Anda di halaman 1dari 18

Vol 2 No 1 (2020) : 145-162

June 2020
e-ISSN 2656-0194

DARI URBANISASI KE RURALISASI

FROM URBANIZATION TO RURALIZATION

Ari Sulistyorini
PPSDM Kemendagri Regional Yogyakarta, Jl. Melati Kulon No. 1 Baciro 55225
arisulis@outlook.com

ABSTRAK

Urbanisasi merupakan masalah serius bagi Indonesia. Jakarta adalah episentrum urbanisasi, yang
menjadi pusat kekayaan, yang menyedot migrasi penduduk dari desa yang menciptakan kepadatan
penduduk, ketimpangan sosial, sekaligus kemacetan dan banjir. Presiden Joko Widodo berupaya
membendung urbanisasi sebagai bagian dari platform Indonesia centris, sebaliknya Menteri Keuangan Sri
Mulyani berupaya memacu urbanisasi untuk pertumbuhan ekonomi. Artikel ini bertujuan menyampaikan
kritik terhadap urbanisme-urbanisasi, sekaligus menawarkan ruralisasi, yang bergerak kembali ke
per(desa)an, dengan agrikultur sebagai tulang punggung, sekaligus kabupaten, desa, petani, nelayan, dan
peternak sebagai aktor utama. Artikel ini tidak bekerja dengan geografi, demografi, maupun ekonomi,
tetapi dengan ilmu politik, yang menggunakan metode interpretif dan analisis kritis. Dengan analisis itu,
studi gagasan ini secara kritis menemukan bahwa urbanisasi telah menciptakan Indonesia sebagai
masyarakat perkotaan yang kompleks secara ekonomi, sosial dan politik. Urbanisasi ini telah memberi
kekayaan dan kemegahan kota, tetapi juga menyajikan paradoks serius: pembusukan kota (ledakan
kedalam/implosi), dan pemiskinan desa (ledakan keluar/eksplosi). Solusi “kota centris” dengan resep kota
berkelanjutan hanya akan menangani pembusukan kota tetapi mengabaikan pemiskinan desa. Solusi
“Indonesia centris” dengan ruralisasi di kabupaten dan desa, dengan emansipasi lokal, merupakan
jawaban lebih baik untuk pemerataan, keadilan dan kemakmuran. Jepara, kabupaten paling makmur di
Jawa Tengah, merupakan contoh ruralisasi yang melampaui pendekatan proyek dari atas.
Kata kunci: urbanisasi, ruralisasi, kota, desa

ABSTRACT

Urbanization is a serious problem for Indonesia. Jakarta is the epicenter of urbanization, which is the
center of wealth, which sucks in the migration of people from villages that creates population density, social
inequality, as well as congestion and flooding. President Joko Widodo seeks to stem urbanization as part
of an Indonesia centric platform, while Minister of Finance Sri Mulyani seeks to spur urbanization for
economic growth. This article aims to express criticism of urbanism, as well as offering ruralization, which
moves back to rural, with agriculture as the backbone, as well as districts, villages, farmers, fishermen,
and farmers as the main actors. This article does not work with geography, demography, or economics,
but with political science, which uses interpretive methods and critical analysis. With this analysis, this
study of ideas critically finds that urbanization has created Indonesia as an economically, socially and
politically complex urban society. This urbanization has given the wealth and splendor of the city, but also
presents a serious paradox: city decay (explosion into / implosion), and rural impoverishment (explosion
out / explosion). A "city-centric" solution with a sustainable city recipe will only deal with urban decay but
ignore rural impoverishment. The "Indonesia centric" solution with rural and rural areas, with local
emancipation, is a better answer for equality, justice and prosperity. Jepara, the most prosperous district
in Central Java, is an example of ruralization that goes beyond the project approach from above.
Keywords: urbanization, ruralization, city, village.

145
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

PENDAHULUAN mereka melakukan advokasi menuntut


perhatian pemerintah kepada desa.
Ketika meluncurkan dana desa pertama Segaris dengan data itu, Menteri
kali tahun 2015, Presiden Joko Widodo Keuangan Sri Mulyani Indrawati, tahun 2017,
mempunyai harapan besar agar dana bisa dengan menggunakan data Bank Dunia,
menjadi energi untuk memperbaiki
menunjukkan bahwa laju pertumbuhan
infrastruktur dan ekonomi desa, menurunkan urbanisasi Indonesia terbesar di Asia, yakni
kemiskinan, dan menekan laju urbanisasi atau sebesar 4,1%. Angka tersebut lebih tinggi
migrasi penduduk dari desa ke kota (Liputan daripada pertumbuhan urbanisasi di Tiongkok
6, 22 Juli 2015). Arah dan harapan yang terus yang sebesar 3,8% dan India 3,1%. Agak
disampaikan Presiden dari tahun ke tahun ini,
berbeda dengan harapan Presiden, Menkeu
tentu menjadi bagian dari platform yang
berujar “Indonesia sendiri mengharapkan ada
mengubah “Jawa centris” dan “Jakarta 68% penduduk dari populasi yang akan
centris” menuju “Indonesia centris” yang
tinggal di perkotaan pada 2025”. Harapan
lebih merata, yang platform itu menjadi Menkeu ini, tidak terlalu sulit akan terjadi,
bagian dari Nawacita ketiga: “Membangun
jika melihat tren urbanisasi dari tahun ke
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat tahun. Di mata Sri Mulyani, urbanisasi akan
daerah dan desa”. Dana desa tentu bukan satu- memberi dampak positif pada pertumbuhan
satunya instrumen fiskal pemerintah untuk ekonomi dan menjadi modal besar bagi
mendukung platform besar baru itu, tetapi Indonesia, tentu dengan catatan, kota harus
juga proyek infrastruktur di setiap daerah dikelola dengan baik dan berkelanjutan. Dia
pelosok dan pinggiran, yang selama ini juga menilai perkotaan di Indonesia malah
diabaikan oleh pemerintah. terbebani dengan pembangunan infrastruktur
Belakangan, pada bulan April 2020, yang tertinggal, kemacetan parah, serta
Presiden juga menyampaikan perbedaan rendahnya kualitas transportasi, sehingga
makna antara “mudik” dan “pulang
keburukan ini menghambat pertumbuhan
kampung”. Warganet maupun ahli bahasa ekonomi (tirto.id, 19 Desember 2017).
mengritik, bahkan menyalahkan Presiden,
Antara pertumbuhan dan keburukan
sebab menurut tata bahasa, kata mudik dan adalah wajah kontradiksi urban, dan berbagai
pulang kampung, mempunyai kesamaan
macam keburukan adalah paradoks
makna. Tetapi penulis memahami bahwa
urbanisasi. Paradoks urbanisasi dan kota itu
ungkapan Presiden adalah naluri pemimpin,
mudah dilihat secara telanjang pada kasus
yang sedang menggunakan politik bahasa Jakarta. Jakarta adalah episentrum urbanisasi,
untuk memberi makna yang lebih dalam
sekaligus pusatnya pusat, pusat segala-
tentang mudik dan pulang kampung. Namun
galanya. Jakarta adalah bukti peradaban
para teknokrat dan ahli tidak menjabarkannya modern, kekayaan, kemajuan, kekuasaan,
dengan baik. Bagi penulis, hilir-mudik terkait kemewahan, kemegahan, dan masih banyak
dengan urbanisasi, dan pulang kampung
lagi. Tetapi Jakarta mengandung kontradiksi
mempunyai makna ruralisasi.
dan paradoks. Gedung-gedung menjulang
Urbanisasi – dalam pengertian tinggi dan megah berdampingan dengan
perpindahan penduduk dari desa ke kota – pemukiman kumuh. Kekayaan yang
merupakan isu dan fakta penting di mata melimpah hidup berdampingan dengan
Presiden dan tentu juga para penganut kemiskinan yang memprihatinkan. Meskipun
“Indonesia centris” dan para pembela desa. angka statistik menunjukkan Jakarta memiliki
Tetapi cita-cita besar ini masih jauh. Data angka kemiskinan yang paling rendah dan
statistik menunjukkan bahwa laju urbanisasi indeks pembangunan manusia paling tinggi,
terus bertambah. Pada tahun 2008, penduduk tetapi kehidupan kaum miskin kota di kolong
yang menghuni perkotaan sejumlah 48,34% jembatan, pemukiman kumuh, maupun di
dan meningkat menjadi 55,33% pada tahun
setiap titik wilayah, tidak bisa dianggap
2018. Dengan demikian penduduk kota lebih remeh. Banjir dan macet adalah sisi lain
besar ketimbang penduduk desa. Fakta ini paradoks Jakarta, yang selalu dirasakan, juga
meruntuhkan mitos “lebih dari 70% penduduk menjadi buah bibir oleh siapapun di setiap
Indonesia tinggal di desa” sebagaimana kerap ruang dan waktu. Berbagai cara telah
disampaikan oleh para kepala desa ketika ditempuh oleh Pemerintah Republik Indonesia
dan Pemerintah DKI Jakarta untuk mengatasi

