Kota Bekasi terbagi menjadi 12 kecamatan yang terdiri dari 56 kelurahan. Kota Bekasi
memiliki wilayah sekitar 210,49 km 2, dengan kecamatan Mustika Jaya sebagai wilayah
terluas (24,73 Km2) sedangkan Kecamatan Bekasi Timur sebagai wilayah terkecil (13,49
Km2). Batas-batas wilayah administrasi yang mengelilingi wilayah Kota Bekasi adalah :
Keadaan morfologi wilayah Kota Bekasi umumnya relatif datar dengan kemiringan lahan
bervariasi antara 0-2%. Wilayah Kota Bekasi tidak terdapat bukit dan secara keseluruhan
kondisi morfologi lahannya adalah datar yang menyebar pada seluruh wilayah kecamatan
di Kota Bekasi. Morfologi daerah studi hanya terdiri dari satuan dataran rendah.
Wilayah Kota Bekasi termasuk dalam satuan dataran rendah menempati daerah yang paling
luas di bagian tengah dan utara sampai ke pantai, ketinggian antara 0 - 25 m di atas
permukaan laut dengan daerah datar yang berawa. Peta aliran sungai pada satuan ini
dendritik, berkelok-kelok. Sungai Bekasi bercabang menjadi Cikeas dan Cileungsi.
Struktur geologi wilayah Kota Bekasi didominasi oleh pleistocene volcanik facies. Struktur
aluvium menempati sebagian kecil wilayah Kota Bekasi bagian utara. Sedangkan struktur
miocene sedimentary facies terdapat di bagian timur wilayah Kota Bekasi sepanjang
perbatasan dengan DKI Jakarta. Kondisi di wilayah selatan Kota Bekasi, tepatnya di daerah
Jatisampurna terdapat sumur gas. Sumur gas tersebut adalah Sumur JNG-A (106 o 55’
8,687” BT; 06o 20’54,051”) dan Sumur JNG-B (106o 55’ 21,155” BT; 06o 21’ 10,498”).
Keadaan tanah dapat membantu di dalam menentukan wilayah yang cocok untuk
permukiman dan prasarana pendukungnya dengan mempertimbangkan aspek fisik yang
meliputi kedalaman efektif, tekstur tanah, dan jenis tanah. Dengan kedalaman efektif
tanah sebagian besar di atas 91 cm, jenis tanah latosol dan aluvial serta tekstur tanah
didominasi oleh jenis tanah sedang dan halus. Komposisi perbandingan berdasarkan
luasnya antara lain: tekstur halus seluas 17.260 ha (82%), tekstur sedang seluas 3.368 ha
(16%) dan tekstur kasar seluas 421 ha (2%).
Tatanan Stratigrafi :
Satuan tertua pada daerah ini adalah Formasi Jatiluhur, Miosen Tengah terdiri dari
Batu Lempung Gampingan bersisipan Batu Gamping Pasiran.
Pada bagian atas Formasi Jatiluhur ini menjemari dengan Formasi Parigi, terdiri
dari Lot Batu Gamping Klastika dan Batu Gamping Terumbu Massif berumur Miosen
Tengah.
Di atas Formasi Jatiluhur secara tidak selaras ditindih oleh Formasi Subang yang
terdiri dari Batu Lempung, Batu Pasir dan Batu Gamping berumur Miosen Akhir.
Formasi Subang secara tidak selaras ditindih oleh Formasi Kaliwagu yang terdiri
dari Batu Pasir, Batu Lempung dan Batu Gamping yang berumur Pliosen Awal.
Formasi Kaliwagu secara selaras ditutupi oleh Formasi Cihowe, terdiri dari Stuf dan
Batu Lempung Tufaan yang berumur Pliosen Akhir.
Satuan batuan yang berumur Tersier ditutupi secara tidak selaras oleh endapan
permukaan yang umurnya berkisar antara Plistosen dan Holosen.
Berdasarkan uraian di atas, maka wilayah Kota Bekasi dapat dikembangkan untuk kegiatan
perkotaan berupa permukiman dan kegiatan pendukung seperti perdagangan, jasa dan
industri. Namun morfologi kota Bekasi yang relatif datar menyebabkan adanya potensi
bencana berupa banjir genangan. Di sisi lain Kota Bekasi menempati wilayah permukaan
yang terdiri dari satuan endapan dataran banjir yang terdiri dari pasir lempungan,
lempung pasiran dan lempung humusan serta satuan batu pasir Tufaan dan konglomerat
yang terdiri dari batu pasir tufaan, konglomerat tuf dan breksi. Sehingga potensi banjir
Kota Bekasi ditinjau dari kondisi morfologi permukaan dan jenis batuan dan tanah sangat
tinggi. Hal ini belum mempertimbangkan kondisi aliran air permukaan dan air tanah Kota
Bekasi.
