Anda di halaman 1dari 21

Modul

Dasar Pengembangan
Wilayah
Materi 2
Isu Kontemporer Dalam Pengembangan dan
Pembangunan Wilayah dan Kota

Dosen:
Dr. Prima Jiwa Osly, ST, MSi
Nuryani Tinumbia, ST, MT
1 URBANISASI

Pembahasan mengenai perkembangan kota tidak terlepas dari proses urbanisasi yang terjadi.
Terdapat banyak definisi dan konsep mengenai urbanisasi ditinjau dari berbagai sudut pandang.
Menurut Daldjoeni (1987), urbanisasi merupakan proses menjadi kawasan perkotaan, migrasi
masuk kota, perubahan pekerjaan dari bertani menjadi yang lain dan juga menyangkut
perubahan perilaku kehidupan manusia. Secara harafiah, urbanisasi berarti pengkotaan, yaitu
proses menjadi kota. Dalam ilmu demografi, urbanisasi merupakan pertambahan persentase
penduduk yang tinggal di perkotaan terhadap jumlah penduduk nasional. Peningkatan proporsi
tersebut kemudian menyebabkan kota-kota tumbuh meluas sampai ke pinggiran (yang semula
perdesaan menjadi perkotaan).

De Bruijne (1987) dalam Pontoh dan Kustiawan (2009) mendefinisikan urbanisasi sebagai
berikut.
1. Persentasi pertambahan penduduk yang tinggal di perkotaan
2. Berpindahnya penduduk dari desa ke kota
3. Bertambahnya penduduk bermata pencaharian nonagraris di pedesaan
4. Tumbuhnya suatu permukiman menjadi Kota
5. Mekarnya atau meluasnya struktur artekfaktial-morfologis suatu kota di kawasan
sekililingnya
6. Meluasnya pengaruh suasana ekonomi kota ke pedesaan
7. Meluasnya pengaruh suasana sosial, psikologis dan kultural kota ke pedesaan, atau
meluasnya nilai-nilai dan norma-norma kekotaan ke kawasan luarnya.

Secara global, lebih banyak penduduk yang hidup di perkotaan dibandingkan di perdesaan
dengan 55% populasi di dunia menghuni daerah perkotaan (2018). Pada tahun 1950, populasi
penduduk perkotaan di dunia adalah sebesar 30%, dan proyeksi pada tahun 2050 akan
mencapai 68%. Saat ini, wilayah yang tercatat paling banyak berurbanisasi adalah Amerika
Utara (82%), Amerika Latin dan Karibia (81%), Eropa (74%) dan Oceania (68%). Sementara
tingkat urbanisasi di Asia mendekati 50%. Sebaliknya Afrika sebagian besar tetap pedesaan,
dengan 43% populasinya tinggal di daerah perkotaan (United Nation, 2018a).

1
Sumber: United Nation, 2018b
Gambar 1 Tingkat dan tren urbanisasi pada beberapa negara di dunia

Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB (United Nation, 2018c) juga mengestimasi tingkat urbanisasi


di Indonesia. Pada tahun 2018 terdapat 55.3% penduduk (hampir 300 juta jiwa) yang tinggal di
perkotaan dan pada tahun 2050 diprediksikan akan naik mencapai 72.8% (lebih dari 300 juta
jiwa). Tingkat urbanisasi yang relatif tinggi tersebut harus diantisipasi pemerintah agar dapat
meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh urbanisasi tersebut.

Sumber: United Nation, 2018c


Gambar 2 Persentase populasi di daerah perkotaan dan perdesaan di Indonesia

2
Sumber: United Nation, 2018c
Gambar 3 Populasi di daerah perkotaan dan perdesaan di Indonesia

Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS, 2014), hampir separuh penduduk Indonesia
menyebutkan tingkat pertumbuhan penduduk di perkotaan mencapai 2,75% per tahun. Angka
tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata nasional
sebesar 1,17% pertahun. Pada tahun 2025 diperkirakan 68% penduduk dan pada tahun 2045
diperkirakan 82% penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Perkembangan penduduk
perkotaan yang cepat terjadi terutama di wilayah Metropolitan. Jumlah Kota metropolitan akan
tumbuh dengan cepat, kemudian disusul oleh kota besar. Penurunan yang terjadi sangat cepat
ada pada kota sedang, sedangkan kota kecil masih cenderung stabil. Diperkirakan pada tahun
2045, berkembangnya kota-kota metropolitan dan besar akan menambah kesenjangan
antarkota antarwilayah.

