Anda di halaman 1dari 3

Artikel

Urbanisasi, Arus yang Belum (Tak Pernah)


Bisa Berhenti

Apa sih yang menjadi penyebab permukiman kumuh di kota? Kenapa sekarang kota tampak
kumuh, padahal dahulu tidak? Sebenarnya, apa penyebabnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
sering terlontarkan oleh penduduk asli kota yang sudah lama tinggal. Mungkin salah satu
jawabannya adalah, Banyak pendatang dari desa nih yang cari kerja di kota, modalnya cuman
pas-pasan, atau cuma nekat. Jadinya, mereka tinggal sembarangan deh.

Perpindahan penduduk dari desa ke kota, atau yang biasa dikenal dengan istilah urbanisasi,
seolah-olah menjadi salah satu kambing hitam semakin padat dan kumuhnya permukiman di
perkotaan. Benarkah urbanisasi yang menjadi faktor utama penyebab permukiman kumuh di
perkotaan? Apa sebenarnya yang menjadi kelebihan kota maupun kekurangan desa sehingga
perpindahan penduduk desa ke kota kian meningkat? Lalu, dampak apa saja yang timbul dari
peningkatan urbanisasi tersebut?

Kota, sang magnet urbanisasi


Pembangunan perkotaan kian lama kian bertambah maju. Kemajuan tersebut dapat dilihat secara
kasat mata melalui semakin banyaknya gedung-gedung bertingkat dan pencakar langit, serta
suburnya pusat-pusat perbelanjaan dan perkantoran. Bagi sebagian besar penduduk desa,
kemajuan pembangunan di perkotaan memberikan kesempatan lebih untuk meningkatkan
perekonomian kelurga mereka. Oleh karena itulah, apabila ditanya alasan penduduk desa yang
mencari pekerjaan di kota, maka sebagian besar akan menjawab untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga mereka yang tinggal di desa.
Meskipun bagi sebagian orang meninggalkan kampungnya dan bekerja di perkotaan karena tidak
ada pilihan lain, namun kebanyakan dari mereka bermigrasi merupakan suatu pilihan.
Peningkatan jaringan transportasi serta ketersediaan telepon selular yang mempermudah
komunikasi dan berjejaring dengan kenalan mereka di kota telah membuat penduduk desa paham
mengenai keuntungan (ataupun kerugian) untuk pindah ke kota, terutama mengenai informasi
kesempatan kerja serta kondisi huni di perkotaan.
Selain lebarnya kesempatan kerja, alasan seseorang merasa ditarik ke kota adalah ketersediaan
beragam fasilitas, khususnya fasilitas pendidikan dan kesehatan di perkotaan yang lebih baik.
Adapun alasan lainnya ialah struktur sosial dan budaya di kota lebih bebas, sementara di
perdesaan dirasa lebih mengekang.
Kondisi desa, penyebab terjadinya urbanisasi
Di samping kemajuan pembangunan di perkotaan yang menjadi faktor peningkatan urbanisasi,
kondisi perdesaan yang dianggap tidak mampu menyediakan kesempatan kerja bagi
penduduknya serta minimnya penghasilan yang layak dari kegiatan pertanian juga menjadi faktor
penyebab utama terjadinya urbanisasi.
Mengapa penduduk desa banyak yang pindah ke kota? Hal ini disebabkan oleh banyak faktor.
Pertama, kebanyakan penduduk desa bekerja di sektor pertanian. Sektor ini sangat tergantung
dengan kondisi cuaca, ketersediaan lahan, dan tingkat kesuburan tanah. Kerawanan bencana di
daerah tersebut, seperti banjir, kemarau ataupun gempa bumi, maupun perubahan ekologis yang
berkelanjutan, seperti gurunisasi atau erosi tanah, juga menjadi pemicu orang untuk bermigrasi.

Kedua, kemiskinan petani. Jumlah petani kita banyak, tetapi hasil produknya tidak signifikan,
sehingga akhirnya petani tidak bisa sejahtera, dan tetap dipeluk kemiskinan. Padahal, pemerintah
telah membangun berbagai prasarana dan sarana infrastruktur pengairan, mulai dari bendungan,
bendung, hingga jaringan irigasi kemiskinan petani memang menjadi awal permasalahan yang
membuat banyak petani beralih profesi serta memilih mencari kerja di perkotaan. Mereka
terpaksa keluar dari daerah asalnya ialah akibat rendahnya kualitas hidup atau adanya daerah
yang menjanjikan kesempatan untuk hidup lebih layak. Seringkali seseorang memutuskan
bermigrasi karena kombinasi dari kedua faktor di atas. Pilihan yang tersedia adalah menambah
penghasilan mereka dengan pekerjaan tambahan yang tidak terkait dengan sektor pertanian, baik
pekerjaan di desa maupun di kota untuk sementara, sebagai buruh bangunan, pembantu rumah
tangga, pedagang kaki lima, dan pekerjaan informal lainnya, yang umum ditemukan di
perkotaan.

