1. Latar Belakang
1.1. Review Teori Pertumbuhan Wilayah
Pertumbuhan wilayah merupakan suatu proses dinamika perkembangan internal dan eksternal
wilayah tersebut, pertumbuhan wilayah pada awalnya dipicu oleh adanya pasar yang dapat
menyerap hasil produksi wilayah yang bersangkutan (Alkadri et al. 1999). Perkembangan
wilayah ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Glasson,
1990). Wilayah metropolitan merupakan perwujudan perkembangan yang alamiah dari suatu
permukiman perkotaan yang berkembang pesat.
Menurut Waluyo (2014) Metropolitan Jabodetabek, merupakan salah satu metropolitan yang
terdapat di Indonesia yang pembentukannya disebabkan oleh adanya keterkaitan antar
wilayah yang membuat adanya suatu hubungan sehingga setiap kota/kabupaten yang berada
di dalamnya terus berkembang. Perkembangan Metropolitan Jabodetabek tidak terlepas
dengan perkembangan ekonomi dan populasi di dalamnya. Metropolitan Jabodetabek
merupakan kawasan yang terdiri atas tiga bagian, yaitu inti atau pusat, inner zone, dan outer
zone (Mamas, 2008). Bagian pusat dari Metropolitan Jabodetabek adalah Kota Jakarta.
Kawasan pinggiran inner zone terdiri atas Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Tangerang, dan
Kota Tangerang Selatan. Kawasan pinggiran outer zone terdiri atas Kabupaten Bekasi,
Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan Kabupaten Tangerang.
1
Hakekat pembangunan nasional termasuk pengembangan wilayah adalah bagaimana memacu
pertumbuhan wilayah, dan menyebarkannya (growth with equity) secara lebih merata
sehingga dapat mensejahterakan masyarakat yang ada didalamnya. Berikut akan dijelaskan
beberapa teori pertumbuhan wilayah.
a) Teori Resources Endowment atau Resource Base.
Teori ini dikemukakan oleh Harver Perloff dan Lowdon Wingo, Jr. (1961) dalam
tulisannya Natural resources Endowment and Regional Economic Growth.
Pertumbuhan wilayah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya dan
kemampuannya untuk memproduksinya, untuk keperluan ekonomi nasional dan
ekspor. Dengan kata lain wilayah memiliki Comparative Advantages terhadap
wilayah lain (spesialisasi). Kegiatan ekspor akan memperluas permintaan dan efek
multiplier yang berpengaruh pada dinamika wilayah. Sumberdaya yang baik adalah :
(1) mensupport produksi nasional, (2) memiliki efek backward and forward linkages
yang luas, (3) efek multiplier, yaitu kemampuan meningkatkan permintaan produksi
barang dan jasa wilayah. Permintaan merupakan fungsi dari jumlah penduduk,
pendapatan, struktur produksi, pola perdagangan, dll.
2
manusia yang berkualitas dan riset dan pengembangan adalah syarat meningkatkan
pertumbuhan wilayah. Pengalaman di negara lain (maju) menunjukkan bahwa
semakin tinggi faktor di atas, maka perkembangan wilayah semakin cepat.
b) Teori Sektoral
Teori sektoral dikemukakan oleh Hommer Hoyt dalam (Yunus, 2000). Teori ini
muncul berdasarkan penelitiannya pada tahun 1930-an. Hoyt berkesimpulan bahwa
proses pertumbuhan kota lebih berdasarkan sektorsektor daripada sistem gelang atau
melingkar sebagaimana yang dikemukakan dalam teori Burgess. Hoyt juga meneliti
Kota Chicago untuk mendalami Daerah Pusat Kegiatan (Central Business District)
3
yang terletak di pusat kota. Ia berpendapat bahwa pengelompokan penggunaan lahan
kota menjulur seperti irisan kue tar. Mengapa struktur kota menurut teori sektoral
dapat terbentuk? Para geograf menghubungkannya dengan kondisi geografis kota dan
rute transportasinya. Pada daerah datar memungkinkan pembuatan jalan, rel kereta
api, dan kanal yang murah, sehingga penggunaan lahan tertentu, misalnya
perindustrian meluas secara memanjang. Kota yang berlereng menyebabkan
pembangunan perumahan cenderung meluas sesuai bujuran lereng.