146
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

dua masalah ini, tetapi banjir dan macet peningkatan urbanisasi," demikian ungkap
merupakan keabadian Jakarta. Jakarta juga Menteri Bambang Brodjonegoro (Kompas, 3
arena kontestasi kekuasaan, yang justru Oktober 2019). Jika masalah-masalah
menantang perubahan progresif, sehingga urbanisasi tidak segera diselesaikan, maka
lebih sering hadir sebagai kontestasi yang bukan nilai tambah berupa peningkatan PDB
mundur ke belakang. yang akan didapat, melainkan ledakan
Masalah urbanisasi sudah lama menjadi urbanisasi yang tak terbendung dan
perhatian kajian para ahli. Ahli Bank Dunia, menimbulkan masalah-masalah baru.
Blane Lewis, misalnya, dengan analisis deret Karena paradoks dan kontradiksi
waktu Indonesia selama periode 1960-2009, Jakarta yang sulit diatasi itulah, Presiden Joko
menunjukkan bahwa tingkat urbanisasi secara Widodo Agustus 2019 mengambil keputusan
positif terkait dengan pertumbuhan ekonomi untuk memindahkan Ibukota dari Jakarta ke
tetapi tingkat perubahan urbanisasi Kalimantan Timur. Pemindahkan Ibukota ini
berkorelasi negatif dengan pertumbuhan menjadi bagian dari platform “Indonesia
output ekonomi. Analisis panel juga centris”. Para pihak yang “menyintai” modal,
menyiratkan bahwa dampak berbahaya dari kekayaan dan Jakarta, pasti melakukan protes
pertumbuhan populasi perkotaan terkait keras terhadap kebijakan pemindahan
dengan pengeluaran infrastruktur publik lokal Ibukota. Menurut kalkulasi untung-rugi para
yang tidak memadai. Pemerintah daerah yang penolak, pemindahan Ibukota ini sangat rugi.
berinvestasi lebih banyak dalam infrastruktur Mereka juga berpendapat bahwa anggaran
lebih mampu mengatasi dampak negatif dari sebesar 400 trilyun rupiah lebih baik
urbanisasi yang cepat terhadap pertumbuhan digunakan untuk memperbaiki Jakarta
ekonomi (Lewis, 2014). ketimbang untuk membangun Ibukota baru.
Mustafa Elnagi Elsamani Hassan dan Memang, sebagian besar penduduk kota besar
Agus Joko Pitoyo dengan positivisme, sangat berkomitmen pada politik liberal di
meneliti tentang hubungan urbanisasi dan tingkat nasional, tetapi merasa sama
pertumbuhan ekonomi sampai pada level nyamannya dengan kepentingan mengakar
provinsi, yang memanfaatkan data statistik yang berusaha menghalangi perubahan di
detail tahun 1971-2010. Secara umum tingkat lokal (Yglesias, 2012). Sebaliknya
penelitian ini menunjukkan ada hubungan daerah tentu akan cemburu jika Pemerintah RI
positif yang kuat antara tingkat perkembangan terus mengucurkan uang besar untuk
ekonomi regional dan tingkat urbanisasi. memperbaiki Jakarta. Daerah umumnya
Namun banyak provinsi menyimpang dari menyambut baik pemindahan Ibukota,
generalisasi ini. Dalam kasus-kasus ekstrem, sekaligus berharap kepada Pemerintah RI agar
beberapa provinsi (Kalteng, Jambi, Papua, lebih banyak memperhatikan kabupaten, desa,
Papua Barat) diklasifikasikan sebagai daerah pedalaman, dan perbatasan di penjuru tanah
yang lebih maju tetapi masih kurang urban air.
atau, secara sederhana mengalami Kerja pemindahan Ibukota tentu sedang
penyimpangan ke bawah, karena infrastruktur mengalami jeda di tengah pandemi Covid-19.
yang buruk. Sebaliknya, Yogyakarta, Tetapi isu urbanisasi tetap krusial, justru di
memiliki tingkat perkembangan ekonomi tengah krisis pandemi. Sudah ratusan ribu
lebih rendah daripada tingkat urbanisasi warga mudik (pulang kampung) dari Jakarta
(Elnagi, Hassan, Pitoyo, & Mada, 2017). dan sekitarnya ke Jawa Barat, Jawa Tengah,
Penelitian di jantung urbanisasi itu DIY, Jawa Timur, dan daerah-daerah lain.
menunjukkan bahwa antara tujuan urbanisasi Mobilitas orang dari “daerah merah” ini tentu
dengan hasil pertumbuhan ekonomi tidak membawa perluasan penularan virus sampai
berjalan secara linear. Data makro juga ke pelosok negeri, sekaligus menambah
menunjukkan kontribusi urbanisasi terhadap jumlah orang yang terpapar virus. Krisis dan
GDP di Indonesia masih minim dibanding mudik ini memberi pelajaran bahwa kota
negara Asia lainnya. "Di China setiap 1 bersifat semu, rapuh, dan rentan terhadap
persen peningkatan urbanisasi bisa risiko kesehatan dan dampak ekonomi. Para
meingkatkan 3% GDP. Di Asia Pasifik dan pemudik umumnya mengaku tidak punya apa-
Asia Timur bisa meningkatkan GDP 2,7%. apa lagi di Jakarta, dan mereka akan mencari
Kemudian di Indonesia hanya bisa ketenangan hidup di desa kampung
meningkatkan 1,4% GDP dari setiap 1 persen halamannya. Penularan corona memang

