PENDAHULUAN
Diperkirakan pada tahun 2050, sekitar 64% negara berkembang dan 86% negara
maju akan mengalami urbanisasi. Itu setara dengan sekitar 3 miliar warga kota pada 2050,
yang sebagian besar akan terjadi di Afrika dan Asia. Khususnya, Perserikatan Bangsa-
Bangsa juga baru-baru ini memproyeksikan bahwa hampir semua pertumbuhan populasi
global dari tahun 2017 sampai 2030 akan diserap oleh kota-kota, sekitar 1,1 miliar orang baru
perkotaan selama 13 tahun ke depan. Urbanisasi relevan dengan berbagai disiplin ilmu,
termasuk geografi, sosiologi, ekonomi, perencanaan kota, dan kesehatan masyarakat.
Fenomena ini terkait erat dengan modernisasi, industrialisasi, dan proses sosiologi
seperti rasionalisasi.
Urbanisasi dapat dilihat sebagai kondisi khusus pada waktu yang ditentukan (misalnya
proporsi total populasi atau wilayah di kota) atau sebagai peningkatan kondisi tersebut dari
waktu ke waktu. Jadi urbanisasi dapat diukur baik dalam hal tingkat perkembangan
perkotaan relatif terhadap keseluruhan populasi, atau sebagai tingkat di mana proporsi
penduduk perkotaan meningkat. Urbanisasi menciptakan perubahan sosial, ekonomi dan
lingkungan yang sangat besar, yang memberi kesempatan keberlanjutan dengan "potensi
untuk menggunakan sumber daya secara lebih efisien, menciptakan lahan yang lebih lestari
dan melindungi keanekaragaman hayati ekosistem alami".
Urbanisasi bukan hanya fenomena modern, tetapi juga transformasi historis akar sosial
manusia yang cepat dan bersejarah dalam skala global, dimana budaya pedesaan berkembang
dengan cepat digantikan oleh budaya perkotaan yang lebih dominan. Perubahan besar
pertama dalam pola pemukiman adalah akumulasi pemburu-pengumpul ke wilayah pedesaan
ribuan tahun yang lalu.
Budaya desa ditandai oleh garis keturunan yang umum, hubungan erat, dan perilaku
komunal, sedangkan budaya perkotaan ditandai oleh garis keturunan yang jauh, hubungan
yang tidak biasa, dan perilaku kompetitif. Pergerakan manusia yang belum pernah terjadi
sebelumnya diperkirakan akan terus berlanjut dan meningkat dalam beberapa dekade ke
depan, meningkatnya luas wilayah kota ke ukuran yang tak terpikirkan pada satu abad
sebelumnya. Akibatnya, kurva pertumbuhan populasi perkotaan dunia sampai saat ini
mengikuti pola kuadratik hiperbolik.
1. Migrasi penduduk merupakan suatu perpindahan dari desa ke kota yang bertujuan untuk
menetap atau tinggal di kota.
2. Mobilitas penduduk merupakan perpindahan penduduk yang besifat sementara saja atau
tidak memetap.
Untuk mendapatkan suatu niat untuk pergi atau hijrah ke kota dari desa, seseorang biasanya
menadapatkan pengaruh yang kuat dari teman atau sodara yang mengajak (ajakan) atau dari
impian pribadi, media massa, kebutuhan ekonomi dan yang lainnya. Pengaruh tesebut bisa dalam
sesuatu yang mendorong, tau faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan urbanisasi,
atau juga dalam bentuk yang membuat tertarik/ faktor penarik.
