Anda di halaman 1dari 98

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

United Nations Development Programme (UNDP) dalam Goal 11: sustainable

cities and communities menyebutkan bahwa lebih dari separuh penduduk dunia

sekarang tinggal di daerah perkotaan. Pada 2050, angka tersebut akan meningkat

menjadi 6,5 miliar orang atau dua pertiga dari seluruh umat manusia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2013 Tingkat

pertumbuhan penduduk di perkotaan sebesar 2,75 persen pertahun, jauh lebih tinggi

dari pada tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata nasional sebesar 1,17 persen

pertahun. Tahun 2025 diperkirakan 68 persen penduduk akan tinggal di Kota,

sementara pada tahun 2045 diperkirakan 82 persen penduduk Indonesia akan

tinggal di kawasan perkotaan.

Tingginya pertumbuhan penduduk perkotaan di negara berkembang salah

satunya disebabkan oleh urbanisasi semu yang tidak terkendali sehingga telah

menimbulkan kawasan kumuh di perkotaan. Urbanisasi semu (Pseudo

Urbanization) dapat diartikan sebagai fenomena migrasi dari desa ke kota tanpa

adanya persiapan, hal ini ditandai dengan terjadinya berbagai masalah seperti

kemiskinan perkotaan, membengkaknya sector informal. Berbeda dengan

fenomena yang terjadi di negara maju, migrasi dari desa ke kota dilakukan dengan

persiapan untuk menunjang kebutuhan diperkotaan, sehingga tidak menimbulkan

permasalahan kemiskinan di perkotaan maupun permasalahan lainnya yang

disebabkan urbanisasi. Sebaliknya fenomena urbanisasi ini berkontribusi untuk

1
2

keberlangsungan suatu kawasan perkotaan. Hal ini dikaitkan dengan kenyataan

bahwa di negara-negara maju perpindahan penduduk dari desa ke kota telah dijamin

oleh tersedianya lapangan pekerjaan non pertanian di kota-kota, tetapi umumnya di

negara sedang berkembang pekerjaan non pertanian di kota tidak terjamin (Sujarto

dalam Kuswartojo, 2005).

Pertumbuhan penduduk akibat dari urbanisasi semu tersebut merupakan faktor

utama yang mendorong pertumbuhan permukiman kumuh. Suparlan (2004)

penyebab adanya kawasan kumuh atau peningkatan jumlah kawasan kumuh yang

ada di Kota disebabkan oleh:

a). faktor ekonomi atau kemiskinan mendorong bagi pendatang untuk mendapatkan

kehidupan yang lebih baik di kota-kota. Dengan keterbatasan pengetahuan,

keterampilan, dan modal, maupun adanya persaingan yang sangat ketat diantara

sesama pendatang maka pendatang-pendatang tersebut hanya dapat tinggal dan

membangun rumah dengan kondisi yang sangat minim di kota-kota. Di sisi lain

pertambahan jumlah pendatang yang sangat banyak mengakibatkan pemerintah

tidak mampu menyediakan hunian yang layak.

b). faktor bencana dapat pula menjadi salah satu pendorong perluasan kawasan

kumuh. Adanya bencana, baik bencana alam seperti misalnya banjir, gempa,

gunung meletus, longsor maupun bencana akibat perang atau pertikaian antar suku

juga menjadi penyebab jumlah rumah kumuh meningkat dengan cepat.

Peningkatan jumlah penduduk di daerah perkotaan yang berlebihan juga telah

menyebabkan meningkatnya kebutuhan penyediaan akan prasarana dan sarana

permukiman. Kondisi ini terutama terjadi karena adanya pertambahan aktivitas kota
3

dalam kegiatan sosial-ekonomi dan pergerakan arus transportasi. Tingkat kepadatan

penduduk menjadi semakin tinggi, berjalan seiring dengan tuntutan kebutuhan akan

rumah tinggal. Hal yang sering terjadi adalah tingkat kebutuhan rumah tinggal yang

tidak seimbang dengan tingkat kemampuan kota dalam menyediakan prasarana dan

sarana permukiman yang terjangkau dan layak huni karena keterbatasan lahan kota.

Akibatnya adalah suatu kawasan permukiman akan menerima beban yang melebihi

kemampuan daya dukung lingkungannya (over carrying capacity) dan cenderung

menjadi kumuh (Saraswati, 2001).

Perkembangan pembangunan di Kota Bandung seperti di perkotaan lain di

Indonesia, sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi (manusia) akibat

urbanisasi semu, terutama para pendatang yang akhirnya menetap. Pertumbuhan di

semua sektor pembangunan lingkungan perkotaan adalah akibat gelombang

urbanisasi yang dipacu oleh pembangunan fisik sarana dan prasarana kota yang

merupakan daya tarik sekaligus daya dorong bagi para warga yang ingin

memperoleh peluang kehidupan lebih baik. Laju pembangunan itu pula yang

menyebabkan perkembangan kota seolah tanpa arah (urban sprawl) (Saraswati,

2001).

Perkembangan kota yang tanpa arah tersebut menyebabkan Kota Bandung

memiliki masalah dalam perkembangan permukiman, khususnya permukiman

kumuh. Kota Bandung sebagai kota metropolitan ketiga di Indonesia setelah Jakarta

dan Surabaya memiliki permasalahan permukiman kumuh yang kompleks yang

berkaitan dengan kemiskinan dan kesenjangan serta ketidak disiplinan sosial

maupun yang menyangkut kemampuan lembaga-lembaga pemerintahan dalam


4

pengaturan, pengorganisasian spasial maupun sumberdaya yang dimiliki kota

sesuai hakekat fungsi kota. Permasalahan permukiman kumuh di Kota Bandung

juga berkaitan dengan mekanisme pasar (ekonomi) lahan dalam bentuk semakin

dekat pusat kota akan semakin mahal harga lahan sehingga menyebabkan penduduk

dengan keterbatasan ekonomi untuk mencari lahan baru diluar kota atau memilih

lahan di dalam kota dengan konsekuensi tertentu, seperti kualitas lingkungan yang

berbeda, atau luasan lahan yang tidak sepadan.

Kota Bandung seperti halnya kota-kota di Indonesia yang berkembang dan

berfungsi sebagai pusat-pusat kegiatan telah mengundang penduduk daerah

sekitarnya untuk datang mencari lapangan kerja dan kehidupan yang lebih baik.

Mereka yang bermigrasi ke perkotaan relatif meningkat dari tahun ke tahun.

Mereka ini berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang berbeda-beda dan

sebagian dari mereka datang tanpa tujuan yang jelas.

Di lain pihak kota belum siap dengan rencana sistem perkotaan guna

mengakomodasi perkembangan kegiatan perkotaan dalam sistem rencana tata

ruang kota dengan berbagai aspek dan implikasinya termasuk di dalamnya

menerima, mengatur dan mendayagunakan pendatang. Akibatnya terjadi aktivitas

yang sangat heterogen dan tidak dalam kesatuan sistem kegiatan perkotaan yang

terencana, yang mengakibatkan terjadinya kantong-kantong kegiatan yang tidak

saling menunjang, termasuk dengan munculnya permukiman yang berkembang di

luar rencana sehingga terbentuklah permukiman-permukiman kumuh.

Terbatasnya dana yang dimiliki pemerintah untuk penataan dan pengelolaan

kota dalam menghadapi masalah kependudukan tersebut di atas juga telah


5

menyebabkan fasilitas perumahan dan permukiman menjadi terbatas dan mahal

pembiayaannya. Di daerah perkotaan, warga yang paling tidak terpenuhi kebutuhan

fasilitas perumahan dan permukimannya secara memadai adalah mereka yang

tergolong berpenghasilan rendah dan atau dengan kata lain orang miskin. Abrams

(1964) mengatakan bahwa pada waktu seseorang dihadapkan pada sebuah masalah

mengenai pengeluaran yang harus dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan-

kebutuhan hidupnya, makan, berpakaian, dan pengobatan untuk kesehatan, maka

yang pertama dikorbankan adalah pengeluaran untuk rumah dan tempat tinggalnya.

Masalahnya, bagi mereka masyarakat miskin yang berpenghasilan rendah,

tidak dapat mengabaikan begitu saja kebutuhan akan rumah dan tempat tinggal

karena masalah ini penting dalam dan bagi kehidupan mereka, tetapi di satu sisi

mereka juga tidak mampu untuk mengeluarkan biaya prioritas bagi pengembangan

dan pemeliharaan rumah dan lingkungan permukimannya agar layak untuk dihuni.

Semakin kecil bagian dari penghasilan yang dapat disisihkan guna pembiayaan

pemeliharaan rumah dan fasilitas permukiman, semakin kumuh pula kondisi

permukimannya.

Jika pertumbuhan lingkungan permukiman kumuh ini dibiarkan, derajat

kualitas hidup masyarakat miskin akan tetap rendah. Akan mudah menyebabkan

kebakaran, memberi peluang tindakan kriminalitas, terganggunya norma tata susila,

tidak teraturnya tata guna tanah dan sering menimbulkan banjir yang akhirnya

menimbulkan degradasi lingkungan yang semakin parah. Penggusuran pada

permukiman kampung kota yang kumuh oleh pihak-pihak terkait tidak sepenuhnya

menyelesaikan masalah, selain cara ini tidak manusiawi, para pemukim kembali
6

menyerobot tanah terbuka lainnya sehingga hilang satu akan tumbuh dua atau lebih

permukiman kumuh yang baru lagi.

Untuk menangani masalah kumuh di Indonesia pemerintah melalui

Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum telah melakukan

penanganan masalah kumuh dengan meluncurkan program untuk melakukan

penataan lingkungan maupun penyediaan rumah layak huni dan berkelanjutan.

Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum menyebutnya dengan Key

Performance Indicators 100-0-100, artinya 100% tersedia akses air minum, 0%

kawasan kumuh dan 100% tersedia akses sanitasi layak sesuai dengan amanah

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Program

tersebut bernama Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU).

Program ini bertujuan untuk menyediakan sarana dan prasarana dasar

permukiman seperti air minum, sanitasi, jalan lingkungan, revitalisasi kawasan, dan

peningkatan kualitas permukiman. Program tersebut dilaksanakan dengan model

pemberdayaan yang melibatkan masyarakat sejak perencanaan sampai dengan

operasi dan pemeliharaan insfrastruktur.

Sebagai implementasi percepatan penanganan kumuh, Program KOTAKU akan

melakukan peningkatan kualitas, pengelolaan serta pencegahan timbulnya

permukiman kumuh baru, dengan kegiatan-kegiatan pada entitas desa/kelurahan,

serta kawasan dan kabupaten/kota. Kegiatan penanganan kumuh ini meliputi

pembangunan infrastruktur serta pendampingan sosial dan ekonomi untuk

keberlanjutan penghidupan masyarakat yang lebih baik di lokasi permukiman

kumuh.
7

Tahapan pelaksanaan Program KOTAKU adalah pendataan. Lembaga

masyarakat di desa/kelurahan yang bernama Badan/Lembaga Keswadayaan

Masyarakat (BKM/LKM) sudah melakukan pendataan kondisi awal (baseline) 8

(delapan) indikator kumuh di desa/kelurahan masing-masing. Delapan indikator

yang dirumuskan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan

Umum dan Perumahan Rakyat (KEMENPUPR) yaitu sarana dan prasarana yang

mencakup : (1) Keteraturan Bangunan, (2) Jalan Lingkungan, (3) Drainase

Lingkungan, (4) Penyediaan Air Bersih/Minum, (5) Pengelolaan Persampahan, (6)

Pengelolaan Air Limbah, (7) Pengamanan Kebakaran, (8) Ruang Terbuka Publik.

Data tersebut diintergrasikan antara dokumen perencanaan masyarakat dan

dokumen perencanaan kabupaten/kota untuk menentukan kegiatan prioritas

mengurangi permukiman kumuh dan mencegah timbulnya permukiman kumuh

baru. Yang nantinya akan dilaksanakan, baik oleh masyarakat atau oleh pihak lain,

yang memiliki keahlian dalam pembangunan infrastruktur pada entitas kawasan dan

kota.

Di Kota Bandung sendiri program KOTAKU sudah berjalan sejak Pemerintah

Kota menetapkan lokasi kumuh berdasarkan SK Kumuh Walikota Bandung No.

648/Kep.286-DisTaRCip/2015 tanggal 20 Maret tahun 2015 Tentang Penetapan

Lokasi Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh. Kota Bandung

mempunyai kawasan kumuh yang terletak di 121 kelurahan dengan luas kawasan

kumuh mencapai 1.457 hektare. Dengan Bantuan Dana Investasi (BDI) sebesar

Rp53,7 miliar dari pemerintah pusat kawasan kumuh di Kota Bandung hingga tahun

2017 berhasil ditangani seluas 215 hektare, menyisakan 1.242 hektare lagi untuk
8

digarap. Tahun 2018 ditargetkan mengentaskan 699 hektare kawasan kumuh, dan

pada tahun 2019 harus mencapai 0 persen kawasan kumuh sesuai target nasional

100-0-100 (humas.bandung.go.id).

Sebagai salah satu program yang menjawab masalah kumuh, program

KOTAKU lebih menyasar pada persoalan penataan fisik lingkungan sesuai dengan

indikator kumuh yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya. Sementara

untuk aspek lain seperti pendidikan dan kesehatan bukan menjadi indikator utama

dari keberhasilan program KOTAKU. Padahal didalam Kawasan permukiman

kumuh dimungkinkan terjadinya masalah yang berkaitan pendidikan dan kesehatan.

Seperti misalnya angka partisipasi sekolah pada kawasan kumuh mengalami

peningkatan karena tersedianya sarana dan prasarana jalan dan jembatan dari dan

menuju tempat belajar (sekolah), atau karena tertatanya kawasan lingkungan

permukiman memungkinkan anak menjadi lebih rajin ke sekolah karena tersedia

fasilitas jalan lingkungan atau saluran drainase yang baik sehingga berpengaruh

terhadap semangat sekolah pada anak. Fasilitas lingkungan seperti jalan

lingkungan, penataan bangunan yang baik juga berpengaruh terhadap tingkat

kesejahteraan masyarakat dan keluarga karena dengan akses lingkungan yang baik

dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

Dinar Dwi Prasetyo (2019) mengatakan bahwa kondisi jalan yang lebih baik

mempersingkat waktu tempuh siswa dan guru perempuan untuk pergi dari rumah

ke sekolah dan sebaliknya. Kondisi jalan yang lebih baik dapat menghemat 30%-

50% waktu perjalanan mereka. Bukan hanya mengurangi risiko dalam perjalanan,

kemudahan akses menuju fasilitas pendidikan, dalam beberapa kasus, juga


9

mengurangi jumlah orang tua yang tidak mengizinkan anak perempuannya

bersekolah.

Berdasarkan data Susenas tahun 2017, di Kota Bandung terjadi peningkatan

Angka Partisipasi Sekolah (APS) pada kelompok umur 7-12 tahun dan berumur 13-

15 tahun bila dibandingkan dengan tahun 2016. Pada waktu yang sama, APS

penduduk berumur 16-18 tahun terjadi penurunan.

APS penduduk berumur 7-12 tahun pada tahun 2017 sebesar 99,82 persen atau

mengalami peningkatan 0,18 point dari tahun sebelumnya yang sebesar 99,64

persen. APS penduduk berumur 13-15 tahun sebesar 95,55 persen atau mengalami

peningkatan 1,61 point dari tahun sebelumnya (tahun 2016) yang sebesar 93,94

persen.

Jika dilihat perbandingan antara Kota Bandung dan Jawa Barat pada tahun

2017, maka APS penduduk di Kota Bandung lebih tinggi dibandingkan dengan nilai

capaian Jawa Barat pada semua kelompok umur. Di Kota Bandung, APS kelompok

umur 7-12 tahun sebesar 99,82 persen, sedangkan nilai capaian Jawa Barat sebesar

99,08 persen.

Sementara itu, pada APS kelompok umur 13-15 tahun di Kota Bandung sebesar

95,55 persen, sedangkan nilai capaian Jawa Barat sebesar 94,98 persen. Pada

kelompok umur 16-18 tahun, APS di Kota Bandung sebesar 75,42 persen,

sedangkan nilai capaian Jawa Barat sebesar 71,20 persen.

Data diatas menunjukan bahwa ada peningkatan APS di Kota Bandung seiring

dengan menurunkan angka luasan kumuh di Kota Bandung. Data yang sama

menunjukan bahwa pada tahun 2015 luas wilayah kumuh di Kota Bandung
10

mencapai 1.457 hektare. Setelah adanya intervensi program pada tahun 2017

menyisakan 1.242 hektare.

Walaupun tidak menunjukan pengaruh secara langsung terhadap partisipasi

sekolah, program KOTAKU setidaknya merupakan salah satu factor yang

mempengaruhi Angka Partisipasi Sekolah (APS) karena salah satu indikator dari

program KOTAKU yaitu melakukan perbaikan jalan lingkungan untuk

memperlancar akses masyarakat menuju fasilitas pendidikan, kesehatan dan tempat

kerja yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Beberapa studi tentang capaian pendidikan telah dilakukan di berbagai negara.

Glewwe dan Kremer (2005) meneliti tentang partisipasi sekolah di negara-negara

berkembang. Temuan yang penting dari studi mereka adalah bahwa partisipasi

sekolah sangat dipengaruhi oleh sisi permintaan, di antaranya kesejahteraan

keluarga. Anak dari keluarga miskin tidak dapat bersekolah karena orang tuanya

tidak mampu membiayai sekolah, terutama di negara-negara yang pengeluaran

pendidikannya sedikit, sehingga tidak mampu meringankan biaya pendidikan

siswa. Selain itu, tingkat pendidikan orang tua, harapan tingkat pengembalian pada

masa depan, dan jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap partisipasi pendidikan.

Sementara itu, Handa (1999) dalam studinya di Afrika menemukan bahwa

kebijakan pemerintah (untuk) memastikan bahwa orang tua berpendidikan dan

berpenghasilan memadai sangat memengaruhi partisipasi sekolah anak.

Selain pendidikan, salah satu aspek dari indikator kesejahteraan masyarakat

yaitu aspek kesehatan. Sama seperti halnya dengan pendidikan, program KOTAKU

juga tidak menyasar langsung terhadap indikator kesehatan. Tetapi didalam


11

penanganan masalah kumuh terdapat aspek kesehatan lingkungan yang ingin

dicapai juga oleh program KOTAKU. Salah satunya yaitu pembangunan jalan

lingkungan, perbaikan sanitasi (drainase dan persampahan) yaitu dapat mencegah

penyakit yang berkaitan dengan resiko kesehatan lingkungan. Perbaikan sarana

sanitasi berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) dapat

menurunkan angka kematian bayi yang disebabkan oleh factor kesehatan

lingkungan. WHO melaporkan bahwa penyebab utama kematian anak-anak berusia

satu bulan hingga lima tahun adalah diare, malaria dan pneumonia. Annette Pruss-

Ustun, ilmuwan di Departemen Kesehatan Publik dan Lingkungan Hidup WHO

mengatakan bahwa kematian bayi sangat dipengaruhi oleh polusi udara, air dan

sanitasi, yang tidak layak; tetapi juga akibat perantara yaitu nyamuk yang ada di

sekeliling rumah dan masyarakat. WHO melaporkan tindakan-tindakan termasuk

penyediaan air bersih dan sanitasi, pembatasan paparan bahan kimia berbahaya, dan

perbaiki manajemen limbah yang bisa mencegah banyak masalah lingkungan hidup

pemicu kematian. (https://www.voaindonesia.com/a/polusi-lingkungan-bunuh-

hampir-2-juta-balita-per-tahun/3751113.html).

