Anda di halaman 1dari 25

Dosen : Dr. Sri Umiyati., M.

Si

Judul : ANALISIS PERAN STRATEGIS PENERAPAN KONSEP SISTER CITY DALAM


MENCIPTAKAN SURABAYA GREEN CITY

Oleh : (Intan Puspita Anggraeny), NIM : 20170510028)

BAB I

Sumber dan Latar Belakang Masalah

1.1 Deskripsi situasi permasalahan

Ruang terbuka hijau yang ideal adalah 30% dari luas wilayah. Hampir disemua kota besar di
Indonesia, Ruang terbuka hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Padahal ruang terbuka
hijau diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olahraga, dan komunikasi publik. Pembinaan
ruang terbuka hijau harus mengikuti struktur nasional atau daerah dengan standar-standar yang
ada (Rustam2000.wordpress.com/)

Menurut ketentuan UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan Ruang dan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang
terbuka hijau di kawasan perkotaan disebutkan bahwa pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH)
adalah area memangjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih secara
alamiah maupun yang sengaja ditanam. Dan dalam undang-undang ini disyaratkan luas RTRH
minimal 30% dari luas wilayah (Negara, Provinsi, Kota/Kabupaten).

Masalah yang ada sekarang semakin kompleks, ialah permasalahn lingkungan dan
pembangunan. Pembangunan merupakan upaya mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam
untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, baik hal itu untuk mencapai kemakmuran lahir
maupun untuk mencapai kepuasan batin sehingga penggunaan sumber daya alam harus selaras,
serasi dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup Pembangunan di Indonesia belum dapat
dikatakan menerapkan 100 persen konsep pembangunan berkelanjutan. Masih banyak kebijakan-
kebijakan publik yang ada tidak memikirkan konsep pembangunan berkelanjutan.

Kerentanan lingkungan di kota besar dapat dilihat dari padat dan besarnya populasi,
pertumbuhan ekonomi yang cepat, dan konversi penggunaan lahan. Beatley (2012), Birkmann et
al. (2010), dan Hanson et al. (2011) berpendapat bahwa penggunaan lahan yang tinggi adalah
contoh pembangunan kota yang tidak terkendali dan telah menjadi pendorong utama yang
menyebabkan degradasi lingkungan. Peristiwa alam seperti kenaikan permukaan laut, cuaca
ekstrim, banjir pesisir, dan tanah longsor telah menunjukan intensitas yang tidak teratur dalam
pola dan frekuensi (Coumou dan Robinson, 2013; Hansen, 2010; Jongman et al., 2012).

Dalam mengantisipasi hal tersebut, kapasitas kota perlu ditingkatkan, salah satunya melalui
perencanaan dan praktik tata kota yang baik. Beatley (2012), Broto dan Bulkeley (2013)
menyadari bahwa kebijakan seperti pengaturan penggunaan lahan hijau, penyediaan
insfrastruktur perkotaan yang baik, dan penyadaran penduduk tentang bahaya alam yang
diakibatkan oleh ulah manusia, perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah lokal. Terutama
pencemaran yang dilakukan dalam keseharian kaum urban berupa sampah.

Tren urbanisasi yang dinamis ditandai adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan aktifitas,
pertumbuhan penduduk yang cepat, dan populasi padat seperti Jakarta, Bandung, Medan,
Surabaya, dan Balikpapan (Jones, 2002). Studi oleh Oberman et al. (2012) menunjukkan bahwa
laju pertumbuhan percepatan baru-baru ini terjadi di kota-kota berukuran sedang di Indonesia.

Untuk mengantisipasi pencemaran lingkungan, penting bagi pemerintah untuk memiliki patokan
pengelolaan kota lain sebagai pembelajaran prihal inisiasi dan program yang telah berhasil
diimplementasikan dalam mengendalikan pencemaran lingkungan. Sejauh ini, kolaborasi antar
kota difasilitasi dalam penerapan konsep sister city (Tjandradewi and Marcotullio, 2009). Secara
umum, konsep sister city atau biasa disebut dengan kota kembar adalah kerjasama yang secara
formal disetujui dan diikat dalam jalan panjang yang dilakukan oleh 2 kota di negara berbeda.
Kerjasama yang dilakukan dalam konsep ini bisa berupa ekonomi, sosial-budaya, dan
lingkungan dan bencana.

Pertanyaan dalam tulisan ini adalah sejauh mana konsep sister city dapat membantu kota menjadi
kota yang tangguh dan responsif dalam menangani permasalahan lingkungan. Surabaya dipilih
dalam tulisan ini karena mewakili kota besar di Jawa Timur, dimana dalam beberapa tahun
terakhir Walikota Surabaya giat dalam membangun infrastruktur dalam upayanya menciptakan
green city atau yang biasa dikenal dengan ecocity.

Green city atau eco-city adalah kota yang dirancang dengan pertimbangan untuk dampak sosial,
ekonomi, lingkungan, dan tangguh bagi populasi yang ada, tanpa mengorbankan kemampuan
generasi mendatang untuk mengalami hal yang sama (Register, 2006).

Dalam perspektif nilai bisnis, beberapa hal yang bisa kita ambil manfaatnya dalam penerapan
konsep eco-city adalah peningkatan investasi hijau; peningkatan kualitas dan kuantitas pekerjaan
pada sektor hijau; dan penurunan biaya produksi yang disertai dengan peningkatan revenue.
Dengan konsep ini, maka diharapkan pelaku usaha mempu mengelola sumberdaya alam dan
lingkungan menjadi lebih baik dan berorientasi ramah lingkungan.

1.2 Arti pentingnya situasi permasalahan

Seiring perkembangan kehidupan manusia membuat kompleksitas permasalah pada suatu kota
turut berkembang semakin cepat. Metode solusi secara konvensional telah dilakukan, tapi
permasalahan berkembang pesat. Sehingga, pemerintah tidak dapat menyeimbangi antara
penyelesaiaan masalah dan munculnya masalah di kalangan suatu kota. Kota-kota di Indonesia
tengah mengalami perkembangan populasi yang sangat pesat dan tantangan perkotaan lainnya,
peningkatan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat hendaknya harus dibarengi dengan
perencanaan yang tepat. Apalagi, jika kota menjadi sasaran urbanisasi, seperti Surabaya.

Oleh sebab itu, perlu suatu teknologi informasi dan komunikasi untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Namun, penggunaan teknologi bukanlah satu-satunya cara dalam menyelesaikan
masalah. Akan tetapi dibutuhkan pendekatan yang optimal terhadap suatu masalah yang terjadi
pada suatu kota.

Sister City merupakan bentuk kerja sama yang disepakati secara resmi antara dua masyarakat di
dua Negara yang berbasis luas (O‟toole, 2001). Selain itu Sister City merupakan kerjasama
strategis jangka panjang antara masyarakat di berbagai kota atau kota-kota dimana kota mereka
menjadi pemeran utama (Villers 2005). Tujuan Sister City sama dengan definisinya yaitu
pengadaan kerjasama antar kota yang bersifat luas, dimana disepakati secara resmi dan juga
bersifat jangka panjang.

