June 2020
e-ISSN 2656-0194
Ari Sulistyorini
PPSDM Kemendagri Regional Yogyakarta, Jl. Melati Kulon No. 1 Baciro 55225
arisulis@outlook.com
ABSTRAK
Urbanisasi merupakan masalah serius bagi Indonesia. Jakarta adalah episentrum urbanisasi, yang
menjadi pusat kekayaan, yang menyedot migrasi penduduk dari desa yang menciptakan kepadatan
penduduk, ketimpangan sosial, sekaligus kemacetan dan banjir. Presiden Joko Widodo berupaya
membendung urbanisasi sebagai bagian dari platform Indonesia centris, sebaliknya Menteri Keuangan Sri
Mulyani berupaya memacu urbanisasi untuk pertumbuhan ekonomi. Artikel ini bertujuan menyampaikan
kritik terhadap urbanisme-urbanisasi, sekaligus menawarkan ruralisasi, yang bergerak kembali ke
per(desa)an, dengan agrikultur sebagai tulang punggung, sekaligus kabupaten, desa, petani, nelayan, dan
peternak sebagai aktor utama. Artikel ini tidak bekerja dengan geografi, demografi, maupun ekonomi,
tetapi dengan ilmu politik, yang menggunakan metode interpretif dan analisis kritis. Dengan analisis itu,
studi gagasan ini secara kritis menemukan bahwa urbanisasi telah menciptakan Indonesia sebagai
masyarakat perkotaan yang kompleks secara ekonomi, sosial dan politik. Urbanisasi ini telah memberi
kekayaan dan kemegahan kota, tetapi juga menyajikan paradoks serius: pembusukan kota (ledakan
kedalam/implosi), dan pemiskinan desa (ledakan keluar/eksplosi). Solusi “kota centris” dengan resep kota
berkelanjutan hanya akan menangani pembusukan kota tetapi mengabaikan pemiskinan desa. Solusi
“Indonesia centris” dengan ruralisasi di kabupaten dan desa, dengan emansipasi lokal, merupakan
jawaban lebih baik untuk pemerataan, keadilan dan kemakmuran. Jepara, kabupaten paling makmur di
Jawa Tengah, merupakan contoh ruralisasi yang melampaui pendekatan proyek dari atas.
Kata kunci: urbanisasi, ruralisasi, kota, desa
ABSTRACT
Urbanization is a serious problem for Indonesia. Jakarta is the epicenter of urbanization, which is the
center of wealth, which sucks in the migration of people from villages that creates population density, social
inequality, as well as congestion and flooding. President Joko Widodo seeks to stem urbanization as part
of an Indonesia centric platform, while Minister of Finance Sri Mulyani seeks to spur urbanization for
economic growth. This article aims to express criticism of urbanism, as well as offering ruralization, which
moves back to rural, with agriculture as the backbone, as well as districts, villages, farmers, fishermen,
and farmers as the main actors. This article does not work with geography, demography, or economics,
but with political science, which uses interpretive methods and critical analysis. With this analysis, this
study of ideas critically finds that urbanization has created Indonesia as an economically, socially and
politically complex urban society. This urbanization has given the wealth and splendor of the city, but also
presents a serious paradox: city decay (explosion into / implosion), and rural impoverishment (explosion
out / explosion). A "city-centric" solution with a sustainable city recipe will only deal with urban decay but
ignore rural impoverishment. The "Indonesia centric" solution with rural and rural areas, with local
emancipation, is a better answer for equality, justice and prosperity. Jepara, the most prosperous district
in Central Java, is an example of ruralization that goes beyond the project approach from above.
Keywords: urbanization, ruralization, city, village.
145
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
146
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
dua masalah ini, tetapi banjir dan macet peningkatan urbanisasi," demikian ungkap
merupakan keabadian Jakarta. Jakarta juga Menteri Bambang Brodjonegoro (Kompas, 3
arena kontestasi kekuasaan, yang justru Oktober 2019). Jika masalah-masalah
menantang perubahan progresif, sehingga urbanisasi tidak segera diselesaikan, maka
lebih sering hadir sebagai kontestasi yang bukan nilai tambah berupa peningkatan PDB
mundur ke belakang. yang akan didapat, melainkan ledakan
Masalah urbanisasi sudah lama menjadi urbanisasi yang tak terbendung dan
perhatian kajian para ahli. Ahli Bank Dunia, menimbulkan masalah-masalah baru.
