https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/6623/KONVERSI%20UMBI%20ILES-ILES%20MENJADI%20BIOETHANOL.pdf?sequence=1
Simposium Nasional RAPI IX 2010 ISSN: 1412-9612
Agus S Sadana
Jurusan Arsitektur, Universitas Pancasila
Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640
Email: sadana_m15@yahoo.com
Abstrak
Public transport merupakan bagian penting dari sistem transit perkotaan. Sistem transit sangat penting
perannya guna memudahkan warga kota berpindah tempat. Berkaitan dengan hal ini, warga kota
memerlukan sistem transit publik yang aman, cepat, dan nyaman. Sistem transit terbagi ke dalam dua
bagian, yaitu: (1) prasarana transit yang tidak bergerak, dan (2) sarana transport berupa kendaraan.
Tersedianya sistem transit yang baik akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat kota. Lebih
lanjut, sistem transit bagi publik yang baik akan mendukung perkembangan kota sebagai kota yang
berkelanjutan. Ironisnya, kondisi prasarana dan sarana transit bagi publik di kota besar Indonesia masih
belum baik. Masih belum nyamannya berpindah tempat dengan (1) berjalan kaki, (2) ber-public transport
di kota-kota Indonesia merupakan suatu tantangan yang perlu dicarikan penyelesaiannya. Kajian singkat
ini berangkat dari penelitian kecil yang menggambarkan pendapat publik pengguna public transport.
Dalam penelitian ini, pendapat publik dihimpun dengan menggunakan kuesioner. Adapun, faktor-faktor
yang diteliti disusun berdasarkan aspek: (1) prasarana, dan (2) sarana pada sistem transit, dan diukur
menggunakan skala likert. Adapun, pendapat lain di luar sistem kuesioner juga dapat dihimpun
berdasarkan komentar lisan para responden saat kuesioner dibagikan. Sistem transit yang dinilai adalah
beberapa jenis layanan public transport yang tersedia di kota Jakarta. Gambaran umum yang
didapatkan dari penelitian ini adalah publik merasakan bahwa sistem transit bagi publik (baik
prasarana, maupun sarana) yang mereka pergunakan sehari-hari masih belum memenuhi harapan.
Namun masyarakat juga dapat merasakan bahwa sistem transit model ‘busway’ lebih memenuhi harapan
dibanding sistem lainnya yang telah ada. Lebih luasnya jaringan ‘busway’ di pusat kota serta lebih
banyaknya petugas yang memberikan petunjuk langsung membuat ‘busway’ dinilai lebih unggul Kereta
Listrik (KRL).
Pendahuluan
Ketersediaan prasarana dan sarana aksesibilitas bagi pejalan kaki dan pengguna angkutan umum merupakan dua
faktor yang sangat erat hubungannya. Pengguna angkutan umum sangat membutuhkan jalur pedestrian yang aman dan
nyaman guna mencapai public transport. Fasilitas public transport yang baik mempermudah gerakan manusia dari satu
tempat ke tempat lainnya. Sebagai Ibukota Negara, Jakarta seharusnya dapat dijadikan barometer sistem transit publik di
Indonesia. Saat ini penduduk Jakarta 8,839,247 jiwa (Statistics Indonesia), dan, dan pada siang hari, penduduk Jakarta
diperkirakan mencapai 13 juta jiwa. Pertambahan jumlah warga jakarta di siang hari berasal dari para pekerja yang
tinggal di daerah dan kota-kota di sekitar Jakarta, yaitu: Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Untuk mencapai tempat
kerja maupun pulang ke rumah, mereka sangat membutuhkan sistem aksesibilitas publik yang prima. Sistem fasilitas
perhentian kendaraan umum dan alat transportasi publik. Hasil pengamatan bulan Oktober – Desember 2008
menunjukkan masih sangat bervariasinya kualitas sistem pendukung aksesibilitas tersebut. Secara visual, di sebagian
tempat kualitasnya sudah baik dan sangat baik, dan masih banyak yang belum baik kualitasnya. Suatu kota dikatakan
berkelanjutan apabila mampu melakukan konservasi sumber daya alam, seperti: menekan konsumsi material, air, energi
dan bahan bakar (Santa Monica Sustainability Plan, 2008). Artinya, tersedianya sistem transit dan dan public transport
yang baik akan menekan konsumsi energi dan bahan bakar. Tersedianya sistem transit dan public transport yang baik
dapat menjadikan Jakarta sebagai kota yang berkelanjutan.