3
Sumber: KSPPN
Gambar 4 Jumlah Kota Menurut Tipologi Kota Tahun 2011-2050 (2005)(kiri) Proyeksi Jumlah Penduduk Kota di
Indonesia Menurut tipologi Kota Tahun 2011-2050 (kanan)

Faktor-faktor pendorong urbanisasi menurut Charles Whynne-Hammond (1979) dalam


Daldjoeni, 1987) yaitu: (1) Kemauan di bidang pertanian, (2) Industrialisasi, (3) Potensi pasar,
(4) Peningkatan kegiatan pelayanan, (5) Kemajuan trasportasi, (6) Tarikan sosial dan kultural,
(7) Kemajuan pendidikan, (8) Pertumbuhan penduduk alami.

Di negara maju, urbanisasi pada dasarnya merupakan fungsi dari pertumbuhan ekonomi.
Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah, maka semakin tinggi pula
derajat urbanisasinya (level of urbanization). Pertumbuhan kota ditandai dengan adanya
perubahan/pergerseran struktur ekonomi dengan sector primer (pertanian) berubah menjadi
sector sekunder (industri) dan sector industri mengarah menjadi sector tersier (jasa). Sehingga
urbanisasi di negara maju juga berkorelasi dengan industrialisasi, karena pertumbuhan
ekonomi yang tinggi bersumber dari pertumbuhan industri yang pesat dan dominan.

Sedangkan di negara berkembang, urbanisasi tidak selalu berbarengan dengan industrialisasi


(karena hanya urbanisasi demografis). Ditinjau dari lajunya, kecepatan urbanisasi di negara
berkembang jauh lebih besar dibandingkan dengan di negara-negara maju. Fenomena ini
disebut dengan overurbanization atau pseudourbanization. Secara spasial, proses urbanisasi ini
juga tidak berlangsung merata di semua ukuran kota, tapi hanya di kota-kota besar/utama saja
(Pontoh dan Kustiawan, 2009).

Menurut Pacione (2001), karakteristik urbanisasi di negara berkembang antara lain:


1. Terjadi di Negara yg memiliki perkembangan ekonomi rendah/lambat
2. Melibatkan banyak manusia dibanding urbanisasi di negara maju
4
3. Melibatkan negara yang angka harapan hidup rendah, tingkat asupan gizi rendah, dan
tingkat pendidikan rendah
4. Migrasi terjadi secara besar-besaran
5. Industrialisasi tertinggal jauh dari urbanisasi
6. Wilayah kumuh dan pemukiman spontan lebih mendominasi kota-kota besar di negara
berkembang

2 DAMPAK URBANISASI

Seiring perkembangan kota, urbanisasi merupakan sebuah proses yang berkelanjutan.


Perbedaan latar belakang urbanisasi baik di negara berkembang maupun negara maju
menyebabkan masalah yang berbeda pula. Urbanisasi terkadang berjalan tidak sempurna
terutama di negara berkembang, sehingga menimbulkan berbagai masalah. Berikut ini
dijabarkan masalah-masalah tersebut (Bruin dan William, 1983) dimana semuanya saling
berhubungan satu sama lain.

Gambar 5 Masalah akibat urbanisasi

3 PROSES URBANISASI

Urbanisasi dalam konteks global mencakup ekonomi, politik, teknologi, kemasyarakatan,


demografi, budaya dan lingkungan. Dinamika yang terjadi pada ketujuh bidang tersebut
menjadi pemicu terjadinya urbanisasi pada suatu wilayah. Dinamika demografi berhubungan
dengan jumlah, kepadatan, komposisi dan distribusi penduduk; dinamika politik berhubungan
5
dengan pembangunan, rivalitas kelompok, dan reformasi politik; dinamika budaya
berhubungan dengan kota sebagai pusat pengembangan budaya, post-modern; dinamika
teknologi berhubungan dengan kota sebagai ousat inovasi dan implikasi teknologi baru; dan
dinamika sosial berhubungan dengan kota sebagai barometer perubahan sosial. Di samping itu
juga ada faktor lainnya seperti faktor local dan historis wilayah tersebut. Urbanisasi
menyebabkan terbentuknya suatu system, bentuk dan ekologi perkotaan, serta urbanisme.
Sebagai akibat dari urbanisasi muncullah persoalan-persoalan masyarakat yang kemudian
direspon dengan kebijakan dan perencanaan. Respon tersebut untuk mengatur atau
mengendalikan urbanisasi dan juga ketujuh bidang tersebut. Sementara itu, system, bentuk dan
ekologi perkotaan juga saling mempengaruhi secara langsung dengan ketujuh bidang tersebut.