Angka kematian bayi atau disebut sebagai Infant Mortality Rate (IMR) adalah

akumulasi jumlah kematian bayi lahir kurang dari satu tahun dibagi jumlah total

kelahiran pada tahun tertentu terjadi di suatu wilayah yang dapat disebabkan oleh

banyak faktor. Faktor diantaranya adalah lingkungan tempat tinggal orang tuanya,

tingkat pendidikan keluarga, keadaan sosial ekonomi keluarga, system nilai dan

adat istiadat, kebersihan dan kesehatan lingkungan serta pelayanan kesehatan yang

tersedia (Supraptini, 2006).


12

Berdasarkan pandangan tersebut, kematian bayi dapat terjadi salah satunya

disebabkan oleh kondisi tingkat kesehatan lingkungan dalam hal ini terkait

kesehatan lingkungan keluarga. Angka kematian bayi menjadi salah satu indikator

terpentig dalam menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan keluarga.

Lingkungan keluarga yang sehat, dapat berpengaruh langsung terhadap kesehatan

bayi yang ada di dalamnya. Mengingat kondisi bayi yang masih rentan dan masih

sensitif terhadap perubahan kondisi termasuk kualitas kesehatan lingkungan dalam

keluarga.

Di Kota Bandung pada tahun 2018, angka kematian bayi usia 0 s.d 59 bulan

sebanyak 144 kasus. Sementara pada tahun 2014 terdapat 98 kasus. Ada kenaikan

jumlah kematian bayi yaitu sebelum program KOTAKU pada tahun 2014 sebanyak

98 kasus, sementara pada saat program KOTAKU berjalan yaitu tahun 2018

terdapat 144 kasus (Data Profil Kesehatan Kota Bandung).

Fenomena ini berbanding terbalik dengan tujuan dari program KOTAKU yaitu

menurunkan luasan kumuh pada satu wilayah hingga 0 persen. Menurunkan tingkat

kekumuhan suatu wilayah seharusnya berdampak pada meningkatnya kualitas

kesehatan lingkungan di wilayah tersebut karena sudah dilakukan intervensi

program. Tetapi jika dilihat dari aspek kesehatan di kota Bandung dengan melihat

indikator angka kematian bayi cenderung naik. Hal ini yang kemudian harus diteliti

apakah program KOTAKU berpengaruh terhadap kesehatan (Angka Kematian

Bayi) di Kota Bandung, atau tidak berpengaruh sama sekali.

Berbeda dengan aspek pendidikan yang mengalami kenaikan jika ditinjau dari

indikator Angka Partisipasi Sekolah (APS). Data menunjukan adanya peningkatan


13

APS dari umur 13-15 tahun sebesar 95,55 persen pada tahun 2018 mengalami

peningkatan 1,61 point dari tahun sebelumnya (tahun 2016) yang hanya sebesar

93,94 persen.

Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut mengenai pengaruh

program KOTAKU terhadap tingkat pendidikan dan kesehatan di Kota Bandung

melalui penelitian uji beda yang akan menguji variabel-variabel penelitian antara

sebelum dan sesudah adanya program, yaitu membandingkan data dan kondisi

pendidikan dan kesehatan masyarakat di Kota Bandung sebelum adanya program

KOTAKU yaitu tahun 2014 dan setelah berjalannya kotaku yaitu tahun 2018.

1.2.Rumusan Masalah-Masalah

Masalah yang akan diteliti antara lain tentang pengaruh program KOTAKU

terhadap tingkat pendidikan dan kesehatan di Kota Bandung. Antara lain:

1. Apakah program KOTAKU berpengaruh terhadap tingkat pendidikan di Kota

Bandung.

2. Apakah program KOTAKU berpengaruh terhadap tingkat kesehatan di Kota

Bandung.

3. Apakah program KOTAKU berpengaruh terhadap tingkat pendidikan dan

kesehatan di Kota Bandung.

4. Adakah perbedaan kondisi tingkat pendididikan dan kesehatan di Kota Bandung

sebelum dan sesudah adanya program KOTAKU.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud
14

Maksud dari Penelitian ini antara lain untuk mengetahui sejauhmana

pengaruh program KOTAKU terhadap tingkat pendidikan dan kesehatan

masyarakat di Kota Bandung. Adakah perbedaan kondisi tingkat pendidikan dan

kesehatan di Kota Bandung sebelum dan sesudah adanya program KOTAKU.

1.3.2. Tujuan

Sementara tujuan nya antara lain untuk melihat perbedaan kondisi antara

sebelum dan sesudah adanya program KOTAKU terutama dari aspek pendidikan

dengan indikator Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan aspek kesehatan dengan

indikator dari Angka Kematian Bayi.

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1 Aspek teoritis (keilmuan)

Kegunaan penelitian ini antara lain sebagai referensi bagi para pemangku

kepentingan terutama pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian PUPR,

Pemerintah Kota Bandung serta para pelaku program KOTAKU tentang pengaruh

program KOTAKU terhadap tingkat pendidikan dan kesehatan di Kota Bandung.

Apakah ada perubahan yang signifikan ketika program KOTAKU di jalankan

dengan kondisi sebelum adanya program KOTAKU. Jika terjadi perubahan atas

kondisi pendidikan sebelum dan sesudah adanya program KOTAKU artinya

program KOTAKU berpengaruh besar terhadap tingkat pendidikan di Kota

Bandung terutama dilihat dari indikator partisipasi sekolah. Begitu pula dengan

aspek kesehatan, jika terjadi penurunan angka kematian bayi berarti program

KOTAKU berpengaruh besar bagi kondisi kesehatan di Kota Bandung. Tetapi jika

hasil penelitian penunjukan tidak adanya perubahan (negative) atau terjadi stagnasi,
15

artinya menjadi catatan penting bagi pemerintah dan pelaku program lebih

memaksimal pelaksanaan program KOTAKU sehingga berkontribusi terhadap

aspek pendidikan dan kesehatan di Kota Bandung.

1.4.2 Aspek Praktis (guna laksana)

Sementara aspek Praktis dari penelitian ini sebagai bahan masukan bagi

pemerintah pusat dan pemerintah Kota Bandung dalam melaksanakan program

KOTAKU agar pelaksanaan program selalu memperhatikan indikator keberhasilan.

Selanjutnya pelaksana program KOTAKU selalu memperhatikan rekomendasi dari

hasil penelitian yang akan dilaksanakan ini, sehingga keberhasilan program tidak

hanya selalu diukur dari aspek fisik saja tetapi aspek lain seperti pendidikan dan

kesehatan yang merupakan indikator kesejahteraan masyarakat juga harus di ukur.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) merupakan program

pembangunan dan pengembangan bagi peningkatan kualitas permukiman kumuh

secara nasional. Program ini dibentuk sebagai pendamping teknis untuk mencapai

sasaran RPJMN Tahun 2015-2019 yaitu pengentasan permukiman kumuh

perkotaan menjadi 0% atau 0 Ha melalui pencegahan dan peningkatan kualitas

permukiman kumuh seluas 38.431 Ha, serta meningkatkan akses terhadap

infrastruktur dan pelayanan dasar di kawasan kumuh perkotaan untuk mendukung

terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif dan berkelanjutan.

Direktorat Jenderal Cipta Karya menginisiasi program KOTAKU yang

dilaksanakan secara nasional di 271 Kota/Kabupaten di 34 Provinsi yang menjadi

“platform kolaborasi” atau basis penanganan permukiman kumuh yang

mengintegrasikan berbagai sumber daya dan sumber pendanaan, termasuk dari

pemerintah pusat, provinsi, Kota/Kabupaten, donor, swasta, masyarakat, dan

pemangku kepentingan lainnya. Program KOTAKU bermaksud untuk membangun

sistem yang terpadu untuk penanganan permukiman kumuh, dimana Pemerintah

Daerah memimpin dan berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan dalam

perencanaan maupun implementasinya, serta mengedepankan partisipasi

masyarakat.

16
17

Tujuan program adalah meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan

pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan untuk mendukung terwujudnya

permukiman perkotaan yang layak huni, produktif dan berkelanjutan. Tujuan

tersebut dicapai melalui :

1. Menurunnya luas permukiman kumuh;

2. Membentuk Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja

PKP) di tingkat Kota/Kabupaten dalam penanganan permukiman kumuh yang

berfungsi dengan baik;

3. Tersusunnya rencana penanganan permukiman kumuh tingkat Kota/Kabupaten

dan tingkat masyarakat yang terintegrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah (RPJMD);

4. Meningkatkan penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)

melalui penyediaan infrastruktur dan kegiatan peningkatan penghidupan

masyarakat untuk mendukung pencegahan dan peningkatan kualitas

permukiman kumuh; dan

5. Terlaksananya aturan bersama sebagai upaya perubahan perilaku hidup bersih

dan sehat masyarakat dan pencegahan kumuh.

Pencapaian tujuan program dan tujuan diukur dengan merumuskan

indikator kinerja keberhasilan dan target capaian program terhadap tercapainya

sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015- 2019

yaitu pengentasan permukiman kumuh perkotaan menjadi 0% atau 0 Ha. Kriteria

permukiman kumuh yang digunakan pada Program KOTAKU ini menggunakan 8

(delapan) indikator yang dirumuskan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya


18

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KEMENPUPR), yaitu

sarana dan prasarana yang mencakup : (1) Keteraturan Bangunan; (2) Jalan

Lingkungan; (3) Drainase Lingkungan; (4) Penyediaan Air Bersih/Minum; (5)

Pengelolaan Persampahan; (6) Pengelolaan Air Limbah; (7) Pengamanan

Kebakaran; dan (9) Ruang Terbuka Publik.

Pencapaian tujuan Program KOTAKU diukur melalui indikator Outcome

sebagai berikut :

1. Meningkatnya akses masyarakat terhadap infrastruktur dan pelayanan

perkotaan pada permukiman kumuh sesuai dengan kriteria permukiman kumuh

yang ditetapkan;

2. Menurunnya luasan permukiman kumuh karena akses infrastruktur dan

pelayanan perkotaan yang lebih baik;

3. Terbentuknya dan berfungsinya kelembagaan yaitu Pokja PKP di tingkat

Kota/Kabupaten untuk mendukung program KOTAKU;

4. Penerima manfaat puas dengan kualitas infrastruktur dan pelayanan perkotaan

di permukiman kumuh; dan

5. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat dengan mendorong penghidupan

berkelanjutan di wilayah kumuh.

2.1.1.1 Strategi Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

Strategi pendampingan Program KOTAKU meliputi kolaborasi antara

pemerintah, masyarakat dan SKPD terkait dalam penyusunan Rencana Peraturan

Daerah (RAPERDA) tentang pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman

kumuh, pendampingan penyusunan rencana pencegahan dan peningkatan kualitas


19

permukiman kumuh di perkotaan, keterpaduan penanganan permukiman kumuh di

perkotaan, penanganan kumuh berbasis masyarakat dengan revitalisasi Badan

Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan penanggulangan kemiskinan di perkotaan.

Peran BKM berorientasi pada penanggulangan kemiskinan dengan

mengembangkan serat mengoptimalkan sumber daya lokal dan bukan hanya

mengelola dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), menyusun Rencana

Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP), melaksanakan kegiatan pembangunan

infrastruktur sesuai delapan indikator kumuh yang berskala lingkungan, mengubah

kondisi sosial yang didukung oleh perubahan perilaku masyarakat untuk menjaga

kualitas permukiman yang berkelanjutan.

Strategi operasional dalam penyelenggaraan program adalah sebagai

berikut:

1. Menyelenggarakan penanganan permukiman kumuh melalui pencegahan

dan peningkatan kualitas permukiman kumuh;

2. Meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kelembagaan yang mampu

berkolaborasi dan membangun jejaring penanganan permukiman kumuh

mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat masyarakat;

3. Menerapkan perencanaan partisipatif dan penganggaran yang terintegrasi

dengan multi-sektor dan multi-aktor;

4. Memastikan rencana penanganan permukiman kumuh dimasukkan dalam

agenda RPJM Daerah dan perencanaan formal lainnya;


20

5. Memfasilitasi kolaborasi dalam pemanfaatan produk data dan rencana yang

sudah ada, termasuk dalam penyepakatan data dasar (baseline) permukiman

yang akan dijadikan acuan bersama dalam perencanaan dan pengendalian;

6. Meningkatkan akses terhadap pelayanan dasar lingkungan yang terpadu

dengan sistem kota;

7. Mengembangkan perekonomian lokal sebagai sarana peningkatan

penghidupan berkelanjutan;

8. Advokasi kepastian bermukim bagi masyarakat berpenghasilan rendah

kepada semua pelaku kunci; dan

9. Memfasilitasi perubahan sikap dan perilaku pemangku kepentingan dalam

menjaga lingkungan permukiman agar layak huni dan berkelanjutan.

2.1.1.2 Prinsip Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

Prinsip dasar yang diterapkan dalam pelaksanaan Program KOTAKU adalah:

1. Pemerintah daerah sebagai nakhoda pemerintah daerah dan pemerintah

kelurahan/desa memimpin kegiatan penanganan permukiman kumuh

secara kolaboratif dengan berbagai pemangku kepentingan baik sektor

maupun aktor di tingkatan pemerintahan serta melibatkan masyarakat

dan kelompok peduli lainnya.

2. Perencanaan komprehensif dan berorientasi outcome. Penataan

permukiman diselenggarakan dengan pola pikir yang komprehensif dan

berorientasi pencapaian tujuan terciptanya permukiman layak huni

sesuai visi Kota/Kabupaten yang berkontribusi pada pencapaian target


21

nasional yaitu mencapai 0 ha permukiman kumuh pada 5 tahun

mendatang (2019).

3. Sinkronisasi perencanaan dan penganggaran rencana penanganan

permukiman kumuh merupakan produk Pemerintah Daerah sehingga

mengacu pada visi Kota/Kabupaten dalam RPJMD. Rencana

penanganan permukiman kumuh terintegrasi dengan perencanaan

pembangunan ditingkat Kota/Kabupaten dimana proses

penyelenggaraan disesuaikan dengan siklus perencanaan dan

penganggaran. Rencana penanganan permukiman kumuh di tingkat

Kota/Kabupaten mengakomodasi rencana di tingkat masyarakat, yang

diikuti dengan integrasi penganggaran mulai dari Pemerintah Provinsi,

Pemkab/ Pemkot hingga pemerintah desa dan kecamatan.

4. Partisipatif

Pembangunan partisipatif dengan memadukan perencanaan dari atas

(top-down) dan dari bawah (bottom-up) sehingga perencanaan di tingkat

masyarakat akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

perencanaan yang lebih makro/tingkat kota.

5. Kreatif dan Inovatif. Prinsip kreatif dalam penanganan permukiman

kumuh adalah upaya untuk selalu mengembangkan ide-ide dan cara-

cara baru dalam melihat masalah dan peluang yang sangat dibutuhkan

dalam penanganan permukiman kumuh untuk mewujudkan

kesejahteraan bersama dan menciptakan lingkungan permukiman yang

layak huni.
22

6. Pengelolaan lingkungan dan sosial yang menjamin keberlanjutan

program investasi KOTAKU harus memuat prinsip pembangunan yang

berkelanjutan, sehingga dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya

perlu diterapkan prinsip dan prosedur tertentu yang mengacu pada

kerangka kerja pengelolaan lingkungan dan sosial program KOTAKU.

7. Tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance).

Prinsip ini menjadikan kegiatan penanganan permukiman kumuh

sebagai pemicu dan pemacu untuk membangun kapasitas pemerintah

daerah pemerintah desa/kelurahan dan masyarakat, agar mampu

melaksanakan dan mengelola pembangunan wilayahnya secara mandiri,

dengan menerapkan tata kelola yang baik (good governance).

8. Investasi penanganan permukiman kumuh disamping harus mendukung

perkembangan kota juga harus mampu meningkatkan kapasitas dan

daya dukung lingkungan.

9. Revitalisasi peran BKM. Penajaman peran BKM dari orientasi

penanggulangan kemiskinan kepada orientasi pencegahan dan

peningkatan kualitas permukiman kumuh.

2.1.1.3 Struktur Organisasi Program KOTAKU

Program KOTAKU sebagai program nasional terdiri dari 5 (lima) tingkat

organisasi yaitu tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kota/kabupaten, tingkat

kecamatan dan tingkat kelurahan/desa. Seluruh tingkat organisasi memiliki tugas

dan tanggung jawabnya masing-masing serta saling berkaitan satu sama lain.
2.1.4 Struktur Organisasi Program KOTAKU 23
Program KOTAKU sebagai program nasional terdiri dari 5 (lima) tingkat
organisasi yaitu tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kota/kabupaten, tingkat
kecamatan dan tingkat kelurahan/desa. Seluruh tingkat organisasi memiliki tugas
Berikut ini
dan tanggung merupakan
jawabnya struktur organisasi
masing-masing sertaProgram KOTAKU.satu sama lain.
saling berkaitan
Berikut ini merupakan struktur organisasi Program KOTAKU.
GARIS KOLABORASI
GARIS PELAKSANAAN GARIS DUKUNGAN PROGRAM
DAN KOORDINASI

Tim Pengarah Pokja PKP


Nasional

Kementerian PUPR

Direktorat Jenderal
Tingkat Cipta Karya
Pokja PKP
Pusat Nasional
Dit. PKP

CCMU PMU
Tim Advisory Tim Evaluasi

Satker/PPK Pusat
KMP/NMC OSP CB

Gubernur
Tingkat
Satker/PPK Provinsi KMW & KMT
Provinsi Pokja PKP Provinsi

Bupati/Walikota
Tingkat
Satker/PPK Kab/Kota Tim Korkot
Kab/Kota Pokja PKP Kab/Kota

Tingkat Camat
Kecamatan Tim Fasilitator

Lurah/Kades BKM/LKM Relawan


Tingkat
Kel/Desa Relawan Garis Pengendalian
Tim UP yang Dikontrak Teknik
KSM Garis Koordinasi
Masyarakat

Gambar 2.1 StrukturGambar


Organisasi
2.1 Program Kotaku
Sumber:Struktur
Handbook Profil Program
Organisasi ProgramKOTAKU,
KOTAKU.2016
Sumber : Handbook Profil Program KOTAKU, 2016.
Pada tingkat pusat, penanggung jawab dan penyelenggara program adalah
Pada tingkat pusat, penanggung jawab dan penyelenggara program
Kementerian PekerjaanPekerjaan
adalah Kementerian Umum dan Perumahan
Umum Rakyat (KemenPUPR)
dan Perumahan melalui
Rakyat (KemenPUPR)
melalui Direktorat
Direktorat Jenderal
Jenderal Cipta Cipta
Karya. Karya. kemenPUPR
kemenPUPR menugaskan
menugaskan Project project
Manajemen
Manajemen Unit (PMU) yang bertanggung jawab atas keseluruhan koordinasi,
Unit (PMU) yang bertanggung jawab atas keseluruhan koordinasi, pengelolaan,
pengelolaan, administrasi keuangan, pengendalian dan pelaporan proyek. Dalam
administrasi
pengelolaankeuangan, pengendalian
proyek, PMU dan pelaporan
dibantu oleh proyek.
Satuan Kerja Dalam pengelolaan
(satker)/Pejabat Pembuat
Keputusan (PPK) pusat dan bekerja sama dengan Satuan Kerja (satker)/Pejabat
proyek, PMU dibantu oleh Satuan Kerja (satker)/Pejabat Pembuat Keputusan
Pembuat Keputusan (PPK) yang berada di tingkat provinsi dan kota.
(PPK) pusat dan bekerja
Di tingkat sama dengan
pusat, provinsi Satuan
dan kota, Kerja Kelompok
dibentuk (satker)/Pejabat Pembuat
Kerja Perumahan
dan Kawasan
Keputusan (PPK)Permukiman
yang berada (Pokja PKP)
di tingkat sebagai
provinsi dan fasilitas
kota. pendorong kolaborasi
24

Di tingkat pusat, provinsi dan kota, dibentuk Kelompok Kerja Perumahan

dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP) sebagai fasilitas pendorong kolaborasi dan

koordinasi untuk memastikan berjalannya sinkronisasi kebijakan vertikal dan

horizontal lintas sektor/lembaga dan kolaborasi yang efektif antar pemangku

kepentingan, seperti pemerintah, swasta, masyarakat, LSM dan lainnya. Pokja PKP

tingkat pusat diketuai oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional

(PPN)/BAPPENAS. Pokja PKP pusat dilengkapi dengan Central Collaboration

Management Unit (CCMU) untuk mendukung pelaksanaan tugasnya. Struktur

serupa berlaku bagi Pokja PKP di tingkat provinsi Pokja PKP Kota/Kabupaten

dibentuk berdasarkan SK Bupati/Walikota yang diketuai oleh Badan Perencanaan

dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dan beranggotakan berbagai unsur

Pemerintah Kota.Kabupaten meliputi Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang,

Dinas/Badan Pengelola Lingkungan Hidup, Badan Penanggulangan Bencana

Daerah (BPPD), Dinas Sosial dan lainnya; masyarakat meliputi Badan

Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM);

City Changer; Perguruan Tinggi; dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Pada tingkat Kelurahan/Desa, pelaksana utama program adalah

Lurah/Kades dan perangkatnya, BKM/LKM dan perangkatnya, Tim Inti

Perencanaan Partisipatif (TIPP), Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)

permukiman, Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP) dan relawan. TIPP

dibentuk oleh masyarakat dan terdiri dari aparat kecamatan, kelurahan/desa,

BKM/LKM, relawan, kelompok masyarakat termasuk kelompok perempuan.