Berdasarkan uraian di atas, wilayah Kota Bekasi secara fisik memiliki potensi sebagai
berikut :
Dari segi fisik dasar, sebagian besar wilayah Kota Bekasi memiliki tingkat
kemiringan yang relatif datar (0-2%0). Kondisi topografi yang relatif datar tersebut
secara teknis kerekayasaan (technical enginering) memiliki potensi yang sangat
baik untuk segala kegiatan budidaya, khususnya budidaya perkotaan dan sarana
pendukungnya.
yang wilayahnya berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, merupakan salah satu
wilayah yang sangat diminati investor. Hal ini terlihat dari izin lokasinya untuk
kegiatan perumahan. Izin lokasi perumahan ini sebagian besar terdapat di wilayah
selatan karena lahannya relatif kosong. Jika hal tersebut tidak diantisipasi dan
tidak ada peraturan peruntukan lahan yang jelas akan menimbulkan permasalahan
bagi penyediaan sarana dan prasarana serta semakin sulitnya untuk mengalokasikan
lahan terbuka hijau bagi kepentingan konservasi air tanah.
Dengan adanya kondisi ini memberikan peluang bagi Kota Bekasi untuk menarik jumlah
penduduk dengan cara membangun permukiman di daerah ini terutama di daerah selatan
ataupun membuka lapangan kerja yang lebih luas lagi dengan memanfaatkan jumlah
tenaga kerja yang ada. Jenis lapangan pekerjaan yang tepat adalah pekerjaan yang
memberikan kontribusi tinggi terhadap perekonomian Kota Bekasi, yaitu dalam industri
pengolahan, jasa, serta perdagangan, hotel, dan restoran sesuai dengan kondisi sekarang
bahwa sektor-sektor inilah yang mendominasi jumlah tenaga kerja yang ada di Kota
Bekasi.
Pada tahun 2007 capaian IPM Kota Bekasi sebesar 75,81. Angka tersebut menempatkan
Kota Bekasi sebagai peringkat ketiga IPM di Provinsi Jawa Barat.
Indeks Pendidikan (IP) Kota Bekasi pada tahun 2007, yang terdiri atas indeks Angka Melek
Huruf (AMH) dan indeks Rata-rata Lama Sekolah (RLS), mencapai 90,11. Angka IP Kota
Bekasi tersebut merupakan angka capaian yang tinggi untuk Indeks Pendidikan, mengingat
Provinsi Jawa Barat sendiri pada tahun yang sama menargetkan angka IP hanya mencapai
81,20 dan bahkan pada tahun 2010 hanya ditargetkan mencapai 85,9.
Pemerintah Kota Bekasi
Halaman 2 - 5
Materi Teknis
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi
Tahun 2010 - 2030
Indeks Kesehatan (IK) Kota Bekasi pada tahun 2007, yang tercermin dari indeks Angka
Harapan Hidup (AHH), mencapai 74,98. Indeks Daya Beli (IDB) Kota Bekasi pada tahun 2007
mencapai 62,34.
Permasalahan kependudukan dan sosial budaya di wilayah Kota Bekasi adalah sebagai
berikut:
Perkembangan jumlah dan laju penduduk Kota Bekasi yang sangat tinggi dihadapkan
pada keterbatasan lahan untuk dikembangkan yang relatif terbatas. Hal ini pada
masa-masa mendatang dapat menimbulkan permasalahan, antara lain sulitnya
penduduk untuk mendapatkan lokasi lahan yang cukup dan terjangkau harganya
untuk pembangunan perumahan dan sarana serta prasarananya serta terancamnya
kualitas lingkungan hidup kota karena batas ambang kepadatan penduduk telah
terlampaui, terutama di wilayah pusat kota.
Tingkat penyerapan tenaga kerja dari sektor-sektor ekonomi Kota Bekasi masih
relatif rendah, sementara ketersediaan tenaga kerja atau pencari kerja yang cukup
besar pada akhirnya dapat menimbulkan masalah pengangguran.
Heterogenitas masyarakat, baik secara sosial-ekonomi maupun sosial-budaya yang
menuntut pemenuhan kebutuhan yang beragam belum terakomodasi dalam
pemanfaatan ruang kota.
B. Perekonomian Wilayah
Indikator perkembangan perekonomian wilayah perencanaan dapat dilihat melalui
besarnya kontribusi masing-masing sektor ekonomi. Besarnya pengaruh suatu sektor
ekonomi dipengaruhi oleh arah kebijaksanaan perekonomian yang dibuat pemerintah
daerah. Selain itu, besarnya peranan suatu sektor perekonomian juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor ekstern lainnya seperti daya dukung masyarakat dalam mengembangkan
sektor perekonomian tersebut.
