Anda di halaman 1dari 19

URBAN DEVELOPMENT

MATA KULIAH KEBIJAKAN WILAYAH DAN TATA RUANG

Disusun oleh :
YASMIN FADHILLA ISHMA SOFA
NIM . 1705202370008

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PADJAJARAN

2023
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pertumbuhan dan perkembangan sebuah kota sangat erat kaitannya dengan jumlah
penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang banyak dan
berkualitas tentunya akan memberikan dampak positif bagi produktifitas dan pertumbuhan
ekonomi sebuah kota. Sebaliknya, terlalu banyak penduduk juga dapat membawa beberapa
implikasi negatif pada kehidupan masyarakat kota seperti pengangguran dan kemiskinan, harga
tanah dan perumahan yang sangat mahal, kemacetan lalu lintas dan tingkat kriminalitas kota
cendrung terus meningkat, yang pada akhirnya memperbesar biaya pengelolaan kota akibat
ekternalitas negatif dari kelebihan penduduk (Sjafrizal, 2012)
Perkembangan penduduk yang semakin pesat membuat daerah kota mau tidak mau
harus melakukan perkembangan agar seluruh penduduk dapat hidup layak dan sesuai Menurut
Marbun (1992), kota merupakan kawasan hunian dengan jumlah penduduk relatif besar, tempat
kerja penduduk yang intensitasnya tinggi serta merupakan tempat pelayanan umum. Kegiatan
ekonomi merupakan hal yang penting bagi suatu kota karena merupakan dasar agar kota dapat
bertahan dan berkembang (Jayadinata, 1992:110). Kedudukan aktifitas ekonomi sangat
penting sehingga seringkali menjadi basis perkembangan sebuah kota. Adanya berbagai
kegiatan ekonomi dalam suatu kawasan menjadi potensi perkembangan kawasan tersebut pada
masa berikutnya.
Menurut Sujarto (1989) faktor-faktor perkembangan dan pertumbuhan yang bekerja
pada suatu kota dapat mengembangkan dan menumbuhkan kota pada suatu arah tertentu. Ada
tiga faktor utama yang sangat menentukan pola perkembangan dan pertumbuhan kota :
1. Faktor manusia, yaitu menyangkut segi-segi perkembangan penduduk kota baik karena
kelahiran maupun karena migrasi ke kota. Segi-segi perkembangan tenaga kerja,
perkembangan status sosial dan perkembangan kemampuan pengetahuan dan
teknologi.
2. Faktor kegiatan manusia, yaitu menyangkut segi-segi kegiatan kerja, kegiatan
fungsional, kegiatan perekonomian kota dan kegiatan hubungan regional yang lebih
luas.
3. Faktor pola pergerakan, yaitu sebagai akibat dari perkembangan yang disebabkan oleh
kedua faktor perkembangan penduduk yang disertai dengan perkembangan fungsi
kegiatannya akan menuntut pola perhubungan antara pusat-pusat kegiatan tersebut.

Pertumbuhan Kota di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, kota


mempunyai peranan dan fungsi yang penting dan strategis dalam perkembangan perekonomian
dan pembangunan. Kota mengalami perkembangan yang cenderung meningkat dan mengalami
pertumbuhan yang makin maju seiring dengan kemajuan peradaban manusia, penduduk
perkotaan bertambah terus dengan laju pertumbuhan yang tinggi, kepadatan penduduk dan
kepadatan kegiatan yang intensif merupakan potensi pengembangan berbagai kegiatan
ekonomi yang sangat menarik karena memberikan peluang untuk memperoleh keuntungan
yang prospektif, yang di tunjang oleh tersedianya berbagai kemudahan usaha dan bisnis.
Perkembangan atau pertumbuhan kota di Indonesia ini di sebabkan bukan hanya karna ada nya
pertumbuhan alamiah penduduk perkotaan, perluasan wilayah, dan perubahan status wilayah
dari pedesaaan menjadi perkotaan, tetapi tinggi nya tingkat urbanisasi juga salah satu faktor
meningkat nya pertumbuhan kota, penyebab meningkat nya urbanisasi desa ke kota yaitu faktor
ekonomi. Dalam makalah ini akan menjeleskan mengenai konsep dan teori mengenai urban
development, serta analisis mengenai urban development berdasarkan blibliometrik scopus
menggunakan aplikasi Vosviewer.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Urban Development


