Anda di halaman 1dari 5

URBANISASI DAN LAPANGAN KERJA Abdul Rahman A. Sakka A.

Gambaran Umum Urbanisasi masih merupakan persoalan penting bagi kota kota besar di Indonesia. Terhadap faktor pendorong dan penarik bagi terjadinya urbanisasi. Pada tahap tahap tertentu gejala urbanisasi kota dapat mengalami perkembangan sampai pada gejala konurbanisasi, saat justru orang kota mencari aktifitas dan tempat tinggal di daerah penyangganya. Secara umum dapat diidentifikasi empat arah gerak penduduk yaitu dari desa ke desa, dari desa ke kota, dari kota ke desa dan dari kota ke kota. Seperti juga halnya dengan lain lain arah, gerak penduduk dari desa ke kota mengambil bentk migrasi, sirkulasi dan komutasi. Gerak penduduk dari desa ke kota sering merupakan sber kerisauan berbagai negara berkembang karena terbatasnya kemampuan penyediaan lapangan pekerjaan dan berbagi fasilitas perkotaan bagi penduduk perkotaan adalah adanya perpindahan atau migrasi penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan. Sirkulasi dan komunitasi dari desa ke kota ini secara tidak resmi menambah jumlah penduduk daerah perkotaan. Para sirkulator dan komuter tercatat sebagai penduduk daerah tempat tinggal. Bagi para komuter dan sirklator yang bekerja atau sedang mencari pekerjaan di kota, fungsi kota yang utama bagi mereka adalah sebagai tempat mencari nafkah. Kota kota yang menjadi tujuan dari sirkulator dan komuter kategori itu terutama yang memberi harapan dalam kesempatan kerja. Para sirkulator berlainan dengan komuter dalam memerlukan tempat menginap di tempat tujuan pada periode tertentu sekalipun keluarga mereka ada di desa.Fasilitas perkotaan yang dibutuhkan para sirkulator lebih banyak daripada yang dibutuhkan para komuter.Namun yang paling banyak membutuhkan fasilitas perkotaan adalah para migran. Mengingat gejala sirkulasi dan komutasi dari desa ke kota itu, jumlah nyata penduduk suatu perkotaan bukanlah jumlah penduduk diadakan, gejala ini penting diperhatikan untuk menghindari adanya penduduk diadakan, gejala ini penting diperhatikan untuk menghindari adanya penduduk yang terhitung dua kali, atau tidak terhitung sama sekali. Di berbagai negara berkembang di samping tipe gerak penduduk migrasi, tipe gerak penduduk sirkulasi dan komutasi cukup penting. Urbanisasi hanyalah salah satu di antara faktor yang dapat menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk perkotaan. Faktor lain adalah pertambahan alami penduduk daerah perkotaan sendiri, dan adanya daerah pedesaan yang berubah menjadi daerah perkotaan. Proses meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di daerah perkotaan di suatu negeri dipengaruhi oleh defenisi daerah perkotaan yang diterapkan di negeri yang bersangkutan. Defenisi itu mungkin bervariasi antarwaktu, disamping bervariasi antarnegara. B. Konsep Konsep Urbanisasi Terdapat dua pengertian yang digunakan untuk istilah urbanisasi.Pengertian pertama menunjuk pada pengertian satu daerah yang semula memiliki kawasan dan pola hidup masyarakatnya bersifat homogen berkembang dan berbah sedemikian rupa sehingga kawasan dan pola hidup masyarakatnya bersifat heterogen.Urbanisasi dalam pengertian ini lebih disebabkan karena perkembangan suatu daerah dari sifat homogen menjadi heterogen, baik heterogenitas masyarakatnya, aktifitas perekonomiannya maupn penggunaan lahannya. Heterogenitas ini tidak lain adalah ciri ciri kota. Jumlah penduduk yang meningkat karena fertilitas penduduk, menurunnya angka kematian dan perkembangan sosial ekonomi kota itu sendiri berakibat terjadi diversifikasi pekerjaan, tenaga kerja, kebutuhan, maupun hiburan bagi penduduk kota. Selanjutnya, prasarana dan sarana kota yang beragam dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kota. Dalam pengertian ini, orang lebih biasa membicarakan urbanisasi dari segi perkembangan sosial kultural, termasuk akibat suat modernissai yang menjadi circi sebuah kota. Perkembangan sosio kultural, teknologi dan modernisasi tersebt tidak lain adalah masalah peradaban masyarakat kotanya.