1. PDRB
Pada tahun 2006, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bekasi yang dihitung
Atas Dasar Harga Berlaku senilai Rp. 22.855,15 milyar naik sebesar 18,87 persen
dibandingkan tahun 2005 dengan besaran Rp. 19.226,33 milyar. Sedangkan PDRB
dengan penghitungan Atas Dasar Harga Konstan 2000, laju pertumbuhannya pada tahun
2006 mencapai 6,07 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2005 senilai
Rp. 11.739,95 milyar naik menjadi Rp. 12.452,71 milyar di tahun 2006. Kelompok
sektor sekunder yang terdiri dari sektor industri pengolahan; sektor listrik, gas & air
bersih dan sektor bangunan/konstruksi masih mendominasi dalam penciptaan nilai
tambah di Kota Bekasi. Total nilai tambah bruto atas dasar harga berlaku dari
kelompok sektor sekunder di tahun 2006 mencapai Rp. 12.048,48 milyar, atau
meningkat 16,98 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Untuk kelompok sektor primer mempunyai nilai tambah sebesar Rp. 202,53 milyar atau
naik sebesar 15,32 persen dibandingkan tahun 2005. Sedangkan kelompok sektor
tersier menghasilkan nilai tambah sebesar Rp. 10.604,14 milyar mengalami
peningkatan 21,18 persen, dibandingkan tahun sebelumnya dengan nilai Rp. 8.751,04
milyar. Walaupun demikian peningkatan-peningkatan tersebut belumlah menunjukkan
peningkatan nilai tambah secara riil dari kelompok sektor bersangkutan, karena pada
NTB atas dasar harga berlaku masih terkandung inflasi.
Sama dengan PDRB atas dasar harga berlaku, untuk PDRB atas dasar harga konstan
kelompok sektor sekunder mempunyai nilai tambah terbesar dibandingkan kelompok
sektor yang lainnya pada tahun 2006 yaitu dengan Rp. 6.555,25 milyar. Namun
demikian laju kelompok sektor sekunder dengan 4,31 persen bukanlah yang tertinggi,
laju pertumbuhan yang paling tinggi dicapai kelompok sektor tersier dengan 8,34
persen dengan besaran Rp. 5.329,52 milyar pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp.
5.774,10 milyar di tahun 2006. Sedangkan di kelompok primer yang terdiri dari sektor
pertanian dan sektor pertambangan di tahun 2006 mengalami pertumbuhan negatif
dengan nilai -2,27 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
2. Struktur Ekonomi
Beragamnya kegiatan perekonomian dapat memberikan warna pada struktur
perekonomian suatu wilayah. Hal ini karena dipengaruhi oleh potensi sumber daya
alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang tersedia. Salah satu indikator yang
sering digunakan untuk menggambarkan struktur ekonomi suatu wilayah adalah
distribusi persentase sektoral.
Pemerintah Kota Bekasi
Halaman 2 - 7
Materi Teknis
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi
Tahun 2010 - 2030
Struktur ekonomi Kota Bekasi pada tahun 2005 dan 2006 menurut kelompok sektor
primer, sekunder dan tersier. Kelompok sektor sekunder dan tersier masih dominan
dalam pembentukan perekonomian Kota Bekasi yaitu dengan andil masing-masing
sebesar 45,40 % dan 53,53 % pada tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2006 sektor
sekunder dan tersier memberikan kontribusi sebesar 46,37 % dan 52,64 %.
Sedangkan kelompok sektor primer hanya menyumbang sebesar 1,06 % dan turun
menjadi 0,89 % pada masing-masing tahun 2003 dan 2006. Penurunan kontribusi yang
cukup signifikan dari kelompok sektor primer lebih disebabkan kinerja sektor pertanian
yang semakin tertinggal perkembangannya dari sektor-sektor lainnya. Penurunan
sektor pertanian disebabkan karena semakin berkurangnya areal pertanian serta masih
rendahnya pengetahuan dan teknologi yang digunakan dalam pengolahannya.
3. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang dapat menggambarkan kinerja
perekonomian di suatu wilayah. Sehingga pertumbuhan ekonomi merupakan indikator
makro yang sering digunakan sebagai salah satu alat strategi kebijakan bidang
ekonomi. Demikian pula halnya di Provinsi Jawa Barat, dalam Rencana Strategisnya
(Renstra), laju pertumbuhan ekonomi tersebut menjadi salah satu indikator yang
sangat penting untuk selalu dievaluasi.
Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi yang terus meningkat pada periode tahun
2004-2006. Kecuali di tahun 2004, pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi selalu di atas
Jawa Barat dan Indonesia. Pada tahun 2005 dengan 5,65 %, LPE Kota Bekasi sedikit
lebih tinggi dari Jawa Barat dan Indonesia dengan 5,62% dan 5,55%. Demikian pula
pada tahun 2006 LPE Kota Bekasi yang mencapai 6,07 % masih lebih baik dibandingkan
Jawa Barat dan Indonesia yang hanya mencapai 6,01 dan 5,48%. Sedangkan untuk
tahun 2004 dengan 5,38 % pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi lebih tinggi dari Jawa
Barat (4,77 %) tetapi di bawah LPE Indonesia yang mencapai 5,50 %.
Apabila laju pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi dipakai sebagai dasar (Base Line),
maka kinerja sektoral dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Kelompok
Pertama: adalah sektor yang berhasil mencapai pertumbuhan di atas rata-rata (6,07%);
Kelompok Kedua: adalah sektor yang berhasil mencapai pertumbuhan positif walaupun
masih di bawah LPE rata-rata; Kelompok Ketiga: adalah sektor yang mengalami
pertumbuhan negatif.
Pertumbuhan sektor yang termasuk pada kelompok pertama yaitu listrik, gas dan air
bersih; bangunan/konstruksi; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan
komunikasi; serta jasa-jasa. Sektor pengangkutan merupakan sektor yang cukup
bertahan, adanya kenaikan harga BBM secara otomatis menaikkan tarif angkutan. Hal
ini dapat dibuktikan dengan pertumbuhannya yang sangat pesat dibandingkan dengan
sektor lainnya yaitu mencapai angka dua digit dengan 10,96 %. Adapun sektor
perdagangan menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu 8,35 %, kenaikan
sektor ini ditopang oleh pertumbuhan sub sektor hotel dan restoran dengan LPE
masing-masing 12,16 % dan 9,30 %.
Adapun pertumbuhan sektor yang termasuk pada kelompok kedua yaitu sektor industri
pengolahan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sektor industri
pengolahan di Kota Bekasi adalah sub sektor industri tanpa migas tumbuh 3,91 %.
Walaupun di bawah rata-rata LPE Kota Bekasi, namun pertumbuhan sektor ini sangat
mendongkrak terjadinya pertumbuhan ekonomi di Kota Bekasi, hal ini dapat dilihat
dari kontribusinya, dimana sektor industri pengolahan ini dengan nilai tambah Rp.
10.461,54 milyar mampu memberikan andil hingga 45,77 %.
Sedangkan yang termasuk pada kelompok ketiga adalah sektor pertanian yang turun
sebesar -2,27 %. Sub sektor tanaman pangan; peternakan dan hasil-hasilnya dan
perikanan semakin menurun kinerjanya dibandingkan tahun sebelumnya yaitu dengan
pertumbuhan negatif masing-masing dengan -2,59 %; -2,22 % dan -0,14 %.
Kecenderungan Kota Bekasi yang memiliki hubungan horisontal dengan Kota Depok,
Tangerang dan Bogor serta Jakarta Utara. Maka, hubungan tersebut jika tidak ada inovasi
dan diversifikasi maka akan terjadi hubungan kompetisi bukan komplemen.
Terdapat 4 sektor unggulan Kota Bekasi dalam lingkup wilayah Jabodetabek, yakni sebagai
berikut:
Sektor pertanian terutama ikan hias dan tanaman hias
Sektor industri pengolahan
Listrik, Gas dan Air minum
Berdasarkan hasil simulasi, sensitivitas sektor perdagangan dan jasa ini cukup tinggi
terhadap perubahan kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bekasi terutama kebijakan
anggaran daerah. Sektor jasa dan perdagangan memberi kontribusi tinggi terhadap PDRB
agregat Kota Bekasi dan memiliki keterkaitan cukup tinggi dengan sektor lain.
Permasalahan yang terjadi berkenaan dengan permukiman di Kota Bekasi antara lain
bahwa umumnya akses di dalam kawasan bagus, namun akses antar kawasan permukiman
kurang memadai karena masih menggunakan jalan arteri dan kolektor utama dan juga
areal permukiman padat yang cenderung menjadi perkampungan padat.
Secara umum, kegiatan perdagangan dan jasa yang berkembang di Kota Bekasi menempati
lokasi di sepanjang jalan utama, baik itu jalan arteri maupun jalan kolektor. Untuk
kegiatan perdagangan dan jasa yang berkembang di pusat kota, umumnya terpusat di
sepanjang Jalan Juanda dan di sepanjang Jalan A. Yani, dan di pusat perdagangan Pondok
Gede dengan skala pelayanan kota/regional. Sedangkan yang berkembang di lokasi lain
umumnya berada di sepanjang jalan kolektor atau jalan utama lingkungan perumahan
bercampur dengan kegiatan lain, baik itu perumahan penduduk maupun industri dan
pergudangan dengan skala pelayanan yang lebih kecil. Sebagian besar kegiatan
perdagangan dan jasa yang berkembang di Kota Bekasi belum menyediakan fasilitas parkir
yang memadai, sehingga seringkali menimbulkan kemacetan arus lalu lintas.
