Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan penduduk perkotaan merupakan fenomena yang sedang


dihadapi kota-kota di Indonesia, sampai dengan akhir tahun 2007 jumlah
penduduk perkotaan diperkirakan mencapai 36% dari total jumlah penduduk
Indonesia secara keseluruhan. Selanjutnya berdasarkan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional, diperkirakan pada tahun
2025 mendatang jumlah penduduk Indonesia mencapai 274 juta jiwa
dimana 60 persen-nya tinggal di kawasan perkotaan. Tingginya penduduk
yang tinggal di kawasan perkotaan menyebabkan meluasnya wilayah
terbangun perkotaan (Built Up Areas), di samping itu pesatnya
perkembangan fisik perkotaan di kawasan sub – urban atau pinggiran kota
juga berdampak pada terciptanya kantong-kantong kawasan kumuh di
kawasan perkotaan. Salah satu faktor penyebab tingginya pertumbuhan
penduduk perkotaan adalah peningkatan arus urbanisasi. Seiring
peningkatan jumlah penduduk tersebut tidak diimbangi dengan perluasan
lapangan kerja, penyediaan prasarana lingkungan dan peningkatan
pendapatan sehingga menyebabkan berkembangnya kawasan permukiman
padat penduduk dan kumuh di wilayah perkotaan.
Disisi lain, krisis ekonomi yang berkepanjangan juga ikut andil dalam
mempercepat penurunan kualitas lingkungan fisik di kawasan perkotaan,
terutama pada permukiman padat penduduk. Hal ini menyebabkan
kemampuan daya beli masyarakat menjadi menurun yang terdampak pada
pemeliharaan prasarana dan sarana di kawasan permukiman ikut terabaikan.
Sehingga meningkatkan jumlah penduduk miskin, termasuk di wilayah
permukiman kumuh. Sampai dengan saat ini diperkirakan aspek utama yang
menyebabkan tumbuhnya kawasan kumuh adalah karena tidak
terbendungnya arus urbanisasi. Membanjirnya kaum urban tidak diimbangi
dengan pendidikan dan keahlian yang memadai sehingga kaum urban hanya
2

bisa menggeluti pekerjaan di sektor informal yang memberikan pendapatan


seadanya dan tidak tetap. Kaum urban lah yang menghuni kawasan-kawasan
kumuh perkotaan. Kawasan kumuh sudah merupakan realitas sosial yang
pasti terjadi sepanjang ketimpangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat
dibiarkan berkembang. Dampak dari semakin banyaknya Kawasan –
kawasan kumuh di perkotaan menyebabkan angka kemiskinan menjadi terus
meningkat, kualitas lingkungan semakin berkurang karena masyarakat
berusaha meningkatkan pendapatannya tanpa memperhatikan lingkungan
huniannya.
Usaha peningkatan kualitas lingkungan permukiman terus dilakukan
oleh berbagai negara di dunia yang dipelopori oleh PBB melalui Millenium
Development Goals (MDGs) yang dimana program tersebut sudah
diperbaharui menjadi Sustainable Development Goals (SDGs). Tujuan dari
Sustainable Development Goals (SDGs) sendiri yang dikutip dari Litbang
Depkes RI antara lain salah satunya adalah mengakhiri segala bentuk
kemiskinan yang sangat berkaitan erat dengan permukiman kumuh, dan
selain itu juga terdapat tujuan yang mana berupa perbaikan berbagai sarana
dan prasarana dasar manusia dengan tujuan mengurangi kemiskinan dan
penghidupan yang layak melalui akses yang baik terhadap air bersih,
sanitasi maupun pendidikan. Oleh karena itu dalam rangka mengupayakan
percepatan pengentasan kemiskinan, salah satu cara yang ditempuh oleh
pemerintah adalah menata kawasan permukiman kumuh di perkotaan
dengan meluncurkan program – program penataan kawasan kumuh yakni
program perbaikan fisik permukiman, program perbaikan dan peningkatan
ekonomi serta program pemberdayaan masyarakat untuk perbaikan dan
peningkatan sosial – budaya masyarakat.
Berdasarkan data dari Ditjen Cipta Karya yang dirilis pertengahan
tahun 2007 menyatakan bahwa Penduduk Indonesia yang bermukim di
kawasan kumuh perkotaan mencapai sekitar 17 juta orang dengan luas lahan
yang ditempati lebih dari 54 ribu hektar, tingkat kepadatan hunian yang
mencapai 13,1 juta orang. Selain penduduk di kawasan kumuh, banyak
3