Urban Development terdiri dari dua kata, yakni urban dan development Pengertian
mengenai urban dijelaskan dalam penggalan kalimat berikut ini: “The Relationship between
diferent building, the relationships between buildings an the streets, squares, parks and other
spaces which make up the public domain itself, the relationships of one part of a village, town
or ciy with the other parts; and he pattern of movement and activity which are thereby
established. in short, the complex relationships between all the elements of built and unbuilt
space”. Sementara itu, pengertian urban menurut Merriam Webster adalah :“ of, relating to
characteristic of, or taking place in a city”.
Dilihat dari pengertian di atas, pengertian urban bukan hanya tentang fisik sebuah kota,
namun segala hal yang terjadi di dalam kota serta hal-hal yang menghubungkan antara segala
hal di kota dan sekitarnya. Sedangkan pengertian mengenai Perkembangan (development)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), "perkembangan" adalah perihal berkembang.
Selanjutnya, kata "berkembang" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ini berarti mekar
terbuka atau membentang; menjadi besar, luas, dan banyak, serta menjadi bertambah sempurna
dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya. Dengan demikian, kata
"berkembang" tidak saja meliputi aspek yang berarti abstrak seperti pikiran dan pengetahuan,
tetapi juga meliputi aspek yang bersifat konkret (perhatikan kata-kata yang dicetak miring di
atas).
Selanjutnya beberapa ahli menyatakan bahwa mengenai Urban Development
sebagai suatu perubahan menyeluruh, yaitu yang menyangkut segala perubahan di dalam
masyarakat kota secara menyeluruh, baik perubahan sosial ekonomi, sosial budaya, maupun
perubahan fisik. (Hendarto, 1997). Pertumbuhan dan perkembangan kota pada prisipnya
menggambarkan proses berkembangnya suatu kota. Pertumbuhan kota mengacu pada
pengertian secara kuantitas, yang dalam hal ini diindikasikan oleh besaran faktor produksi yang
dipergunakan oleh sistem ekonomi kota tersebut. Semakin besar produksi berarti ada
peningkatan permintaan yang meningkat. Sedangkan perkembangan kota mengacu pada
kualitas, yaitu proses menuju suatu keadaan yang bersifat pematangan. Indikasi ini dapat dilihat
pada struktur kegiatan perekonomian dari primer kesekunder atau tersier. Secara umum kota
akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan melalui keterlibatan aktivitas sumber daya
manusia berupa peningkatan jumlah penduduk dan sumber daya alam dalam kota yang
bersangkutan (Hendarto, 1997).
Perkembangan kota menurut Raharjo dalam Widyaningsih (2001), bermakna
perubahan yang dialami oleh daerah perkotaan pada aspek-aspek kehidupan dan penghidupan
kota tersebut, dari tidak ada menjadi ada, dari sedikit menjadi banyak, dari kecil menjadi besar,
dari ketersediaan lahan yang luas menjadi terbatas, dari penggunaan ruang yang sedikit menjadi
teraglomerasi secara luas, dan seterusnya.
Dikatakan oleh Beatley dan Manning (1997) bahwa penyebab perkembangan suatu
kota tidak disebabkan oleh satu hal saja melainkan oleh berbagai hal yang saling berkaitan
seperti hubungan antara kekuatan politik dan pasar, kebutuhan politik, serta faktor-faktor sosial
budaya.
Dari berbagai pendapat mengenai perkembangan perkotaan, dapat disimpulkan bahwa
yang di maksud dari Perkembangan Perkotaan merupakan suatu perubahan yang meliputi
segala hal termasuk perkembangan ekonomi, fisik, sosial, maupun budaya yang ada
didalamnya.