Permasalahan yang timbul berkenaan dengan adanya perdagangan dan jasa ialah:
Kegiatan perdagangan skala kota dan regional tidak hanya berkembang pada pusat-
pusat pelayanan kota tetapi membentuk pola linear sepanjang jalan arteri dan
kolektor primer.
Kegiatan perdagangan dan jasa berkembang linear pada jaringan jalan arteri dan
kolektor primer sehingga menyebabkan beban dan gangguan terhadap jalan
tersebut.
Pengaturan bangunan yang kurang teratur sehingga tidak dapat membentuk citra
koridor.
Tidak didukung sarana parkir yang memadai.
Kegiatan industri di Kota Bekasi masih tersebar secara parsial di beberapa lokasi-lokasi
industri seperti di Kel. Harapan Jaya, Kel. Medan Satria, Kel. Kalibaru, dan Kel. Pejuang.
Selain itu lokasi industri juga berkembang di Desa Bantargebang, Kel. Cikiwul, dan Kel.
Ciketing Udik. Umumnya keberadaan kegiatan industri ini bercampur dengan kegiatan
lainnya, seperti perumahan atau perdagangan dan jasa, sehingga apabila tidak ditangani
dan dikontrol dengan benar dapat mencemari lingkungan sekitarnya, baik berupa
pencemaran suara, udara (bau), ataupun limbah yang dihasilkan. Untuk mencegah
pencemaran limbah industri maka kegiatan industri yang menghasilkan limbah berbahaya
perlu dilengkapi dengan fasilitas pengolahan limbah. Sedangkan perkembangan kegiatan
industri perlu diarahkan untuk kegiatan industri yang tidak mencemari lingkungan (clean
industry).
Dilihat dari kondisi lahan tidak terbangun atau ruang terbuka hijau, kenyataan di lapangan
pemanfaatan lahan untuk ruang terbuka hijau yang berkembang di Kota Bekasi masih
didominasi oleh kawasan hijau pertanian pada bagian selatan kota dan utara kota. Kondisi
lahan pertanian di Kecamatan Bantargebang, Kecamatan Jatisampurna, Kecamatan
Medansatria saat ini sebagian besar sudah teralokasikan untuk kegiatan terbangun,
khususnya kegiatan permukiman skala besar yang dikembangkan oleh Swasta, meskipun
saat ini masih belum terbangun dan masih berupa ruang terbuka hijau.
Hanya sebagian kecil dari kegiatan pembangunan di Kota Bekasi, baik itu kegiatan
pemerintahan, perdagangan dan jasa, permukiman, dan industri, yang menyediakan
pertamanan dengan proporsi memadai. Sedangkan pada kegiatan industri, perdagangan
dan jasa yang berkembang di Kota Bekasi umumnya tidak menyediakan taman, baik berupa
taman bermain, taman lingkungan atau yang berupa buffer zone guna memisahkan antar
kegiatan industri dengan kegiatan lainnya. Penyediaan taman ini hanya dilakukan di
permukiman-permukiman yang dikembangkan swasta dalam skala besar. Namun demikian
luasan taman yang tersedia masih belum mencukupi.
Hampir seluruh jalur hijau yang ada di Kota Bekasi khususnya yang ada di pusat kota
sebagian besar kondisinya sudah terpenetrasi oleh kegiatan terbangun, baik itu berupa
jalur hijau sepanjang areal jalan, sepanjang areal KA, sepanjang areal tegangan tinggi,
maupun jalur hijau sepanjang areal saluran sungai (sempadan sungai). Apabila hal ini terus
dibiarkan, diperkirakan dalam waktu tidak lama jalur hijau yang ada di Kota Bekasi akan
habis menjadi daerah terbangun. Begitu pula dengan ruang terbuka hijau yang berupa
pertanian di Kota Bekasi sebagian besar telah terpenetrasi oleh kegiatan terbangun,
terutama oleh kegiatan permukiman skala besar yang dikembangkan swasta, baik yang ada
di kecamatan maupun kelurahan-kelurahan.
Keberadaan situ-situ di kota Bekasi umumnya masih belum terjaga dengan baik. Hampir
semua situ yang ada tidak mempunyai daerah pengaman situ, baik yang berupa sempadan
situ yang merupakan ruang terbuka hijau pada radius 200 meter dari pinggir situ pada saat
air pasang maupun ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan air.
