Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Segregasi pola permukiman kini sedang berkembang dan
merebak di masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya pola
pembangunan perumahan yang menandai dan membatasi areanya
dengan lingkungan sekitar. Kondisi seperti ini tentunya menyulitkan
masyarakat lain yang tinggal dan beraktivitas di area sekitar untuk
dapat mengakses ruang urban, yang ternyata juga berada di dalam
area perumahan ‘eksklusif’ tersebut.
Selain berdampak pada kesulitan penduduk untuk
mempergunakan akses, privatisasi area publik seperti ini ternyata juga
turut menghilangkan interaksi yang mungkin dapat terjadi antara
penghuni dengan penduduk yang tinggal di area sekitar perumahan
tersebut. Hal ini tak sesuai dengan pola hidup masyarakat perkotaan
yang penuh dengan aktivitas dan ‘interaksi hidup’ antar warganya
Kondisi kota yang padat dan tak lagi aman & nyaman, serta
perubahan gaya hidup masyarakat kota disinyalir menjadi salah satu
factor utama penyebab maraknya pertumbuhan Gated community ini di
perkotaan. Namun, apakah hanya hal ini yang lantas disalahkan atas
pertumbuhan fenomena Gated community itu? Sebenarnya
bagaimanakah perkembangannya? adakah alasan lain yang juga turut
mendukung pertumbuhan Gated community? Atas dasar ini penulis
mencoba untuk mengkajinya.
Di sini penulis akan mencoba menelusuri perkembangannya dari
kota dan perkembangan kota itu sendiri, baru kemudian dihubungkan
dengan komunitas dan gaya hidup manusia yang banyak terjadi di
masa sekarang. Hingga selanjutnya pembahasan dapat berlanjut
untuk menjelaskan bagaimana gated community dapat berkembang di
perkotaan.

1
2

B. Rumusan Masalah
Yang menjadi pengkajian utama dalam penulisan ini adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan Gated Community itu?
2. Bagaimana perkembangannya di perkotaan?
3. Apa latar belakang serta faktor yang menyebabkan
pertumbuhannya?
4. Gated community dengan desain lingkungan yang seperti apakah
yang dinilai baik?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengungkap fenomena
tumbuhnya gated community di perkotaan. Perkembangan akan Gated
Community diperkirakan akan terus berlanjut, diharapkan dengan
adanya tulisan ini akan memberi gambaran dan pengetahuan akan
implikasi pembangunan perumahan baru terhadap sekitar, sehingga
dapat menjadi bahan pembelajaran bagi yang mendalami Gated
Community selanjutnya.

D. Ruang Lingkup Penulisan


Ruang lingkup penulisan ini akan dibatasi pada pembahasan
mengenai perkembangan gated community serta latar belakang
pertumbuhannya di perkotaan. Sehingga penulisan ini akan mengacu
pada pembahasan kota dan perkembangannya di bagian awal,
kemudian disertakan dengan pembahasan komunitas dan
perkembangan gaya hidup manusia di bagian kedua.
Selain hal itu, tulisan ini juga akan membahas pengertian dan
faktor-faktor apa saja yang dianggap menjadi penyebab
perkembangan gated community di perkotaan. Untuk kesimpulannya,
tulisan akan lebih difokuskan pada pendefinisian, karakteristik serta
faktor-faktor penyebab perkembangan gated community di Indonesia
3

khususnya untuk daerah yang menjadi studi kasus, yakni daerah yang
berada di sekitar Kota Bengkulu.

E. Metode Penulisan
Metode yang dilakukan dalam penulisan ini terdiri dari dua jenis
yaitu penulisan normatif dan penulisan empiris. Dalam penulisan
normatif, penulis menghimpun data-data sekunder dari beberapa
sumber antara lain; buku-buku, makalah, artikel surat kabar, dan media
internet sehingga disebut juga dengan studi kepustakaan. Sementara
dalam tulisan empiris, penulis melakukan studi lapangan secara
langsung. Informasi yang diperoleh dari data tersebut dianalisis secara
deskriptif dengan mendeskripsikan keadaan di lapangan serta
menganalisisnya sebagai hasil tinjauan referensi.
4

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Definisi Kota
Menurut Marbun (1992), kota merupakan kawasan hunian dengan
jumlah penduduk relatif besar, tempat kerja penduduk yang
intensitasnya tinggi serta merupakan tempat pelayanan umum.
Kegiatan ekonomi merupakan hal yang penting bagi suatu kota karena
merupakan dasar agar kota dapat bertahan dan berkembang
(Jayadinata, 1992). Kedudukan aktifitas ekonomi sangat penting
sehingga seringkali menjadi basis perkembangan sebuah kota.
Berbagai kegiatan ekonomi dalam suatu kawasan menjadi potensi
perkembangan kawasan tersebut pada masa berikutnya.
(http://jembatan4.blogspot.co.id/)

B. Perkembangan Kota
Istilah perkembangan kota (urban development) dapat diartikan
sebagai suatu perubahan menyeluruh, yaitu yang menyangkut segala
perubahan di dalam masyarakat kota secara menyeluruh, baik
perubahan sosial ekonomi, sosial budaya, maupun perubahan fisik
(Hendarto, 1997).
Pertumbuhan dan perkembangan kota pada prisipnya
menggambarkan proses berkembangnya suatu kota. Pertumbuhan
kota mengacu pada pengertian secara kuantitas, yang dalam hal ini
diindikasikan oleh besaran faktor produksi yang dipergunakan oleh
sistem ekonomi kota tersebut. Semakin besar produksi berarti ada
peningkatan permintaan yang meningkat. Sedangkan perkembangan
kota mengacu pada kualitas, yaitu proses menuju suatu keadaan yang
bersifat pematangan. Indikasi ini dapat dilihat pada struktur kegiatan
perekonomian dari primer kesekunder atau tersier. Secara umum kota
akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan melalui keterlibatan

