Anda di halaman 1dari 19

ANALISIS PERTUMBUHAN KOTA BARU JABABEKA

(Rahayu Handayani, Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UI)

1. Latar Belakang
1.1. Review Teori Pertumbuhan Wilayah
Pertumbuhan wilayah merupakan suatu proses dinamika perkembangan internal dan eksternal
wilayah tersebut, pertumbuhan wilayah pada awalnya dipicu oleh adanya pasar yang dapat
menyerap hasil produksi wilayah yang bersangkutan (Alkadri et al. 1999). Perkembangan
wilayah ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Glasson,
1990). Wilayah metropolitan merupakan perwujudan perkembangan yang alamiah dari suatu
permukiman perkotaan yang berkembang pesat.

Menurut Waluyo (2014) Metropolitan Jabodetabek, merupakan salah satu metropolitan yang
terdapat di Indonesia yang pembentukannya disebabkan oleh adanya keterkaitan antar
wilayah yang membuat adanya suatu hubungan sehingga setiap kota/kabupaten yang berada
di dalamnya terus berkembang. Perkembangan Metropolitan Jabodetabek tidak terlepas
dengan perkembangan ekonomi dan populasi di dalamnya. Metropolitan Jabodetabek
merupakan kawasan yang terdiri atas tiga bagian, yaitu inti atau pusat, inner zone, dan outer
zone (Mamas, 2008). Bagian pusat dari Metropolitan Jabodetabek adalah Kota Jakarta.
Kawasan pinggiran inner zone terdiri atas Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Tangerang, dan
Kota Tangerang Selatan. Kawasan pinggiran outer zone terdiri atas Kabupaten Bekasi,
Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan Kabupaten Tangerang.

Perkembangan wilayah metropolitan yang semakin pesat mendorong tumbuhnya beberapa


kota baru di area outer zone. Kota baru dalam negara berkembang merupakan bentuk
dekonsentrasi kegiatan industri dan residensial (Zhou dan Ma, 2000). Oleh karena itu,
kegiatan perekonomian utama dari kota baru berupa sektor industri sehingga perlu dilihat
bagaimana kesesuaian antar supply dan demand dari lapangan pekerjaan yang terbentuk dari
sektor industri tersebut. Terdapat tiga kota baru yang tumbuh di Kawasan Metropolitan
Jabodetabek, salah satunya adalah Kota Jababeka. Menurut Wihadhi (2014) awalnya
pengembangan Kota Baru lewat perencanaan menciptakan pasar dengan membangun kota
terintegrasi.

1
Hakekat pembangunan nasional termasuk pengembangan wilayah adalah bagaimana memacu
pertumbuhan wilayah, dan menyebarkannya (growth with equity) secara lebih merata
sehingga dapat mensejahterakan masyarakat yang ada didalamnya. Berikut akan dijelaskan
beberapa teori pertumbuhan wilayah.
a) Teori Resources Endowment atau Resource Base.
Teori ini dikemukakan oleh Harver Perloff dan Lowdon Wingo, Jr. (1961) dalam
tulisannya Natural resources Endowment and Regional Economic Growth.
Pertumbuhan wilayah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya dan
kemampuannya untuk memproduksinya, untuk keperluan ekonomi nasional dan
ekspor. Dengan kata lain wilayah memiliki Comparative Advantages terhadap
wilayah lain (spesialisasi). Kegiatan ekspor akan memperluas permintaan dan efek
multiplier yang berpengaruh pada dinamika wilayah. Sumberdaya yang baik adalah :
(1) mensupport produksi nasional, (2) memiliki efek backward and forward linkages
yang luas, (3) efek multiplier, yaitu kemampuan meningkatkan permintaan produksi
barang dan jasa wilayah. Permintaan merupakan fungsi dari jumlah penduduk,
pendapatan, struktur produksi, pola perdagangan, dll.

b) Teori Pertumbuhan Neoklasik.


Teori ini dikembangkan dan banyak dianut oleh ekonom regional dengan
mengembangkan asumsi Neoklasik. Tokohnya adalah Harry W. Richradson (1973)
dalam bukunya Regional Economic Growth. Teori ini mengatakan bahwa
pertumbuhan wilayah tergantung tiga faktor yaitu tenaga kerja, ketersediaan modal
(investasi), dan kemajuan teknologi (eksogen, terlepas dari faktor investasi dan tenaga
kerja). Semakin besar kemampuan wilayah dalam penyediaan 3 faktor tersebut,
semakin cepat pertumbuhan wilayah. Selain tiga faktor di atas, teori ini menekankan
pentingnya perpindahan (mobilitas) faktor produksi, terutama tenaga kerja dan modal
(investasi) antar wilayah, dan antar negara. Pola pergerakan ini memungkinkan
terciptanya keseimbangan pertumbuhan antar wilayah.

c) Teori Baru Pertumbuhan Wilayah


Teori ini percaya pada kekuatan teknologi (sebagai faktor endogen) dan inovasi
sebagai faktor dominan pertumbuhan wilayah (untuk meningkatkan produktivitas).
Kuncinya adalah investasi dalam pengembangan sumberdaya manusia dan research
and development. Teknologi tinggi dan inovasi yang didukung oleh sumberdaya

2
manusia yang berkualitas dan riset dan pengembangan adalah syarat meningkatkan
pertumbuhan wilayah. Pengalaman di negara lain (maju) menunjukkan bahwa
semakin tinggi faktor di atas, maka perkembangan wilayah semakin cepat.