147
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

sampai ke desa, tetapi masih dalam jumlah analisis kritis terhadap paradoks urbanisasi,
kecil, yang masih terkendali dan bisa dan sekaligus berpihak menawarkan
dikendalikan dengan protokal lokal. Secara ruralisasi, sebab selama ini desa dikalahkan
ekonomi, desa tidak terlalu terdampak secara oleh urbanisasi.
serius, meskipun dari dulu hingga kini Atas dasar itu, artikel ini bekerja
ekonomi desa bersifat subsisten (Scott, 1976). dengan tradisi post-positivisme, yakni dengan
Ketersediaan pangan dan mekanisme analisis interpretif. Para ilmuwan politik
pembagian sosial secara komunal dalam memiliki alasan etis untuk mengadopsi
kehidupan desa bisa menyelamatkan orang paradigma interpretif. Secara khusus,
dari kelaparan, meskipun mekanisme ini pendekatan interpretatif memberikan para
disebut oleh Clifford Geertz sebagai “berbagi ilmuwan politik akun yang lebih baik tentang
kemiskinan” (shared poverty) karena orang sifat dan peran nilai-nilai dalam kehidupan
desa hidup dalam involusi pertanian (Geertz, manusia, perasaan tentang bagaimana masa
1963). lalu historis relevan secara etis, kemampuan
Meski desa menolong, tetapi bukan untuk memajukan ilmu pengetahuan yang
berarti kondisi subsistensi-involusi, sebagai terlibat secara politis, dan kritik yang
korban urbanisisasi itu, harus diawetkan. disengaja tentang teknokrasi. Ilmuwan politik
Kondisi desa itu justru sangat kritis, yang harus bebas untuk terlibat secara kritis,
mengharuskan kita untuk meninjau ulang meneliti, dan bahkan secara normatif
kontradiksi dan paradoks urbanisasi. Karena mengevaluasi posisi etika manusia (Mark
itu tulisan ini hendak menyampaikan kritik Bevir dan Jason Blakely 2017).
terhadap urbanisme-urbanisasi, sekaligus Tradisi post-postivisme berpendapat
menawarkan ruralisasi, yang bergerak bahwa pengetahuan adalah kekuasaan, tidak
kembali ke per(desa)an, dengan agrikultur ada pengetahuan yang obyektif-netral seperti
sebagai tulang punggung, sekaligus diklaim oleh positivisme. Fakta empirik yang
kabupaten, desa, petani, nelayan, peternak dan disajikan oleh kaum positivis tentu merupakan
lain-lain sebagai pemilik dan pemainnya. fakta naif, sebab sudah dikonstruksi sepihak
oleh peneliti sesuai ukuran yang dibuatnya
untuk membenarkan argumen teorinya.
METODOLOGI Sebaliknya penelitian interpretif
berfokus pada pemahaman pengalaman
Penelitian ilmu sosial humaniora,
subjektif daripada sekadar mengamati makna
termasuk isu kemiskinan dan urbanisasi, di balik fakta, untuk menjelaskan dan
didominasi oleh mazhab empirisme,
memahami data, sekaligus menafsirkan
naturalisme, dan positivisme. Ketiganya ini
kehidupan dan masyarakat melalui
mempunyai kesamaan yang lazim disebut pengalaman manusia. (Ban, 2020; Bevir &
dengan positivisme, atau juga disebut Blakely, 2020; Wedeen, 2020)
saintisme. Positivisme memanfaatkan
Analisis interpretif yang digunakan
empirisme sebagai basis menentukan ontologi
artikel ini memanfaatkan teks, argumen, atau
realitas, yakni pengetahuan harus dibangun diskursus sebagai data utama, yang tidak lain
berdasarkan pengalaman dan fakta empirik, adalah argumen aktor, baik presiden, menteri,
serta memanfaatkan naturalisme sebagai basis maupun ilmuwan. Sebagai contoh, penulis
epistemologi atas kebenaran yang obyektif membandingkan dan menganalisis argumen
sesuai hukum alam (Norman K. Denzin dan Presiden Jokowi yang berupaya membendung
Yvonna S. Lincoln, 2018). urbanisasi dengan argumen Menteri Sri
Artikel ini bukanlah penelitian Mulyani yang mendukung urbanisasi. Posisi
empirisme dengan studi demografi, geografi penulis adalah mengritik pandangan
dan ekonomi, tetapi sebagai kajian pendukung urbanisasi dan mendukung
interpretisme yang bekerja dengan ilmu
argumen ruralisasi yang membendung
politik. Mengikuti pendapat Mark Bevir dan urbanisasi. Fakta atau data dalam bentuk
Jason Blakely, ilmuwan politik bebas angka makro penulis gunakan untuk
menggunakan metode apa pun yang paling mendukung analisis interpretif atas diskursus
berguna untuk tujuan penelitian dengan tersebut.
landasan etik dan nilai yang berpihak (Bevir Diskursus politik itu menjadi pintu
& Blakely, 2018). Penulis hendak melakukan masuk untuk menafsirkan urbanisasi.

148
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

Langkah kedua penulis adalah studi pustaka, perkotaan ditentukan oleh kepadatan:
yang melakukan pencarian pengetahuan para aglomerasi berakhir di mana kepadatan
ahli yang berpandangan kritis terhadap populasi turun di bawah ambang kritis.
urbanisasi. Kajian ini berguna untuk Konsep komprehensif adalah area
membentuk kerangka konseptual, yang metropolitan, yang mencakup aglomerasi
penulis gunakan untuk memahami dan perkotaan dan daerah sekitarnya dengan
mengritik kontradiksi dan paradoks kepadatan pemukiman lebih rendah yang juga
urbanisasi, sekaligus kritik terhadap solusi berada di bawah pengaruh langsung kota.
yang berpusat pada “kota centris”. Kerangka (Nguyen & Nguyen, 2018; United Nations,
konseptual juga menyajikan gagasan 2006). Dengan demikian, laju urbanisasi
ruralisasi, sebagai alternatif atas paradoks sebesar 56% berarti menunjuk pada
urbanisasi, sekaligus sebagai gagasan untuk aglomerasi perkotaan itu, sekaligus menunjuk
mendukung “Indonesia centris”. pada besaran penduduk yang mendiami
Meski artikel ini mengutamakan studi wilayah perkotaan.
tentang gagasan dan analisis diskursus, tetapi Pertumbuhan itu tentu karena
bukan berarti penulis mengabaikan data pembangunan. Wilayah yang semula
empirik, tentu penyajian data empirik yang bercirikan perdesaan, karena pengaruh
penulis sajikan sungguh berbeda dengan pembangunan dan urbanisme, bisa berubah
penelitian empirisme-positivisme. Dengan menjadi wilayah perkotaan. Secara
studi pustaka, penulis menunjukkan data administratif desa bisa berubah menjadi
narasi tentang paradoks urbanisasi serta kelurahan. Sebagai contoh adalah kawasan
kegagalan proyek ruralisasi yang selama ini Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi
sudah berjalan. Sebagai studi gagasan, artikel (Bodetabek), yang sebelum 1960-an lebih
ini menyajikan sepotong cerita ruralisasi banyak memperlihatkan ciri perdesaan dan
Jepara, sebuah kabupaten paling makmur di agrikultur, namun pelan-pelan mulai dekade
Jawa Tengah. Namun, sekali lagi, artikel ini 1970-an, wilayah itu ditumbuhi beton, pabrik,
bukan penelitian empirisme komparatif atas dan perumahan, sehingga muncul perkotaan
Jepara dan kota-kota lain yang sukses. Penulis baru sebagai perluasan dari metropolitan
melakukan interpretasi atas cerita capaian Jakarta. Sekarang, kita mengenal kawasan
Jepara, sebagai sebuah contoh bahwa gagasan Jabodetabek sebagai aglomerasi perkotaan
ruralisasi adalah keniscyaan, melampaui dengan jumlah penduduk mencapai hampir 30
pendekatan proyek pembangunan perdesaan. juta orang. Demikian juga dengan sebagian
desa di Sleman dan Bantul yang berdekatan
dengan Kota Yogyakarta, dapat disebut
KERANGKA KONSEPTUAL sebagai aglomerasi perkotaan karena
dinamika urbanisasi yang terus berjalan,
Setiap orang tahu bahwa urbanisasi
meskipun secara administratif desa-desa itu
adalah perpindahan (migrasi) penduduk dari
tidak berubah menjadi kelurahan.
per(desa)an ke per(kota)an. Ini adalah
Dengan demikian urbanisasi dapat
pemahaman paling mudah dan nyata. Namun
dimengerti menjadi tiga: (1) pembentukan
pengertian urbanisasi yang sesungguhnya
per(kota)an; (2) perpindahan penduduk dari
adalah proporsi penduduk yang tinggal di
per(desa)an ke per(kota)an, serta (3) perluasan
perkotaan. Wilayah kota ditentukan oleh
kota baru atau pembentukan aglomerasi
kriteria hukum dan administrasi, hanya
perkotaan yang merambah ke ruang
mencakup wilayah geografis sebagai bagian
perdesaan. Para ahli konvensional hari ini
dari unit administrasi yang didefinisikan
berbicara urbanisasi lebih banyak menunjuk
secara hukum. Karena itu kita mengenal
pada pengertian ketiga (aglomerasi
pemerintah kota. Namun, banyak daerah
perkotaan), sebab aglomerasi ini menjadi
perkotaan telah tumbuh jauh melampaui
pertanda baik bagi pembangunan dan
batas-batas kota. Inilah yang disebut
pertumbuhan ekonomi yang harus terus
aglomerasi perkotaan, yakni populasi nyata
diperluas, tetapi juga menimbulkan dampak
yang terkandung dalam kontur wilayah yang
kontradiksi dan paradoks yang kompleks
berdekatan yang dihuni pada tingkat
(kepadatan, kemiskinan, ketimpangan,
kepadatan perkotaan tanpa memperhatikan
kemacetan, banjir, kejahatan, dan lain-lain).
batas-batas administratif. Aglomerasi
Mereka bisa disebut sebagai penganut