Sebagian besar kondisinya sudah terpenetrasi oleh kegiatan terbangun, baik yang berada
di sekitar Situ Gede di Bojongmenteng, Situ Lumbu di Bojong Rawalumbu, maupun di
sekitar Situ Pulo di Jatisampurna.
fungsional untuk setiap pusat pelayanan kotanya dan pengembangan pusat sekunder
pada setiap pusat pelayanan kecamatan.
2. Adanya pemekaran kecamatan dari 8 kecamatan menjadi 12 kecamatan menuntut
dikembangkannya pusat dan sub pusat pelayanan baru yang keberadaannya dalam
RTRW Tahun 2000-2010 tidak terakomodir.
3. Berkembangnya pusat kegiatan pada lokasi yang berbeda seperti Kecamatan
Jatisampurna dan Kecamatan Bantar Gebang di bagian selatan dan di Kecamatan
Medan Satria di bagian utara.
4. Terdapat pusat-pusat pelayanan kta yang berkembang melebihi rencana yang telah
ditentukan seperti di Sub pusat pelayanan kota Pondokgede; sementara di sisi lain
terdapat pusat-pusat pelayanan kota yang tidak berkembang sebagaimana mestinya,
seperti di pelayanan kota Bantar Gebang dan Jatisampurna.
Di samping potensi-potensi di atas, kondisi struktur jalan Kota Bekasi saat ini telah
menimbulkan berbagai permasalahan krusial. Kota Bekasi memiliki struktur jalan dengan
pola terpusat dan berorientasi ke pusat kota, serta memiliki jaringan regional yang
melintasi kawasan pusat kota. Hingga saat ini, kondisi tersebut tidak didukung oleh jalan
Pemerintah Kota Bekasi
Halaman 2 - 13
Materi Teknis
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi
Tahun 2010 - 2030
Berdasarkan pengamatan pada masing-masing ruas jalan di Kota Bekasi, maka dapat
diperoleh beberapa permasalahan utama transportasi Kota Bekasi yang bersifat makro
(komprehensif), yaitu sebagai berikut:
1. Pola kegiatan masyarakat masih terpusat di pusat kota sehingga bangkitan dan tarikan
terbesar pergerakan di Kota Bekasi masih terdapat pada Kecamatan Bekasi Timur dan
kelurahan-kelurahan yang berada di pusat kota.
2. Pergerakan eksternal terutama menuju dan berasal dari DKI Jakarta merupakan
bangkitan dan tarikan tertinggi. Hal ini dapat dilihat dari Matriks Asal Tujuan (MAT)
pada zona-zona eksternal. Pola pergerakan commuter ini mengakibatkan pembebanan
pada jalan penghubung Kota Bekasi dengan DKI Jakarta (Jalan Sultan Agung, Jalan K. H
Noer Ali, Jalan Raya Jatiwaringin, dan Jalan Tol Bekasi-Jakarta) semakin besar
mengingat tidak terdapatnya jalan alternatif menuju wilayah eksternal Kota Bekasi.
Pembebanan jalan disebabkan pula oleh volume lalu lintas yang besar sehingga
menimbulkan permasalahan kemacetan pada beberapa ruas jalan utama di Kota
Bekasi, yaitu Jalan Sultan Agung, Jalan Raya Kalimalang (K.H Noer Ali), Jalan Raya
Jatiwaringin, Jalan Trans Yogi dan lain-lain.
3. Saat ini kapasitas jaringan jalan utama penghubung Kota Bekasi dan Kota Jakarta
sudah tidak mampu menampung volume pergerakan yang melintas pada jaringan jalan
tersebut. Nilai LoS (level of service) yang ada menunjukkan E dan F. LoS E berada di
jalan-jalan utama pusat kota, seperti Jalan Juanda, Jalan Ahmad Yani, Jalan Kali
Malang, dan lain-lain. Sedangkan LoS F berada pada akses jalan menuju utara (Jalan
Perjuangan Raya) dan selatan (Jalan Joyomartono, Jalan Pengasinan) Kota Bekasi.
Titik-titik kemacetan berada terkonsentrasi di jalan-jalan utama Kota Bekasi, terutama
di daerah pusat kota dan jalan-jalan akses menuju Kota Jakarta (Jalan Sultan Agung
dan Jalan Raya Pondokgede). Jika kondisi ini dibiarkan dan tidak dilakukan
pengelolaan, jaringan jalan diramalkan akan terjadi kesemerawutan (defficiency of
supply).