Penggunaan skema Sister City lebih sering untuk pembangunan ekonomi antara dua kota yang
bekerjasama dengan pertukaran kegiatan bisnis dengan pihak yang berkepentingan pertukaran
pendidikan dan pertukaran kebudayaan.

Keunggulan dari konsep Sister City adalah sebagai berikut:

1. Kesempatan untuk tukar menukar pengetahuan dan pengalaman pengelolaan


pembangunan bidang-bidang yang dikerjasamakan.

2. Mendorong tumbuhnya prakarsa dan peran aktif pemerintah daerah kota, masyarakat dan
swasta.

3. Mempererat persahabatan pemerintah dan masyarakat kedua belah pihak.

4. Kesempatan untuk tukar menukar kebudayaan dalam rangka memperkaya kebudayaan


daerah.

1.3 Taksiran mengenahi efektivitas (tepat guna) dan efisiensi (hasil guna) program

Terdapat beberapa hasil efektivitas dan efisiensi kerjasama Sister City di kota Surabaya, berikut
adalah penjelasannya:

1. Pendidikan
Mengadakan pertukaran delegasi pendidikan (training, seminar, kunjungan sekolah,
partisipasi acara) sehingga dapat meningkatkan wawasan Pemerintah Kota Surabaya,
guru dan siswa tentang system pendidikan dan budaya hidup.
2. Kebudayaan
Mengadakan pertukaran delegasi kebudayaan (partisipasi acara, kunjungan) sehingga
potensi kebudayaan kota Surabaya dapat dikenal oleh kota mitra.
3. Lingkungan
Mengadakan kegiatan pengelolaan sampah dan membangun model low carbon society
untuk menyelesaikan masalah energi dan lingkungan di kota Surabaya.
BAB II

Masalah Program Rencana Strategis Pembangunan

2.1 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, maka terdapat rumusan masalah
bagaimana analisis peran strategis penerapan konsep Sister City dalam menciptakan Green City?

2.2 Teori pendukung, pendekatan, metode analisa

2.2.1 Teori Strategis

Menurut Marrus (2002:31) strategi didefinisikan sebagai suatu proses penentuan rencana
para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai
penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai.
Selanjutnya Quinn (1999:10) mengartikan strategi adalah suatu bentuk atau rencana yang
mengintegrasikan tujuan-tujuan utama, kebijakan-kebijakan dan rangkaian tindakan
dalam suatu organisasi menjadi suatu kesatuan yang utuh. Strategi diformulasikan dengan
baik akan membantu penyusunan dan pengalokasian sumber daya yang dimiliki
perusahaan menjadi suatu bentuk yang unik dan dapat bertahan. Strategi yang baik
disusun berdasarkan kemampuan internal dan kelemahan perusahaan, antisipasi
perubahan dalam lingkungan, serta kesatuan pergerakan yang dilakukan oleh mata-mata
musuh. Dari kedua pendapat di atas, maka strategi dapat diartikan sebagai suatu rencana
yang disusun oleh manajemen puncak untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Rencana
ini meliputi : tujuan, kebijakan, dan tindakan yang harus dilakukan oleh suatu organisasi
dalam mempertahankan eksistensi dan menenangkan persaingan, terutama perusahaan
atau organisasi harus memilki keunggulan kompetitif.

2.2.2 Konsep Sister City

Sister city, sister cities, twin city merupakan konsep kerjasama antar dua kota, dua
propinsi, ataupun dua negara yang berbeda lokasi dan administrasi politik dengan tujuan
menjalin hubungan budaya, ekonomi, dan kontak sosial antar penduduk secara
berkesinambungan. Secara umum, sister city adalah adanya dua buah kota yang secara
resmi saling terikat dengan suatu tujuan tertentu, baik itu mempromosikan perdamaian,
pertemanan, ataupun perasaan saling mengerti antara orangorang yang berada didalamnya
(Souder et al., 2005). Sister city juga digunakan untuk mendorong hubungan perdagangan
dan pariwisata di kedua wilayah (Clarke, 2009; Kaltenbrunner et al., 2013).

Penekanan yang semakin besar pada globalisasi telah membawa analisis kota-kota global
menjadi fokus yang tajam, utamanya dalam peningkatan daya saing (Villers, 2009). Sister
city menyediakan tempat dalam menganalisis adanya hubungan antar kedua pihak lokal
dalam lingkungan global. Awalnya dipahami sebagai sarana pasca perang untuk
mengembangkan persahabatan dan ikatan budaya, sister city didasarkan pada persamaan
seperti nama atau fungsi ekonomi. Baru-baru ini, pengakuan yang lebih besar telah
diberikan kepada ekonomi dan manfaat dari koneksi ini (Cremer et al., 2001)

Mayoritas hubungan sister city saat ini terjalin di Eropa setelah perang dunia kedua.
Dengan berpegang pada prinsip, “masyarakat yang saling mengenal maka tidak akan
saling membenci”, sister city diharapkan bisa berkonstribusi pada perdamaian dunia
kedepannya (Souder et al., 2005). Sister City Organization, sebuah organisasi yang
mewadahi hubungan kerjasama antara sister city, mendefisinikannya sebagai suatu
kemitraan jangka panjang antara dua komunitas masyarakat di dua negara yang secara
resmi diakui apabila kedua komunitas tersebut menandatangani suatu perjanjian (SCI,
2012).

Tjandradewi (2006) membahas tiga faktor yang dapat memajukan pengembangan


hubungan trans-nasional dan sub-nasional. Pertama, kota-kota yang berkembang pesat di
negara berkembang yang membutuhkan bantuan harus secara aktif mencari untuk itu.
Pemerintah setempat telah mencari pengaturan kemitraan dengan rekan-rekan di negara
maju dengan harapan pengetahuan teknis dan transfer keterampilan (Kearns & Paddison,
2000). Kedua, globalisasi telah menawarkan peluang bagi negara-negara berkembang dan
kota untuk berbagi informasi penting di antara mereka dan warga mereka, teknologi
informasi canggih, arus global, termasuk orang, informasi dan pengetahuan. Ketiga,
desentralisasi dan bentuk-bentuk baru hubungan antar pemerintah antara pemerintah lokal
dan nasional telah menyediakan lingkungan yang kondusif untuk kerjasama lokal lintas
batas.