Gambar 6 Proses urbanisasi

4 URBAN

Pacione (2005) memberikan definisi urban (perkotaan) dengan membedakannya menjadi dua
yaitu urban sebagai entitas dan urban sebagai kualitas. Hal tersebut dapat membantu
memahami konsep urban dari kompleksitas kehidupan perkotaan.

 Urban sebagai entitas. Terdapat empat prinsip metode yang digunakan untuk
mengidentifikasi ruang perkotaan, yaitu jumlah populasi, basis ekonomi, kriteria
administratif, dan definisi fungsional.

6
o Jumlah populasi, secara umum ruang perkotaan lebih besar dibandingkan ruang
perdesaan bila ditinjau dari ukuran populasi, hal ini memungkinkan untuk
memutuskan apakah suatu wilayah dikatakan urban atau tidak ketika sebuah
desa menjadi kota. Dalam prakteknya, ambang populasi wilayah perkotaan
bervariasi dari waktu ke waktu dan ruang ke ruang.
o Basis ekonomi, di beberapa negara, jumlah penduduk dikombinasikan dengan
kriteria lainnya untuk mendefinisikan sebuah wilayah perkotaan.
o Kriteria administratif, kebanyakan kota-kota di dunia didefinisikan berdasarkan
suatu kriteria hukum atau administratif. Definisi tersebut berhubungan dengan
tingkat fisik aktual daerah perkotaan.
o Definisi Fungsional, peneliti perkotaan biasanya merancang 'wilayah perkotaan
fungsional' yang mencerminkan sejauh mana pengaruh perkotaan.
 Urban sebagai kualitas. Berbeda dengan entitas fisik, konsep ini berkaitan dengan arti
dari sebuah kota dan dampak dari lingkungan perkotaan terhadap gaya hidup
masyarakat (dan sebaliknya). Setiap orang mempunyai konsep tersendiri dalam
memandang sebuah kota (pengalaman subjektif) sehingga dapat mempengaruhi gaya
hidupnya. Sekarang gaya hidup masyarakat perkotaan semakin kompleks.

Berikut ini disampaikan beberapa karakteristik urban (perkotaan) yang membedakannya dari
rural (perdesaan).

Tabel 1 Karakteristik Perdesaan dan Perkotaan

Daerah Perdesaan Daerah Perkotaan

 Basis ekonomi utama adalah pertanian  Basis ekonomi utama adalah industri
 Komunitasnya relatif homogen dan kecil dan jasa
 Tingkatan kelembagaan politik dan  Komunitasnya relatif heterogen dan
administratif adalah rendah besar
 Fasilitas pelayanan publik yang ada  Tingkatan kelembagaan politik dan
umumnya sedikit dan mempunyai administratif adalah tinggi
tingkatan yang rendah  Tingkatan fasilitas pelayanan publik lebih
 Kepadatan daerah terbangun rendah dan tinggi dan jumlahnya lebih banyak
mempunyai diferensiasi fungsi yang  Kepadatan daerah terbangun yang tinggi
rendah pula dan terdapat spesialisasi fungsi yang
 Tingkat diferensiasi sosial dan tinggi
spesialisasi okupasional relatif rendah  Tingkat diferensiasi sosial dan spesialisasi
okupasional relatif lebih tinggi

7
Dengan kriteria penentuan desa urban:

Tabel 2 Kriteria penentuan desa urban

Di samping itu terdapat jenis fasilitas perkotaan untuk menentukan apakah desa tersebut
merupakan desa urban atau tidak.