4
5

aktivitas sumber daya manusia berupa peningkatan jumlah penduduk


dan sumber daya alam dalam kota yang bersangkutan (Hendarto,
1997).
Pada umumya terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi
perkembangan kota, yaitu:
1. Faktor penduduk, yaitu adanya pertambahan penduduk baik
disebabkan karena pertambahan alami maupun karena migrasi.
2. Faktor sosial ekonomi, yaitu perkembangan kegiatan usaha
masyarakat
3. Faktor sosial budaya, yaitu adanya perubahan pola kehidupan dan
tata cara masyarakat akibat pengaruh luar, komunikasi dan sistem
informasi.
Perkembangan suatu kota juga dipengaruhi oleh perkembangan
dan kebijakan ekonomi. Hal ini disebabkan karena perkembangan kota
pada dasarnya adalah wujud fisik perkembangan ekonomi (Firman,
1996). Kegiatan sekunder dan tersier seperti manufaktur dan jasa-jasa
cenderung untuk berlokasi di kota-kota karena faktor urbanization
economics yang diartikan sebagai kekuatan yang mendorong kegiatan
usaha untuk berlokasi di kota sebagai pusat pasar, tenaga kerja ahli,
dan sebagainya.
Perkembangan kota menurut Raharjo dalam Widyaningsih (2001),
bermakna perubahan yang dialami oleh daerah perkotaan pada aspek-
aspek kehidupan dan penghidupan kota tersebut, dari tidak ada
menjadi ada, dari sedikit menjadi banyak, dari kecil menjadi besar, dari
ketersediaan lahan yang luas menjadi terbatas, dari penggunaan
ruang yang sedikit menjadi teraglomerasi secara luas, dan seterusnya.
Dikatakan oleh Beatley dan Manning (1997) bahwa penyebab
perkembangan suatu kota tidak disebabkan oleh satu hal saja
melainkan oleh berbagai hal yang saling berkaitan seperti hubungan
antara kekuatan politik dan pasar, kebutuhan politik, serta faktor-faktor
sosial budaya.
6

Teori Central Place dan Urban Base merupakan teori mengenai


perkembangan kota yang paling populer dalam menjelaskan
perkembangan kota-kota. Menurut teori central place seperti yang
dikemukakan oleh Christaller (dalam Daldjoeni, 1992), suatu kota
berkembang sebagai akibat dari fungsinya dalam menyediakan barang
dan jasa untuk daerah sekitarnya. Teori Urban Base juga menganggap
bahwa perkembangan kota ditimbulkan dari fungsinya dalam
menyediakan barang kepada daerah sekitarnya juga seluruh daerah di
luar batas-batas kota tersebut. Menurut teori ini, perkembangan
ekspor akan secara langsung mengembangkan pendapatan kota.
Disamping itu, hal tersebut akan menimbulkan pula perkembangan
industri yang menyediakan bahan mentah dan jasa-jasa untuk industri
yang memproduksi barang ekspor yang selanjutnya akan mendorong
pertambahan pendapatan kota lebih lanjut.
(http://jembatan4.blogspot.co.id/)

C. Komunitas Perkotaan
Perkotaan merupakan kumpulan pemukiman, kawasan industri,
saranan dan prasarana pendidikan atau kesehatan serta tempat-
tempat hiburan seperti mal, kebun binatang,dan sebagainya.
Perkotaan merupakan tempat berkumpulnya penduduk dari asal
ataupun kepribadian yang berbeda-beda, maka tentunya mereka juga
memiliki minat dan hobi berbeda.
Landry (2008) mengemukakan bahwa membangun kesadaran
akan kebutuhan untuk berjejaring dan berkolaborasi jauh lebih sulit
bagi pelaku yang heterogen dengan masingmasing budaya organisasi
dan rencana yang dimilikinya. (Freska Fitriyana, 2012)
Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa
organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan
dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di
dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya,
7

preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa.


Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti
“kesamaan”, kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti
“sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak”.
Sedangkan perkotaan berasal dari kata “kota” sebagaimana yang
diterapkan di Indonesia mencakup pengertian “town” dan “city” dalam
bahasa Inggris. Perkotaan adalah kelompok penduduk yang bertempat
tinggal bersama-sama dalam suatu kota menurut peraturan-peraturan
yang telah ditentukan. Perkotaan adalah kumpulan wilayah yang
didalamnya memiliki aksesbilitas seperti pusat pemukiman penduduk,
pusat kegiatan ekonomi, pusat kegiatan politik, pusat hiburan, dan
pusat kegiatan sosial budaya. (http://teknikkomunikasi.wixsite.com/)
Konsentrasi manusia di perkotaan menimbulkan masalah yang
kompleks pada permukiman dan lingkungannya; seperti masalah-
masalah kesehatan lingkungan, energi dan transportasi, air bersih dan
pengelolaan limbah domestik. Pada Kota Baru permasalahan tersebut
dapat dikendalikan melalui perencanaan yang baik. Dengan demikian
komunitas yang bermukim di kota baru dapat hidup dalam lingkungan
yang mendukung keberlangsungan hidupnya. Sebenarnya kita
berumah selalu bersama dengan orang lain dalam sebuah komunitas
permukiman. Tidak ada atau jarang sekali orang bermukim bebas dari
kesatuan seperti itu. Pembangunan permukiman baru pun sudah
pernah berlangsung di masa lalu dalam masyarakat kita misalnya,
dapat dijumpai nama-nama tempat seperti Kampung Baru, Kotabaru,
Ujung Pandang Baru dan lain-lain yang memperlihatkan bahwa
dulunya tempat mereka itu adalah pembangunan baru. (Zubair
Batudoka, 2005).