149
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

developmentaisme, neoliberalisme dan Ketika Marx bicara soal itu, negara


urbanisme, yang melahirkan pengetahuan, kapitalis Barat dan negara kolonial di Timur,
praktik dan kebijakan tentang tatakota, telah terbentuk. Charles Tilly dengan sangat
manajemen perkotaan, urban governance, baik melakukan analisis pembentukan negara
urban development, dan lain-lain. Karena (state formation) kapitalis di Eropa Barat,
sibuk dengan hal ihwal per(kota)an maka dengan diktumnya yang terkenal: “perang
mereka agak mengabaikan konsepsi menciptakan negara, negara menciptakan
urbanisasi dalam pengertian perpindahan perang” (Tilly, 1975). Dari diktum ini Tilly
penduduk dari desa ke kota. memetakan sirkuit timbal balik segi empat:
Ketiga makna urbanisasi itu dapat negara, perang, kota, dan modal. Perang
dipahami dengan tiga perspektif yang saling menghasilkan negara yang kuat, sentralistik,
terkait. Pertama, urbanisasi adalah birokratik, dan mampu menghasilkan law and
pembentukan negara, baik yang terjadi di order yang kokoh. Dengan perang, negara
Barat maupun di tanah jajahan kolonialisme. menciptakan kota dan modal. Kota
Karl Marx, dengan cara orientalis, pada tahun membentuk negara. Kota menjadi pusat
1850-an pernah bicara tentang kebodohan kekuasaan negara, pusat revolusi industri,
kehidupan pedesaan (the idiocy of rural life), pusat peradaban, dan pusat modal. Negara
yang dihubungkan dengan desa, kota, negara melakukan perang melawan, mendukkan dan
dan kapitalisme. Keyakinan Marx akan menyerap desa (sebagai organisasi kekuasaan
kebodohan kehidupan pedesaan semakin kuat lokal dan basis feodalisme) ke dalam tubuh
setelah dia mengamati dan mengatakan negara-kapitalis. Negara menciptakan
tentang moda produksi Asiatik di India, jaringan urbanisasi modal dan manusia dari
China, serta Jawa dan Bali. Marx merasakan desa ke kota untuk mendukung perdagangan
jurang sosial dan politik yang luas antara dan industri.
suprastruktur negara absolut dan desa yang Kedua, revolusi perkotaan (urban
menjadi sandarannya. Desa-desa revolution). Revolusi perkotaan mengacu
digambarkan sebagai komunitas yang pada kemunculan kehidupan kota dan
terisolasi, kohesif, dan mandiri yang transformasi bersamaan dari sistem berbasis
diorganisasikan ke dalam bentuk komunisme agraria sederhana ke sistem manufaktur dan
primitif dan patriarkal. Unsur-unsur sentral perdagangan yang kompleks dan hierarkis.
konsepsi desa adalah swasembada dalam Istilah ini juga mengacu pada era
kerajinan domestik dan pertanian, tidak pertumbuhan metropolitan atau megalopolis
adanya perdagangan dengan dunia luar, dan saat ini, pengembangan pinggiran kota, dan
karena itu isolasi hampir lengkap, serta ledakan kota primata atau mega. Arkeolog V.
kurangnya keterlibatan dalam urusan Gordon Childe menciptakan istilah revolusi
suprastruktur negara, selain dari keharusan perkotaan untuk menjelaskan serangkaian
untuk membayar upeti, pajak, dan tahapan dalam pengembangan kota-kota yang
menyediakan tenaga kerja paksa atas mendahului Revolusi Industri abad ke-19.
permintaan sang raja (Smith, 2013). Petani Bagi Childe, revolusi pertama - ''Revolusi
pedesaan hidup di bawah naungan despotisme Pertanian '' - terjadi ketika berburu dan
Timur, dikontrol dan dieksploitasi oleh para mengumpulkan masyarakat menguasai
despot mulai dari kepala desa hingga sang keterampilan produksi makanan dan mulai
raja. hidup dalam kelompok yang stabil dan
Karena itu secara orientalis, Marx menetap. Revolusi kedua - ''Revolusi Urban'' -
memandang dan mendukung kolonialisme dimulai selama milenium keempat dan ketiga
Barat pada dunia Timur untuk SM dalam peradaban Mesopotamia dan Timur
menghancurkan despotisme dan struktur Dekat. Revolusi perkotaan mengantarkan era
sosial masyarakat desa yang stagnan baru pertumbuhan populasi, perkembangan
(Anderson, 2011; Tichelman, 1980) kota yang kompleks, dan pengembangan
Kapitalisme yang digerakkan oleh kaum lembaga-lembaga seperti negara birokrasi,
borjuis melalui industrialisasi dan urbanisasi peperangan, arsitektur, dan penulisan (Childe,
di kota, akan menolong penderitaan petani 1950) .
pedesaan yang dikungkung oleh kebodohan Henri Lefebvre (2003 [1970]) maupun
kehidupan pedesaan. David Harvey (1985) merupakan dua
ilmuwan kritis yang mempertajam

150
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

pembahasan tentang revolusi perkotaan. lanskap perkotaan yang sangat diperebutkan


Revolusi ini ditandai dengan pembentukan dan gelisah.
kota, diikuti dengan terbentuknya masyarakat Secara sosial dan demografis,
urban yang kompleks secara ekonomi, sosial, konsentrasi populasi berjalan beriringan
dan politik. Dari sudut ekonomi, Harvey dengan mode produksi. Tatanan kota tumbuh,
(1985) menyebut konsep urbanisasi modal. memperluas perbatasannya, merusak sisa-sisa
Kota dapat dipahami sebagai tempat secara kehidupan agraris. Ungkapan ini, “struktur
spasial bagi manusia, barang, dan alat kota,” tidak secara sempit mendefinisikan
produksi terkonsentrasikan. Urbanisasi modal dunia kota yang dibangun tetapi semua
itu ditandai dengan produksi pertanian telah manifestasi dari dominasi kota atas negara.
kehilangan semua otonomi di negara-negara Dalam hal ini, rumah liburan, jalan raya,
industri utama dan sebagai bagian dari supermarket di pedesaan adalah bagian dari
ekonomi global. Ini bukan lagi sektor utama struktur urban. Dari berbagai kepadatan,
ekonomi, atau bahkan sektor yang dicirikan ketebalan, dan aktivitas, satu-satunya daerah
oleh ciri-ciri khusus (selain dari yang tidak tersentuh olehnya adalah mereka
keterbelakangan). Meskipun ciri-ciri lokal dan yang stagnan atau sekarat, mereka yang
regional sejak saat produksi pertanian diberikan kepada "alam." Dengan
mendominasi belum sepenuhnya hilang, telah menurunnya kehidupan desa di masa lalu,
berubah menjadi bentuk produksi industri. produsen pertanian, “petani,” dihadapkan
Pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi dengan kota pertanian.
menjadi apa yang disebut Henry Lefebvre Kota juga menjadi arerna dan pusat
(2003 [1970]), sebagai legitimasi diri, yang politik-kekuasaan. Kota dihuni pejuang,
memperluas efeknya ke seluruh wilayah pangeran, bangsawan, elite politik, para
negeri, negara, dan benua. Akibatnya, unit pemimpin militer, administrator dan juru tulis.
tradisional khas kehidupan petani, yaitu desa, Kota politik tidak dapat dibayangkan tanpa
telah berubah. Ia diserap atau dilenyapkan menulis dokumen, undang-undang,
oleh unit yang lebih besar, telah menjadi inventaris, pengumpulan pajak. Itu
bagian integral dari produksi dan konsumsi sepenuhnya diserahkan kepada perintah dan
industri. kepada kekuasaan. Namun itu juga
Sementara urbanisasi modal menyiratkan adanya pertukaran untuk
menghasilkan kaleidoskop yang memukau mendapatkan bahan-bahan penting untuk
dan saling bertentangan dari pengalaman peperangan dan kekuasaan (logam, kulit, dan
urban, para kapitalis memobilisasi dan sebagainya), dan pengerjaan untuk membuat
membentuk masyarakat urban dalam cara- dan merawatnya. Dengan demikian, kota
cara yang menentukan dan strategis dalam seperti itu juga terdiri dari pengrajin dan
pencarian tanpa henti dan panik mereka dalam pekerja. Kota politik mengelola, melindungi,
menciptakan atau mempertahankan kondisi dan mengeksploitasi wilayah yang luas. Ia
untuk produksi dan penggunaan nilai lebih mengelola proyek pertanian skala besar
(Harvey, 1985). Perkotaan adalah tempat seperti drainase, irigasi, pembangunan
peredaran modal yang mengalir melalui bendungan, pembukaan lahan. Ini mengatur
bentuk-bentuk tenaga kerja, sarana dan sejumlah desa (Henry Lefebvre (2003 [1970]).
kondisi produksi, modal finansial (fiktif), dan Ketiga, urbanisasi dapat dilihat dari sisi
tanah dalam segala bentuknya bersatu untuk ideologi dan kebijakan pembangunan yang
menghasilkan lanskap sosio-spasial yang bias perkotaan. Konsep urban bias pertama
dapat menerima dan mendukung akumulasi kali disampaikan oleh Michael Lipton, yang
modal. Dalam pengertian ini, kaum urban dengan analisis kelas menunjukkan
mengekspresikan berbagai kontradiksi yang kesenjangan ekonomi-politik antara
melaluinya kapitalisme berkembang. Secara perdesaan dan perkotaan. Teori bias perkotaan
bersamaan situs dan lokasi untuk produksi Lipton memiliki dua proposisi: proses
sambil berfungsi sebagai simpul penahan pembagunan di Dunia Ketiga secara
untuk sirkulasi modal global. Ketegangan sistematis abai terhadap pedesaan dan bias
antara kebutuhan untuk memperbaiki modal tertanam dalam struktur politik yang
di tempat agar sirkulasi bentuk modal lain didominasi oleh perkotaan. kelompok.
untuk mempercepat koreografi banyak Dengan kata lain, daerah pedesaan miskin
restrukturisasi perkotaan dan menghasilkan

