Anda di halaman 1dari 8

Seminar Nasional Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra

4-5 Mei 2012


Towards Emphatic Architecture
Menuju Arsitektur yang Berempati

Jalur Pejalan Kaki Yang Ramah Bagi Warga Kota Jakarta

Agus S Sadana 1

Abstract
Infrastructure for pedestrians is a core element in regional space plan. It functions to
facilitate human movement within a region or city. This paper is a result of the quantitative
research. Respondent of the research are the pedestrians, and the conclusion is idea of ideal
quality of facility and infrastrcture for them. While its long-term objectives and benefits are
making it as recommendation for regional space plan. Conclusion of this research would be
useful as basis in planning of regional circulating system design would create pro-urbanite
regional plan.
Keyword: Comfortable City, Pedestrian, Non Motorized Transportation

Abstrak
Prasarana kota bagi pejalan kaki merupakan elemen penting dalam rancangan kawasan.
Fungsinya adalah untuk memudahkan pegerakan manusia dalam berpindah tempat di dalam
kawasan maupun kota. Makalah ini disusun dari penelitian yang bersifat kuantitatif. Responden
penelitian ini adalah para pejalan kaki, dan hasil akhir dari penelitian ini adalah ditemukannya
kondisi prasarana transit yang dipandang ideal oleh pejalan kaki. Adapun tujuan dan mafaat
jangka panjang dari penelitian ini adalah sebagai rekomendasi dalam perancangan kawasan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu landasan dalam merancang
sistem sirkulasi kawasan, yang lebih sesuai dengan kebutuhan warga kota.
Kata Kunci: Kota Yang Ramah, Pejalan Kaki, Kendaraan Tidak Bermotor

Pendahuluan
Tersedianya ruang bagi pergerakan yang tidak menggunakan kendaraan bermotor
merupakan elemen penting dalam rancangan kota pada masa kini. Perkembangan
teknologi alat transportasi pada abad 2021 di Indonesia cenderung menyisihkan posisi
para pejalan kaki. Oleh karenanya diperlukan prasarana kota yang dapat memfasilitasi
para pejalan kaki. Hasil pengamatan visual menunjukkan bahwa bahwa umumnya
kondisi prasarana bagi pejalan kaki di kota-kota besar di Indonesia masih sangat
memprihatinkan, padahal fungsi dan ketetrsediannya sangat dibutuhkan untuk
memudahkan masyarakat berpindah tempat. Dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan hasil berupa gambaran mengenai harapan para pejalan kaki terkait

1
Dosen Tetap, Jurusan Arsitektur Universitas Pancasila, E-mail: sadana_m15@yahoo.com
Seminar Nasional Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
4-5 Mei 2012
Towards Emphatic Architecture
Menuju Arsitektur yang Berempati

penataan kota, khususnya pada kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang
mereka rasakan di Jakarta.
Metoda Penelitian
Penelitian dilaksanakan secara kuantitatif dengan mengumpulkan pendapat para
respoden. Pendapat responden dijaring dengan alat pengumpul data berupa kuesioner.
Jawaban responden diukur dengan skala likert untuk mengetahui pendapat mereka
mengenai faktor-faktor: kondisi fisik umum, suasana lingkungan, lebar lintasan, rasa
aman, kondisi permukaan trotoar, kemudahan mencapai halte dengan berjalan kaki,
kemudahan proses berpindah ke sistem angkutan massal, terpisahnya jalur pejalan kaki
dengan jalur sepeda, tersedianya angkutan sambungan tidak bermotor.
Untuk menghemat biaya dan waktu, maka responden dipilih dengan cara
menggunakan metoda convinience sampling. Untuk mengurangi risiko bias, dipilih
lokasi pengumpulan data yang berdekatan dengan sistem transportasi massal.
Tujuannya agar responden yang terjaring adalah betul-betul para pejalan kaki yang
rutin berpindah ke sistem angkutan umum massal untuk melanjutkan perjalanannya,
agar kuesioner diisi oleh responden yang betul-betul merasakan dan memahami fakto-
faktor yang ditanyakan
Lokasi Penelitian dan Responden
Penelitian dilaksanakan di kota Jakarta. Pada umumnya para pejalan kaki
membutuhkan system sambungan berupa sarana transportasi (kendaraan) public
untuk melanjutkan perjalanan ke tempat yang jauh. Oleh karena itu, lokasi-lokasi yang
dipilih adalah tempat-tempat yang banyak pejalan kakinya dan berdekatan dengan titik
perpindahan ke sistem angkutan umum massal.