Adapun faktor terjadinya urbanisasi di pengaruhi dua faktor yaitu faktor penarik dan
faktor pendukung, berikut faktor penarik dan pendukung terjadinya urbanisasi:
Faktor Penarik Urbanisasi
Untuk itu, pembangunan perkotaan harus direncanakan dengan matang demi menghadapi
urbanisasi. Urbanisasi dapat menjadi peluang sebagai mesin pertumbuhan yang mengurangi
kesenjangan sosial dan mendorong tanggung jawab sosial, mempromosikan keberlanjutan
lingkungan hidup, serta meningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan nasional
pembangunan perkotaan dan wilayah termuat dalam Nawa Cita dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Pemerintah membangun Indonesia dari
pinggiran dengan memperkuat kota-desa, serta mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik.
Pertama, pengembangan kota sebagai peredam urbanisasi ke Jakarta dibagi atas tiga
lapis. Pembangunan infrastruktur, properti, dan industri di kawasan Bogor, Depok, Tangerang,
dan Bekasi (lapis pertama). Mendorong Kota Bandung, Semarang, dan Surabaya sebagai kota
metropolitan (lapis kedua), dan mengembangkan kota-kota metropolitan di luar Jawa seperti
Medan, Padang, Pontianak, Balikpapan, Manado, Makassar (lapis ketiga).
Ketiga, keterlibatan seluruh pihak yang terpadu dan setara dalam pembangunan
berkelanjutan dengan penyusunan skema kerja sama multipihak, pemberian insentif kepada
swasta atau masyarakat, serta pembentukan atau penguatan institusi atau lembaga integrasi
pembangunan. Keempat, kepala daerah diharapkan tidak mengandalkan anggaran pusat, tetapi
memperkuat ekonomi lokal dan informal perkotaan dan perdesaan, memanfaatkan berbagai
peluang pendanaan melalui skema pembiayaan multipihak dan pendanaan global. Sementara itu,
optimalisasi pajak/retribusi sebagai pendukung dan APBN sebagai pengungkit mobilisasi
pendanaan alternatif.
Dia menyebutkan, arus migrasi masuk ke kota semarang dilihat dari kelompok umur 25-
29 sampai 35-39 baik laki-laki maupun perempuan telah terjadi kenaikan yang cukup tajam.
Tahun 1997, kelompok umur 25-29 jumlah penduduk laki-laki sekitar 56.409 dan penduduk
perempuan 57.827, sepuluh tahun kemudian atau tahun 2007, jumlahnya melonjak tajam, yakni
masing-masing 78.093 untuk laki-laki dan 77.228 untuk perempuan. Sebagian besar bekerja
disektor informal atau jasa sebesar 81,9%. Dan hanya 18,09 % yang bekerja di sektor industri.
Akibat dari dampak urbanisasi berlebihan tersebut, katanya, pemerintah kota semarang
kelebihan beban anggaran karena harus membiayai infrastruktur dan pelayanan sosial ekonomi
dengan biaya tinggi yang tidak sebanding dengan produktivitas sebagian besar warganya yang
bekerja di sektor informal. Namun demikian, imbuhnya, kota semarang masih memiliki peluang
untuk menata ulang perencanaan kota karena kota belum overpopulated seperti Jakarta karena
ruang terbuka di kota ini masih cukup luas. Kebijakan untuk mengurangi arus migrasi harus
dilakukan secara silmultan baik antara kebijakan pembangunan di tingkat nasional dan regional,
maupun antara pedesaan dan perkotaan.
Menurutnya, kebijakan pembangunan pusat -pusat industri yang padat modal ditinjau
kembali, industri kecil dan menengah yang berbasis pertanian perlu dikembangkan agar para
petani dan buruh tani turut menikmati hasilnya. Tuntutan ini dikedepankan karena hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa buruh tani, petani dan pekerja tidak terampil sangat kecil
penghasilannya. Strategi pemanfaatan kota sebaiknya diarahkan untuk lebih memperjelas
hirarkhi kota dengan menghindari dominasi kota Semarang terhadap daerah di belakangnya
tersebar dan diharapkan dapat lebih menyebarkan hasil-hasil pembangunan.