Relawan adalah pelopor penggerak dari masyarakat yang ingin ikut serta dan
25

mengabdi tanpa rasa pamrih yang memiliki kepedulian dan komitmen kuat dalam

mewujudkan program. Sedangkan relawan teknik, merupakan para relawan yang

memiliki keahlian khusus di bidang Prasarana, Sarana Dan Utilitas (PSU) untuk

memastikan kualitas PSU yang dibangun oleh KSM sesuai dengan Standar

Pelayanan Minimal (SPM) bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR).

2.1.1.4 Tahapan Penyelenggaraan Program KOTAKU

Tahapan Program KOTAKU seluruhnya merupakan wadah kolaborasi

antara Pemerintah Kota/Kabupaten dengan masyarakat dan pihak terkait. Tahapan

penyelenggaraan program terdiri dari persiapan, perencanaan, pelaksanaan dan 18


keberlanjutan.

Gambar 2.2 Diagram Alir Penyelenggaraan


Gambar 2.2 Program KOTAKU
Sumber:
DiagramHandbook Profil ProgramProgram
Alir Penyelenggaraan KOTAKU, 2016
KOTAKU.
Dilihat dari Sumber
sisi pelaku, seluruh tahapan penyelenggaraan
: Handbook Profil Program KOTAKU, 2016. Program

KOTAKU terdiri
Dilihat daridari
sisi 5 pelaku,
(lima) tingkatan pelaku, yaitu
seluruh tahapan Pemerintah Pusat,
penyelenggaraan Program
KOTAKU terdiri
Pemerintah dari 5Pemerintah
Provinsi, (lima) tingkatan pelaku, yaituKecamatan,
Kota/Kabupaten, Pemerintah Pusat, Pemerintah
Kelurahan/Desa,
Provinsi, Pemerintah Kota/Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan/Desa, dan
dan Masyarakat /Komunitas.
Masyarakat/Komunitas.
A. Tahap Persiapan
Tahap persiapan merupakan langkah awal dari seluruh kegiatan
kolaborasi, dengan menyelaraskan visi misi yang harus dicapai dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun. Tahapan persiapan di tingkat Kota/Kabupaten meliputi :
Tabel 2.1
Matriks Penyelenggaraan Program Kotaku Tahap Persiapan
26

A. Tahap Persiapan

Tahap persiapan merupakan langkah awal dari seluruh kegiatan kolaborasi,

dengan menyelaraskan visi misi yang harus dicapai dalam jangka waktu 5 (lima)

tahun. Tahapan persiapan di tingkat Kota/Kabupaten meliputi :

Tabel 2.1 Matriks Penyelenggaraan Program KOTAKU Tahap Persiapan


Tingkatan Persiapan

• Lokakarya orientasi tingkat Kecamatan;


• Penguatan kelembagaan dan kapasitas di tingkat
Kecamatan
Kecamatan; dan
• Konsolidasi data tingkat Kecamatan.

• Lokakarya orientasi tingkat Kelurahan/Desa;


• Penguatan kelembagaan dan kapasitas tingkat
Kelurahan/Desa;
• Pendampingan revitalisasi BKM untuk penajaman
Kelurahan/Desa
orientasi pada
• pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman
kumuh; dan
• Konsolidasi data tingkat Kelurahan/Desa.

• Pengumpulan kelembagaan dan kapasitas pada


masyarakat; dan
Masyarakat
• Pengumpulan data primer dengan melakukan
pemetaan swadaya.

Sumber: Handbook Profil Program KOTAKU, 2016.

B. Tahap Perencanaan

Tahapan perencanaan merupakan sebuah kunci dalam pemecahan masalah

bersama dalam penanganan permukiman kumuh melalui penyusunan rencana-

rencana penanganan dan pencegahan kumuh. Data dan informasi yang digunakan

bersumber dari hasil konsolidasi data dari setiap pemangku kepentingan. Pada

tahapan ini, akan dihasilkan dokumen rencana baik dari revisi Rencana Pencegahan
27

dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan (RP2KPKP), membuat

dokumen rencana baru seperti Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP)

atau Rencana Tidak Penataan Lingkungan Permukiman (RTPLP). Tahapan

perencanaan meliputi :

Tabel 2.2 Matriks Penyelenggaraan Program KOTAKU Tahap


Perencanaan

Tingkatan Perencanaan

• Menyiapkan dukungan teknis;


• Penguatan kapasitas kelembagaan; dan
Kecamatan
• Mendukung proses perencanaan tingkat
Kelurahan/Desa.

• Penyusunan RPLP/RTPLP dan Detail


Engineering Design (DED);
• Penyusunan aturan bersama (AB) dan Rencana
Kelurahan/Desa Organisasi
• Pengelola Pemanfaat dan Pemelihara (O&P); dan
• Penguatan kelembagaan dan kapasitas pada
masyarakat.

• Penyusunan Proposal Kegiatan; dan • Penguatan


Masyarakat
kapasitas masyarakat.

Sumber: Handbook Profil Program KOTAKU, 2016.

C. Tahap Pelaksanaan dan Keberlanjutan

Tahap pelaksanaan pada kegiatan sosial-ekonomi-fisik dilakukan sesuai

dengan perencanaan yang disusun dalam dokumen rencana permukiman kumuh

Kota/Kabupaten yaitu Rencana Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman

Kumuh Perkotaan (RP2KPKP), dan rencana tingkat Kelurahan/Desa yaitu Rencana

Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP) atau Rencana Tidak Penataan

Lingkungan Permukiman (RTPLP). Kegiatan yang dilaksanakan merupakan


28

kegiatan yang tertera di rencana tahunan dan merupakan kegiatan prioritas

penanganan baik dalam skala kota maupun skala lingkungan yang sudah di

koordinasikan sebelumnya.

Tahap keberlanjutan merupakan tahap dimana pelaksanaan di lapangan

telah dilakukan. Dalam tahapan ini diperlukan tahapan monitoring dan evaluasi,

yang seharusnya diupayakan sejak tahap persiapan, tahap perencanaan dan tahap

pelaksanaan.

Tabel 2.3 Matriks Penyelenggaraan Program KOTAKU Tahap


Pelaksanaan dan Keberlanjutan

Tingkatan Pelaksanaan Keberlanjutan

Kecamatan • Koordinasi • Penguatan kapasitas kelembagaan


pelaksanaan; tingkat Kecamatan; dan
• Pengawasan program; • Menyiapkan proses integrasi
dan Penguatan perencanaan ke dalam Musrenbang
kapasitas Kecamatan.
Kelurahan/Desa • Pelaksana kegiatan inti • Penerapan aturan bersama (AB)
program; pencegahan kumuh dan O&P; dan
• Penguatan kapasitas; • Penguatan kapasitas kelembagaan
dan tingkat Kelurahan/Desa.
• Koordinasi program
prioritas dan
penganggaran.
Masyarakat • Pelaksanaan • Penerapan aturan bersama (AB)
pembangunan pencegahan kumuh dan O&P; dan
infrastruktur; dan • Penguatan kapasitas kelembagaan
• Penguatan kapasitas. dan masyarakat.
Sumber: Handbook Profil Program KOTAKU, 2016.
2.1.1.5 Pengertian Permukiman

Permukiman berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya

adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya permukiman.

Permukiman memberi pengertian mengenai pemukim atau kumpulan pemukim

beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga permukiman


29

menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu

manusia (human).

Permukiman adalah suatu bagian dari lingkup wilayah perkotaan yang tidak

dapat dipisahkan. Perbedaan jenis permukiman di daerah perkotaan dengan

permukiman yang terdapat di daerah pedesaan pertama terlihat pada ukuran dimana

sebelum permukiman tersebut belum mencapai ukuran tertentu, maka permukiman

itu belum dikatakan kota (Sandy, 1977).

Definisi Permukiman berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 4 tahun 1982 tentang Perumahan dan Permukiman, permukiman adalah

bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan

perkotaan maupun pedesan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau

lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan

penghidupan.

Koestoer, 2001 mengkategorikan permukiman yaitu sebagai berikut:

1. Permukiman teratur, yaitu permukiman yang dibangun secara berencana,

dengan bangunan dan jaringan jalan yang berkualitas baik.

2. Permukiman tidak teratur, yaitu permukiman yang dibangun secara tidak

berencana, bangunan dan jaringan jalannya pun bervariasi, ada yang berkualitas

baik, sedang, ataupun kurang baik.

2.1.1.6 Pengertian Kumuh

Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah

laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah.

Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan
30

golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan.

Gambaran seperti itu diungkapkan oleh Herbert J. Gans dengan kalimat:

”Obsolescence per se is not harmful and designation of an area as a slum for the

reason alone is merely a reflection of middle clas standards and middle alas

incomes” (Clinard, 1966). Kumuh dapat ditempatkan sebagai sebab dan dapat pula

ditempatkan sebagai akibat. Ditempatkan dimanapun juga, kata kumuh tetap

menjurus pada sesuatu hal yang bersifat negatif. Pemahaman kumuh dapat ditinjau

dari:

a. Sebab Kumuh

Kumuh adalah kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup dilihat dari: (1) segi

fisik, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam seperti air dan udara,

(2) segi masyarakat / sosial, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri

seperti kepadatan lalulintas, sampah.

b. Akibat Kumuh

Kumuh adalah akibat perkembangan dari gejala-gejala antara lain: (1) kondisi

perumahan yang buruk, (2) penduduk yang terlalu padat, (3) fasilitas lingkungan

yang kurang memadai, (4) tingkah laku menyimpang, (5) budaya kumuh, (6) apati

dan isolasi.

2.1.1.7 Permukiman Kumuh

Permukiman kumuh didefinisikan sebagai lingkungan permukiman yang

berpenghuni padat (melebihi 500 jiwa/hektar), kondisi sosial ekonomi rendah,

jumlah rumah yang sangat padat dan ukurannya di bawah standar, prasarana

lingkungan hampir tidak ada atau tidak memenuhi persyaratan teknis dan
31

kesehatan, dibangun di atas tanah Negara atau tanah milik orang lain, dan di luar

peraturan perundang- undangan. Lingkungan permukiman akan terjadi proses

kekumuhan apabila penduduk berpenghasilan rendah menempati daerah yang serba

terbatas: tanah, fasilitas, sarana prasarana dan sebagainya, sehingga kondisi

lingkungan menjadi padat dan kurang kemampuan untuk memperbaiki diri sendiri

dan lingkungannya (Wiyono dalam Komarudin, 1996).

Gambaran lingkungan permukiman kumuh (lingkungan buruk menurut

Bianpoen, 1991) adalah lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau

tempat huniannya berdesakan, luas rumah tidak sebanding dengan jumlah

penghuni, rumah berfungsi sekedar tempat istirahat dan melindungi diri dari panas,

dingin dan hujan, lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur, bangunan

sementara, tanpa perencanaan, prasarana kurang (MCK, air bersih, saluran

buangan, listrik, gang lingkungan jorok dan menjadi sarang penyakit), fasilitas

sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan), mata pencaharian

penghuni tidak tetap dan usaha non-formal, tanah bukan milik penghuni,

pendidikan rendah, penghuni sering tidak tercatat sebagai warga setempat, rawan

kebakaran, banjir dan rawan terhadap timbulnya penyakit.

Sedangkan menurut BPS kawasan permukiman kumuh adalah lingkungan

hunian dan usaha yang ditandai dengan banyaknya rumah yang tidak layak huni,

banyak saluran pembuangan limbah yang macet, penduduk/bangunan yang sangat

padat, banyak penduduk buang air besar tidak di jamban, dan biasanya berada di

area marjinal. Rumah yang tidak layak huni tersebut adalah rumah yang terbuat dari

bahan bekas yang tidak cocok untuk bertempat tinggal atau terletak pada areal yang
32

diperuntukkan bukan untuk permukiman. Sedangkan area marjinal biasanya

terletak di bantaran sungai, pinggir rel kereta api, di bawah jaringan listrik tegangan

tinggi.

Lingkungan permukiman kumuh digambarkan sebagai bagian yang

terabaikan dari lingkungan perkotaan dimana kondisi kehidupan dan penghidupan

masyarakatnya sangat memprihatinkan, yang diantaranya ditunjukkan dengan

kondisi lingkungan hunian yang tidak layak huni, tingkat kepadatan penduduk yang

tinggi, sarana dan prasarana lingkungan yang tidak memenuhi syarat, tidak

tersedianya fasilitas pendidikan, kesehatan maupun sarana dan prasarana sosial

budaya kemasyarakatan yang memadai (World Bank, 1999).

Orang yang bersedia tinggal di daerah permukiman kumuh pada umumnya

karena keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan, karena mereka kebanyakan

bekerja sebagai buruh harian, nelayan, pegawai golongan rendah di instansi

pemerintah, pedagang tidak menetap, dan sebagainya. Mula-mula jumlah mereka

tidak banyak tetapi karena pesatnya pertambahan penduduk dengan latar belakang

tingkat sosial ekonomi yang kurang menguntungkan di satu pihak dan sulit

mendapatkan lahan dan rumah menurut tingkat kemampuan ekonomi di pihak lain,

akibatnya mereka membeli atau menyewa lahan dan rumah di daerah berawa dan

di tepi pantai yang harganya relatif lebih murah dari rumah dann lahan di daerah

tidak berawa. Ciri utama yang dikaitkan dengan permukiman kumuh ini adalah:

1. Kenyamanan tempat tinggal sangat kurang.

2. Nilai ekonomi tempat hunian rendah.

3. Permukiman mengandung resiko tinggi dari sudut bahaya kebakaran dan


33

menyangkut penyakit menular.

Sementara itu, ciri-ciri pemukiman kumuh seperti yang diungkapkan oleh

Suparlan (1991) adalah sebagai berikut:

1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.

2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruanganya

mencerminkan penghuni yang kurang mampu atau miskin.

3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan

ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya

kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.

4. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara

tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud

sebagai:

1. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu

dapat digolongkan sebagai hunian liar.

2. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau

sebuah RW.

3. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau

RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian

liar.

5. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen,

warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang

beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman


34

kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan

ekonomi mereka yang berbeda- beda tersebut.

6. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja

di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor

informal.

2.1.1.8 Kawasan Kumuh

Kawasan kumuh adalah kawasan di mana rumah dan kondisi hunian

masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun prasarana dan sarana

yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan,

kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi

maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan

fasilitas sosial lainnya (Budihardjo, 1984; Budihardjo, 1997; Kurniasih, 2007).

Kawasan kumuh seperti yang diungkapkan menurut Suparlan, 2004, adalah:

Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.

a. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruang-ruanganya

mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.

b. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan

ruang- ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya

kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.

c. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan- satuan komunititas yang hidup

secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu

terwujud Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT


35

atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian

liar.

d. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen,

warganya mempunyai pekerjaan dan tingkat kepadatan yang beranekaragam,

begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman kumuh juga dikenal

adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang

berbeda-beda tersebut.

e. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di

sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di Sektor

informal. Perumahan tidak layak huni adalah kondisi dimana rumah beserta

lingkungannya tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal

baik secara fisik, kesehatan maupun sosial (Kurniasih, 2007), dengan kriteria

antara lain:

a) Luas lantai perkapita, di Kota kurang dari 4 m2 sedangkan di desa kurang

dari 10 m2.

b) Jenis atap rumah terbuat dari daun dan lainnya.

c) Jenis dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang belum diproses.

d) Jenis lantai tanah.

e) Tidak mempunyai fasilitas tempat untuk Mandi, Cuci, Kakus (MCK).

2.1.1.9 Tipologi Permukiman Kumuh

Tipologi permukiman kumuh dapat dibedakan dalam dua tipe, yaitu squater

area dan slum area. Pembedaan kedua tipe permukiman kumuh tersebut
36

berdasarkan pada kondisi fisik dan kondisi geografis yang tidak memadai, serta

status kepemilikan yang tidak jelas.

2.1.8.1 Squater Area

Squater Area merupakan permukiman yang dibangun di suatu kawasan atau

daerah permukiman atau tempat-tempat terlarang dan bersifat ilegal atau liar.

Permukiman kumuh yang termasuk tipe squater area mempunyai kondisi fisik,

geografis dan status berikut:

a. Kondisi fisik squater area antara lain:

• Permukiman tidak layak menurut peruntukan ruang

• Permukiman yang padat penduduknya

• Permukiman dengan prasarana sanitasi tidak berfungsi baik

• Permukiman yang belum tersentuh oleh program peremajaan kota atau

program perbaikan kampung

• Permukiman dengan tata letak tidak teratur

• Permukiman yang kondisi fisik bangunannya buruk

b. Kondisi geografis squater area, antara lain:

• Permukiman kumuh yang berlokasi di kawasan bantaran sungai atau area

selebar 15 meter di kiri dan kanan sungai. Kawasan bantaran sungai dilarang

untuk didirikan bangunan atau sebagai lokasi permukiman, karena daerah

kawasan rawan banjir. Penduduk pada permukiman di bantaran sungai

biasanya membuang sampah rumah tangga ke sungai, sehingga

menyababkan polusi air sungai.


37

• Permukiman kumuh yang berlokasi di pinggiran rel kereta api, di bawah

jaringan listrik tegangan tinggi, di daerah jalur hijau, di tempat fasilitas

umum, baik yang sudah terbangun maupun belum terbangun.

c. Status permukiman kumuh yang termasuk squater area biasanya menempati

daerah yang dilarang atau ilegal, sehingga tidak ada status kepemilikan rumah.

Contoh permukiman yang menempati tanah atau lahan milik negara atau badan-

badan usaha lain baik pemerintah maupun swasta yang belum dibangun atau

lahannya masih kosong.

Penyebab terjadinya squater area diantaranya:

• Faktor sosial ekonomi yang kurang menguntungkan.

• Kesempatan kerja/pengangguran.

• Perbedaan antara khayalan dan kenyataan kaum pendatang dan ada

keengganan kembali ke desa karena “malu”.

• Pertambahan penduduk yang tidak seimbang dengan sarana ruang yang

tersedia.

• Tenaga kerja tanpa keterampilan dan pengetahuan atau Pendidikan kurang

memadai.