D. Perumahan dan Permukiman


Dalam UU RI No.4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan
Permukiman disebutkan bahwa perumahan adalah kelompok rumah
8

yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan


hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan
sedang permukiman adalah bagaian dari lingkungan hidup di luar
kawasan lindung yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan
dimana tujuan penataannya adalah untuk; memenuhi kebutuhan
rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka
peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat, mewujudkan
perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat,
memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk
yang rasional dan menunjang pembangunan di bidang ekonomi,
sosial, budaya serta bidang lain-lain.
Selanjutnya disebutkan bahwa Setiap warga negara mempunyai
hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah
yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.
Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk
berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman
Untuk permukiman tujuannya ditegaskan untuk ; menciptakan kawasan
permukiman yang tersusun atas satuan-satuan lingkungan
permukiman dan mengintegrasikan secara terpadu dan meningkatkan
kualitas lingkungan perumahan yang telah ada didalam atau
sekitarnya.
Dalam penyertaan masyarakat pada pembangunan perumahan
dan permukiman dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai
hak dan kesempatan yang sama dan seluasluasnya untuk berperan
serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman dimana
pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dapat
dilakukan secara perseorangan atau dalam bentuk usaha bersama.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Johan Silas dalam Housing
Beyond Home (1993), bahwa konsep perumahan di Indonesia intinya
adalah : Perumahan yang dikembangkan oleh pihak yang
membutuhkan dengan segala konsekwensinya. Dasar perumahan ini
9

adalah perkembangan yang berdimensi majemuk (multi dimensional


development) jauh lebih lengkap dari sekedar tempat hunian saja.
Dengan sendirinya yang juga dihadapi adalah skala kumpulan rumah
mulai sekedar perumahan hingga permukiman yang lebih lengkap.
(Zubair Batudoka, 2005).

E. Gated Community
Sejak beberapa tahun terakhir jumlah perumahan berpola gated
community semakin berkembang. Bahkan, bisa dikatakan hampir
seluruh perumahan yang didirikan sekarang menggunakan konsep
“komunitas berpagar” tersebut. Pagar yang biasanya menjadi batas
kepemilikan lahan milik individual, kini justru menjadi pemisah lahan
tempat komunitas tertentu dengan lingkungan sekitarnya. Sejak tahun
1980, Fenomena ini sebenarnya sudah terjadi di Amerika Serikat.
Wacana yang dituliskan Gated Community Research Group (GCRG)
dari UII, Yogyakarta menuliskan jutaan keluarga telah tinggal pada
komunitas ini di Amerika Serikat. Dan kini (IMCO) mungkin saja jutaan
warga Indonesia juga telah menjadi komunitas yang hidup dalam
pagar tersebut, khususnya masyarakat di perkotaan.
Gated community digunakan sebagai respon terhadap kondisi
sosial lingkungan sekitar yang dirasa kurang kondusif terhadap
komunitas tertentu. Isu keamanan menjadi alasan dari penggunaan
pagar mengelilingi sebuah perumahan. Akibat dari hal tersebut
perumahan tidak dapat dipenetrasi oleh orang-orang yang tidak
berkepentingan, jika sudah begitu perumahan yang permeable didalam
sebuah struktur kota tinggallah harapan. Sistem satu pintu dengan
penjagaan ketat menjadi satu-satunya akses masuk bagi penghuni dan
pengunjung perumahan. Pada satu kesempatan ekskursi perumahan
di Tangerang, salah seorang pengembang mengatakan “Tidak ada
yang mampu menjamin tidak akan terjadi riot lagi di Jakarta”. Maka
10

menurutnya gated community tetap dibutuhkan untuk faktor keamanan


bagi warga perumahan tersebut.
Sementara itu, mengutip wacana yang dituliskan Gated Community
Research Group dari UII, Yogyakarta, alasan terbentuknya komunitas
ini menurut Blakely dan Snyder dapat diklasifikasikan menjadi tiga
jenis, yaitu: Gaya Hidup, Prestise, dan Keamanan. Menurut saya di
Indonesia faktor keamanan menjadi faktor utama digunakannya sistem
gated community, setelahnya baru faktor prestise mempengaruhi, dan
gaya hidup masih belum menjadi faktor utama penggunaannya. Jika di
Amerika sana gated community telah menjadi sebuah “rekayasa
spasial” pembentukan komunitas, di Indonesia hal tersebut masih
sebatas pengelompokan hunian-hunian tertentu (disadur dari GCRG,
menurut Leisch). Hal tersebut dikarenakan tidak terlihat signifikansi
perbedaan interaksi antara masyarakat yang tinggal di dalam maupun
di luar gated community. Lebih jauh lagi Leisch mengemukakan gated
community di Indonesia lebih menyerupai ghetto hanya saja
penghuninya yang orang-orang kaya.
Namun begitu hal tersebut tetap menjadi potensi bagi berbagai
permasalahan baru bagi lingkungan, baik dari segi sosial maupun
spasial. Segregasi sosial seperti ekonomi, ras dan budaya ibarat bom
waktu yang sewaktu-waktu mungkin meledak karena pemicunya sudah
diciptakan. Alih-alih menciptakan komunitas yang aman dari
kerusuhan, gated community justru diperdebatkan mampu menjadi
salah satu potensi terjadinya kerusuhan yang lebih besar di masa
depan. Pendapat tersebut subjektif menurut saya pribadi dan masih
sangat dapat diperdebatkan, namun bukan berarti tidak perlu
direnungkan.
Segregasi spasial lingkungan kota juga semakin lama semakin
terlihat dampak buruknya akibat sistem kantung yang diciptakan setiap
pengembang saat membangun satu perumahan baru. Kantung
perumahan-perumahan disebuah jalur utama kota menjadikan beban
11