Kajian Pustaka
Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang selalu memperhatikan: (1) fungsi ekologi, (2)
fungsi sosial, dan (3) fungsi ekonomi (Sudarwanto, 2008). Tujuannya adalah agar pembangunan menghasilkan nilai
tambah tanpa merusak fungsi ekologis, serta dapat memberikan manfaat sosial bagi masyarakat. Hubungan ketiga fungsi
tersebut terlihat dalam Gambar 1. Dalam rangka pengembangan desain kota yang berkelanjutan, tersedianya prasarana
kota dan sistem transportasi yang efisien merupakan hal yang sangat penting, karena akan mempermudah warga
berpindah tempat, meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar dan menekan polusi.
Jalur pejalan kaki merupakan fasilitas aksesibilitas yang tidak terpisahkan dari prasarana dan sarana sistem transit
perkotaan. Dalam kaitannya dengan sistem transportasi massal, jalur pejalan kaki hadir berupa trotoar. Keberadaan
trotoar sangat dibutuhkan karena mampu memberi kenyamanan dan keamanan bagi penggunanya, yaitu para pejalan
kaki dan juga termasuk penyandang cacat (Widagdo, 2008). Dalam pembangunan berkelanjutan, trotoar termasuk ke
dalam kajian aspek transportasi. Artinya, keberadaan trotoar yang memenuhi syarat dapat dijadikan salah satu penilaian
keberhasilan pembangunan kota. Dalam kaitannya dengan sistem transportasi kota, trotoar merupakan bagian tak
perpisahkan dari sistem transit perkotaan. Fasilitas transit diperlukan guna menjamin agar masyarakat kota dari segala
tingkat pendapatan dapat bergerak dan berpindah tempat dengan mudah. Secara garis besar, fasilitas transit meliputi
kendaraan dan tempat naik turunnya. Kendaraan dapat berupa: bus, light rail, subway, dan sebagainya, yang disebut
sebagai public transport (Grigg, 1988). Adapun tempat perhentian public transport disebut sebagai halte.
Gambar 1
Gambaran Suasana Halte Bus Kota di Negara Maju
Sumber: koleksi foto di http://www.worldofstock.com
Departemen Perhubungan (1996) membagi tempat perhentian kendaraan umum ke dalam dua kategori, yaitu: (a)
halte, dan (b) tempat perhentian bus (TPB). Halte memiliki fasilitas yang lebih lengkap daripada TPB. Halte disyaratkan
memiliki: (a) identitas halte berupa nama dan/atau nomor, (b) rambu petunjuk, (c) papan informasi trayek, (d) lampu
penerangan, dan (e) tempat duduk. Sementara TPB disyaratkan memiliki: (a) rambu petunjuk, (b) papan informasi
trayek, dan (c) identifikasi TPB berupa nama dan/atau nomor. Adapun, (a) telepon umum, (b) tempat sampah, (c) pagar,
(d) papan iklan/ pengumuman, merupakan fasilitas tambahan.
Gambar 2
Public Transport Di Negara Maju: Nomor dan Trayek Terbaca Jelas
Sumber: koleksi foto di http://www.worldofstock.com
Pelayanan transportasi bagi publik di kota besar membutuhkan sarana dan prasarana yang baik. Selain kendaraan
berdaya angkut besar, fisik bangunan pendukungnya juga harus baik. Bangunan pendukung sistem public transport
umumnya merupakan bagian area pedestrian. Artinya ada satu kesatuan diantara jalur pejalan kaki dengan bangunan
pendukung public transport. Guna menghubungkan antar bangunan pendukung public transport pada kondisi geografis
yang berbeda, dibutuhkan tersedianya jalur pejalan kaki dengan desain yang berbeda-beda. Wujudnya bisa berupa
trotoar terbuka, trotoat beratap, jembatan penghubung, ramp, tangga, dan sebagainya. Pada titik-titik perpindahan dari
berjalan kaki ke dalam kendaraan dibutuhkan halte. Halte sendiri bermacam-macam. Ada yang terbuka, tertutup,
beratap, dan tidak beratap. Sebagai bangunan pendukung sistem public transport, halte memiliki standart tertentu.