2.2. Dimensi Urban Development


Menurut Eshref Shevky, (1940) Dimensi dari Perkembangan Perkotaaan sebagai berikut:
1. Diferensiasi fungsional atau pembagian kerja atau spesialisasi pekerjaan dan perluasan
kategori pekerjaan akan menghasilkan peringkat hirarkis kelompok pekerjaan sesuai
dengan tingkat keterampilan, pendidikan, pendapatan. Bentuk perubahan struktural ini
dapat diukur dengan membangun peringkat sosial
2. Perubahan dalam struktur produksi ekonomi atau proses industrialisasi dan sifat
produksi industri mengarah pada pemisahan rumah dan pekerjaan, baik secara spasial
dan fungsional, sehingga menghasilkan transformasi gaya hidup masyarakat. Pola
keluarga alternatif muncul dan perempuan memasuki angkatan kerja. Perubahan
struktural dalam sistem sosial ini direpresentasikan oleh pembangunan perkotaan
3. Perubahan dalam profil populasi atau peningkatan mobilitas dan keragaman populasi
diikuti oleh redistribusi teritorial, isolasi dan pemisahan subkelompok dalam
masyarakat. Pola yang dihasilkan ditangkap oleh 'segregasi rasial' konstruksi.
2.3. Perkembangan Konsep dan Tokoh Urban Development
2.3.1. Teori Konsentris (The Consentric Theory)
Teori ini dikemukakan oleh E.W. Burgess (Yunus, 1999), atas dasar studi kasusnya
mengenai morfologi kota Chicago, menurutnya sesuat kota yang besar mempunyai
kecenderungan berkembang ke arah luar di semua bagian-bagiannya. Masing-masing zona
tumbuh sedikit demi sedikit ke arah luar. Oleh karena semua bagian-bagiannya berkembang ke
segala arah, maka pola keruangan yang dihasilkan akan berbentuk seperti lingkaran yang
berlapis-lapis, dengan daerah pusat kegiatan sebagai intinya.

gambar 1 teori konsentris E.W. Burgess

Secara berurutan, tata ruang kota yang ada pada suatu kota yang mengikuti suatu pola
konsentris ini adalah sebagai berikut :
1) Daerah Pusat atau Kawasan Pusat Bisnis (KPB).
Daerah pusat kegiatan ini sering disebut sebagai pusat kota. Dalam daerah ini
terdapat bangunan-bangunan utama untuk melakukan kegiatan baik sosial, ekonomi,
poitik dan budaya
2) Daerah Peralihan.
Daerah ini kebanyakan di huni oleh golongan penduduk kurang mampu dalam
kehidupan sosial-ekonominya. Penduduk ini sebagian besar terdiri dari pendatang-
pendatang yang tidak stabil (musiman), terutama ditinjau dari tempat tinggalnya. Di
beberapa tempat pada daerah ini terdapat kegiatan industri ringan, sebagai perluasan
dari KPB.
3) Daerah Pabrik dan Perumahan Pekerja.
Daerah ini di huni oleh pekerja-pekerja pabrik yang ada di daerah ini. Kondisi
perumahannya sedikit lebih buruk daripada daerah peralihan, hal ini disebabkan karena
kebanyakan pekerja-pekerja yang tinggal di sini adalah dari golongan pekerja kelas
rendah.
4) Daerah Perumahan yang Lebih Baik Kondisinya.
Daerah ini dihuni oleh penduduk yang lebih stabil keadaannya dibanding
dengan penduduk yang menghuni daerah yang disebut sebelumnya, baik ditinjau dari
pemukimannya maupun dari perekonomiannya.
5) Daerah Penglaju.
Daerah ini mempunyai tipe kehidupan yang dipengaruhi oleh pola hidup daerah
pedesaan disekitarnya. Sebagian menunjukkan ciri-ciri kehidupan perkotaan dan
sebagian yang lain menunjukkan ciri-ciri kehidupan pedesaan, Kebanyakan
penduduknya mempunyai lapangan pekerjaan nonagraris dan merupakan pekerja-
pekerja penglaju yang bekerja di dalam kota, sebagian penduduk yang lain adalah
penduduk yang bekerja di bidang pertanian.

2.3.2. Teori Sektor


Teori sektor ini dikemukakan oleh Homer Hoyt (Yunus, 1991 & 1999), teori ini
mengatakan bahwakonsep tata ruang kota yang tidak mengikuti zona teratur, sehingga bersifat
lebih bebas. Teori ini hadir akibat adanya ketidaksesuaian dengan teori konsentris yang
cenderung teratur. Belum tentu sesuatu tempat yang mempunyai jarak yang sama terhadap
KPB akan mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang sama, atau belum tentu semakin jauh
letak atau tempat terhadap KPB akan mempunyai nilai sewa yang semakin rendah. Keadaan
ini sangat banyak dipengaruhi oleh factor transportasi, komunikasi dan segala aspek-aspek
yang lainnya.