Dalam penegertian ini urbanisasi dimaksudkan sebagai perkembangan masyarakat kotanya, baik dari segi kualitas dan kuantitas, dan mengesampingkan unsur migrasinya.[1] Pengertian kedua, adalah suatu proses terbentuknya ciri ciri kehidupan dan kondisi kota yang kompleks yang disebabkan karena perpindahan penduduk dari satu daerah yang bersifat homogen menuju daerah yang lebih bersifat heterogen.[2] Secara umum, inti pengertian urbanisasi adalah berubahnya suatu masyarakat pada kawasan tertentu dari sifat homogen menjadi heterogen, baik disebabkan karena perkembangan masyarakat dari kawasan itu sendiri mapun karena pengaruh proses migrasi dari daerah lain. Pengertian pokok dalam urbanisasi adalah apakah masyarakatnya mampu memiliki ciri ciri sebagai masyarakat kota, menyesuaikan dengan kebudayaan kota dengan pola pola tertentu dalam memanfaatkan suatu ruang, sarana dan prasarana kota.[3] Di Indonesia, setiap membicarakan urbanisasi yang biasa dikonotasikan sebagai migrasi penduduk desa ke kota seringkali akan berbuntut pada munculnya sektor informal di kota. Sebaliknya, munculnya sektor informal yang sering dianggap mengganggu pemandangan dan ketertiban kota seringkali dianggap menjadi penyebab terjadinya urbanisasi, karena sektor informal di kota mampu menghidupi pendatang dari daerah untuk tinggal di kota sehingga menjadi daya tarik orang desa atau daerah untuk tinggal di kota. Oleh karena itu, berbicara tentang urbanisasi seringkali tidak lepas dari sektor informal, dan sebaliknya. Lingkaran setan ini banyak muncul di Indonesia karena sektor formal di kota kota di Indonesia tidak mampu menampung ledakan urbanisasi yang terjadi.[4] Masalah urbanisasi seringkali diikuti masalah sosio kultural serta masalah perkotaan yang lain. Para urban yang berasal dari daerah dan tinggal di kota seringkali mengalami berbagai macam perasaan dan perilaku tertentu pada mula pertamanya, misalnya gejala cultural shock, yaitu jiwanya terguncang karena perbedaan kultur antara dirinya dengan masyarakat yang baru dikenal. Gejala ini dapat ditemui ketika di kota orang dari daerah menyeberang jalan raya dengan perasaan cemas, ketakutan, bahkan mengalami tekanan dan menyeberang dengan cara maju dan mundur. Gejala serupa tampak juga ketika mereka menggunakan peralatan moderen dan cara mengenal situasi kota. Sementara orang orang kota adakalanya tertutup untuk memberikan petunjuk bagi mereka. Hal ini menambah perasaan rendah diri bagi orang dari daerah.[5] Berduyun duyunnya orang meninggalkan daerah (desa atau kota kecil) menuju kota lebih besar tentu disebabkan ada sesuatu yang lebih menarik dan menguntungkan untuk tinggal di kota besar, sementara di desa atau di kota kecil tidak lagi menarik dan kurang menguntungkan untuk hidup. Daya tarik kota ini disebut juga dengan istilah pull factor. Daya tarik kota awal mula terjadi ketika proses industrialisasi di kota terjadi. Dunia industri membutuhkan berbagai macam ragam tenaga kerja terampil sampai dengan tenaga kerja kasar.Penghasilan yang lebih mudah diperoleh melalui partisipasi di sektor industri ini berakibat derasnya arus urbanisasi. Penduduk akhirnya banyak berkumpul di kota. Pada banyak kasus tidak seluruh tenaga kerja dapat tertampung di bidang industri di kota. Suatu industri biasanya menggunakan teknologi dan membutuhkan manajemen yang efisien.Penggunaan teknologi dan manajemen membutuhkan tenaga kerja dan prasyarat tertentu untuk mengoperasionalkan manajemen dan teknologi, seperti tingkat pendidikan, keterampilan dan keahlian. Para urbanis yang memiliki pendidikan, dan keterampilan akan dapat tertampung di dunia industri yang bersifat formal. Sedangkan para urbanis yang kurang memiliki keterampilan, pendidikan, dan keahlian yang dipersyaratkan akan tersingkir. Di kota orang dapat menjajakan es sirup atau es campur yang sederhana pengolahannya, menjajakan sate, bakso, atau jenis makanan lain bagi kalangan masyarakat ke bawah. Dengan usaha semacam ini mereka dapat membeli sebidang tanah di pinggiran kota dan membangun sebuah rumah yang layak. Apabila kota berkembang, rumah tinggal mereka yang semula di pinggir kota berubah menjadi pusat kota. Demikian

pula apabila mereka berani bekerja keras, dapat menjadi pemulung, tukang parkir, kondektur ataupun menjadi satpam.