2.1.8.2 Slum Area

Slum Area merupakan permukiman kumuh dalam kaitannya dengan

masalah permukiman perkotaan. Apabila dilihat dari kondisi fisik lingkungan tidak

memadai, sedangkan kondisi geografisnya layak untuk dihuni. Slum area bersifat

legal atau secara hukum diakui kepemilikannya. Karakteristik/ciri permukiman


38

kumuh yang termasuk tipe slum area menurut Bintarto dalam pengelolaan

persampahan di daerah kumuh adalah sebagai berikut:

a. Daerah permukiman dengan lingkungan yang tidak sehat.

b. Daerah permukiman yang dihuni oleh warga kota yang gagal dalam bidang

ekonomi.

c. Daerah permukiman yang masyarakatnya mempunyai kebiasaan negatif

d. Daerah permukiman yang masyakatnya mempunyai emosi tidak stabil

2.1.8.3 Timbulnya Permukiman Kumuh

Sujarto dalam Kuswartojo, 2005 mengatakan bahwa munculnya kawasan

kumuh berawal dari tingginya urbanisasi semu yang mengakibatkan tingginya

pertumbuhan penduduk perkotaan dalam satu Kawasan di negara berkembang

seperti Indonesia. Urbanisasi semu (Pseudo Urbanization) dapat diartikan sebagai

fenomena migrasi dari desa ke kota tanpa adanya persiapan, hal ini ditandai dengan

terjadinya berbagai masalah seperti kemiskinan perkotaan, membengkaknya sector

informal. Berbeda dengan fenomena yang terjadi di negara maju, migrasi dari desa

ke kota dilakukan dengan persiapan untuk menunjang kebutuhan diperkotaan,

sehingga tidak menimbulkan permasalahan kemiskinan di perkotaan maupun

permasalahan lainnya yang disebabkan urbanisasi. Sebaliknya fenomena urbanisasi

ini berkontribusi untuk keberlangsungan suatu kawasan perkotaan. Hal ini

dikaitkan dengan kenyataan bahwa di negara-negara maju perpindahan penduduk

dari desa ke kota telah dijamin oleh tersedianya lapangan pekerjaan non pertanian

di kota-kota, tetapi umumnya di negara sedang berkembang pekerjaan non

pertanian di kota tidak terjamin.


39

Secara umum timbulnya permukiman kumuh (dalam suatu kota) adalah

akibat pergeseran peruntukan penggunaan tanah dan bangunan dalam kota

bersangkutan (Reksodiputro, 1990). Karena pertumbuhan ekonomi (industri dan

perdagangan) yang pesat, maka daerah industri dan perdagangan ini (daerah bisnis)

bergerak secara lambat menyerbu daerah permukiman. Penghuni daerah

permukiman yang cukup penghasilannya akan pindah ke daerah yang dianggapnya

lebih nyaman sebagai permukiman barunya. Mereka yang tidak cukup

penghasilannya terpaksa tetap tinggal di daerah semula, bercampur dengan kegiatan

bisnis yang secara agresif mengembangkan sayapnya. Daerah permukiman yang

terkena dampak ini, nilai ekonominya sebagai daerah kumuh akan menurun. Para

pemilik rumah tinggal yang tidak menghuninya sendiri, tetapi menyewakan

miliknya, terpaksa menurunkan harga sewanya agar masih dapat menarik penyewa.

Turunnya nilai sewa, kurang nyamannya daerah permukiman dan peraturan kota

yang belum memungkinkan daerah tersebut berubah peruntukannya menjadi daerah

bisnis (industri dan perdagangan), mengakibatkan berkurangnya insentif para

pemilik rumah/pemberi sewa untuk merawat miliknya. Akibatnya semakin

menurunnya nilai sewa perumahan tersebut menyebabkan semakin tinggi minat

golongan masyarakat berpengahasilan rendah untuk menghuni daerah permukiman

tersebut. Lebih lanjut, kurangnya pengawasan dari petugas pemerintahan kota dan

keinginan pemberi sewa untuk meningkatkan hasil sewanya, maka terjadilah

keadaan yang memungkinkan penambahan penyewa untuk suatu bangunan rumah,

dengan merubah bangunan secara “tambal sulam”. Kepadatan penghuni rumah-


40

rumah (overcrowding) dan terlantarnya lingkungan (bangunan dan sarana)

menghasilkan permukiman yang kumuh.

Kualitas lingkungan juga merupakan salah satu faktor penting dalam

permukiman, karena kualitas lingkungan dapat menentukan kelas dari permukiman,

semakin rendah tingkat kualitas lingkungan maka akan semakin rendah pula

kualitas permukiman, sebaliknya semakin tinggi tingkat kualitas lingkungan maka

semakin tinggi pula kualitas permukimannya. Kualitas permukiman secara garis

besar dapat digolongkan menjadi 3 kelas, sesuai dengan golongan penghuninya,

yaitu (1) permukiman mewah untuk golongan masyarakat berpengahsilan tinggi,

(2) permukiman menengah untuk golongan masyarakat menengah, (3) permukiman

sederhana untuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Dari ketiga kelas

permukiman tersebut, yang cenderung berpotensi menjadi permukiman kumuh

adalah permukiman sederhana (Widyastuti, 2003).

Umumnya permukiman kumuh tumbuh pada daerah yang dibagi menjadi

dua golongan besar, yaitu:

1. Pada lahan yang ada peruntukan bangunannya, dengan Koefisien Dasar

Bangunan (KDB) lebih besar dari 0%, atau pada daerah yang boleh didirikan

bangunan. Lokasi tersebut antara lain pada tanah-tanah kosong milik Negara

atau swasta yang belum sempat dikembangkan (di atas tanah bukan milik), dan

umumnya di pusat kota.

2. Pada lahan kosong yang tidak ada peruntukkan bangunan (tidak boleh ada

bangunan), KDB = 0%, antara lain untuk jalur pengaman atau penghijauan.

Lokasi tersebut antara lain di pinggir rel kereta api, di bantaran sungai, di bawah
41

jalur tegangan tinggi, dipinggir jalan tol, di jalur hijau dan di bawah jembatan.

Umumnya yang tinggal di permukiman ini bukan warga kota. Mereka hanya

mencari nafkah di kota, dan termasuk golongan masyarakat tertinggal. Dengan

pertumbuhan penduduk yang tidak sesuai dengan penyediaan fasilitas umum

dan fasilitas sosial, maka akan melampaui daya dukung lingkungan, karena

fasilitas lingkungan hanya disediakan berdasarkan jumlah penduduk formal.

Dalam hal ini hunian penduduk yang tumbuh tidak terencana termasuk bukan

penduduk tetap, di luar perhitungan penyediaan fasilitas yang ada, maka

kualitas lingkungan cenderung akan merosot dan kumuh.

Penyebab adanya kawasan kumuh atau peningkatan jumlah kawasan kumuh

yang ada di Kota menurut Suparlan, 2004, adalah:

a) Faktor ekonomi atau kemiskinan mendorong bagi pendatang untuk

mendapatkan kehidupan yang lebih baik di kota-kota. Dengan keterbatasan

pengetahuan, ketrampilan, dan modal, maupun adanya persaingan yang sangat

ketat diantara sesama pendatang maka pendatang-pendatang tersebut hanya

dapat tinggal dan membangun rumah dengan kondisi yang sangat minim di

kota-kota. Di sisi lain pertambahan jumlah pendatang yang sangat banyak

mengakibatkan pemerintah tidak mampu menyediakan hunian yang layak.

b) Faktor bencana dapat pula menjadi salah satu pendorong perluasan kawasan

kumuh. Adanya bencana, baik bencana alam seperti misalnya banjir, gempa,

gunung meletus, longsor maupun bencana akibat perang atau pertikaian antar

suku juga menjadi penyebab jumlah rumah kumuh meningkat dengan cepat.
42

2.1.1.9 Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatasi Permukiman Kumuh

Program pemerintah dalam penanganan permukiman kumuh telah dimulai sejak

tahun 1969 melalui Program Perbaikan Kampung (Kampoeng Improvement

Programme/KIP) dan berakhir tahun 1989. Kemudian dilanjutkan dengan

Pembangunan Perumahan Berbasis pada Kelompok (P2BPK) sepanjang periode

1989-2000. Pada saat bersamaan juga dilaksanakan KIP Komprehensif (1998-

2002) yang telah mengadopsi aspek modal manusia dan modal sosial. Program

sejenis juga dilaksanakan dengan menambahkan aspek modal ekonomi yaitu

Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) pada tahun 1999, dan

Community-Based Initiatives for Housing and Local Development (COBILD)

(2000-2003). Pada tahun 2004 diluncurkan Neighborhood Upgrading and Shelter

Sector Project (NUSSP) yang mengadopsi aspek fisik, sosial, manusia dan

ekonomi, dan kegiatan urban renewal yang fokus pada aspek fisik berupa

pembangunan rumah susun, peremajaan kawasan dan penataan lingkungan.

Kegiatan terbaru yang dicanangkan oleh presiden pada tahun 2011 adalah program

Pro Rakyat Klaster IV yang berfokus pada penataan kawasan kumuh (Mungkasa,

2012).

Terlihat pada era tahun 2000, program yang dilaksanakan terbagi dalam 2 (dua)

kategori yaitu yang bersifat menyeluruh dan fokus aspek fisik saja. Selain itu,

perubahan yang terjadi tidak terlihat benang merahnya, kemungkinan karena

kegiatan yang bersifat proyek dan tidak didukung oleh ketersediaan payung

kebijakan penanganan permukiman kumuh (Mungkasa, 2012).


43

Sementara Kementerian Perumahan Rakyat pada tahun 2010 meluncurkan

kegiatan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis

Kawasan (PLP2K-BK) dengan pendekatan Tridaya (manusia, lingkungan,

ekonomi), kesesuaian dengan tata ruang, penyediaan Prasarana Sarana dan Utilitas

(PSU), dan keterpaduan dengan sektor lain. Kegiatan ini didukung dengan kegiatan

Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) berupa penyediaan stimulan

Peningkatan Kualitas (PK) dan Pembangunan Baru (PB) bagi rumah tangga kumuh,

kegiatan pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA), dan

disediakan skema pembiayaan melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan

(FLPP) (Mungkasa, 2012).

Pada prinsipnya KIP (Kampoeng Improvement Programme) bertujuan untuk

memperbaiki kondisi lingkungan secara menyeluruh. KIP ini dikembangkan

dengan 3 program, yaitu: (Suparno dan Marlina, 2005)

1. Program perbaikan lingkungan (bina lingkungan)

2. Program pengembangan manusia (bina manusia)

3. Program pengembangan ekonomi (bina usaha)

Berdasarkan tujuan KIP, contoh – contoh kegiatan yang dapat dilakukan pada

KIP adalah sebagai berikut: (Suparno dan Marlina, 2005)

1. Perbaikan jalan masuk ke lingkungan

2. Perbaikan jalan untuk pejalan kaki

3. Perbaikan saluran drainase

4. Perbaikan saluran pembuangan

5. Penyediaan air bersih


44

6. Penyediaan MCK

7. Pengadaan fasilitas sosial sebagai tambahan (misal fasilitas kesehatan, dll)

8. Penyuluhan kesehatan kepada warga

Secara keseluruhan, program-program yang dilaksanakan tidak sepenuhnya

dapat membantu usaha penataan dan perbaikan permukiman kumuh. Poerbo dalam

Komarudin (1997) berpendapat program-program yang dijalankan pemerintah

masih cenderung bersifat top down, serta kurang mampu menggali aspirasi dan

karakteristik dari masyarakat itu sendiri. Selain itu, banyaknya proyek peremajaan

permukiman kumuh yang tidak didahului oleh survei sosial merupakan penyebab

lainnya. Karakteristik masyarakat yang perlu dikenali, antara lain: aspek sosial,

sumber daya manusia, ekonomi (mata pencaharian), alam, dan fisik seperti kondisi

fisik rumah dan lingkungan, dan lain sebagainya (Lestari, 2006).

2.1.2 Pengertian Pendidikan

Pendidikan Dalam Bahasa Inggris Pendidikan disebut Education yang

berasal dari kata educare berarti menarik keluar atau drawing out atau

memunculkan potensi anak atau mengembangkan potensi anak didik. Sedangkan

menurut tim redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008: 326)

pendidikan adalah proses pengebahan sikap dan tata laku seseorang atau

sekelompok orang dalam usaha mendewaskan manusia melalui upaya pengajaran

dan pelatihan. Menurut tim redaksi longman advanced American dictionary

(2007:509) pendidikan adalah proses untuk mengembangkan pikiran seseorang

melalui belajar di sekolah atau perguruan tinggi.


45

Pendidikan memiliki peranan yang besarbagi pembangunan suatu negara,

dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 menyatakan bahwa pendidikan sebagai

penyiapan warga negara yang baik, yakni warga negara yang tahu hak dan

kewajiban.

Pendidikan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun

2003 Bab 1 ayat 1 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa

pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan sprirtual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara.

Jadi pendidikan pada dasarnya merupakan indikator pengembangan sumber

daya manusia yang unggul yang dapat berkontribusi terhadap pembangunan negara.

Pendidikan merupakan modal dasar pembangunan manusia. Mengingat pentingnya

pendidikan bagi manusia, PBB menuangkannya dalam 8 tujuan pembangunan

milenium pada butir ke 2 yaitu mencapai pendidikan dasar universal (UN, 2011).

Indeks pendidikan menjadi salah satu indeks dalam penghitungan Indeks

Pembangunan Manusia (IPM). Untuk meningkatkan IPM di suatu wilayah maka

harus meningkatkan Indeks Kesehatan atau Indeks Pendidikan atau Indeks

Kemampuan Daya Beli. Dengan pendidikan yang semakin tinggi maka IPM sebuah

daerah akan semakin tinggi pula.

2.1.2.1 Partisipasi Pendidikan

a. Partisipasi
46

Konsep partisipasi memiliki banyak penekanan makna. Beberapa definisi

disajikan, mulai dari penekanan pada rakyat yang memiliki peran dalam pembuatan

keputusan (Uphoff dan Cohen), rakyat yang memiliki kendali terhadap sumber daya

dan institusi (Pearse dan Stifel), hingga kemampuan rakyat dalam memengaruhi

kegiatan-kegiatan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya

(Paul) dalam JimIfe (2008: 296-297).

Keragaman arti partisipasi terkait erat dengan kepentingan dan agenda yang

beragam pula dalam kehidupan masyarakat dan pembuatan keputusan secara

politis. (JimIfe, 2008: 296– 297). Partisipasi masyarakat (social participation)

adalah suatu bentuk interaksi sosial terhadap suatu kegiatan. Definisi partisipasi

masyarakat yang sudah diterima oleh PBB, sebagaimana dikutip dari Sugandhi

(2009: 108) adalah: The creation of opportunities to enable all members of

community and the larger society to actively contribute to and influence the

development process and to share equitably in the fruits of development.

Berkaitan dengan sifat-sifat partisipasi masyarakat, beberapa pakar

menyebutkan ada partisipasi otonom yang dilakukan atas kesadaran ataukah

partisipasi yang dimobilisasi (mobilized participation). Adanya pembedaan dua

sifat tersebut bertumpu pada kerelaan atau keterpaksaan, ini sebagaimana pendapat

Myron Wiener. Namun disisi lain, pendapat berbeda yang tidak melihat sifat

sukarela sebagai ukuran ada tidaknya partisipasi masyarakat dikemukakan Samuel

Huntington dan JoanNelson.


47

Meskipun demikian, kedua sifat partisipasi masyarakat tersebut memiliki

konsekwensi yang tidak berbeda, yaitu mempengaruhi proses penyelenggaraan dan

proses pengambilan kebijakan dalam pemerintahan. (Saifudin, 2009: 96 – 99).

Dalam konteks mendorong keterlibatan masyarakat dalam sebuah kegiatan,

Ife menjelaskan tentang kondisi-kondisi yang mendorong partisipasi, yaitu sebagai

berikut: partisipasi masyarakat akan muncul ketika dirasai suatu aktivitas tersebut

penting; adanya anggapan bahwa aksi partisipasi mereka akan membuat perubahan;

berbagai bentuk partisipasi, apapun tingkatan dan jenisnya, harus diakui dan

dihargai; orang harus bisa berpartisipasi dan didukung dalam partisipasinya; dan

struktur dan proses partisipasi tidak boleh mengucilkan sehingga masyarakat itu

sendiri yang harus mengontrol struktur dan proses tersebut. (JimIfe, 2008: 310 -

312).

Dengan demikian, proses partisipasi masyarakat akan lebih bermakna dan

berkualitas ketika masyarakat memiliki kapasitas yang cukup untuk turut serta

dalam proses advokasi kebijakan publik. Apa pentingnya angka partisipasi itu?

Memahami angka partisipasi dalam pendidikan tentu sangat penting bagi semua

pihak sebab dengan mengetahui angka partisipasi maka akan mengetahui sejauh

mana upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan telah dicapai? Dengan

angka partisipasi, dapat diketahui pada karakter atau variable apa saja, ketidak

merataan atau kesenjangan dalam memperoleh akses pendidikan itu terjadi?

Terlebih lagi pemerintah menerapkan kebijakan anggaran pendidikan 20% (APBN

dan APBD). Dengan mengetahui partisipasi pendidikan akan mengetahui apakah


48

anggaran pendidikan yang semakin besar berkorelasi positif terhadap pemerataan

dan perluasan akses pendidikan pada berbagai jenjang pendidikan.

b. Angka Partisipasi Kasar (APK)

Indikator yang lain yang sering digunakan untuk mengukur pencapaian

kesetaraan gender pada bidang pendidikan adalah Angka Partisipasi Kasar (APK).

APK menurut ”The UN Guidelines Indicators for Monitoring the Millenium

Development Goals”, angka ini lebih baik daripada perbandingan jumlah absolute

murid laki-laki dan perempuan.

Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah

Proporsi anak sekolah pada suatu jenjang tertentu terhadap penduduk pada

kelompok usia tertentu. Sejak tahun 2007 Pendidikan Non Formal (Paket A, Paket

B, dan Paket C) turut diperhitungkan. (http://sirusa.bps.go.id), yang digunakan

untuk tujuan menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum pada suatu

tingkat pendidikan. Hal ini berarti APK yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat

partisipasi sekolah, tanpa memperhatikan ketepatan usia sekolah pada jenjang

pendidikannya. Jika nilai APK mendekati atau lebih dari 100 persen menunjukkan

bahwa ada penduduk yang sekolah belum mencukupi umur dan atau melebihi umur

yang seharusnya. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa wilayah tersebut mampu

menampung penduduk usia sekolah lebih dari target yang sesungguhnya.

c. Angka Partisipasi Murni (APM)

Indikator Angka Partisipasi Murni (APM) merupakan indikator yang lebih baik

dibanding dengan indikator APK, sebab APK biasanya digunakan ketika APM nya

masih jauh dari 100 persen. APK dapat mencapai lebih dari 100 persen, sedangkan
49

APM semestinya maksimal 100 persen. APM dapat menjadi lebih dari 100 persen

kalau banyak siswa luar daerah masuk ke suatu daerah untuk bersekolah. Hal ini

sering terjadi di kota-kota besar di mana siswa dari pinggiran kota atau perkotaan

bersekolah ke kota karena fasilitas yang lebih memadai.

Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) APM adalah Proporsi penduduk pada

kelompok umur jenjang pendidikan tertentu yang masih bersekolah terhadap

penduduk pada kelompok umur tersebut. Untuk mengukur daya serap sistem

pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. Jadi APM menunjukkan seberapa

banyak penduduk usia sekolah yang sudah dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan

sesuai pada jenjang pendidikannya. Jika APM = 100, berarti seluruh anak usia

sekolah dapat bersekolah tepat waktu.

d. Angka Partisipasi Sekolah (APrS)

Angka Partisipasi Sekolah menurut BPS adalah proporsi anak sekolah pada usia

jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok usia yang sesuai dengan jenjang

pendidikantersebut. BPS membagi kategori menjadi 7-12 tahun, 13 –15 tahun, 16

–18 tahun dan 19–24 tahun. Rata –rata tingkat partisipasi sekolah Indonesia

perkategori pada data tahun 2015 adalah 99.09%, 94.72%, 70.61% dan 22.95%.

APS menggambarkan pemerataan akses pendidikan yang dapat dinikmati

masyarakat.

