Anda di halaman 1dari 9

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

Urbanisasi Dan Kualitas Penduduk Di Kota Semarang


Saratri Wilonoyudho, PSKLH Universitas Negeri Semarang

Ringkasan Eksekutif
Pertumbuhan ekonomi di Kota Semarang telah membawa akibat samping berupa
terjadinya kerusakan lingkungan, kemacetan lalu lintas, meningkatnya sektor informal
dan pengangguran, kriminalitas, serta berbagai konflik sosial politik lainnya. Fenomena ini
menjadi kajian bahwa Kota Semarang tengah mengalami urbanisasi berlebih yakni
ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonominya.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mempelajari dinamika proses urbanisasi
di Kota Semarang dengan mengidentifikasi determinan pokok urbanisasi serta
mengidentifikasi dampak dan kaitan urbanisasi dengan kualitas hidup yang diidentifikasi
dari faktor-faktor sosial, ekonomi, dan demografi. Metode penelitian ini adalah melalui
survei yang menggunakan data sekunder dari BPS (Biro Pusat Statistik) dan instansi
lainnya, data hasil wawancara, Focus Group Discussion dan observasi lapangan.
Lingkupnya adalah studi kependudukan yang menggabungkan antara variabel demografis
dan variabel non-demografis. Dengan kata lain ini adalah penelitian kualitatif yang
digabung dengan penelitian kuantitatif.
Penelitian menyimpulkan bahwa : 1). Proses urbanisasi di Kota Semarang berlangsung
sejak jaman kolonial hingga proses kapitalisasi yang terkait dengan pasar global; 2).
Determinan utama urbanisasi di Kota Semarang adalah gabungan simultan antara
tekanan perdesaan dan daya tarik kota yang dipandang selalu dapat menyediakan
lapangan kerja; 3). Dampak urbanisasi di Kota Semarang adalah involusi perkotaan yang
ditandai pertumbuhan sektor jasa dan sektor informal, dan sektor informal seakan selalu
bisa dimasuki oleh pekerja baru. Sektor industri dan pertanian menurun perannya,
sebaliknya sektor informal semakin meningkat. Dampak lain adalah menurunnya mutu
atau kualitas hidup yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti kerusakan lingkungan,
kemacetan lalu lintas dan tingginya angka kejahatan.
Saran yang disampaikan adalah isu megapolitan sudah terlampaui, sehingga yang perlu
menjadi perhatian adalah gejala megaregional. Hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut
adalah mengusahakan keterkaitan antara lokalitas dengan sistem produksi dan ekonomi
global di wilayah tersebut untuk menyejahterakan penduduk dan mencegah arus migrasi
ke kota-kota besar. Variabel daya dukung lingkungan dan variabel daya tampung
sosial perlu ditambahkan untuk mengukur terjadinya urbanisasi.
Isu Masalah
Sejak tahun 1990-an Kota Semarang terus berkembang termasuk daerah di belakangnya.
Perkembangan tersebut ditandai dengan pertumbuhan jumlah penduduk serta
pertumbuhan ekonominya. Permasalahan yang muncul adalah bahwa apakah
pertumbuhan jumlah penduduk juga diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang

mencukupi untuk memberikan kesempatan kerja yang layak bagi sebagian besar
penduduknya agar kualitas hidupnya semakin baik ?
Fakta historis menunjukkan bahwa proses urbanisasi sudah berlangsung sejak
kedatangan kolonial Belanda. Pertumbuhan Kota Semarang makin pesat setelah
dibangun pelabuhan udara dan laut, serta berbagai sarana industri dan jasa. Hal yang
pasti bahwa sampai saat ini urbanisasi berlebih di Kota Semarang masih tetap membawa
berbagai persoalan, baik masalah sosial, ekonomi, dan politik.
Berbagai hasil studi memang telah banyak menunjukkan bahwa dampak urbanisasi
berlebih sangat banyak, misalnya masalah kemiskinan, pengangguran, kriminalitas,
polusi, ketimpangan antardaerah, gejala urban primacy, dan seterusnya.
Gejala dan dampak urbanisasi berlebih juga masih terus diperdebatkan apakah sebagai
penghambat pembangunan atau sebaliknya. Pertanyaan seperti apakah benar masalah
kemiskinan, pengangguran, ketimpangan pembangunan, kriminalitas, polusi,
pertumbuhan kawasan kumuh, dan sebagainya sebagai sebuah gejala dan dampak
urbanisasi berlebih juga perlu dijawab dengan jelas. Kesemua dampak tersebut
dianggap sebagai hal yang dapat menghambat pembangunan kota.
Gejala urban primacy misalnya masih diperdebatkan apakah kota besar akan berperilaku
sebagai parasit bagi kota-kota kecil di sekitarnya atau sebaliknya malah mendorong atau
generatif. Perdebatan tentang dampak ini terus berlanjut sejak dari konsep dependensi
Andre Gunder Frank, teori Gilbert dan Gugler, Hirschman, Friedman, sampai yang
optimistik seperti Terry McGee yang menyatakan bahwa urbanisasi akan menjadi
pertanda kemajuan sebuah kota.
Hal yang jelas dapat diamati, pertumbuhan ekonomi di Kota Semarang telah
menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan seperti banjir, rob, tanah longsor,
berkurangnya resapan air, berkurangnya taman terbuka. Demikian pula kriminalitas
juga meningkat, kemacetan lalu lintas, meningkatnya sektor informal dan gejala
pengangguran lainnya, konflik sosial, banyaknya aksi unjuk rasa, dan berbagai krisis
lainnya.
Hal lain yang masih menjadi persoalan adalah teori tentang urbanisasi berlebih
didasarkan atas pengalaman negara-negara maju, dengan tingkat urbanisasi yang
sebanding dengan tingkat industrialisasinya. Di negara-negara maju telah terjadi
transformasi ketenagakerjaan yang relatif evolutif dan linier, yakni dari sektor pertanian
ke sektor industri baru muncul sektor jasa. Sebaliknya di negara-negara berkembang
seperti Indonesia, transformasi tersebut tidak linier, karena langsung melompat dari
sektor pertanian ke sektor jasa tanpa melalui sektor industri.
Latar Belakang Masalah
Semarang tengah mengalami pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang
sangat pesat. Sebagai ibukota Propinsi Jawa Tengah, Semarang terletak pada posisi
strategis di jalur pantai utara dan sebagai simpul regional dan nasional. Kota Semarang

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

memiliki hinterland atau daerah belakang yang meliputi kawasan Kedungsepur


(Kendal, Demak, Ungaran, dan Purwodadi). Daerah Kedungsepur tersebut merupakan
simpul strategis. Mulai kaburnya garis batas non-administratif tersebut seakan
menyatukan wilayah Semarang dengan kota-kota di sekitarnya sehingga membentuk
suatu megapolitan. Sudah pasti, banyak akibat yang harus ditanggung oleh Kota
Semarang, terutama berkaitan dengan semakin besarnya kota ini, diantaranya masalah
lingkungan, lalu lintas, permukiman, sampai ke masalah-masalah sosial lainnya.
Persoalan yang lain yang menyertai pertumbuhan kota-kota besar seperti Semarang
adalah sebagaimana telah disinggung oleh McGee (1971) yang meneliti tentang
pertumbuhan kota-kota besar di Dunia Ketiga.
Menurut McGee persoalan pokok kota-kota di negara-negara Dunia Ketiga adalah :
Pertama, kota-kota di negara-negara Dunia Ketiga tumbuh luar biasa; Kedua,
pertumbuhan kota-kota itu tidak disertai pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat guna
memberikan peluang kerja bagi penduduknya. Todaro dan Stilkind (1981) menyebutnya
sebagai urbanisasi berlebih, yakni suatu ketidakseimbangan antara urbanisasi dan
pertumbuhan kota.
Pertumbuhan Kota Semarang yang terjadi saat ini diduga tidak diikuti dengan
perencanaan strategis guna menunjang pembangunan kota yang berkelanjutan. Ada
dugaan bahwa rencana tata ruang kota hanya merupakan kelengkapan administratif
belaka sehingga tidak dapat digunakan sebagai pedoman pembangunan kota. Dugaan ini
juga diperkuat oleh hasil evaluasi yang dilakukan oleh Soedradjat (2000). Menurut
Soedradjat, pada tahun 1997 telah dilakukan evaluasi terhadap kinerja pelaksanaan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Dari sejumlah 214 kabupaten yang
dievaluasi, 30 % kinerjanya buruk dalam arti rencana tata ruang tidak dapat dijadikan
sebagai acuan pembangunan, 50 % masih memerlukan perbaikan, dan 20 % masih dapat
digunakan sebagai acuan pembangunan.
Padahal kini Kota Semarang bersama dengan daerah belakangnya telah tumbuh dengan
ciri sebagai region based urbanization (menurut istilah McGee), yakni suatu wilayah
perkotaan yang menjalar ke daerah pinggiran. Namun karena pertumbuhan Kota
Semarang tidak didukung oleh perencanaan yang strategis, dan tidak diantisipasi dengan
rencana tata ruang kota yang baik, maka yang terjadi adalah pertumbuhan kota yang
banyak membawa masalah, baik di bidang sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik. Hasil
penelitian Sutomo (1994) misalnya menunjukkan bahwa telah terjadi aglomerasi
spontan di sepanjang jalur regional Semarang berupa kegiatan komersial dan ditandai
oleh restrukturisasi internal, dengan ciri utama adanya pergeseran fungsi kota inti dari
pusat manufaktur menjadi pusat-pusat kegiatan bisnis dan jasa. Pada sisi lain, kegiatan
manufaktur bergeser ke pinggiran kota. Secara fisik restrukturisasi ini ditandai dengan
perubahan penggunaan lahan secara besar-besaran karena munculnya perumahanperumahan baru dan lokasi pabrik.
Perkembangan urbanisasi tersebut tetap menyisakan pertanyaan singkat, yakni apakah
telah terjadi gejala over urbanization (urbanisasi berlebih) di Kota Semarang atau tidak
? Demikian pula apakah keuntungan pertumbuhan ekonomi di Semarang dijalarkan ke