Sedangkan mereka yang tidak memiliki potensi, dengan hidup menggelandang dan meminta minta dapat mencukupi kebutuhan pangannya di kota, bahkan dapat hidup berkecukupan. Dapat terjadi mereka mengmpulkan sisa makanan dari rumah makan besar untk menyambung hidupnya. Kegiatan sebagai peminta minta, khususnya di jalan jalan raya strategis yang cukup memberikan hasil ini didukung oleh kultur masyarakat Indonesia yang agamais. Mereka menganggap memberi sedekah kepada peminta minta sebagai ibadah. Gejala mudah memberikan sedekah ini sempat membuat Kota Makassar tahun 2004 sampai 2005 dibanjiri oleh peminta minta dan berakibat kota terasa kurang indah dan tidak sedap dipandang. Selanjutnya Walikota Makassar sempat melarang warganya memberikan sedekah.Peminta minta sebagian melakukan aksinya disertai pemaksaan dengan merusak atau menggores mobil mobil pribadi yang lewat sehingga pada akhirnya diberi pengarahan dan ditertibkan. Awal tahun 2006 kota Semarang kembali dibanjiri para peminta minta, sehingga pada pertengahan tahun 2006 pemerintah kota Semarang kembali mengingatkan warganya untuk tidak mdah memberi sedekah kepada mereka. Memberi sedekah dianggap tidak mendidik dan dikhawatirkan akan melahirkan budaya malas bekerja secara layak. Untuk imbauan itu dipasang beberapa pamflet di tempat tempat tertentu.Sedangkan sumbangan seharusnya dapat disalurkan melalui rumah singgah anak jalanan, organisasi sosial atau LSM. Bertumpah ruahnya penduduk di kota, bagi kota yang telah siap akan mampu menyediakan lapangan kerja bagi kaum urbanis untuk berperan dalam pembangunan seperti rumah sakit, tempat pendidikan, THM, kegiatan seni dan budaya, mengaktifkan kegiatan ekonomi, seperti pusat perbelanjaan, perbankan, pemukiman dan perumahan yang dilakukan atas prakarsa swasta, masyarakat, pemerintah, maupun kerja sama. aktivitas ini akan menambah gemerlapnya kota pada siang dan malam hari. Keuntngan menjadi tenaga kerja di kota, biasanya telah ada standar penghasilan untuk setiap jenis keterampilan dengan pengalaman kerja dan masa kerja tertentu. Keuntungan yang lain, yaitu biasanya terdapat suatu perserikatan kerja yang melindungi tenaga kerja dari kemungkinan kerugian kerugian, sepert persolan jumlah upah dan tunjangan kesejahteraan. Biasanya perserikatan ini memberikan perjuangan yang menguntungkan bagi tenaga kerja. Standar gaji minimun biasanya tidak mungkin turun, demikian pula jenis dan besar tunjangan kesejahteraan.[6] Akibat perkembangan teknologi dan perkembangan sosio kultural masyarakat tidak seimbang, di kota sering terjadi perubahan nilai pada kelompok orang tertentu yang memiliki nilai yang tidak jelas yang akan menyebabkan mereka menunjukkan perilaku di luar batas normal sehingga perilakunya tidak memiliki nilai yang mendukung bagi kehidupan kota besar yang beradab. Akibatnya akan mudah muncul tindakan kekerasan dan perilaku semau gue, seperti berkendaraan dan menyeberang jalan dengan cara melawan arus lalu lintas, perusakan pagar pemisah jalan. Masalah penyalahgunaan fasilitas umum kota sempat terjadi ketika ruang ATM yang sejuk ber AC digunakan untuk adegan mesra oleh pasangan muda mudi yang biasanya berstatus sebagai mahasiswa. Di kota banyak ditemui ragam peran dan perubahan. Perubahan peran, dari peran yang lama ke peran yang baru disebut