sebuah jalan sedemikian berat karena semua warga perumahan


bermuara ke satu jalan. Semakin lama sistem struktur dan jaringan
kota tersebut semakin menggurita (sprawling). Sistem struktur kota
yang integratif dengan hierarki jalan yang ideal semakin sulit untuk
dicapai. (https://apakatajapra.wordpress.com)
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)
melalui Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) saat ini
tengah menyusun data dasar kebijakan perkotaan, permukiman dan
perumahan, serta infrastruktur dasar PUPR yang dibangun di seluruh
Indonesia. (http://industri.bisnis.com)

F. Isu-isu Gated Communities


Komunitas berpagar (gated community) merupakan salah satu
fenomena yang tak terpisahakan dari kehidupan berbagai kota besar di
dunia. Keberadaannya pun telah menjadi diskurus ilmuwan dan
pemerhati dari berbagai disiplin ilmu. Di Indonesia, komunitas berpagar
menurut Handoko (2011) sudah mulai bermunculan sejak awal
pembangunan orde baru dan memuncak pada waktu di mana
Indonesia mengalami masa keemasan properti sebelum krisis moneter
pada tahun 1997. Kehadiran Bumi Serpong Damai di Jakarta
merupakan salah satumilestone eksistensi komunitas berpagar di
Indonesia. (https://www.kompasiana.com)
Satu dekade diberlakukannya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, menyisakan banyak pertanyaan. Terutama tentang
kualitas produk rencana tata ruang, keterbatasan biaya perencanaan,
dan miskinnya kognisi dalam dinamika 3 aspek proses merencana,
yaitu teknoratis, partisipatif, dan legislatif.
Pertumbuhan ekonomi, investasi dan percepatan pembangunan
infrastruktur dasar terhambat karena konflik ruang. Proyek-proyek
strategis bertabrakan dengan produk rencana di level nasional dan
lokal. arena itu, timbul fenomena peninjauan kembali dan revisi-revisi
12

yang sulit dilakukan karena pembatasan minimal waktu 5 tahun untuk


bisa direvisi. Belum lagi konflik mendasar antar-sektor seperti
Pekerjaan Umum, Kelautan, Lingkungan hidup dan Kehutanan,
maupun Agraria dan Tata Ruang seolah tidak berkesudahan.
Keputusan pemerintah menghapuskan institusi resolusi konflik
Badan Koordinasi Penataan Ruang (BKPRTN), menyebabkan
tantangan lebih berat lagi. Indonesia masih tersandera oleh berbagai
tumpang tindihnya pengaturan lahan dan “land-grabbing” skala global.
(http://properti.kompas.com/)
Setidaknya diskusi dalam topik ini merujuk pada tiga asumsi, yakni:
Pertama, asumsi komunitas berpagar sebagai dampak. Dihipotesiskan
secara umum bahwa komunitas berpagar di Yogyakarta adalah
sebuah dampak dari berbagai faktor baik yang sifatnya lokal maupun
global. Motif memagari diri yang dilandasi oleh proses perubahan
karakter masyarakat dan sistem produksi adalah faktor yang banyak
dipengaruhi atau serupa dengan proses-proses yang terjadi secara
global. Sementara karakter masyarakat geografis Yogyakarta yang
sangat spesifik yaitu tinggi di utara yang merupakan lereng Merapi dan
daerah resapan air, sawah produktif di barat dan selatan, serta daerah
relatif kurang produktif di timur justru menarik pertumbuhan yang ditilik
dari parameter sustainabilitas tidak menguntungkan.
Pertumbuhan yang dominan justru menuju ke utara dan barat yang
berarti menyimpan potensi problem yang sangat destruktif. Sementara
itu, Kota dan lingkungannya yang terdiri dari dua Kabupaten dan satu
Kotamadya turut berkontribusi dalam sulitnya koordinasi dalam
penyusunan kebijakan tata ruang, implementasi, maupun
pengawasannya. Masing-masing pihak mempunyai dasar pemikiran
dan kepentingan sendiri yang merupakan derivasi dari problem
nasional otonomi daerah. Lemahnya kontrol dan “motif ekonomi” dari
masingmasing daerah menjadikan produsen, mulai dari yang besar
dan berizin hingga yang kecil dan “informal” leluasa untuk berspekulasi
13