2.2.3 Syarat Umum Pembentukan Sister City

Pembentukan kerjasama Siter City atau Kota Kembar ini telah diatur dalam pasal 5
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 03 Tahun 2008. Dalam pasal itu
disebutkan bahwa jika ada daerah yang hendak mengadakan kerjasama Sister City
dengan daerah lain baik internal maupun lintas negara, maka harus memperhatikan lima
hal yaitu:

 Kesetaraan Status Administrasi

 Kesamaan Karakteristik

 Kesamaan Permasalahan

 Upaya Saling Melengkapi; dan

 Peningkatan Hubungan Kerjasama


2.2.4 Syarat Khusus Pembentukan Sister City

Selain itu, dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 03 Tahun 2008 diberikan
penegasan bahwa sebelum menjalin sebuah kerjasama Sister City, Pemerintah Daerah
setempat harus memenuhi berbagai persyaratan:

1. Hubungan Diplomatik. Daerah yang diajak kerjasama harus memiliki hubungan


diplomatik dengan Indonesia.

2. Tidak membuka kantor perwakilan di luar negeri. Pertemuan antar perwakilan daerah
tidak bersifat diplomatik tetapi hanya berupa pendelegasian.

3. Merupakan Urusan Pemerintah Daerah. Segala permasalahan dan perjanjian yang


dilakukan selama program Sister City menjadi tanggung jawab setiap pemerintah daerah
yang terlibat.

4. Tidak mengarah pada campur tangan urusan dalam negeri.

5. Sesuai dengan kebijakan dan rencana pembangunan. Kerjasama Sister City tidak boleh
dilaksanakan secara insidental.

2.2.5 Bentuk-bentuk Kerjasama antar Daerah (Mardiasmo: 2006)

 Handshake Agreement, yang dicirikan oleh tidak adanya dokumen perjanjian


kerjasama yang formal. Kerjasama model ini didasarkan pada komitmen dan kepercayaan
secara politis antar daerah yang terkait. Biasanya, bentuk kerjasama seperti ini dapat
berjalan pada daerah-daerah yang secara historis memang sudah sering bekerja sama
dalam berbagai bidang. Bentuk kerjasama ini cukup efisien dan lebih fleksibel dalam
pelaksanaannya karena tidak ada kewajiban yang mengikat bagi masing-masing
pemerintah daerah. Meski begitu, kelemahan model ini adalah potensi munculnya
kesalah-pahaman, terutama pada masalah-masalah teknis, dan sustainibility kerja sama
yang rendah, terutama apabila terjadi pergantian kepemimpinan daerah. Oleh karena itu,
bentuk kerjasama ini sangat jarang ditemukan pada isu-isu strategis.

 Fee for service contracts (service agreements). Sistem ini, pada dasarnya adalah satu
daerah “menjual” satu bentuk pelayanan publik pada daerah lain. Misalnya air bersih,
listrik, dan sebagainya, dengan sistem kompensasi (harga) dan jangka waktu yang
disepakati bersama. Keunggulan sistem ini adalah bisa diwujudkan dalam waktu yang
relatif cepat. Selain itu, daerah yang menjadi “pembeli” tidak perlu mengeluarkan biaya
awal (start-up cost) dalam penyediaan pelayanan. Akan tetapi, biasanya cukup sulit untuk
menentukan harga yang disepakati kedua daerah.
 Joint Agreements (pengusahaan bersama). Model ini, pada dasarnya mensyaratkan
adanya partisipasi atau keterlibatan dari daerah-daerah yang terlibat dalam penyediaan
atau pengelolaan pelayanan publik. Pemerintah-pemerintah daerah berbagi kepemilikan
kontrol, dan tanggung jawab terhadap program. Sistem ini biasanya tidak memerlukan
perubahan struktur kepemerintahan daerah (menggunakan struktur yang sudah ada).
Kelemahannya, dokumen perjanjian (agreement) yang dihasilkan biasanya sangat rumit
dan kompleks karena harus mengakomodasi sistem birokrasi dari pemda-pemda yang
bersangkutan.  Jointly-formed authorities (Pembentukan otoritas bersama). Di
Indonesia, sistem ini lebih populer dengan sebutan Sekretariat Bersama. Pemda-pemda
yang bersangkutan setuju untuk mendelegasikan kendali, pengelolaan dan tanggung
jawab terhadap satu badan yang dibentuk bersama dan biasanya terdiri dari perwakilan
dari pemda-pemda yang terkait. Badan ini bisa juga diisi oleh kaum profesional yang
dikontrak bersama oleh pemda-pemda yang bersangkutan. Badan ini memiliki
kewenangan yang cukup untuk mengeksekusi kebijakan- kebijakan yang terkait dengan
bidang pelayanan publik yang diurusnya, termasuk biasanya otonom secara politis.
Kelemahannya, pemda-pemda memiliki kontrol yang lemah terhadap bidang yang diurus
oleh badan tersebut.

 Regional Bodies. Sistem ini bermaksud membentuk satu badan bersama yang
menangani isu- isu umum yang lebih besar dari isu lokal satu daerah atau isu-isu
kewilayahan. Seringkali, badan ini bersifat netral dan secara umum tidak memiliki
otoritas yang cukup untuk mampu bergerak pada tataran implementasi langsung di
tingkat lokal. Lebih jauh, apabila isu yang dibahas ternyata merugikan satu daerah, badan
ini bisa dianggap kontradiktif dengan pemerintahan lokal. Di Indonesia, peranan badan
ini sebenarnya bisa dijalankan oleh Pemerintah Provinsi.

Perlu dipahami bahwa kerjasama tersebut adalah kerja sama antar kota sehingga segala
sesuatu yang dapat dilakukan merujuk pada hak dan kewenangan setingkat kota. Dengan
demikian perlu adanya kejelasan apa yang harus dilakukan kedua belah pihak ketika
nantinya muncul kendala atau permasalahan yang harus diselesaikan di luar kewenangan
kedua belah pihak/kota tersebut.

2.2.6 Tipe Hubungan Sister City

Secara budaya, pertukaran budaya seperti pertujukkan seni lukis, musik, ataupun pameran
dilakukan di sister city agar terjalin rasa saling mengerti budaya satu sama lain. Penelitian
Bell menemukan bahwa hubungan yang banyak terjadi adalah hubungan akamedik dalam
bentuk pertukaran pelajar (Souder et al., 2005). Dengan mengirimkan para pemuda dari
satu kota ke kota lain, ataupun menerima pemuda dari kota lain, dapat menjadi investasi
jangka panjang. Ketika para pemuda tersebut sudah beranjak dewasa, mereka sadar
bahwa ada kota lain diluar sana yang memiliki kesamaan dengan kota dimana mereka
berasal.
Studi yang dilakukan oleh Ramasamy dan Cremer (1998) membuktikan bahwa budaya
telah dianggap menjadi faktor penting yang mempengaruhi perdagangan lintas batas dan
investasi. Konsep hubungan sister city sebagai instrumen yang efektif untuk mendorong
hubungan budaya dan ekonomi yang lebih erat antar negara. Penekanannya adalah pada
pendekatan yang terintegrasi, berdasarkan pada hubungan yang beraneka ragam antara
budaya dan perdagangan. Pendekatan eksklusif, yang mengikuti agenda budaya atau
komersial, dipertanyakan (Ramasamy dan Cremer, 1998).