Gambar 1. Lokasi Penelitian: (1) Sudirman-Thamrin, (2) Kalibata


Sumber: http://ekoka.wordpress.com
Seminar Nasional Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
4-5 Mei 2012
Towards Emphatic Architecture
Menuju Arsitektur yang Berempati

Lokasi yang terpilih adalah (1) daerah Jl. Sudirman-Thamrin, serta (2) daerah
kalibata. Daerah Jl. Sudirman-Thamrin dipilih karena dipandang dapat mewakili
kawasan pusat kota, berdekatan dengan sistem angkutan Kereta Commuter KRL, dan
bersinggungan langsung dengan sistem angkutan massal Busway. Daerah kalibata
dipilih karena merupakan daerah yang berada agak ke pinggir kota namun tingkat
kepadatannya masih cukup tinggi, dan berdekatan dengan sistem angkutan Kereta
Commuter KRL. Pemilihan lokasi di pusat kota dan pinggir kota bertujuan untuk
menemukan perbedaan karakteristik atau kebutuhan para pejalan kaki pada bagian
kota yang berbeda tingkat kesibukannya.
Studi Literatur
Kepentingan pejalan kaki adalah bagian dari sistem transportasi kota. Black dan
Nijkamp; Ahmed et al; dan Kenyon et al (dalam Nathan, 2011) menjelaskan bahwa
sektor transportasi dipengaruhi oleh perubahan sosial. Demikian pula dari sisi
perencanaannya, perencanaan transportasi akan berdampak pada rasa keadilan sosial.
Aktivitas berjalan kaki dan bersepeda tidak bisa lepas dari rutinitas harian sebagian
penduduk kota. Terkait dengan kepentingan pejalan kaki, prasarana kota dapat
diartikan sebagai suatu sistem bangunan pendukung yang diperlukan guna menjamin
kelangsungan sistem transportasi dengan berjalan kaki bagi orang-orang yang hidup
dan berada pada suatu wilayah tertentu.
Kepentingan pejalan kaki juga terkait aspek sistem transit kawasan, yaitu sistem
yang terdiri atas peralatan dan sarana yang dibutuhkan dalam rangka pergerakan
penumpang dan barang (artikata.com, 2012). Terkait dengan kajian sistem transit
perkotaan dan kawasan, pejalan kaki dapat dibagi ke dalam beberapa kategori: (1)
pejalan kaki penuh, (2) pejalan kaki pemakai kendaraan umun, (3) pejalan kaki pemakai
kendaraan umum dan kendaraan pribadi, (4) pejalan kaki pemakai kendaraan pribadi
(Rubenstein., dalam Iswanto, 2006).
Sistem transit merupakan salah prasarana kota yang masuk ke dalam road group
atau kelompok jalan, dan terkait erat dengan kelompok jasa transportasi. Sistem transit
terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) prasarana transit, dan (2) sarana transit.
(Grigg, 1988). Prasarana transit adalah kelengkapan sistem transit yang tidak bergerak,
seperti: jalan, jalur pejalan kaki, jalur sepeda, jembatan dan sebagainya. Sedangkan
sarana transit adalah kelengkapan sistem transit yang bergerak, yaitu kendaraan.
Terkait dengan fungsi jalur pejalan kaki sebagai prasarana kota, maka kinerja prasarana
tersebut akan memberikan andil pada kualitas kehidupan kota yang dilayaninya.
Widagdo (2008) menjelaskan bahwa trotoar adalah merupakan sarana tempat
orang melakukan aktivitas berjalan kaki, baik sekedar rekreasi atau sebuah upaya
untuk mencapai suatu tujuan. Aksesibilitas yang baik bagi pejalan kaki sangat
dibutuhkan. Pada kawasan yang dipenuhi oleh pejalan kaki, dibutuhkan trotoar yang
Seminar Nasional Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
4-5 Mei 2012
Towards Emphatic Architecture
Menuju Arsitektur yang Berempati

lapang sebagai sarana aksesibilitas bagi mereka. Trotoar dibangun untuk menyediakan
tempat bagi pejalan kaki, pemakai kursi roda, dan kereta bayi agar dapat berjalan
dengan lancar, aman, nyaman dan tidak mengganggu kelancaran lalu lintas serta
menghindari kecelakaan.

