Anda di halaman 1dari 4

Urbanisasi Dan Dampaknya Terhadap Lingkungan

Oleh: Ischak, Drs., SU


Artikel di Jurnal Humaniora Volume XIII, No. 3/2001
Abstrak:
Melihat gemerlapnya cara hidup orang kota dan kehidupan
kota, menarik minat orang desa untuk pergi ke kota. Mereka,
orang desa, ingin pergi ke kota karena di kota banyak hiburan,
banyak lapangan kerja, dan kelihatan mudah mencari uang.

Kepergian penduduk desa ke kota untuk mengadu nasib


tidaklah menjadi masalah manakala mereka mempunyai
keterampilan tertentu yang dibutuhkan di kota. Namun,
kenyataannya ialah banyak di antara mereka yang datang ke
kota tanpa keterampilan kecuali bertani. Oleh karena itu, sulit
bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Terpaksa
mereka bekerja sebagai buruh harian, penjaga malam, pembantu
rumah tangga, tukang becak, dan pekerjaan lain yang sejenis.
Bahkan, mereka yang gagal memperoleh pekerjaan sejenis itu
menjadi tunakarya, tunawisma, dan tunasusila. Hal itu
mendorong mereka melakukan perbuatan yang kurang benar.
Misalnya, mendirikan gubuk-gubuk liar di tepi jalur kereta api,
di daerah-daerah jalur hijau, dan di daerah-daerah bantaran
sungai. Di sisi lain, urbanisasi menyebabkan pertambahan
penduduk kota semakin cepat. Hal itu mendorong dibukanya
pusat-pusat perdagangan, pusat-pusat industri, dan
dikembangkannya fasilitas transportasi, komunikasi, kesehatan,
dan pendidikan. Dari gambaran di atas tidaklah salah apabila
dikatakan bahwa urbanisasi mempunyai dampak positif dan
negatif terhadap lingkungan. Sebelum dibahas dampak positif
maupun negatif urbanisasi terhadap lingkungan.
A trash dump in Bantar Gebang, Bekasi

Population in excess of infrastructure


Like many big cities in developing countries, Jakarta suffers from major urbanization problems.
The population has risen sharply from 1.2 million in 1960 to 8.8 million in 2004, counting only its
legal residents. The population of greater Jakarta is estimated at 23 million, making it the fourth
largest urban area in the world. The rapid population growth has outgrown the government's ability
to provide basic needs for its residents. As the third biggest economy in Indonesia, Jakarta has
attracted a large number of visitors. The population during weekends is almost double that of
weekdays, due to the influx of residents residing in other areas of Jabotabek. Because of
government's inability to provide adequate transportation for its large population, Jakarta also
suffers from severe traffic jams that occur almost every day. Air pollution and waste management
are also severe problems. By 2025 the population of Jakarta may reach 24.9 million, not counting
millions more in surrounding areas.

Sanitation
Surveys show that "less than a quarter of the population is fully served by improved water sources.
The rest rely on a variety of sources, including rivers, lakes and private water vendors... Some 7.2
million people are [without clean water]."

Flooding
During the wet season, Jakarta suffers from flooding due to clogged sewage pipes and waterways,
deforestation near rapidly urbanizing Bogor and Depok, and the fact that 40% of it is below sea
level. Terrible floods occurred in 1996 when 5,000 hectares flooded and 2007.Losses from
infrastructure damage and state revenue were at least 5.2 trillion rupiah (572 million US dollars)
and at least 85 people were killed and about 350,000 people forced from their homes..
Approximately 70% to 75% of Jakarta's total area was flooded and water up to 4 meters deep in
parts of city.