Bontenbal dan van Lindert (2009), Tjandradewi dan Marcotullio (2009) menjelaskan
bahwa desentralisasi dan globalisasi telah mendorong peningkatan perhatian dan
kapasitas pemerintah daerah di Indonesia dalam tata pemerintahan yang baik sebagai
prasyarat untuk pembangunan, serta kerja sama yang lebih luas. Kedua hal ini mendorong
instrumen kerjasama pembangunan untuk saling membantu dalam mengelola kota dan
memenuhi kebutuhan dengan cara berbagi pengetahuan, sumber daya, teknologi, dan
keahlian antar kota.

Konsep asli dari kota kembar adalah untuk meningkatkan pengertian dan perdamaian
internasional di tingkat lokal. Selama bertahun-tahun, konsep itu telah berubah dan
sekarang ada perdebatan kuat atas masuknya pertukaran komersial ke dalam hubungan
tipe kota kembar (O'Toole, 2001). Tujuan kemitraan sister city adalah untuk menyatukan
orang-orang untuk menumbuhkan saling pengertian, dan mengembangkan saling manfaat
melalui berbagi pengetahuan dan peluang baru seperti layanan pendidikan, aksi politik
dan rekreasi budaya (Shaw dan Karlis, 2002).

2.2.7 Prinsip Kesamaan Sister City

Untuk menjalin hubungan dengan kota yang akan menjadi sister city, ada beberapa
prinsip yang dijadikan acuan meskipun antara satu kota dengan kota lainnya prinsip ini
dapat berbeda-beda (Kelowna, 2010). Prinsip-prinsip tersebut antara lain: 1) Similaritas –
adanya kesamaan bersama; 2) Pertukaran – adanya potensi pertukaran dalam segi budaya,
edukasi, rekreasi, ataupun ekonomi; 3) Hubungan timbal balik – pertukaran yang sifatnya
positif harus berjalan dari dua arah; 4) Berorientasi pada masyarakat – adanya
kepemimpinan yang aktif, keterlibatan dan dukungan oleh masyarakat, melalui organisasi
ataupun bisnis yang sudah ada untuk membangun ataupun memelihara hubungan yang
sudah ada; 5) Manfaat strategis – manfaat jangka pendek dan jangka panjang yang
didapat dari hubungan melebihi biaya publik yang harus dikeluarkan untuk menjalin
ataupun memilihara hubungan yang sudah ada; 6) Eksklusivitas & Kedekatan – tidak
memiliki hubungan sister city dengan kota lainnya di negara yang sama atau lokasi yang
berdekatan dari lokasi calon sister city; 7) Kestabilan politik – kondisi politik yang stabil
dinegara tempat sister city berada, sesuai dengan hasil pengumuman dari pemerintah
pusat.
Dalam menjalin hubungan ini, terdapat sejumlah keuntungan dari kerjasama sister city,
diantaranya adalah: (1) kesempatan untuk transfer knowledge dan experience dalam
menegelola pembangunan terhadap bidang yang dikerjasamakan; (2) Mendorong
munculnya ide dan peran aktif pemerintahdaerah kota serta stakeholder lainnya; (3)
Mempererat persahabatan pemerintah dan masyarakat kedua belah pihak; (4) sebagai
kesempatan transfer culture untuk memperkaya kebudayaan daerah. Namun disisi lain
skema sister city juga menimbulkan beberapa faktor negatif, diantaranya adalah: (1)
Meningkatnya beban keuangan negara atau daerah karena memakai dana APBN atau
APBD, (2) cenderung menunggu fasilitasi dari pemerintah, (3) Memiliki potensi
ketidaksetaraan dalam kerja sama yang kurang seimbang sehingga hanya menguntungkan
satu pihak.

2.2.8 Perkembangan Sister City di Indonesia

Hingga saat ini, terdapat 47 kota dari seluruh 33 provinsi yang pernah dan memiliki
hubungan sister city (Sitinjak et al., 2014). Tujuan utama dari program sister city baik
antar kota yang ada di Indonesia maupun dengan kota di negara berkembang saat ini ialah
untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi antara kota-kota yang bersangkutan. Jakarta,
misalnya, memiliki jumlah sister city terbanyak dengan jumlah 49 sister city pada tahun
2014 dengan 21 diantaranya kota-kota di luar negeri. Menurut Kementrian Luar Negeri,
20% dari total hubungan sister city yang ada di Indonesia memiliki hubungan yang sangat
baik, 15% cukup baik dan 65% hampir tidak memiliki kegiatan sama sekali (Salam
2004). Salam (2004) menilai pemerintah Indonesia belum menganggap secara serius
konsep pembelajaran dari sister city ini. Ide sister city juga mengalami beberapa sorotan
kritik. Salah satu kritik tersebut fokus pada banyaknya hubungan yang secara ekonomi
menguntungkan bagi kota tetapi program tersebut membutuhkan biaya dari kota untuk
bisa berjalan.

Pemerintah Pusat membuat beberapa kebijakan dan program, agar Pemerintah Daerah
dapat memanfaatkan hubungan ini sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan dan
pembangunan kota/daerah masing-masing. Skema sister city ini belum dikenal dan
dipahami secara luas, bahkan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah hanya
memahami skema tersebut. Padahal, konsep skema yang diinginkan adalah hubungan
kemitraan antar komunitas kota.

2.2.9 Kerjasama Green Sister City

Hubungan kerjasama Surabaya – Kitakyushu, sesungguhnya telah terjalin sejak lama.


Namun baru berjalan efektif selama beberapa tahun belakangan ini. Kerjasama ini
tertuang dalam rencana Green Sister City, yang fokus dalam permasalah pengeloaan
sampah, peningkatan kualitas air dan pengembangan partisipasi masyarakat.
Pembangunan ini merupakan hasil pembelajaran dari kota Kitakyushu yang telah
melakukan pengelolaan sampah dengan program 3R (Reuse, Reduce, Recycle). Di TPS
Sutorejo disediakan conveyor untuk membawa sampah yang masuk untuk dipilah oleh
petugas TPS. Pemilahan sampah ini dibagi menjadi sampah organik dan anorganik.
Untuk sampah organik akan dikelola di bagian pengolahan sampah organik, untuk dapat
diolah menjadi pupur kompos.

Pupuk kompos ini kemudian digunakan untuk perawatan pohon dan tanaman yang ada di
Surabaya, hingga kini taman-taman di Surabaya menjadi subur dan indah. Sedangkan
untuk sampah anorganik disortir kembali menjadi sampah plastik, kerdus atau kertas,
botol dan sampah yang tidak bisa diolah. Untuk sampah yang tidak bisa diolah akan
dikirim ke tempat pembuangan sampah akhir, sedangkan sisanya dapat dijual ke
pengepul.