151
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

karena mereka tidak memiliki kekuasaan pendidikan untuk membuat orang desa
politik. Demikian ungkap Michael Lipton: berhaluan kota, menjadi milenial yang tajir,
"... Konflik kelas yang paling penting di
mengabdi kepada kapitalisme. Pendidikan
negara-negara miskin di dunia saat ini menjadi brain drain, memfasilitasi mobilitas
bukanlah antara tenaga kerja dan modal. sosial orang desa, yakni naik kelas dan pindah
Juga bukan antara kepentingan asing dan ke kota. Setelah menjadi urbanis, bekas orang-
nasional. Itu adalah antara kelas pedesaan orang desa itu bersikap anti-desa, meskipun
dan kelas perkotaan. Sektor pedesaan kerap bersikap romantis, dengan mengatakan
mengandung sebagian besar kemiskinan saya ini orang desa! Urbanis selalu melakukan
dan sebagian besar sumber kemajuan marginalisasi dan isolasi terhadap desa
potensial berbiaya rendah; tetapi sektor apabila berbicara tentang kepentingan lokal.
perkotaan mengandung sebagian besar Tetapi kalau untuk urusan kota dan modal,
artikulasi, organisasi, dan kekuasaan. Jadi yang dibungkus dengan sebutan kepentingan
kelas-kelas perkotaan telah mampu nasional, maka kaum urbanis akan melakukan
memenangkan sebagian besar putaran eksploitasi terhadap desa. Hasil bumi dan
perjuangan dengan pedesaan... ” tenaga kerja murah dari desa merupakan
Jika ketiga pengertian di atas digabung modal dan alat produksi yang mereka ambil,
menjadi satu maka lahir satu kata: urbanisme. yang David Harvey menyebutnya sebagai
Urbanisme adalah pandangan hidup, gaya urbanisasi kapital (Harvey, 1985).
hidup, ideologi, ekonomi, politik dan Urbanisme itu mengandung paradoks
kebijakan yang mengutamakan dan yang serius. Baik Lefebvre maupun Neil
memperkuat kota dan perkotaan. terus- Brenner menjelaskan bagaimana urbanisasi
menerus memperluas aglomerasi perkotaan bergerak ke dua arah. Arah pertama adalah
untuk ruang dan mesin kapitalisme; implosi, yaitu ledakan ke dalam yang
mengonstruksi kota sebagai utopia kemajuan menyebabkan kemunculan konsentralisasi
dan kekayaan; menempatkan kota sebagai spasial (Brenner, 2014; Lefebvre, 2003).
“negara dalam negara” yang mengendalikan- Dalam urbanisasi, model implosi itu,
mendominasi seluruh daerah dan desa di misalnya, dapat kita lihat dengan makin padat
seluruh penjuru negeri. Kota merupakan pusat suatu area kota dengan penduduk dan gedung,
dan aktor urbanisme. Negara menciptakan permukiman kumuh, polusi, macet,
kota. Kota menciptakan negara, memperkaya ketimpangan ekonomi, kaum miskin kota,
negara, mengatur negara, sekaligus danl lain-lain. Arah kedua adalah eksplosi,
menempatkan negara sebagai entitas dalam yaitu pertumbuhan lateral dari suatu kawasan
perkotaan global (Warren Magnusson, 2011). kota yang meluas ke perdesaan. Termasuk
Kota adalah agen dan arena neoliberalisme, dalam gerak eksplosi adalah pertumbuhan
yang telah menghasilkan bukan negara kecil Jakarta menjadi Jabodetabek, maupun satu
dan langsing, tetapi negara pasar yang kawasan desa atau pedesaan dijadikan sebagai
membengkak melalui banyak campur tangan bentang alam operasional untuk memenuhi
pemerintah (Plant, 2010) Karena itulah kota- kebutuhan kota. Pada titik inilah James
kota metropolitan sulit diperintah oleh Midgley melihat paradoks urbanisasi dalam
pemerintah negara yang berdaulat (Lipton, bentuk pemiskinan desa dan pembusukan
1977). kota. Pembusukan kota adalah bentuk implosi,
Urbanisme mengonstruksi hubungan dan pemiskinan desa merupakan dampak dari
kota dan desa dengan kerangka utopia kota eksplosi (Midgley, 1995).
(kebaikan kota) dan distopia desa (kebodohan Ketika urbanisasi mengandung
dan keburukan desa). DNA urbanisme adalah paradoks, maka muncul gagasan lain yang
anti-desa. Monika Krause (2013) menyebut bergeser dari ruang kota ke ruang desa, baik
gejala "imperialisme intelektual perkotaan" dalam bentuk pembangunan perdesaan
yang memandang pedesaan dari perspektif maupun ruralisasi (ruralization). Konsep
perkotaan. Menurut kaum urbanis, desa itu ruralisasi ini masih sangat jarang ditemukan
kolot dan tertinggal, kota itu modern dan dalam literatur urbanisasi maupun literatur
maju. Pandangan ini mengarahkan agar orang studi perdesaan (Chigbu, 2015). Ruralisasi
desa berpandangan kota, agar pindah ke kota. bukan sekadar kembali ke desa bernostalgia
Kaum urbanis merancang dan menjalankan secara romantis pada kehidupan desa yang
indah; bukan sekadar deurbanisasi dalam