Tabel 3 Kriteria penentuan desa urban

Penetapan sebagai permukiman perkotaan dapat melalui tiga cara yatiu:

 Pertama, secara legal-administratif (misalnya, semua lokalitas yang berada di wilayah


Kota Yogyakarta adalah permukiman perkotaan);
 Kedua, adalah lokalitas yang penduduknya > 50.000 jiwa, atau bila persyaratan ini tidak
terpenuhi; maka
 Ketiga adalah lokalitas yang telah memenuhi persyaratan yang disandarkan atas tiga
variabel, seperti kepadatan penduduk, persentase penduduk non-tani, dan
ketersediaan fasilitas perkotaan.

Nilai kumulatif dari ketiga variabel tersebut di atas yaitu: jika nilai lebih besar dari 23 maka desa
tersebut dikategorikan sebagai desa ‘urban’, sedangkan jika nilai lebih kecil dari 17

8
dikategorikan sebagai desa ‘rural’, sedangkan desa yang memiliki nilai diantaranya statusnya
dianggap meragukan (Firman, 1992).

Berikut ini ditampilkan jumlah dan pertumbuhan penduduk di beberapa kota besar di Indonesia
(2000-2010).

Tabel 4 Jumlah penduduk dan pertumbuhan penduduk di beberapa kota besar di Indonesia tahun 2000-2010

KOTA TH 2000 TH 2010 Pertumbuhan (%)

DKI Jakarta 8.347083 9.607.787 14,17


Surabaya 2.599.796 2.611.506 4.50
Bandung 2.073.568 2.288.570 9.91
Medan 1.904.273 2.029.797 6.40
Semarang 1.269.502 1.438.733 12.59
Palembang 1.151.419 1.342.258 15.45
Makasar 1.076.275 1.194.583 10.48
Sumber: BPS, 2011

5 SISTEM PERKOTAAN

Sistem perkotaan adalah Susunan lengkap saling-ketergantungan kota-kota di suatu wilayah


atau negara. Terdapat dua latar belakang teori system perkotaan, yaitu Central Place Theory
dan teori Diffusion.

5.1 CENTRAL PLACE THEORY


Teori Central Place Theory dikemukakan oleh Walter Christaller (1933). Ia mendefinisikan
Central Place Theory yaitu suatu lokasi yang dapat melayani berbagai kebutuhan yang terletak
pada suatu tempat yang disebut sebagai tempat sentral. Tempat sentral ini memiliki tingkatan-
tingkatan tertentu sesuai kemampuannya melayani kebutuhan wilayah tersebut. Pola
keruangan tempat sentral tersebut digambarkan dalam bentuk segi enam. Teori tempat sentral
memiliki 2 konsep utama yaitu: (1) Threshold (jangkauan batas minimal kegiatan ekonomi
tempat sentral) dan (2) Range (jangkauan maksimum masyarakat yang mampu menjangkau
tempat sentral).

9
Gambar 7 Central Place Theory

Central Place Theory berlaku apabila: (1) wilayah berbentuk datar dan tidak berbukit, (2) tingkat
ekonomi dan daya beli relatif sama, (3) Penduduk memiliki kesempatan yang sama untuk
bergerak ke berbagai arah. Beberapa bentuk Central Place Theory antara lain:

Gambar 8 Bentuk Central Place Theory

Kekurangan Central Place Theory yang kurang relevan dengan kondisi kota dewasa ini antara
lain:

 Asumsi yang menyatakan bahwa wilayahnya adalah suatu daratan yang rata,
mempunyai ciri-ciri ekonomis sama dan penduduknya juga tersebar secara merata tidak
bisa digunakan bagi setiap wilayah karena pada kenyataannya atau kondisi eksistingnya
setiap wilayah memiliki topografi yang berbeda-beda yang akan berpengaruh pada
biaya transportasi, persebaran penduduk, dan juga ciri-ciri ekonomis.

10
 Kurang diperhatikannya faktor lain seperti teknologi. Jangkauan suatu barang dan jasa
tidak ditentukan lagi oleh biaya dan waktu. Lalu dengan kemajuan teknologi yang
semakin canggih, konsumen tidak selalu tidak memilih tempat pusat yang paling dekat.
Hal ini bisa disebabkan oleh daya tarik atau fasilitas sarana dan prasarana tempat pusat
yang lebih jauh tersebut lebih besar dibandingan dengan tempat pusat yang terdekat.