Blane Lewis, misalnya, dengan analisis deret Karena paradoks dan kontradiksi
waktu Indonesia selama periode 1960-2009, Jakarta yang sulit diatasi itulah, Presiden Joko
menunjukkan bahwa tingkat urbanisasi secara Widodo Agustus 2019 mengambil keputusan
positif terkait dengan pertumbuhan ekonomi untuk memindahkan Ibukota dari Jakarta ke
tetapi tingkat perubahan urbanisasi Kalimantan Timur. Pemindahkan Ibukota ini
berkorelasi negatif dengan pertumbuhan menjadi bagian dari platform “Indonesia
output ekonomi. Analisis panel juga centris”. Para pihak yang “menyintai” modal,
menyiratkan bahwa dampak berbahaya dari kekayaan dan Jakarta, pasti melakukan protes
pertumbuhan populasi perkotaan terkait keras terhadap kebijakan pemindahan
dengan pengeluaran infrastruktur publik lokal Ibukota. Menurut kalkulasi untung-rugi para
yang tidak memadai. Pemerintah daerah yang penolak, pemindahan Ibukota ini sangat rugi.
berinvestasi lebih banyak dalam infrastruktur Mereka juga berpendapat bahwa anggaran
lebih mampu mengatasi dampak negatif dari sebesar 400 trilyun rupiah lebih baik
urbanisasi yang cepat terhadap pertumbuhan digunakan untuk memperbaiki Jakarta
ekonomi (Lewis, 2014). ketimbang untuk membangun Ibukota baru.
Mustafa Elnagi Elsamani Hassan dan Memang, sebagian besar penduduk kota besar
Agus Joko Pitoyo dengan positivisme, sangat berkomitmen pada politik liberal di
meneliti tentang hubungan urbanisasi dan tingkat nasional, tetapi merasa sama
pertumbuhan ekonomi sampai pada level nyamannya dengan kepentingan mengakar
provinsi, yang memanfaatkan data statistik yang berusaha menghalangi perubahan di
detail tahun 1971-2010. Secara umum tingkat lokal (Yglesias, 2012). Sebaliknya
penelitian ini menunjukkan ada hubungan daerah tentu akan cemburu jika Pemerintah RI
positif yang kuat antara tingkat perkembangan terus mengucurkan uang besar untuk
ekonomi regional dan tingkat urbanisasi. memperbaiki Jakarta. Daerah umumnya
Namun banyak provinsi menyimpang dari menyambut baik pemindahan Ibukota,
generalisasi ini. Dalam kasus-kasus ekstrem, sekaligus berharap kepada Pemerintah RI agar
beberapa provinsi (Kalteng, Jambi, Papua, lebih banyak memperhatikan kabupaten, desa,
Papua Barat) diklasifikasikan sebagai daerah pedalaman, dan perbatasan di penjuru tanah
yang lebih maju tetapi masih kurang urban air.
atau, secara sederhana mengalami Kerja pemindahan Ibukota tentu sedang
penyimpangan ke bawah, karena infrastruktur mengalami jeda di tengah pandemi Covid-19.
yang buruk. Sebaliknya, Yogyakarta, Tetapi isu urbanisasi tetap krusial, justru di
memiliki tingkat perkembangan ekonomi tengah krisis pandemi. Sudah ratusan ribu
lebih rendah daripada tingkat urbanisasi warga mudik (pulang kampung) dari Jakarta
(Elnagi, Hassan, Pitoyo, & Mada, 2017). dan sekitarnya ke Jawa Barat, Jawa Tengah,
Penelitian di jantung urbanisasi itu DIY, Jawa Timur, dan daerah-daerah lain.
menunjukkan bahwa antara tujuan urbanisasi Mobilitas orang dari “daerah merah” ini tentu
dengan hasil pertumbuhan ekonomi tidak membawa perluasan penularan virus sampai
berjalan secara linear. Data makro juga ke pelosok negeri, sekaligus menambah
menunjukkan kontribusi urbanisasi terhadap jumlah orang yang terpapar virus. Krisis dan
GDP di Indonesia masih minim dibanding mudik ini memberi pelajaran bahwa kota
negara Asia lainnya. "Di China setiap 1 bersifat semu, rapuh, dan rentan terhadap
persen peningkatan urbanisasi bisa risiko kesehatan dan dampak ekonomi. Para
meingkatkan 3% GDP. Di Asia Pasifik dan pemudik umumnya mengaku tidak punya apa-
Asia Timur bisa meningkatkan GDP 2,7%. apa lagi di Jakarta, dan mereka akan mencari
Kemudian di Indonesia hanya bisa ketenangan hidup di desa kampung
meningkatkan 1,4% GDP dari setiap 1 persen halamannya. Penularan corona memang
147
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
sampai ke desa, tetapi masih dalam jumlah analisis kritis terhadap paradoks urbanisasi,
kecil, yang masih terkendali dan bisa dan sekaligus berpihak menawarkan
dikendalikan dengan protokal lokal. Secara ruralisasi, sebab selama ini desa dikalahkan
ekonomi, desa tidak terlalu terdampak secara oleh urbanisasi.