4
Alan Gilbert dan Josef Gugler, penulis buku “Cities, Poverty and Development: Urbanization
in The Third World” memberikan pernyataan bahwa ciri-ciri perkembangan kota-kota di
negara dunia ketiga adalah terjadinya polarisasi dan distorsi. Dimana disaat pusat kota
mengalami akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi yang memicu akselerasi
industrialisasi.
5
Air Sasaran (MAS) pada DAS Bekasi maka tingkat transmisi yang memasuki sungai
pada tiap wilayah kabupaten berkisar 1,57– 8,8 %, atau jumlah tingkat pengolahan
dan self purification yang diperlukan agar memenuhi MAS sebesar 91,2 – 98,43 %
(KLHS Jawa Barat, 2015).
6
Gambar.2.1. Master Plan Kota Jababeka
2.3. Ekonomi
Perekonomian sektor industri ditandai dengan adanya spesialisasi pekerjaan. Pekerjaan paling
banyak ditawarkan adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dibagian manajemen
industri kelas menengah, tenaga spesialis, karyawan (buruh), tenaga keamanan, tenaga
kebersihan atau tenaga distribusi atau kelompok pegawai industri. Mereka telah
terspesialisasi berdasarkan kebutuhan akan fungsi-fungsi tertentu di dalam industri. Di sektor
kewirausahaan, aktivitas ekonomi ditandai dengan tumbuhnya model perekonomian yang
sangat tergantung dengan industri yakni supporting industry di sektor produksi dan jasa
7
dengan berbagai bentuk seperti jasa maintenance peralatan pabrik, keamanan, kebersihan,
bongkar-muat, pertamanan, interior, eksterior, mebel, pengiriman barang, transportasi dan
sebagainya, juga usaha di bidang pemenuhan kebutuhan pokok seperti kuliner, hiburan,
fashion, kontrakan, laundry, percetakan, teknologi informasi, kesehatan, finance, pendidikan
dan masih banyak ragam lainnya, kesemuanya ini sangat tergantung dengan keberadaan
industri, artinya apabila terjadi guncangan terhadap industri, maka wirausaha sektor
supporting industri inilah yang pertama kali merasakan akibatnya.
8
Jabodetabek. Kawasan pengembangan Kota Jababeka kini memasuki tahap kedua di
Jababeka III yang dibangun di atas lahan seluas 240 hektare.
3.3. Kondisi Terkini Kota Jababeka
Kondisi aktual Kota Jababeka dijelaskan melalui poin-poin berikut:
- Memiliki land bank luas dan strategis dari 1,219 hektare per 30 September 2015
- Industri yang tergabung sejumlah1650 tenant dengan prosentase perusahaan
multinasional dan domestic seperti pada Gambar 3.1 (PT Jababeka 2015).
- Memiliki Medical City (74 ha), Cyber City (240 ha), 130-MW pembangkit listrik dari
gas dan sebuah dry port internasional (75–150 ha) (Hudalah, 2012).
- Memiliki empat klaster permukiman yaitu D’Java Residence, The Veranda,
Tropikana Garden dan Simprug Garden
- Energi listrik dipasok dari PLN, Bekasi Power dan Cikarang Listrindo
- Terdapat kurang lebih 16 institusi pendidikan termasuk President University, SMA
Presiden, SMP Presiden, dan AL-Azhar.