5.2 DIFFUSION THEORY


Istilah difusi umumnya digunakan di kimia yang merupakan peristiwa berpindahnya suatu zat
dalam pelarut dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian yang berkonsentrasi rendah.
Pengertian tersebut dianalogikan ke dalam teori keruangan. Diffusion theory bermula dari
adanya kolonisasi awal di sebuah wilayah yang mengarah pada penyelesaian lebih lanjut.
Beberapa faktor membentuk penyelesaian difusi yaitu kondisi sosio-ekonomi yang membentuk
suatu konsentrasi tertentu, kondisi geografis berpengaruh pada ukuran dan distribusi, proses
yang bertahap, dan terdapatnya elemen-elemen ketidakpastian. Beberapa tingkatan difusi
menurut Hudson (1969) yaitu Colonization (dispersal), Spread (clusters), competition (more
regulary). Sedangkan menurut Vance (1970) yaitu Exploration, harvesting, farms, depot
Centers, mature infilling.

1. Exploration

2. Harvesting of natural resources

3. Emergence of farm-based staple


production

4. Estabilishment of interior depot centers

5. Economic maturity and central


place infilling

Gambar 9 Proses staging Diffusion Theory

11
6 PERKEMBANGAN KOTA

Sistem perkotaan dalam perkembangan kota adalah keterkaitan posisi sebaran dan hierarki
fungsi pelayanan kota-kota dalam suatu wilayah sebagai hasil dari ‘pencapaian optimalitas’
skala layanan berbagai kota dan juga setelah mengalami kompetisi. Hierarki fungsional kota
antara lain:

 Pusat kegiatan nasional (PKN)


 Pusat kegiatan wilayah (PKW)
 Pusat kegiatan lokal (PKL)

Berdasarkan fakta yang dikemukakan sebelumnya bahwa secara global, populasi penduduk
yang tinggal di perkotaan pada tahun 2050 diprediksikan akan naik mencapai 68%. Hal tersebut
ditandai dengan masyarakat perdesaan yang berpindah ke kota-kota besar, dan pusat-pusat
kecil di daerah pedesaan menjadi kota kecil baru. Masalah penting yang terjadi adalah
pertumbuhan penduduk dan proses memadatnya suatu wilayah yang sangat cepat. Dimana
kemiskinan di daerah perdesaan adalah alasan terpenting orang-orang berpindah ke kota.

Pada tahun 2000, jumlah penduduk dunia kurang lebih sebanyak 6 miliar, dimana 45%
penduduknya tinggal di kota. Pada tahun yang sama terdapat 440 kota dengan penduduk lebih
dari 1 juta penduduk, sedangkan pada tahun 1900 hanya ada 10 kota. Tahun 1960, hanya ada
3 kota dengan penduduk lebih dari 10 juta dan semuanya terletak di belahan bumi utara.
Berbeda dengan sekarang, dimana terdapat 25 kota (lebih besar dari 10 juta penduduk) dan 18
di antaranya ada di negara berkembang.

Kota menghadapi berbagai tantangan yang semakin berat antara lain:


 Kemiskinan yang terus bertambah (growing poverty)
 Ketimpangan/kesenjangan yang semakin tajam (deepening inequality and polarization)
 Korupsi yang merajalela (widespread corruption at the local level)
 Tingkat kejahatan perkotaan yang semakin meningkat (high rate of urban crime and
violence)
 Kondisi lingkungan/tempat tinggal yang semakin memburuk (deteriorating living
conditions)

Perkotaan di Indonesia berupa pusat pemukiman masyarakat, pusat pemerintahan pusat


pertumbuhan ekonomi, dan lain sebagainya. Pertumbuhan ekonomi kota berdampak pada
12
pertumbuhan ekonomi nasional. Di samping itu, pertumbuhan ekonomi kota berdampak pada
jumlah penduduk perkotaan. Berdasarkan data, jumlah penduduk kota di Indonesia adalah
31,1% (1990), 35,9% (1995), dan 55,3% (2003), sedangkan jumlah penduduk desa di Indonesia
adalah 68,9% (1990), 64,4% (1995), dan 45,0% (2003). Hal tersebut menunjukkan
pertumbuhan yang cepat selama 8 tahun (1995-2003) sebesar 19,4% dibandingkan pada tahun
1990-1995 yang hanya 4,8% dan benbanding terbail dengan jumlah penduduk desa.