The informal sector


In September 2007, a new law was brought into effect which attempted to regulate aspects of public
order. It forbids the giving of money to beggars, buskers and hawkers, bans squatter settlements on
river banks and highways, prohibits spitting and smoking on public transportation. Unauthorized
people cleaning car windscreens and managing traffic at busy intersections will also be penalized.
Critics of the new legislation claim that such laws will be difficult to enforce and ignore the
desperate poverty of many of the capital's inhabitants.
Urbanisasi
Berdampak Positif
dan Negatif
Salah satu isu kependudukan yang penting dan mendesak untuk segera ditangani
secara
menyeluruh adalah urbanisasi. Meski harus diakui bahwa tidak ada negara di era
industrialisasi
dapat mencapai pertumbuhan ekonomi berarti tanpa urbanisasi. Namun tidak dapat
dipungkiri
pula, dampak urbanisasi menciptakan masalah kemiskinan beragam, antara lain
akibat tidak
tersedianya lapangan pekerjaan, ketidaksiapan infrastruktur, perumahan dan layanan
publik.
MENURUT Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Erman Suparno, pertumbuhan
urbanisasi harus disiasati
dengan perbaikan fasilitas yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat perkotaan.
Dalam hal ini, Depnakertrans telah melakukan
pelatihan, sertivikasi dan penempatan tenaga
kerja atau lebih dikenal dengan program threein-
one, Program Revitalisasi Balai Latihan Kerja,
Pembukaan Kesempatan Kerja Baru di Luar
Negeri dan Program Kota Mandiri (KTM) di
kawasan transmigrasi.
Paparan ini disampaikan Menakertrans saat
menjadi keynot speech dalam Seminar Nasional
Pertumbuhan Penduduk Perkotaan di Gedung
Bidakara, Jakarta, beberapa waktu lalu yang
diikuti dengan peluncuran Buku State of World
Population Report 2007 yang merupakan kerja
sama antara Ikatan Peminat Ahli Demografi
(IPADI) dengan Lembaga PBB yang menangani
kependudukan (UNFPA) dan Depnakertrans.
Launching buku pada tanggal 27 Juni ini secara
serentak juga dilakukan seluruh dunia dalam
rangka memperingati Hari Kependudukan
Internasional pada 11 Juli 2007.
Laporan State of World Population 2007 ini juga
memberikan gambaran urbanisasi dunia, bahwa
pada tahun 2008, lebih dari separuh penduduk
dunia yaitu 3,3 milyar jiwa akan tinggal di daerah
urban. “Angka ini akan naik tajam menjadi 5
milyar pada tahun 2030,” kata Martha Santoso
Ismail, Representative United Nations Population
Fund (UNFPA).
Diakui Martha, urbanisasi mempunyai
dampak positif dan negatif. Tidak ada negara
di era industrialisasi dapat mencapai pertumbuhan
ekonomi yang berarti tanpa urbanisasi.
“Tantangannya adalah belajar bagaimana
memanfaatkan kemungkinan-kemung–
kinannya,” tukasnya.
Hal senada juga diungkap Ketua Umum
IPADI Rozi Munir bahwa pertambahan penduduk
perkotaan telah menjadi bagian dalam
globalisasi yang kehadirannya tidak
dapat disekat-sekat lagi. Oleh karena itu,
yang terpenting dalam menangani masalah
urbanisasi adalah bagaimana membuat kebijakan
perkotaan agar dapat mengadaptasi
potensi-potensi menguntungkan bagi perkembangan
perkotaan yang sebagian memang masih
miskin.
Tak kalah pentingnya, seminar ini menghadirkan
sejumlah narasumber yang membahas
topik-topik menarik, dipandu oleh Meutia
Hafidh reporter dan presenter televisi news kondang.
Narasumber tersebut adalah Dr Effendi
Gozali, pakar Komunikasi, Prof Dr Ahmad
Fedyani Saifudin, Dosen Antropologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Dr
Omas Rajagukguk dari Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Drs
Suwito, SH,MM Dirjen pengawasan Ketenagakerjaan.
Menurut Prof Ahmad Fedyani Saifudin, kemiskinan
massif dan integrative di perkotaan
telah mengakibatkan muncul dan berkembangnya
kemiskinan kebudayaan dalam berbagai
bentuk. Kemiskinan kebudayaan muncul akibat
proses adaptasi terus menerus masyarakat
perkotaan yang sebagian besar miskin terhadap
berbagai tekanan kehidupan.
“Pada masa kini dan mendatang, persoalan
kemiskinan sudah menjadi kemiskinan kebudayaan.
Contohnya, hampir semua kegiatan politik,
baik yang terorganisir oleh partai-partai politik
maupun bukan, uang selalu menjadi sentral.
Bahkan hampir semua demo atau tuntutan
berbagai pihak ke alamat pemerintah berpusat
pada isu uang,” tukasnya. RW

Anda mungkin juga menyukai