gambar 2 teori konsentris


2.3.3. Teori F. Stuart Chapin
Meningkatnya fenomena urbanisasi terutama di negara-negara berkembang membawa
tantangan besar bagi kawasan perkotaan akibat adanya desakan kebutuhan pada sumber daya
alam, ruang dan pelayanan. Sehingga F. Stuart Chapin Jr. merumuskan aspek-aspek penentu
proses urbanisasi dan pola penggunaan lahan yaitu aspek ekonomi, sosial, dan kepentingan
publik. Khusus aspek kepentingan publik adalah segala sesuatu yang menyangkut lingkungan
fisik yang mampu memberikan kepuasan bagi warganya (livability), salah satunya yaitu aman
dari potensi bahaya (geologi) seperti banjir. Yang juga disinggung terkait geologi untuk
perencanaan tata guna lahan perkotaan adalah penyiapan berbagai peta dasar fisik lahan
berdasarkan data fisiografi (topografi), data potensi hidrologi serta banjir, dan data struktur
geologi, seperti pada gambar di bawah :

gambar 3 F. Stuart Chapin, 1957

2.3.4. Teori Spiro Kostof (1991)


Menurut teori Spiro Kostof (1991) kota adalah Leburan Dari bangunan dan penduduk,
sedangkan bentuk kota pada awalnya adalah netral tetapi kemudian berubah sampai hal ini
dipengaruhi dengan budaya yang tertentu. Bentuk kota ada dua macam yaitu geometri dan
organik. Terdapat dikotomi bentuk perkotaan yang didasarkan pada bentuk geometri kota yaitu
Planned dan Unplanned.
1) Bentuk Planned (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota eropa abad pertengahan
dengan pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan bentuk geometrik.
2) Bentuk Unplanned (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota metropolitan,
dimana satu segmen kota berkembang secara sepontan dengan bermacam-macam
kepentingan yang saling mengisi, sehingga akhirnya kota akan memiliki bentuk
semaunya yang kemudian disebut dengan organik pattern, bentuk kota organik tersebut
secara spontan, tidak terencana dan memiliki pola yang tidak teratur dan non geometrik.

Elemen-elemen pembentuk kota pada kota organik, oleh kostol dianalogikan secara
biologis seperti organ tubuh manusia, yaitu :
1) Square, open space sebagai paru-paru.
2) Center, pusat kota sebagai jantung yang memompa darah (traffic).
3) Jaringan jalan sebagai saluran arteri darah dalam tubuh.
4) Kegiatan ekonomi kota sebagai sel yang berfikir.
5) Bank, pelabuhan, kawasan industri sebagai jaringan khusus dalam tubuh.
6) Unsur kapital (keuangan dan bangunan) sebagai energi yang mengalir ke seluruh sistem
perkotaan.

Menurut Kevin Lynch (1981), definisi model organik atau kota biologis adalah kota
yang terlihat sebagai tempat tinggal yang hidup, memiliki ciri-ciri kehidupan yang
membedakannya dari sekedar mesin, mengatur diri sendiri dan dibatasi oleh ukuran dan batas
yang optimal, struktur internal dan perilaku yang khas, perubahannya tidak dapat dihindari
untuk mempertahankan keseimbangan yang ada, menurutnya bentuk fisik organik :
1) Membentuk pola radial dengan unit terbatas.
2) Memiliki focused centre.
3) Memiliki lay out non geometrik atau cenderung romantis dengan pola yang
membentuk lengkung tak beraturan.
4) Material alami.
5) Kepadatan sedang sampai rendah.
6) Dekat dengan alam

Di dalam model organik ini, organisasi ruang telah membentuk kesatuan yang terdiri
dari unit-unit yang memiliki fungsi masing-masing. Kota terbentuk organik mudah untuk
mengalami penurunan kualitas karena perkembangannya yang spontan, tidak terencana dan
sepotong-sepotong. Masyarakat penghuni kota ini bermacam-macam yang merupakan
percampuran antara berbagai macam manusia dalam suatu tempat yang memiliki
keseimbangan. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda, saling menyimpang tetapi juga
saling mendukung satu sama lain. Kota organik memiliki ciri khas pada kerjasama pemeliharan
lingkungan sosial oleh masyarakat.
Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan perubahan suatu kawasan dan
sekitarnya sebagai bagian dari suatu kawasan perkotaan yang lebih luas, menurut Gallion
dalam buku ¨The Urban Pattern¨ disebutkan bahwa perubahan suatu kawasan dan sebagian
kota dipengaruhi letak geografis suatu kota. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perubahan
akibat pertumbuhan daerah di kota tersebut, apabila terletak di daerah pantai yang landai, pada
jaringan transportasi dan jaringan hubungan antar kota, maka kota akan cepat tumbuh sehingga
beberapa elemen kawasan kota akan cepat berubah.
Dalam proses perubahan yang menimbulkan distorsi (mengingat skala perubahan cukup
besar) dalam lingkungan termasuk didalamnya perubahan penggunaan lahan secara organik,
terdapat beberapa hal yang bisa diamati yaitu :
1. Pertumbuhan terjadi satu demi satu, sedikit demi sedikit atau terus menerus.
2. Pertumbuhan yang terjadi tidak dapat diduga dan tidak dapat diketahui kapan dimulai
dan kapan akan berakhir, hal ini tergantung dari kekuatan-kekuatan yang melatar
belakanginya.
3. Proses perubahan lahan yang terjadi bukan merupakan proses segmental yang
berlangsung tahap demi tahap, tetapi merupakan proses yang komprehensif dan
berkesinambungan.
4. Perubahan yang terjadi mempunyai kaitan erat dengan emosional (sistem nilai) yang
ada dalam populasi pendukung.
5. Faktor-faktor penyebab perubahan lainya adalah vision (kesan), optimalnya kawasan,
penataan yang maksimal pada kawasan dengn fungsi-fungsi yang mendukung,
penggunaan struktur yang sesuai pada bangunan serta komposisi tapak pada kawasan.
(Cristoper Alexander, A New Theory Of Urban Design, 1987, 14:32-99).