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

wilayah-wilayah di belakangnya (hinterland) atau muncul apa yang disebut Rondinelli


(1984) sebagai sebuah innovation and the benefits or urban economic growth? Demikian
pula apakah juga telah terjadi trickle down effect atau tetesan ke bawah dan spread effect
atau efek menyebar dari pusat-pusat pertumbuhan tersebut ?
Kepentingan Organisasi Terhadap Isu
Isu urbanisasi dan kualitas penduduk harus menjadi perhatian penting pemerintah Kota
Semarang karena akan menyangkut keberlanjutan kehidupan di kota ini. Jika arus
urbanisasi tidak terbendung dan pada sisi yang lain tidak diikuti penciptaan lapangan
kerja yang mencukupi, maka akan muncul dampak yang sangat kompleks. Di bidang fisik
yang jelas akan terjadi degradasi lingkungan karena daya dukung lahan merosot. Lahan
kota banyak dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis yang tidak sebanding dengan
kemampuan lahan yang ada. Akibatnya banjir, rob, longsor dan sebagainya akan terjadi.
Di bidang sosial ekonomi akan terjadi konflik yang semakin tajam baik antara
pemerintah dengan masyarakat (miskin) dan antara masyarakat miskin dengan yang
kaya. Penggusuran dan penertiban pedagang kaki lima sudah sering terjadi. Demikian
pula meningkatnya angka kejahatan, kecelakaan lalu lintas, penyakit menular dan
sebagainya jelas merupakan akibat dari tidak memadainya daya dukung lahan dan daya
tampung sosial. Fakta inilah yang harus menjadi perhatian dan Kota Semarang harus
memiliki strategi yang baik untuk mengatasi urbanisasi dan meningkatkan kualitas
penduduknya.
Kebijakan Saat Ini
Kebijakan saat ini menunjukkan bahwa peraturan tentang Tata Ruang yang dibuat oleh
Pemerintah Kota Semarang cenderung untuk melegitimasi kebijakan yang lebih berpihak
pada kekuatan pasar (market driven), misalnya melegalkan kawasan-kawasan yang
semestinya dikonservasi atau dilindungi
untuk pengembangan permukimanpermukiman penduduk, pendidikan, perindustrian, perhotelan, dan kegiatan ekonomi
lainnya (Lisdiono, 2007). Dampaknya harga tanah makin tidak terjangkau, sehingga yang
terjadi adalah konflik-konflik kepentingan yang berimbas menjadi benturan antara
masyarakat dengan pihak pemerintah kota, bahkan berujung kepada tindakan kekerasan
fisik dan anarkisme seperti yang pernah terjadi pada kasus di Kampung Cakrawala atau
Jayenggaten Kota Semarang.
Ada tujuh kampung di pusat kota yang hilang akibat digusur untuk kepentingan
pendirian mal dan pusat bisnis lainnya. Pelanggaran tata ruang sering terjadi seperti di
Semarang Atas sehingga banjir dan rob di bagian bawah semakin menjadi. Transportasi
massal belum terbangun secara baik, bahkan pembangunan terminal induk Mangkang
kini nyaris mangkrak tidak berguna.

