Anda di halaman 1dari 5

Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Poles Theory)

Francois Perroux (1955)

Konsep “growth pole” atau dikenal sebagai konsep “kutub pertumbuhan” dikembangkan oleh ahli
ekonomi Perancis Francois Perroux pada tahun 1955. Teori ini menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi di setiap daerah tidak terjadi di sembarang tempat tetapi di lokasi tertentu yang disebut kutub
pertumbuhan.

Untuk mencapai tingkat pendapatan tinggi harus dibangun beberapa tempat pusat kegiatan ekonomi
yang disebut dengan growth pole (kutub pertumbuhan). Dari kutub-kutub tersebut selanjutnya proses
pembangunan akan menyebar ke wilayah-wilayah lain di sekitarnya atau ke pusat-pusat yang lebih
rendah, atau yang bisa disebut dengan trickle down effect.

Pandangan Perroux mengenai proses pertumbuhan adalah teori tata ruang ekonomi, dimana industri
pendorong memiliki peranan awal dalam membangun sebuah pusat pertumbuhan.

Industri pendorong ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1) Merupakan wilayah dengan konsentrasi penduduk tinggi

2) Memiliki teknologi tinggi dan maju

3) Mendorong perkembangan industri di sekitarnya

4) Manajemen yang profesional dan modern

5) Sarana dan prasarana yang sudah lengkap


Dalam teori ini dikenal istilah yang berkaitan dengan timbulnya dampak positif atau dampak negatif dari
interaksi kutub pertumbuhan dengan daerah disekitarnya.

Trickle Down Effect (efek Penetesan ke Bawah), merupakan dampak positif yang timbulkan dari
pengembangan wilayah berdasarkan teori Growth Pole. Yaitu ikut berkembangnya daerah pinggiran,
seperti bertambahnya lapangan pekerjaan, meningkatnya pendidikan dan tenaga kerja yang semakin
terlatih.

Backwash Polarization, merupakan dampak negatif yang ditimbulkan dari pengembangan wilayah
berdasarkan teori Growth Pole. Yaitu menurunnya kualitas lingkungan di daerah pinggiran, seperti
berkurangnya sumber daya alam dan alih fungsi lahan pertanian.

Konsep ini bertujuan untuk meningkatkan investasi pada satu kota tertentu yang diharapkan selanjutnya
meningkatkan aktivitas kota sehingga akan semakin lebih banyak lagi melibatkan penduduk dan pada
akhirnya semakin banyak barang dan jasa yang dibutuhkan.

Contohnya yaitu, terdapatnya industri baja di suatu daerah akan menimbulkan kekuatan sentripetal,
yaitu menarik kegiatan-kegaiatan yang langsung berhubungan dengan pembuatan baja, baik pada
penyediaan bahan mentah maupun pasar. Industri tersebut juga menimbulkan kekuatan sentrifugal,
yaitu rangsangan timbulnya kegiatan baru yang tidak berhubungan langsung dengan industri baja.

Konsep Kutub Pertumbuhan ini dapat didefinisikan secara :

1) Secara geografis, kutub pertumbuhan dapat digambarkan sebagai suatu lokasi yang memiliki fasilitas
dan kemudahan sehingga menimbulkan daya tarik bagi berbagai kalangan untuk mendirikan berbagai
macam usaha di daerah tersebut dan masyarakat senang memanfaatkan fasilitas tersebut.
2) Secara fungsional, kutub pertumbuhan dapat diartikan sebagai suatu lokasi konsentrasi kelompok
ekonomi (industri, bisnis dll) yang mengakibatkan pengaruh ekonomi ke dalam maupun keluar wilayah
tersebut.

Dari definisi tersebut dapat diambil contoh pada Kota Makassar, pada gambar diatas dapat dipahami
bahwa pelabuhan di Makassar merupakan daerah kutub pertumbuhan dimana disekitar pelabuhan
terdapat fasilitas perdagangan yang saling berkaitan dengan daerah pelabuhan.

Penerapan Teori Growth Pole di Indonesia

Di Indonesia konsep growth pole juga diadopsi dalam strategi pembangunan wilayahnya. Dampaknya
terbentuk megaurban pada berbagai wilayah yang sulit dibatasi, seperti Jabodetabek,
Gerbangkertasusila dan lain-lain. Masalah berikutnya terjadi ketimpangan wilayah, terutama dalam hal
kesejahteraan antara kota-kota utama dan wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu ada kecenderungan
masyarakat untuk mendekati kawasan potensial/sumber penghidupan, yaitu menuju kota-kota utama
tersebut

Dampak Penerapan Konsep Growth Pole di Indonesia

Dampak penerapan konsep growth pole lebih banyak dirasakan oleh penduduk pedesaan, hal ini
mengingat harapan terjadinya trickle down effect tidak terpenuhi, bahkan terjadi backwash effect yaitu
kondisi dimana aliran penduduk, modal, serta barang dan jasa dari wilayah maju ke wilayah terbelakang
dan sebaliknya cenderung menguntungkan wilayah maju dan menekan kegiatan ekonomi di wilayah
terbelakang.
Seperti di negara-negara lain, penerapan konsep growth pole di Indonesia juga menimbulkan dampak
yang tidak dapat dihindari, seperti sentralisasi, urbanisasi dan mega urban, pengangguran di perkotaan
dan pedesaan, bias perkotaan dan pro Jawa.