Uraian diatas sesuai dengan kondisi kawasan penelitian yang berada di kawasan bencana
alam, yaitu adanya perubahan pola tata ruang lingkungan permukiman (kampung kota)
mengarah kepada tatanan kawasan mitigasi bencana alam yang nantinya melalui tahapan
proses terus menerus yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan
manusianya.
2.3.5. Teori Central Place
Dikemukakan oleh Christaller (dalam Daldjoeni, 1992), suatu kota berkembang
sebagai akibat dari fungsinya dalam menyediakan barang dan jasa untuk daerah sekitarnya.
Teori Urban Base juga menganggap bahwa perkembangan kota ditimbulkan dari fungsinya
dalam menyediakan barang kepada daerah sekitarnya juga seluruh daerah di luar batas-batas
kota tersebut. Menurut teori ini, perkembangan ekspor akan secara langsung mengembangkan
pendapatan kota. Disamping itu, hal tersebut akan menimbulkan pula perkembangan industri-
industri yang menyediakan bahan mentah dan jasa-jasa untuk industri-industri yang
memproduksi barang ekspor yang selanjutnya akan mendorong pertambahan pendapatan kota
lebih lanjut (Hendarto, 1997).
Kajian pengembangan wilayah perkotaan di Indonesia selama ini selalu didekati dari
aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek sektoral lebih menyatakan ukuran dari
aktivitas masyarakat suatu wilayah perkotaan dalam mengelola sumberdaya alam yang
dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek spasial (keruangan) lebih menunjukkan arah dari
kegiatan sektoral atau dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi kegiatan sektoral tersebut.
Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut mendorong lahirnya
konsep pengembanan wilayah perkotaan yang harus mampu meningkatkan efisiensi
penggunaan ruang sesuai daya dukung, mampu memberi kesempatan kepada sektor untuk
berkembang tanpa konflik dan mampu meningkatkan kesejahteraan secara merata. Konsep
tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah perkotaan yang didasarkan pada
penataan ruang.
Kaitan dengan perihal diatas, ada tiga kelompok konsep pengembangan wilayah yaitu
konsep pusat pertumbuhan, konsep integrasi fungsional dan konsep pendekatan desentralisasi
(Alkadri et all, Manajemen Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah, 1999).
1. Konsep pusat pertumbuhan menekankan pada perlunya melakukan investasi secara
besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah mempunyai
infrastruktur yang baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan
diharapkan melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep
ini di Indonesia telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam RTRWN.
2. Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara
sengaja diantara berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang
komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota atau wilayah mempunyai hirarki
sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah yang lain. Sedangkan konsep
desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari
sumberdana dan sumberdaya manusia.
Pendekatan tersebut mempunyai berbagai kelemahan. Dari kondisi ini munculah
beberapa konsep untuk menanggapi kelemahan tersebut. Konsep tersebut antara lain people
center approach yang menekankan pada pembangunan sumberdaya manusia, natural
resources-based development yang menekankan sumberdaya alam sebagai modal
pembangunan, serta technology based development yang melihat teknologi sebagai kunci dari
keberhasilan pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi konsep tersebut
kurang berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.
Fenomena persaingan antar wilayah, tren perdagangan global yang sering memaksa
penerapan sistem outsourcing, kemajuan teknologi yang telah merubah dunia menjadi lebih
dinamis, perubahan mendasar dalam sistem kemasyarakatan seperti demokratisasi, otonomi,
keterbukaan dan meningkatnya kreatifitas masyarakat telah mendorong perubahan paradigma
dalam pengembangan wilayah. Dengan semakin kompleksnya masalah tersebut dapat
dibayangkan akan sangat sulit untuk mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada
konsep-konsep yang dijelaskan di atas.
Apabila dicermati maka paradigma pengembangan wilayah telah bergeser pada upaya
yang mengandalkan tiga pilar yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi.
Ketiga pilar tersebut merupakan elemen internal wilayah yang saling terkait dan berinteraksi
membentuk satu sistem. Hasil interaksi elemen tersebut mencerminkan kinerja dari suatu
wilayah. Kinerja tersebut akan berbeda dengan kinerja wilayah lainnya, sehingga mendorong
terciptanya spesialisasi spesifik wilayah. Dengan demikian akan terjadi persaingan antar
wilayah untuk menjadi pusat spatial network dari wilayah-wilayah lain secara nasional. Namun
pendekatan ini mempunyai kelemahan yang antara lain apabila salah didalam mengelola spatial
network tadi tidak mustahil menjadi awal dari proses disintegrasi. Untuk itu harus diterapkan
konsep pareto pertumbuhan yang bisa mengendalikan keseimbangan pertumbuhan dan
dikelola oleh Pemerintah Pusat. Konsep pareto ini diharapkan mampu memberikan keserasian
pertumbuhan antar wilayah perkotaan dengan penerapan insentif-insentif kepada wilayah
perkotaan yang kurang berkembang.