dalam penyediaan rumah. Terlebih lagi dengan adanya citra


Yogyakarta sebagai daerah aman yang menjadi komoditas pasar.
Kondisi ini menyebabkan komunitas berpagar justru sebagai sebuah
dampak, sebuah “penanda” dari konstelasi problem yang lebih luas.
Kedua, komunitas berpagar sebagai segregator. Namun demikian
meskipun dipandang sebagai segregator, ketika perkembangan
komunitas berpagar ini dikerangkakan sebagai sebuah tren yang akan
menjadi fitur dominan bagi perkembangan kota dan suplai perumahan,
maka ia akan berperan pula sebagai generator bagi munculnya
dampak ikutan sebagaimana telah terjadi di masyarakat yang
mengadopsi caracara ini. Di satu sisi masyarakat yang tersegregasi,
yang ditandai dengan hilangnya keguyuban yang menjadi “mitos”
masyarakat dan lunturnya identitas lokal (baik dalam konotasinya
sebagai entitas kultural maupun artefak fisiknya), menjadi potensi area
permasalahan. Di sisi yang lain, adalah timbulnya inefisiensi
pengelolaan ruang kota seperti pembangunan infrastruktur yang juga
harus mengikuti perkembangan yang sulit diprediksi. Komunitas
berpagar juga memicu konflik peruntukan lahan terutama berkaitan
dengan lahan pertanian dan fungsi resapan air.
Ketiga, Komunitas berpagar sebagai agen inovasi. Proses
modernisasi yang dibawa oleh komunitas berpagar juga dapat
diinterpretasi sebagai agen inovasi. Teknologi infrastruktur yang lebih
berorientasi pada kualitas lingkungan, upaya-upaya integrasi dengan
lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat secara kolektif maupun
individu-individu yang menciptakan relasi “mosaik subkultur”, serta
berkembangnya sistem kebijakan tata ruang yang lebih responsif
terhadap perkembangan perumahan mungkin pula terjadi. Pasar,
seiring dengan tuntutan dari konsumen akan kualitas yang lebih baik,
mungkin pula dapat menjadi agen perubahan pola konsumsi dari yang
sekedar berinvestasi jangka pendek menjadi lebih berorientasi jangka
panjang. (Derajad S. Widhyharto, 2009)
14

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tipe dan Pendekatan Penelitian


Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara
tepat mengenai suatu keadaan secara utuh. Oleh karena itu, penelitian
ini bertipe deskriptif yakni jenis tipe yang berupaya menggambarkan
suatu fenomena atau kejadian dengan apa adanya. Hal tersebut
didasarkan karena penelitian ini menghasilkan data-data berupa kata-
kata tertulis dari data-data yang diperoleh dari sumber penelitian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif secara umum
yakni prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif
berupa kata-kata tertulis. Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2005:4)
mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini tidak
boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variabel atau
hipotesis tetapi harus dipandang sebagai bagian dari keutuhan.

B. Fokus Penelitian
Suatu penelitian perlu adanya pembatasan masalah yang
diangkat. Selain itu, perlu juga menyatakan secara khusus batas-
batas masalah agar penelitian lebih terarah dan dapat memperoleh
gambaran yang jelas kapan penelitian tersebut dianggap telah selesai.
Menurut Moleong (2005:97) fokus penelitian dimaksudkan untuk
membatasi studi kualitatif sekaligus membatasi penelitian guna untuk
memilih data yang relevan dan data yang tidak relevan. Hal yang
harus diperhatikan dalam penelitian kualitatif adalah masalah dan
fokus penelitian, karena fokus penelitian memberikan batasan dalam
studi dan batasan dalam pengumpulan data sehingga dengan batasan
15

ini peneliti akan fokus memahami masalah-masalah yang menjadi


tujuan penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada proses perumusuan
atau formulasi kebijakan yakni kebijakan relokasi pusat pemerintahan
di Provinsi Bengkulu , yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Alasan-alasan dan nilai-nilai yang menjadi dasar pertimbangan
tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi
Bengkulu dalam kebijakan pemindahan pusat pemerintahan
Provinsi Bengkulu
2. Tahapan perumusan dalam kebijakan pemindahan pusat
pemerintahan Provinsi Bengkulu. Dengan menggunakan metode
analisis interaktif, kebijakan dirumuskan dengan melihat aspek-
aspek pertimbangan dan tahapan proses penyusunan yang
kemudian akan disandingkan dengan langkah-langkah yang
terdapat dalam model rasional komprehensif, sehingga nantinya
kebijakan yang diputuskan dapat dikatakan layak atau tidak untuk
dilaksanakan.

C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam hal ini merupakan tempat dimana peneliti
melakukan penelitian. Lokasi dalam Penelitian ini adalah Kantor
Pemerintahan Provinsi Bengkulu, DPRD Provinsi Bengkulu, Bappeda
Provinsi Bengkulu.

