CRITICAL REVIEW
Dosen Pengampu :
Reviewer:
Andrian Surahman
NIM 170520220008
Peningkatan populasi perkotaan tidak hanya berarti bahwa lebih banyak orang akan
tinggal dan bekerja, tetapi juga akan ada lebih banyak lalu lintas penumpang dan barang pada
jaringan transportasi perkotaan. Peningkatan perjalanan terjadi tidak hanya dari segi jumlah
perjalanan, tetapi juga dari segi jarak dan pertumbuhan wilayah perkotaan yang lebih besar.
Strategi yang dipilih untuk menangani masalah lalu lintas perkotaan akan menentukan sejauh
mana masyarakat dan lingkungannya terkena dampak. Sudah diterima secara luas bahwa
sistem transportasi perkotaan yang dikelola dengan baik akan sangat mempengaruhi
perekonomian perkotaan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, sedangkan
transportasi perkotaan yang tidak efisien akan menjadi penyebab utama masalah tersebut. .
Sayeg dkk. (1992) melaporkan bahwa di Bangkok, kemacetan dan polusi udara
telah mencapai tingkat yang serius meskipun hanya memiliki 72 kendaraan bermotor per
1000 orang. Midgley (1994) melaporkan bahwa pada jam-jam sibuk, lalu lintas jalan di
Jakarta hanya bergerak kurang dari 10 km/jam dan hanya memiliki 142 kendaraan
bermotor/1000 penduduk. Barter et al (1994) memprediksi bahwa kota-kota yang
berkembang pesat seperti: Surabaya dan Manila akan menghadapi masalah serupa karena
tidak adanya kebijakan lalu lintas yang tepat yang dapat mengurangi kemacetan dan masalah
polusi udara. LPM-ITB (1992) juga melaporkan bahwa di Jakarta, Bandung, Surabaya dan
Medan, sektor transportasi menyumbang lebih dari 55,2% dari total pencemaran udara di
empat kota metropolitan tersebut.
Masalah ini dipicu oleh kapasitas pengiriman yang tidak mencukupi; hal ini dapat
ditentukan oleh kurangnya pasokan transportasi, manajemen penggunaan kendaraan yang
buruk, penggunaan lahan dan pola permintaan perjalanan, efisiensi kapasitas kendaraan, dll.
Kawasan perkotaan di negara berkembang, seperti Indonesia, dicirikan oleh permasalahan
tersendiri dalam operasional transportasi perkotaan, seperti aktivitas non-lalu lintas di jalan,
parkir yang tidak sehat, manajemen di jalan, jaringan angkutan umum yang tidak terstruktur
dan pembangunan perkotaan yang tidak terkendali. Padahal, seiring dengan meningkatnya
angka pengangguran terkait krisis keuangan di Indonesia, kapasitas jaringan jalan semakin
menyusut akibat masuknya pedagang kaki lima dan pengusaha, jalan tol, parkir pinggir jalan,
yang kesemuanya dapat mengurangi lalu lintas jalan. kapasitas 50%.
Alternatif kebijakan yang paling mungkin dan terbukti secara signifikan lebih
efektif dalam mengatasi masalah transportasi dan degradasi lingkungan di daerah perkotaan
adalah manajemen permintaan transportasi (TDM). Strategi pembangunan berkelanjutan TCT
didasarkan pada tiga pilar: program; Pertama, mengoptimalkan pasokan transportasi yang
ada, kedua, mengelola permintaan dan ketiga, menggunakan moda transportasi yang ramah
lingkungan. Optimasi dapat dilakukan dengan:
• Memaksimalkan penggunaan jalan untuk lalu lintas (misalnya membatasi parkir di jalan,
menghilangkan sumber gesekan lateral lainnya),
• Mengurangi jumlah mobil di jaringan jalan (misalnya pembatasan transportasi,
mempromosikan angkutan umum, carpooling),
• Mengelola permintaan perjalanan (misalnya : restrukturisasi penggunaan lahan, perilaku
perjalanan yang cerdas),
• Menggunakan moda transportasi ramah lingkungan (misalnya peningkatan kendaraan
pembakaran, bahan bakar alternatif, energi terbarukan)
Masalah angkot bukanlah hal baru. Namun, masalahnya masih ada dan masih
tertunda. Probabilitas pemilihan moda akan berubah dari waktu ke waktu dan juga dapat
berubah, tergantung pada situasi atau keadaan angkutan umum pada saat penelitian. Kajian
ini memberikan catatan tentang pilihan-pilihan di kota Bandung, yang berguna bagi
pengambil kebijakan untuk mengatasi masalah lalu lintas dan untuk penelitian lebih lanjut.