1.2. Review Teori Ekosistem, Ekologi Perkotaan


Kota sebagai suatu obyek hidup yang di dalamnya terdapat masyarakat (yang kompleks)
mengalami proses interrelasi antar manusia dan antara manusia dengan lingkungannya.
Produk dari proses-proses ini adalah pola struktur penggunaan lahan kota (tiga bentuk
kerangka struktur kota) (Soegijoko, 2016). Kerangka struktur kota tersebut dijelaskan melalui
tiga teori yaitu:
a) Teori Konsentrik
Teori konsentris dari Ernest W. Burgess dalam Yunus (2000), seorang sosiolog
beraliran human ecology, merupakan hasil penelitian Kota Chicago pada tahun 1923.
Menurut pengamatan Burgess, Kota Chicago ternyata telah berkembang sedemikian
rupa dan menunjukkan pola penggunaan lahan yang konsentris yang mencerminkan
penggunaan lahan yang berbeda-beda. Burgess berpendapat bahwa kota-kota
mengalami perkembangan atau pemekaran dimulai dari pusatnya, kemudian seiring
pertambahan penduduk kota meluas ke daerah pinggiran atau menjauhi pusat. Zona-
zona baru yang timbul berbentuk konsentris dengan struktur bergelang atau
melingkar. Berdasarkan teori konsentris, wilayah kota dibagi menjadi lima zona
sebagai berikut.

Gambar 1.1. Struktur Kota Menurut Teori Konsentris

b) Teori Sektoral
Teori sektoral dikemukakan oleh Hommer Hoyt dalam (Yunus, 2000). Teori ini
muncul berdasarkan penelitiannya pada tahun 1930-an. Hoyt berkesimpulan bahwa
proses pertumbuhan kota lebih berdasarkan sektorsektor daripada sistem gelang atau
melingkar sebagaimana yang dikemukakan dalam teori Burgess. Hoyt juga meneliti
Kota Chicago untuk mendalami Daerah Pusat Kegiatan (Central Business District)

3
yang terletak di pusat kota. Ia berpendapat bahwa pengelompokan penggunaan lahan
kota menjulur seperti irisan kue tar. Mengapa struktur kota menurut teori sektoral
dapat terbentuk? Para geograf menghubungkannya dengan kondisi geografis kota dan
rute transportasinya. Pada daerah datar memungkinkan pembuatan jalan, rel kereta
api, dan kanal yang murah, sehingga penggunaan lahan tertentu, misalnya
perindustrian meluas secara memanjang. Kota yang berlereng menyebabkan
pembangunan perumahan cenderung meluas sesuai bujuran lereng.

Gambar.1.2. Struktur Kota Menurut Teori Sektoral

c) Teori Pusat Jamak


Teori ini merupakan teori yang di rumuskan oleh C.Harris dan E.Ullman yang dikenal
dengan teori “multiple nuclei”. Pola ini pada dasarnya merupakan modifikasi dan
kombinasi dari dua pendekatan sebelumnya, dimana dinyatakan bahwa kota tidak
selalu terbentuk dari satu pusat, akan tetapi dari beberapa pusat lainnya dalam satu
kawasan. Lokasi zona-zona keruangan yang terbentuk tidak ditentukan dan
dipengaruhi oleh faktor jarak dari CBD serta membentuk persebaran zona-zona ruang
yang teratur, akan tetapi berasosiasi dengan sejumlah faktor, dan pengaruh faktor-
faktor ini akan menghasilkan pola-pola keruangan yang khas (Yunus, 2000).

Gambar.1.3. Struktur Kota Menurut Teori Pusat Jamak

4
Alan Gilbert dan Josef Gugler, penulis buku “Cities, Poverty and Development: Urbanization
in The Third World” memberikan pernyataan bahwa ciri-ciri perkembangan kota-kota di
negara dunia ketiga adalah terjadinya polarisasi dan distorsi. Dimana disaat pusat kota
mengalami akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi yang memicu akselerasi
industrialisasi.

1.3. Daya Dukung Kota


Daya dukung Kota Baru Jababeka tentunya masih mengacu pada Daya Dukung Lingkungan
Hidup pada kajian KLHS RTRW Provinsi Jawa Barat yang melingkupi hal-hal sebagai
berikut:
a) Daya Dukung Lahan
Kecamatan Cikarang Utara berdasarkan RTRW Kabupaten Bekasi memiliki daya
dukung lahan yang tinggi dan kondisi geografis yang datar sehingga sangat cocok
untuk permukiman dan industri. Luas area Kota Jababeka mencapai 5.600 hektare,
dengan hampir 3,628 hektar lahan telah terbangun (Siregar, 2012). Sehingga luasan
lahan yang masih dapat dikembangkan menjadi industry dan permukiman masih
tersisa seluas 1972 hektare.

b) Daya Dukung Sumber Daya Air


Sebagai sumber utama kehidupan, masyarakat sangat bergantung pada air bersih,
Jababeka menempatkan penyediaan air bersih sebagai hal terpenting. Air bersih untuk
kawasan industri dan air minum bagi masyarakat disediakan oleh dua unit pabrik
pengolahan air dengan kapasitas produksi 470 liter/detik di Kawasan Industri Tahap I
dan 235 liter/detik di Tahap II. Dua unit instalasi air bersih tersebut sepenuhnya
dimiliki dan dikelola oleh anak perusahaan Jababeka Infrastruktur. Sumber air baku
yang digunakan untuk pengolahan berasal dari waduk Jatiluhur dan dialirkan melalui
Saluran Induk Tarum Barat.