4. Pola jaringan jalan yang terdapat di Kota Bekasi adalah pola jaringan jalan linear dan
radial dimana berpusat pada kawasan pusat bisnis koridor Jalan Ir. H. Juanda. Pola
jaringan jalan yang terdapat di dalam Kota Bekasi tersebut berintegrasi dengan pola
jaringan jalan regional Kota Bekasi. Pola jaringan jalan yang berpusat pada Jalan
Pemerintah Kota Bekasi
Halaman 2 - 14
Materi Teknis
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi
Tahun 2010 - 2030
Juanda inilah yang menyebabkan masalah dalam sistem jaringan jalan Kota Bekasi,
terutama pada zona CBD.
5. Isu yang krusial seputar angkutan kota tidak terlepas dari keterbatasan kemampuan
jalan dalam mendukung penambahan angkutan kota. Berdasarkan data yang diperoleh,
trayek-trayek angkutan kota di Kota Bekasi secara umum memang telah mencapai
plafon yang ditentukan. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya pengembangan angkutan
kota di Kota Bekasi. Hal lain adalah belum siapnya pihak pengelola dan penyedia
angkutan umum dalam mengantisipasi isu mass rapid transit (MRT) serta pergantian
antar-moda.
6. Sampai saat ini Kota Bekasi belum memiliki terminal yang representatif, padahal
jumlah trayek maupun kendaraan angkutan umum yang melintasi wilayah Kota Bekasi
sangat banyak. Kondisi terminal tipe B di Juanda sudah tidak layak akibat selain
lokasinya yang bercampur dengan pasar, jaringan jalan yang ada juga telah rusak serta
mengakibatkan kemacetan di sekitar akses keluar-masuk terminal ini. Sedangkan di
Pondokgede, yang selama ini berfungsi sebagai terminal tipe C, tidak ditemui adanya
fisik terminal. Di samping itu juga sering terjadi kemacetan di daerah Pasar
Pondokgede yang mengakibatkan akses menuju Kota Jakarta menjadi terhambat.
Permasalahan lainnya adalah tumbuhnya terminal-terminal bayangan yang
menggunakan badan jalan yang sudah tentu akan menyebabkan terganggunya arus
pergerakan lalu lintas pada ruas jalan tersebut.
7. Jumlah tempat parkir, termasuk di dalamnya parkir di badan jalan (on-street parking)
dan luar jalan atau area parkir (off-street parking) di Kota Bekasi belum cukup untuk
mengatasi kebutuhannya, terutama pada pusat kotanya. Dari sisi pergerakan lalu
lintas, keberadaan on-street parking tentunya akan mengurangi kapasitas efektif jalan
dan menghambat arus pergerakan lalu lintas pada ruas jalan tersebut.
8. Stasiun yang ada di Kota Bekasi adalah Stasiun Bekasi dan Stasiun Kranji. Stasiun Bekasi
berada di pusat kota dengan jaringan jalan yang relatif padat lalu lintas. Pengaturan
lalu lintas di daerah ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kemacetan akibat timbulnya
aktivitas ilegal di daerah ini.
Sementara di bagian selatan kota, ketersediaannya kurang memadai baik dari segi
kuantitas maupun kualitas. Sehingga fokus utama pengembangan fasilitas pendidikan dan
kesehatan ini perlu diupayakan agar setiap fasilitas dapat melayani kebutuhan penduduk
Kota Bekasi secara lebih merata. Begitu pula dengan kondisi fasilitas peribadatan di Kota
Bekasi, pada umumnya cenderung tidak bermasalah karena penyediaan fasilitas ini
dilakukan pula oleh para pengembang lingkungan permukiman dan disesuaikan dengan
jumlah penganut agamanya.
2.2.8 Utilitas
Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang pesat, kebutuhan prasarana dasar perkotaan
akan terus meningkat. Permasalahan pemenuhan prasarana dasar di wilayah kota Bekasi
adalah sebagai berikut :
B. Prasarana Drainase
Pengembangan sistem jaringan drainase dalam mengatasi genangan atau banjir di kota
Bekasi akan banyak mendapatkan kendala akibat adanya Saluran Tarum Barat, jalan
kereta api, jalan tol Jakarta-Cikampek, dan jalan arteri Jakarta–Karawang. Prasarana
transportasi yang membelah kota Bekasi dari Timur ke Barat akan mengganggu
penyaluran air limpasan hujan dari arah selatan ke utara sesuai dengan kemiringan
lahan yang ada.
Daerah yang tergenang atau terkena banjir pada tahun 2007 yang disebabkan antara
lain oleh:
Curah hujan tinggi dan merata Se-Jabodetabek tercatat 217 mm
Kali Cikeas limpas
Kali Cileungsi limpas
Kali Bekasi limpas dengan debit air tercatat 737 m³ - 763 m³
Kali Sunter limpas
Permukaan air laut pasang
D. Prasarana Persampahan
Karena pesatnya perkembangan Kota Bekasi pada masa yang akan datang, sistem
prasarana persampahan akan menghadapi banyak kendala. Masyarakat yang belum
terlayani oleh dinas pertamanan, maka mereka menangani pengelolaan sampahnya
dengan cara membuat lubang-lubang penampungan, kemudian ditimbun dan dibakar.