rumah tak layak huni juga menjadi persoalan yang dihadapi pemerintah
kota. Keadaan yang tak nyaman itu mendorong pemerintah menargetkan
pembangunan sekitar 26.700 unit rumah susun sederhana sewa dalam kurun
waktu tahun 2014 – 2019.
Kota Banjarmasin sebagai salah satu kota besar di di Provinsi
Kalimantan Selatan juga memiliki kawasan-kawasan kumuh yang
menyimpan berbagai permasalahan fisik, sosial maupun ekonomi. Kawasan
– kawasan kumuh tersebut menjadi kantong-kantong kemiskinan di
perkotaan yang selalu menimbulkan permasalahan sosial dan ekonomi.
Kawasan – kawasan kumuh di Kota Banjarmasin tersebar diseluruh penjuru
kota dengan menempati lahan marginal seperti bantaran sungai, sempadan
jalan, kawasan komersial/ perdagangan dan jasa, maupun lahan legal
perkotaan seperti tanah negara, lahan/ jalur hijau, lahan kosong yang bukan
miliknya.
Tingginya jumlah penduduk perkotaan di Kalimantan Selatan (sekitar
35,91%), termasuk di Kota Banjarmasin merupakan juga salah satu
penyebab terbentuknya kantong-kantong kumuh di Kota Banjarmasin,
dimana perkembangan tersebut tidak diimbangi dengan tersedianya lahan
hunian yang memadai sehingga mendiami lahan marginal tersebut. Aspek
sosial budaya juga cukup berpengaruh terhadap terbentuknya kawasan
kumuh terutama pada permukiman di bantaran sungai di kota Banjarmasin
dimana pada umumnya Kawasan – kawasan tersebut tidak tersedia sarana
sanitasi yang memadai dan jarak antar rumah yang sangat rapat sehingga
menimbulkan kesan padat dan semrawut. Beberapa upaya penanganan
kawasan kumuh di Kota Banjarmasin telah dilakukan oleh Pemerintah Kota/
Provinsi maupun Pemerintah Pusat melalui beberapa program
pembangunan/ merevitalisasi kawasan, namun masih banyak menyisakan
kawasan yang belum tertangani atau bahkan kawasan kumuh baru karena
belum ditangani.
Ditambahin penjelasan program 100 – 0 – 100.
4

Beberapa program telah diusut oleh pemerintah pusat maupun daerah


masing – masing, salah satu program yang paling terkenal adalah program
yang dibuat oleh Kementrian PUPR yaitu program 100 – 0 – 100. Program
tersebut menjawab tantangan Sustainable Development Goals (SDGs) yang
berupa 100% akses air minum (air bersih) 0 hektar permukiman kumuh dan
100% akses sanitasi menjadi solusi peningkatan tingkat kesehatan
masyarakat. Gerakan tersebut dapat diwujudkan dengan peran serta ahli
berbagai aspek, khususnya ahli di bidang penyehatan lingkungan. Nota bene
yang harus diperhatikan disini adalah 0 hektar permukiman kumuh yang
dimana menjadi salah satu yang melatarbelakangi penyusunan proposal ini.
Oleh karena itu, melalui beberapa program berkelanjutan atau rencana
tindak lanjut diharapkan Kawasan – kawasan kumuh yang ada dapat segera
tertangani. Melihat perkembangan dan penanganan kawasan kumuh yang
telah dilakukan oleh pemerintah kota maupun pemerintah pusat dalam kurun
waktu 3 (tiga) tahun terakhir, maka dilapangan banyak terjadi perubahan –
perubahan kondisi kawasan kumuh yang ada. Dengan kondisi demikian,
maka diperlukan kajian kembali studi identifikasi kawasan kumuh yang
diharapkan nantinya dapat memberikan informasi yang tepat dan akurat
terkait kawasan-kawasan kumuh yang ada, apakah kondisinya masih masuk
kategori tinggi, sedang atau rendah. Bahkan penambahan lokasi-lokasi
kumuh baru yang belum masuk dalam inventarisasi data kumuh pada tahun
2019.
Secara faktual, pertumbuhan dan perkembangan kota/kawasan di
Provinsi Kalimantan Selatan saat ini baik fisik, sosial, maupun ekonomi dari
tahun ketahun semakin meningkat. Konsekuensi logis, perlu upaya
penyeimbangan antara kebutuhan (demand) dan penyediaan (supply) akan
prasarana dan sarana kota/ kawasan dalam rangka peningkatan kualitas
lingkungan. Oleh karena itu, perlu dipikirkan metode atau konsep
penanganan pembangunan yang dapat menggerakan partisipasi aktif
masyarakat sehingga mampu mengambil inisiatif untuk memecahkan
5

masalah pembangunan yang menjadi tanggung jawab masyarakat/


komunitas itu sendiri.
Dalam konsep ini, inisiatif pembangunan diharapkan muncul atau
didorong agar muncul dari bawah atau dari masyarakat (Demand Side),
sementara pihak dari atas atau Pemerintah (Supply Side) akan berfungsi
sebagai pembina untuk menggerakan dan mengarahkan inisiatif dan
partisipasi masyarakat/ komunitas tersebut.
1.2 Perumusan Masalah

Permaslahan di lokasi

Terkait dengan uraian dari latar belakang tersebut, maka adapun yang
menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana kondisi eksisting kawasan kumuh di Kota Banjarmasin pada
saat ini?
2. Bagaimanakah identifikasi kawasan kumuh Kota Banjarmasin?
3. Bagaimana konsepsi penanganan kawasan kumuh Kota Banjarmasin
melalui pendekatan Pembangunan yang Bertumpu kepada Masyarakat
(Community Based Development – CBD)?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan : judul
Rencana Penanganan Kawasan Kumuh Kota Banjarmasin melalui
pendekatan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat
Dalam mewujudkan tujuan dari penelitian ini maka ada beberapa hal
yang harus dilakukan, berdasarkan metode yang akan digunakan yaitu
melalui metode pendekatan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat
(Community Based Development – CBD) sasaran dari penelitian ini adalah
menginventarisasi kawasan permukiman kumuh saat ini, dan melakukan
identifikasi kawasan kumuh tersebut serta menyusun strategi penataan
kawasan kumuh Kota Banjarmasin yang tepat untuk dilaksanakan yang
bertumpu pada masyarakat (Community Based Development – CBD).
1.4 Sasaran
6