2.4. Praktek Urban Development


Sesuai dengan perkembangan penduduk perkotaan yang senantiasa mengalami
peningkatan, maka tuntutan akan kebutuhan kehidupan dalam aspek ekonomi, sosial, budaya,
politik dan teknologi juga terus mengalami peningkatan, yang semuanya itu mengakibatkan
meningkatnya kebutuhan akan ruang perkotaan yang lebih besar. Oleh karena ketersediaan
ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat
tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota
(fringe area). Gejala penjalaran areal kota ini disebut sebagai “invasion” dan proses
perembetan kenampakan fisik kota ke arah luar disebut sebagai “urban sprawl” (Northam
dalam Yunus, 1994).
Secara garis besar menurut Northam dalam Yunus (1994) penjalaran fisik kota
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut :
1. Penjalaran fisik kota yang mempunyai sifat rata pada bagian luar, cenderung lambat
dan menunjukkan morfologi kota yang kompak disebut sebagai perkembangan
konsentris.
2. Penjalaran fisik kota yang mengikuti pola jaringan jalan dan menunjukkan penjalaran
yang tidak sama pada setiap bagian perkembangan kota disebut dengan perkembangan
fisik memanjang/linier (ribbon/linear/axial development).
3. Penjalaran fisik kota yang tidak mengikuti pola tertentu disebut sebagai perkembangan
yang meloncat (leap frog/checher board development).
4. Jenis penjalaran fisik memanjang/linier yang dikemukakan oleh Northam sama dengan
Teori Poros yang dikemukakan oleh Babcock dalam Yunus (1994), yaitu menjelaskan
daerah di sepanjang jalur transportasi memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga
perkembangan fisiknya akan lebih pesat

Pola pemekaran atau ekspansi kota mengikuti jalur transportasi juga dikemukakan oleh
Hoyt dalam Daldjoeni (1998), secara lengkap pola pemekaran atau ekspansi kota menurut
Hoyt, antara lain, sebagai berikut :
1. Perluasan mengikuti pertumbuhan sumbu mengikuti jalur jalan transportasi ke daerah-
daerah perbatasan kota. Dengan demikian polanya akan berbentuk bintang.
2. Daerah-daerah hinterland di luar kota semakin lama semakin berkembang dan akhirnya
menggabung pada kota yang lebih besar.
3. Menggabungkan kota inti dengan kota-kota kecil yang berada di luar kota inti atau
disebut dengan konurbasi.