Sedangkan bagi masyarakat yang lainnya penanganan mengenai sampah masih tidak
beraturan dan masih banyak yang membuang sampah di bantaran sungai, selokan, kali,
lapangan hijau, pinggir jalan, sehingga menutupi jalan masuk air yang menggenang di
jalanan.
Melihat kondisi tersebut, saat ini komunikasi antar stakeholders penataan ruang di Kota
Bekasi dilakukan melalui forum TKPRD (Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah) Kota
Bekasi. Dengan demikian kedepannya proses koordinasi dalam hal penataan ruang dapat
berjalan sebagaimana mestinya.
Realisasi Pendapatan Daerah dalam kurun waktu 5 tahun (TA 2003–2007) terakhir
menunjukkan trend pertumbuhan dengan peningkatan rata-rata 18,43% per-tahun.
Pertumbuhan pendapatan daerah tertinggi terjadi pada TA 2006 yang mencapai 21,10%,
meskipun pada tahun berikutnya mengalami sedikit penurunan kembali mendekati rata-
rata tingkat pertumbuhan pendapatan tahunan.
Tingkat pertumbuhan pendapatan yang cukup baik dan konsisten tersebut umumnya
didorong oleh kecenderungan peningkatan perolehan dari keseluruhan komponen
pendapatan, baik dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, maupun Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah. Trend peningkatan tersebut diperoleh dari optimalisasi
penerimaan dari masing-masing komponen pembentuk pendapatan.
Perkembangan kondisi Pendapatan Daerah yang sedemikian, secara langsung maupun tidak
langsung akan berpengaruh terhadap peluang peningkatannya pada periode selanjutnya.
Memperhatikan trend kontribusi masing-masing komponen sumber pendapatan, serta
perkembangannya dalam 5 tahun terakhir, diperoleh gambaran sebagai berikut :
Alokasi belanja daerah Kota Bekasi dalam kurun 2003 sampai 2007 mengalami peningkatan
yang cukup signifikan (89,39%), yaitu dari Rp. 544 milyar pada tahun 2003 menjadi
Rp. 1,04 trilyun pada tahun 2007, dengan rata-rata peningkatan anggaran belanja sebesar
17,40% per-tahun. Selama periode tersebut, komposisi antara belanja aparatur dengan
belanja publik relatif berimbang dalam kisaran mendekati 50%:50%, sehingga tidak
memberikan indikasi bahwa alokasi belanja aparatur merupakan refleksi dari kuantitas dan
kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan.
Memperhatikan trend pengaturan belanja daerah pada periode 2003 – 2007 dan
dilatarbelakangi kebutuhan prioritas kegiatan yang diorientasikan pada peningkatan
kualitas dan kuantitas pelayanan publik, khususnya sektor pendidikan dan kesehatan,
maka terjadi perubahan signifikan pada belanja daerah tahun anggaran 2008, yaitu
meningkat sebesar 32,25% lebih tinggi dibanding tahun 2007 (dari Rp. 1,03 trilyun pada
tahun 2007 menjadi sekitar Rp. 1,36 trilyun pada tahun 2008).
Peningkatan tersebut dapat dilihat dari terjadinya peningkatan pos belanja aparatur
(35,82% dari tahun sebelumnya) maupun pos belanja publik (29,11% dari tahun
sebelumnya). Kenaikan pos belanja aparatur yang cukup besar dikarenakan adanya proses
penerimaan dan pengangkatan pegawai baru tahun 2006/2007 yang baru dapat
direalisasikan pada tahun anggaran 2008. Namun demikian, meskipun kenaikan pos belanja
aparatur relatif lebih besar dari kenaikan yang dialami pos belanja publik, namun
perbandingan proporsi alokasi antara belanja aparatur dengan belanja publik adalah
47,96% : 52,04%.
Pertumbuhan angka belanja daerah diperkirakan mencapai 76,18% yang akan terjadi pada
akhir periode PJM (2013), yang diindikasikan dari nilai APBD sekitar Rp. 1,03 trilyun pada
tahun 2007 menjadi sekitar Rp. 1,82 trilyun pada tahun 2013, dengan peningkatan rata-
rata 10,30 % per-tahun. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh peningkatan anggaran belanja
tidak langsung (belanja aparatur) sebesar rata-rata 10,19% per-tahun, dan peningkatan
anggaran belanja langsung (belanja publik) sebesar rata-rata 10,42% per-tahun.