D. Jenis dan Sumber Data


Menurut Moleong bahwa data merupakan segala keterangan dan
informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan tujuan
penelitian. Dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari apa yang
diamati, didengar, dirasa dan dipikirkan oleh peneliti.
1. Jenis Data
a. Data Primer
16

Data primer merupakan data utama yang diperlukan


peneliti. Data utama dalam penelitian ini berupa kata-kata dan
tindakan informan serta peristiwa- peristiwa tertentu yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian sebagai hasil
pengumpulan yang dilakukan peneliti sendiri selama berada di
lokasi penelitian
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperlukan untuk
melengkapi data primer yang didapat. Data sekunder bukan
data yang didapat langsung oleh peneliti, melainkan telah
melalui tangan kedua dan seterusnya. Data sekunder dapat
berupa data-data tertulis seperti monografi, laporan kegiatan,
notulensi rapat, dokumen resmi, dan sebagainya. Data
sekunder dalam penelitian ini berupa data dari Kantor
Pemerintahan Provinsi Lampung, data dari Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi
Bengkulu.
2. Sumber Data
Sumber data adalah benda, hal atau orang maupun tempat
yang dapat dijadikan sebagai acuan peneliti untuk melakukan
analisa data. Sumber data dalam penelitian ini meliputi:
1) Informan
Merupakan sumber data primer, meliputi kata-kata maupun
tindakan dari orang-orang yang terlibat selama pembuatan
kebijakan dan pembangunan Kota Bengkulu.
2) Peristiwa
Berbagai peristiwa yang terekam selama tahapan-tahapan
kebijakan pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Bengkulu .
Berbagai peristiwa dijadikan sumber data dalam penelitian ini
dengan tujuan untuk memperoleh gambaran situasi yang lebih
17

komprehensif mengenai pembangunan Kota Bengkulu yang


sedang berlangsung.
3) Dokumen
Berbagai dokumen yang terkait dengan kebijakan pemindahan
pusat pemerintahan Provinsi Bengkulu juga bisa dijadikan
sebagai sumber data. Baik itu undang- undang, peraturan
daerah, monografi Provinsi Bengkulu, data statistik maupun
foto-foto akan dijadikan sebagai sumber data sekunder untuk
mendukung dan memperkuat data primer.
E. Teknik Pengumpulan Data
Peneliti melakukan proses pengumpulan data yang telah ditetapkan
berdasarkan fokus penelitian. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Wawancara (interview)
Wawancara dalam penelitian ini digunakan sebagai
teknik pengambilan data. Oleh karena itu, dalam melakukan
wawancara harus menyiapkan instrumen penelitian berupa
pertanyaan tertulis. Wawancara dilakukan kepada narasumber dari
masing-masing instansi terkait, dengan tema atau topik mengenai
kebijakan dan pembangunan Kota Bengkulu.
2. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu cara pengumpulan data
yang menghasilkan catatan-catatan penting yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti, sehingga akan diperoleh data yang
lengkap, sah dan bukan hasil perkiraan. Dokumen bisa berbentuk
tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang
3. Observasi
Observasi merupakan cara-cara menganalisis dan
mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku
dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara
langsung. Data observasi merupakan deskripsi yang faktual,
18

cermat dan terinci mengenai keadaan lapangan, kegiatan manusia


dan situasi sosial serta konteks dimana kegiatan-kegiatan itu
terjadi.

F. Teknik Analisa Data


Disini pekerjaan analisis data oleh peneliti mulai dilakukan, yaitu
mengatur, mengurutkan, mengelompokan, memberikan kode dan
mengkategorikannya. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa
analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat
ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang
disarankan oleh data.
19

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kota terbentuk dari pemadatan area yang dilakukan oleh sekelompok


orang yang datang bersama- sama dengan tujuan ekonomi yakni untuk
memeroleh keuntungan demi kesejahteraan hidupnya. Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan oleh Brendan Dihubungkan dengan kota kini, kota
yang ada sekarang umumnya merupakan kota hasil dari revolusi industri
yang terjadi pada abad 19. Kota industri umumnya memiliki sistem
pengorganisasian yang telah maju untuk sanitasi, utilitas, distribusi tanah,
perumahan dan transportasi. Perkembangan industri dan fasilitas kota
yang baik ini semakin mendukung perkembangan hidup perekonomian di
kota, akibatnya pertumbuhan kota cenderung semakin membesar dan
meluas. Seiring dengan berkembangnya kota dan pertumbuhan ekonomi
ke arah yang semakin besar, infrastuktur kota dengan segala fasilitas dan
sarana umum dibangun. Hal ini semakin mencitrakan kota sebagai area
metropolitan. Berkembangnya kota sebagai area metropolitan membuat
terjadinya peningkatan persaingan akan perebutan lahan di kota.
Arus urbanisasi yang pada akhirnya memicu fenomena suburbanisasi
ke area suburban. Urbanisasi menimbulkan kepadatan dan segenap
permasalahan di kota, akibatnya kondisi kota menjadi tak lagi nyaman dan
aman (khususnya bagi komunitas menengah ke atas). Kurangnya
kemampuan pemerintah untuk memfasilitasi dan memberikan pelayanan
memadai di kota tersebut membuat sebagian orang mencari dan
menciptakan lingkungan ideal bagi mereka sendiri di daerah luar kota
Gated community memiliki dampak terhadap ruang urban. gated
community dinilai merusak nilai dasar dari ruang publik itu sendiri, karena
di sini mereka menghalangi keleluasaan publik untuk berbagi layanan dan
fasilitas dalam pemakaian ruang publik. Sebagai tren yang lebih umum
gated community berperan dalam fragmentasi atau pemutusan hubungan