152
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

bentuk arus balik migradi dari kota ke desa, orang desa. Argumen ini benar sebagian,
bukan sekadar pembangunan perdesaan yang sebab desa, petani dan pertanian mengalami
menaruh perhatian pada infrastruktur dan involusi dan subsistensi, tetapi juga keliru
produksi komoditas lokal, bukan pula pada sisi lain, sebab desa beserta isinya justru
kolonilisasi dan penetrasi kota ke desa dengan mengalami marganilasasi dan tidak
memperluas aglomerasi perkotaan (Wilbur, memperoleh perhatian yang serius oleh
2013; Krause, 2013). Monika Krause negara. Perhatian negara lebih banyak pada
berupaya memahami ruralisasi dengan cara kota, perdagangan, industri dan jasa dengan
melihat hubungan perkotaan-perdesaan bukan kebijakan dan modal yang sangat besar.
berputar-putar dengan teori urbanisasi, Dengan begitu ruralisasi harus
melainkan melihat dari sisi perspektif memperhatikan aspek ekonomi sebagai
perdesaan, seraya berusaha menggabungkan bagian dari makna kehidupan dan
kembali perkotaan-perdesaan sebagai properti penghidupan masyarakat lokal, namun bukan
solidaritas, tempat, pemerintahan, dan mata berarti mempertahankan involusi dan
pencaharian (Krause, 2013). subsistensi, sebaliknya juga menerima
Empat butir itu (solidaritas, tempat, pertumbuhan ekonomi tetapi bukan berarti
pemerintahan, dan pencaharian) itu bisa menjadi kapitalisme besar yang dikontrol oleh
digunakan untuk melihat perdesaan, sejalan dunia global. Argumen ini mengingatkan akan
dengan M. Woods yang melihat ruang konsep “ekonomi kerakyatan” yang pernah
perdesaan secara utuh dalam tiga makna: (a) digagas oleh Sarbini Sumawinata, Mubyarto,
perdesaan sebagai lokalitas: perdeasan Sahjir, Dawan Rahardjo, Revrisond Baswir,
terdapat manusia, masyarakat, identitas, dan lain-lain. Menantang ekonomi kapitalis
institusi maupun desa yang lengkap dengan urban, konsep ekonomi kerakyatan pada
tatanan sosial dan budaya setempat; (b) dasarnya menyentuh langsung terhadap
kehidupan: ruang perdesaan sebagai tempat pertanian dalam arti luas, rakyat kecil (petani,
dan basis kehidupan-penghidupan masyarakat nelayan, peternak, perajin, dan sebagainya)
setempat; dan (c) representasi: ruang dan pedesaan. Karena pertanian mengalami
perdesaan menghadirkan institusi lokal dan involusi-subsistensi, maka Sarbini
asosiasi lokal yang mandiri dan kuat, Sumawinata menggagas industrialisasi
melakukan konsolidasi dan negosiasi dengan pedesaan-kerakyatan yang memberi nilai
negara maupun modal dalam pembangunan tambah pada pertanian dengan kekuatan
perdesaan (M. Woods, 2013). rakyat sebagai aktor utamanya (Sumawinata,
“Negara membutuhkan pedesaan tidak 2004).
hanya demi kesetaraan tetapi juga untuk Gagasan lain yang serupa dengan
pembangunan berkelanjutan”, demikian ekonomi lokal dan ekonomi kerakyatan
Sandeep Raveesh, sembari dia memahami adalah agropolitan, yang pernah disampaikan
ruralisasi sebagai "konstruksi sistematis oleh John Friedmann dan Mikes Douglass
daerah pedesaan dengan meningkatkan (1975), untuk menantang urbanisasi dan
peluang penghidupan dan fasilitas yang lebih pembangunan perdesaan terpadu yang
baik" (Raveesh, 2014). Konsepsi tentang dominan pada dekade pasca Perdang Dunia II.
ruralisasi yang lebih bertenaga disampaikan Berbeda dengan aglomerasi perkotaan melalui
oleh Uchendu Eugene Chigbu (2015), yang jalur urbanisasi, agropolitan adalah “kota di
menegaskan bahwa ruralisasi adalah solusi ladang” yang digerakkan secara lokal dengan
atas masalah urbanisasi, sebagai urbanisasi perencanaan radikal (radical planning). Dua
terbalik, kontra-urbanisasi dan deurbanisasi, orang itu bicara agropolitan karena didasari
yang memberikan kepercayaan kepada atas kritik mereka terhadap modernisasi: (a)
keindahan pedesaan, sebagai jalan untuk Terjadinya hyper-urbanization, akibat
transformasi kehidupan perdesaan. Pedesaan terpusatnya modal dan penduduk di kota-kota
menjadi gaya hidup, penghidupan dan yang padat; (b) Pembangunan “modern”
penghidupan. hanya terjadi di beberapa kota, sementara
Aspek ekonomi sangat penting dalam daerah pinggiran relatif tertinggal; (c) Tingkat
ruralisasi. Perhatian pada perdesaan selalu pengangguran yang relatif tinggi; (d)
menghasilkan sikap skeptis banyak orang, Pembagian pendapatan yang tidak merata
sebab lahan di desa sudah terbatas, dan dalam bentuk ketimpangan dan kemiskinan;
pertanian tidak lagi menjajikan hidup bagi (e) Kekurangan bahan pangan, akibat

153
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

perhatian pembangunan bias pada “Strategi agropolitan melibatkan


industrialisasi perkotaan; (f) Penurunan pelimpahan kekuasaan yang substansial ke
kesejahteraan petani dan orang desa; dan (g) unit-unit teritorial kecil dalam sistem
Terjadinya ketergantungan pada dunia luar. keseluruhan pemerintahan dan masyarakat.
Inti gagasan agropolitan mereka adalah: akses Devolusi dalam agropolitan perlu
rakyat ke lahan pertanian dan air termasuk dipertimbangkan dalam hal argumen
irigasi; desentralisasi politik dalam politik, ekologi, dan teknis-administratif.
pengambilan keputusan; kebijakan nasional Sebagai strategi politik, pengembangan
yang beralih menuju diversifikasi produk agropolitan memerlukan komitmen
sebagian elit nasional, dan ini mungkin
pertanian; kebijakan yang dijalankan secara
sulit diperoleh. Strategi alternatif, di sisi
demokratis melalui strategi dari bawah
lain, walaupun mungkin berhasil ketika
(bottom up), partisipatif, serta diukur dalam hal produksi, tidak mungkin
mempertimbangkan konteks lokal. Dengan melibatkan lebih dari sebagian kecil
begitu, agropolitan tidak hanya populasi petani. Pilihan politik
mengedepankan pendekatan wilayah, tata membentang antara perencanaan untuk
ruang, dan komoditas, tetapi yang terpenting kesetaraan dan penentuan nasib sendiri
adalah pendekatan kelembagaan dan politik. politik di tingkat terendah pemerintahan
Agropolitan bukan sebuah proyek dari atas, teritorial, atau perencanaan untuk
melainkan sebagai kebijakan dan gerakan oleh ketidaksetaraan dan otokrasi politik.” (J.
entitas lokal, dengan ditopang desentralisasi, Friedmann, 1985).
demokrasi lokal, dan kolaborasi. Kabupaten,
Dengan demikian agropolitan akan
desa, dan petani menjadi pemain penting
membuahkan sukses besar ketika secara
dalam hal ini.
politik bekerja pada perencanaan untuk
Konsep agropolitan itu sudah
kesetaraan dan penentuan nasib sendiri politik
diadaptasi oleh banyak ilmuwan di Indonesi
di tingkat terendah pemerintahan teritorial.
(Misalnya: Mahi, 2007; Rustandi & Pranoto,
Sebaliknya agropolitan akan gagal kalau
2007), dan dijadikan proyek oleh Kementerian
bekerja dalam perencanaan untuk
Pekerjaan Umum sejak 2002 dan lebih gencar
ketidaksetaraan dan otokrasi politik. Dalam
setelah hadir UU No. 26/2007 tentang Tata
pandangan penulis, otokrasi politik tidak serta
Ruang. Tetapi gagasan dan praktik
merta berbentuk rezim otoritarian, sentralistik
agropolitan selama dua dekade telah
dan represif ala Orde Baru, tetapi juga bisa
menyimpang jauh dari prinsip “perencanaan
berbentuk kebijakan dan program agropolitan
radikal” ala Friedmann dan Douglass. Mereka
yang teknokratik, seragam, dan terpusat.
bicara agropolitan tetap dengan “seeing like
city” dan teknikal: kewilayahan, tata ruang,
komoditas, dan lain-lain. Nalar dan
HASIL DAN PEMBAHASAN
perspektifnya tidak berbeda dengan Potret Paradoks Urbanisasi
urbanisasi. Nalar itu teknokratik dan anti- Urbanisasi adalah proses yang
politik, yakni mengabaikan relasi kuasa, disengaja oleh pemerintah sejak zaman
kontestasi ekonomi-politik, serta kepentingan kolonial yang dimulai dengan pembentukan
daerah, desa dan rakyat. Bahkan juga anti- kota Batavia yang kelak menjadi Jakarta,
desa, karena lebih sibuk bicara tata ruang dan sekaligus juga kota-kota lain. Kota menjadi
komoditas. Agropolitan tidak akan menjadi pusat kekuasaan, modal, peradaban, industri,
ruralisasi yang radikal jika desentralisasi, perdagangan, dan jasa. Pada zaman Orde
partisipasi, dan teritorialisasi, bersifat Baru, Jakarta sudah menjadi kota
teknokratik. Kalau teknokratik, maka yang metropolitan, yang kemudian meluas menjadi
bekerja hanya pendekatan fiskal dan proyek megapolitan yang disebut Jabotabek. Proses
(John Friedmann & Douglass, 1975). yang sama juga terjadi di kota-kota besar
Argumen politik yang kritis itu penulis ibukota provinsi di Indonesia. “Ada gula ada
dasarkan pada pendapat John Friedmann yang semut” terjadi mengiringi urbanisasi, yakni
menggagas agropolitan, sekaligus juga terjadi arus perpindahan penduduk dari desa
memantau perkembangan empirik serta ke kota, karena penghidupan desa yang
menilai distoris yang muncul di lapangan. berbasis pertanian mengalami involusi.
Dengan argumen politik, Friedmann Kota-kota besar mengalami kelebihan
berpendapat berikut ini: beban, atau eksplosi, yang mendorong