Sedangkan dalam penelitian ini sasaran yang ingin dicapai dalam


penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kondisi eksisting kawasan kumuh di Kota
Banjarmasin pada saat ini?
2. Untuk mengetahui identifikasi kawasan kumuh Kota Banjarmasin?
3. Untuk mengetahui konsepsi penanganan kawasan kumuh Kota
Banjarmasin melalui pendekatan Pembangunan yang bertumpu kepada
masyarakat (Community Based Development – CBD)?

1.5 Ruang Lingkup


Untuk memperjelas masalah yang akan dibahas dan agar tidak terjadi
pembahasan yang meluas atau menyimpang, maka perlu kiranya dibuat
suatu batasan masalah. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan
dibahas dalam penulisan proposal ini, terbagi menjadi 3 yaitu ruang lingkup
materi, ruang lingkup lokasi dan ruang lingkup waktu yang akan dijelaskan
dama pembahasan di bawah ini.

1.5.1 Ruang Lingkup Materi


Penelitian ini hanya membahas bagaimana penataan/ penyusunan
kawasan kumuh dengan metode pendekatan pembangunan yang bertumpu
pada masyarakat (Community Based Development – CBD).
1.5.2 Ruang Lingkup Lokasi
Agar tidak meluasnya lingkup lokasi yang diteliti maka penelitian ini
hanya berlingkup pada Kota Banjarmasin.
1.5.3 Ruang Lingkup Waktu
Guna mewujudkan dan menyelesaikan penelitian ini dengan tepat
waktu maka harus diberikan rentang waktu penelitian, untuk itu penelitian
ini akan dilaksanakan dimulai pada bulan Juli – Agustus pada tahun 2019.
1.6 Manfaat Penelitian
7

Adapun kegunaan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, adalah


sebagai berikut:
1. Aspek Akademis
Untuk memberikan kesempatan pada penulis untuk mengaflikasikan
ilmu dan teori yang dipelajari selama ini. Selain itu diharapkan dapat
menambah wawasan pengetahuan bagi penulis khususnya dalam bidang
perencanaan wilayah kota serta dapat digunakan sebagai bahan
tambahan literatur pada Institut Teknologi Nasional Malang.
2. Aspek Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi
untuk pihak Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota
Banjarmasin dan dapat digunakan oleh pihak yang berkepentingan guna
penelitian lebih lanjut.
3. Aspek Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran/masukan bagi pihak
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Banjarmasin dalam
pengambilan keputusan yang lebih tepat untuk meningkatkan kualitas
pelayanan.

1.7 Kerangka Berpikir


Pada Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 disebutkan dalam pasal 28 H ayat 1 bahwa “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Dapat dilihat pada pasal tersebut disebutkan bahwa setiap orang berhak
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik yang
mengindikasikan bahwa setiap warga Negara Indonesia memiliki hak dalam
kelayakan dan kenyamanan dalam bertempat tinggal (Domisili).
Domisili adalah terjemahan dari domicile atau woonplaats yang
artinya tempat tinggal. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, domisili
atau tempat kediaman itu adalah “Tempat di mana seseorang dianggap hadir
8

mengenai hal melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajibannya juga


meskipun kenyataannya dia tidak di situ”. Menurut kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tempat kediaman itu seringkali ialah rumahnya, kadang-
kadang kotanya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap orang
dianggap selalu mempunyai tempat tinggal di mana ia sehari-harinya
melakukan kegiatannya atau di mana ia berkediaman pokok.
Tempat tinggal pada umumnya identik dengan sebuah rumah, rumah
adalah sebuah bangunan, tempat manusia tinggal dan melangsungkan
kehidupannya. Disamping itu rumah juga merupakan tempat
berlangsungnya proses sosialisasi pada saat seorang individu diperkenalkan
kepada norma dan adat kebiasaan yang berlaku di dalam suatu
masyarakat.Jadi setiap perumahan memiliki sistem nilai yang berlaku bagi
warganya.Sistem nilai tersebut berbeda antara satu perumahan dengan
perumahan yang lain, tergantung pada daerah ataupun keadaan masyarakat
setempat, (Sarwono dalam Budihardjo, 1998: 148). Rumah juga merupakan
bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni,
sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya,
serta aset bagi pemiliknya (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman).
Dalam melangsungkan hidup, kita tak pernah lepas dari kegiatan
sosial, yang paling dasar biasanya merupakan interaksi sosial. Dari interaksi
sosial tersebutlah melahirkan suatu tujuan yang sama antar manusia yang
mempengaruhi sikap seseorang untuk selalu berkumpul dan tinggal bersama
secara berdekatan baik satu atap maupun tidak. Kegiatan – kegiatan inilah
yang menciptakan perkumpulan dari rumah – rumah yang disebut
permuahan. Perumahan merupakan salah satu bentuk sarana hunian yang
memiliki kaitan yang sangat erat dengan masyarakatnya. Hal ini berarti
perumahan di suatu lokasi sedikit banyak mencerminkan karakteristik
masyarakat yang tinggal di perumahan tersebut, (Abrams, 1664: 7).
Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman, perumahan adalah
9

kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun


perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum
sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.
Kumpulan dari perumahan – perumahan disebut permukiman,
permukiman menurut Hadi Sabari Yunus (1987) dalam Wesnawa (2015: 2)
dapat diartikan sebagai bentukan baik buatan manusia ataupun alami dengan
segala kelengkapannya yang digunakan manusia sebagai individu maupun
kelompok untuk bertempat tinggal baik sementara maupun menetap dalam
rangka menyelenggarakan kehidupannya. Sedangkan permukiman sendiri
menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011
Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman merupakan bagian dari
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang
kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.
Perumahan/ permukiman sendiri terbagi menjadi 2, yaitu permukiman
layak huni dan permukiman tak layak huni. Permukiman tak layak huni
salah satu diantaranya adalah permukiman/ perumahan kumuh. Kumuh
(Slum’s) merupakan lingkungan hunian yang legal tetapi kondisinya tidak
layak huni atau tidak memenuhi persyaratan sebagai tempat permukiman
(Utomo Is Hadri, 2000). Slum’s yaitu permukiman diatas lahan yang sah
yang sudah sangat merosot (kumuh) baik perumahan maupun
permukimannya (Herlianto, 1985). Dalam kamus sosiologi Slum’s yaitu
diartikan sebagai daerah penduduk yang berstatus ekonomi rendah dengan
gedung-gedung yang tidak memenuhi syarat kesehatan. (Sukamto Soerjono,
1985).
Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena
ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan
kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
Perumahan kumuh adalah perumahan yang mengalami penurunan kualitas
fungsi sebagai tempat hunian. (Undang – Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman).
10

Dalam pasal 4 pada Undang – Undang tersebut disebutkan bahwa dalam


ruang lingkup penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman
terdapat salah satu diantara 10 point didalamnya yang menuliskan bahwa
dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman itu termasuk
juga pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan
permukiman kumuh.
Dalam penyelenggaraan pasal – pasal pada Undang – Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan Dan Kawasan
Permukiman, pelaksanaannya dipertegas pada Peraturan Pemerintah Nomor
14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman. Dilanjutkan dengan Peraturan Menteri PUPR Nomor 02
Tahun 2016 dan diperbarui dengan Peraturan Menteri PUPR Nomor 14
Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Peningkatan Terhadap Perumahan
Kumuh dan Permukiman Kumuh disebutkan bahwa untuk melaksanakan
Pasal – pasal yang ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016,
peninjauan dalam pemenuhan standar teknis tingkat kelayakan fungsi suatu
kawasan termasuk kumuh atau tidak terbagi menjadi beberapa aspek yaitu:
a. Bangunan gedung;
b. Jalan lingkungan;
c. Penyediaan air minum;
d. Drainase lingkungan;
e. Pengelolaan air limbah;
f. Pengelolaan persampahan; dan
g. Proteksi kebakaran.
Jadi dalam peninjauan tingkat kelayakan suatu kawasan harus lah
didasari ke 7 aspek yang disebutkan dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor
14 Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Peningkatan Terhadap Perumahan
Kumuh dan Permukiman Kumuh.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa penataan dan peningkatan
kualitas kawasan permukiman kumuh menjadi kewajiban bagi Pemerintah
11

Pusat, Pemerintah Provinsi serta Pemerintah Daerah Kota maupun


Kabupaten. Oleh karena itu, penataan atau penanganan kawasan kumuh
harus dilaksanakan dan menjadi kewajiban bagi pemerintah maupun
masyarakat dalam mewujudkan lingkungan yang baik dan berkualitas.
Pelaksanaan Rencana Penanganan Kawasan Kumuh Kota
Banjarmasin Melalui Pendekatan Pembangunan yang Bertumpu Pada
Masyarakat (Community Based Development – CBD) tak lepas dari
keterlibatan masyarakat dalam melaksanakannya. Sebelum membahas lebih
lanjut, ada baiknya untuk mengetahui pengertian dari pembangunan yang
bertumpu pada masyarakat (Community Based Development – CBD)
sendiri. Pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (Community Based
Development – CBD) adalah proses pembangunan masyarakat yang
mengutamakan segi kehidupan manusia dan mementingkan aspek-aspek
humanisme dalam meningkatkan pertumpuhan masyarakat dengan
mengandalkan kemampuan masyarakat untuk tujuan menciptakan kondisi
tumbuhnya suatu masyarakat yang berkembang secara swadaya (Maskun,
1995). Sedangkan pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah konsep
pembangunan ekonomi yang merangkum nilai – nilai sosial (Cambers,
1995).
Konsep Community Development telah banyak dirumuskan di dalam
berbagai definisi. Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikannya: “Sebagai
proses di mana upaya rakyat itu sendiri dipersatukan dengan orang-orang
dari otoritas pemerintah untuk meningkatkan kondisi ekonomi, sosial dan
budaya masyarakat, untuk mengintegrasikan komunitas-komunitas ini ke
dalam kehidupan bangsa-bangsa, dan untuk memungkinkan mereka untuk
berkontribusi sepenuhnya kepada kemajuan nasional” (Luz. A. Einsiedel,
1968:7).
US International Cooperation Administration mendeskripsikan
Community Development itu sebagai: “Suatu proses aksi sosial di mana
orang – orang dari suatu komunitas mengorganisir diri mereka sendiri untuk
tindakan perencanaan; mendefinisikan kebutuhan dan masalah bersama dan
12