2.1.2.2 Pengaruh Kawasan Kumuh Terhadap Pastisipasi Sekolah

Dengan adanya indikator keberhasilan dalam program KOTAKU salah

satunya yaitu terbangunya Jalan Lingkungan dan Penataan Bangunan pada kawasan
50

kumuh apakah indikator tersebut berpengaruh terhadap tingkat partisipasi sekolah

anak atau tidak.

Dinar Dwi Prasetyo (2019) mengatakan bahwa kondisi jalan yang lebih baik

mempersingkat waktu tempuh siswa dan guru perempuan untuk pergi dari rumah

ke sekolah dan sebaliknya. Kondisi jalan yang lebih baik dapat menghemat 30%-

50% waktu perjalanan mereka. Bukan hanya mengurangi risiko dalam perjalanan,

kemudahan akses menuju fasilitas pendidikan, dalam beberapa kasus, juga

mengurangi jumlah orang tua yang tidak mengizinkan anak perempuannya

bersekolah.

Hal tersebut menunjukan bahwa terjadi hubungan antara pembangunan

jalan lingkungan terhadap tingkat partisipasi sekolah anak, dimana dengan

tersedianya fasilitas jalan lingkungan yang baik dapat mempermudah akses anak

untuk pergi ke sekolah.

Beberapa studi tentang capaian pendidikan telah dilakukan di berbagai

negara. Walaupun secara tidak langsung meneliti soal pengaruh partisipasi sekolah

terhadap kawasan kumuh tetapi lebih ke masalah kemsikinan. Tetapi seperti

diketahui bahwa kesmikinan dan kawasan kumuh merupakan 2 variable yang saling

terkait karena wilayah kumuh juga lahir dari kemiskinan dan didalam penduduk

miskin selalu terdapat permukiman kumuh.

Glewwe dan Kremer (2005) meneliti tentang partisipasi sekolah di negara-

negara berkembang. Temuan yang penting dari studi mereka adalah bahwa

partisipasi sekolah sangat dipengaruhi oleh sisi permintaan, di antaranya

kesejahteraan keluarga. Anak dari keluarga miskin tidak dapat bersekolah karena
51

orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah, terutama di negara-negara yang

pengeluaran pendidikannya sedikit, sehingga tidak mampu meringankan biaya

pendidikan siswa. Selain itu, tingkat pendidikan orang tua, harapan tingkat

pengembalian pada masa depan, dan jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap

partisipasi pendidikan. Sementara itu, Handa (1999) dalam studinya di Afrika

menemukan bahwa kebijakan pemerintah (untuk) memastikan bahwa orang tua

berpendidikan dan berpenghasilan memadai sangat memengaruhi partisipasi

sekolah anak.

Dilihat dari sisi pengeluaran pemerintah, Faguet dan Sanchez (2006) dalam

studinya di Bolivia dan Kolombia menemukan bahwa pengeluaran pemerintah

dalam bidang pendidikan berpengaruh signifikan terhadap partisipasi sekolah,

selain variabel politik, sosial ekonomi, dan geografi.

Studi yang pernah dilakukan di Indonesia di antaranya adalah studi

Suryadarma et al. (2006), Arze del Granado et al. (2007), Purwanto (2010), dan

Listianawati (2012). Suryadarma et al. (2006) menemukan bahwa tingkat

kesejahteraan keluarga dan banyaknya sekolah yang dibangun berpengaruh

signifikan terhadap partisipasi sekolah. Arze del Granado et al. (2007) menemukan

bahwa kemiskinan dan tenaga kerja usia sekolah berpengaruh signifikan terhadap

partisipasi sekolah. Jika dilihat dari variabel desentralisasi, Purwanto (2010)

menemukan bahwa variabel yang berpengaruh pada parisipasi SMP adalah rasio

murid terhadap guru dan sekolah. Sementara itu, Listianawati (2012) dalam

studinya di Sulawesi Utara menemukan bahwa variabel yang berpengaruh

signifikan terhadap partisipasi sekolah SMP adalah dana BOS, pengeluaran riil
52

pendidikan dasar, PDRB per kapita, pendidikan kepala rumah tangga, jumlah

anggota rumah tangga, dan rasio murid terhadap guru dan sekolah. Variabel

kemiskinan dalam studi Listianawati (2012) tidak berpengaruh terhadap partisipasi

sekolah SMP. Hal ini berbeda dengan temuan Suryadarma dan Suryahadi (2009),

serta Arze del Granado et al. (2007) yang menyimpulkan bahwa kemiskinan

berpengaruh secara signifikan.

Studi ini mengacu pada penelitian Arze del Granado et al. (2007) dan

Listianawati (2012). Arze del Granado et al. (2007) menemukan bahwa kemiskinan

dan anak usia sekolah yang bekerja menjadi penghambat partisipasi sekolah anak.

Sementara itu, Listianawati (2012) menemukan bahwa faktor yang memacu

peningkatan partisipasi sekolah anak usia 13-15 tahun adalah dana BOS,

pengeluaran riil pendidikan dasar, pendidikan kepala rumah tangga, jumlah anggota

rumah tangga serta rasio murid terhadap guru. Adapun PDRB per kapita dan rasio

sekolah terhadap murid berpengaruh negatif terhadap partisipasi sekolah SMP.

Studi ini meneliti berbagai faktor yang memengaruhi partisipasi sekolah

SMP di Jawa Barat baik dari segi ketersediaan fasilitas pendidikan berupa anggaran

pendidikan (dalam hal ini BOS dan ketersediaan sekolah) maupun dari segi sosial

ekonomi masyarakat yang tercermin pada PDRB per kapita, tingkat kemiskinan,

pendidikan orang tua, dan tingkat partisipasi kerja anak usia 13-15 tahun.

2.1.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Sekolah

Angka Partisipasi Sekolah (APS) didefinisikan sebagai perbandingan antara

jumlah murid kelompok usia sekolah tertentu yang bersekolah pada berbagai

jenjang pendidikan dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai dan
53

dinyatakan dalam persentase. Indikator ini digunakan untuk mengetahui banyaknya

anak usia sekolah yang telah bersekolah di semua jenjang pendidikan. Makin tinggi

APS berarti makin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah. Nilai

ideal APS = 100 % dan tidak akan terjadi lebih besar dari 100 %, karena murid usia

sekolah dihitung dari murid yang ada di semua jenjang pendidikan pada suatu

daerah.

Rumus untuk menghitung Angka Partisipasi Sekolah menurut Wakhinuddin

(2009) adalah:

𝑁1
𝐴𝑃𝑆 = 𝑥 100%
𝑁2

dimana:

N1 = Jumlah murid berbagai jenjang pendidikan pada kelompok usia sekolah

tertentu

N2 = Jumlah penduduk pada kelompok usia sekolah tertentu yang sesuai

Perhitungan tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah

dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu APK (Angka Partisipasi Kasar) atau

APM (Angka Partisipasi Murni). APK didefinisikan sebagai perbandingan antara

jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA dan sebagainya)

dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam

persentase.

Hasil perhitungan APK ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak

yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan tertentu pada wilayah tertentu.

Semakin tinggi APK berarti semakin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di

suatu jenjang pendidikan pada suatu wilayah.


54

Nilai APK bisa lebih besar dari 100 % karena terdapat murid yang berusia

di luar usia resmi sekolah, terletak di daerah kota, atau terletak pada daerah

perbatasan.

Rumus yang digunakan adalah:

𝑁1
𝐴𝑃𝐾 = 𝑥 100%
𝑁2

Dimana:

N1 = Jumlah murid pada jenjang pendidikan menengah

N2 = Jumlah penduduk usia 16-18 tahun

Adapun APM didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah siswa

kelompok usia sekolah pada jenjang pendidikan tertentu dengan penduduk usia

sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Indikator APM ini digunakan

untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang

pendidikan yang sesuai. Semakin tinggi APM berarti banyak anak usia sekolah

yang bersekolah di suatu daerah pada tingkat pendidikan tertentu. Nilai ideal APM

= 100 % karena adanya murid usia sekolah dari luar daerah tertentu,

diperbolehkannya mengulang di setiap tingkat, daerah kota, atau daerah perbatasan.

Rumus yang digunakan adalah:

𝑁1
𝐴𝑃𝑀 = 𝑥 100%
𝑁2

Dimana:

N1 = Jumlah murid pada jenjang pendidikan menengah umur 16-18 tahun

N2 = Jumlah penduduk usia 16-18 tahun


55

Perhitungan tingkat partisipasi sekolah dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan APM dengan pertimbangan agar diketahui tingkat partisipasi

sesungguhnya penduduk yang berusia sekolah 16-18 yang bersekolah pada jenjang

pendidikan menengah.

Status ekonomi rumah tangga sangat berpengaruh terhadap tinggi

rendahnya APS. Semakin tinggi status ekonomi rumah tangga, memperlihatkan

angka APS yang tertinggi untuk semua kelompok umur sekolah, setelah itu posisi

APS berikutnya ditempati oleh golongan status sosial menengah yang

berpendapatan menengah. Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah

untuk program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, dapat tercermin dari angka

APS untuk kelompok umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun, tidak memperlihatkan beda

yang terlalu signifikan untuk semua golongan status ekonomi rumah tangga. Untuk

kelompok umur 7-12 tahun APS golongan status ekonomi tertinggi tercatat 98,70

persen, pada status ekonomi menengah sebesar 98,02 persen, dan pada status

ekonomi terendah adalah 96,45 persen.

Perbedaan APS per status ekonomi rumah tangga sedikit melebar tapi belum

terlalu signifikan pada kelompok umur 13-15 tahun, tercatat APS pada status

ekonomi tertinggi sebesar 92,17 persen, selanjutnya pada status ekonomi rumah

tangga menengah APS nya sebesar 88,15 persen dan pada kelompok status ekonomi

terendah menunjukan APS sebesar 77,70 persen. Jarak APS pada kelompok umur

16-18 antara status ekonomi rumah tangga yang tertinggi dan terendah di daerah

perkotaan sebesar 20,81 persen sedangkan di daerah pedesaan jaraknya sebesar

29,27. Hal sebaliknya diperlihatkan pada kelompok umur 19-24 tahun, jarak APS
56

antara golongan status sosial tertinggi dan terendah pada daerah perkotaan lebih

lebar jaraknya dibanding daerah pedesaan. Perbedaan APS untuk golongan umur

ini di daerah perkotaan antara golongan status ekonomi tertinggi dan terendah

adalah sebesar 32,88 persen, sedangkan di daerah pedesaan hanya berbeda 9,95

persen. Di samping itu, pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun (7-15

tahun) di seluruh provinsi telah merata, namun untuk usia 16-18 tahun terdapat

kesenjangan antar provinsi, yakni APS tertinggi diraih oleh Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam, dan yang terendah diraih oleh Provinsi Sulawesi Barat.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif

terhadap perkembangan APK dan APM menurut jenjang pendidikan. Lutan (1991)

menyatakan bahwa karena tingkat pendapatan yang memadai belum merata, maka

muncullah gejala seolah-olah terjadi proses alokasi pada lembaga pendidikan. Di

satu pihak, lembaga pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan taraf

pendapatan seseorang, tetapi di pihak lain, pendidikan mendorong pemilahan status

sosial. Di sini lah dilema antara pemerataan dan peningkatan mutu yang harus

dibarengi dengan tuntutan biaya pendidikan yang murah. Letak masalahnya

sesungguhnya bukan pada lembaga pendidikan yang memerlukan biaya, tetapi

kesanggupan masyarakat untuk memenuhi tuntutan pengeluaran yang sangat besar.

Cahyawati dan Oki (2011) menyatakan bahwa masalah pencapaian tuntas

pendidikan dasar terutama pada kelompok masyarakat miskin pada setiap wilayah

masih perlu menjadi perhatian dan penyelesaian. Demikian juga di Kabupaten Ogan

Ilir (OI) yang masih memiliki proporsi kemiskinan cukup tinggi.


57

Berdasarkan hasil analisis deskripsi menunjukkan bahwa angka putus

sekolah pendidikan dasar kelompok masyarakat miskin di Kabupaten OI sebesar

14,2 persen, rata-rata angka partisipasi murni (APM) SD baru mencapai 83,33

persen dan rata-rata APM SMP hanya mencapai 67,73 persen. Hasil pemetaan

biplot menunjukkan bahwa kelompok Kecamatan Pemulutan Selatan, Rambang

Kuang, Lubuk Keliat, dan Pemulutan Barat memerlukan perhatian lebih, karena

angka putus sekolah SMP dan persentase penduduk miskin yang masih relative

lebih banyak dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Demikian juga Kecamatan

Inderalaya dan Payaraman, masih memiliki angka putus sekolah SD yang masih

tinggi, yang dipengaruhi oleh kemiskinan pada kelompok kecamatan tersebut.

Suradi (2006) menemukan bahwa tingkat pendidikan sebagian besar (76,71

persen) penduduk Nusa Tenggara Barat relatif rendah, dimana mereka tidak pernah

sekolah dan hanya menamatkan SD. Berdasarkan Indikator Kesejahteraan Anak

Provinsi Nusa Tenggara Barat (2003), tingkat partisipasi sekolah penduduk usia 7-

18 tahun dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok usia 7-12 tahun (setingkat

SD) sebesar 94,68 persen, kelompok usia 13-15 tahun (setingkat SLTP) sebesar

72,33 persen dan kelompok usia 16-18 tahun (setingkat SLTA) sebesar 42,96

persen. Sebagian besar atau 61,76 persen anak di Nusa Tenggara Barat melakukan

kegiatan bersekolah, sedangkan sebesar 21,11 persen atau sekitar 380.000 anak

sudah tidak bersekolah lagi dan mereka memiliki kegiatan bekerja atau menjadi

pekerja anak. Anak yang bekerja tersebut tersebar di seluruh kabupaten/kota di

Provinsi Nusa Tenggara Barat dan melakukan pekerjaan seperti membuat kerajinan
58

tangan dan menjajakannya di daerah-daerah wisata, menjadi pemulung, dan kusir

cidomo.

Prayitno (2008) menyimpulkan bahwa pandangan orang tua tentang nilai

anak dalam program wajib belajar sembilan tahun masih rendah. Mereka lebih

senang apabila anak-anak mereka bisa membantu orang tua dalam memenuhi

kebutuhan hidup keluarga. Persepsi mereka juga terhadap program wajib belajar

sembilan tahun masih rendah. Rata-rata mereka tidak mempedulikan apakah

anaknya mau bersekolah atau tidak, dan tidak ada motivasi serta dukungan dari

orang tua agar anak mereka sekolah. Rendahnya kondisi sosial ekonomi orang tua

mengakibatkan rendahnya pula kemampuan serta dukungan orang tua terhadap

program wajib belajar sembilan tahun. Lutan (1991) menyatakan bahwa walaupun

orang tua menyadari pentingnya pendidikan sebagai investasi, namun persoalannya

juga terkait dengan masalah seberapa lama orang tua sanggup menanam sahamnya

berupa penyediaan biaya bagi anak-anaknya untuk melanjutkan sekolahnya.

Pendidikan formal pada khususnya, lambat laun memainkan peran sebagai

penyaring calon siswa sesuai dengan kemampuan orang tuanya untuk membiayai

kegiatan pendidikannya. Berbagai pungutan pada setiap kali masuk ke suatu jenjang

yang lebih tinggi berkaitan dengan taraf kemampuan ekonomi suatu keluarga.

Semakin tinggi pendapatannya, semakin kuat kemampuannya untuk membiayai

putra-putrinya.

2.1.3 Pengertian Kesehatan

Kesehatan adalah keadaan seimbang yang dinamis, dipengaruhi faktor

genetik, lingkungan dan pola hidup sehari-hari seperti makan, minum, seks, kerja,
59

istirahat, hingga pengelolaan kehidupan emosional. Status kesehatan tersebut

menjadi rusak bila keadaan keseimbangan terganggu, tetapi kebanyakan kerusakan

pada periode-periode awal bukanlah kerusakan yang serius jika orang mau

menyadarinya. (Santoso, 2012: 8).

Menurut definisi yang dirumuskan oleh WHO, kesehatan adalah sebagai: ”a

state of complete physical, mental and social well being and not merely the absence

of disease or infirmity“. (WHO, 1948), adalah keadaan sejahtera fisik, mental,

social tanpa ada keluhan sama sekali (cacat atau sakit). Dalam UU RI Nomor 23

tahun 1992 kesehatan juga dinyatakan mengandung dimensi mental dan social:

“Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang

memungkinkan setiap orang hidup produktif secara social dan ekonomi “.

Kesehatan merupakan salah satu faktor utama yang dapat mempengaruhi

kebugaran dan penampilan tubuh, serta harta yang paling berharga yang tidak

pernah bisa ditukar dengan apapun. Oleh karena itu setiap orang tentu

mendambakan hidup sehat bahagia dan ingin selalu tampak sehat, bugar,

penampilan yang bagus dan awet muda, tidak lekas keriput karena menua. Hal

tersebut dapat dirasakan apabila kita pernah sakit. Olahraga dan kesehatan

merupakan kebutuhan bagi setiap orang, karena semua orang pasti ingin sehat, tidak

seorangpun yang ingin sakit atau terganggu kesehatannya. Kesehatan juga harus

dilandasi beberapa aspek prilaku untuk menuju pola hidup sehat dengan 2 hal

sebagai berikut:
60

2.1.3.1. Prilaku Hidup Bersih dan Sehat

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah bentuk perwujudan

paradigma sehat dalam budaya perorangan. Keluarga dan masyarakat yang

berorientasi sehat, bertujuan untuk meningkatkan, memelihara dan melindungi

kesehatannya baik fisik, mental, spiritual maupun social, (Depkes RI, 2009).

Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) adalah upaya untuk memberikan

pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga,

kelompok dan masyarakat, dengan membuka jalur komunikasi, memberikan

informasi dan melakukan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan

perilaku melalui pendekatan pimpinan (advocacy), bina suasana (social support)

dan pemberdayaan masyarakat (empowerment). Masyarakat dapat mengenali dan

mengatasi masalahnya sendiri, dan dapat menerapkan cara-cara hidup sehat dengan

menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatannya, (Notoatmodjo, 2007).

2.1.3.2. Penerapan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat

Penerapan prilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan

dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahan dan meningkatkan

kesehatannya. (Notoatmodjo, 2007)

a) Makan dengan menu seimbang (appropriate diet). Menu seimbang di sini dalam

arti kualitas (mengandung zat-zat gizi yang diperlukan tubuh), dan kuantitas dalam

arti jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh (tidak kurang, tetapi juga

tidak lebih). Secara kualitas mungkin di Indonesia dikenal dengan ungkapan empat

sehat lima sempurna.