TPS Sutorejo ini mengadopsi TPS yang berada di Kitakyushu yang dikelola oleh Beetle
Nisihara Co. Ltd., yang telah berpengalaman dalam bidang pengelolaan sampah hingga
mendapat sertifikat ISO 14001 (environmental management system). Beetle Nisihara Co.
Ltd. dapat menampung sampah sejumlah 60 ton per hari, atau setara dengan 20 truk
sampah. Namun, pengelolaan dapat berlangsung cepat karena adanya peran serta
masyarakatnya. Masyarakat di Kitakyushu memiliki kesadaran untuk membuang sampah
pada tempatnya serta memilah-milah terlebih dahulu sampah berdasarkan jenisnya,
seperti sampah organik dan anorganik, sampah kertas atau kardus dan sampah plastik.

2.2.10 Rencana Kerjasama yang akan Dilaksanakan

Dalam pengelolaan limbah cair dan peningkatan kualitas air, Pemerintah Surabaya-
Kitakyushu berencana untuk membangun alat instalasi penjernihan air di Surabaya. Di
Kitakyushu, proyek instalasi air ini sudah berhasil dilaksanakan, sehingga warga di sana
sudah dapat meminum air langsung dari kerankeran air di rumah. Namun, alat instalasi
air ini tidak bisa langsung digunakan di Surabaya, disebabkan perbedaan sumber dan
jenis air di Kitakyushu dan Surabaya. Untuk itu dibutuhkan penelitian, yang sudah
dijalankan sejak tahun 2014 dan rencananya akan berakhir pada awal tahun 2016
mendatang. Bila penelitian ini sudah selesai, pihak Kitakyushu akan mengembangkan alat
instalasi air yang sesuai dengan jenis air di Surabaya, hingga nantinya warga Surabaya
dapat menikmati air minum langsung dari keran air di rumah dan di area-area publik.

Selain itu, Kitakyushu juga berencana untuk membuat alat pembangkit listrik dari sampah
yaitu dengan membuat pabrik insicerator di wilayah Surabaya, serta membangun
pembangkit energi di kawasan industri melalui proyek powerplan Kitakyushu &
Surabaya Smart Community (KS2C). Pihak Kitakyushu mengusung metode Co-
Generation System yang lebih ramah lingkungan karena berbahan gas. Pembangkit energi
ini akan dapat menghasilkan listrik dan uap. Namun proyek KS2C ini masih dalam masa
penjajakan.
Melalui kerjasama dengan Kitakyushu, Surabaya sudah mengalami perkembangan yang
baik. Dari awalnya merupakan kota yang penuh dengan sampah dan sungai yang
tercemar, kemudian menerapkan sistem pengelolaan sampah yang baik sehingga berhasil
mengurangi volume sampah yang ada dan memenangkan piala Adipura sebagai kota
terbersih. Kemudian, Surabaya akan melanjutkan proses kerjasama melalui rencana
program powerplant di kawasan industri (Kitakyushu-Surabaya Smart Community),
program pembangkit listrik tenaga sampah, serta pembangunan instalasi penjernih air.

2.2.11 Nilai Bisnis dari Konsep Sister City

Kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya dengan kota Kitakyushu
menjadi strategis dalam menginisiasi munculnya komunitas hijau (green community)
bukan hanya dari sisi konsumen namun juga produsen. Pemangku kepentingan yang
terlibat dalam komunitas tersebut melibatkan pemerintah, pelaku usaha, masyarakat
dalam pembangunan kota hijau kalangan bisnis dan kalangan masyarakat dalam
pembangunan kota hijau.

Penciptaan nilai bisnis yang berorientasi lingkungan menjadi alternatif bagi perusahaan
dalam menciptakan keunggulan bersaing yang efektif dan menjadikan perusahaan sukses
secara global. Di kota-kota besar dunia, potensi eco-city menjadi hal potensial untuk
dijajaki kerjasama antar kedua negara, utamanya dalam peluang bisnis dan investasi pada
sektor manufaktur, transportasi, pusat perbelanjaan, pendidikan, perkantoran, dan
insfrastruktur yang berorientasi lingkungan. Beberapa proyek bisnis dalam eco-city yang
berhasil menarik investasi besar diantaranya Songdo International Business District
(investasi US$40 miliar) Seoul, Korea Selatan; Roppongi Hills (US$4 miliar) Tokyo,
Jepang; Clark Green City (US$59,3 miliar) Capas, Tarlac, Filipina; Centenary City
Nigeria (US$18 miliar) Nigeria; dan Meikarta (Rp278 triliun) Cikarang, Indonesia.

2.2.12 Pendekatan

Ditinjau dari jenis datanya pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode ilmiah (Moleong, 2007:6).

Adapun jenis pendekatan penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif yaitu
penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang
berdasarkan data-data.

Jenis penelitian deskriptif kualitatif yang digunakan pada penelitian ini dimaksudkan
untuk memperoleh informasi mengenai peran strategis penerapan konsep Sister City
dalam menciptakan Green City. Selain itu, dengan pendekatan kualitatif diharapkan dapat
diungkapkan situasi dan permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan ini..

2.2.13 Metode Analisa

Pengumpulan data akan mencakup pertanyaan dari setiap data yang relevan dengan
kapasitas lokal. Tujuannya adalah mengidentifikasi daerah di mana kerjasama sister city
dapat dilakukan dan jenis kegiatan dalam rangka kerjasama antara kedua daerah. Sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sebuah sumber sekunder
adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data melalui
orang lain atau melalui dokumen.

Sumber-sumber sekunder yang diperoleh dari literatur seperti jurnal ilmiah, buku, serta
dokumen lainnya yang terkait dengan penelitian ini, termasuk data dari website.
Penelitian yang menggunakan data sekunder juga dapat berupa ringkasan, sintesa dari
penelitian terdahulu (Crouch dan Housden, 2013). Data yang akan dikumpulkan seluruh
penelitian bervariasi, mulai dari dokumen resmi pemerintah Informasi demografi lokal,
karakteristik sosial-budaya dan kondisi ekonomi dan rencana pembangunan; persepsi
pemerintah dan masyarakat tentang pembangunan; termasuk kegiatan sosial budaya dari
masyarakat setempat.

2.3 Pelaku-pelaku utama (analisa aktor)

1. Dinas Lingkungan Hidup

2. Pemerintah Kota Surabaya

3. Pemerintah Kota Kitayushu

4. Pelaku Usaha

5. Masyarakat

2.4 Manfaat penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini diharapkan mempunyai
manfaat dalam pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun manfaat
penelitian ini adalah sebagai berikut :

2.4.1 Manfaat teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapa bermanfaat yaitu:

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pembaharuan kurikulum mengenai strategi


pengembangan sister city.
b. Memberikan sumbangan ilmiah dalam ilmu pengembangan sister city untuk
meningkatkan Surabaya green city.

c. Sebagai pijakan dan referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan


dengan peningkatan kemampuan sains pada anak usia dini serta menjadi bahan kajian
lebih lanjut.