individu mereka; membuat rencana kelompok dan individu dengan


mengandalkan sumber daya masyarakat; dan melengkapi sumber daya bila
perlu dengan layanan dan bahan dari lembaga pemerintah dan non-
pemerintah di luar masyarakat” (The Community Development Guidlines of
the International Cooperation Administration, Community Development
Review, December,1996,p.3).
Maka dari tinjauan dari pustaka – pustaka di atas, penelitian ini
memerlukan kerangka berpikir yang tepat agar mengetahui permasalahan –
permasalahan pada studi penelitian ini dan menjadi suatu argumentasi dalam
merumuskan hipotesa. Kerangka berpikir adalah penjelasan sementara
terhadap suatu gejala yang menjadi objek permasalahan. Untuk hal ini,
kerangka berpikir yang dimaksud akan dipaparkan melalui diagram di
bawah berikut ini.
1

Kerangka Berpikir

UUD 1945 Undang – Undang Republik Peraturan Pemerintah Nomor Peraturan Menteri PUPR Nomor Peraturan Menteri PUPR
Indonesia Nomor 1 Tahun 14 Tahun 2016 tentang 02 Tahun 2016 tentang Nomor 14 Tahun 2018 tentang
2011 tentang Perumahan Penyelenggaraan Perumahan Pencegahan dan Peningkatan Pencegahan dan Peningkatan
Dan Kawasan Permukiman dan Kawasan Permukiman Terhadap Perumahan Kumuh Terhadap Perumahan Kumuh
dan Permukiman Kumuh dan Permukiman Kumuh

a. Bangunan gedung;
Masyarakat
(Pelaksana) b. Jalan lingkungan;
Partisipatif Community Based c. Penyediaan air minum;
Development
(CBD) d. Drainase lingkungan;
Pemerintah e. Pengelolaan air limbah;
(Fasilitator)
f. Pengelolaan persampahan; dan
g. Proteksi kebakaran.

Kriteria partisipatif : Cara melaksanakan CBD: Perumusan Pengawasan


A. Cakupan. 1. Memperkenalkan diri pada komunitas Rencana dan
B. Kesetaraan dan kemitraan.(equal partnership) 2. Belajar mendengarkan dari komunitas Perawatan
C. Transparansi 3. Bersama-sama merumuskan persoalan
D. Kesetaraan kewenangan (sharing power) 4. Bersama-sama mencari jalan keluar Pelaksanaan
E. Kesetaraan tanggungjawab (sharing responsibility) 5. Bersama-sama merencanakan kegiatan
F. Pemberdayaan (empowerment) 6. Bersama-sama melaksanakan kegiatan Lingkungan
G. Kerjasama 7. Organisasi pengelolaan dan pengembangan Hidup
Peninjauan
Kembali Berkualitas
1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyusunan Identifikasi Kawasan Kumuh Kota

Dalam rangka melakukan penyusunan identifikasi kawasan


kumuh kota, perlu dilakukan kesamaan persepsi untuk menghindari
kesimpangsiuran yang sering terjadi, seperti menyangkut pengertian-
pengertian dan istilah-istilah yang berkaitan dengan pendampingan
pelaksanaan kawasan kumuh dalam menangani suatu kawasan.
Adapun pengertian-pengertian dan istilah-istilah yang digunakan
dalam kegiatan ini disajikan sebagai berikut:
a. Rumah: bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan keluarga;
b. Perumahan; kelompok rumah yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang
dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan;
c. Permukiman; bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun
perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal
atau lingkungan hunian dan tempat keglatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan;
d. Satuan Lingkungan Permukiman; kawasan perumahan dalam
berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang,
prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur;
e. Prasarana Lingkungan; kelengkapan dasar fisik lingkungan yang
memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi
sebagaimana mestinya;
f. Sarana Lingkungan; fasilitas penunjang yang berfungsi untuk
penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial
dan budaya;
2

g. Utilitas Umum; sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan;