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyasar angkutan umum pada
umumnya, angkutan umum dalam penelitian ini secara khusus berkaitan dengan angkot,
atribut lokal yang sangat khas kota Bandung.
Seiring dengan perubahan tren ini, banyak negara di Eropa (Prancis, Jerman,
Belanda, Rumania), Australia dan Asia telah menerapkan kebijakan untuk membatasi
penggunaan mobil pribadi daripada transportasi, komunikasi publik (Nurden et al., 2007).
Selain mengurangi kemacetan, penelitian lain menunjukkan bahwa peralihan dari moda
pribadi ke angkutan umum juga akan berdampak positif bagi kesehatan manusia dan
lingkungan (Rabl & de Nazelle, 2012). Sementara transfer modal ini dipandang sebagai
strategi yang ideal untuk mengurangi kemacetan dan memperbaiki lingkungan, kebijakan
yang mempromosikan penggunaan metode yang lebih berkelanjutan harus mengakui bahwa
ada heterogenitas antara tujuan wisata dan tamu (Etema et al., 2015). Preferensi masyarakat
terhadap sarana transportasi tertentu di atas yang lain sangat dipengaruhi oleh perilaku dan
sikap masyarakat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengguna kendaraan pribadi
masih dapat memilih untuk menggunakan kendaraannya sendiri (Satiennam et al., 2016 dan
Dickinson & Dickinson, 2010). Menurut sebuah studi oleh Batty et al. (2015), insentif modal
Konversi dari angkutan pribadi ke angkutan umum dapat diklasifikasikan menjadi dua
kategori: 1) Tarik langkah-langkah untuk membujuk wisatawan untuk menggunakan
angkutan umum angkutan, seperti peningkatan kualitas individu atribut sistem angkutan
umum perkotaan (keselamatan dan keamanan, tingkat kenyamanan, informasi, frekuensi dan
keandalan, kecepatan/waktu perjalanan, multimodalitas/kegunaan) dan peringkat kualitas
angkutan umum; dan 2) mendorong tindakan yang melarang pengunjung menggunakan mobil
pribadi, seperti biaya kemacetan, pengaturan parkir, dan formulir/rencana zonasi.
Pilihan mode sangat tergantung pada karakteristik operator tur. Dalam studi ini,
rezim shift hanya berfokus pada konteks pekerja, mengingat kelompok ini memiliki potensi
yang tinggi untuk menghasilkan perjalanan. Transportasi ke tempat kerja merupakan
penyumbang utama volume lalu lintas (Hasan, 2016). Penelitian sebelumnya oleh Susilo et
al. (2007) menunjukkan bahwa dari tahun 1985 hingga 2000, tingkat produksi pariwisata
tenaga kerja di wilayah ibu kota Jakarta adalah 2,28 putaran per hari, dua kali lipat dari ibu
rumah tangga atau pensiunan. Dalam kasus Bandung, sekitar 53,7 juta penduduk Bandung
dimobilisasi pada hari kerja untuk pergi bekerja dan sekolah (Triani 2019 dalam Afalia &
Rachmat, 2020). Fakta ini menunjukkan bahwa perjalanan bisnis sangat mempengaruhi lalu
lintas harian. Selain itu, sifat perjalanan bisnis yang dibatasi waktu sering kali menyebabkan
lalu lintas padat selama jam sibuk.
DAFTAR PUSTAKA
Abou-Zeid, M., & Ben-Akiva, M. (2011). The effect of social comparisons on commute
wellbeing. Transportation Research Part A: Policy and Practice, 45(4), 345–361.
Abou-Zeid, M., & Ben-Akiva, M. (2012). Travel mode switching: Comparison of findings
from two public transportation experiments. Transport Policy, 24, 48–59.
Abou-Zeid, M., & Scott, D. M. (2011). Current issues in mode choice modeling.
Transportation, 38(4), 581.
Abou-Zeid, M., Witter, R., Bierlaire, M., Kaufmann, V., & Ben-Akiva, M. (2012). Happiness
and travel mode switching: Findings from a Swiss public transportation
experiment. Transport Policy, 19(1), 93–104.
Afalia, D. N., & Rachmat, S. Y. (2020). Built environment and parking pricing: Probability
on changing mode choice in Bandung urban area. IOP Conference Series: Earth
and Environmental Science, 592, 012003
Bandung Statistics Agency. 2014. Bandung City in Figure 2014. Bandung: Badan Pusat
Statistik Kota Bandung.
Batty, P., Palacin, R., & González-Gil, A. (2015). Challenges and opportunities in developing
urban modal shift. Travel Behaviour and Society, 2(2), 109–123.