2.4.2 Manfaat praktis

Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut :

a. Bagi penulis
Dapat menambah wawasan dan pengalaman langsung tentang cara meningkatkan
kemampuan sains anak melalui metode eksperimen.
b. Bagi pendidik dan calon pendidik
Dapat menambah pengetahuan dan sumbangan pemikiran tentang cara
mengembangkan kemampuan sains khususnya melalui metode eksperimen.
c. Bagi perguruan tinggi
Sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun program pembelajaran serta
menentukan metode dan media pembelajaran yang tepat untuk mengembangkan
kemampuan sains anak.

2.5 Pengukuran efektivitas dan efisiensi

2.5.1 Indikator efektivitas

Barnard dalam Prawirosentono (2008: 27) yang mengatakan bahwa efektivitas adalah
kondisi dinamis serangkaian proses pelaksanaan tugas dan fungsi pekerjaan sesuai
dengan tujuan dan saranan kebijakan program yang telah ditetapkan, dengan definisi
konseptual tersebut didapat dimensi kajian, yaitu dimensi efektivitas program.

Dimensi Efektivitas Program diuraikan menjadi indikator:

(1) Kejelasan tujuan program

(2) Kejelasan startegi pencapaian tujuan program

(3) perumusan kebijakan program yang mantap

(4) penyusunan program yang tepat

(5) Penyediaan sarana dan prasarana

(6) Efektivitas operasional program

(7) Efektivitas fungsional program


(8) Efektivitas tujuan program

(9) Efektivitas sasaran program

(10) Efektivitas individu dalam pelaksanaan kebijakan program; dan

(11) Efektivitas unit kerja dalam pelaksanaan kebijakan program.

2.5.2 Indikator efisiensi

Indikator efisiensi merupakan ukuran terhadap hubungan antara input dengan output
untuk suatu waktu tertentu. Karena efisiensi diukur dengan membandingkan output dan
input. Jenis indikator efiseinsi yang digunakan oleh auditor berbeda, tergantung kondisi
auditnya, yaitu:

a. Output/ outcome tunggal

Indikator ini berguna untuk menghitung efisiensi pada kasus-kasus dimana hanya ada
satu output atau outcome untuk setiap kebijakan atau sasaran, dan dimana semua input
dapat dikaitkan pada output atau outcome yang sama.

b. Jajaran beberapa output/ outcome

Indikator ini digunakan saat kebijakan tujuan berkaitan dengan beberapa output atau
outcome yang berbeda. Apabila input yang digunakan untuk menghasilkan tiap output
atau outcome dapat diketahui, maka akan dapat dibentuk indikator tunggal untuk tiap
output atau outcome.
BAB III

Alternatif Program Pemerintah

3.1 Analisa SWOT

STRENGTHS

1. Kesempatan untuk tukar


menukar pengetahuan dan
pengalaman
2. Mendorong tumbuhnya
prakarsa dan peran aktif
pemerintah
3. Mempererat persahabatan
4. Kesempatan untuk tukar
menukar kebudayaan

THREATS WEAKNESSES
SWOT
1. Kualitas dan kuantitas SDM 1. Sering menunggu fasilitas dari
2. Mekanisme dan tata cara/prosedur STRENGTHS, WEAKNESSES, pemerintah
OPPORTUNITIES, THREATS
3. Penganggaran/pendanaan 2. Muncul ketidaksetaraan
4. Koordinasi dan perizinan 3. Kerjasama kurang seimbang
4. Menguntungkan salah satu pihak

OPPORTUNIES

1. Terbentuknya Masyarakat
Eknonomi ASEAN (MEA)
2. Perkembangan sector wisata
3. Menambah pemasukan
daerah
3.1.1 Analisa Strengths (Kekuatan)

1. Kesempatan untuk tukar menukar pengetahuan dan pengalaman pengelolaan


pembangunan bidang-bidang yang dikerjasamakan.

2. Mendorong tumbuhnya prakarsa dan peran aktif pemerintah daerah kota, masyarakat
dan swasta.

3. Mempererat persahabatan pemerintah dan masyarakat kedua belah pihak.

4. Kesempatan untuk tukar menukar kebudayaan dalam rangka memperkaya


kebudayaan daerah.

3.1.2 Analisa Weaknesses (Kelemahan)

1. Sering menunggu fasilitas dari pemerintah

2. Muncul ketidaksetaraan

3. Kerjasama kurang seimbang

4. Menguntungkan salah satu pihak

3.1.3 Analisa Opportunities (Kesempatan)

1. Terbantuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN

Masyarakat Ekonomi ASEan adalah istilah untuk pembentukan pasar tunggak yang
nentinya memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-
negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat.

2. Perkembangan sector wisata

Sektor pariwisata menjadi salah satu sector unggulan sehingga mendapatkan perhatian
lebih dari pemerintah yang ada. Dengan hal tersebut mendorong semakin banyak
wisatawan berkunjung sehingga berdampak pada peningkatan ekonomi dan
pengembangan kawasan ekonomi dan bisnisnya.
3. Menambah pemasukan daerah

Dapat mendorong adanya pemasukan bagi daerah yang megimplemestasikannya.

3.1.4 Analisa Threats (Tantangan)

(1) Mekanisme dan tata cara/prosedur perlu disesuaikan dengan prosedur yang telah
ditetapkan;

(2) Penganggaran/pendanaan perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan


keuangan daerah;

(3) Koordinasi dan perizinan kepada Pemerintah Pusat dan pendampingan dari
Pemerintah Provinsi;

(4) Kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur pelaksana masih
terbatas dan perlu peningkatan;

3.2 Analisa resiko

Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kerjasama Sister City dalam penataan perkotaan di
Kota Surabaya berdasarkan hasil yang ditemui dalam kajian ini, meliputi:

(1) Mekanisme dan tata cara/prosedur perlu disesuaikan dengan prosedur yang telah
ditetapkan;

(2) Penganggaran/pendanaan perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan


keuangan daerah;

(3) Koordinasi dan perizinan kepada Pemerintah Pusat dan pendampingan dari Pemerintah
Provinsi;

(4) Kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur pelaksana masih terbatas
dan perlu peningkatan;

(5) Pelaporan hasil pelaksanaan belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah


kota/kabupaten;

(6) Kegiatan monitoring dan evaluasi yang belum dilaksanakan oleh pemerintah
kota/kabupaten yang bertujuan untuk mengetahui kemajuan serta hasil kerjasama Sister
City yang telah dilaksanakan.

(7) Kurangnya motivasi oleh pemerintah setempat untuk menindaklanjuti kegiatan yang
telah dilaksanakan untuk keberlanjutan program kerjasama yang telah dilaksanakan
(8) Terdapat masalah aspek implementasi, yang seharusnya program kerjasama yang
dilaksanakan seharusnya dapat sinkron atau sesuai dengan keinginan dari stakeholders, serta
diperlukan adanya konsistensi dan dukungan dalam pendanaan yang disediakan oleh
pemerintah kota.

Pelaksanaan kerjasama Sister City di sisi lain, hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa realitas
menunjukkan manfaat kerjasama Sister City belum sepenuhnya menyentuh keseluruh lapisan
masyarakat di Kota Surabaya.