Standar halte yang berlaku di Indonesia ditetapkan oleh Departemen Perhubungan. Halte dirancang dapat menampung
penumpang angkutan umum 20 orang per halte pada kondisi biasa (Departemen Perhubungan, 1996).
Transportasi merupakan aspek penting dalam pembangunan kota yang berkelanjutan. Dalam kajian pembangunan
berkelanjutan, transportasi tidak hanya berarti masalah kendaraan saja, namun aspek transportasi meliputi: integrasi,
jaringan multi moda, pedestrian, sepeda, transit, kendaraan berdaya angkut tinggi, minimalisasi perkerasan, dan
minimalisasi parkir. Tabel 1 menunjukkan posisi aspek transportasi sebagai kajian dalam pembangunan berkelanjutan.
Tabel 1
Sustainable Urban Design Development
Gambar 3
Public Transport di Jakarta: Metro Mini dan Angkot
Di Jakarta, di sebagian tempat telah terdapat halte untuk public transport yang kondisinya sudah baik, namun di
sebagian tempat lainnya masih ada halte yang secara visual terlihat belum memenuhi standar kenyamanan.
Gambar 4
Halte Di Jalan Sudirman Jakarta: Contoh Halte Yang Sudah Baik
Gambar 5
Tempat Transit dan Halte Bus Kota di Beberapa Kota di Indonesia
Perkembangan yang lebih maju terlihat di beberapa kota besar Indonesia. Di beberapa kota besar mulai terlihat
adanya bus kota dengan jalur khusus, yang di Jakarta lebih dikenal dengan sebutan busway, dan di Yogyakarta lebih
dikenal dengan nama Trans Jogja. Sistem transportasi model baru ini mirip dengan trem kota dan trolley bus di negara
maju, namun masih menggunakan kendaraan bus biasa dengan pintu yang di desain secara khusus. Gambar 7
menunjukkan bus kota dengan sistem busway di Jakarta dan Yogyakarta.
Gambar 6
Model Baru Public Transport di Indonesia: Trans Jogja & Trans Jakarta Busway
Sarana public transport model busway memiliki keuntungan berupa: kendaraan yang sangat fleksibel untuk
dioperasikan di jalan-jalan kota besar yang lalu lintasnya belum tertatur, namun desain pintunya dapat mengharuskan
penumpang naik dan turun di halte-halte resmi. Sarana sistem transit publik lainnya di yang cukup populer bagi sebagian
warga Jakarta adalah KRL (Kereta Rel Listrik). KRL tersedia dalam tiga kelas, yang berbeda-beda tingkat layanannya,
yaitu: KRL Express AC, KRL Ekonomi AC, dan KRL Ekonomi (Non AC). Moda transpor model KRL juga
mengharuskan penggunanya untuk naik dan turun di stasiun. Gambar 8 memperlihatkan perbandingan kondisi sarana
transportasi KRL dan Busway di Jakarta.
Gambar 7
Public Transport di Jakarta: KRL Ekonomi, KRL AC & Trans Jakarta Busway
Pada sistem transit KRL dan Busway, proses naik dan turun penumpang tidak bisa di sembarang tempat, namun
harus di tempat perhentian khusus, yaitu halte-halte khusus busway dan peron stasiun. Gambar 9 memperlihatkan
prasarana tempat perhentian (halte) sistem transit model busway di Jakarta dan Yogyakarta.
Gambar 8
Jaringan Halte Sistem Busway: Halte Trans Jakarta & Halte Trans Jogja
Berdasarkan uraian Grigg (1988) mengenai infrastuktur kota, fasilitas transit di kawasan perkotaan merupakan
bagian dari kelompok transportation services group yang terletak di tepi jalan. Artinya fasilitas tersebut bersinggungan
langsung dengan kelompok jalan atau road groups. Road groups diperuntukkan bagi kendaraan bermotor, sementara itu,
pengguna fasilitas transit adalah manusia yang aktivitas geraknya terkait erat dengan jalur jalur pedestrian, dan tempat
perhentian kendaraan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jalur pedestrian. Akibatnya, apabila fasilitas
prasarana transit (halte dan tempat perhentian kendaraan) dan jalur pedestrian tidak dikelola dengan baik, akan
mengakibatkan terganggunya fungsi road groups dan transportation services.