serius, meskipun dari dulu hingga kini Atas dasar itu, artikel ini bekerja
ekonomi desa bersifat subsisten (Scott, 1976). dengan tradisi post-positivisme, yakni dengan
Ketersediaan pangan dan mekanisme analisis interpretif. Para ilmuwan politik
pembagian sosial secara komunal dalam memiliki alasan etis untuk mengadopsi
kehidupan desa bisa menyelamatkan orang paradigma interpretif. Secara khusus,
dari kelaparan, meskipun mekanisme ini pendekatan interpretatif memberikan para
disebut oleh Clifford Geertz sebagai “berbagi ilmuwan politik akun yang lebih baik tentang
kemiskinan” (shared poverty) karena orang sifat dan peran nilai-nilai dalam kehidupan
desa hidup dalam involusi pertanian (Geertz, manusia, perasaan tentang bagaimana masa
1963). lalu historis relevan secara etis, kemampuan
Meski desa menolong, tetapi bukan untuk memajukan ilmu pengetahuan yang
berarti kondisi subsistensi-involusi, sebagai terlibat secara politis, dan kritik yang
korban urbanisisasi itu, harus diawetkan. disengaja tentang teknokrasi. Ilmuwan politik
Kondisi desa itu justru sangat kritis, yang harus bebas untuk terlibat secara kritis,
mengharuskan kita untuk meninjau ulang meneliti, dan bahkan secara normatif
kontradiksi dan paradoks urbanisasi. Karena mengevaluasi posisi etika manusia (Mark
itu tulisan ini hendak menyampaikan kritik Bevir dan Jason Blakely 2017).
terhadap urbanisme-urbanisasi, sekaligus Tradisi post-postivisme berpendapat
menawarkan ruralisasi, yang bergerak bahwa pengetahuan adalah kekuasaan, tidak
kembali ke per(desa)an, dengan agrikultur ada pengetahuan yang obyektif-netral seperti
sebagai tulang punggung, sekaligus diklaim oleh positivisme. Fakta empirik yang
kabupaten, desa, petani, nelayan, peternak dan disajikan oleh kaum positivis tentu merupakan
lain-lain sebagai pemilik dan pemainnya. fakta naif, sebab sudah dikonstruksi sepihak
oleh peneliti sesuai ukuran yang dibuatnya
untuk membenarkan argumen teorinya.
METODOLOGI Sebaliknya penelitian interpretif
berfokus pada pemahaman pengalaman
Penelitian ilmu sosial humaniora,
subjektif daripada sekadar mengamati makna
termasuk isu kemiskinan dan urbanisasi, di balik fakta, untuk menjelaskan dan
didominasi oleh mazhab empirisme,
memahami data, sekaligus menafsirkan
naturalisme, dan positivisme. Ketiganya ini
kehidupan dan masyarakat melalui
mempunyai kesamaan yang lazim disebut pengalaman manusia. (Ban, 2020; Bevir &
dengan positivisme, atau juga disebut Blakely, 2020; Wedeen, 2020)
saintisme. Positivisme memanfaatkan
Analisis interpretif yang digunakan
empirisme sebagai basis menentukan ontologi
artikel ini memanfaatkan teks, argumen, atau
realitas, yakni pengetahuan harus dibangun diskursus sebagai data utama, yang tidak lain
berdasarkan pengalaman dan fakta empirik, adalah argumen aktor, baik presiden, menteri,
serta memanfaatkan naturalisme sebagai basis maupun ilmuwan. Sebagai contoh, penulis
epistemologi atas kebenaran yang obyektif membandingkan dan menganalisis argumen
sesuai hukum alam (Norman K. Denzin dan Presiden Jokowi yang berupaya membendung
Yvonna S. Lincoln, 2018). urbanisasi dengan argumen Menteri Sri
Artikel ini bukanlah penelitian Mulyani yang mendukung urbanisasi. Posisi
empirisme dengan studi demografi, geografi penulis adalah mengritik pandangan
dan ekonomi, tetapi sebagai kajian pendukung urbanisasi dan mendukung
interpretisme yang bekerja dengan ilmu
argumen ruralisasi yang membendung
politik. Mengikuti pendapat Mark Bevir dan urbanisasi. Fakta atau data dalam bentuk
Jason Blakely, ilmuwan politik bebas angka makro penulis gunakan untuk
menggunakan metode apa pun yang paling mendukung analisis interpretif atas diskursus
berguna untuk tujuan penelitian dengan tersebut.
landasan etik dan nilai yang berpihak (Bevir Diskursus politik itu menjadi pintu
& Blakely, 2018). Penulis hendak melakukan masuk untuk menafsirkan urbanisasi.
148
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
Langkah kedua penulis adalah studi pustaka, perkotaan ditentukan oleh kepadatan:
yang melakukan pencarian pengetahuan para aglomerasi berakhir di mana kepadatan
ahli yang berpandangan kritis terhadap populasi turun di bawah ambang kritis.
urbanisasi. Kajian ini berguna untuk Konsep komprehensif adalah area
membentuk kerangka konseptual, yang metropolitan, yang mencakup aglomerasi
penulis gunakan untuk memahami dan perkotaan dan daerah sekitarnya dengan
mengritik kontradiksi dan paradoks kepadatan pemukiman lebih rendah yang juga
urbanisasi, sekaligus kritik terhadap solusi berada di bawah pengaruh langsung kota.