154
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

perluasan aglomerasi perkotaan ke level kota kecil ketimpang kecepatan urbanisasi.


menengah dengan sangat cepat. Kecepatan Menurut laporan Bank Dunia (2019), setiap 1
urbanisasi mengindikasikan bahwa ukuran persen urbanisasi di suatu negara harus
kota akan semakin membesar, desa akan mengarah pada peningkatan signifikan dalam
mengkota, kota kecil akan menjadi kota produk domestik bruto per kapita (PDB)
menengah, kota menengah akan menjadi kota negara tersebut. Namun, sementara PDB per
besar dan kota besar akan menjadi megacity, kapita India dan China masing-masing naik 13
kota-kota baru akan terbentuk, tersebar di persen dan 10 persen, untuk setiap
seluruh nusantara (Hardiansah, 2015) pertumbuhan urbanisasi 1 persen, PDB per
Transformasi ini tentu menjadi bagian dari kapita Indonesia hanya meningkat 4 persen
pembangunan ekonomi dan pembentukan untuk setiap pertumbuhan urbanisasi 1 persen.
modal (Brenner, 2014). McKinsey Global Penyebabnya tidak lain adalah investasi yang
Institute (2012) membuat sebuah proyeksi rendah dan infrastruktur perkotaan yang
bahwa PDRB kota kecil dan kota menengah di buruk. Ujungnya adalah menuntut pemerintah
Indonesia tahun 2010–2030 akan tumbuh untuk investasi lebih besar lagi terhadap
lebih cepat dibandingkan dengan infrastruktur kota.
pertumbuhan PDRB Kota Jakarta. Para Kontradiksi juga perlu dilihat dalam
ekonom menilai seluruh potensi ini tentu konteks relasi desa-kota. Meskipun laju
menjadi modalitas besar dalam urbanisasi begitu cepat, tetapi dualisme desa-
mengoptimalkan peran kota sebagai pusat kota masih tampak, yang menggambarkan
pertumbuhan yang berkelanjutan. segregasi spasial dan ketimpangan sosial-
Urbanisasi secara demografis ekonomi (Firman, 2004). Bahkan perluasan
meningkatkan komposisi penduduk perkotaan aglomerasi perkotaan sampai ke level
dibandingkan dengan penduduk perdesaan. kabupaten/kota, tidak cukup membuka
Pada tahun 1950, baru 15% penduduk lapangan pekerjaan yang dekat dengan
Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Pada penduduk desa, tidak mendongkrak ekonomi
1990, 40 tahun kemudian, jumlah ini dua kali lokal berbasis pertanian, dan juga tidak
lipat menjadi 30%. Tabel 1 menambahkan membendung migrasi orang desa ke kota-kota
data mutakhir laju urbanisasi dan komposisi besar. Migrasi ini Ini menyisakan sejumlah
demografis, dari tahun 1995 hingga proyeksi besar populasi lanjut usia di Indonesia untuk
tahun 2050. Tahun 2019/2020 sekarang, hidup sendiri di daerah pedesaan. Sumber
penduduk kota sudah mencapai 56% dan penghasilan utama bagi penduduk pedesaan
penduduk desa semakin berkurang, yakni 44% berasal dari pertanian. Statistik Kementerian
dibandingkan dengan tahun-tahun Pertanian menunjukkan bahwa dari 140 juta
sebelumnya. petani, 80% di antaranya berusia 45 tahun ke
atas. Kaum pria pindah ke kota dalam jumlah
Tabel 1. Laju urbanisasi dan komposisi besar, tidak akan ada cukup banyak orang
penduduk Indonesia yang mengambil alih praktik pertanian dari
Tahun % Penduduk % Penduduk para petani tua. Banyak yang mengaitkan
Desa Kota gerakan kaum muda ini dengan kerja keras
1995 64 36 secara manual yang dibutuhkan di sektor
2000 58 42 pertanian. Juga, para pemuda tidak ingin
2005 52 48 menghadapi risiko panen yang buruk. Ini
2010 50 50 mengarah pada keprihatinan utama bagi
2015 46 54 negara terkait industri pertanian. Ada
2020 44 56 kemungkinan krisis pangan dalam waktu
2050 33 67 dekat jika tingkat produksinya tidak
Sumber: Bank Dunia. 2019 meningkat, sehingga impor pangan menjadi
solusi mujarab. Petani lansia melanjutkan
Jika berjalan secara linear, maka dengan metode pertanian dasar dan manual
urbanisasi penduduk (demografi) juga diikuti karena rendahnya keterampilan dan tingkat
dengan urbanisasi kapital sekaligus juga pendidikan yang rendah. Tingkat
perluasan tenaga kerja. Tetapi ternyata ada produktivitas dalam industri pertanian rendah
kontrdiksi di sini. Dampak pertumbuhan lebih karena hal ini.

155
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

Sementara tidak semua penduduk paradoks urbanisasi perkotaan. Ada


migran ke kota hidup dengan baik di kota. pembangunan ekonomi dan ada pula
Sebuah situs yang menaruh perhatian pada pembangunan sosial. Pembangunan ekonomi
pembangunan, Indonesia Investment (2017), melahirkan platform “kota ekonomi” dan
membuat laporan: “Setiap tahun, banyak pembangunan sosial melahirkan platform
orang Indonesia bermigrasi dari daerah “kota sosial”. Manurut aliran “kota ekonomi”,
pedesaan ke kota untuk mencari penghidupan. urbanisasi berikut kota dan agolemerasi harus
Namun, karena kota sering gagal digencarkan terus dan dikelola dengan baik
meningkatkan mata pencaharian pendatang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
baru, kemiskinan perkotaan dan tingkat Kaum urbanis hingga Bank Dunia berkata
pengangguran meningkat. Mereka yang begitu. Bulan Oktober 2019 lalu, tim Bank
bermigrasi ke kota biasanya mereka yang Dunia berujar bahwa “meningkatnya
tidak - atau sangat rendah - pendidikan dan kesejahteraan Indonesia terkait erat dengan
karenanya menghadapi kesulitan untuk manfaat dari berkembangnya aglomerasi
mendapatkan pekerjaan”. perkotaan dan peralihan ekonomi berbasis
Urbanisasi penduduk dan kapital di jasa dan industri. Banjir dan kemacetan
kota dengan sendirinya menyebabkan tipisnya Jakarta, misalnya, ditunjuk Bank Dunia
ruralisasi kapital di desa dan pemiskinan sebagai masalah serius urbanisasi dan
penduduk desa. Desa, pertanian, petani, dan pengelolaan kota. Jika tidak dikelola dengan
kemiskinan selalu menjadi satu paket. baik akan memunculkan kemacetan, polusi
Sumbangan pertanian terhadap pendapatan dan daerah kumuh serta buruknya
selalu menurun dari tahun ke tahun. Pada infrastruktur dan pelayanan publik. Dengan
dekade 1960-an, pertanian menyumbang PDB kalkukasi ekonomi, Bank Dunia menunjukkan
masih di atas 50%, tahun 2010 tinggal tersisa bahwa kemacetan telah merugikan negara
15%, dan tahun 2019 menurun menjadi hingga US$ 4 miliar atau sekitar Rp 56 triliun
12,65%. Angka kemiskinan pedesaan selalu per tahun (Investor Daily, 3 Oktober 2019).
lebih tinggi daripada angka kemiskinan
Solusi kaum urbanis tidak lain adalah
perkotaan. BPS melaporkan bahwa
memperbaiki infrastruktur dan manajemen
persentase penduduk miskin pada tahun 2019
perkotaan, seperti perbaikan sarana-prasarana
sebesar 9,41%, dengan komposisi kemiskinan
transporasi untuk mengatasi kemacaten,
perkotaan sebesar 6,69% dan kemiskinan
infrastruktur air untuk pengendalian banjir.
perdesaan sebesar 12,85%. Pada tahun yang
Konsep infrastruktur itupun menjadi bias,
sama, sebesar 49,41% rumah tangga miskin
yakni sebagai landasan untuk suprastruktur,
menggantungkan hidup pada sektor pertanian.
yakni pembangunan ekonomi. Dengan
Narasi itu menyajikan beberapa
kalimat lain pembangunan infrastruktur kota
kesimpulan yang terkait dengan paradoks
terutama digunakan untuk mendukung
urbanisasi. Pertama, janji urbanisasi terhadap
kepentingan ekonomi, yakni mengurangi
pertumbuhan ekonomi, tidak terwujud dengan
kerugian dan meningkatkan keuntungan.
baik, sebab sumbangan urbanisasi atas
Aliran “kota sosial” banyak mengritik
ekonomi masih rendah. Kedua, terjadi
aliran “kota ekonomi” yang terlalu mengejar
dualisme sekaligus ketimpangan antara desa
keuntungan ekonomi tetapi mengabaikan
dan kota. Desa, pertanian, petani, dan
dimensi sosial dan ekologi perkotaan.
kemiskinan selalu menjadi satu paket, yang
Menurut mereka kota harus ramah secara
tertinggal dari kota. Kemiskinan lebih besar di
sosial dan ekologis. Kota harus inklusif untuk
desa dan sektor pertanian. Ketiga, migrasi
semuanya. Menurut aliran kota sosial, kota
penduduk desa ke kota dilakukan oleh mereka
bukan hanya milik swasta untuk mengejar
yang berkemampuan rendah, sehingga malah
kekayaan, tetapi juga untuk anak, perempuan,
menyumbang kaum miskin kota dan
orang tua, orang miskin, kaum buruh, juga
pengangguran, dan tentu menambah beban
untuk pendidikan, kesehatan, kenyamanan,
bagi kota.
dan lain-lain.
Di Jakarta, misalnya, hadir komunitas
Solusi “Kota Centris”
Rujak yang terus melakukan penelitian
Pembangunan adalah cara pandang arus advokasi tentang kota sosial. Kota sebenarnya
utama untuk memahami dan mengatasi adalah civitas yang mengandung sosial. Tetapi