2.5. Urban Development di Indonesia


Pertumbahan penduduk DKI Jakarta yang semakin pesat mengakibatkan kurang
terpenuhi kebutuhan hidup bagi penduduknya sacara layak. Karenanya perlu dikembangkan
pusatpusat pertumbuhan kota di sekitar Jakarta secara terencana dan terarah. Di samping untuk
meningkatkan pembangunan daerah Jakarta, juga guna mengurangi arus urbanisasi yang
memusat di Jakarta.
Berdasarkan instruksi Presiden No. 13 bulan Juli 1976, diadakanlah pengembangan
wilayah Jabotabek untuk meringankan tekanan penduduk Jakarta yakni dengan cara membina
pola pemukiman perkotaan dan penyebaran kesempatan kerja. Salah satu dari wilayah
pengembangan kota tersebut adalah Kabupaten Bekasi, mengingat wilayah ini memiliki
potensi untuk berkembang. Hal ini sesuai dengan permasalahan penelitian ini, yakni tentang:
pelaksanaan pembinaan kota Bekasi, masalah - masalah yang terdapat dalam pengembangan
kota Bekasi, dan pengaruh fungsi Bekasi sebagai kota penyangga terhadap arus urbanisasi ke
Jakarta.
Pemenuhan data lapangan secara kualitatif dilakukan selama 20 hari didua daerah yang
signifikan dengan permasalahan penelitian ini yakni di wilayah Kotip Bekasi sebagai kawasan
pemukiman yang heterogenitasnya lebih tinggi dibanding pemukiman lainnya dan Kecamatan
Cibitung sebagai salah satu kawasan industri terbesar di Bekasi. Sedangkan untuk jenis
penelitian ini adalah deskriptif-eksplanasi dengan penarikan sampel secara purposive.
Letak kabupaten Bekasi terlihat cukup strategis (dekat dengan Ibu Kota Jakarta),
sehingga Bekasi mendapat tanggung jawab siabagi kota penyangga bagi Jakarta. Sebab itu kini
Bekasi menyediakan fasilitas pemukiman dan lahan pekerjaan di bidang industri yang dapat
dimanfaakan bagi penduduk Jakarta.Akibatnya tingkat migrasi dan heterogenitas penduduk
Bekasipun tinggi, sehingga membawa berbagai masalah.
Meskipun banyak permasalahan yang dihadai, Bekasi sejauh ini telah mampu
menjalankan perannya sebagai kota penyangga dalam memenuhi kebutuhan pemukiman.
Sedangkan untukmenyediakan lahan pekerjaan, Bekasi hanya memberi kesempatan kepada
para urban untuk memilih bekerja di Bekasi.
Bila pembinaan kota Bekasi untuk pemukiman dan industri tidak diperhatikan, maka
tak heranlah dapat menimbulkan berbagai masalah . Dan dapat mengakibatkan para urban yang
dating (dari Jakarta) kembali keasalnya. .Akhirnya bias saja kelak Bekasi bukan lagi sebagai
daerah penyangga tetapi menjadi daerah batu loncatan bagi urbanisasi ke Jakarta
2.6. Analisis Bibliometrik Terhadap Penelitian Urban Development

Penulis mengkaji menggunakan pendekatan analisis bibliometrik. Analisis bibliometrik


adalah metode analisis yang digunakan dalam penelitian untuk mengukur dan menganalisis
produksi literatur ilmiah dari suatu disiplin ilmu atau topik tertentu. Data yang digunakan
dalam penelitian ini diunduh dari website Scopus. Data dibatasi dengan tahun sepanjang 2013
sampai 2023 dengan jenis publikasi yaitu artikel

Data publikasi yang diunduh dari Scopus melalui kata kunci “urban” development”
“theory” dengan limit “urban development” mengenai urban development diketahui terdapat
1030 artikel penelitian dari tahun 2010 sampai dengan 2022. Sebaran data publikasi per tahun
dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sebaran Jumlah Publikasi


Tahun Jumlah
2022 142
2021 138
2020 155
2019 98
2018 91
2017 85
2016 54
2015 59
2014 42
2012 47
2011 32
2011 40
Sumber : olahan penulis, 2023

Pemetaan perkembangan riset urban development menggunakan VOSViewer 1.6.16.


dalam pemilihan type of data, peneliti menggunakan create a map based bibliographic data.
Lalu dalam data source menggunakan read data from bibliographic databe diles dengan
supported file types CSV. Kemudian pada counting method menggunakan full counting
dengan minimum numbers of occurences of term sebanyak 5 dan number of term to be
selected sebanyak 147.
gambar 4 Hasil Analisis Network Visualizations
sumber : data olahan penulis, 2023

gambar 5 Hasil Analisis Overlay Vizualizations


sumber : data olahan penulis, 2023
gambar 6 Hasil Analisis Density Visualizations
sumber : data olahan penulis, 2023