Gambar 2. Suasana kawasan pejalan kaki di Singapura

Dari pandangan public spaces, terdapat hal yang penting meyangkut hubungan
antara kendaraan bermotor dengan alur gerak pejalan kaki. Shaftoe (2008)
menjelaskan bahwa tidak terkecuali orang-orang yang tinggal di sekitarnya, ruang
publik yang baik adalah yang mudah dicapai dengan berbagai jenis trasportasi, namun
tidak sampai didominasi oleh kehadiran alat transport tersebut. Mengacu kepada
kesinambungan fungsi antara jalur pedestrian dengan sistem public transport,
diperlukan syarat-syarat tertentu pada pelataran bagi pejalan kaki. Pelataran bagi
pejalan kaki disebut sebagai trotoar, dan umumnya sejajar dengan jalan. Karena
fungsinya untuk menjamin kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi pejalan kaki,
maka trotoar perlu diberi lapisan permukaaan dengan elevasi yang lebih tinggi dari
permukaan perkerasan jalan (Dep. Pekerjaan Umum, 1999).
Terkait dengan kajian liveable city, terdapat banyak faktor yang akan menentukan
kelayakan suatu kota sebagai tempat tinggal manusia. Salah satu di antaranya adalah
kualitas fasilitas bagi pejalan kaki. Artinya kualitas fasilitas bagi pejalan kaki turut
memberikan andil dalam menentukan livability suatu kota atau kawasan. Mengenai
keamanan dan kenyamanan, Ismail (2011) menyebutkan bahwa tingkat kenyamanan
pejalan kaki dapat ditinjau dari beberapa faktor: (1) sirkulasi, (2) panas matahari dan
suhu mikro, (3) keadaan bentuk lansekap jalur trotoar, (4) keindahan, (5) keselamatan
atau keamanan. Agar jalur pejalan kaki memenuhi fungsi dan kebutuhan, serta
Seminar Nasional Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
4-5 Mei 2012
Towards Emphatic Architecture
Menuju Arsitektur yang Berempati

memberikan kenyamanan fisik dan psikologis bagi pemakainya, maka perlu


dipertimbangkan beberapa faktor: (1) keseimbangan interaksi antara pejalan kaki dan
kendaraan, (2) kecukupan ruang bagi pejalan kaki, (3) fasilitas yang menawarkan
kesenangan, dan (4) tersedianya fasilitas publik yang menyatu dan menjadi elemen
penunjang (Shirvani, 1985).

Hasil Pengolahan Data dan Analisis


Data yang telah diperoleh kemudian diolah dan ditabulasikan ke dalam tabel
untuk dianalisis. Hasil pengolahan data memberikan informasi mengenai kondisi yang
dirasakan dan diharapkan oleh para responden. Kondisi yang dirasakan dan diharapkan
oleh responden dipandang dapat menggambarkan pendapat warga kota.
Dari score rata-rata, secara garis besar terlihat adanya kesamaan tingkat
kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dirasakan oleh pejalan kaki di pusat
kota (-1,07) dan pinggir kota (-1,07). Hal ini menunjukkan adanya kesamaan kondisi
fasilitas bagi pejalan kaki di pusat kota dan pinggir kota.
Dari kelompok jawaban tentang kenyataan yang dirasakan oleh pejalan kaki,
terlihat bahwa kondisi di pusat kota (rata-rata 2.93) sedikit lebih baik daripada kondisi
di pinggir kota (rata-rata 2,82). Walaupun kondisi di pusat kota lebih baik daripada di
pinggir kota, kondisi tersebut masih jauh dari ideal. Hal ini terlihat dari score (2,93) di
pusat kota yang masih kurang dari nilai tengah (3,00). Nilai tengah 3,00 berada pada
rentang 1,00 (sangat buruk) sampai dengan 5,00 (sangat baik).
Dari kelompok jawaban tentang kondisi yang diharapkan, terlihat bahwa para
pejalan kaki di pusat kota mengidamkan kondisi yang baik (score 4,00). Adapun pejalan
kaki di pinggir kota memiliki tingkat toleransi yang lebih longgar (score 3,98). Apabila
dikaitkan dengan tingkat kesibukan antara pusat kota dengan pinggir kota, hal ini
terlihat sesuai. Tingkat kesibukan yang lebih tinggi di pusat kota menuntut kondisi
fasilitas yang lebih baik daripada di pinggir kota yang tingkat aktivitasnya lebih rendah.
Selisih antara harapan responden di pusat kota (4,00) dengan di pinggir kota (3,98)
adalah sebesar 0,02. Pada skala 1,00 sampai dengan 5,00 score sebesar 0,02 adalah
nilai yang sangat kecil. Artinya walaupun pejalan kaki di pinggir kota lebih toleran
dibandingkan dengan pejalan kaki di pusat kota, mereka mengidamkan kondisi yang
hampir sama baiknya.
Seminar Nasional Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
4-5 Mei 2012
Towards Emphatic Architecture
Menuju Arsitektur yang Berempati