61

b) Olahraga teratur, juga mencakup kualitas (gerakan), dan kuantitas dalam arti

frekuensi dan waktu yang digunakan untuk olahraga. Dengan sendirinya kedua

aspek ini akan tergantung dari usia, status kesehatan yang bersangkutan.

c) Istirahat yang cukup. Dengan meningkatnya kebutuhan hidup akibat tuntutan

untuk penyesuaian dengan lingkungan modern. mengharuskan rang untuk bekerja

keras dan berlebihan, sehingga waktu istirahat berkurang. Hal ini juga dapat

membahayakan kesehatan.

d) Mengendalikan stres. Stres akan terjadi pada siapa saja, dan akibatnya

bermacam-macam bagi kesehatan. Lebih-lebih sebagai akibat dari tuntunan hidup

ang keras seperti diuraikan di atas. Kecenderungan stress akan meningkat pada

setiap orang. Stres tidak dapat kita hindari, yang penting dijaga agar stres tidak

menyebabkan gangguan kesehatan, kita harus dapat mengendalikan atau mengelola

stres dengan kegiatan-kegiatan yang positif.

e) Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya: tidak

berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks, penyeuaian diri kita terhadap

lingkungan dan sebagainya

2.1.3.2 Kesehatan Lingkungan

Haryoko K. (1985) dalam buku Pengelolaan Kesehatan Lingkungan

menyebutkan ruang lingkup kesehatan lingkungan meliputi: (1) Lingkungan Fisik,

meliputi tanah, air dan udara serta hasil interaksi diantara faktor-faktor tersebut; (2)

Lingkungan biologi, semua organisme hidup seperti binatang dan tumbuh-

tumbuhan, mikro organisme lainya; (3) Lingkungan sosial, semua interaksi antara

manusia, meliputi faktor budaya, ekonomi dan psiko-sosial; (4) Penyediaan air
62

minum; (5) Pengelolaan air buangan dan pengendalian pencemaran; (6)

Pembuangan sampah padat; (7) Pengendalian Vektor; (8) Pencegahan atau

pengendalian pencemaaran tanah oleh manusia; (9) Higiene mkanan, termasuk

higiene susu; (10) Pengendalian pencemaran udara; (11) Pengendaliaan radiasi;

(12) Berkesinambungan; (13) Kesehatan kerja; (14) Pengendalian kebisingan; (15)

Perumahan dan pemukiman; (16) Aspek kesehatan lingkungan dan transportasi

udara; (17) Perencanaan daerah dan perkotaan; (19) Pencegahaan kecelakaan; (20)

Rekreasi umum dan pariwisata; (21) Tidakan-tindakan sanitasi yang berhubungan

dengan keadaan epidemi atau wabah, bencana alam dan perpindahan penduduk;

(22) Tindakan pencegahan yang diperlukkan untuk menjamin lingkungan; (23)

Pengelolaan lingkungan hidup; (24) Tercapainya keselarasan hubungaan antara

manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan pembangunan; (25)

Terkendalinya pemaanfaatan sumber daya secara bijaksana; (26) Terwujudnya

masnusia Indonesia sebgagai pembina lingkungan hidup; (27) Terlaksananya

pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan

mendatang; (28) Terlindunginya negara dari kegiatan negara lain yang berakibat

merusak lingkungan.

Sasaran kesehatan lingkungan (pasal 22 ayat (2) UU 23/1992)

a. Tempat umum: hotel, terminal, pasar, pertokoan dan usaha-usaha yang

sejenis

b. Lingkungan pemukiman: ruah tinggal, asrama atau sejenisnya

c. Lingkungan kerja: perkantoran, kawasan industri atau sejenisnya


63

d. Angkutan umum: kendaraan darat, laut dan udara yang digunakan untuk

umum

e. Lingkungan lainnya: misalnya bersifat khusus seperti lingkungan yang

berada dalam keadaan darurat, bencana perpindahan penduduk secara besar-

besaran, reaktor atau tempat yang bersifat khusus.

Ruang Lingkup Kesehatan lingkungan sangat luas cakupanya yang dapat

meliputi seluruh aspek yang berkaitan dengan kondisi lingkungan. Menurut

Haryoko K (1985), terdapat 27 poin ruang lingkup kesehatan yang harus dimiliki

agar terwujud lingkungan yang bersih dan sehat. Dalam poin “O“ menurut Haryoko

K, perumahan dan pemukiman menjadi salah satu ruang lingkup lingkungan yang

harus ada, agar terciptanya kualiatas kesehatan lingkungan yang baik. Karena

indikator kesehatan rumah dan perumahan dapat mencerminkan kondisi setiap

kesehatan keluarga yang didalamnya. Seperti contoh lokasi rumah yang berdekatan

dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA), tentu saja kondisi ini memberikan

dampak pada kesehatan keluarga seperti ganguan pernapasan dan mudahnya

keluarga terserang beberapa penyakit. Sehingga perlunya menjaga kesehatan rumah

dan lingkungan sekitr agar kualitas kehidupan manusia dapat terjaga dengan baik.

2.1.3.3 Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate atau IMR)

Salah satu indikator kesehatan berdasarkan Indek Pembangunan Manusia (IPM)

adalah Angka Kematian Bayi ((Infant Mortality Rate atau IMR). IMR adalah

kematian yang terjadi pada bayi, dengan rumus sebagai berikut:

IMR = Do/ B X k............................................................................Rumus (8)

Keterangan:
64

Do = Jumlah Kelahiran Hidup Pada Tahun tertentu

B = Jumlah Lahir Hidup Pada Tahun Tertentu

K = Bilangan konsta biasanya 1.000

Sumber: Mantra, 2000

Perbedaan Angka Kematian Bayi dengan Angka Kematian Balita menurut

Dinas Kesehatan Jawa Tengah (2015) Angka Kematian Balita (AKABA) adalah

jumlah kematian balita 0-5 tahun per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu

tahun, sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) adalah probabilitas kematian yang

terjadi sebelum bayi mencapai ulang tahun yang pertama per 1000 kelahiran hidup.

Pengertian tersebut dapat dipahami bahwa Angka Kematian Bayi (AKB)

dengan Angka Kematian Balita (AKABA) adalah kajian yang berbeda. Perbedaan

yang jelas dapat dilihat dari indikasi umur yang digunakan dimana perhitungan

Angka Kematian Bayi lebih spesifik dalam batasan umur daripada perhitungan

Angka Kematian Balita. Angka Kematian Bayi memliki perhitungan batasan

golongan umur satu tahun setelah kelahiran dihitung per 1000 bayi yang lahir hidup

dalam kurun waktu tertentu. Kematian bayi yang telah lahir kurang dari satu tahun

memiliki tingkat kerentanan yang masih tinggi terhadap semua kondisi diantaranya

seperti kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan yang buruk seperti terjadinya

pencemaran dapat mengakibatkan bayi mudah terserang penyakit dan rawan

mengalami kematian. Kondisi bayi yang memiliki umur dibawah satu tahun, masih

memiliki daya tahan tubuh yang lemah dan rentan terhadap perubahan kondisi.

Pentingnya perhitungan Angka Kematian Bayi yang dihasilkan, dapat

dijadikan sebagai acuan untuk menentukan suatu permasalahan salah satunya


65

adalah kesehatan keluarga. Data kematian bayi dapat dijadikan sebagai tolak ukur

untuk mengetahui kondisi kesehatan lingkungan disekitarnya, mengingat kondisi

fisik bayi yang masih sangat rentan terhadap setiap kondisi disekitarnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian bayi dapat dilihat dari

dua macam penyebabnya yaitu endogen dan eksogen. Jurnal Arinta K (2012)

menyebutkan pendapat Sudariyanto (2011) Kematian bayi endogen atau kematian

neonatal disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang

diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi dan Menurut Mochtar (1998),

kematian bayi yang disebabkan dari kondisi bayinya sendiri yaitu BBLR (Berat

Badan Lahir Rendah), bayi prematur, dan kelainan kongenital. Kematian bayi

eksogen atau kematian postneonatal disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian

dengan pengaruh lingkungan luar (Sudariyanto, 2011).

Kesimpulan yang dapat diambil dari pernyataan di atas bahwa kematian

bayi dapat terjadi atas dua sisi yaitu endogen dan eksogen. Kematian bayi endogen

atau yang disebut sebagai neonatal adalah kemaatian bayi sebelum memasuki usia

satu bulan. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor bayi itu sendiri yang diperoleh dari

orang-orang tuanya seperti BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), bayi prematur dan

kongenital, sedangkan eksogen adalah faktor yang mempengaruhi angka kematian

bayi yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan luar. Faktor lingkungan luar

faktanya dapat memberikan pengaruh dalam meningkatkan angka kematian bayi

seperti pencemaran, perubahan cuaca, sanitasi, kulitas air dan sebagainya. Sebagai

contohnya adalah kasus banjir yang terjadi di Kecamatan Jebres pada tahun 2017

yang rentan mengakibatkan terjadinya penurunan kulaitas air dan lingkungan. Hal
66

ini dapat mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat dan tentu saja terhadap

kondisi kesehatan bayi yang masih rentan terhadap perubahan. Selain itu angka

kematian bayi menurut Gabr (1986, dalam Sani 1993) menyebutkan bahwa angka

kematian bayi dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:

a. faktor biologis: umur dan kesehatan ibu, genetika serta berat badan

b. faktor keluarga berencana: masalah usia kawin pertama dan pekerjaan

c. faktor sosial dan lingkungan: pendidikan ibu, taraf hidup, tingkat sanitasi

lingkungan, sumber dan cara terjadinya infeksi

d. faktor perawatan medis: konsultasi genetik, perawatan prenatal dan neonatal

serta perawatan anak termasuk gizi dan imunisasi.

Diantara banyak faktor yang telah disebutkan, bahwa faktor kesehatan

lingkungan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya kematian bayi.

Hal inilah yang menjadi salah satu bahan pertimbangan bahwa benar adanya

hubungan pola positif antara tingkat kesehatan lingkungan terhadap jumlah angka

kematian bayi.

2.1.4 Penelitian Terdahulu

No Nama dan Sumber Variabel Metode Hasil


Judul Analisis
Penelitian
1. Ummy Zulfa Available Variable Dependen: kuantitatif Tingkat kemiskinan dan
Rahmatin dan online at 1. APS jumlah sekolah
Prof. Dr. H Adyjournal.unesa.a Variabel berpengaruh negatif
Soejoto .c.id Independen: secara signifikan.
Jurnal 1. Tingkat
Pengaruh Pendidikan Kemiskinan
Tingkat Ekonomi 2. Jumlah Sekolah
Kemiskinan Dan Manajemen
Jumlah Sekolah Dan Keuangan
Terhadap Angka
Partisipasi
67

Sekolah (Aps) Vol. 01 No. 02


Di Kota November
Surabaya 2017
Hal. 127 - 140
2. Citra septiana http://repositor Variable Dependen: Kuantitatif Pengeluaran pemerintah
dan y.unib.ac.id/id/ 1. APS dalam pendidikan
Hutapia eprint/4621 Variabel berpengaruh positif
Independen:
“Analisis 1. Pengeluaran
Faktor-faktor pemerintah dalam
yang pendidikan
Mempengaruhi 2. pendapatan
Angka perkapita
Partisipasi 3.Angka kematian
Sekolah di Bayi
Sumatera”
3. Nur Berlian VA Jurnal Variable Dependen: Kuantitatif 1. Prosentase Penduduk
“Faktor-Faktor Pendidikan 1. APS Miskin Berpengaruh
Yang dan Variabel negatif signifikan
Terkait Dengan Kebudayaan, Independen: terhadap APS
Rendahnya Vol. 17, 1.Prosentase 2. Kepadatan penduduk,
Pencapaian Nomor 1, Penduduk Miskin indeks kapasitas
Wajib Belajar Januari 2011 2.Indeks Kapasitas fiskal dan rata-rata
Pendidikan Fiskal lama sekolah tidak
Dasar 9 3. Kepadatan berpengaruh terhadap
tahun” Penduduk APS
4.Rata-Rata Lama
Sekolah
4. Evawaty www.research Variabel dependen: Kuantitatif 1. Tingkat kemiskinan
Tanuar, gate.net/public 1. APS berpengaruh negatif
Violitta ation/3134779 Variabel signifikan terhadap
Yesmaya, Edy 11_HUBUNG independen: APS
Irwansyah AN_PARTISI 1.tingkat 2. Indeks
PASI_SEKOL Kemiskinan PembangunanManusi
“Hubungan AH_DENGA 2.IPM a berpengaruh positif
Partisipasi N_TINGKAT terhadap APS
Sekolah dengan _KEMISKIN
Tingkat AN_DI_INDO
Kemiskinan di NESIA
Indonesia”
5. Khairunnisaa, Jurnal Variabel dependen: Kuantitatif Faktor utama yang
Sri Hartoyoa, Ekonomi dan APS memengaruhi capaian
Lukytawati Pembangunan APS SMP di Jawa Barat
Anggraenia Indonesia Variabel adalah faktor sosial
Vol. 15 No. 1 Independen: ekonomi yang tercermin
Determinan Juli 2014: 91- 1. PDRB pada signikansi variabel
Angka 112 2. Kemiskinan PDRB, kemiskinan,
Partisipasi p-ISSN 1411- 3. Pekerja Anak tingkat pekerja anak usia
Sekolah SMP di 5212; e-ISSN 13-15 tahun, dan
Jawa Barat 2406-9280
68

4. Pendidikan pendidikan kepala rumah


Kepala Rumah tangga.
Tangga
6 Dini Amaliah Faktor Jurnal Variabel Dependen: Kuantitatif 1. Tidak terdapat
Ilmiah - Partispasi pengaruh signifikan
Pengaruh Kependidikan Pendidikan Angka Partisipasi Kasar
Partisipasi Vol. 2 No. 3 Variabel terhadap persentase
Pendidikan Nopember Independen: penduduk miskin di DKI
Terhadap 2015, hal 231- - APK Jakarta tahun 2009-2013.
Persentase 239 - APM
Penduduk - Penduduk Miskin 2. Tidak terdapat
Miskin pengaruh signifikan
Angka Partisipasi Murni
terhadap persentase
penduduk miskin di DKI
Jakarta tahun 2009-2013.

3. Tidak terdapat
pengaruh signifikan
Angka Partisipasi Kasar
dan Angka Partisipasi
Murni terhadap persentase
penduduk miskin di DKI
Jakarta tahun 2009-2013.
7 Dinar Dwi https://money. 1. Jalan Kualitatif Penelitian SMERU pada
Prasetyo kompas.com/r Lingkungan/De 2016 menemukan bahwa
Researcher, ead/2019/05/1 sa kondisi jalan yang lebih
SMERU 5/153022626/a 2. Perempuan baik mempersingkat
Research dakah- Desa waktu tempuh siswa dan
Institute manfaat-jalan- 3. Partisipasi guru perempuan untuk
desa-di-era- sekolah pergi dari rumah ke
Adakah Manfaat jokowi-bagi- sekolah dan sebaliknya.
Jalan Desa di perempuan- Kondisi jalan yang lebih
Era Jokowi bagi riset- baik dapat menghemat
Perempuan? membuktikan? 30%-50% waktu
page=all. perjalanan mereka. Bukan
hanya mengurangi risiko
dalam perjalanan,
kemudahan akses menuju
fasilitas pendidikan,
dalam beberapa kasus,
juga mengurangi jumlah
orang tua yang tidak
mengizinkan anak
perempuannya
bersekolah.
8 AfifaTin dan http://ejournal. 1. Angka Kematian Analisis 1. Faktor lingkungan
Supraptini litbang.depkes. Bayi data terbukti memberi
(2006) go.id/index.ph 2. Angka Kematian sekunnder pengaruh terhadap
Balita kematian anak, yang
69

Kondisi p/jek/article/vi 3. Kemiskinan dapat diartikan angka


Kesehatan ew/1601 4. Kesehatan kematian anak merupakan
Lingkungan Di Lingkungan cermin kondisi kesehatan
Indonesia dan linngkungan
Angka
Kematian Bayi, 2. Kondisi kesehatan
Angka lingkungan „kurang‟
Kematian Anak menunjukkan AKB,
Balita Serta AKA, AKBA, yang
Angka paling tinggi dibanding
Kematian Balita kondisi lain, dan dua kali
Menurut Data lebih tinggi biila
SUSENAS dibandingkan dengan
1998, 2001 dan kondisi kesehatan
2003 lingkungan „baik‟

3. Kondisi kesehatan
lingkungan yang kategori
baiik di Indonesia
memeberi kontribusi
terhadap penurunan
kematian pada anak usia
1-4 tahun (AKA)
sedangkan di Jawa dan
Bali terutama
memeberikan koontribusi
pada penurunan kematian
pada anak usia dibawah 5
tahun (AKBA)

4. Tren AKB, AKA dan


AKBA berfluktuasi, naik
di tahun 2001 kemudian
menurun di tahun 2003.

5. Untuk KTI ada


kematian AKA, AKB dan
AKBA selama 5 tahun
(1998-2003) pada kondisi
kesehatan lingkungan
„baik‟.

6. Pada tahun 2001 untuk


negara-negara ASEAN
angka kematian bayi di
Indonesia memiliki urutan
ke tujuh setelah
Singapura, Malaysia,
Brunai Darussalam,
70

Thailand, Phillipina dan


Vietnam.
9 Viya Yanti Mala https://studylib 1. Angka Kematian Analisis Penyebab kematian bayi
(2015) id.com/doc/10 Bayi data dan anak menurut Mosley
34602/analisa- 2. Perbedaaan sekunder dan Chen (1984) dapat
Analisis penyebab- Sosial Ekonomi dijelaskan menggunakan
Penyebab angka- 3. Perbedaan pendekatan faktor sosial
Angka kematian-bayi- Demografis ekonomi berdasarkan
Kematian Bayi -akb- 4. Perilaku hasil analisa SDKI 2012
(AKB) di fertalitas diantaranya, perbedaan
Sumatra Selatan sosial ekonomi pada
Tahun 2015 kematian bayi dan anak,
perbedaan demografis
pada kematian bayi dan
anak, perilaku fertilitas
dengan resiko tinggi.
10 Muhammad http://eprints.u 1. Kematian Bayi Analisis Kondisi keluarga di Kota
Irfan ms.ac.id/6524 2. Kesehatan data Surakarta diukur dari 8
9/12/HALAM Lingkungan sekunder parameter menghasilkan
Analisis Pola AN%20DEPA Keluarga dan survey kondisi yang fluktuatif.
Hubungan N%20FIXS.pd Kondisi lingkungan
Kondsi f keluarga dengan nilai
Kesehatan paling baik terdapat pada
Keluarga Kecamatan Jebres dan ter
Terhadap Kasus rendahterletak pada
Angka Kecamatan Pasar Kliwon.
Kematian Bayi Tingkat persebaran kasus
Di Kota kematian bayi tersebar di
Surakarta Tahun lima kecamatan dengan
2016 jumlah yang bervariasi
namun masih dalam
kategori baik. Hubungan
antara kondisi kesehatan
lingkungan dengan AKB
menunjukkan pola
hubungan yang positif.
Sumber: Peneliti, 2019

2.1.4 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan pada landasan teori serta penelitian-penelitian terdahulu yang

telah diungkapkan di atas, sebagai dasar untuk merumuskan hipotesis berikut

kerangka berfikir yang menunjukkan Pengaruh Program Kota Tanpa Kumuh

(KOTAKU) terhadap Pendidikan dan Kesehatan di Kota Bandung dapat

digambarkan sebagai berikut:


71

Program Kotaku
(8 indikator kumuh)

Terhadap Pendidikan Terhadap Kesehatan


(Angka Partisipasi Sekolah) (Angka Kematian Bayi)

Temuan Penelitian
(Adakah perbedaan kondisi sebelum dan
sesudah adanya program KOTAKU)

Hasil Penelitian dan


Kesimpulan

Gambar 2.3. Skema Paradigma Penelitian


Sumber: Diolah, 2019

1.1.5 Hipotesis

Ditinjau dari rumusannya, hipotesis penelitian dibedakan menjadi :

1) Hipotesis kerja, yaitu hipotesis “yang sebenarnya” yang merupakan sintesis

dari hasil kajian teoritis. Hipotesis kerja biasanya disingkat H1 atau Ha.

2) Hipotesis nol atau hipotesis statistik, merupakan lawan dari hipotesis kerja

dan sering disingkat Ho.

Ada kalanya peneliti merumuskan hipotesis dalam bentuk H1 dan Ho untuk satu

permasalahan penelitian. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa Ho “sengaja”


72

dipersiapkan untuk ditolak, sedangkan H1 “dipersiapkan” untuk diterima

(Sudarwan Danim dan Darwis, 2003 : 171).

Dalam penelitian ini hipotesis yang akan diuji adalah ada atau tidaknya

pengaruh yang ditimbulkan variable independen (variable X) terhadap variable

dependen (variable Y) baik secara langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan Kajian Pustaka, kerangka pemikiran dan penelitian terdahulu,

maka hipotesis dugaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H1: Program KOTAKU berpengaruh positif terhadap pendidikan di Kota Bandung

H2: Program KOTAKU berpengaruh positif terhadap kesehatan di Kota Bandung

H3: Program KOTAKU berpengaruh positif terhadap pendidikan dan kesehatan di

Kota Bandung.