Gambar 4 mengkategorikan kata kunci ini menjadi 14 kelompok. Kondisi urban


development pernah dibicarakan atau diimplementasikan di sejumlah negara yaitu, India,
Cina, Brazil, Amerika (New York), Ghana, dan Singapur. Urban development tidak hanya
berkaitan mengenai tentang perencanaan kota, pertumbuhan penduduk, perluasan
perkotaan, tetapi terdapat juga berkaitan dengan ras, serta segregasi. Adapun munculnya
teori dan penelitian mengenai urban development meningkat dari tahun 2018 sesuai dengan
gambar 5.

Pembangunan kota berkelanjutan atau urban development merupakan topik kajian


penelitian yang masih terus berkembang. Data yang diperoleh dari penelitian yang
dilakukan menunjukkan adanya tren peningkatan publikasi berkaitan dengan topik ini, dan
menadi erat kaitannya dengan sustainability atau berkelanjutan sesuai dengan gambar 6.
Hal tersebut berkaitan Isu ini berkaitan dengan aspek kota, sistem, efek, dampak, dan faktor
dalam pembangunan kota berkelanjutan. Penelitian ini bisa dikembangkan lebih jauh
dengan penggunaan database publikasi yang lebih banyak dari beberapa sumber berbeda
tidak hanya dari Scopus saja, sehingga hasilnya akan lebih komprehensif.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pentingnya urban development adalah untuk menciptakan kualitas hidup yang lebih
baik bagi penduduk perkotaan, mengatasi masalah seperti kemacetan lalu lintas, polusi udara,
kepadatan penduduk, dan memberikan akses yang lebih baik ke layanan dasar seperti
pendidikan, perawatan kesehatan, dan pekerjaan. Dengan pertumbuhan populasi yang terus
meningkat di daerah perkotaan, urban development menjadi kunci untuk memastikan
keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat perkotaan.

Urban development juga mencakup aspek sosial dan ekonomi, seperti pengembangan
ekonomi lokal, pekerjaan, perumahan yang terjangkau, dan inklusi sosial. Dalam banyak kasus,
ini melibatkan kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk mencapai
tujuan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Penting untuk merencanakan dan
melaksanakan urban development dengan bijak agar perkotaan dapat tumbuh secara
berkelanjutan, ramah lingkungan, dan memberikan kualitas hidup yang baik bagi
penduduknya.
Daftar Pustaka

Branch, Melville, 1955. Perencanaan kota Komprehensif, pengantar dan penjelasan


(terjemahan)
Catanese, Anthony J. Snyder. James. C 1992. Perencanaan kota Penerbit erlangga.
Jakarta.
Chapin. F. Stuart. Jr. and Kaiser. Edward. J. 1979, urban land use planning, University
of illionis Press.
Daldjoeni, 1992. Geografi baru, organisasi keruangan dalam teori dan praktek. Penerbit
Alumni, Bandung.
Daldjoeni, N. 1998, Geografi Kota dan Desa. Penerbit Alumni, Bandung.
Hagget, Peter. 1970, Geography, A Modern Synthesis. 3rd Edition, Harper and Row
Publisher, London.
Ilhami. 1990, Strategi Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Penerbit Usaha Nasional,
Surabaya.
Jayadinata, Johara T. 1992, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Kota dan Wilayah.
Penerbit ITB, Bandung.
Sujarto, Djoko, 1989, faktor sejarah Perkembangan kota dalam perencanaan
perkembangan kota. Bandung. Fakultas teknik sipil dan perencanaan bandung.
Sujarto, Djoko. 1989, Faktor Sejarah Perkembangan Kota Dalam Perencanaan
Perkembangan Kota. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITB, Bandung.
Sujarto, Djoko. 1992, Perkembangan Perencanaan Tata Ruang Kota di Indonesia.
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITB, Bandung.
Yunus, Hadi Sabari. 1994, Teori dan Model Struktur Keruangan Kota. Fakultas
Geografi UGM, Yogyakarta.
Yunus, Hadi Sabari. 2000, Struktur Tata Ruang Kota. Penerbit Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Tesis Fitri Susanti, Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Karakteristik
Perkembangan Kota Air Molek, Pematang Reba Dan Rengat (Magister Perencanaan Kota dan
Daerah (MPKD-UGM Tahun 2003)

Anda mungkin juga menyukai