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

Opsi Kebijakan
Urbanisasi berlebih akan tidak mudah dibendung di masa mendatang karena hal ini tidak
hanya terkait dengan masalah internal di Kota Semarang, namun terkait dengan
kebijakan pembangunan di tingkat nasional dan regional. Fakta bahwa arus migrasi
terus dapat ditampung di Kota Semarang tidak hanya dapat dipahami bahwa kota ini
mampu berperan sebagai pull factor, namun juga akibat adanya push factor dari
wilayah perdesaan. Dengan kata lain, kebijakan untuk mengurangi arus migrasi harus
dilakukan secara simultan, baik antara kebijakan pembangunan di tingkat nasional dan
regional, maupun antara perdesaan dan perkotaan.
Selanjutnya dari sisi internal di Kota Semarang, pemerintah kota harus mulai serius
untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan di wilayahnya dengan cara yang
benar. Artinya rencana kota yang dibuat harus didasarkan atas studi yang mendalam
sehingga dapat ditentukan mana saja kawasan budidaya dan mana saja kawasan yang
harus dilindungi. Dengan cara seperti ini, rencana kota bukan hanya sekadar pelengkap
administratif, melainkan benar-benar dapat digunakan sebagai acuan pembangunan. Jika
hal ini dapat dipenuhi maka pemerintah kota akan dapat menghitung seberapa besar
daya dukung lingkungan masih dapat diusahakan untuk mencukupi daya tampung sosial.
Kota Semarang masih memiliki peluang untuk menata ulang rencana kotanya karena
kota ini relatif belum overpopulated seperti Jakarta misalnya, karena ruang terbuka di
kota ini masih cukup luas.
Pemerintah Kota Semarang harus mampu meningkatkan produktivitas masyarakat
miskin dengan memperbaiki kehidupan, meningkatkan akses kepada infrastruktur dan
fasilitas jasa sosial. Untuk menuju ke arah ini ada beberapa cara yang harus ditempuh,
yakni : 1). Melakukan pelatihan untuk meningkatkan mutu dan skill ; 2). Menjamin akses
golongan miskin terhadap fasilitas jasa-jasa sosial dan infrastruktur; 3). Dalam jangka
pendek memberikan proyek untuk mengamankan nasib masyarakat miskin.
Selanjutnya terkait dengan permasalahan di tingkat regional, implikasi kebijakan yang
diambil pemerintah kota dan kabupaten di wilayah Kedungsepur ini ialah, bagaimana
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang memiliki inovasi untuk bekerja secara
mandiri. Pada satu sisi memang satu hal yang menggembirakan tumbuhnya jiwa
kewirausahaan ini, namun di sisi lain, merosotnya daya tarik sektor pertanian juga harus
mendapat perhatian serius. Idealnya industrialisasi atau pertumbuhan sektor jasa terkait
erat dengan pertumbuhan dan peningkatan produksi di sektor pertanian.
Demikian pula dengan tumbuhnya semangat kewirausahaan juga tidak sertamerta
disambut gembira karena masyarakat tidak tergantung kepada majikan di pabrik, namun
juga harus ditelusuri sampai seberapajauh mereka mengalami peningkatan
kesejahteraan. Artinya jangan sampai tumbuhnya sektor-sektor pekerjaan non-pertanian
hanya sekadar sebuah involusi, atau pengrumitan bentuk dan jumlah jenis-jenis
pekerjaan non-pertanian, namun hanya kecil tingkat produktivitasnya.

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

Manfaat dan Kelemahan dari Setiap Opsi Kebijakan.