c) Daya Tampung Beban Pencemaran Lingkungan


Dalam hal pembuangan air limbah, PT Jababeka Tbk. melakukan pengolahan melalui
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) berstandarisasi, dan hanya air limbah yang
sudah terolah saja yang dapat dibuang ke badan air (Azzam, 2012). DTBPA regional
pada DAS dihitung berdasarkan debit musim kemarau sebagai debit aliran mantap,
yaitu 21,44 m3/detik. Hasil perhitungan beban pencemaran air agar memenuhi Mutu

5
Air Sasaran (MAS) pada DAS Bekasi maka tingkat transmisi yang memasuki sungai
pada tiap wilayah kabupaten berkisar 1,57– 8,8 %, atau jumlah tingkat pengolahan
dan self purification yang diperlukan agar memenuhi MAS sebesar 91,2 – 98,43 %
(KLHS Jawa Barat, 2015).

d) Daya Dukung Transportasi


Kota Jababeka dilayani oleh jalur bus yang mencakup semua area utama dari Jakarta,
termasuk Bandara Internasional Soekarno Hatta, serta lokasi di luar Kota Jababeka
sendiri. Sebagian besar jalur bus mulai dari Plaza JB di dalam Kawasan Pusat Bisnis
Jababeka (JCBD), sementara beberapa jalur lainnya mulai dari berbagai lokasi
strategis lainnya dalam kota Jababeka. taksi dapat ditemukan di seluruh Kota
Jababeka (PT Jababeka Infrastruktur, 2009). Jababeka memiliki kurang lebih 18 jalur
untuk kendaraan yang dapat diakses dengan bus atau kendaraan pribadi. Jababeka
saat ini sedang mengembangkan pelabuhan darat bernama Cikarang Dry Port. Dry-
port dibangun untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masa depan, menanggapi
terbatasnya ruang di pelabuhan utama yang ada di Kota Jakarta (Tanjung Priok) dan
peningkatan volume lalu lintas di koridor menuju pelabuhan. Dibangun di atas 75-150
ha lahan, pelabuhan baru diproyeksikan untuk memuat dan membongkar hingga dua
juta TEU (20-foot equivalent unit) kontainer atau dua pertiga dari kapasitas Tanjung
Priok Pelabuhan. Hal ini diharapkan dapat memfasilitasi pengiriman ekspor-impor
dan kegiatan logistik dari kawasan industri dan zona di Jakarta-Bekasi-Cikampek
koridor (PT Jababeka Infrastruktur, 2009).

2. Gambaran Umum Wilayah


2.1. Karakteristik Fisik Kota Jababeka
Kawasan industri jababeka adalah kawasan pertumbuhan dengan sumber tarikan industri.
Kawasan pertumbuhan ini kemudian dikenal dengan nama Kota Jababeka. Ciri utama
masyarakatnya adalah masyarakat industri perkotaan, heterogen, dominan pekerjaan di
bidang jasa, keahlian sudah terspesialisasi dan pendidikan baik (Azam, 2012). Kota Jababeka
terletak di pusat Kabupaten Bekasi di antara posisi 6 o 10’ 53’ – 6o 30’ 6’ lintang selatan dan
106o 48’ 28’ – 107o 27’ 29’ bujur timur. Kota Jababeka berada di sisi jalur tol bekasi-
cikampek, wilayah ini dapat dicapai melalui akses dua pintu tol baru, yaitu kilometer 29 dan
di kilometer 34. Bentuk kontur tanah wilayah ini merupakan dataran rendah dengan
ketinggian lebih dari 6 meter di atas permukaan laut.

6
Gambar.2.1. Master Plan Kota Jababeka

2.2. Demografi Dan Penduduk


Populasi penduduk Kota Jababeka sesuai data tahun 2011 ini mendekati jumlah 1,2 juta jiwa,
dengan komposisi penduduk 51% laki-laki dan 49% perempuan. Refleksi angka pertumbuhan
penduduk rata-rata tahunan mencapai 1,6% di Indonesia, dengan asumsi satu keluarga
memiliki 5 orang anggota maka dapat diperkirakan bahwa pada tahun 2025 mendatang.
Diproyeksikn jumlah penduduk kota jababeka akan mencapa hingga 1,5 juta jiwa (Darma,
2011). Populasi Kota Jababeka didominasi oleh usia muda, 58% populasi berada di bawah
usia 29 tahun, dan 41% populasi di bawah usia 19 tahun, 50% populasi berada di usia 20 dan
49 tahun dan 24% nya berada di usia 40 tahun atau lebih. Hal ini berarti golongan usia
produktif mendominasi populasi.

2.3. Ekonomi
Perekonomian sektor industri ditandai dengan adanya spesialisasi pekerjaan. Pekerjaan paling
banyak ditawarkan adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dibagian manajemen
industri kelas menengah, tenaga spesialis, karyawan (buruh), tenaga keamanan, tenaga
kebersihan atau tenaga distribusi atau kelompok pegawai industri. Mereka telah
terspesialisasi berdasarkan kebutuhan akan fungsi-fungsi tertentu di dalam industri. Di sektor
kewirausahaan, aktivitas ekonomi ditandai dengan tumbuhnya model perekonomian yang
sangat tergantung dengan industri yakni supporting industry di sektor produksi dan jasa

7
dengan berbagai bentuk seperti jasa maintenance peralatan pabrik, keamanan, kebersihan,
bongkar-muat, pertamanan, interior, eksterior, mebel, pengiriman barang, transportasi dan
sebagainya, juga usaha di bidang pemenuhan kebutuhan pokok seperti kuliner, hiburan,
fashion, kontrakan, laundry, percetakan, teknologi informasi, kesehatan, finance, pendidikan
dan masih banyak ragam lainnya, kesemuanya ini sangat tergantung dengan keberadaan
industri, artinya apabila terjadi guncangan terhadap industri, maka wirausaha sektor
supporting industri inilah yang pertama kali merasakan akibatnya.