yang berpusat pada “kota centris”. Kerangka (Nguyen & Nguyen, 2018; United Nations,
konseptual juga menyajikan gagasan 2006). Dengan demikian, laju urbanisasi
ruralisasi, sebagai alternatif atas paradoks sebesar 56% berarti menunjuk pada
urbanisasi, sekaligus sebagai gagasan untuk aglomerasi perkotaan itu, sekaligus menunjuk
mendukung “Indonesia centris”. pada besaran penduduk yang mendiami
Meski artikel ini mengutamakan studi wilayah perkotaan.
tentang gagasan dan analisis diskursus, tetapi Pertumbuhan itu tentu karena
bukan berarti penulis mengabaikan data pembangunan. Wilayah yang semula
empirik, tentu penyajian data empirik yang bercirikan perdesaan, karena pengaruh
penulis sajikan sungguh berbeda dengan pembangunan dan urbanisme, bisa berubah
penelitian empirisme-positivisme. Dengan menjadi wilayah perkotaan. Secara
studi pustaka, penulis menunjukkan data administratif desa bisa berubah menjadi
narasi tentang paradoks urbanisasi serta kelurahan. Sebagai contoh adalah kawasan
kegagalan proyek ruralisasi yang selama ini Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi
sudah berjalan. Sebagai studi gagasan, artikel (Bodetabek), yang sebelum 1960-an lebih
ini menyajikan sepotong cerita ruralisasi banyak memperlihatkan ciri perdesaan dan
Jepara, sebuah kabupaten paling makmur di agrikultur, namun pelan-pelan mulai dekade
Jawa Tengah. Namun, sekali lagi, artikel ini 1970-an, wilayah itu ditumbuhi beton, pabrik,
bukan penelitian empirisme komparatif atas dan perumahan, sehingga muncul perkotaan
Jepara dan kota-kota lain yang sukses. Penulis baru sebagai perluasan dari metropolitan
melakukan interpretasi atas cerita capaian Jakarta. Sekarang, kita mengenal kawasan
Jepara, sebagai sebuah contoh bahwa gagasan Jabodetabek sebagai aglomerasi perkotaan
ruralisasi adalah keniscyaan, melampaui dengan jumlah penduduk mencapai hampir 30
pendekatan proyek pembangunan perdesaan. juta orang. Demikian juga dengan sebagian
desa di Sleman dan Bantul yang berdekatan
dengan Kota Yogyakarta, dapat disebut
KERANGKA KONSEPTUAL sebagai aglomerasi perkotaan karena
dinamika urbanisasi yang terus berjalan,
Setiap orang tahu bahwa urbanisasi
meskipun secara administratif desa-desa itu
adalah perpindahan (migrasi) penduduk dari
tidak berubah menjadi kelurahan.
per(desa)an ke per(kota)an. Ini adalah
Dengan demikian urbanisasi dapat
pemahaman paling mudah dan nyata. Namun
dimengerti menjadi tiga: (1) pembentukan
pengertian urbanisasi yang sesungguhnya
per(kota)an; (2) perpindahan penduduk dari
adalah proporsi penduduk yang tinggal di
per(desa)an ke per(kota)an, serta (3) perluasan
perkotaan. Wilayah kota ditentukan oleh
kota baru atau pembentukan aglomerasi
kriteria hukum dan administrasi, hanya
perkotaan yang merambah ke ruang
mencakup wilayah geografis sebagai bagian
perdesaan. Para ahli konvensional hari ini
dari unit administrasi yang didefinisikan
berbicara urbanisasi lebih banyak menunjuk
secara hukum. Karena itu kita mengenal
pada pengertian ketiga (aglomerasi
pemerintah kota. Namun, banyak daerah
perkotaan), sebab aglomerasi ini menjadi
perkotaan telah tumbuh jauh melampaui
pertanda baik bagi pembangunan dan
batas-batas kota. Inilah yang disebut
pertumbuhan ekonomi yang harus terus
aglomerasi perkotaan, yakni populasi nyata
diperluas, tetapi juga menimbulkan dampak
yang terkandung dalam kontur wilayah yang
kontradiksi dan paradoks yang kompleks
berdekatan yang dihuni pada tingkat
(kepadatan, kemiskinan, ketimpangan,
kepadatan perkotaan tanpa memperhatikan
kemacetan, banjir, kejahatan, dan lain-lain).
batas-batas administratif. Aglomerasi
Mereka bisa disebut sebagai penganut
149
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
150
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
151
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
karena mereka tidak memiliki kekuasaan pendidikan untuk membuat orang desa
politik. Demikian ungkap Michael Lipton: berhaluan kota, menjadi milenial yang tajir,
"... Konflik kelas yang paling penting di
mengabdi kepada kapitalisme. Pendidikan
negara-negara miskin di dunia saat ini menjadi brain drain, memfasilitasi mobilitas
bukanlah antara tenaga kerja dan modal. sosial orang desa, yakni naik kelas dan pindah
Juga bukan antara kepentingan asing dan ke kota. Setelah menjadi urbanis, bekas orang-
nasional. Itu adalah antara kelas pedesaan orang desa itu bersikap anti-desa, meskipun
dan kelas perkotaan. Sektor pedesaan kerap bersikap romantis, dengan mengatakan
mengandung sebagian besar kemiskinan saya ini orang desa! Urbanis selalu melakukan
dan sebagian besar sumber kemajuan marginalisasi dan isolasi terhadap desa
potensial berbiaya rendah; tetapi sektor apabila berbicara tentang kepentingan lokal.