- Populasi sebanyak 1.168.000 jiwa dengan jumlah rumah sebanyak 31.000 rumah
9
b) menciptakan lingkungan yang aman, nyaman dan produktif serta berkelanjutan
dengan melestarikan kelestarian ekosistem dalam menunjang kehidupan yang sehat
dan berkualitas.
c) mengembangkan prasarana publik melalui peningkatan pelayanan masyarakat dan
pengadaan baru yang dilakukan secara menyeluruh.
d) mengembangkan sistem transportasi dengan meningkatkan keterkaitan fungsional dan
ekonomi yang berbasis agrobisnis dan industri antar pusat permukiman dengan
kawasan pusat produksi dan kawasan prioritas.
e) mempertahankan kawasan yang menjadi warisan alam berupa kawasan lindung dan
lahan abadi yang berfungsi sebagai ketahanan pangan.
f) menjalin keterpaduan dengan perencanaan tata ruang wilayah nasional serta wilayah
provinsi.
g) mengharmoniskan tata ruang yang berbasis kepedulian terhadap lingkungan dengan
keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan serta pelindungan
fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan.
10
e) Mempertahankan fungsi kawasan, mengubah dan mengembalikan fungsi kawasan
sesuai dengan rencana pemanfaatan tanah/lahan sehingga dapat menghasilkan efisien
produksi dan tetap tertib hukum.
f) Pengaturan peruntukan pemanfaatan ruang untuk mewujudkan struktur tata ruang
yang dituju melalui pengendalian harga, pengendalian status, pembatasan luas
pemilikan, perizinan, pajak, dan pengembangan model-model lahan.
Strategi pengembangan wilayah Kabupaten Bekasi yang harus diakomodasi dalam strategi
pengembangan wilayah Kabupaten Bekasi adalah sebagai berikut :
a) Pengendalian pusat-pusat pemukiman yang berkembang.
b) Sehubungan dengan banyaknya kegiatan industri di Kabupaten Bekasi, maka perlu
dikembangkan suatu terminal untuk melayani seluruh pergerakan orang dan barang
dan pengembangan terminal baru untuk kawasan bagian selatan dalam mempermudah
pergerakan orang ke daerah selatan Kabupaten Bekasi.
c) Pemanfaatan dan Penanganan ruas-ruas jalan sesuai dengan kebutuhan dan kelas
jalan.
d) Mengendalikan pertumbuhan kawasan perkotaan yang berpotensi mengancam
keberadaan kawasan lindung dan sentra produksi pangan.
e) Mengembangkan dan pemantapan zona industri yang telah berkembang pada koridor
bagian wilayah tengah dengan penekanan pada pencegahan dampak yang dapat
mengurangi daya dukung lingkungan serta pengembangan agro industri terutama pada
pusat-pusat atau sentra-sentra pertanian pada wilayah barat dan wilayah timur dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.
f) Membangun sarana transportasi dan mendorong pembangunan wilayah
pengembangan secara selektif dan bijaksana
g) Pengembangan dan peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana kota yang meliputi
jalan, air bersih, listrik, perumahan, dan persampahan sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan dasar kota.
h) Mempertahankan sumber-sumber air dan daerah resapannya dalam rangka menjaga
ketersediaan air sepanjang tahun.
i) Melakukan pengaturan lalu-lintas dengan manajemen lalu-lintas pada simpang-
simpang maupun ruas-ruas jalan yang sering mengalami kemacetan.
11
4.2. Struktur Ruang
Kota Jababeka terletak di Kabupaten Bekasi tepatnya meliputi Kecamatan Cikarang Utara
dan Cikarang pusat. Berdasarkan usulan Provinsi Jawa Barat area Industri-Bekasi dijadikan
Kawasan Ekonomi Khusus Investasi (KEKI). Oleh karena itu, struktur ruang Kota Jababeka
(yang merupakan kawasan industri) mengacu pada struktur ruang KEKI. Struktur ruang
KEKI diperlihatkan pada Gambar 4.1.