dengan mobilitas sosial.Gejala mobilitas sosial pada urbanisasi ada da macam, yaitu mobilitas vertikal dan mobilitas horizontal.Mobilitas vertikal terjadi apabila berlangsung perubahan status sosial ekonomi dari tingkat status yang rendah ke tingkat status yang tinggi, ata sebaliknya.Perubahan status ini dapat secara geografis, misalnya para urbanis yang berpindah dari daerah yang sederhana ke daerah yang lebih kompleks dan sebaliknya, atau dapat terjadi dari seseorang yang memiliki jabatan rendah ke jabatan yang lebih tinggi. Sedangkan mobilitas horizontal terjadi ketika terdapat perpindahan penduduk ke daerah yang tingkatannya sama dengan daerah asalnya.[7]

Perubahan peran apabila dilakukan secara tidak proporsional akan menimbulkan gejala perilaku yang berlebihan. Mereka mencoba meninggalkan peran yang lama, tetapi belum dapat menyesuaikan dengan peran yang baru.Mereka mengalami kebingungan dalam memilih orientasi nilai. Akibatnya mereka akan mudah dipengaruhi oleh orang lain, bahkan disalahgunakan oleh orang lain. Apabila mereka menyandang jabatan maka kebijakannya akan berpihak kepada segelintir orang dan mengabaikan kepentingan umum. Demikian pula dalam memberikan kebijakan tata ruang padasebuah kota, membangun prasarana dan sarana fisik yang tidak memiliki manfaat yang tinggi bagi masyarakat, pelanggaran terhadap rencana tata kota, bahkan demi kepentingan pribadi seperti KKN. Akibatnya kota akan kehilangan nilai nilai. Biasanya unsur lingkungan akan menjadi korban dan wajah kota menjadi berantakan. Pada masyarakat yang kehilangan orientasi nilai dapat menyebabkan mereka mudah tegelincir dalam kegiatan yang bersifat negatif, seperti perilaku kriminal, meminum minuman beralkohol dan melakukan aktifitas pelacuran. Oleh karena itu daerah pinggiran kota dan pusat kota tempat kaum urbanis biasa bermukim sering terjadi peristiwa orang yang mabuk dengan minuman keras yang kemdian diikuti dengan tindakan kriminal seperti tawuran antar kelompok. Sementara kaum wanita yang datang kekota lantas kemudian tidak mendapat pekerjaan, maka mereka dengan tidak malu malu menjajakan diri sebagai pelacur.[8] Apabila ditemui pendatang baru yang belm bisa menyesuaikan diri dengan suasana yang baru (kota), dapat dikatakan mereka belum bisa meng Urban perilakunya. Oleh karena itu, secara sosio kultral dapat menjadi masalah. Mereka memiliki etika yang menyimpang dari modernisasi kota yang sebenarnya. Padahal salah satu ciri kota adalah masalah pemilihan nilai nilai yang sesuai dengan masyarakat kota yang moderen dan beradab. Sementara itu, gejala urbanisasi menjadi semakin jelas dan problematikanya pada zaman moderen ini. Melonjaknya jumlah penduduk kota terasa sekal, tidak hanya di negara negara berkembang, melainkan juga di negara negara maju. C. Landasan Teori. Perhatian terhadap fenomena gerak penduduk telah berlangsung cukup lama. Hampir seabad yang lalu Ravenstein muncul dengan hukum hukum migrasi yang pada mulanya berlandaskan hasil analisa data statistik kerajaan Inggris yang diperluas dengan data dari beberapa negeri utama di Eropa dan Amerika Utara.