19
20

dan kontak sosial sehingga melemahkan rasa tanggung jawab dan


kontrak sosial dalam masyarakat.
Pola jalan dan barikade yang memisahkan orang (penghuni) dengan
yang lainnya mengurangi kekuatan dan potensi antar orang untuk saling
mengerti satu sama lain. Selain itu hal ini juga berdampak pada
berkurangnya kesempatan warga untuk melakukan hal atau tanggung
jawab bersama. Kekurangan yang diciptakan oleh gated community ini
membuat hubungan komunitas di masyarakat menjadi rapuh dan mudah
rusak.
Seperti yang telah diuraikan di atas, gated community menawarkan
‘pertahanan keamanan’ dan penjagaan ketat sepenuhnya oleh penjaga.
Sistem seperti ini dapat menghilangkan rasa kekhawatiran dan tanggung
jawab penghuni akan pemeliharaan keamanan di lingkungan tempat
tinggal bersama. Hal ini terjadi karena mereka menilai bahwa berbagai
pemeliharaan lingkungan seperti keamanan dan kebersihan lingkungan
adalah tanggung jawab si pengelola dan tak lagi ada di mereka.
21

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sesungguhnya gated community memang tak terpisahkan dari
perkotaan. Ia merupakan bagian dari kota dan kemunculannya juga tak
lepas sebagai dampak dari perkembangan kota itu sendiri. Di lain
pihak gated community juga tak bisa dilepaskan dari kehidupan
manusia karena keberadaannya merupakan pengaruh dari pergeseran
gaya hidup manusia yang semakin hari semakin berkembang.
Kehidupan manusia di jaman sekarang selalu dipenuhi oleh kesibukan
& aktivitas, hingga akibatnya gaya hidup yang dijalani adalah gaya
hidup individualis. Oleh karena itulah, tepat jika dikatakan bahwa
fenomena gated community di perkotaan memang tak terelakkan. Kini
hampir semua kota di dunia memiliki gated community dengan
karakteristik dan latar belakang yang berbeda-beda. Di Indonesia
sendiri, gated community yang ada menunjukkan karakteristik yang
berbeda dari gated community pada umumnya. Walaupun “membatasi
diri” dengan dinding dan pagar di sekelilingnya, Gated community di
Indonesia masih mengijinkan orang luar (non-penghuni) untuk masuk
dan menikmati sebagian fasilitas yang ada. Kondisi yang seperti ini tak
lain disebabkan oleh adanya peraturan ‘Pembangunan Perumahan
oleh Pengembang’ yang mengatur agar sebagian lahan yang dibangun
tersebut menyerahkan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang terdapat
didalamnya, ke pemerintah daerah setempat agar dapat dipergunakan
oleh publik. Peraturan inilah yang menyebabkan pola-pola perumahan
yang ada di Indonesia umumnya berbentuk cluster-cluster yang
terkumpul dalam satu kompleks. Ditambah dengan fasilitas serta jalan
utama yang juga masih dapat dimanfaatkan oleh umum.
Ditinjau dari faktor penyebabnya, gated community di Indonesia
dilatarbelakangi oleh faktor yang berbeda pula. Yang menjadi faktor di

21
22

sini bukanlah hanya keamanan atau kenyamanan saja, namun


juga adanya kebutuhan akan prestise dan status yang diperoleh
dan gaya hidup yang mengadaptasi pola hidup modern. Tak ada
faktor yang lebih dominan antara satu dengan yang lain. Atau dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa perkembangan gated community
Indonesia lebih disebabkan oleh adanya perpaduan dari tiga hal yang
telah disebutkan tadi, yakni keamanan & kenyamanan, prestise &
status, dan gaya hidup. Dengan demikian, dari hasil analisa keempat
studi kasus diatas dapat disimpulkan bahwa dari segi desain jalan,
pola perumahan dengan jalan yang memanjang (menghubungkan satu
akses pintu ke akses pintu lainnya) dianggap lebih baik dari pada pola
jalan perumahan yang memusat atau menyebar (akses jadi terputus di
tengah kompleks) karena pola seperti itu tidak terlalu ’mengganggu
akses publik’. Namun juga perlu diperhatikan disini, bahwa Luas lahan
yang dibangun untuk kompleks dan cluster hendaknya tak terlalu luas.
Area lahan yang tak terlalu besar selain tidak menyulitkan akses
penduduk sekitar, juga dapat lebih mengakrabkan penghuni yang
tinggal di dalamnya. Tak hanya itu, peletakan fasos dan fasum dalam
kompleks juga harus lebih diatur peletakannya sehingga
persebarannya merata dan tak hanya terpusat pada satu area saja, hal
ini berguna agar masyarakat luar/penghuni lain juga dapat mengakses
dan menikmati Fasilitas tersebut dengan mudah.
Sebagai akhir dari penulisan ini, Penulis ingin menyatakan
bahwa sesungguhnya keberadaan Gated community tidaklah benar-
benar ’mengganggu’ sehingga harus disingkirkan keberadaannya,
karena disisi lain sebenarnya ia juga dibutuhkan dalam perkotaan.
Keberadaannya berfungsi sebagai penyedia permukiman bagi
penduduk kota yang menginginkan keamanan dan kenyamanan dalam
area tempat tinggalnya. Tentunya hal ini memang manusiawi
mengingat kondisi kota yang ada tidak dapat mewujudkan keinginan
segelintir orang yang menginginkan area hunian ideal tersebut.
23

Namun, perlu diperhatikan disini bahwa dalam mendesain atau


menciptakan suatu area hunian (perumahan) ideal tidaklah harus
dengan menciptakan pembatas tegas antar penduduk sehingga
memisahkan mereka kedalam kelas-kelas sosial tertentu. Kondisi
seperti ini dapat menciptakan segenap permasalahan sosial dan
perkotaan di masyarakat. Sesungguhnya hal ini dapat diminimalisir
dengan menciptakan desain gated community yang meskipun
menciptakan privacy namun tetap dapat memberikan kesempatan bagi
penduduk luar kompleks untuk menggunakan akses dan fasilitas yang
terdapat didalamnya. Hal ini juga dimaksudkan agar tetap terjadi
kontak sosial di antara penduduk yang mana sebenarnya sangat
dibutuhkan oleh masyarakat perkotaan.

