Ringkasan Eksekutif
Pertumbuhan ekonomi di Kota Semarang telah membawa akibat samping berupa
terjadinya kerusakan lingkungan, kemacetan lalu lintas, meningkatnya sektor informal
dan pengangguran, kriminalitas, serta berbagai konflik sosial politik lainnya. Fenomena ini
menjadi kajian bahwa Kota Semarang tengah mengalami urbanisasi berlebih yakni
ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonominya.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mempelajari dinamika proses urbanisasi
di Kota Semarang dengan mengidentifikasi determinan pokok urbanisasi serta
mengidentifikasi dampak dan kaitan urbanisasi dengan kualitas hidup yang diidentifikasi
dari faktor-faktor sosial, ekonomi, dan demografi. Metode penelitian ini adalah melalui
survei yang menggunakan data sekunder dari BPS (Biro Pusat Statistik) dan instansi
lainnya, data hasil wawancara, Focus Group Discussion dan observasi lapangan.
Lingkupnya adalah studi kependudukan yang menggabungkan antara variabel demografis
dan variabel non-demografis. Dengan kata lain ini adalah penelitian kualitatif yang
digabung dengan penelitian kuantitatif.
Penelitian menyimpulkan bahwa : 1). Proses urbanisasi di Kota Semarang berlangsung
sejak jaman kolonial hingga proses kapitalisasi yang terkait dengan pasar global; 2).
Determinan utama urbanisasi di Kota Semarang adalah gabungan simultan antara
tekanan perdesaan dan daya tarik kota yang dipandang selalu dapat menyediakan
lapangan kerja; 3). Dampak urbanisasi di Kota Semarang adalah involusi perkotaan yang
ditandai pertumbuhan sektor jasa dan sektor informal, dan sektor informal seakan selalu
bisa dimasuki oleh pekerja baru. Sektor industri dan pertanian menurun perannya,
sebaliknya sektor informal semakin meningkat. Dampak lain adalah menurunnya mutu
atau kualitas hidup yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti kerusakan lingkungan,
kemacetan lalu lintas dan tingginya angka kejahatan.
Saran yang disampaikan adalah isu megapolitan sudah terlampaui, sehingga yang perlu
menjadi perhatian adalah gejala megaregional. Hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut
adalah mengusahakan keterkaitan antara lokalitas dengan sistem produksi dan ekonomi
global di wilayah tersebut untuk menyejahterakan penduduk dan mencegah arus migrasi
ke kota-kota besar. Variabel daya dukung lingkungan dan variabel daya tampung
sosial perlu ditambahkan untuk mengukur terjadinya urbanisasi.
Isu Masalah
Sejak tahun 1990-an Kota Semarang terus berkembang termasuk daerah di belakangnya.
Perkembangan tersebut ditandai dengan pertumbuhan jumlah penduduk serta
pertumbuhan ekonominya. Permasalahan yang muncul adalah bahwa apakah
pertumbuhan jumlah penduduk juga diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang
mencukupi untuk memberikan kesempatan kerja yang layak bagi sebagian besar
penduduknya agar kualitas hidupnya semakin baik ?
Fakta historis menunjukkan bahwa proses urbanisasi sudah berlangsung sejak
kedatangan kolonial Belanda. Pertumbuhan Kota Semarang makin pesat setelah
dibangun pelabuhan udara dan laut, serta berbagai sarana industri dan jasa. Hal yang
pasti bahwa sampai saat ini urbanisasi berlebih di Kota Semarang masih tetap membawa
berbagai persoalan, baik masalah sosial, ekonomi, dan politik.
Berbagai hasil studi memang telah banyak menunjukkan bahwa dampak urbanisasi
berlebih sangat banyak, misalnya masalah kemiskinan, pengangguran, kriminalitas,
polusi, ketimpangan antardaerah, gejala urban primacy, dan seterusnya.
Gejala dan dampak urbanisasi berlebih juga masih terus diperdebatkan apakah sebagai
penghambat pembangunan atau sebaliknya. Pertanyaan seperti apakah benar masalah
kemiskinan, pengangguran, ketimpangan pembangunan, kriminalitas, polusi,
pertumbuhan kawasan kumuh, dan sebagainya sebagai sebuah gejala dan dampak
urbanisasi berlebih juga perlu dijawab dengan jelas. Kesemua dampak tersebut
dianggap sebagai hal yang dapat menghambat pembangunan kota.