[9] Hukum hukum ini berkenaan dengan migrasi dan jarak, migrasi berlangsung menrut tahap tahap, counter dan counterstream, perbedaan antara desa dan kota dalam kecenderungan bermigrasi, lebih dominannya perempuan di kalangan migrasi jarak dekat, teknologi dan migrasi dan dominannya motivasi ekonomi. Hukum hukum migrasi Ravenstein telah sering disebut oleh para ahli yang menelaah gerak penduduk. Sejak zaman Ravenstein telah pula muncul teori teori dan tipologi gerak penduduk sebagai hasil usaha para ahli yang memberi perhatian terhadap bidang ini. Yang paling populer di antaranya adalah teori dorong tarik ( push pull theory ), sekalipun teori ini juga tidak bebas dari kritikan. Teori dorong tarik dipandang terlalu sederhana karena tak memperhitungkan berbagai faktor pribadi, sosial dan kebudayaan.Menurut teori dorong tarik alasan meninggalkan daerah asal dapat dipandang sebagai faktor faktor pendorong, sementara alasan alasan memilih daerah tujuan dipandang sebagai faktor faktor penarik. [10] Teori kesempatan antara ( interving oportunities theory ) merupakan teori lain yang pernah cukup populer dalam usaha memahami fenomena gerak penduduk. Teori ini menyatakan bahwa jumlah orang pergi ke suatu jarak tertentu berbanding langsung dengan jumlah kesempatan antara.[11] Suatu kerangka teori yang lebih luas mengenai Urbanisasi dapat dilihat dalam karya Lee yang mengembangkan sejumlah hipotesa berkenaan dengan volume urban dan karakter para urban.[12] Lee berpendapat bahwa dalam tiap tindakan Urbanisasi baik yang jarak dekat maupun yang jarak dekat maupun yang jarak jauh senantiasa terlibat faktor faktor yang berhubungan dengan daerah asal, daerah tujuan, pribadi dan rintangan rintangan antara. Di tiap daerah ada tiga set faktor faktor yaitu :

faktor faktor yang bertindak untuk mengikat orang dalam suatu daerah atau memikat orang terhadap daerah itu, yang disebut sebagai faktor minus. faktor faktor yang cenderung untuk menolak mereka, merupakan faktor faktor plus. faktor faktor yang pada dasarnya indifferen, tidak punya pengaruh menolak atau mengikat. Faktor faktor plus dan faktor faktor minus dapat diparalelkan dengan kekuatan kekuatan sentripetal dan kekuatan sentrifugal yang mempengaruhi individu individu atau kelompok kelompok penduduk, apakah akan tetap tinggal di suatu daerah atau akan meninggalkan daerah yang bersangkutan. Kekuatan kekuatan sentripetal mengikat atau menahan individu dan kelompok penduduk untuk tetap tinggal di suatu daerah, sementara kekuatan sentrifugal mendorong mereka untuk meninggalkan daerah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Arndt, H.W. 1992. Pembangunan Ekonomi. Jakarta : LP3ES. Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta : Pustaka Jaya. Bintarto.1984. Interaksi Desa Kota dan Permasalahannya.Jakarta : Ghalia Indonesia. Dahana, Radhar Pantja. 2004. Jejak Postmodernisme di Perkotaan. Yogyakarta : Bentang. Effendi, Tajuddin Noer. 1991. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Evers, Hans Dieter. 1995. Sosiologi Perkotaan. Jakarta : LP3ES. Hariyono, Paulus. 2007. Sosiologi Kota Untuk Arsitek.Jakarta : Bumi Aksara. Herlianto. 1985. Urbanisasi dan Pembangunan Kota. Bandung : Alumni. Lee, E.S. 1992. A Theory of Urbanisation.Cambridge University Press. Mabongunye. 1970. System Aproach to a Theory of Rural Urban Migration. Glencor : The Free Press. Stamond, Stouffer. 1982. Intervening Opportunities A Theory Relating Mobility and Distance. Oxford : Pergamon.

Anda mungkin juga menyukai