perkotaan mengandung sebagian besar Tetapi kalau untuk urusan kota dan modal,
artikulasi, organisasi, dan kekuasaan. Jadi yang dibungkus dengan sebutan kepentingan
kelas-kelas perkotaan telah mampu nasional, maka kaum urbanis akan melakukan
memenangkan sebagian besar putaran eksploitasi terhadap desa. Hasil bumi dan
perjuangan dengan pedesaan... ” tenaga kerja murah dari desa merupakan
Jika ketiga pengertian di atas digabung modal dan alat produksi yang mereka ambil,
menjadi satu maka lahir satu kata: urbanisme. yang David Harvey menyebutnya sebagai
Urbanisme adalah pandangan hidup, gaya urbanisasi kapital (Harvey, 1985).
hidup, ideologi, ekonomi, politik dan Urbanisme itu mengandung paradoks
kebijakan yang mengutamakan dan yang serius. Baik Lefebvre maupun Neil
memperkuat kota dan perkotaan. terus- Brenner menjelaskan bagaimana urbanisasi
menerus memperluas aglomerasi perkotaan bergerak ke dua arah. Arah pertama adalah
untuk ruang dan mesin kapitalisme; implosi, yaitu ledakan ke dalam yang
mengonstruksi kota sebagai utopia kemajuan menyebabkan kemunculan konsentralisasi
dan kekayaan; menempatkan kota sebagai spasial (Brenner, 2014; Lefebvre, 2003).
“negara dalam negara” yang mengendalikan- Dalam urbanisasi, model implosi itu,
mendominasi seluruh daerah dan desa di misalnya, dapat kita lihat dengan makin padat
seluruh penjuru negeri. Kota merupakan pusat suatu area kota dengan penduduk dan gedung,
dan aktor urbanisme. Negara menciptakan permukiman kumuh, polusi, macet,
kota. Kota menciptakan negara, memperkaya ketimpangan ekonomi, kaum miskin kota,
negara, mengatur negara, sekaligus danl lain-lain. Arah kedua adalah eksplosi,
menempatkan negara sebagai entitas dalam yaitu pertumbuhan lateral dari suatu kawasan
perkotaan global (Warren Magnusson, 2011). kota yang meluas ke perdesaan. Termasuk
Kota adalah agen dan arena neoliberalisme, dalam gerak eksplosi adalah pertumbuhan
yang telah menghasilkan bukan negara kecil Jakarta menjadi Jabodetabek, maupun satu
dan langsing, tetapi negara pasar yang kawasan desa atau pedesaan dijadikan sebagai
membengkak melalui banyak campur tangan bentang alam operasional untuk memenuhi
pemerintah (Plant, 2010) Karena itulah kota- kebutuhan kota. Pada titik inilah James
kota metropolitan sulit diperintah oleh Midgley melihat paradoks urbanisasi dalam
pemerintah negara yang berdaulat (Lipton, bentuk pemiskinan desa dan pembusukan
1977). kota. Pembusukan kota adalah bentuk implosi,
Urbanisme mengonstruksi hubungan dan pemiskinan desa merupakan dampak dari
kota dan desa dengan kerangka utopia kota eksplosi (Midgley, 1995).
(kebaikan kota) dan distopia desa (kebodohan Ketika urbanisasi mengandung
dan keburukan desa). DNA urbanisme adalah paradoks, maka muncul gagasan lain yang
anti-desa. Monika Krause (2013) menyebut bergeser dari ruang kota ke ruang desa, baik
gejala "imperialisme intelektual perkotaan" dalam bentuk pembangunan perdesaan
yang memandang pedesaan dari perspektif maupun ruralisasi (ruralization). Konsep
perkotaan. Menurut kaum urbanis, desa itu ruralisasi ini masih sangat jarang ditemukan
kolot dan tertinggal, kota itu modern dan dalam literatur urbanisasi maupun literatur
maju. Pandangan ini mengarahkan agar orang studi perdesaan (Chigbu, 2015). Ruralisasi
desa berpandangan kota, agar pindah ke kota. bukan sekadar kembali ke desa bernostalgia
Kaum urbanis merancang dan menjalankan secara romantis pada kehidupan desa yang
indah; bukan sekadar deurbanisasi dalam
152
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
bentuk arus balik migradi dari kota ke desa, orang desa. Argumen ini benar sebagian,
bukan sekadar pembangunan perdesaan yang sebab desa, petani dan pertanian mengalami
menaruh perhatian pada infrastruktur dan involusi dan subsistensi, tetapi juga keliru
produksi komoditas lokal, bukan pula pada sisi lain, sebab desa beserta isinya justru
kolonilisasi dan penetrasi kota ke desa dengan mengalami marganilasasi dan tidak
memperluas aglomerasi perkotaan (Wilbur, memperoleh perhatian yang serius oleh
2013; Krause, 2013). Monika Krause negara. Perhatian negara lebih banyak pada
berupaya memahami ruralisasi dengan cara kota, perdagangan, industri dan jasa dengan
melihat hubungan perkotaan-perdesaan bukan kebijakan dan modal yang sangat besar.