Upaya untuk meningkatkan fundamental ekonomi dalam kerangka mengembangkan ekonomi


daerah adalah dengan mengembangkan network pemerintahan yang merupakan bagian dari
pembentukan capacity building untuk mewujudkan good governance yang mengarah pada
keuntungan bersama. Kenyataan bahwa daerah pasti memiliki berbagai keterbatasan untuk
melakukan berbagai pengembangan, dan penataan perkotaan merupakan alasan substansial
dimungkinkannya proses belajar sendiri dan kolaborasi dengan pihak lain, yang memungkinkan
daerah memiliki kebebasan untuk saling belajar dan membagi pengalaman (action and learning
by doing), yang salah satunya adalah dengan mengembangkan model Sister City dengan kota di
negara lain, sehingga akan terjadi tukar menukar pengalaman dari tempat lain, melalui suatu
jaringan kerja yang terencana. KSC sangat membantu dalam proses belajar cepat di daerah,
menciptakan linkage kepentingan yang lebih luas (broad base).

Penanganan permasalahan KSC memerlukan kebijakan pemerintah yang lebih bersifat


komprehensif dan lintas sektoral. Pengembangan KSC tidak dapat berdiri sendiri sebab
merupakan suatu produk kolektif. sehingga manfaat maksimal hanya dapat dicapai bila
pertumbuhan Sister City ini selaras dengan usaha pemeliharaan dan pengembangan sektor
lainnya. Pembangunan Sister City juga harus mempertimbangkan daya dukung kota karena
pengembangan kerjasama Sister City ini akan berdampak luas tidak saja akan meningkatkan
peranan Sister City secara ekonomi, tetapi menjadi multiplier effect bagi pengembangan sektor
lainnya. Pemerintah perlu memberi perhatian yang Iebih besar terhadap fenomena hubungan
kerjasama Sister City di Indonesia, baik melalui ketentuan perundangan yang dapat menciptakan
suasana kondusif juga melalui bimbingan dan dorongan agar kegiatan kerjasama Sister City
tersebut bermanfaat dalam upaya mendorong percepatan pembangunan kota dan daerah di
Indonesia.
BAB IV

Rekomendasi Program RSP

4.1 Deskripsi alternatif yang disarankan

1. Pelaksanaan KSC dalam penataan perkotaan seharusnya memperhatikan mekanisme


atau tatacara/prosedur dan tahapan pelaksanaan kerjasama yang disesuaikan dengan
peraturan dan pedoman pelaksanaan kerjasama Sister City/Sister Province yang telah
ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri.
2. Pelaksanaan Kerjasama Sister City harus mendapat dukungan dari Pemerintah Provinsi
dalam hal pendampingan, koordinasi dan fasilitasi dari pemerintah pusat dalam hal ini
pihak Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian lain yang
terkait dengan bidang kerjasama Sister City, sehingga dapat terkoordinasi dengan baik
dan dapat dilaksanakan secara terpadu antar tingkat pemerintahan.
3. Pelaksanaan KSC antar pemerintah daerah kota/kabupaten dengan kota mitra
kerjasamanya di luar negeri diupayakan harus terjalin hubungan kemitraan antar
komunitas kota yang dilaksanakan secara bersinergi antara stakeholders kota/
kabupaten secara lengkap, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dan kegiatan
kerjasama tersebut dapat disosialisasikan kepada seluruh masyarakat melalui media
informasi/komunikasi dan media sosial lainnya, sehingga kegiatan kerjasama Sister City ini
dapat diketahui olah seluruh lapisan masyarakat.
4. Perlunya dukungan penganggaran dalam pembiayaan KSC dan dalam proses
penganggarannya harus dialokasikan sesuai dengan kebutuhan, baik pada tahap
pelaksanaan dan dalam menerima kunjungan delegasi mitra kerjasama Sister City.
5. Pemerintah kota/kabupaten perlu mencermati program KSC yang ditawarkan yang harus
disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan
bidang-bidang kerjasama yang disepakati harus dapat diimplementasikan, sehingga
kegiatan kerjasama tersebut dapat memberikan manfaat/keuntungan bagi kedua belah
pihak yang bekerjasama.
6. Peningkatan kuantitas dan kualitas Sumber Daya Manusia Aparatur pelaksana KSC
dengan harapan dapat mengoptimalkan pelaksanaan kerjasama Sister City yang
dilaksanakan.
7. Pemerintah kota/kabupaten perlu mengembangkan potensi sumberdaya lokal yang
dimiliki dan melaksanakan koordinasi dengan pihak terkait dalam mendukung penataan
perkotaan serta pembangunan sektor lainnya.
8. Pemerintah kota/kabupetan dalam melaksanakan KSC dapat melibatkan peran perguruan
tinggi di daerah, sehingga dapat berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah penataan
perkotaan dan bidang-bidang kerjasama lainnya, hal ini didasarkan bahwa pihak
perguruan tinggi memiliki tenaga ahli ataupun pakar dalam bidang tertentu yang dapat
membantu memberikan kontribusi pemikiran dalam pelaksanaan kerjasama Sister City.
9. Perlunya sarana prasarana teknologi dan jaringan komunikasi yang memadai dan
berkualitas, sehingga dapat mendukung kelancaran tugas aparatur pelaksana KSC dengan
mitra kerjasama, untuk kelancaran kerjasama antara kedua belah pihak.
10. Dalam pelaksanaan kerjasama Sister City oleh pemerintah kota/kabupaten terkadang
ditemukan adanya sensivitas terhadap perbedaan kultur/kebudayaan, maka dalam
pelaksanaan kerjasama Sister City tersebut seharusnya dilaksanakan secara
seimbang, baik dalam aspek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi antara kedua belah
pihak yang melaksanakan kerjasama.

11. Dalam menjaga kesinambungan program kerjasama Sister City yang dilaksanakan
seharusnya kerjasama tersebut memiliki tujuan, dan sasaran yang jelas, serta diupayakan
bahwa kedua belah pihak yang bekerjasama dapat bertemu setiap tahun untuk membahas
dan mengembangkan MoU yang telah disepakati, serta melaksanakan evaluasi bersama
terhadap progress kerjasama, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat dan
keberlanjutan kerjasama bagi kedua belah pihak.
12. Dalam pelaksanaan kerjasama Sister City oleh pemerintah kota/kabupaten yang
diinginkan adalah hubungan kemitraan antar komunitas kota, sehingga idealnya
pemerintah kota/kabupaten dalam melaksanakan kerjasama dapat memanfaatkan
dan memaksimalkan hubungan kerjasama yang dilaksanakan untuk penataan perkotaan
dan upaya percepatan pembangunan di masing-masing kota yang melaksanakan
kerjasama Sister City.
4.2 Kerangka strategis bagaimana