12
b) Pola Ruang Berskala Mikro:
- Sudah terbentuknya pola ruang eksistring, terdiri atas:
i. Kawasan permukiman
ii. Kawasan pemerintahan
iii. Kawasan perdagangan
iv. Kawasan pertanian dan kebun campuran
- Adanya batasan-batas fisik dan non fisik yang membatasi ataupun
mempermudah dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang, yaitu:
i. Batasan fisik berupa jalan tol, jalan kereta.
ii. Batasan desa
Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Cikarang ditunjukkan pada Gambar 4.2. Area berwarna
cokelat merupakan kawasan industri dimana angka 1 dan 2 menujukkan lokasi dari Kota
Jababeka.
13
tujuan secara maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terdapat
beberapa kendala dalam proses penerbitan sertifikat tanah tersebut diantaranya, biaya
pendaftaran tanah yang masih tinggi, rumitnya prosedur administrasi pendaftaran tanah, dan
kurang sadarnya masyarakat akan pentingnya sertifikat tanah, dan upaya-upaya yang
dilakukan oleh badan pertahanan nasional kabupaten Bekasi adalah dengan
menyelenggarakan proyek ajudikasi dan proyek operasi nasional agrarian (prona) berupa
pensertifikatan tanah secara masal dan penyelesaian sengketa-sengketa tanah yang bersifat
strategis.
Pendahuluan
Market-led-economy telah menjadi dasar untuk transformasi spasial sekitar kota-kota besar di
Indonesia. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan konversi besar-besaran lahan pedesaan,
dan pengembangan kota baru di pinggiran Jakarta dihasilkan dari deregulasi dan
debirokratisasi kebijakan tahun 1980-an (Firman, 2000, 2004; Hudalah, Winarso, & Woltjer,
2007; Daun, 1996; Leisch, 2002; Winarso & Firman, 2002). Bahkan, banyak pengembang
kota baru berencana membangun mandiri kota (kota otonom), lengkap dengan fasilitas kota
besar dan pusat-pusat perkantoran. Meskipun dampak pembangunan perumahan di tepi kota-
kota di Indonesia telah diakui secara luas, perlu dilakukan lebih banyak studi untuk
mengidentifikasi apakah pembangunan industri telah memainkan peran dalam menciptakan
pusat-pusat perkotaan baru di tepi yang semenarik yang ditemukan di pusat kota tua.
Tujuan penulis pada jurnal ini adalah menyelidiki apakah transformasi perkotaan di pinggiran
Jakarta Metropolitan Region (JMR), wilayah metropolitan terbesar di Indonesia, telah
bergabung dengan tren globalisasi post-suburbia. Tujuan lainnya adalah menjelaskan sejauh
mana pembangunan industri, sebagai sektor ekonomi utama di kawasan ini, telah
memberikan kontribusi untuk transformasi ini. Untuk melakukan hal tersebut, artikel ini
membahas beberapa pertanyaan khusus. Dapatkah post-suburbia diidentifikasi pada JMR?
sudahkah perkembangan industri berperan dalam transformasi ini? Apa arti atau fitur unik
dari post-suburbia dalam konteks industrialisasi JMR?.
14
Pada artikel ini penulis mencoba menguraikan tren dekonsentrasi perkotaan di JMR dalam
dekade terakhir, dengan penekanan khusus pada peran utama sosial-ekonomi dan politik bagi
pertumbuhan investasi industri di pinggiran kota. Kami kemudian melihat lebih dekat di
Kabupaten Bekasi, ibukota industri daerah. Kabupaten Bekasi terpilih karena kenyataannya,
terlepas dari restrukturisasi ekonomi progresif dalam konteks wilayah metropolitan yang
semakin urbanisasi, masih dikelola oleh pemerintah desa, berpotensi menunjukkan
kompleksitas pemerintahan di dunia post-suburban (Phelps et al., 2010).