Tabel 1. Pendapat Responden Mengenai Kondisi Jalur Pejalan Kaki

Area Bisnis di Pusat Kota Area Bisnis di Pinggir Kota


Faktor-faktor Yang
No. Kesenjang Kesenjang
Diteliti Kenyataan Harapan Kenyataan Harapan
an an

1 Kondisi fisik umum 3,3 4,20 -0,90 3,19 4,13 -0,94


2 Suasana lingkungan 3,03 3,97 -0,94 2,61 4,28 -1,67
3 Lebar lintasan 3,19 3,99 -0,80 3,06 4,15 -1,09
4 Rasa aman 3,1 4,24 -1,14 2,82 4,2 -1,38
Kondisi permukaan
5 2,66 3,85 -1,19 2,69 3,75 -1,06
trotoar

Kemudahan
6 mencapai halte 3,63 4,15 -0,52 3,83 4,2 -0,37
dengan berjalan kaki

Kemudahan proses
7 berpindah ke sistem 3,09 4,18 -1,09 2,61 4,28 -1,67
angkutan massal

Terpisahnya jalur
8 pejalan kaki dengan 2,18 4,11 -1,93 2,52 3,15 -0,63
jalur sepeda

Tersedianya
9 angkutan sambungan 2,15 3,33 -1,18 2,08 2,9 -0,82
tidak bermotor

Rata-rata 2,93 4,00 -1,07 2,82 3,89 -1,07


Sumber: Hasil pengolahan data dari responden
Lebih lanjut, dari data pada Tabel 1 dapat ditelusuri adanya tingkat kesenjangan
(1,07 di pusat kota, dan 1,07 di pinggir kota) antara kondisi yang dirasakan dengan
kondisi yang diharapkan yang perlu mendapat perhatian. Walaupun tingkat
kesenjangannya tidak terlalu tajam (rata-rata -1,07 pada skala 1,00 5,00), terlihat
bahwa pada seluruh faktor yang diteliti memiliki nilai kesenjangan negatif (-). Artinya
dari seluruh faktor yang diteliti, tidak ada satupun yang betul-betul memenuhi harapan
warga kota. Oleh karena itu diperlukan adanya langkah-langkah perbaikan prasarana
bagi pejalan kaki di kota Jakarta.
Berdasarkan pendapat responden, dapat diketahui faktor-faktor yang dipandang
penting oleh pejalan kaki adalah: (1) kondisi fisik yang terlihat, (2) suasana lingkungan
yang menyenangkan, (3) ruang gerak yang lapang pada jalur pejalan kaki, (4) adanya
rasa aman saat melintas, (5) kemudahan menemukan dan mencapai halte atau tempat
Seminar Nasional Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
4-5 Mei 2012
Towards Emphatic Architecture
Menuju Arsitektur yang Berempati

perhentian kendaraan umum, (6) kemudahan berpindah dari dan ke sistem angkutan
umum massal, dan (7) terpisahnya jalur pejalan kaki dari jalur kendaraan tidak
bermotor. Selanjutnya, dari tujuh faktor yang dipandang penting, terdapat empat
faktor yang dipandang sangat penting oleh pejalan kaki, yaitu: (1) kondisi fisik yang
terlihat, (2) adanya rasa aman saat melintas, (3) kemudahan menemukan dan
mencapai halte dengan berjalan kaki, serta (4) kemudahan berpindah dari dan ke
siatem angkutan umum. Faktor-faktor tersebut dipandang penting oleh pejalan kaki
karena memiliki nilai harapan di atas 4,00 (berada pada rentang 4,20 sampai 4,28).
Uraian yang lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Faktor-faktor Yang Dipandang Penting Oleh Pejalan Kaki