Manfaat opsi kebijakan membuat tata ruang yang mengakomodir kalangan bawah akan
dapat diciptakan lapangan kerja yang memadai dan kualitas kehidupan juga akan lebih
baik. Namun kelemahannya, hal ini akan menjadi daya tarik penduduk di sekitar
Semarang untuk berdatangan ke kota ini karena lapangan kerja tersedia. Hal ini terjadi
jika kehidupan di desa terus memburuk akibat sektor pertanian tidak dapat
dikembangkan.
Demikian pula opsi kebijakan untuk melakukan pelatihan untuk meningkatkan mutu dan
skill serta jaminan akses golongan miskin terhadap fasilitas jasa-jasa sosial dan
infrastruktur, juga akan berdampak semakin menariknya Semarang dijadikan tujuan
migrasi. Namun hal ini dapat diatasi jika ada koordinasi kebijakan yang erat antara
Semarang dan daerah pinggiran. Hanya masalahnya dalam era desentralisasi ini egoisme
sektoral masih nyata sehingga usulan ini tidak mudah dilakukan kecuali gubernur diberi
kewenangan untuk memimpin koordinasi dan diberi kewenangan menerapkan sanksi
bagi kabupaten/kota yang tidak taat aturan main.
Pilihan Opsi Kebijakan yang Disarankan
1. Strategi pengembangan kota sebaiknya diarahkan untuk lebih memperjelas hirarkhi
kota dengan menghindari dominasi Kota Semarang terhadap daerah di belakangnya
tersebut dan diharapkan dapat lebih menyebarkan hasil-hasil pembangunan (spread
effect and trickle down effect);
2. Kerjasama yang erat diantara wilayah tersebut harus diwujudkan dalam visi, misi, dan
tindakan nyata di lapangan karena pengembangan dan pertumbuhan kota seakan
tidak mengenal batas wilayah administratif. Harus ada semacam joint planning untuk
menuju satu integrated regional development program yang jelas dan reasonable
dalam segala aspek. Oleh karena itu setidaknya ada lima hal yang harus diperhatikan
dalam kerjasama tersebut, yakni : efisiensi dan optimalisasi manfaat, keterpaduan
antarwilayah, keserasian dan keseimbangan, upaya saling membantu dan saling
ketergantungan, serta kerjasama yang saling menguntungkan;
3. Masing-masing wilayah harus mampu menginventarisir dan mengidentifikasi
masalah, untuk kemudian didiskusikan dalam satu meja dan satu bahasa yang
koordinatif, kooperatif dan komprehensif guna mencari pemecahannya. Dari hasil ini
baru merumuskan langkah nyata bersama untuk memecahkan masalahnya. Dari titik
ini satu clearing house bagi semua informasi dan hasil studi atau penelitian
pembangunan antarwilayah tersebut perlu dilaksanakan;
4. Dalam koordinasi ini juga perlu dibedakan antara istilah administratif perencanaan
dan istilah administratif pembangunan. Artinya untuk hal-hal yang bersifat detil, tiaptiap wilayah memiliki otoritasnya sendiri, karena mereka memiliki kekhasan sendiri
dan paling paham terhadap masalahnya sendiri. Dengan kata lain, kerjasama
sebaiknya hanya di tingkat perencanaan dan implementasi program yang memiliki
implikasi kewilayahan bersama;

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

5. Pengembangan ekonomi makro yang merangsang pertumbuhan ekonomi di wilayah


Kedungsepur juga perlu dilakukan misalnya kerjasama di bidang perdagangan,
industri, pertanian, dan sebagainya, serta menciptakan iklim yang merangsang para
investor menanamkan modalnya dengan tetap memperhatikan keseimbangan
lingkungan dan pemerataan hasil pembangunan. Usaha seperti penetapan suku
bunga, perpajakan, insentif-insentif serta berbagai sanksi yang tegas bagi yang
melanggar, perlu dibicarakan pada lingkup regional;
6. Manajemen pengelolaan kota dan daerah harus menjadi perhatian bersama, misalnya
peningkatan mutu kelembagaan dan mutu para aparatur pengelola kota atau daerah,
pola perencanaan pengembangan kota, pola pembiayaan, sistem informasi,
pengembangan infrastruktur kota, pola pengelolaan lingkungan, dan sebagainya;
7. Kerjasama antar kota dan kabupaten ini perlu ditegaskan karena diduga kuat,
urbanisasi dengan pola menyebar di wilayah Kedungsepur akan memicu kompetisi
yang kuat, yang boleh jadi berkembang tidak sehat;
8. Sudah saatnya kebijakan pembangunan pusat-pusat industri yang padat modal
ditinjau kembali. Industri kecil dan menengah yang berbasis pertanian perlu
dikembangkan agar para petani dan buruh tani turut menikmati hasilnya. Tuntutan ini
dikedepankan karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa buruh tani, petani dan
pekerja tidak terampil lainnya, sangat kecil penghasilannya;
9. Kebijakan pengembangan kewirausahaan dan koperasi perlu diprioritaskan. Usaha
yang dapat dilakukan diantaranya : program pelatihan dan keterampilan manajemen,
kredit murah tanpa agunan, perluasan informasi pasar, dan pelibatan wirausahawan
dan koperasi di pasar global dengan bantuan instansi/lembaga pemerintah dan
Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya.
Referensi
Bappeda Kota Semarang. 2000. Rancangan Permulaan Agenda Kebijakan Pengembangan
Perkotaan Kota Semarang 2001-2004
Bappeda Kota Semarang. 2008. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang
2010-2020
Douglass, M.1995.Global Interdependence and Urbanization : Planning for the Bangkok
Megaurban Regions in McGee,T.G and I.M.Robinson (eds) The Megaurban Regions
of Southeast Asia. Vancouver, The University of British Columbia Press pp. 45-77
---------------.1998. Urban and Regional Policy After the Era of Native Globalism. Paper
presented at the Global Forum on Regional Policy United Nations Center for
Regional Development. Nagoya, December 1-4
---------------,2000. Megaurban Regions and World City Formation : Globalization, the
Economic Crisis and Urban Policy Issues in Pasific Asia. Urban Studies 37 (12). pp.
15-36