Penambahan komposisi kependudukan perkotaan memang tak terelakkan. Tingkat urbanisasi


pada negara-negara dengan perekonomian tinggi cenderung tinggi, sementara pada negara-
negara isdustri adalah di atas 75% dan pada negara-negara berkembangi adalah sekitar 35% -
45% (Tjiptoheriyanto, 2000). Pertumbuhan penduduk perkotaan yang pesat berdampak pada
terbatasnya ruang public sehingga kota semakin kehilangan fungsi sebagai sarana permukiman
yang nyaman. Selain itu jumlah pengangguran juga terus meningkat.

Permasalahan Kota-kota di Indonesia antara lain:

 Arus urbanisasi yang cepat


Hal ini sebagaimana tingkat urbanisasi yang sebelumnya telah dijelaskan berdasarkan
data. Seperti contoh kota Jakarta yang tidak dirancang untuk melayani mobilitas
penduduk lebih dari 10 juta orang. Pada kenyataannya, jumlah penduduk Jakarta pada
siang hari + 11,20 juta penduduk dan malam hari + 10,07 juta penduduk (BPS, 2015),
akibatnya Jakarta menjadi sangat sesak dan kurang nyaman.

Gambar 10 Arus urbanisasi yang cepat menyebabkan Jakarta menjadi sesak

 Meningkatnya kemacetan
• Pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan penduduk
mengakibatkan pertumbuhan jumlah kendaraan sehingga berujung pada kemacetan.
Selain itu, terbatasnya wilayah mengakibatkan perluasan jaringan jalan menjadi sulit.
Penambahan ruas jalan yang ada tidak sebanding dengan laju pertambahan penduduk

13
dan pertumbuhan jumlah kendaraan. Adanya kondisi dimana pemerintah belum
mampu menyediakan sarana transportasi umum dan massal yang memadai, sehingga
masyarakat merasa lebih nyaman menggunakan kendaraan pribadi. Pada kasus di
Jakarta, pembangunan kota-kota satelit di sekitar Jakarta tidak memecahkan masalah.
Penduduk kota satelit justru cenderung mencari penghidupan di Jakarta.

Gambar 11 Kemacetan di Jakarta

• Meningkatnya sektor Informal


Kesenjangan antara kemampuan menyediakan sarana penghidupan dengan
permintaan terhadap lapangan kerja memacu tumbuhnya sektor informal. Pada saat
krisis ekonomi, sektor informal semakin banyak. Peningkatan aktivitas sektor informal
di perkotaan mengakibatkan meningkatnya privatisasi ruang publik perkotaan.

Gambar 12 Privatisasi ruang public perkotaan sebagai akibat bertambahnya sector informal

 Disparitas pendapatan antar penduduk


Perbedaan tingkat kemampuan, pendidikan, dan akses terhadap sumber ekonomi
berdampak pada perbedaan pendapatan antar penduduk perkotaan yang semakin
besar. Selanjutnya muncul kondisi dimana sebagian kecil penduduk perkotaan
menguasai sebagian besar sumber perekonomian, dan sebagian besar penduduk justru
hanya mendapatkan sebagian kecil sumber perekonomian.

14
Gambar 13 Disparitas penduduk

 Hilangnya ruang public


Berbagai kepentingan dan fungsi perkotaan kerap harus mengorbankan fungsi kota
lainnya. Sementara kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi membutuhkan lahan
untuk pengembangan ekspansi kepentingan tersebut. Kondisi yang ada, jumlah ruang
dan wilayah perkotaan tetap sehingga ruang publik dikorbankan. Hilangnya ruang publik
berdampak sangat luas dan serius terutama dampak social.