h. Tridaya sebagai satu Kesatuan Upaya, artinya setiap paket
bantuan program kegiatan mencakup 3 (tiga) fokus garapan
manusia dengan memperhatikan tatanan sosial kemasyarakatan,
penataan lingkungan fisik dan kualitas hunian, serta
pengembangan keglatan usaha ekonominya;
i. Pemberdayaan artinya setiap kegiatan yang dilakukan diarahkan
pada suatu proses kemampuan, penggalian sumberdaya lokal
dan pembenahan peran yang lebih besar kepada masyarakat
untuk berperan sebagai pelaku utama (leading actors).
j. Perhatian dan Keberpihakan artinya dengan menempatkan
aspirasi, kepentingan dan keputusan masyarakat sebagai acuan
penyusunan program dan kegiatan.
k. Percepatan Proses Memukimkan masyarakat yang memertukan
rumah yang lebih layak dan lingkungan yang lebih tertata dan
prospektif dengan cara yang berkelanjutan. Proses ditempuh
melalui cara yang terjangkau dengan memperhatikan
kemampuan ekonomi masyarakat antara lain fasilitasi
penyediaan rumah sewa, penyediaan bantuan dana bergulir
untuk memugar rumah;
l. Revitalisasi Lingkungan Permukiman artinya suatu daya dan
upaya untuk menghidupkan kembali suatu lingkungan
permukiman melalui berbagai kegiatan antara lain: penataan
flsik baik prasarana maupun sarana, pemberdayaan masyarakat
guna menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki, serta
pemberdayaan ekonomi kemasyarakatan sehingga diharapkan
dapat memberikan nilai tambah/manfaat bagi kehidupan dan
penghidupan masyarakat, khususnya kegiatan ekonomi, sosial,
kebudayaan dan permukiman secara umum.
m. Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman adalah salah
satu altematif penanganan perumahan dan permukiman melalui
3

upaya rehabilitasi, peningkatan dan atau penyediaan prasarana


dan sarana lingkungan permukiman

2.2 Konsep Tridaya


Pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia
selama ini diselenggarakan dengan pendekatan Konsep TRIBINA.
Konsep ini melandaskan upaya pembangunan pada proses
penyadaran dan kemampuan masyarakat agar dapat secara mandiri
memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau. Dengan
berjalannya waktu serta mengantisipasi berbagai perkembangan
sosial yang terjadi, konsep TRIBINA mengalami penyesuaian dari
pembinaan dan pendorongan menjadi pemberdayaan (pemampuan)
yang dikenal sebagai Konsep TRIDAYA. Hal ini disebabkan karena
kata bina lebih diartikan sebagai obyek pembinaan (top - down) dari
pemerintah, sedangkan kata daya lebih kepada prakarsa dan potensi
yang tumbuh dari masyarakat. Dengan demikian, masyarakat yang
difasilitasi oleh pemerintah, yang diperankan oleh fasilitator atau
konsultan pembangunan, adalah mereka yang menerima manfaat
langsung atau yang terkena dampak dari proyek pemerintah. Konsep
TRIDAYA memiliki 3 (tiga) komponen, yaitu:
1. Daya Manusia; dilaksanakan proses penyadaran untuk
menumbuhkan pengertian, pengetahuan, kepedulian dan rasa
memiliki dari peserta proyek atau kelompok binaan terhadap
permasalahan yang dihadapi. Mereka difasilitasi untuk mendapatkan
akses ke sumberdaya pembangunan yang tidak mereka miliki;
2. Daya Usaha; penerima manfaat proyek diberi bekal
pengetahuan dan keterampilan usaha yang dapat membantu upaya-
upaya peningkatan pendapatan;
3. Daya Lingkungan Komunitas; yang terkena dampak proyek
diajak untuk mengenali sumber permasalahan yang dihadapi dengan
melakukan survei kampung sendiri atau self - assessment survey,
4

yang hasilnya dipaparkan dalam acara rembug warga. Dari hasil


rembug warga kemudian diputuskan prioritas pembangunan
komponen prasarana dan sarana lingkungan, yang hasilnya berupa
Rencana Tindak Komunitas atau Community Action Plan (CAP).
Melalui proses penyadaran (diseminasi dan sosialisasi, rembug
warga, dan fasilitasi), pengorganisasian dan pengelolaan komunitas
(lembaga akar rumput) serta pendampingan, maka hasil
pembangunan diharapkan dapat lebih efektif dan berkelanjutan.
Landasan pemikiran dari konsep TRIDAYA antara lain:
1. Mempunyai asumsi dasar bahwa masyarakat perlu didorong
untuk bisa mengenali permasalahan yang dihadapi, sehingga mampu
menolong diri dan keluarganya;
2. Kegiatannya diorientasikan dengan meletakkan
dasar/landasan, sehingga upaya yang dilakukan sebagai pendorong
dapat terstimulasi dan bergulir lanjut dengan karsa masyarakat
sendiri secara berkelanjutan;
3. Menemukenali bahwa masalah perumahan dan permukiman
tidak berdiri sendiri, tetapi terkait juga dengan masalah sosial dan
masalah ekonomi. Dalam penanganan penyelenggaraan perumahan
dan permukiman diperlukan sentuhan menyeluruh (pandangan dan
penanganan secara holistik) dan terdesentralisasi, karena kawasan
mempunyai karakteristik yang sangat lokal (mempunyai nilai-nilai
sosial-budaya dan tradisi yang berbeda) terutama dalam pemecahan
permasalahan yang ada.
Konsep Tridaya secara prinsip bertujuan untuk
memberdayakan komponen sosial masyarakat, usaha dan ekonomi,
serta lingkungan – khususnya di tingkat lokal. Melalui konsep ini
akan diintegrasikan kegiatan penyiapan dan pemberdayaan
masyarakat, serta kegiatan pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi,
komunitas dengan kegiatan pendayagunaan prasarana dan sarana
dasar lingkungan perumahan dan permukiman sebagai satu kesatuan
5