1. Sentralisasi

Sentralisasi pada sektor industri yang ada di Indonesia sebagai suatu dampak dari penerapan suatu teori
Growth Pole, dampak tersebut dapat dilihat dari data PDB di Indonesia yang dibagi dalam wilayah
pedesaan dan perkotaan. Apabila diasumsikan sektor primer lebih terkosenrasi pada wilayah pedesaan
sedangkan untuk sektor sekunder dan tersier terkosentrasi pada wilayah perkotaan. Pada tahun 1976-
1998 terjadi peningkatan pada sektor sekunder dan tersier pada PDB di Indonesia. Sehingga adanya
perbedaan suatu kebutuhan pada wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan. Dimana pada wilayah
perkotaan lebih besar nilai PDB dibandingkan dengan wilayah pedesaan.

2. Urbanisasi dan Megaurban

Sentralisasi dari kegiatan industri di kutub-kutub wilayah perkotaan telah menciptakan suatu lapangan
pekerjaan dan mengakibatkan banyak penduduk dari wilayah pedesaan untuk pindah ke kutub kota.
Terbatasnya pekerjaan yang ada di wilayah pedesaan mengakibatkan timbulnya urbanisasi penduduk
desa menuju kota. Akibat dari urbanisasi maka kota-kota yang terkosentrasi oleh kegiatan industri akan
membentuk suatu wilayah yang metropolitan dan megaurban, seperti Jabotabek, Bandungraya dan
sebagainya.

Ini tentunya sebagai akibat penerapan konsep growth pole yang diterapkan dalam strategi keruangan di
Indonesia. Yaitu konsentrasi pertumbuhan kegiatan ekonomi pada ruang. Konsentrasi ini di satu sisi
akan didapatkan efisiensi, tetapi di pihak lain bila konsentrasi semakin besar, efisiensi sebagai hasil dari
trickling dowmn effect, atau penetesan kesejahteraan pada wilayah sekitarnya ternyata tidak terjadi,
bahkan sebaliknya terjadi backwash effect, penyapuan sumberdaya yang ada di sekitar kutub atau pole
yang ada.

Kosentrasi kegiatan tersebut dan urbanisasi atau terjadinya megaurban ternyata tidak didukung oleh
penyediaan fasilitas yang cukup di wilayah perkotaan. Hal ini diakibatkan karena adanya keterbatasan
pemerintah dalam fasilitas tersebut. Karena jumlah penduduk yang ada di wilayah perkotaan melebihi
kapasitas suatu kota.

Pada akhirnya terjadi penurunan kualitas kehidupan di wilayah kutub (pole) maupun wilayah perkotaan,
sehingga meningkatkan biaya sosial sebagai akibat diseconomy scale, seperti pencemaran air dan udara,
marak pencurian dll.

3. Pengangguran di Perkotaan dan Pedesaan

Di perkotaan lebih didominasi oleh kegiatan industri, kegiatan tersebut memiliki kemampuan terbatas
dalam menyerap tenaga kerja, sementara lapangan kerja yang ada di pedesaan sangat terbatas juga.

Banyak pengangguran di pedesaan karena diakibatkan oleh :

o Menurunnya kualitas Sumber Daya Alam (SDA).

o Kurangnya penghargaan terhadap hasil pertanian.


o Kurangnya hasil produksi, yang biasanya dapat dilakukan 2 kali dalam setahun menjadi 1 kali dalam
setahun. Kurangnya tingkat hasil produksi tersebut diakibatkan oleh perubahan cuaca dan pasokan air
akibat berkurangrangnya mata air di pegunungan.

Dari uraian diatas mengakibatkan sulitnya masyarakat pedesaab dalam mencari alternatif pekerjaan,
oleh karena itu banyak masyarakat pedesaan yang mencari alternatif baru antara lain menuju kota
untuk mendapatkan pekerjaan seperti buruh bangunan, kuli dan lain-lain, dan bahkan masyarakat
pedesaan dalam mencari alternatif pekerjaannya ke luar negeri untuk menjadi TKI

Anda mungkin juga menyukai