Metode Penelitian
Pendapat masyarakat dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang diisi oleh responden. Guna menjaga
tingkat variansinya, maka dipergunakan sampel (n) dalam jumlah besar, yaitu sebanyak ≥ 30 responden (Kerlinger,
2006; Singarimbun, 1989). Kuesioner disusun sebanyak 15 pertanyaan yang mewakili kualitas prasarana (halte) dan
sarana (kendaraan) penunjang sisten transit bagi publik di Jakarta. Kualitas prasarana (halte) dan sarana (kendaraan)
sistem transit publik diukur menggunakan skala Likert (Bungin, 2008; Somantri., dan Muhidin, 2006), yang terdiri dari
lima skala (skala: 1 2 3 4 5) sebagai berikut:
- skala 1 mewakili kondisi sangat buruk
- skala 2 mewakili kondisi buruk
- skala 3 mewakili kondisi cukup/biasa saja
- skala 4 mewakili kondisi baik
- skala 5 mewakili kondisi sangat baik
Adapun, pendapat lain di luar sistem skala kuesioner dapat dihimpun dari komentar-komentar lisan dari diskusi singkat
dengan para responden saat kuesioner dibagikan. Responden yang dipilih berasal dari para mahasiswa pengguna public
transport di Jakarta (Jabodetabek). Artinya dipilih responden mahasiswa yang terbiasa menggunakan jasa: (1) angkot,
(2) bis kota, (3) busway, dan (4) kereta listrik (KRL).
Walaupun rata-rata score masih berada di bawah angka 3 (pada skala 1 – 5), terdapat beberapa point pertanyaan yang
mendapat respon yang cukup baik (score di atas 3,00), yaitu:
- Kenyamanan saat menunggu di halte busway 3,09
- Kualitas layanan busway sebagai angkutan publik 3,50
- Kenyamanan saat menggunakan busway 3,36
Data di atas menunjukkan bahwa score di atas 3,00 hanya dicapai pada fasilitas yang terkait dengan sistem transit
busway. Selain itu, data tersebut juga menunjukkan bahwa pada sistem busway, responden menilai kualitas sarana
(kendaraan) lebih baik daripada kualitas prasarananya (haltenya). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa baik
pendapat secara menyeluruh maupun secara khusus pada salah satu moda, responden tetap saja menilai bahwa kualitas
prasarana (halte/tempat perhentian) masih jauh dari harapan. Penelusuran lebih lanjut melalui data visual (foto-foto)
lapangan, juga semakin menguatkan pendapat publik tentang kualitas prasarana (halte) yang masih jauh tertinggal di
bandingkan kualitas sarana (kendaraan)nya. Maka dapat dikatakan bahwa pada umumnya kualitas prasarana kota pada
aspek sistem transit masih buruk, dan masih jauh dari tuntutan rancangan kota yang berkelanjutan.
Terdapat hal yang menarik dari penelitian ini, yaitu walaupun secara teknis transpostasi kereta listrik (KRL)
apalagi yang ber AC seharusnya jauh lebih nyaman daripada model ’busway’, namun masyarakat (responden) justru
merasa bahwa sistem transit model ‘busway’ lebih memenuhi harapan dibandingkan dengan model kereta listrik (KRL).
Hasil dari diskusi singkat dengan responden pada saat pembagian kuesioner secara umum menunjukkan bahwa pada saat
ini ’busway’ memiliki keunggulan berupa layanan jaringan yang lebih luas di pusat kota dibandingkan dengan kereta
listrik (KRL). Selain itu lebih banyaknya petugas yang siap memberikan petunjuk langsung membuat ‘busway’ dinilai
lebih unggul Kereta Listrik (KRL).