Lokasi
No. Faktor-faktor Yang Diteliti Arti
Pusat Kota Pingir Kota

1 Kondisi fisik umum 4,20 4,13 Sangat Penting


2 Suasana lingkungan 4,28 Penting
3 Lebar lintasan 4,15 Penting
4 Rasa aman 4,24 4,20 Sangat Penting
Kemudahan mencapai halte dengan
5 4,15 4,20 Sangat Penting
berjalan kaki

Kemudahan proses berpindah ke


6 4,18 4,28 Sangat Penting
sistem angkutan massal

Terpisahnya jalur pejalan kaki


7 4,11 Penting
dengan jalur sepeda

Keterangan: hanya dipilih faktor-faktor yang memiliki score 4,00 atau lebih

Kesimpulan
Secara umum terdapat kondisi fasilitas pejalan kaki yang hampir sama, baik di
pusat kota mapun di pinggir kota. Selanjutnya, walaupun jalur pejalan kaki di pusat
kota lebih baik daripada di pinggir kota, kondisi tersebut masih jauh dari ideal.
Terkait dengan perbedaan tingkat aktivitasnya, pejalan kaki di pinggir kota
mempunyai tingkat toleransi yang lebih tinggi dari pada pejalan kaki di pusat kota,
terhadap kondisi fasilitas yang tersedia, namun mereka (baik di pusat maupun pinggir
kota) mengidamkan kondisi yang hamper sama baiknya. Mereka tidak menuntut
fasilitas pejalan kaki yang sempurna, tetapi mengharapkan kualitas yang baik.
Seminar Nasional Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
4-5 Mei 2012
Towards Emphatic Architecture
Menuju Arsitektur yang Berempati

Dari Sembilan faktor yang dipakai sebagai acuan dalam penelitian, terdapat empat
faktor yang dipandang sangat penting atau menjadi prioritas, yaitu: (1) kondisi fisik
yang terlihat, (2) adanya rasa aman saat melintas, (3) kemudahan menemukan dan
mencapai halte dengan berjalan kaki, serta (4) kemudahan berpindah dari dan ke
siatem angkutan umum.

Daftar Pustaka
Burton, El, dan Lynne Mitchell, (2006), Inclusive Urban Design: Streets for Life,
Architectural Press, Burlington MA.
Danoe Iswanto, (2006), Pengaruh Elemen-elemen Pelengkap Jalur Pedestrian Terhadap
Kenyamanan Pejalan Kaki, Jurnal Enclosure Vol 5, No. 1, Maret 2006.
Dep. Pekerjaan Umum, (1999), Pedoman Teknik Perencanaan Jalur Pejalan Kaki Pada
Jalan Umum No. 032/T/BM/1999, Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum
Mediatama Saptakarya.
Grigg, S. N., (1988), Infrastructure Engineering and Management, John Willey & Sons,
New York.
Ismail, Putera Rahmat., (2011). Tingkat Kenyamanan Pejalan Kaki Dan Faktor-faktor
Yang Mempengaruhi Pada Area Streetscape Lawasan Malioboro. Tesis
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Joewono, T. B., (2005), The Characteristics of Paratransit and Non-Motorized Transport
in Bandung Indonesia, Journal of the Eastern Asia Society for Transportation
Studies, Vol. 6, pp. 262 - 277, 2005.
Rubenstein, H. M., (1992), Pedestrian Malls, Streetscapes, And Urban Spaces, John
Willey & Sons, New York.
Sadana, Agus S., (2009), Kualitas Prasarana Sistem Transit dan Jalur Pejalan
Kaki di Ruang Publik Margonda Depok. Penelitian yang tidak
dipublikasikan dalam rangka tugas kuliah Magister Teknik Arsitektur
Alur Perancangan Kota, Universitas Dipenegoro, Semarang.
Shirvani, Hamid., (1985), The Urban Design And Process, Van Nostrand Reinhold
Company, New York, 1985.
Soefaat., et. al., (1997), Kamus Tata Ruang, Direktorat Jenderal Cipta Karya
Departemen Pekerjaan Umum dan Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia, Jakarta.
Velotaxi: Advertising in motion on CityCruisers. Online di: http://www.velotaxi.de/
php/main. php?id=1&lang=en [Diakses pada 21 Maret 2011].

Anda mungkin juga menyukai