Strengths Weaknesses
1. Kesempatan untuk tukar 1. Sering menunggu fasilitas
menukar pengetahuan dan dari pemerintah
Strategi: pengalaman 2. Muncul ketidaksetaraan
1. S-O 2. Mendorong tumbuhnya 3. Kerjasama kurang
2. W-O prakarsa dan peran aktif seimbang
3. S-T pemerintah 4. Menguntungkan salah satu
4. W-T 3. Mempererat persahabatan pihak
4. Kesempatan untuk tukar
menukar kebudayaan

Opportunities Strategi: S-O Strategi: W-O


1. Terbentuknya Masyarakat 1. Meningkatkan kualitas 1. Menjadikan birokrasi
Ekonomi ASEAN (MEA) pelayanan masyarakat lebih mudah, dan
2. Perkembangan sector agar siap mengahadapi transparan
wisata kedatangan masyarakat 2. Mengembangkan
3. Menambah pemasukan ASEAN kesepakatan tertulis MoU
daerah 2. Memberdayakan (Memorandum of
masyarakat dengan Understanding) lebih jelas
meningkatkan ilmu dan trasnparan serta
pengetahuan dan berkelanjutan.
kebudayaan
Threats Strategi: S-T Strategi: W-T
1. Kualitas dan kuantitas 1. Meningkatkan 1. Memberikan fasilitas
SDM infrastruktur guna kepada SDM untuk dapat
2. Mekanisme dan tata mendukung berjalannya menjadi delegasi ke kota
cara/prosedur kegiatan masyarakat yang mitra untuk belajar secara
3. Penganggaran/pendanaan lebih baik langsung di tempat yang
4. Koordinasi dan perizinan 2. Meningkatkan taraf hidup menjadi sister city
Pendidikan masyarakat sehingga dapat membantu
dengan mewajibkan mengimplementasikan
belajar 9 tahun atau program-program dan
bahkan sampai ke jenjang birokrasi di kota sendiri
sarjana agar menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Beatley, T. (2012). Planning for coastal resilience: Best practices for calamitous times. Island
Press.

Birkmann, J., Garschagen, M., Kraas, F., & Quang, N. (2010). Adaptive urban governance: new
challenges for the second generation of urban adaptation strategies to climate change.
Sustainability Science, 5(2), 185-206.

Broto, V. C., & Bulkeley, H. (2013). A survey of urban climate change experiments in 100 cities.
Global environmental change, 23(1), 92-102.

Clarke, N. (2009). In what sense ‘spaces of neoliberalism’? The new localism, the new politics
of scale, and town twinning. Political Geography, 28(8), 496-507.

Coumou, D., & Robinson, A. (2013). Historic and future increase in the global land area affected
by monthly heat extremes. Environmental Research Letters, 8(3), 034018.

Cremer, R. D., De Bruin, A., & Dupuis, A. (2001). International Sister ‐ Cities: Bridging the
Global‐ Local Divide. American Journal of Economics and Sociology, 60(1), 377-401.

Crouch, Sunny., and Matthew Housden (2003). Marketing research for managers; The Marketing
Series; Chartered Institute of Marketing. Butterworth-Heinemann. p. 22. ISBN 0750654538.

Gina Puspitasari Rochman, d. H. (t.thn.). Evaluasi Keberhasilan Kerjasama Antar Kota"Sister


City" Kota Surabaya. Perencanaan Wilayah dan Kota, 1-10.

Hansen, H. S. (2010). Modelling the future coastal zone urban development as implied by the
IPCC SRES and assessing the impact from sea level rise. Landscape and Urban Planning, 98(3-
4), 141-149.
Hanson, S., Nicholls, R., Ranger, N., Hallegatte, S., Corfee-Morlot, J., Herweijer, C., & Chateau,
J. (2011). A global ranking of port cities with high exposure to climate extremes. Climatic
change, 104(1), 89-111.

Jones, G. W. (2002). Southeast Asian urbanization and the growth of megaurban regions. Journal
of Population Research, 19(2), 119-136.

Jongman, B., Ward, P. J., & Aerts, J. C. (2012). Global exposure to river and coastal flooding:
Long term trends and changes. Global Environmental Change, 22(4), 823-835.

Kaltenbrunner, A., Aragón, P., Laniado, D., & Volkovich, Y. (2013). Not all paths lead to Rome:
Analysing the network of sister cities. In International Workshop on Self-Organizing Systems
(pp. 151-156). Springer, Berlin, Heidelberg.

Kearns, A., & Paddison, R. (2000). New challenges for urban governance. Urban Studies, 37(5-
6), 845-850.

Kelowna, C. O. (2010). Council Policy of Sister Cities. C. Services. Kelowna.

Kementrian Dalam Negeri RI. 2008. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.3 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri. Jakarta.

Oberman, R., Dobbs, R., Budiman, A., Thompson, F., & Rossé, M. (2012). The archipelago
economy: Unleashing Indonesia’s potential. McKinsey Global Institute.

O'Toole, K. (2001), “Kokusaika and internationalisation: Australian and Japanese Sister City
type relationships”, Australian Journal of International Affairs, Vol. 55 No. 3, pp. 403‐ 19.

Pemerintah Kota Surabaya. 2011. Laporan Kerjasama Sister City. Kota Surabaya: Pemerintah
Kota Surabaya.

Ramasamy, B. and Cremer, R. (1998), “Cities commerce and culture: the economic role of
international sister city relationships between New Zealand and Asia”, Journal of the Asia pacific
Economy, Vol. 3 No. 3, pp. 446‐ 61.

Register, R. (2006). Ecocities: Rebuilding cities in balance with nature. New Society Publishers.

Salam, U. (2004). Dinamika Kerjasama Internasional Provinsi di Indonesia dengan Luar Negeri.
Makalah Lokakarya Cara Penanganan Kerjasama Internasionl, 7.

Shaw, S., & Karlis, G. (2002). Sister-city partnerships and cultural recreation: The case of
Scarborough, Canada and Sagamihara, Japan. World Leisure Journal, 44(4), 44-50.

Sister Cities International. 2004. What are Sister Cities?. Washington DC.
Sister Cities International (SCI), 2012. www.sistercities.org/sites/default/files/SCI_2012_
Annual_Report.pdf. Diakses pada 1 April 2017.

Sitinjak, Efraim; Saut Sagala dan Elisabeth Rianawati., 2014. Opportunity for Sister City
Application to Support Resilience City. Working Paper Series.

No. 8, May 2014. Resilience Development Initiative.

Souder, D. B., Bredel, S., & Rodd, L. R. (2005). A Study of Sister City Relations. A research
paper of Asian Languages and Civilizations in University of Colorado.

Tjandradewi, B. I. (2006). Evaluation of cityto-city cooperation: case study experiences within


Asia (Doctoral dissertation, Ph. D. Dissertation, Department of Urban Engineering, University
Of Tokyo, Tokyo).

Tjandradewi, B. I., & Marcotullio, P. J. (2009). City-to-city networks: Asian perspectives on key
elements and areas for success. Habitat International, 33(2), 165-172.

Anda mungkin juga menyukai