berputar-putar dengan teori urbanisasi, Dengan begitu ruralisasi harus
melainkan melihat dari sisi perspektif memperhatikan aspek ekonomi sebagai
perdesaan, seraya berusaha menggabungkan bagian dari makna kehidupan dan
kembali perkotaan-perdesaan sebagai properti penghidupan masyarakat lokal, namun bukan
solidaritas, tempat, pemerintahan, dan mata berarti mempertahankan involusi dan
pencaharian (Krause, 2013). subsistensi, sebaliknya juga menerima
Empat butir itu (solidaritas, tempat, pertumbuhan ekonomi tetapi bukan berarti
pemerintahan, dan pencaharian) itu bisa menjadi kapitalisme besar yang dikontrol oleh
digunakan untuk melihat perdesaan, sejalan dunia global. Argumen ini mengingatkan akan
dengan M. Woods yang melihat ruang konsep “ekonomi kerakyatan” yang pernah
perdesaan secara utuh dalam tiga makna: (a) digagas oleh Sarbini Sumawinata, Mubyarto,
perdesaan sebagai lokalitas: perdeasan Sahjir, Dawan Rahardjo, Revrisond Baswir,
terdapat manusia, masyarakat, identitas, dan lain-lain. Menantang ekonomi kapitalis
institusi maupun desa yang lengkap dengan urban, konsep ekonomi kerakyatan pada
tatanan sosial dan budaya setempat; (b) dasarnya menyentuh langsung terhadap
kehidupan: ruang perdesaan sebagai tempat pertanian dalam arti luas, rakyat kecil (petani,
dan basis kehidupan-penghidupan masyarakat nelayan, peternak, perajin, dan sebagainya)
setempat; dan (c) representasi: ruang dan pedesaan. Karena pertanian mengalami
perdesaan menghadirkan institusi lokal dan involusi-subsistensi, maka Sarbini
asosiasi lokal yang mandiri dan kuat, Sumawinata menggagas industrialisasi
melakukan konsolidasi dan negosiasi dengan pedesaan-kerakyatan yang memberi nilai
negara maupun modal dalam pembangunan tambah pada pertanian dengan kekuatan
perdesaan (M. Woods, 2013). rakyat sebagai aktor utamanya (Sumawinata,
“Negara membutuhkan pedesaan tidak 2004).
hanya demi kesetaraan tetapi juga untuk Gagasan lain yang serupa dengan
pembangunan berkelanjutan”, demikian ekonomi lokal dan ekonomi kerakyatan
Sandeep Raveesh, sembari dia memahami adalah agropolitan, yang pernah disampaikan
ruralisasi sebagai "konstruksi sistematis oleh John Friedmann dan Mikes Douglass
daerah pedesaan dengan meningkatkan (1975), untuk menantang urbanisasi dan
peluang penghidupan dan fasilitas yang lebih pembangunan perdesaan terpadu yang
baik" (Raveesh, 2014). Konsepsi tentang dominan pada dekade pasca Perdang Dunia II.