Gambar 14 Hilangnya ruang public

7 KEBIJAKAN STRATEGIS PERKOTAAN NASIONAL

Kebijakan Strategis Perkotaan Nasional (KSPN) merupakan pengembangan atau pembangunan


perkotaan untuk mendukung strategi pembangunan nasional. Tantangan globalisasi dimana
berhubungan dengan kota-kota Indonesia terkait dalam sistim kota-kota global sehingga
diharapkan Indonesia melalui kota-kotanya dapat memanfaatkan peluang-peluang akibat
globalisasi. Kota-kota dapat menjadi motor perkembangan daerah sehingga dapat mengatasi
ketimpangan antara daerah, melalui keterkaitan kota-kota antar dan di dalam daerah.
Kebijakan ini dapat memberikan rambu-rambu untuk pengembangan kota-kota didaerah yang
berupa arahan-arahan makro (pemantapan peran kota-kota, keterkaitan antara kota/sistim
kota didaerah) dan arahan-arahan mikro (Standar Pelayanan Minimal-SPM).
15
Tantangan Kebijakan Strategis Perkotaan Nasional antara lain:

• Kompetisi kota di tingkat global

• Perubahan iklim (terutama kota-kota pesisir)

• Perubahan demografis

• Konsistensi pemerintah dan komitmen secara nasional untuk menghadapi


permasalahan eksernal dan internal.

• Pertumbuhan daya saing dan penjaminan kesejahteraan secara berkelanjutan

7.1 INSTITUSIONAL KSPN


 Basis hukum yang menjamin terlaksananya KSPN berdasarkan peraturan perundangannya.
 Peran, tugas dan tanggung jawab lembaga pemerintahan yang relevan dan terkait dengan
pembangunan perkotaan; Prosedur koordinasi dan kerjasama antar lembaga.
 Peran, tugas dan tanggung jawab masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan
nasional daerah dan kota-kota; bentuk organisasi, koordinasi dan hubungan-hubungan
kerjasama;
 Basis peraturan perundangan untuk kerjasama dan koordinasi antar pemerintah,
masyarakat dan swasta
 Berbagai contoh best practices dan lessons learned diadopsi baik dari luar maupun dalam
negeri.

7.2 ISU STRATEGIS DAN KEBIJAKAN


Berikut disampaikan berbagai isu strategis dan kebijakan yang dirumuskan di wilayah
Indonesia.

Tabel 5 Isu strategis dan kebijakan (Sumatra)

Isu Strategis Kebijakan


 Kota-kota rawan bencana  Penguatan kota-kota menghadapi
 Kondisi sarana / prasarana yang bencana
terbatas atau tak terpelihara  Perbaikan kondisi sarana / prasarana
 Keterkaitan antar kota di Sumatera masing-masingkota
terbatas
16
 Keterkaitan dengan kota-kota lain di  Peningkatan keterkaitan dalam wilayah
luar wilayah  juga terbatas dan dengan wilayah lain maupun
internasional
 Penyiapan kota-kota untuk keterkaitan
ini.

Tabel 6 Isu strategis dan kebijakan (Jawa/Bali)

Isu Strategis Kebijakan


 Tingkat pertumbuhan penduduk  Pembenahan pengembangan kota
perkotaan sangat pesat dan secara internal (urban sparwl)
terkonsentrasi di lokasi-lokasi tertentu  Land policy
 primasi kota Jakarta  Penyebaran kegiatan & mengatasi
 Urbanisasi / Perkembangan kota tak ketimpangan dalam wilayah (primasi)
terkontrol  urban sparwl  Penguatan keterkaitan dalam sistim
 Keterbatsan lahan, perlu meningkatkan perkotaan wilayah
industri jasa  SDM, Urban Land Policy  Kebijakan pengembangan
kelembagaan, koordinasi dan
kerjasama antar daerah,
pengembangan sumber-sumber daya
manusia

Tabel 7 Isu strategis dan kebijakan (Kalimantan)

Isu Strategis Kebijakan


 Keterbatasan sarana / prasaran  Sebagai sistem dalam wilayah
perkotaan – belum optimalnya kegiatan  Perbaikan internal kota
perkotaan / kegiatan ekonomi   Perbaikan kaitan / peranan dalam
pemanfaatan sumbersumber alam pengembangan regional
 Keterbatasan hubungan antar kota  Strategi pembangunan regional
dalam wilayah maupun dengan wilayah  Pertimbangan masalah lingkungan
lain – kota-kota terisolir
 Ketimpangan ekonomi dengan kota-
kota tambang
 Kawasan perbatsan – belum terkelola
dengan baik
 Pengelolaan lingkungan / hutan 
kebakaran terus menerus, sampai
dengan akhirnya tak termanfaatkan
dengan baik