Sebuah analisis yang lebih rinci dilakukan untuk menunjukkan perkembangan terbaru di
Jababeka, kota industri terbesar di Kabupaten Bekasi. Kasus Jababeka menunjukkan bahwa
pengembang industri di JMR dapat melampaui kegiatan utama dari menjual lahan dan
bangunan untuk menciptakan lapangan kerja dan rekreasi dan pusat budaya di pinggiran kota.
Sebagai langkah lain dari analisis, artikel ini mengidentifikasi dampak pembangunan
pinggiran kota dan menyediakan laporan adaptasi pemerintahan daerah untuk menghadapi
tantangan ini. Bagian terakhir membahas apakah kekhasan Asian-extended-urbanization
sedang terkikis oleh ini fenomena global yang muncul pasca-suburbia dan apakah pasca-
suburbia membawa arti khusus dalam konteks JMR.
15
Pada bagian ini peneliti merangkum elemen-elemen post-suburbia yang terjadi di tingkat
global. Elemen pertama adalah post-suburbia melibatkan pergeseran paradigma dalam
konsepsi perkotaan-pedesaan. Kecepatan informasi, koneksi perjalanan dan globalisasi telah
membuat konsep ruang menjadi kabur. Ketidakjelasan pembeda perkotaan-pedesaan
mempengaruhi hubungan antara kota dan pedesaan nya. Post-suburbia juga mencerminkan
pergeseran dalam hubungan sosial dari orientasi komunal menjadi individual yang sangat
mendukung kebebasan individu. Peran pemerintah yang longgar dalam pembentukan kota
pinggiran mungkin memperparah dampak pada post-suburbia.
16
kesenjangan sosial tercermin dalam fragmentasi fisik antara kawasan industri. Salah satu
contoh adalah kurangnya komunikasi antara perusahaan kawasan industri.
Dari sudut pandang teori neoklasik, konsentrasi besar industri di satu lokasi dapat
menciptakan skala ekonomi, sehingga meningkatkan efisiensi ekonomi melalui, misalnya,
berbagi tanggung jawab penyediaan infrastruktur. Menariknya, di Cikarang, hal ini belum
terjadi. Setiap kawasan industri dibangun infrastruktur sendiri perkotaan dan fasilitas, seperti
jaringan jalan, jaringan telekomunikasi, instalasi pengolahan air limbah, dan instalasi
pengolahan air bersih, tanpa koordinasi yang jelas. Akibatnya, infrastruktur yang dibangun
oleh perkebunan yang berbeda cenderung terputus dari satu sama lain. jaringan infrastruktur
terfragmentasi seperti hasil tidak dapat dihindari dari kecenderungan menuju privatisasi dan
liberalisasi pembangunan perkotaan (Graham & Marvin, 2001).
Peneliti menyimpulkan pada paper ini bahwa pola spasial JMR mungkin menandakan tahap
awal apa yang dalam istilah Barat disebut post-suburbia. Dalam konteks JMR, post-suburbia
melibatkan dekonsentrasi industri hi-tech dan perusahaan multinasional, mengkonversi
pedalaman pedesaan yang sebelumnya diabaikan menjadi kawasan industri pinggiran kota
yang terencana. Selain itu, beberapa kawasan industri di pinggiran kota, seperti yang
ditemukan di Cikarang, Bekasi, kini diubah menjadi pusat-pusat kota baru dilengkapi dengan
komersial, rekreasi dan fasilitas budaya dengan “rasa western” yang kuat.
Berdasarkan jurnal yang ditulis peneliti dapat disimpulkan pula, transformasi post-suburbia
sebagian besar telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan kinerja ekonomi JMR.