3. Analisis Pertumbuhan Kota Jababeka


3.1. Sejarah Terbentuknya Kota Jababeka
KIJA memang bermula sebagai pengembang kawasan industri. Sejarah KIJA dimulai di
tahun 1989 saat Pemda Propinsi Jawa Barat memberikan ijin kepada konsorsium 21
pengusaha untuk mengembangkan sebuah lahan bekas galian bata dan genteng, yang tidak
lagi produktif, untuk menjadi kawasan industri. Karena lahan itu terletak di Bekasi, maka
kawasan tersebut disebut sebagai Jababeka, singkatan dari Jawa Barat Bekasi. Saat itu luas
lahan yang dibangun pada tahap pertama hanya seluas 500 Ha dan dimulai dengan
pembangunan pabrik Unilever dan United Tractors (Kompas, 2016). Setelah mengalami
berbagai perluasan di tahun-tahun berikutnya, kini pengembangan KIJA mencakup area
seluas 5600 Hektar dengan populasi sekitar 1 juta penduduk. Selain 1.570 perusahaan di
kawasan industrinya (Azzam, 2012). Kota Jababeka juga memiliki 24.300 rumah yang
didukung oleh fasilitas pendidikan, hiburan, dan belanja yang cukup lengkap. Selain
perumahan, KIJA juga mengembangkan berbagai jenis properti komersial diluar pabrik-
pabrik besar.

3.2. Pertumbuhan Dan Perkembangan Wilayah


Kawasan Jababeka yang terletak di timur Jakarta awalnya dikenal sebagai kawasan industri,
tempat beberapa perusahaan multinasional berdiri. Kini kawasan tersebut menjadi sebuah
kawasan terpadu, terdiri dari kawasan komersial dan residensial bernama Jabebeka
Residence. Jababeka Residence dikembangkan PT Graha Buana Cikarang, yang merupakan
anak usaha PT Kawasan Industri Jababeka Tbk. Kawasan ini dibangun sebagai penunjang
dari kawasan industri itu sendiri. Tujuannya untuk membentuk Kota Mandiri (Gatra News,
2014). Kini, terdapat 1.650 perusahaan lokal dan multinasional dari 30 negara. Sebagai Kota
Mandiri berbasis industri, Kota Jababeka dapat dikatakan salah satu Kota Baru yang
pertumbuhan dan perkembangan Industrinya paling pesat di kawasan Metropolitan

8
Jabodetabek. Kawasan pengembangan Kota Jababeka kini memasuki tahap kedua di
Jababeka III yang dibangun di atas lahan seluas 240 hektare.
3.3. Kondisi Terkini Kota Jababeka
Kondisi aktual Kota Jababeka dijelaskan melalui poin-poin berikut:
- Memiliki land bank luas dan strategis dari 1,219 hektare per 30 September 2015
- Industri yang tergabung sejumlah1650 tenant dengan prosentase perusahaan
multinasional dan domestic seperti pada Gambar 3.1 (PT Jababeka 2015).

Gambar 3.1 prosentase jenis industri yang terdapat di Kota Jababeka

- Memiliki Medical City (74 ha), Cyber City (240 ha), 130-MW pembangkit listrik dari
gas dan sebuah dry port internasional (75–150 ha) (Hudalah, 2012).
- Memiliki empat klaster permukiman yaitu D’Java Residence, The Veranda,
Tropikana Garden dan Simprug Garden
- Energi listrik dipasok dari PLN, Bekasi Power dan Cikarang Listrindo
- Terdapat kurang lebih 16 institusi pendidikan termasuk President University, SMA
Presiden, SMP Presiden, dan AL-Azhar.
- Populasi sebanyak 1.168.000 jiwa dengan jumlah rumah sebanyak 31.000 rumah

4. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Jababeka


4.1. Tujuan, Kebijakan Dan Strategi
Kota Baru Jababeka memiliki tujuan menjadikan Jababeka sebagai kota mandiri berbasis
industri. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Jababeka masih mengacu pada RTRW
Kabupaten Bekasi tahun 2009-2025 yang memiliki tujuan sebagai berikut:
a) untuk mewujudkan kualitas manusia yang berbasis kepada keunggulan industri serta
kualitas manusia yang produktif dan profesional dalam bidangnya dengan merujuk
pada nilai- nilai moral dan ahlak.

9
b) menciptakan lingkungan yang aman, nyaman dan produktif serta berkelanjutan
dengan melestarikan kelestarian ekosistem dalam menunjang kehidupan yang sehat
dan berkualitas.
c) mengembangkan prasarana publik melalui peningkatan pelayanan masyarakat dan
pengadaan baru yang dilakukan secara menyeluruh.
d) mengembangkan sistem transportasi dengan meningkatkan keterkaitan fungsional dan
ekonomi yang berbasis agrobisnis dan industri antar pusat permukiman dengan
kawasan pusat produksi dan kawasan prioritas.
e) mempertahankan kawasan yang menjadi warisan alam berupa kawasan lindung dan
lahan abadi yang berfungsi sebagai ketahanan pangan.
f) menjalin keterpaduan dengan perencanaan tata ruang wilayah nasional serta wilayah
provinsi.
g) mengharmoniskan tata ruang yang berbasis kepedulian terhadap lingkungan dengan
keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan serta pelindungan
fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan.

Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten Bekasi meliputi kebijakan pengembangan


struktur ruang dan pola ruang yang merupakan dasar dalam pengembangan wilayah dengan
memperhatikan tujuan penataan ruang yang hendak dicapai serta memperhatikan juga kondisi
lingkungan yang strategis baik internal maupun ekstemal yang menjadi dasar dalam
pencapaian tujuan tersebut. Kebijakan tersebut diantaranya yaitu:
a) Peningkatan akses serta fungsi pusat-pusat pelayanan perkotaan dan pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan berhierarki yang meliputi pusat
permukiman, pusat sentra produksi dan pengembangan pusat industri.
b) Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi,
telekomunikasi, energi dan sumber daya air yang terpadu, serta terintegrasi secara
merata di seluruh wilayah sebagai upaya alam peningkatan aktivitas pergerakan
penduduk.
c) Mempertahankan dan merevitalisasi kawasan-kawasan resapan air atau kawasan yang
berfungsi hidrologis untuk menjamin ketersediaan sumber daya air dan kesuburan
tanah.
d) Mempertahankan fungsi dan menata RTH yang ada, dan mengendalikan alih fungsi
ke fungsi lain.

10
e) Mempertahankan fungsi kawasan, mengubah dan mengembalikan fungsi kawasan
sesuai dengan rencana pemanfaatan tanah/lahan sehingga dapat menghasilkan efisien
produksi dan tetap tertib hukum.
f) Pengaturan peruntukan pemanfaatan ruang untuk mewujudkan struktur tata ruang
yang dituju melalui pengendalian harga, pengendalian status, pembatasan luas
pemilikan, perizinan, pajak, dan pengembangan model-model lahan.

Strategi pengembangan wilayah Kabupaten Bekasi yang harus diakomodasi dalam strategi
pengembangan wilayah Kabupaten Bekasi adalah sebagai berikut :
a) Pengendalian pusat-pusat pemukiman yang berkembang.
b) Sehubungan dengan banyaknya kegiatan industri di Kabupaten Bekasi, maka perlu
dikembangkan suatu terminal untuk melayani seluruh pergerakan orang dan barang
dan pengembangan terminal baru untuk kawasan bagian selatan dalam mempermudah
pergerakan orang ke daerah selatan Kabupaten Bekasi.
c) Pemanfaatan dan Penanganan ruas-ruas jalan sesuai dengan kebutuhan dan kelas
jalan.
d) Mengendalikan pertumbuhan kawasan perkotaan yang berpotensi mengancam
keberadaan kawasan lindung dan sentra produksi pangan.
e) Mengembangkan dan pemantapan zona industri yang telah berkembang pada koridor
bagian wilayah tengah dengan penekanan pada pencegahan dampak yang dapat
mengurangi daya dukung lingkungan serta pengembangan agro industri terutama pada
pusat-pusat atau sentra-sentra pertanian pada wilayah barat dan wilayah timur dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.
f) Membangun sarana transportasi dan mendorong pembangunan wilayah
pengembangan secara selektif dan bijaksana
g) Pengembangan dan peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana kota yang meliputi
jalan, air bersih, listrik, perumahan, dan persampahan sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan dasar kota.
h) Mempertahankan sumber-sumber air dan daerah resapannya dalam rangka menjaga
ketersediaan air sepanjang tahun.
i) Melakukan pengaturan lalu-lintas dengan manajemen lalu-lintas pada simpang-
simpang maupun ruas-ruas jalan yang sering mengalami kemacetan.

11
4.2. Struktur Ruang
Kota Jababeka terletak di Kabupaten Bekasi tepatnya meliputi Kecamatan Cikarang Utara
dan Cikarang pusat. Berdasarkan usulan Provinsi Jawa Barat area Industri-Bekasi dijadikan
Kawasan Ekonomi Khusus Investasi (KEKI). Oleh karena itu, struktur ruang Kota Jababeka
(yang merupakan kawasan industri) mengacu pada struktur ruang KEKI. Struktur ruang
KEKI diperlihatkan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Peta Struktur Ruang KEKI

4.3. Pola Ruang


Berdasarkan Laporan Akhir Penyusunan Rencana Rinci Keki Provinsi Jawa Barat (2008),
enetapan pola ruang bagi Kawasan Cikarang yang merupakan lokasi dari Kota Jababeka
dilakukan dengan memperhatikan hal-hal yang berskala makro maupun yang bersifat mikro
sebagai berikut:
a) Pola Ruang Berskala Makro:
- Kawasan Cikarang memiliki keterbatasan fisik, yaitu;
i. terdapat sungai yang harus dijaga sempadannya
ii. daerah yang sudah berkembang
iii. Jalan tol eksisting dan rencana pembangunan jalan tol.
iv. Jaringan jalan kereta
 

12
b) Pola Ruang Berskala Mikro:
- Sudah terbentuknya pola ruang eksistring, terdiri atas:
i. Kawasan permukiman
ii. Kawasan pemerintahan
iii. Kawasan perdagangan
iv. Kawasan pertanian dan kebun campuran
- Adanya batasan-batas fisik dan non fisik yang membatasi ataupun
mempermudah dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang, yaitu:
i. Batasan fisik berupa jalan tol, jalan kereta.
ii. Batasan desa
Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Cikarang ditunjukkan pada Gambar 4.2. Area berwarna
cokelat merupakan kawasan industri dimana angka 1 dan 2 menujukkan lokasi dari Kota
Jababeka.