Faktor ketiga, kurangnya angkatan kerja produktif di perdesaan. Banyaknya penduduk desa usia
produktif kerja yang bekerja di kota membuat penduduk yang tinggal desa lebih banyak anak-
anak dan orang tua. Oleh karena itu, pembangunan di perdesaan tidak semaju perkotaan. Para
pemuda desa juga makin enggan mengolah sawah dan lebih tertarik pergi ke kota untuk
memperbaiki taraf hidupnya. Di sisi lain, okupasi lahan pertanian semakin marak untuk berbagai
keperluan nonpertanian.

Dampak urbanisasi di perkotaan


Sapa suru datang Jakartasapa suru datang JakartaSandiri suka sandiri rasa eh doe
sayang. Sungguh tiada kuduga, hidup akan merana tinggalkan kampung di desa dapatkan
gubuk di kota.
Sepenggal lirik dari lagu yang populer pada era tahun 80an tersebut dapat menggambarkan
betapa sulitnya hidup di kota Jakarta. Lirik-liriknya merupakan refleksi atas apa yang terjadi
pada para penduduk migran yang datang ke Jakarta dengan impian yang berbunga-bunga,
ternyata tidak sanggup dan kalah dalam kerasnya persaingan hidup di ibukota.
Laju urbanisasi yang tinggi pada akhirnya memang mengancam keberadaan daya dukung sebuah
kota. Potret glamor dan indah perkotaan nyatanya tidak seratus persen benar. Keberadaan
permukiman kumuh memang menjadi alternatif bagi migran yang kurang beruntung
mendapatkan tempat tinggal yang layak. Mereka yang kalah, atau tidak beruntung, terpaksa
tinggal dan menetap di permukiman yang sesuai dengan kemampuan keuangannya, atau menetap
di daerah ilegal, yang tidak mengeluarkan biaya sedikitpun. Mereka menetap di bantaran sungai,
kolong jembatan, atau tempat permukiman lainnya, sebagaimana yang disebut gubuk dalam
lagu tersebut.

Di berbagai kota, sangatlah umum menemukan sebagian warganya tinggal di permukiman


kumuh atau ilegal (liar), yang tidak memiliki bangunan yang memadai. Rumah-rumah tanpa
cahaya dan sirkulasi udara yang berdesakan, padat dan tanpa fasilitas yang memadai. Sumber air
minum yang berasal dari air tanah, yang mudah tercemar oleh kotoran manusia (tinja) karena
jarak sumber air tanah dan septic tank (tempat penampungan tinja) sangat berdekatan. Tak jarang
terlihat sebagian penduduk bantaran sungai memanfaatkan sungai sebagai tempat mandi, cuci,
ataupun kakus secara bersama pada satu tempat. Jalan tanpa drainase yang baik serta penuh
sampah yang dibuang secara sembarangan sangat rentan dengan ancaman banjir dan genangan
pada musim penghujan. Dengan kondisi demikian, warga sangat mudah terserang penyakit,
seperti muntaber, demam berdarah, atau ISPA (infeksi saluran pernafasan atas).

Dengan demikian, tujuan para migran untuk meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian
dengan datang ke kota belum tentu dapat terwujud. Peningkatan urbanisasi justru lebih banyak
menimbulkan permasalahan, terutama dengan menjamurnya permukiman-permukiman kumuh di
perkotaan. Memang kota tidak selalu manis bagi pendatang, tetapi juga memberikan
kepahitan. Dampak-dampak dari permukiman kumuh tersebut masih menjadi pekerjaan rumah
(PR) bagi pemerintah kota sebagai penentu kebijakan agar dapat meminimalisir permasalahan-
permasalahan tersebut. Permukiman kumuh memang menjadi permasalahan bagi kota, akan
tetapi menjadi alternatif bagi mereka pendatang yang kurang beruntung.(nld)

Anda mungkin juga menyukai