B. Saran
Pola desain perumahan Gated Community ideal yang penulis
ungkapkan di atas hanyalah sebagai sebuah acuan untuk penelitian
yang lebih mendalam mengenai hal itu lagi selanjutnya. Tentunya
terdapat keterbatasan bagi Penulis saat ini untuk dapat
mengungkapkan pola desain perumahan seperti apa yang ideal bagi
gated community. Karena penulisan yang dilakukan saat ini hanyalah
bertujuan untuk mengungkap tumbuh kembangnya fenomena gated
community di perkotaan. Tentunya hal ini menjadi penting mengingat
tipikal perumahan seperti gated community, kini sedang tumbuh
dengan pesat. Oleh karena itu Penulis berharap jika suatu saat nanti
akan dilakukan penelitian dan pengkajian yang lebih mendalam
tentang desain gated community. Karena hal tersebut pastinya akan
berguna sebagai bahan pengkajian bagi pihak yang mendalaminya.
24

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :
Gallion, B.Arthur & Eisner Simon, 1985. “Pengantar sejarah perencanaan
perkotaan”, Intermedia, Bandung,

Muhammad Rezki Hr. 2013. dalam buku “Aglomerasi Perkotaan.


Yogyakarta: Ragam Perspektif

Kuncoro, Mudrajad. 2012. Perencanaan Daerah: Bagaimana


Membangun Ekonomi Lokal, Kota dan Kawasan. Jakarta: Salemba
Empat.

JURNAL :
Derajad S. Widhyharto, Komunitas Berpagar: Antara Inovasi Sosial dan
Ketegangan Sosial, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 13,
Nomor 2, November 2009

Zubair Batudoka, Kota Baru Dan Aspek Permukiman Mendepan, Jurnal


SMARTek, Vol. 3, No. 1, Pebruari 2005 : 27-36

Freska Fitriyana, Pengembangan Bandung Kota Kreatif Melalui Kekuatan


Kolaboratif Komunitas

ARTIKEL :

https://apakatajapra.wordpress.com/2008/06/21/gated-community/

http://jembatan4.blogspot.co.id/2013/11/definisi-dan-konsep-
perkembangan-kota.html

http://teknikkomunikasi.wixsite.com/lima/info

MEDIA ONLINE :
http://properti.kompas.com/read/2016/12/31/190000621/indonesia.darurat.
penataan.ruang.

http://industri.bisnis.com/read/20170921/45/691801/kementerian-pupr-
kemas-panduan-pembangunan-perkotaan-lewat-buku-populer

https://www.kompasiana.com/muhammadrezkihr/komunitas-berpagar-
ancaman-bagi-aglomerasi-perkotaan-
yogyakarta_54f71937a33311cc2c8b4788
25

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya
penyusun mampu menyelesaikan tugas Karya Tulis Ilmiah ini dengan
judul Pengaruh Gated Community di Perkotaan Dalam Pembangunan
Kota Bengkulu tepat pada waktunya.
Karya Tulis Ilmiah ini disusun agar pembaca dapat memperluas
ilmu dengan tugas yang kami sajikan berdasarkan pengamatan yang telah
kami lakukan. Karya Tulis Ilmiah ini di susun oleh penyusun dengan
berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang
datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama
pertolongan dari Allah akhirnya Karya Tulis Ilmiah ini dapat terselesaikan.
Semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat memberikan wawasan yang
lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca
khususnya para mahasiswa. Saya sadar bahwa Karya Tulis Ilmiah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada
dosen pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan
pembuatan Karya Tulis Ilmiah saya di masa yang akan datang dan
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Bengkulu, Januari
2018

Penyusun,

i
26

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR .......................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ..................................................................... 2
D. Ruang Lingkup Penulisan ........................................................ 2
E. Metode Penulisan .................................................................... 3
BAB II KAJIAN TEORI ....................................................................... 4
A. Definisi Kota ............................................................................. 4
B. Perkembangan Kota ................................................................ 4
C. Komunitas Perkotaan ............................................................... 6
D. Perumahan dan Permukiman ................................................... 7
E. Gated Community .................................................................... 8
F. Isu-isu Gated Communities ...................................................... 10
BAB III METODE PENELITIAN.......................................................... 14
A. Tipe dan Pendekatan Penelitian .............................................. 14
B. Fokus Penelitian ....................................................................... 14
C. Lokasi Penelitian ...................................................................... 15
D. Jenis dan Sumber Data ............................................................ 15
E. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 17
F. Teknik Analisa Data ................................................................. 17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 18
BAB V PENUTUP ............................................................................... 24
A. Kesimpulan .............................................................................. 24
B. Saran........................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA

ii
27

KARYA TULIS ILMIAH


PENGARUH GATED COMMUNITY DALAM PEMBANGUNAN
KOTA DI BENGKULU

Disusun Oleh :
Riswanty Dora J.R
13060030

Dosen Pembimbing:
Dr. YANMESLI, M.Pd

PROGRAM STUDI GEOGRAFI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PROF. DR. HAZAIRIN, S.H
BENGKULU
2018

Anda mungkin juga menyukai