Gejala urban primacy misalnya masih diperdebatkan apakah kota besar akan berperilaku
sebagai parasit bagi kota-kota kecil di sekitarnya atau sebaliknya malah mendorong atau
generatif. Perdebatan tentang dampak ini terus berlanjut sejak dari konsep dependensi
Andre Gunder Frank, teori Gilbert dan Gugler, Hirschman, Friedman, sampai yang
optimistik seperti Terry McGee yang menyatakan bahwa urbanisasi akan menjadi
pertanda kemajuan sebuah kota.
Hal yang jelas dapat diamati, pertumbuhan ekonomi di Kota Semarang telah
menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan seperti banjir, rob, tanah longsor,
berkurangnya resapan air, berkurangnya taman terbuka. Demikian pula kriminalitas
juga meningkat, kemacetan lalu lintas, meningkatnya sektor informal dan gejala
pengangguran lainnya, konflik sosial, banyaknya aksi unjuk rasa, dan berbagai krisis
lainnya.
Hal lain yang masih menjadi persoalan adalah teori tentang urbanisasi berlebih
didasarkan atas pengalaman negara-negara maju, dengan tingkat urbanisasi yang
sebanding dengan tingkat industrialisasinya. Di negara-negara maju telah terjadi
transformasi ketenagakerjaan yang relatif evolutif dan linier, yakni dari sektor pertanian
ke sektor industri baru muncul sektor jasa. Sebaliknya di negara-negara berkembang
seperti Indonesia, transformasi tersebut tidak linier, karena langsung melompat dari
sektor pertanian ke sektor jasa tanpa melalui sektor industri.
Latar Belakang Masalah
Semarang tengah mengalami pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang
sangat pesat. Sebagai ibukota Propinsi Jawa Tengah, Semarang terletak pada posisi
strategis di jalur pantai utara dan sebagai simpul regional dan nasional. Kota Semarang
Opsi Kebijakan
Urbanisasi berlebih akan tidak mudah dibendung di masa mendatang karena hal ini tidak
hanya terkait dengan masalah internal di Kota Semarang, namun terkait dengan
kebijakan pembangunan di tingkat nasional dan regional. Fakta bahwa arus migrasi
terus dapat ditampung di Kota Semarang tidak hanya dapat dipahami bahwa kota ini
mampu berperan sebagai pull factor, namun juga akibat adanya push factor dari
wilayah perdesaan. Dengan kata lain, kebijakan untuk mengurangi arus migrasi harus
dilakukan secara simultan, baik antara kebijakan pembangunan di tingkat nasional dan
regional, maupun antara perdesaan dan perkotaan.
Selanjutnya dari sisi internal di Kota Semarang, pemerintah kota harus mulai serius
untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan di wilayahnya dengan cara yang
benar. Artinya rencana kota yang dibuat harus didasarkan atas studi yang mendalam
sehingga dapat ditentukan mana saja kawasan budidaya dan mana saja kawasan yang
harus dilindungi. Dengan cara seperti ini, rencana kota bukan hanya sekadar pelengkap
administratif, melainkan benar-benar dapat digunakan sebagai acuan pembangunan. Jika
hal ini dapat dipenuhi maka pemerintah kota akan dapat menghitung seberapa besar
daya dukung lingkungan masih dapat diusahakan untuk mencukupi daya tampung sosial.
Kota Semarang masih memiliki peluang untuk menata ulang rencana kotanya karena
kota ini relatif belum overpopulated seperti Jakarta misalnya, karena ruang terbuka di
kota ini masih cukup luas.
Pemerintah Kota Semarang harus mampu meningkatkan produktivitas masyarakat
miskin dengan memperbaiki kehidupan, meningkatkan akses kepada infrastruktur dan
fasilitas jasa sosial. Untuk menuju ke arah ini ada beberapa cara yang harus ditempuh,
yakni : 1). Melakukan pelatihan untuk meningkatkan mutu dan skill ; 2). Menjamin akses
golongan miskin terhadap fasilitas jasa-jasa sosial dan infrastruktur; 3). Dalam jangka
pendek memberikan proyek untuk mengamankan nasib masyarakat miskin.