Gambar.4.2. Peta Rencana Pola Ruang KEKI

4.4. Peraturan Pertanahan


Pelaksanaan penerbitan sertifikat tanah di Kabupaten Bekasi dilakukan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Namun, berdasarkan
penelitian yang dilakukan Tarwiyah (2013), pelaksanaan tahapan dan mekanisme pendaftaran
tanah di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi belum dapat mencapai

13
tujuan secara maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terdapat
beberapa kendala dalam proses penerbitan sertifikat tanah tersebut diantaranya, biaya
pendaftaran tanah yang masih tinggi, rumitnya prosedur administrasi pendaftaran tanah, dan
kurang sadarnya masyarakat akan pentingnya sertifikat tanah, dan upaya-upaya yang
dilakukan oleh badan pertahanan nasional kabupaten Bekasi adalah dengan
menyelenggarakan proyek ajudikasi dan proyek operasi nasional agrarian (prona) berupa
pensertifikatan tanah secara masal dan penyelesaian sengketa-sengketa tanah yang bersifat
strategis.

4.5. Review Jurnal Tata Ruang


“Beyond Property: Industrial Estates and Post-Suburban Transformation in Jakarta
Metropolitan Region”
(Delik Hudalah, Tommy Firman, Bandung Institute of Technology, Journal of Cities
Volume 29, Issue 1

Pendahuluan
Market-led-economy telah menjadi dasar untuk transformasi spasial sekitar kota-kota besar di
Indonesia. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan konversi besar-besaran lahan pedesaan,
dan pengembangan kota baru di pinggiran Jakarta dihasilkan dari deregulasi dan
debirokratisasi kebijakan tahun 1980-an (Firman, 2000, 2004; Hudalah, Winarso, & Woltjer,
2007; Daun, 1996; Leisch, 2002; Winarso & Firman, 2002). Bahkan, banyak pengembang
kota baru berencana membangun mandiri kota (kota otonom), lengkap dengan fasilitas kota
besar dan pusat-pusat perkantoran. Meskipun dampak pembangunan perumahan di tepi kota-
kota di Indonesia telah diakui secara luas, perlu dilakukan lebih banyak studi untuk
mengidentifikasi apakah pembangunan industri telah memainkan peran dalam menciptakan
pusat-pusat perkotaan baru di tepi yang semenarik yang ditemukan di pusat kota tua.

Tujuan penulis pada jurnal ini adalah menyelidiki apakah transformasi perkotaan di pinggiran
Jakarta Metropolitan Region (JMR), wilayah metropolitan terbesar di Indonesia, telah
bergabung dengan tren globalisasi post-suburbia. Tujuan lainnya adalah menjelaskan sejauh
mana pembangunan industri, sebagai sektor ekonomi utama di kawasan ini, telah
memberikan kontribusi untuk transformasi ini. Untuk melakukan hal tersebut, artikel ini
membahas beberapa pertanyaan khusus. Dapatkah post-suburbia diidentifikasi pada JMR?
sudahkah perkembangan industri berperan dalam transformasi ini? Apa arti atau fitur unik
dari post-suburbia dalam konteks industrialisasi JMR?.

14
Pada artikel ini penulis mencoba menguraikan tren dekonsentrasi perkotaan di JMR dalam
dekade terakhir, dengan penekanan khusus pada peran utama sosial-ekonomi dan politik bagi
pertumbuhan investasi industri di pinggiran kota. Kami kemudian melihat lebih dekat di
Kabupaten Bekasi, ibukota industri daerah. Kabupaten Bekasi terpilih karena kenyataannya,
terlepas dari restrukturisasi ekonomi progresif dalam konteks wilayah metropolitan yang
semakin urbanisasi, masih dikelola oleh pemerintah desa, berpotensi menunjukkan
kompleksitas pemerintahan di dunia post-suburban (Phelps et al., 2010).

Sebuah analisis yang lebih rinci dilakukan untuk menunjukkan perkembangan terbaru di
Jababeka, kota industri terbesar di Kabupaten Bekasi. Kasus Jababeka menunjukkan bahwa
pengembang industri di JMR dapat melampaui kegiatan utama dari menjual lahan dan
bangunan untuk menciptakan lapangan kerja dan rekreasi dan pusat budaya di pinggiran kota.
Sebagai langkah lain dari analisis, artikel ini mengidentifikasi dampak pembangunan
pinggiran kota dan menyediakan laporan adaptasi pemerintahan daerah untuk menghadapi
tantangan ini. Bagian terakhir membahas apakah kekhasan Asian-extended-urbanization
sedang terkikis oleh ini fenomena global yang muncul pasca-suburbia dan apakah pasca-
suburbia membawa arti khusus dalam konteks JMR.

Post-suburbia: sebuah perspektif global.


- Penggerak post-suburbia
Pergeseran dari suburbia ke post-suburbia yang dimulai di negara-negara maju, antara lain,
dipicu oleh revolusi teknologi yang dimulai pada awal abad ke-20. Post-suburbanization tidak
selalu mewakili fenomena spasial baru. Post-suburbanization dapat dilihat sebagai penciptaan
kembali implikasi spasial dari urbanisasi dalam penentuan lokasi (Lewis, 2001). Post-
suburbanization dipicu oleh pembangunan industri yang menggunakan mode produksi baru,
seperti munculnya kompleks industri (Hise, 2001). Selama empat dekade terakhir,
transformasi suburbia telah diperkuat oleh kekuatan eksternal dalam kaitannya dengan
globalisasi ideologi neoliberal. pembangunan pinggiran kota semakin dibentuk oleh tindakan
internasional dan pasar global. Efek globalisasi neoliberal juga tercermin dalam gaya hidup
rakyat, seperti peningkatan individualisme, simbolisme, dan konsumerisme (Kling, Olin, &
Poster, 1991b)
- Elemen post-suburbia