sistem pemberdayaan yang tidak terpisahkan. Pembangunan


perumahan dan permukiman diselenggarakan sebagai urusan daerah
bersama masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai
pelaku utama, yaitu sebagai pengambil keputusan dan pelaksana
keputusan. Untuk itu, pemerintah mendorong terwujudnya peran
tersebut melalui peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah dan
bantuan stimulatif kepada masyarakat agar akses pada sumber
pembiayaan perumahan dan permukiman dapat lebih terjangkau,
khususnya bagi masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah.
Selanjutnya penyelenggaraan perumahan dan permukiman menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan dunia
usaha.
Konsep TRIDAYA lebih berorientasi pada penanggulangan
kemiskinan yang menekankan pendekatannya pada keswadayaan
masyarakat sebagai suatu komunitas. Pendekatan ini dilakukan
melalui upaya pendampingan serta penggalian kemampuan dan
potensi komunitas itu sendiri. Untuk dapat berperan sebagai pelaku
utama, pemerintah memfasilitasi dan memberikan stimulan berupa
penyediaan prasarana dan sarana dasar lingkungan, serta mendorong
pengembangan kegiatan usaha ekonomi produktif masyarakat.
Upaya pemberdayaan dalam konsep TRIDAYA dilakukan untuk
mendapatkan hasil alamiah, maksimal dan berkelanjutan.
Kelompok masyarakat binaan diharapkan mampu menggali
potensi yang dimiliki dan memecahkan masalah yang dihadapi.
Sedangkan, pemerintah memfasilitasi perluasan akses terhadap
sumberdaya kunci yang berada di luar komunitas. Konsep
TRIDAYA ini bersifat komplementer terhadap pendekatan
teknisteknologis yang menjadi fokus dari pelaksanaan pembangunan
oleh departemen teknis (Pekerjaan Umum). Unsur manusia
memainkan peran kunci bagi keberhasilan penyelenggaraan
perumahan dan permukiman. Hasil pembangunan akan lebih efektif,
6

berkelanjutan dan berkembang, sehingga masyarakat akan terbebas


dari ketergantungan pihak luar.
2.3 Pendekatan Pembangunan Perumahan Dan Permukiman
Penanganan masalah dan kebutuhan akan perumahan dan
permukiman sehat perlu didekati melalui berbagai strategi sesuai
dengan kondisi dan potensi yang ada di masyarakat. Pendekatan/
strategi yang dapat ditempuh untuk pembangunan perumahan dan
permukiman yang melibatkan peran serta masyarakat, meliputi:
1. Pendekatan Kesejahteraan (Welfare Strategy). Peran
birokrasi atau pemerintah sangat dominan dalam strategi ini. Dalam
pendekatan kesejahteraan ini, pemerintah memberi bantuan penuh
kepada masyarakat yang membutuhkan rumah. Masyarakat yang
dibantu tergolong dalam kelompok yang rentan atau sangat miskin –
seperti kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan,
pengungsi akibat konflik sosial dan etnis – yang memerlukan uluran
tangan dari pemerintah atau pihak luar agar dapat hidup layak;
2. Strategi Responsif (Responsive Strategy) Peran birokrasi
masih dominan. Dalam strategi ini masyarakat yang dibantu adalah
mereka yang berpenghasilan rendah dan secara ekonomi kurang aktif
atau mereka yang terkena bencana alam atau musibah lainnya –
seperti penggusuran, krisis ekonomi – dengan tujuan memulihkan
kembali kepada kehidupan normal atau kondisi yang lebih baik;
3. Pendekatan Pemberdayaan (Empowerment Strategy) Peran
masyarakat dominan. Fokus dari strategi ini adalah kelompok
masyarakat berpenghasilan rendah dan aktif secara ekonomi serta
tidak memiliki akses kepada sumber daya perumahan. Pendekatan
yang dipilih dalam pelaksanaan kegiatan penataan permukiman
kumuh di Provinsi Kalimantan Selatan adalah pendekatan
pemberdayaan (empowerment strategy). Pendekatan pemberdayaan
bertujuan memampukan masyarakat memecahkan sendiri masalah
yang dihadapi dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Di
7