ruralisasi yang lebih bertenaga disampaikan Berbeda dengan aglomerasi perkotaan melalui
oleh Uchendu Eugene Chigbu (2015), yang jalur urbanisasi, agropolitan adalah “kota di
menegaskan bahwa ruralisasi adalah solusi ladang” yang digerakkan secara lokal dengan
atas masalah urbanisasi, sebagai urbanisasi perencanaan radikal (radical planning). Dua
terbalik, kontra-urbanisasi dan deurbanisasi, orang itu bicara agropolitan karena didasari
yang memberikan kepercayaan kepada atas kritik mereka terhadap modernisasi: (a)
keindahan pedesaan, sebagai jalan untuk Terjadinya hyper-urbanization, akibat
transformasi kehidupan perdesaan. Pedesaan terpusatnya modal dan penduduk di kota-kota
menjadi gaya hidup, penghidupan dan yang padat; (b) Pembangunan “modern”
penghidupan. hanya terjadi di beberapa kota, sementara
Aspek ekonomi sangat penting dalam daerah pinggiran relatif tertinggal; (c) Tingkat
ruralisasi. Perhatian pada perdesaan selalu pengangguran yang relatif tinggi; (d)
menghasilkan sikap skeptis banyak orang, Pembagian pendapatan yang tidak merata
sebab lahan di desa sudah terbatas, dan dalam bentuk ketimpangan dan kemiskinan;
pertanian tidak lagi menjajikan hidup bagi (e) Kekurangan bahan pangan, akibat
153
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
154
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
155
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
156
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
proses urbanisasi yang semakin menjauhkan bencana, ramah lingkungan); ruang terbuka
kota dari kehidupan sosialnya. Inisiatif Kota hijau (30 persen); penurunan emisi karbon
Sosial di Jerman dimulai pada tahun 1999, melalui pengembangan transportasi massal
“bukan sebagai program sosial, namun dan nonmotor, kawasan terpadu, bangunan
sebagai program investasi pengembangan hijau, energi terbarukan; air bersih dan
perkotaan”, untuk menjawab kebutuhan untuk sanitasi sehat; pengolahan sampah dan limbah
“mencegah lingkaran setan kemiskinan, ramah lingkungan (Joga, 2019)
pengabaian sosial, dan kerusakan Baik kota ekonomi dan kota sosial yang
infrastruktur”. Namun, lingkungan yang dipertemukan dalam wadah kota
menjadi target program Kota Sosial adalah berkelanjutan, juga dipertemukan pada solusi
lingkungan yang masih tertinggal, seiring yang konkret, yakni pembangunan
dengan berbagai masalah sosial dan infrastruktur: transportasi massal, rumah
lingkungan yang mereka hadapi. Akibatnya, layak huni, sabuk hijau, drainase, sanitasi, air
solusi untuk masalah-masalah ini dirumuskan bersih, dan masih banyak lagi. Penganut “kota
sebagai “program investasi pembangunan ekonomi” neoliberal juga tidak kurang akal
perkotaan”, dan bukan sebagai pendanaan untuk menyerap konsep-resep kota
sosial, meskipun memang di dalamnya berkelanjutan, dengan cara melakukan
terdapat komponen biaya untuk komodifikasi kata-kota kunci dalam
mengembangkan “pusat koordinasi” di pembangunan berkelanjutan ke dalam
lingkungan yang berfungsi memberikan bisnisnya.
masukan dan dukungan bagi semua yang Bagaimanapun penganut-pendukung
terlibat. Selain itu, hukum yang ada kota berkelanjutan hanya berpikir tentang
mengamanahkan agar program tersebut solusi “kota centris”. Sebagai bagian dari
mensyaratkan partisipasi warga dan politik urbanisme, mereka akan menuntut
manajemen lingkungan di proyek kebijakan dan campur tangan yang besar oleh
pembangunan. Kota Sosial dalam konteks ini pemerintah untuk perbaikan kota, terutama
secara spesifik merujuk kepada suatu program perbaikan segala infrastruktur kota, dengan
pembangunan perkotaan yang partisipatif. alasan kota memberikan uang banyak untuk
Dalam pelaksanaannya, mayoritas jenis negara. Solusi “kota centris” tentu tidak akan
pembangunan perkotaan yang terkait dengan berpikir “Indonesia centris” secara
Kota Sosial adalah infrastruktur perumahan menyeluruh, sekaligus mengabaikan
dan transportasi, yang dikategorikan di dalam kemiskinan desa dan involusi pertanian
sektor pembangunan, sebagaimana biasa sebagai akibat dari urbanisasi, juga abai
dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah terhadap arus deras migrasi penduduk dari
(Padawangi, 2018). desa ke kota. Bagi kaum urbanis, migrasi ini
Memang dua aliran itu tampak berbeda. adalah solusi, sembari mereka akan
Tetapi keduanya disatukan dengan konsep dan menyentuh desa bukan dengan penguatan
praktik kota berkelanjutan, yang memenuhi kabupaten-desa-agrikultur, melainkan dengan
kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan urbanisasi masuk desa atau perluasan
pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. aglomerasi perkotaan ke ranah perdesaan.
Kota berkelanjutan memiliki tiga pilar: tiga
pilar, yakni ekonomi (profit), sosial (people), Solusi “Indonesia Centris” Melalui
dan ekologi lingkungan hidup (planet). Ruralisasi
Pembangunan kota perlu mengutamakan dan Kaum urbanis akan terus melakukan
memasukkan isu pembangunan berkelanjutan, penetrasi ke ruang perdesaan dengan formula
perubahan iklim, dan mitigasi bencana masuk urbanisasi, yakni perluasan aglomerasi
ke rencana tata ruang wilayah, rencana detail perkotaan, baik dengan skema proyek maupun
tata ruang dan peraturan zonasi, rencana tata investasi sektor perumahan, industri, jasa, dan
bangunan lingkungan, dan panduan rancang lain-lain, yang dikendalikan oleh para pemain
kota/perkotaan, serta didukung kajian
besar dari kota. Agrikultur dan petani terus
lingkungan hidup strategis. Kota harus terdesak oleh arus urbanisasi itu, menjadi
menjadi inklusif, ramah bagi semua, serta agribisnis besar yang dikendalikan oleh
mengakomodasi semua kepentingan dan korporasi besar, seperti halnya pengalaman
segala perbedaan. Pembangunan kota kebun sawit.