15
Pada bagian ini peneliti merangkum elemen-elemen post-suburbia yang terjadi di tingkat
global. Elemen pertama adalah post-suburbia melibatkan pergeseran paradigma dalam
konsepsi perkotaan-pedesaan. Kecepatan informasi, koneksi perjalanan dan globalisasi telah
membuat konsep ruang menjadi kabur. Ketidakjelasan pembeda perkotaan-pedesaan
mempengaruhi hubungan antara kota dan pedesaan nya. Post-suburbia juga mencerminkan
pergeseran dalam hubungan sosial dari orientasi komunal menjadi individual yang sangat
mendukung kebebasan individu. Peran pemerintah yang longgar dalam pembentukan kota
pinggiran mungkin memperparah dampak pada post-suburbia.

Industrial estate development in Cikarang, Kabupaten Bekasi


Kabupaten Bekasi adalah wilayah pinggiran kota di pinggiran timur Jakarta. Kegiatan
industri, khususnya manufaktur, telah memainkan peran kunci dalam pengembangan sub-
wilayah ini. Manufaktur memberikan kontribusi 79,73% dari PDRB Kabupaten Bekasi
(2009). Selain itu, industrialisasi juga mampu memacu ekonomi regional pertumbuhan
hingga 7,42%, jauh di atas pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,6% (Provinsi Jawa
Barat, 2009). Kawasan industri di Kabupaten Bekasi sebagian besar terkonsentrasi di
Cikarang, bagian tengah dari sub-region. Dengan hanya tujuh kawasan industri terletak di
Cikarang, Kabupaten Bekasi telah berubah menjadi wilayah dengan konsentrasi kawasan
industri terbesar di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, perluasan daerah
pemukiman dan komersial perlukan untuk mendukung kegiatan industri teknologi tinggi di
Cikarang.

Kondisi sosio-ekonomi, implikasi spasial, dan daptasi pemerintah


Pada jurnal ini, peneliti menganalisis pengaruh kawasan Industri pada kondisi sosio-ekonomi
di Kabupaten Bekasi. Kabupaten Bekasi secara administratif dibagi menjadi 21 kecamatan.
Berdasarkan struktur ekonomi mereka, kecamatan di Kabupaten Bekasi dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, tiga kecamatan di Cikarang adalah lokasi
utama dari kawasan industri. Daerah pusat ini dikelilingi oleh 12 kecamatan pinggiran kota,
yang berfungsi sebagai pedalaman industri daerah. Enam kecamatan terakhir cenderung
terisolasi; warga di sini umumnys bekerja di bidang pertanian. Namun demikian, kesenjangan
pendapatan yang jelas terjadi antara kelompok-kelompok local tersebut. Ketimpangan
pendapatan yang tinggi ini sudah menimbulkan masalah keamanan di antara anggota
masyarakat atas dan kelas menengah. Hal ini telah pada komunitas-komunitas di sekitar
kawasan industri, seperti di kota-kota baru Jababeka, Lippo dan Deltamas. Di tingkat lokal,

16
kesenjangan sosial tercermin dalam fragmentasi fisik antara kawasan industri. Salah satu
contoh adalah kurangnya komunikasi antara perusahaan kawasan industri.

Dari sudut pandang teori neoklasik, konsentrasi besar industri di satu lokasi dapat
menciptakan skala ekonomi, sehingga meningkatkan efisiensi ekonomi melalui, misalnya,
berbagi tanggung jawab penyediaan infrastruktur. Menariknya, di Cikarang, hal ini belum
terjadi. Setiap kawasan industri dibangun infrastruktur sendiri perkotaan dan fasilitas, seperti
jaringan jalan, jaringan telekomunikasi, instalasi pengolahan air limbah, dan instalasi
pengolahan air bersih, tanpa koordinasi yang jelas. Akibatnya, infrastruktur yang dibangun
oleh perkebunan yang berbeda cenderung terputus dari satu sama lain. jaringan infrastruktur
terfragmentasi seperti hasil tidak dapat dihindari dari kecenderungan menuju privatisasi dan
liberalisasi pembangunan perkotaan (Graham & Marvin, 2001).

Berakhirkah konsep desa-kota?


Pada abad ke-20, urbanisasi skala regional di Asia Timur ditandai dengan munculnya desa-
kota, yang menunjukkan zona yang berbeda antara kota dan daerah desa pedalaman. Desa-
kota menyiratkan transformasi bertahap dari daerah pertanian yang sebelumnya subur ke
daerah terbangun karena tekanan ekspansi perkotaan metropolitan. Desa-kota
merepresentasikan bagian paling dinamis dari wilayah metropolitan yang berkembang secara
insidensial di sepanjang koridor utama antara kota (McGee, Ginsburg, Koppel, & McGee,
1991). Perkembangan industri yang tidak terencana di lahan persawahan adalah salah satu
elemen umum daerah desa-kota (Leaf, 1996).

Peneliti menyimpulkan pada paper ini bahwa pola spasial JMR mungkin menandakan tahap
awal apa yang dalam istilah Barat disebut post-suburbia. Dalam konteks JMR, post-suburbia
melibatkan dekonsentrasi industri hi-tech dan perusahaan multinasional, mengkonversi
pedalaman pedesaan yang sebelumnya diabaikan menjadi kawasan industri pinggiran kota
yang terencana. Selain itu, beberapa kawasan industri di pinggiran kota, seperti yang
ditemukan di Cikarang, Bekasi, kini diubah menjadi pusat-pusat kota baru dilengkapi dengan
komersial, rekreasi dan fasilitas budaya dengan “rasa western” yang kuat.