17
Tabel 8 Isu strategis dan kebijakan (Sulawesi)

Isu Strategis Kebijakan


 Tingkat / derajat urbanisasi Sulawesi   Pembenahan masing-masing kota
relatif tinggi dibandingkan dengan untuk meningkatkan daya saing
kalimantan misalnya, tapi keterbatasan menarik investasi, memanfaatkan
modal, daya tarik investasi  kota potensi yang dimiliki
belum berkembang secara optimal  Pengembangan sistim perkotaan dalam
 Kota pesisir yang relatif banyak, belum wilayah maupun dengan wilayah luar
termanfaatkan saecara optimal antar (termasuk luar negeri)
alian sebagai titik-titik /model
keterhubungan dengan kota lain dalam
maupun luar wilayah, atau untuk
pariwisata.
 Sistim perotaan perlu dikembangkan,
tidak hanya berbasis daratan tapi juga
kelautan (kota-kota pantai, pesisir)

Tabel 9 Isu strategis dan kebijakan (Kawasan Timur Indonesia: Nusa Tenggara, Maluku dan Papua)

Isu Strategis Kebijakan


 Keterbatsan sarana / prasaran  Penguatan pengembangan internal
perkotaan  belum optimalnya kota-kota, untuk dapat meningkatkan
kegiatan perkotaan, belum ekonomi lokal
terbentuknya keterkaitan membentuk  Penguatan sistim keterhubungan /
sistem kota-kota yang tak terbatas keterkaitan dengan kota-kota didalam
lewat daratan, tapi melewati laut wilayah maupun diluar wilayah
 Pentingnya menangani masalah  Membuka keterisolasian
perbatasan, dengan pendekatan
security with welfare
 Belum optimalnya pemanfaatan potensi
– potensi sumber daya alam untuk
pengembangan ekonomi lokal.

8 KOTA LAYAK HUNI (LIVIABLE CITY)

Seorang ahli tata kota bernama Hahlewg mendefinisikan Liviable City sebagai “.... a city where
I can have a healthy life and where I have the chance for easy mobility… The liveable city is a

18
city for all people”. Menurut Ikatan Ahli Perencana (IAP) Indonesia, kota layak huni berkaitan
dengan kualitas penataan kota, jumlah ruang terbuka, kualitas kebersihan lingkungan,
ketersediaan angkutan umum, kualitas angkutan umum, kualitas kondisi jalan, kualitas fasilitas
pejalan kaki, ketersediaan fasilitas rekreasi, kualitas fasilitas rekreasi, perlindungan bangunan
bersejarah, tingkat pencemaran lingkungan, ketersediaan fasilitas pendidikan, kualitas fasilitas
pendidikan, ketersediaan fasilitas kesehatan, kualitas fasilitas kesehatan, ketersediaan energi
listrik, kualitas jaringan telekomunikasi, tingkat aksebilitas tempat kerja, tingkat kriminalitas,
interaksi hubungan antar penduduk, informasi pelayanan publik, ketersediaan air bersih,
kualitas air bersih, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan ketersediaan fasilitas kaum diffabel.

Berikut ini merupakan indeks kota layak huni pada kota-kota di Indonesia bersadasarkan studi
Most Liveable City (MLCI, 2014).

Gambar 15 Indeks kota layak huni 2014 (MLCI, 2014)

19
REFERENSI

United Nation. 2018a. The 2018 Revision of the World Urbanization Prospects. Publication: Key
Fact. The Population Division of the United Nations Department of Economic and Social
Affairs (UN DESA).
United Nation. 2018b. The Speed of Urbanization Around the World. Publication: Population
Fact. The Population Division of the United Nations Department of Economic and Social
Affairs (UN DESA).
United Nation. 2018c. World Urbanization Prospects: Country Profile. The Population Division
of the United Nations Department of Economic and Social Affairs (UN DESA).
https://population.un.org/wup/Country-Profiles/
MLCI. 2014. Most Liveable City Index.
Pacione, M., 2005. Urban geography: a global perspective,
Tjiptoheriyanto. 2000. Urbanisasi dan Perkembangan Perkotaan Indonesia. FEUI.

20

Anda mungkin juga menyukai