hutan (peladang berpindah,
pionir hutan atau transmigran, dan sebagainya), dalam
pengembangan hutan tanaman yang lestari; dan
6. Pengembangan iptek untuk menunjang peningkatan
produktivitas sektor kehutanan.
Bagian IV.17 – 10
1. Pemantapan dan pengembangan kawasan agropolitan yang
strategis dan potensial, terutama kawasan-kawasan di luar
Pulau Jawa-Bali;
2. Pengembangan prasarana ekonomi perdesaan terutama
prasarana pertanian dan transportasi penghubung dengan
kawasan perkotaan; dan
3. Pemantapan kelembagaan masyarakat dan pemerintahan
perdesaan dalam pengelolaan kegiatan pertanian, kelautan,
perikanan, agrobisnis, dan agroindustri.
Bagian IV.17 – 11