H4 : Terdapat perbedaan kondisi tingkat pendidikan dan kesehatan di Kota

Bandung sebelum dan sesudah adanya program KOTAKU.


73

BAB III

OBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Objek Penelitian

Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

pendidikan dan kesehatan yang diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota

Bandung di 14 Kecamatan yang menjadi lokasi sasaran program KOTAKU. Data

yang diambil yaitu data tahun 2014 sebelum adanya program KOTAKU dan data

tahun 2018 setelah adanya program KOTAKU di 14 Kecamatan sebagai lokasi

Program KOTAKU di Kota Bandung. Penelitian dimulai dari bulan Juli 2019.

Objek penelitian berkaitan dengan variabel-variabel yang diteliti, yang

menjadi variabel bebas dalam penelitian ini adalah Program KOTAKU, sedangkan

yang menjadi variabel terikatnya adalah Pendidikan dan Kesehatan. Dengan

indikator pendidikan yang akan diambil yaitu Angka Partisipasi Sekolah (APS)

pada rentang usia 13-15 tahun, sementara indikator kesehatan yang diambil yaitu

Angka Kematian Bayi yakni sebelum adanya program KOTAKU yaitu tahun 2014

dan setelah adanya program KOTAKU yaitu tahun 2018. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui apakah ada perbedaan kondisi terhadap pendidikan dan

kesehatan di kota Bandung sebelum dan setelah lahirnya Program KOTAKU.

3.1.1. Model Penelitian

Model penelitian ini merupakan abstraksi dari fenomena-fenomena yang

sedang diteliti. Sesuai dengan judul yang penulis kemukakan Pengaruh Program

KOTAKU Terhadap Pendidikan dan Kesehatan di Kota Bandung. Maka secara

sistematis untuk menggambarkan hubungan antara variabel independen dengan


74

variabel dependen, penulis dapat memberikan model penelitian yang dinyatakan

dengan fungsi sebagai berikut:

Pendidikan (Angka
Partisipasi Sekolah)
(Y1)
Program KOTAKU
(X1)

Kesehatan (Angka
Kematian bayi
(Y2)

Gambar 3.1 Model Penelitian


Keterangan:

X : Program KOTAKU

Y1 : Pendidikan (Angka Partisipasi Sekolah)

Y2 : Kesehatan (Angka Kematian Bayi)

Pyx : pengaruh Variabel X ke Y1 dan Y2

Variabel independen dalam penelitian ini adalah Program KOTAKU (X),

Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah Pendidikan (Angka

Partisipasi Sekolah) (Y1) dan Kesehatan (Angka Kematian Bayi) (Y2).

3.2 Metode Penelitian

Menurut Sugiyono (2016:2) definisi Metode penelitian adalah:

“Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan

tujuan dan kegunaan tertentu.”

Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan

yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Berdasarkan hal tersebut terdapat empat kata
75

kunci yang perlu diperhatikan yaitu cara ilmiah, data, tujuan dan kegunaan. Pada

penelitian kali ini, metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode

penelitian kuantitatif.

Pengertian metode penelitian kuantitatif menurut Sugiyono (2014) yaitu:

“Metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk


meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik, pengambilan sampel pada
umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen
penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistic dengan tujuan untuk menguji
hipotesis yang telah ditetapkan".

Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan

penelitian dengan metode pendekatan deskriptif dan verifikatif. Metode deskriftif

yaitu metode penelitian yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis

suatu hasil penelitian tetapi tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang lebih luas

(Sugiyono, 2013:29). Metode deskriftif yang digunakan dalam penelitian ini adalah

untuk menjawab rumusan masalah yang pertama yaitu apakah dengan berhasilnya

program KOTAKU yaitu terpenuhinya 8 (delapan) indikator penuntasan wilayah

kumuh juga berpengaruh terhadap Pendidikan di Kota Bandung. Kedua, apakah

dengan berhasilnya program KOTAKU yaitu terpenuhinya 8 (delapan) indikator

penuntasan wilayah kumuh juga berpengaruh terhadap Kesehatan di Kota Bandung.

Ketiga, apakah dengan berhasilnya program KOTAKU yaitu terpenuhinya 8

(delapan) indikator penuntasan wilayah kumuh juga berpengaruh terhadap

Pendidikan dan Kesehatan di Kota Bandung. Keempat, Adakah Perbedaan kondisi

pendidikan dan kesehatan sebelum dan sesudah adanya Program KOTAKU.

Metode penelitian verifikatif yaitu metode penelitian yang bertujuan untuk

mengetahui hubungan antar dua variabel atau lebih (Sugiyono, 2013:55). Metode
76

ini digunakan untuk menguji kebenaran dari suatu hipotesis yang diteliti. Metode

verifikatif disini digunakan untuk mengetahui dan mengkaji seberapa pengaruh

program KOTAKU terhadap Pendidikan dan Kesehatan di Kota Bandung.

3.2.1 Desain Penelitian

Desain Penelitian merupakan proses yang diperlukan dalam perencanaan

untuk melakukan penelitian guna menggambarkan proses pengamatan, memilih

masalah, pengukuran variabel, teknik sampling, alat yang digunakan dalam

pengumpulan data dan memproses data yang dikumpulkan selanjutnya dibuatkan

laporan penelitian. Pada penelitian ini menggunakan desain explanatory research,

berikut adalah pengertian explanatory research yang dikemukakan oleh Masri

Singarimbun (1989) yang menyatakan bahwa:

“Penelitian penjelasan (explanatory research) menyoroti hubungan antara


variabel penelitian dan menguji hipotesa yang telah dirumuskan
sebelumnya. Oleh karenanya ini dinamakan juga penelitian pengujian
hipotesa atau testing research, walaupun uraiannya juga mengandung
deskriptif tetapi sebagai penelitian rasional fokusnya terletak pada
penjelasan hubungan-hubungan antar variabel”
Adapun penelitian ini dapat disebut penelitian kausal, dimana penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui atau mengukur hubungan antar variabel menurut

Husein Umar (2002) yang menyatakan bahwa:

“Desain kausal berguna untuk mengukur hubungan-hubungan antar


variabel penelitian atau berguna untuk menganalisis bagaimana suatu
variabel mempengaruhi variabel lain. Desain ini juga berguna pada riset
yang bersifat ex-post-facto yang mencoba mencari hubungan-hubungan
atau sebab akibat dari variabel-variabel yang datanya telah terjadi
sebelumnya”
3.2.2 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah gabungan dari seluruh elemen yang terbentuk peristiwa, hal,

atau orang yang memiliki karakteristik serupa yang menjadi pusat perhatian
77

peneliti, karena dipandang sebagai semesta penelitian (Ferdinand, 2006).

Sedangkan menurut Sujarweni dan Endrayanto (2012:13) mengatakan bahwa,

populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi

tersebut (Sugiyono, 2011:81). Dengan demikian sampel adalah sebagian dari

populasi yang karakteristiknya hendak diselidiki, dan bisa mewakili keseluruhan

populasinya sehingga jumlahnya lebih sedikit dari populasi.

Populasi dalam penelitian ini adalah Masyarakat Berpenghasilan Rendah

(MBR) di Kota Bandung. Dalam penelitian ini penulis mempersempit populasi

yaitu jumlah kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Kota Bandung

berdasarkan Data dari Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan

dan Pertamanan Kota Bandung tahun 2017 terdapat 66.649 Rumah Tangga

berpenghasilan Rendah yang tersebar di 120 kelurahan di 30 Kecamatan di Kota

Bandung dengan menghitung ukuran sampel yang dilakukan dengan menggunakan

teknik Slovin menurut Sugiyono (2011:87).

Tabel 3.1 Data Jumlah Kepala Rumah Tangga MBR dan Non MBR Per
Kelurahan Tahun 2017. Dinas Perumahan dan Kawasan
Permukiman, Pertanahan dan Pertamanan Kota Bandung.

Jumlah
Kepala Jumlah Kepala
No Kecamaan Kelurahan Rumah Rumah Tangga
Tangga Non MBR
MBR
1 Andir Campaka 537 886
2 Andir Ciroyom 1.082 807
78

3 Andir Dungus Cariang 699 607


4 Andir Garuda 429 468
5 Andir Kebon Jeruk 343 593
6 Andir Maleber 826 671
7 Antapani Antapani Kidul 150 391
8 Antapani Antapani Kulon 720 471
9 Antapani Antapani Tengah 983 643
10 Antapani Antapani Wetan 2.067 666
Cisaranten Bina
11 Arcamanik Harapan 124 278
12 Arcamanik Sukamiskin 113 140
13 Astana Anyar Cibadak 138 584
14 Astana Anyar Karang Anyar 74 193
15 Astana Anyar Nyengseret 548 568
16 Astana Anyar Pelindung Hewan 754 209
17 Babakan Ciparay Babakan 1.194 1.289
18 Babakan Ciparay Babakan Ciparay 1.555 1.469
19 Babakan Ciparay Cirangrang 436 509
20 Babakan Ciparay Sukahaji 3.505 1.925
21 Bandung Kidul Batununggal 822 432
22 Bandung Kidul Kujangsari 1.062 1.125
23 Bandung Kidul Mengger 483 262
24 Bandung Kidul Water 393 184
25 Bandung Kulon Caringin 590 302
26 Bandung Kulon Cigondewah Kaler 323 328
27 Bandung Kulon Cigondewah Kidul 120 87
28 Bandung Kulon Cigondewah Rahayu 404 296
29 Bandung Kulon Cijerah 1.248 1.296
30 Bandung Kulon Gempolsari 182 287
31 Bandung Kulon Warung Muncang 1.840 1.040
32 Bandung Wetan Citarum 23 34
33 Bandung Wetan Tamansari 253 1.625
34 Batununggal Binong 1.169 954
35 Batununggal Cibangkong 263 1.046
36 Batununggal Gumuruh 513 583
37 Batununggal Kacapiring 88 168
38 Batununggal Kebon Gedang 406 453
39 Batununggal Kebon Waru 110 1.193
79

40 Batununggal Maleer 285 264


41 Batununggal Samoja 14 176
42 Bojongloa Kaler Babakan Asih 1.404 1.232
43 Bojongloa Kaler Babakan Tarogong 940 448
44 Bojongloa Kaler Jamika 152 1.248
45 Bojongloa Kaler Kopo 2.802 1.011
46 Bojongloa Kaler Suka Asih 253 278
47 Bojongloa Kidul Cibaduyut 725 129
48 Bojongloa Kidul Cibaduyut Kidul 600 297
49 Bojongloa Kidul Cibaduyut Wetan 293 343
50 Bojongloa Kidul Mekarwangi 391 95
51 Buahbatu Cijaura 646 613
52 Buahbatu Jatisari 221 112
53 Buahbatu Margasari 450 119
54 Buahbatu Sekejati 778 135
55 Cibeunying Kaler Cigadung 189 687
56 CIbeunying Kaler Neglasari 347 47
57 Cibeunying Kidul Cikutra 245 52
58 Cibeunying Kidul Padasuka 209 463
59 Cibeunying Kidul Pasirlayung 227 764
60 Cibeunying Kidul Sukapada 639 1.405
61 Cibiru Cipadung 130 95
62 Cibiru Cisurupan 543 345
63 Cibiru Palasari 214 517
64 Cibiru Pasir Biru 371 372
65 Cicendo Arjuna 55 653
66 Cicendo Husein Sastranegara 847 396
67 Cicendo Pajajaran 535 1.914
68 Cicendo Pasirkaliki 45 105
69 Cicendo Sukaraja 1.276 2.231
70 Cidadap Ciumbuleuit 558 534
71 Cidadap Hegarmanah 1.002 740
72 Cidadap Ledeng 376 328
73 Cinambo Babakan Penghulu 339 1.009
74 Cinambo Cisaranten Wetan 312 125
75 Cinambo Pakemitan 167 182
76 Cinambo Sukamulya 323 446
80

77 Coblong Lebak Gede 629 791


78 Coblong Sadang Serang 343 870
79 Coblong Sekeloa 276 124
80 Gedebage Cimincrang 177 133
81 Gedebage Cisaranten Kidul 146 101
82 Gedebage Rancabolang 343 473
83 Gedebage Rancanumpang 63 161
84 Kiaracondong Babakan Sari 2.779 3.163
85 Kiaracondong Babakan Surabaya 1.226 1.760
86 Kiaracondong Cicaheum 453 254
87 Kiaracondong Kebon Jayanti 1.154 1.606
88 Kiaracondong Kebon Kangkung 797 960
89 Kiaracondong Sukapura 1.970 1.837
90 Lengkong Burangrang 253 230
91 Lengkong Cijagra 168 176
92 Lengkong Cikawao 700 296
93 Lengkong Lingkar Selatan 117 393
94 Lengkong Malabar 182 26
95 Lengkong Paledang 30 65
96 Lengkong Turangga 140 766
97 Mandalajati Jatihandap 329 719
98 Mandalajati Karang Pamulang 159 435
99 Mandalajati Pasir Impun 663 943
100 Mandalajati Sindang Jaya 125 292
101 Panyileukan Cipadung Kulon 460 278
102 Panyileukan Cipadung Wetan 35 18
103 Rancasari Cipamokolan 207 277
104 Rancasari Derwati 162 102
105 Rancasari Mekarjaya 330 276
106 Regol Ciateul 160 406
107 Regol Ciseureuh 908 394
108 Regol Pasirluyu 852 426
109 Regol Pungkur 118 345
110 Sukajadi Sukabungah 1.067 1.945
111 Sukajadi Sukagalih 588 416
112 Sukasari Isola 509 981
113 Sumur Bandung Babakan Ciamis 319 509
81

114 Sumur Bandung Braga 270 171


115 Sumur Bandung Kebon Pisang 404 70
116 Sumur Bandung Merdeka 14 154
117 Ujung Berung Cigending 81 199
118 Ujung Berung Pasanggrahan 577 806
119 Ujung Berung Pasir Endah 490 781
120 Ujung Berung Pasir Wangi 404 488
TOTAL 66.649 70.588
Sumber: Portal Data Kota Bandung (Dataset: Data Jumlah Kepala Rumah Tangga
MBR dan Non MBR Per Kelurahan Tahun 2017) (Data: Data Jumlah Kepala
Rumah Tangga MBR dan Non MBR Per Kelurahan

Adapun penelitian ini menggunakan rumus Slovin karena dalam penarikan

sampel, jumlahnya harus representative agar hasil penelitian dapat

digeneralisasikan dan perhitungannya pun tidak memerlukan tabel jumlah sampel,

namun dapat dilakukan dengan rumus dan perhitungan sederhana.

Rumus Slovin untuk menentukan sampel adalah sebagai berikut:

N
n=
1+N(e)²

Keterangan:

n = Ukuran sampel/jumlah responden

N = Ukuran populasi

e = Presentase kelonggaran ketelitian kesalahan pengambilan sampel yang

masih bisa ditolerir; e = 0,1

Dalam rumus Slovin ada ketentuan sebagai berikut:

Nilai e = 0,1 (10%) untuk populasi dalam jumlah besar

Nilai e = 0,2 (20%) untuk populasi dalam jumlah kecil

Jadi rentang sampel yang dapat diambil dari teknik Slovin adalah antara 10-20

% dari populasi penelitian.


82

Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 Kecamatan di Kota

Bandung, sehingga presentase kelonggaran yang digunakan adalah 20% dan hasil

perhitungan dapat dibulatkan untuk mencapai kesesuaian. Maka untuk mengetahui

sampel penelitian, dengan perhitungan sebagai berikut:

30
n=
1 + 30 (20)²
30
n= = 13,6; di bulatkan 14 Kecamatan.
2,2

Berdasarkan perhitungan diatas sampel yang menjadi responden dalam

penelitian ini disesuaikan menjadi sebanyak 14 Kecamatan dengan mengambil

sample di 67 Kelurahan dengan tingkat kepadatan MBR tertinggi serta jumlah

kecamatan yang kelurahannya masuk dalam kategori MBR. Hal ini dilakukan untuk

mempermudah dalam pengolahan data dan untuk hasil pengujian yang lebih baik.

3.2.2.1 Teknik Sampling

Sampling adalah suatu cara pengumpulan data yang sifatnya tidak menyeluruh,

yaitu tidak mencakup seluruh objek penelitian (populasi) akan tetapi sebagian saja

dari populasi. Menurut Sugiyono (2014:81) menyatakan bahwa: “Teknik sampling

adalah teknik pengambilan sampel.”

Untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian, terdapat

berbagai teknik sampling yang digunakan. Dalam penelitian ini penulis

menggunakan probability sampling dengan jenis simple random sampling.

Menurut Sugiyono (2014:82) probability sampling diartikan sebagai berikut:

“Probability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan


peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi
sampel. Teknik sampel ini meliputi, simple random sampling, proportionate
83

stratified random sampling, disproportionate stratified random, sampling area


(cluster) sampling (sampling menurut daerah).”
Jenis probability sampling yang digunakan dalam pengambilan sampel pada

penelitian ini adalah simple random sampling. Menurut Sugiyono (2014:82)

menyebutkan bahwa:

“Dikatakan simple (sederhana) karena pengambilan anggota sampel dari


populasi dilakukan secara acak tanpa memperhartikan strata yang ada dalam
populasi itu. Cara demikian dilakukan bila anggota populasi dianggap
homogen.”
Pada penelitian ini dilakukan teknik pengambilan sampel dengan menggunakan

simple random sampling, hal ini dilakukan karena anggota populasi yakni

Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang tersebar di 14 Kecamatan yang

semua kelurahannya masuk dalam kategori MBR dan memiliki peluang yang sama

untuk dipilih menjadi sampel tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi

itu sendiri.

Pengambilan sampel ini dilakukan dengan teknik insindental, seperti yang

dikemukakan Sugiyono (2011:85), bahwa sampling insindental adalah penentuan

sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/insindental

bertemu dengan peneliti maka dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang

orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data.

Tabel 3.2 Proses Seleksi Sampel

No Kualifikasi Sampel Jumlah

1 Jumlah Total Kecamatan di Kota Bandung 30 Kecamatan


2 Jumlah Kecamatan MBR yang semua 14 Kecamatan
kelurahannya masuk kategori MBR

Total Kelurahan Sampel 14 Kecamatan


Sumber: Hasil olah Data, 2019
84

Dari Jumlah kecamatan yang ada di Kota Bandung sebanyak 30 kecamatan.

Berdasarkan hasil hitung Slovin, maka sampel yang diambil sebanyak 14

Kecamatan. Peneliti mengambil sampel di 14 Kecamatan dengan kategori semua

Kelurahan di Kecamatan yang bersangkutan masuk kategori MBR.

Cara Pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi, yaitu dengan

cara mengumpulkan, mencatat dan mengkaji data sekunder yang ada dari Badan

Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung yaitu berupa data Kecamatan Dalam Angka

yang meliputi 14 kecamatan yang menjadi sampel penelitian. Adapun data yang

diambil yaitu data Kecamatan Dalam Angka tahun 2014 sebelum adanya program

Kotaku dan data Kecamatan Dalam Angka tahun 2018 setelah adanya program

kotaku.