Ben-Akiva, M., Mcfadden, D., Train, K., Walker, J., Bhat, C., Bierlaire, M., Bolduc, D.,
Boersch-Supan, A., Brownstone, D., Bunch, D. S., Daly, A., de Palma, A.,
Gopinath, D., Karlstrom, A., & Munizaga, M. A. (2002). Hybrid Choice
Models: Progress and Challenges. Marketing Letters, 13(3), 163–175.
Ben-Akiva, M., Morikawa, T., & Shiroishi, F. (1992). Analysis of the reliability of preference
ranking data. Journal of Business Research, 24(2), 149–164.
Cervero, R., & Golub, A. (2007). Informal transport: A global perspective. Transport Policy,
14(6), 445–457
Development (ICCESD 2016), 12~14 February 2016, KUET, Khulna, Bangladesh (ISBN:
978-984-34-0265-3) Indonesian Government Regulation No. 26/2008.
Dickinson, J. E., & Dickinson, J. A. (2006). Local Transport and Social Representations:
Challenging the Assumptions for Sustainable Tourism. Journal of Sustainable
Tourism, 14(2), 192–208.
Ettema D., Friman M., Gärling T., Olsson L.E. (2016) Travel Mode Use, Travel Mode Shift
and Subjective Well-Being: Overview of Theories, Empirical Findings and
Policy Implications. In: Wang D., He S. (eds) Mobility, Sociability and Well-
being of Urban Living. Springer, Berlin, Heidelberg.
Farda, M., & Balijepalli, C. (2018). Exploring the effectiveness of demand management
policy in reducing traffic congestion and environmental pollution: Car-free day
and odd-even plate measures for Bandung city in Indonesia. Case Studies on
Transport Policy, 6(4), 577–590.
Ferguson, E. (2000). Travel Demand Management and Public Policy (1st ed.). Routledge.
Hassan, S, et al. (2016). Evaluation of Buses and Cars as Transportation Modeto Workplace.
Proceedings of the 3rd International Conference on Civil Engineering for
Sustainable
Ison, S., & Rye, T. (2008). The Implementation and Effectiveness of Transport Demand
Management Measures: An International Perspective. Hampshire: Ashgate
Publishing Limited
Joewono, T. B., & Kubota, H. (2005). The Characteristics of Paratransit and Non-Motorized
Transport in Bandung, Indonesia. Journal of the Eastern Asia Society for
Transportation Studies, 6, 262–277.
Joewono, T.B., & Kubota, H. (2008). Paratransit Service in Indonesia: User Satisfaction and
Future Choice. Transportation Planning and Technology, 31(3), 325–345.
Kingham, S., Dickinson, J., & Copsey, S. (2001). Travelling to work: will people move out of
their cars. Transport Policy, 8(2), 151–160.
Knowles, R.D., Shaw, J. and Docherty, I. (Eds.) (2008) Transport Geographies: Mobilities,
Flows and Spaces. Blackwell Publishing: Malden, MA, USA. ISBN
9781405153225
Kumar, C., & Ganguly, A. (2018). Travelling Together but Differently: Comparing
Variations in Public Transpit User Mode Choice Attributes Across Newdelhi
and Newyork. Theoretical and Empirical Researches in Urban Management
Volume 13 Issue 3.
Li, G., Zhang, J., Nugroho, S. B., Linh, T. N., & Fujiwara, A. (2011). Analysis of Paratransit
Drivers’ Stated Job Choice Behavior under Various Policy Interventions
Incorporating the Influence of Captivity: A Case Study in Jabodetabek
Metropolitan Area, Indonesia. Proceedings of the Eastern Asia Society for
Transportation Studies, 2011, 215.
Márquez, L., Pico, R., & Cantillo, V. (2018). Understanding captive user behavior in the
competition between BRT and motorcycle taxis. Transport Policy, 61, 1–9.
Nurden, A., Rahmat, R. A. O. K., & Ismail, A. (2007). Effect of Transportation Policies on
Modal Shift from Private Car to Public Transport in Malaysia. Journal of
Applied Sciences 7(7): 1014-1018, 2007. ISSN 1812-5654.
Ortuzar, J. D., & Willumsen, L. G. (2011). Modelling Transport: Fourth Edition. West
Sussex. John Wiley and Sons, Ltd.
Peranginangin, Y., Andi, A., & Sisilia, K. (2018). Route Recommendation Using Community
Detection Algorithm (Case: Kota Bandung). 2018 6th International Conference
on information and Communication Technology (ICoICT), 113–118.
Wei, L., Gao, W., & Li, C.-B. (2018). Supply And Demand Structure Non-equilibrium Model
of City Agglomeration Transportation System. Proceedings of the 2017 3rd
International Forum on Energy, Environment Science and Materials (IFEESM
2017), 1127–1131.