berfokus pada perencanaan kota (mitigasi
157
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
158
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
159
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
Tengah, yakni 6,6%, setelah Kota Semarang bukan berarti perluasan aglomerasi perkotaan
(3,98%), Kota Salatiga (4,76%) dan Kota ke ranah desa, bukan pula proyek-proyek dari
Pekalongan (6,66%). Dengan demikian, atas seperti proyek agripolitan, tetapi dalam
Jepara memiliki kemakmuran tertinggi dan bentuk industrialisasi perdesaan yang berbasis
kemiskinan terendah di antara kabupaten- pada emansipasi lokal. Pemerintah kabupaten,
kabupaten lain di Jawa Tengah. Satu strip di borjuis lokal, desa, dan petani menjadi pemain
bawah Jepara adalah Kabupaten Kudus yang penting dan utama dalam emansipasi itu.
dikenal dengan “kota kretek”, kemudian Pengalaman Jepara sebagai kabupaten paling
Kabupaten Semarang, Kabupaten Sukoharjo, makmur di Jawa Tengah bisa menjadi contoh
dan seterusnya. ruralisasi yang melampui pendekatan proyek
Secara sosiologis, masyarakat Jepara dari atas. Penulis juga merekomendasikan
sangat berakar pada pedesaan Jawa, dengan kepada ilmuwan tentang pentingnya
ikatan sosial yang kuat antara pengusaha di penelitian empirik yang mendalam tentang
kota dan petani di desa atau produsen kayu ruralisasi seperti kisah Jepara, yang bisa
dari berbagai hutan rakyat (Roda, et.al, 2007) ditempuh dengan studi komparatif dengan
Struktur sosial semacam ini bisa mengurangi daerah-daerah lain, sehingga pengetahuan
eksploitasi pengusaha lokal terhadap petani di ruralisasi dari sudut lokal bisa menjadi lebih
desa. Kondisi ekonomi yang hidup, kuat dan kaya, sekaligus berguna untuk rekomendasi
mandiri Jepara juga diperkuat dan masyarakat kebijakan pemerintah.
yang dapat membatasi negara dan membuat
pemerintah negara lokal menjadi lebih
responsif terhadap kepentingan masyarakat DAFTAR PUSTAKA
lokal (Schiller, 1996, 2007).
Dari sudut ekonomi, Jepara memberi Agustina, I., & Artiningsih, A. (2017).
pelajaran tentang industrialisasi dan "Evaluasi Implementasi Masterplan
Kawasan Agropolitan Ciwidey
kewirausahaan lokal. Ini adalah ekonomi riil,
berbasis pada produksi lokal, bukan sekadar Menggunakan Logic Models". Jurnal
Wilayah dan Lingkungan, 5(1), 1.
produksi subsisten seperti petani dan
kerajinan berskala kecil seperti di Bantul. https://doi.org/10.14710/jwl.5.1.1-10
Ekonomi produktif lokal ini bukan hanya Anderson, K. (2011). Marx at the Margins: On
dekat dengan rakyat, tetapi juga lebih kuat Nationalism, Ethnicity, and Non-
ketimbang ekonomi konsumtif maupun Western Societies By Kevin B.
ekonomi kreatif yang berpusat di sektor Anderson. Global Discourse, 2(2), 174–
pariwisata. Di masa pandemi corona, ekonomi 182.
kreatif di sektor pariwisata mengalami https://doi.org/10.1080/23269995.2011.
kelumpuhan total, sedangkan ekonomi 10707921
produktif lokal masih tetap bertahan kuat. Ban, C. (2020). Beyond Social Science
Naturalism: The Case for Ecumenical
Interpretivism. Critical Review.
KESIMPULAN DAN SARAN https://doi.org/10.1080/08913811.2020.
Artikel ini mengambil kesimpulan 1729482
singkat bahwa urbanisasi yang berkembang Bevir, M., & Blakely, J. (2018). Why Political
sangat kokoh menjadi urbanisme mengandung Science Is an Ethical Issue. Political
paradoks dan kontradiksi: pembusukan kota di Studies, 66(2), 425–441.
balik kekayaan dan kemegahan, sekaligus https://doi.org/10.1177/0032321717723
juga pemiskinan desa. Karena desa miskin 503
maka terjadi arus migrasi penduduk ke kota, Bevir, M., & Blakely, J. (2020). Naturalism
yang semakin memperparah pembusukan and its Inadvertent Defenders. Critical
kota. Review, 1–13.
Atas dasar kesimpulan itu, artikel ini https://doi.org/10.1080/08913811.2019.
mengakhir dengan saran, bahwa untuk 1730592
kepentingan Indonesia centris yang lebih Brenner, N. (2014). Implosions/Explosions:
merata, adil dan makmur, maka urbanisasi Towards a Study of Panetary
harus digeser menjadi ruralisasi. Ruralisasi Urbanization. Berlin: Jovis Verlag
160
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
161
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162
162