Namun, isu-isu keberlanjutan yang utama juga muncul bersama transformasi ini. Isu-isu
tersebut antara lain, ketidakseimbangan regional, infrastruktur yang tidak sesuai, fragmentasi
17
fisik, segregasi sosial, dan degradasi lingkungan. Isu-isu ini menyiratkan perlunya instrumen
kebijakan yang lebih inovatif, koordinasi perencanaan yang lebih baik di tingkat daerah, dan
peningkatan kapasitas bagi pemerintah daerah.
5. Kesimpulan
Kota Baru Jababeka berawal dari terbentuknya Kawasan Industri Jababeka di pinggiran Kota
Jakarta, seiring berkembangnya wilayah tersebut permukiman, sarana dan prasarana juga
terbangun untuk mempermudah aktivitas perindustrian. Hasilnya Kawasan Industri Jababeka
berkembang menjadi Kota Baru mandiri yang memiliki hampir seluruh aspek struktur dan
pola ruang suatu kota. Kota baru yang terbentuk di pinggiran Kota Metropolitan mampu
menciptakan dekonsentrasi perkotaan. Hal ini dapat pula dijadikan suatu alasan terjadinya
fenomena post-suburbia yang menunjukkan dekonsentrasi industri di perkotaan karena pusat
kota seperti Jakarta sudah dalam kondisi jenuh.
DAFTAR PUSTAKA
Alkadri (ed). (1999). Manajemen Teknologi untuk Pengembangan Wilayah. Jakarta: Edisi
Pertama, Direktorat Kebijaksanaan Teknologi untuk Pengembangan Wilayah-BPPT.
Azzam, Mohamad. (2012). Program Corporate Social Responsibility di kawasan Industri PT.
JABABEKA, Tbk. Kabupaten Bekasi. Tesis. Depok.
Darma, I Made S (ed). (2011). Jababeka Fact Sheet 2011/2012, Jababeka Corporate
Marketing. Cikarang.
Glasson, John. (1990). Pengantar Perencanaan Regional. Terjemahan Paul Sihotang. Jakarta:
Lembaga Penerbit UI.
Hudalah, D., & T. Firman. (2011). Beyond property: Industrial estates and post-suburban
transformation. Cities.
18
Kajian Lingkungan Hidup Strategis Jawa Barat. (2015).
Laporan Akhir Penyusunan Rencana Rinci Keki Provinsi Jawa Barat. (2008).
Laporan Akhir Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi tahun 2009-
2025. (2008).
Mamas, Si Gde Made and Rizky Komalasari. (2008). ‘Dynamics of Change and Livability’,
in Jones and Douglass, op cit. Jakarta.
Perloff, Harvey and Lowdon Wingo Jr.1961. “Natural Resources Endowment and Regional
Economic Growth”. In Natural Resources and Economis Growth Ed, Joseph J. Spengler.
Washington DC: Resources for the Future pp.191-212
Soegijoko, Budhy Tjahjati Sugijanto. (2016). Perkuliahan Penataan Ruang & Analisis
Pertumbuhan Wilayah. Hasil wawancara.
Tarwiyah, Awin., (2013). Pelaksanaan Penerbitan Sertifikat Tanah Di Kabupaten Bekasi
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Skripsi UIN SGD Bandung.
Waluyo, Nurrahman Putra. (2014). Peran Kota Baru Dalam Upaya Dekonsentrasi Perkotaan
Di Wilayah Metropolitan Jabodetabek. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK
V1N1.
Wihadhi, Hyanto. (2014). Kota Berkelanjutan Dinilai Solusi Masa Depan dalam Menghadapi
Meningkatnya Urbanisasi. [http://bpiw.pu.go.id/article/detail/kota-berkelanjutan-dinilai-
solusi-masa-depan-dalam-menghadapi-meningkatnya-urbanisasi]. Diakses pada 02 Juni 2016
20.22 WIB.
Yunus, Hadi Sabari, (2000), Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Zhou, Yixing. (2006). Suburbanization And The Changes of Urban Internal Spatial Structure
In Hangzhou, China. Winslon & Son Inc.
19