Berdasarkan jurnal yang ditulis peneliti dapat disimpulkan pula, transformasi post-suburbia
sebagian besar telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan kinerja ekonomi JMR.
Namun, isu-isu keberlanjutan yang utama juga muncul bersama transformasi ini. Isu-isu
tersebut antara lain, ketidakseimbangan regional, infrastruktur yang tidak sesuai, fragmentasi

17
fisik, segregasi sosial, dan degradasi lingkungan. Isu-isu ini menyiratkan perlunya instrumen
kebijakan yang lebih inovatif, koordinasi perencanaan yang lebih baik di tingkat daerah, dan
peningkatan kapasitas bagi pemerintah daerah.

5. Kesimpulan
Kota Baru Jababeka berawal dari terbentuknya Kawasan Industri Jababeka di pinggiran Kota
Jakarta, seiring berkembangnya wilayah tersebut permukiman, sarana dan prasarana juga
terbangun untuk mempermudah aktivitas perindustrian. Hasilnya Kawasan Industri Jababeka
berkembang menjadi Kota Baru mandiri yang memiliki hampir seluruh aspek struktur dan
pola ruang suatu kota. Kota baru yang terbentuk di pinggiran Kota Metropolitan mampu
menciptakan dekonsentrasi perkotaan. Hal ini dapat pula dijadikan suatu alasan terjadinya
fenomena post-suburbia yang menunjukkan dekonsentrasi industri di perkotaan karena pusat
kota seperti Jakarta sudah dalam kondisi jenuh.

DAFTAR PUSTAKA

Alkadri (ed). (1999). Manajemen Teknologi untuk Pengembangan Wilayah. Jakarta: Edisi
Pertama, Direktorat Kebijaksanaan Teknologi untuk Pengembangan Wilayah-BPPT.

Azzam, Mohamad. (2012). Program Corporate Social Responsibility di kawasan Industri PT.
JABABEKA, Tbk. Kabupaten Bekasi. Tesis. Depok.

Darma, I Made S (ed). (2011). Jababeka Fact Sheet 2011/2012, Jababeka Corporate
Marketing. Cikarang.

Gatra News, (2014). http://www.gatra.com/kolom-dan-wawancara/67559-jababeka,-dari-


kawasan-industri-ke-kota-mandiri.html. Diakses 08 Juni 2016 10.53 WIB.

Glasson, John. (1990). Pengantar Perencanaan Regional. Terjemahan Paul Sihotang. Jakarta:
Lembaga Penerbit UI.

Hudalah, D., & T. Firman. (2011). Beyond property: Industrial estates and post-suburban
transformation. Cities.

Jababeka. (2009). Jababeka: Beyond property, Cikarang, PT Kawasan Industri Jababeka


Tbk.
Jababeka. (2011). Jababeka has Prioritize in to 4 Segments
[http://www.jababeka.com/id/node/259]. Diakses10 juni 2016 21.01 WIB

18
Kajian Lingkungan Hidup Strategis Jawa Barat. (2015).

Kompas. (2009). "A Transforming City Developer"


[http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/04/26/08164655/kawasan.industri.jababeka.qu
ota.transforming.city.developerquot] Diakses 8 juni 2016 10.30)

Laporan Akhir Penyusunan Rencana Rinci Keki Provinsi Jawa Barat. (2008).

Laporan Akhir Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi tahun 2009-
2025. (2008).

Mamas, Si Gde Made and Rizky Komalasari. (2008). ‘Dynamics of Change and Livability’,
in Jones and Douglass, op cit. Jakarta.

Perloff, Harvey and Lowdon Wingo Jr.1961. “Natural Resources Endowment and Regional
Economic Growth”. In Natural Resources and Economis Growth Ed, Joseph J. Spengler.
Washington DC: Resources for the Future pp.191-212

Richardson, Harry W. 1973. Elements of Regional Economics, Middlesex: Penguin


Education.

Siregar, M. Jehansyah. (2012). KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KOTA BARU DI


INDONESIA: Antara Fasilitasi Bisnis dan Pelayanan Publik. Jurnal NALARs Volume 11 No
2 Juli 2012 :125-142.

Soegijoko, Budhy Tjahjati Sugijanto. (2016). Perkuliahan Penataan Ruang & Analisis
Pertumbuhan Wilayah. Hasil wawancara.
Tarwiyah, Awin., (2013). Pelaksanaan Penerbitan Sertifikat Tanah Di Kabupaten Bekasi
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Skripsi UIN SGD Bandung.

Waluyo, Nurrahman Putra. (2014). Peran Kota Baru Dalam Upaya Dekonsentrasi Perkotaan
Di Wilayah Metropolitan Jabodetabek. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK
V1N1.

Wihadhi, Hyanto. (2014). Kota Berkelanjutan Dinilai Solusi Masa Depan dalam Menghadapi
Meningkatnya Urbanisasi. [http://bpiw.pu.go.id/article/detail/kota-berkelanjutan-dinilai-
solusi-masa-depan-dalam-menghadapi-meningkatnya-urbanisasi]. Diakses pada 02 Juni 2016
20.22 WIB.

Yunus, Hadi Sabari, (2000), Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Zhou, Yixing. (2006). Suburbanization And The Changes of Urban Internal Spatial Structure
In Hangzhou, China. Winslon & Son Inc.

19

Anda mungkin juga menyukai