Selanjutnya terkait dengan permasalahan di tingkat regional, implikasi kebijakan yang
diambil pemerintah kota dan kabupaten di wilayah Kedungsepur ini ialah, bagaimana
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang memiliki inovasi untuk bekerja secara
mandiri. Pada satu sisi memang satu hal yang menggembirakan tumbuhnya jiwa
kewirausahaan ini, namun di sisi lain, merosotnya daya tarik sektor pertanian juga harus
mendapat perhatian serius. Idealnya industrialisasi atau pertumbuhan sektor jasa terkait
erat dengan pertumbuhan dan peningkatan produksi di sektor pertanian.
Demikian pula dengan tumbuhnya semangat kewirausahaan juga tidak sertamerta
disambut gembira karena masyarakat tidak tergantung kepada majikan di pabrik, namun
juga harus ditelusuri sampai seberapajauh mereka mengalami peningkatan
kesejahteraan. Artinya jangan sampai tumbuhnya sektor-sektor pekerjaan non-pertanian
hanya sekadar sebuah involusi, atau pengrumitan bentuk dan jumlah jenis-jenis
pekerjaan non-pertanian, namun hanya kecil tingkat produktivitasnya.
Frank, A.G. 1967. Capitalism and Underdevelopment in Latin America : Historical Studies
of Chile-Brazil. Monthly Review Press
Friedmann, J.P. 1966. Regional Development Policy : a Case Study of Venezuela. MIT
Press
Friedmann, John and Douglas, Mike.1978. Agropolitan Development : Towards a New
Strategy for Regional Planning. Dalam Fu Chen Lo dan Kamal Salih (eds) Growth
Pole Strategy and Regional Development Policy. Toronto Pergamon Press pp. 163192
Gordon, GL. 1993. Strategic Planning for Local Government. Practical Management Series
Gugler,Josef. 1982. Overurbanization Reconsidered. Economic Development and
Cultural Change. Vol.30. pp. 173-189
Jones,Gavin W.2000.Megacities in The Asia Pasific Region. Paper Delivered at the X
Biennial Conference of the Australian Population Association. Melbourne
28 1 December. http://www.apa.org.au/upload/2000.P1.Jones.pdf
-------, 2001. Studying Extended Metropilitan Regions in South-East Asia. Paper
Presented at the XXIV General Conference of the IUSSP. Salvador Brazil 18-24
August. http://www.iussp.org/Brazil 2001/s40/s42.02. Jones.pdf
--------. 2003. The Fifth Asian and Pacific Population Conference : Towards A
Repositioning of Population in the Global Development Agenda ?.Asia-Pacific
Population Journal Vol.18. No.2. June. pp.21-39
Lisdiono, Edi. 2007. Aspek Legislasi Tata Ruang Kota Semarang. Disertasi. Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Tidak Dipublikasikan
McGee, Terry. 1971. The Urbanization Process in the Third World Exploration in Search
of Theory. London : G.Bell and Son Ltd
-----------------. 1991. The Emergence of Desa Kota Regions in Asia. in N.Ginsburg,
B.Koppel and TG McGee (Eds) The Extended Metropolis : Settlement Transition in
Asia. Honolulu : University Of Hawaii Press
Rondinelli. 1984. Small Towns in Developing Countries : Potential Centers of Growth,
Transformation, and Integration Dalam HD. Kammeir and PJ Swan
(Eds)
Equity With Growth ? Planning Perspectives for Small Towns in Developing
Countries. Bangkok : AIT
-------------------, 1985. Applied Methods of Regional Analysis : The Spatial Dimension of
Development Policy. pp.1-22
Santos, M. 1971. The Shared Space : the Two Circuits of the Urban Economy in
Underdevelop Countries. New York : Methuen
Soedradjat, I. 2000. Mekanisme Penataan Ruang. Makalah Pelatihan Penataan Ruang
Bagi Eksekutif dan Legislatif Pemerintah Kota Semarang. Semarang 5-6 September
Sutomo, Sugiyono. 1994. Ruang Semi Urban dalam Proses Pemekaran. Makalah
Seminar Kota Menengah dan Kecil dalam Pembangunan. Universitas Diponegoro
Semarang 20 Juli 1994
Todaro, Michael P and Jerry Stilkind. 1981. The Urbanization Dilemma. New York : The
Population Council
-----------------------. 1981. City Bias and Rural Neglect : The Dilemma of Urban
Development. New York : The Population Council