Kesimpulan
Terkait dengan rancangan kota yang memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, terlihat bahwa sistem transit
perkotaan (khususnya Jakarta) merupakan fasilitas yang sangat vital. Dari pengamatan pada hasil scoring kuesiner serta
komentar lisan para responden tentang lebih luasnya jaringan ’busway’ dibandingkan dengan jaringan KRL responden
menunjukkan bahwa masyarakat Jakarta sangat membutuhkan sistem transit massal yang dapat menjangkau seluruh
bagian kota dengan mudah. Selain itu, mudah tidak hanya diartikan ’mudah dan nyaman secara teknis’, namun sistem
informasi rute dan kedatangan kendaraan juga merupakan aspek ke’mudah’an yang dirasakan oleh pengguna. Hasil
pembandingan dari pengamatan di beberapa halte ’busway’ dan stasiun KRL menunjukkan bahwa walaupun antrian
penumpang sangat panjang dan berdesakan di beberapa halte transit ’busway’, namun penumpang lebih mudah
menemukan petugas lapangan. Sementara di stasiun KRL informasi lebih banyak menggunakan pengeras suara dan
tiupan peluit saat kereta melintas. Hal ini tidak menjadi masalah bagi pengguna jalur tetap, namun tampaknya agak
menyulitkan bagi pengguna yang sering naik dan turun di stasiun yang berbeda, atau sering namun tidak setiap hari
menggunakan sisten transit KRL.
Terkait dengan issue hemat energi, kota yang berkelanjutan dan mensejahterakan masyarakat seharusnya adalah
kota yang mampu melakukan konservasi sumber daya alamnya, diantaranya menekan konsumsi energi dan bahan bakar.
Sementara itu, kota-kota besar di Indonesia umumnya belum memiliki sistem transit dengan publik transport. Akibatnya
masyarakat kota lebih senang menggunakan kendaraan pribadi, sehingga kota-kota besar di Indonesia tidak mampu
menekan konsumsi energi dan bahan bakar. Dengan demikian dapat dikatakan kualitas sistem transit bagi publik masih
buruk, dan masih jauh dari tuntutan rancangan kota yang berkelanjutan.
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah, usulan untuk meningkatkan efisiensi sistem transit.
Efisiensi yang dimaksud adalah baik dari aspek prasarana maupun sarananya. Setidaknya penilaian yang baik terhadap
sistem busway dapat dijadikan sebagai kerangka dasar bagi pengembangan sistem public transport yang lebih maju di
kota-kota besar Indonesia. Meningkatnya kualitas layanan sistem transit bagi publik akan meningkatkan efisiensi
pergerakan manusia dan sekaligus menghemat penggunaan sumber daya alam yang tidak terbarukan. Manfaatnya,
menjadikan kota-kota di Indonesia sebagai kota yang berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Bungin, Burhan, (2008), "Metodologi Penelitian Kuanitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik Serta Ilmu-ilmu
Sosial Lainnya ", Kencana Perdana Media Grup, Jakarta.
Departemen Perhubungan, (1996), “Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor: 271/HK.105/DRJD/96
Tentang Pedoman Teknis Perekayasaan Tempat Perhentian Kendaraan Penumpang Umum”.
Grigg, S. Neil, (1988), "Infrastructure Engineering and Management ", John Willey & Sons, New York.
Kerlinger, Fred N., (2006), "Asas-asas Penelitian Behavioral", terj. Landung R.Simatupang, Gadjahmada University
Press, Yogyakarta.
Lloyd Wright, (2003), “Angkutan Bus Cepat”, Modul 3b: June 2003, Deutsche Gesellschaft für Technische
Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Germany. Online di: http://www.hubdat. web.id/literatur/AU/
Modul_3b_final.pdf [Diakses pada 17 Maret 2009].
“Santa Monica Sustainable City Plan”. Online di: www.smepd.org [Diakses pada 14 Desember 2008].
Singarimbun, Masri, (1989), "Metode Penelitian Survey", LP3ES, Jakarta.
Somantri, Ating., dan Sambas Ali Muhidin, (2006), "Aplikasi Statistika Dalam Penelitian ", Pustaka Setia, Bandung.
Sudarwanto, Budi, (2008), “Pembangunan Berkelanjutan”, Materi kuliah yang tidak dipublikasikan Program Pasca
Sarjana Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro.
Widagdo, Roni Suryo, (2008), “Kembalikan Fungsi Trotoar”. Jalan Raya.net: 2008. Online di:
www.jalanraya.net/index.php?option=com _content &task=view&id=48&Itemid=41 [Diakses pada 15 Desember
2008].