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

Frank, A.G. 1967. Capitalism and Underdevelopment in Latin America : Historical Studies
of Chile-Brazil. Monthly Review Press
Friedmann, J.P. 1966. Regional Development Policy : a Case Study of Venezuela. MIT
Press
Friedmann, John and Douglas, Mike.1978. Agropolitan Development : Towards a New
Strategy for Regional Planning. Dalam Fu Chen Lo dan Kamal Salih (eds) Growth
Pole Strategy and Regional Development Policy. Toronto Pergamon Press pp. 163192
Gordon, GL. 1993. Strategic Planning for Local Government. Practical Management Series
Gugler,Josef. 1982. Overurbanization Reconsidered. Economic Development and
Cultural Change. Vol.30. pp. 173-189
Jones,Gavin W.2000.Megacities in The Asia Pasific Region. Paper Delivered at the X
Biennial Conference of the Australian Population Association. Melbourne
28 1 December. http://www.apa.org.au/upload/2000.P1.Jones.pdf
-------, 2001. Studying Extended Metropilitan Regions in South-East Asia. Paper
Presented at the XXIV General Conference of the IUSSP. Salvador Brazil 18-24
August. http://www.iussp.org/Brazil 2001/s40/s42.02. Jones.pdf
--------. 2003. The Fifth Asian and Pacific Population Conference : Towards A
Repositioning of Population in the Global Development Agenda ?.Asia-Pacific
Population Journal Vol.18. No.2. June. pp.21-39
Lisdiono, Edi. 2007. Aspek Legislasi Tata Ruang Kota Semarang. Disertasi. Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Tidak Dipublikasikan
McGee, Terry. 1971. The Urbanization Process in the Third World Exploration in Search
of Theory. London : G.Bell and Son Ltd
-----------------. 1991. The Emergence of Desa Kota Regions in Asia. in N.Ginsburg,
B.Koppel and TG McGee (Eds) The Extended Metropolis : Settlement Transition in
Asia. Honolulu : University Of Hawaii Press
Rondinelli. 1984. Small Towns in Developing Countries : Potential Centers of Growth,
Transformation, and Integration Dalam HD. Kammeir and PJ Swan
(Eds)
Equity With Growth ? Planning Perspectives for Small Towns in Developing
Countries. Bangkok : AIT
-------------------, 1985. Applied Methods of Regional Analysis : The Spatial Dimension of
Development Policy. pp.1-22
Santos, M. 1971. The Shared Space : the Two Circuits of the Urban Economy in
Underdevelop Countries. New York : Methuen
Soedradjat, I. 2000. Mekanisme Penataan Ruang. Makalah Pelatihan Penataan Ruang
Bagi Eksekutif dan Legislatif Pemerintah Kota Semarang. Semarang 5-6 September

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

Sutomo, Sugiyono. 1994. Ruang Semi Urban dalam Proses Pemekaran. Makalah
Seminar Kota Menengah dan Kecil dalam Pembangunan. Universitas Diponegoro
Semarang 20 Juli 1994
Todaro, Michael P and Jerry Stilkind. 1981. The Urbanization Dilemma. New York : The
Population Council
-----------------------. 1981. City Bias and Rural Neglect : The Dilemma of Urban
Development. New York : The Population Council

Policy Brief ini ditulis oleh Saratri Wilonoyudho, peneliti pada


Pusat Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Universitas Negeri Semarang
Isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Policy Brief ini disampaikan pada acara Diseminasi Hasil Penelitian dan Pengembangan
Kependudukan - BKKBN di Hotel Horison Bekasi, 16-18 Desember 2011.

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

Anda mungkin juga menyukai