Tabel 3.3 Sampel Penelitian

Jumlah Kepala Jumlah Kepala


No Kecamaan Kelurahan Rumah Rumah Tangga
Tangga MBR Non MBR
1 Andir Campaka 537 886
Andir Ciroyom 1.082 807
Andir Dungus Cariang 699 607
Andir Garuda 429 468
Andir Kebon Jeruk 343 593
Andir Maleber 826 671
2 Antapani Antapani Kidul 150 391
Antapani Antapani Kulon 720 471
Antapani Antapani Tengah 983 643
Antapani Antapani Wetan 2.067 666
3 Bandung Kidul Batununggal 822 432
Bandung Kidul Kujangsari 1.062 1.125
Bandung Kidul Mengger 483 262
Bandung Kidul Wates 393 184
4 Batununggal Binong 1.169 954
85

Batununggal Cibangkong 263 1.046


Batununggal Gumuruh 513 583
Batununggal Kacapiring 88 168
Batununggal Kebon Gedang 406 453
Batununggal Kebon Waru 110 1.193
Batununggal Maleer 285 264
Batununggal Samoja 14 176
5 Bojongloa Kaler Babakan Asih 1.404 1.232
Babakan
Bojongloa Kaler Tarogong 940 448
Bojongloa Kaler Jamika 152 1.248
Bojongloa Kaler Kopo 2.802 1.011
Bojongloa Kaler Suka Asih 253 278
6 Buahbatu Cijaura 646 613
Buahbatu Jatisari 221 112
Buahbatu Margasari 450 119
Buahbatu Sekejati 778 135
7 Cibiru Cipadung 130 95
Cibiru Cisurupan 543 345
Cibiru Palasari 214 517
Cibiru Pasir Biru 371 372
8 Cidadap Ciumbuleuit 558 534
Cidadap Hegarmanah 1.002 740
Cidadap Ledeng 376 328
Babakan
9 Cinambo Penghulu 339 1.009
Cinambo Cisaranten Wetan 312 125
Cinambo Pakemitan 167 182
Cinambo Sukamulya 323 446
10 Gedebage Cimincrang 177 133
Gedebage Cisaranten Kidul 146 101
Gedebage Rancabolang 343 473
Gedebage Rancanumpang 63 161
11 Kiaracondong Babakan Sari 2.779 3.163
Babakan
Kiaracondong Surabaya 1.226 1.760
Kiaracondong Cicaheum 453 254
Kiaracondong Kebon Jayanti 1.154 1.606
86

Kiaracondong Kebon Kangkung 797 960


Kiaracondong Sukapura 1.970 1.837
12 Lengkong Burangrang 253 230
Lengkong Cijagra 168 176
Lengkong Cikawao 700 296
Lengkong Lingkar Selatan 117 393
Lengkong Malabar 182 26
Lengkong Paledang 30 65
Lengkong Turangga 140 766
13 Mandalajati Jatihandap 329 719
Mandalajati Karang Pamulang 159 435
Mandalajati Pasir Impun 663 943
Mandalajati Sindang Jaya 125 292
14 Sumur Bandung Babakan Ciamis 319 509
Sumur Bandung Braga 270 171
Sumur Bandung Kebon Pisang 404 70
Sumur Bandung Merdeka 14 154
Total Kecamatan 14 38.406 38.625
Sumber: Peneliti, 2019.

3.2.3 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

3.2.3.1 Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat

Statistik (BPS) Kota Bandung. Data sekunder adalah sumber data yang tidak

langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau

dokumen (Sugiyono 2013:402). Data sekunder merupakan data primer yang telah

diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pihak pengumpul data primer atau oleh

pihak lain. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

kuantitatif, yaitu data yang dinyatakan dalam angka-angka, yang menunjukkan nilai

terhadap besaran atau variabel yang diwakilinya. Data sekunder berupa Angka
87

Partisipasi Sekolah diperoleh dari Badan Pusat Statistik, sementara data Angka

Kematian Bayi diperoleh dari data profil kesehatan Kota Bandung.

3.2.3.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh Penulis

adalah sebagai berikut:

1. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Penulis berusaha untuk memperoleh

sebanyak-banyaknya informasi untuk dijadikan dasar teori dan acuan dalam

mengolah data, yaitu dengan cara membaca, mempelajari, menelaah, dan mengkaji

literature-literatur berupa buku, jurnal, makalah, dan penelitian terdahulu, yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti. Selain itu, Penulis juga mengumpulkan,

mempelajari, dan menelaah data sekunder yang berhubungan dengan objek yang

akan diteliti.

2. Dokumentasi (Documentation) Memperoleh dokumen dengan menyimpulkan

dan mempelajari sehingga diketahui hubungan antara variabel-variabel yang diteliti

seperti pada Angka Partisipasi Sekolah untuk indikator pendidkan, dan Angka

Kematian Bayi untuk indikator kesehatan antara tahun 2014 dan tahun 2018, yaitu

sebelum (pre) dan setelah (post) adanya program KOTAKU.

3. Riset Internet (Online Research) Penulis berusaha untuk memperoleh berbagai

data dan informasi tambahan yang berhubungan dengan penelitian dari situs-situs

yang dapat dipercaya.

3.2.4 Definisi Variabel dan Operasionalisasi Variabel

Variabel-variabel penelitian harus didefinisikan secara jelas, sehingga tidak

menimbulkan pengertian yang berarti ganda. Definisi variabel juga memberikan


88

batasan sejauh mana penelitian yang akan dilakukan. Operasional variabel

diperlukan untuk mengubah masalah yang diteliti ke dalam bentuk variabel,

kemudian menentukan jenis dan indikator dari variabel-variabel yang terkait.

3.2.4.1 Definisi Variabel

Variabel merupakan sesuatu hal yang berbentuk apa saja yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari, apa yang akan diteliti oleh peneliti sehingga diperoleh

informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.

Definisi variabel penelitian menurut Sugiyono (2014:38) menyatakan

bahwa “Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,

obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya.”

Kerlinger dalam Sugiyono (2014:38) menyatakan bahwa “Variabel adalah

konstruk (constructs) atau sifat yang akan dipelajari.”

Variabel merupakan sesuatu hal yang berbentuk apa saja yang diterapkan

oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi untuk ditarik

kesimpulan. Menurut hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain

maka macam-macam variabel dalam penelitian dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Variabel Bebas (Independent Variabel)

Menurut Sugiyono (2014:39) mengartikan variabel bebas sebagai berikut:

“Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi

sebab perubahannya atau timbulnya varabel dependen (terikat).”

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas (independent variable)

adalah Program KOTAKU.


89

Penjelasan variabel tersebut sebagai berikut:

a. Program KOTAKU (X1) Menurut (Pedoman Umum Program

KOTAKU, 2016:2-3) mendefinisikannya sebagai berikut:

“Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) merupakan program pembangunan dan


pengembangan bagi peningkatan kualitas permukiman kumuh secara nasional.
Program ini dibentuk sebagai pendamping teknis untuk mencapai sasaran RPJMN
Tahun 2015-2019 yaitu pengentasan permukiman kumuh perkotaan menjadi 0%
atau 0 Ha melalui pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh seluas
38.431 Ha, serta meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar
di kawasan kumuh perkotaan untuk mendukung terwujudnya permukiman
perkotaan yang layak huni, produktif dan berkelanjutan”
2. Variabel Terikat (Dependent Variable)

Menurut Sugiyono (2014:39) menyebutkan mengenai variabel terikat yaitu:

“Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi

akibat, karena adanya variabel bebas.”

Pada penelitian ini yang menjadi variabel terikat (dependent variable)

adalah Pendidikan dengan indikator variable Angka Partisipasi Sekolah

(Y1) dan Kesehatan dengan indikator variable Anga Kematian Bayi (Y2).

a. Pendidikan (Y1) Menurut Menurut tim redaksi longman advanced

American dictionary (2007:509) adalah:

“proses untuk mengembangkan pikiran seseorang melalui belajar di

sekolah atau perguruan tinggi”.

Dalam penelitian ini variable pendidikan yang akan dikaji antara lain

indikator Angka Partisipasi Sekolah. Menurut Wakhinuddin4 (2009) Angka

Partisipasi Sekolah (APS) yaitu:

“perbandingan antara jumlah murid kelompok usia sekolah tertentu


yang bersekolah pada berbagai jenjang pendidikan dengan penduduk
kelompok usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase.
Indikator ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah
90

yang telah bersekolah di semua jenjang pendidikan. Makin tinggi APS


berarti makin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah.
Nilai ideal APS = 100 % dan tidak akan terjadi lebih besar dari 100 %,
karena murid usia sekolah dihitung dari murid yang ada di semua
jenjang pendidikan pada suatu daerah”.

b. Kesehatan (Y2) Menurut (Santoso, 2012: 8) adalah:

“keadaan seimbang yang dinamis, dipengaruhi faktor genetik,


lingkungan dan pola hidup sehari-hari seperti makan, minum, seks,
kerja, istirahat, hingga pengelolaan kehidupan emosional. Status
kesehatan tersebut menjadi rusak bila keadaan keseimbangan terganggu,
tetapi kebanyakan kerusakan pada periode-periode awal bukanlah
kerusakan yang serius jika orang mau menyadarinya”.

Dalam penelitian ini variable kesehatan yang akan dikaji antara lain

indikator Angka Kematian Bayi di Kota Bandung. Menurut Dinas

Kesehatan Jawa Tengah (2015) Angka Kematian Bayi (AKB) adalah

“Probabilitas kematian yang terjadi sebelum bayi mencapai ulang tahun

yang pertama per 1000 kelahiran hidup”.

Sementara menurut Sudariyanto (2011) Kematian bayi endogen atau

kematian neonatal disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak

lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi dan Menurut

Mochtar (1998), kematian bayi yang disebabkan dari kondisi bayinya

sendiri yaitu BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), bayi prematur, dan

kelainan kongenital. Kematian bayi eksogen atau kematian postneonatal

disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan

luar.
91

3.2.4.2 Operasionalisasi Variabel

Penelitian ini menggunakan variabel dependen dan variabel independen.

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat

karena adanya perubahan variabel independen, sedangkan variabel independen

adalah variabel yang mempengaruhi variabel dependen. Variabel dependen dalam

penelitian ini adalah Pendididikan (X1) dengan indikator yang diambil yaitu Angka

Partisipasi Sekolah, dan Variabel (X2) yaitu Kesehatan dengan indikator yang

diambil yaitu Angka Kematian Bayi. sedangkan Variabel independen pada

penelitian ini adalah Program KOTAKU.

Dalam rangka mendapatkan konsep pengukuran yang jelas dan

menghindarkan persepsi yang berbeda-beda tentang variabel yang diteliti, maka

diperlukan adanya operasionalisasi variabel.

Pengertian operasional variabel adalah melekatkan arti pada suatu variabel

dengan cara menetapkan kegiatan atau tindakan yang perlu untuk mengukur

variabel itu. Pengertian operasional variabel penelitian ini kemudian diuraikan

menjadi indikator empiris (IE) pada tabel dibawah:

Tabel 3.4 Operasionalisaasi Variabel

Variabel Dimensi Indicator Skala

VARIABLE X PROGRAM 1. Pencegahan 1. Bangunan gedung Rasio


KOTAKU dan 2. Ruang terbuka publik Rasio
Sumber: (Pedoman Umum peningkatan 3. Jalan lingkungan Rasio
Program KOTAKU, kualitas 4. Pengaman kebakaran Rasio
2016:2-3). pem-
ukiman
Program Kota Tanpa kumuh
Kumuh (KOTAKU)
merupakan program
92

pembangunan dan 2. Pelaksanaan 5. Drainase lingkungan Rasio


pengembangan bagi dan 6. Pengelolaan air limbah Rasio
peningkatan kualitas peningkatan 7. Pengelolaan sampah Rasio
permukiman kumuh secara kualitas
nasional. Program ini sanitasi
dibentuk sebagai
pendamping teknis untuk
mencapai sasaran RPJMN
Tahun 2015-2019 yaitu
pengentasan permukiman
kumuh perkotaan menjadi
0% atau 0 Ha melalui 3. Pelaksanaan 8. Penyediaan air minum Rasio
pencegahan dan dan
peningkatan kualitas peningkatan
permukiman kumuh seluas kualitas Air
38.431 Ha, serta bersih
meningkatkan akses
terhadap infrastruktur dan
pelayanan dasar di kawasan
kumuh perkotaan untuk
mendukung terwujudnya
permukiman perkotaan yang
layak huni, produktif dan
berkelanjutan
VARIABEL Y1 Pendidikan Angka Partisipasi Sekolah Rasio
Pendidikan sebagai usia 13-15 tahun
indikator IPM
Menurut tim redaksi Menurut Wakhinuddin4
longman advanced (2009) Angka Partisipasi
American dictionary Sekolah (APS) yaitu:
(2007:509) pendidikan
adalah: “perbandingan antara jumlah
“proses untuk murid kelompok usia sekolah
mengembangkan pikiran tertentu yang bersekolah pada
seseorang melalui belajar di berbagai jenjang pendidikan
sekolah atau perguruan dengan penduduk kelompok
tinggi”. usia sekolah yang sesuai dan
dinyatakan dalam persentase.
Indikator ini digunakan untuk
mengetahui banyaknya anak
usia sekolah yang telah
bersekolah di semua jenjang
pendidikan. Makin tinggi
APS berarti makin banyak
anak usia sekolah yang
bersekolah di suatu daerah.
93

Nilai ideal APS = 100 % dan


tidak akan terjadi lebih besar
dari 100 %, karena murid usia
sekolah dihitung dari murid
yang ada di semua jenjang
pendidikan pada suatu
daerah”.

VARIABEL Y2 Kesehatan Angka Kematian Bayi Rasio


Kesehatan sebagai
Indikator IPM Menurut Dinas Kesehatan
Menurut (Santoso, 2012: 8) Jawa Tengah (2015) Angka
kesehatan adalah: Kematian Bayi (AKB) adalah
“keadaan seimbang yang
dinamis, dipengaruhi faktor “probabilitas kematian yang
genetik, lingkungan dan terjadi sebelum bayi
pola hidup sehari-hari mencapai ulang tahun yang
seperti makan, minum, seks, pertama per 1000 kelahiran
kerja, istirahat, hingga hidup”.
pengelolaan kehidupan
emosional. Status kesehatan
tersebut menjadi rusak bila
keadaan keseimbangan
terganggu, tetapi
kebanyakan kerusakan pada
periode-periode awal
bukanlah kerusakan yang
serius jika orang mau
menyadarinya”.

3.2.5 Metode Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan

teknik pengolahan data. Analisis data merupakan salah satu kegiatan penelitian

berupa proses penyusunan dan pengolahan data guna menafsirkan data yang telah

diperoleh. Menurut Sugiyono (2014:206), analisis data merupakan kegiatan setelah

data dari seluruh responden terkumpul. Kegiatan dalam menganalisis data adalah

mengelompokkan data berdasarkan variabel dari seluruh responden, mentabulasi

data berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan data tiap variabel
94

yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah, dan

melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan.

Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu pendidikan dan kesehatan.

Untuk mengetahui apakah ada perbedaan variabel dependen akibat variabel

independen, maka dilakukan analisis uji beda. Terlebih dahulu dilakukan pengujian

asumsi klasik agar hasil analisis uji beda menunjukkan hubungan yang valid.

3.2.5.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis data dengan cara

mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana

adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau

generalisasi.

Metode deskriftif yaitu metode penelitian yang digunakan untuk

menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tanpa bermaksud

membuat kesimpulan yang lebih luas (Sugiyono, 2013:29).

Metode deskriftif yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk

menjawab rumusan masalah yang pertama yaitu apakah dengan adanya program

KOTAKU berpengaruh terhadap tingkat pendidikan di Kota Bandung. Kedua,

apakah dengan adanya program KOTAKU berpengaruh terhadap tingkat kesehatan

di Kota Bandung. Ketiga, apakah dengan adanya program KOTAKU berpengaruh

terhadap pendidikan dan kesehatan di Kota Bandung. Keempat, Adakah Perbedaan

kondisi tingkat pendidikan dan kesehatan di Kota Bandung sebelum dan sesudah

adanya Program KOTAKU.


95

3.2.5.2 Analisis Asosiatif (Verifikatif)

3.2.5.2.1 Uji Asumsi Klasik

1. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah nilai residual yang

dihasilkan dari suatu model regresi terdistribusi secara normal atau tidak. Model

regresi yang baik memiliki nilai residual yang terdistribusi secara normal.

Pengujian normalitas dalam penelitian ini menggunakan analisis grafik dan uji One-

Sample Kolmogorov-Smirnov.

Untuk melihat normalitas suatu model regresi dapat dideteksi dengan

melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik atau dengan

melihat histogram dari residualnya (Imam Ghozali, 2013:163). Adapun dasar

pengambilan keputusannya adalah:

a. Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal

atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model

regresi memenuhi asumsi normalitas.

b. Jika data menyebar jauh dari diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis

diagonal atau grafik histogramnya tidak menunjukkan pola distribusi normal,

maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.

Sedangkan, dasar pengambilan keputusan pada uji One-Sample Kolmogorov-

Smirnov adalah residual berdistribusi normal apabila nilai signifikansinya lebih dari

0,05 (Duwi Priyatno, 2012:147).


96

Uji normalitas lain menggunakan uji statistik non parametrik

KolmogorovSmirnov (K-S). Pedoman pengambilan keputusan tentang data tersebut

mendekati atau merupakan distribusi normal berdasarkan Uji K-S dapat dilihat dari:

a. Jika nilai Sig. atau signifikan normal atau probabilitas < 0,05 maka data tidak

berdistribusi normal.

b. Jika nilai Sig. atau signifikan normal atau probabilitas > 0,05 maka data

berdistribusi normal.

3.2.5.2.2 Uji Beda (Paired Sample t-Test)

Variabel dependen dalam penelitian ini memiliki dua kategori yaitu tingkat

pendidikan dan kesehatan sebelum dan sesudah berjalannya program KOTAKU

yaitu pada tahun 2014 sebelum adanya program KOTAKU dan pada tahun 2018

setelah adanya program KOTAKU. Oleh sebab itu, dilakukan pengujian dengan

metode uji beda rata-rata untuk dua sampel berpasangan (paired sample t-test).

Model uji beda ini digunakan untuk menganalisis model penelitian pre-post atau

sebelum dan sesudah. Uji beda digunakan untuk mengevaluasi perlakuan

(treatment) tertentu pada satu sampel yang sama pada dua periode pengamatan yang

berbeda (Pramana, 2012). Paired sample t-test digunakan apabila data berdistribusi

normal. Menurut Widiyanto (2013), paired sample t-test merupakan salah satu

metode pengujian yang digunakan untuk mengkaji keefektifan perlakuan, ditandai

adanya perbedaan rata-rata sebelum dan rata-rata sesudah diberikan perlakuan.

Dasar pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak Ho pada uji ini adalah

sebagai berikut.
97

1. Jika t hitung > t tabel dan probabilitas (Asymp.Sig) < 0,05, maka Ho ditolak dan

Ha diterima.

2. Jika t hitung < t tabel dan probabilitas (Asymp.Sig) > 0,05, maka Ho diterima

dan Ha ditolak.

Prosedur uji paired sample t-test (Siregar, 2013):

a. Menentukan hipotesis; yaitu sebagai berikut:

Ho1 : tidak terdapat perbedaan kondisi tingkat pendidikan di Kota Bandung

sebelum dan sesudah adanya Program KOTAKU.

Ha1 : terdapat perbedaan kondisi tingkat pendidikan di Kota bandung sebelum dan

sesudah adanya Program KOTAKU.

Ho2 : tidak terdapat perbedaan kondisi tingkat kesehatan di Kota Bandung sebelum

dan sesudah adanya Program KOTAKU.

Ha2 : terdapat perbedaan kondisi tingkat kesehatan di Kota Bandung sebelum dan

sesudah adanya Program KOTAKU.

Ho3 : tidak terdapat perbedaan kondisi tingkat pendidikan dan kesehatan di Kota

Bandung sebelum dan sesudah adanya Program KOTAKU.

Ha3 : terdapat perbedaan kondisi tingkat pendidikan dan kesehatan di Kota

Bandung sebelum dan sesudah adanya Program KOTAKU.

b. Menentukan level of significant sebesar 5% atau 0,05

c. Menentukan kriteria pengujian

Ho ditolak jika nilai probabilitas < 0,05, berarti terdapat perbedaan kondisi

pendidikan dan kesehatan pada saat sebelum dan sesudah adanya Program

KOTAKU.
98

Ho diterima jika nilai probabilitas > 0,05, berarti tidak terdapat perbedaan kondisi

pendidkan dan kesehatan pada saat sebelum dan sesudah adanya program

KOTAKU

d. Penarikan kesimpulan berdasarkan pengujian hipotesis.

Anda mungkin juga menyukai