bidang perumahan dan permukiman, sejak tahun 1980-an konsep


pemberdayaan ini berkembang menjadi enabling strategy, sehingga
peran pemerintah bergeser dari penyedia menjadi pendorong atau
fasilitator. Melalui enabling strategy sumberdaya yang dimiliki
negara akan menjadi lebih berdayaguna karena adanya berbagi peran
dan kemitraan (role sharing and resources sharing) antara
pemerintah, masyarakat, dan swasta. Masyarakat atau komunitas
dapat ikut ambil bagian untuk mengisi kegiatan yang diprogramkan
oleh pemerintah maupun bertindak sebagai pemeran utama bagi
kegiatan yang diprakarsainya sendiri. Agar keterlibatan masyarakat
di bidang penyelenggaraan perumahan dan permukiman menjadi
dinamis dan berkelanjutan, maka diperlukan terbentuknya gerakan
dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dari sini timbul pola pikir untuk
memberdayakan atau memampukan masyarakat dalam mengatasi
permasalahan yang dihadapinya sendiri secara mandiri.
2.4 Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat atau dikenal dengan pendekatan
Pembangunan yang Bertumpu kepada Masyarakat (Community
Based Development – CBD) merupakan suatu proses perubahan
struktur yang muncul dari masyarakat, dilakukan oleh masyarakat,
dan hasilnya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Proses
perubahan tersebut berlangsung secara alamiah dengan anggapan
bahwa setiap anggota masyarakat sebagai pelaku sosial-ekonomi
ikut serta dalam proses perubahan tersebut, mempunyai produktifitas
yang berimbang, dan bertindak efisien serta rasional. Adapun
tumpuan dasar pemberdayaan masyarakat adalah pada:
1. Pelaksanaan pembangunan yang bersifat menyeluruh
(komprehensif), rasional dan dilakukan secara bertahap
(transformatif);
2. Bertumpu pada pemupukan kemampuan (incrementa);
3. Memerlukan pendekatan yang menampung (akomodatif);
8

4. Memberikan dorongan (advokatif).


Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa upaya
pemberdayaan masyarakat harus tercermin dalam proses
perencanaan pembangunan yaitu:
1. Sebagai aliran dari bawah ke atas (bottom - up);
2. Pemberdayaan masyarakat harus benar-benar terarah
(targetted);
3. Secara langsung mengikutsertakan masyarakat (partisipatif);
4. Melalui pendekatan kelompok (agregath).
Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat merupakan
sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai
sosial, yang mencerminkan paradigma baru pembangunan yang
berpusat pada rakyat (people-centered), partisipatif, pemberdayaan
(empowering), dan berkelanjutan (sustainable)
Konsep pemberdayaan masyarakat tidak hanya semata-mata
untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan
mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety
net). Pada dasarnya, hakikat pemberdayaan masyarakat merupakan
suatu proses yang dijalankan dengan kesadaran dan partisipasi penuh
dari berbagai pihak, untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas
masyarakat sebagai sumber daya pembangunan dengan tujuan:
1. Mampu mengenali permasalahan yang dihadapi dalam
mengembangkan dan menolong diri dan keluarganya menuju
keadaan yang lebih baik;
2. Mampu mengenali, menggali dan memanfaatkan sumber
daya yang tersedia untuk kepentingan diri dan kelompoknya;
3. Mampu mengeksistensikan diri dan kehendaknya secara
jelas
dan mendapat manfaat dari padanya.
Sebagai suatu proses, syarat atau prakondisi agar proses
pemberdayaan masyarakat dapat berjalan dengan baik, antara lain:
9

1. Adanya peningkatan kesejahteraan, sehingga masyarakat


merasa nyaman dalam kondisi kesehariannya. Kondisi ini dapat
ditempuh melalui:
a. Penyediaan prasarana dan sarana dasar;
b. Kesempatan untuk mengeksistensikan diri dan aspirasi atau
harapannya secara nyata;
c. Diberi dukungan terhadap pemecahan masalah yang
dihadapi.
Pada proses ini masyarakat perlu dibuat merasa sejahtera
walaupun ketergantungannya kepada pemberi bantuan masih sangat
besar. Proses awal ini akan menumbuhkan kepercayaan dan ikatan
lebih kuat.
2. Membukakan akses kepada sumber daya kunci yang berada
di luar komunitasnya, sebagai jembatan mewujudkan harapan dan
eksistensi dirinya. Pembukaan akses ini bisa dilakukan melalui:
a. Bantuan penyusunan dan penuangan aspirasi ke dalam suatu
bentuk proposal atau dokumen tertentu (misalnya Community
Action Plan/ CAP, RTRP, dan sebagainya);
b. Pengenalan sumber daya kunci yang berada di luar
komunitasnya dan bagaimana cara untuk menjangkaunya.
c. Memperkuat kelembagaan pada tingkat komunitas yang
merupakan atau mempresentasikan keberadaan kelompok ini
di
luar komunitasnya.
d. Memperkuat kelembagaan pada tingkat komunitas yang
dapat menjembatani kepentingan warga dengan sumber daya
kunci di luar, misalnya melalui pelatihan atau pemberian
modal
awal.
3. Mengupayakan agar komunitas mendapat cukup informasi
yang aktual dan akurat, sehingga menimbulkan proses penyadaran
10

secara alamiah. Proses ini dapat dipercepat dan dirasionalkan


melalui pendampingan.
4. Menumbuhkan partisipasi aktif dan berkelanjutan, yang
dilakukan melalui:
a. Pemberian dan pengalih peran lebih besar secara bertahap
sesuai dengan peningkatan kapasitas dan kapabilitas;
b. Lebih banyak didengar dan diakomodasikan aspirasinya;
c. Diajak menilai/melakukan self evaluation terhadap pilihan
dan hasil pelaksanaan atas pilihan.

2.5 LANDASAN PENELITIAN / SINTESA PENELITIAN

Anda mungkin juga menyukai