d. Perkembangan Lahan
Laju perkembangan di Kota Semarang semakin masif dimana
terjadi pembangunan dan pengembangan seperti permukiman/perumahan secaraintensif dan
ekstensif yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihakswasta. Hal ini berdampak pada
perubahan struktur tata ruang perkotaanSemarang dimana dapat mempengaruhi intensitas
penggunaan lahan untukaktivitas bangkitan berupa industri, perdagangan dan jasa. Akibatnya
harga lahan semakin mahal bahkan mengakibatka kelangkaan lahan di Kota Semarang.
e. Pemukiman Kumuh
Seiring dengan meluasnya urbanisasi, tumbuh subur juga tempat pemukiman kumuh
(slum area) dan kampung-kampung di Kota Semarangyang serba menyesakkan dan liar. Semakin
banyak penduduk kota yangtinggal berhimpit-himpit di berbagai pusat pemukiman yang
sebenarnyatidak pantas dihuni oleh manusia. Namun pemukiman-pemukiman initerus saja
mendapat tambahan para pemukim tetap dengan jumlah dua kalilipat setiap lima hingga sepuluh
tahun. Pemukiman-pemukiman kumuh diSemarang dapat dilihat di daerah pinggiran sungai, di
bawah jembatan,daerah pinggiran rel, pusat perdagangan, dan sebagainya.
f. Permasalahan Lingkungan
Pengalihan fungsi lahan secara berlebihan menimbulkan ketidakseimbangan alam akibat
pembangunan yang dilakukan tanpa perencanaanterpadu. Pengelolaan sarana dan prasarana kota
yang tidak baik juga turutmenyumbang terhadap semakin tingginya angka kerusakan alam di
Kota Semarang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masalah urbanisasi yang dihadapi Indonesia saat ini yaitu pertumbuhankonsentrasi
penduduk yang tinggi. Lebih buruk lagi, hal ini tidak diikutidengan kecepatan yang sebanding
dengan perkembangan industrialisasi.Masalah ini akhirnya menimbulkan fenomena yaitu
urbanisasi berlebih.Adanya urbanisasi yang berlebih ini telah menimbulkan berbagai masalah di
Indonesia salah satunya adalah Kota Semarang. Pertumbuhan ekonomi di
Kota Semarang telah membawa akibat berupa terjadinya kerusakanlingkungan, kemacetan lalu
lintas, meningkatnya sektor informal dan pengangguran, kemiskinan dan lain sebagainya.
Adapun dampak urbanisasi di Kota Semarang secara fisik yaitu sulit dijumpainya lahan
hijau/terbukayang berfungsi sebagai ruang publik, penyebaran fasilitas perkotaan yang
menyebabkan mobilitas penduduk tinggi, jaringan transportasi untuk suburban yang
menyebabkan kemacetan, perubahan struktur tata ruang perkotaan,menurunnya kualitas
lingkunganbanyaknya pemukiman kumuh. Selain itu dampak urbanisasi secara sosial yaitu
meledaknya jumlah pencari tenaga kerja baik di sektor formal maupun sektor informal yang
menyebabkan tingginya angka pengangguran dan semi pengangguran.
3.2 Saran
Perlu adanya kebijakan yang mengarahkan urbanisasi menjadi peluanguntuk
mempercepat proses pembangunan desa ke arah yang lebih positif, yaitudengan memanfaatkan
mereka yang melakukan urbanisasi untuk berperansebagai media dalam upaya memindahkan
pengalaman pembangunan daridaerah lain untuk diterapkan di desanya, dengan kata lain mereka
diberi peransebagai agent of change bagi pembangunan desanya. Selain itu, dengan peningkatan
sarana dan prasarana transportasi dan jaringan komunikasi perluadanya pemikiran tentang
strategi kebijakan yang mengintegrasikan antara pembangunan desa dengan pembangunan kota.
TUGAS PERENCANAAN KOTA
URBANISASI DAN DAMPAKNYA TERHADAP KOTA
SEMARANG
Disusun oleh :
SISNA DELVITA
1610015311030