156
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

proses urbanisasi yang semakin menjauhkan bencana, ramah lingkungan); ruang terbuka
kota dari kehidupan sosialnya. Inisiatif Kota hijau (30 persen); penurunan emisi karbon
Sosial di Jerman dimulai pada tahun 1999, melalui pengembangan transportasi massal
“bukan sebagai program sosial, namun dan nonmotor, kawasan terpadu, bangunan
sebagai program investasi pengembangan hijau, energi terbarukan; air bersih dan
perkotaan”, untuk menjawab kebutuhan untuk sanitasi sehat; pengolahan sampah dan limbah
“mencegah lingkaran setan kemiskinan, ramah lingkungan (Joga, 2019)
pengabaian sosial, dan kerusakan Baik kota ekonomi dan kota sosial yang
infrastruktur”. Namun, lingkungan yang dipertemukan dalam wadah kota
menjadi target program Kota Sosial adalah berkelanjutan, juga dipertemukan pada solusi
lingkungan yang masih tertinggal, seiring yang konkret, yakni pembangunan
dengan berbagai masalah sosial dan infrastruktur: transportasi massal, rumah
lingkungan yang mereka hadapi. Akibatnya, layak huni, sabuk hijau, drainase, sanitasi, air
solusi untuk masalah-masalah ini dirumuskan bersih, dan masih banyak lagi. Penganut “kota
sebagai “program investasi pembangunan ekonomi” neoliberal juga tidak kurang akal
perkotaan”, dan bukan sebagai pendanaan untuk menyerap konsep-resep kota
sosial, meskipun memang di dalamnya berkelanjutan, dengan cara melakukan
terdapat komponen biaya untuk komodifikasi kata-kota kunci dalam
mengembangkan “pusat koordinasi” di pembangunan berkelanjutan ke dalam
lingkungan yang berfungsi memberikan bisnisnya.
masukan dan dukungan bagi semua yang Bagaimanapun penganut-pendukung
terlibat. Selain itu, hukum yang ada kota berkelanjutan hanya berpikir tentang
mengamanahkan agar program tersebut solusi “kota centris”. Sebagai bagian dari
mensyaratkan partisipasi warga dan politik urbanisme, mereka akan menuntut
manajemen lingkungan di proyek kebijakan dan campur tangan yang besar oleh
pembangunan. Kota Sosial dalam konteks ini pemerintah untuk perbaikan kota, terutama
secara spesifik merujuk kepada suatu program perbaikan segala infrastruktur kota, dengan
pembangunan perkotaan yang partisipatif. alasan kota memberikan uang banyak untuk
Dalam pelaksanaannya, mayoritas jenis negara. Solusi “kota centris” tentu tidak akan
pembangunan perkotaan yang terkait dengan berpikir “Indonesia centris” secara
Kota Sosial adalah infrastruktur perumahan menyeluruh, sekaligus mengabaikan
dan transportasi, yang dikategorikan di dalam kemiskinan desa dan involusi pertanian
sektor pembangunan, sebagaimana biasa sebagai akibat dari urbanisasi, juga abai
dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah terhadap arus deras migrasi penduduk dari
(Padawangi, 2018). desa ke kota. Bagi kaum urbanis, migrasi ini
Memang dua aliran itu tampak berbeda. adalah solusi, sembari mereka akan
Tetapi keduanya disatukan dengan konsep dan menyentuh desa bukan dengan penguatan
praktik kota berkelanjutan, yang memenuhi kabupaten-desa-agrikultur, melainkan dengan
kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan urbanisasi masuk desa atau perluasan
pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. aglomerasi perkotaan ke ranah perdesaan.
Kota berkelanjutan memiliki tiga pilar: tiga
pilar, yakni ekonomi (profit), sosial (people), Solusi “Indonesia Centris” Melalui
dan ekologi lingkungan hidup (planet). Ruralisasi
Pembangunan kota perlu mengutamakan dan Kaum urbanis akan terus melakukan
memasukkan isu pembangunan berkelanjutan, penetrasi ke ruang perdesaan dengan formula
perubahan iklim, dan mitigasi bencana masuk urbanisasi, yakni perluasan aglomerasi
ke rencana tata ruang wilayah, rencana detail perkotaan, baik dengan skema proyek maupun
tata ruang dan peraturan zonasi, rencana tata investasi sektor perumahan, industri, jasa, dan
bangunan lingkungan, dan panduan rancang lain-lain, yang dikendalikan oleh para pemain
kota/perkotaan, serta didukung kajian
besar dari kota. Agrikultur dan petani terus
lingkungan hidup strategis. Kota harus terdesak oleh arus urbanisasi itu, menjadi
menjadi inklusif, ramah bagi semua, serta agribisnis besar yang dikendalikan oleh
mengakomodasi semua kepentingan dan korporasi besar, seperti halnya pengalaman
segala perbedaan. Pembangunan kota kebun sawit.
berfokus pada perencanaan kota (mitigasi

157
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

Jika Presiden tetap teguh pada Wiwandari Handayani pembangunan


Indonesia centris, memperkuat daerah dan kawasan agropolitan ini belum memberikan
desa, serta mengurangi urbanisasi, maka dampak yang signifikan terhadap
perhatian pada kabupaten, desa, agrikultur pembangunan perdesaan di Kabupaten
serta petani-nelayan, harus diutamakan. Jika Kulonprogo. Hal ini terlihat bahwa tingkat
solusi urban centris hanya berputar-putar kesejahteraan petani padi, melon dan ketela
menangani kota-kota besar dengan resep kota pohon di kawasan ini masih dibawah rata-rata
berkelanjutan, maka solusi Indonesia centris Kabupaten Kulon Progo. Faktor yang
harus melihat Indonesia keluar dari kota besar, mempengaruhi adalah kurangnya
yang bertempat di kabupaten beserta desa- ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis
desanya. Kabupaten dan desa perlu kita lihat hulu-hilir seperti bahan baku, alat mesin
secara seksama. Karena urbanisme yang kuat pertanian, irigasi, pemasaran dan kondisi
dan urbanisasi yang deras, maka bila dilihat jalan, sehingga menjadi hambatan utama bagi
dari sisi pembangunan, kabupaten-desa pada petani dalam peningkatan produktivitas serta
umumnya mengalami kekurangan input, daya beli petani (Suroyo & Handayani, 2014).
sarana-prasarana, dan output pertumbuhan. Studi Sinta Ningrum dan Tomi
Dengan kalimat lain, kabupaten-desa tidak Setiawan tentang agropolitan di Cianjur
memperoleh kue pembangunan yang mislanya, mengambil kesimpulan bahwa
memadai. Karena itu, orang tahu, semua dampak kawasan agropolitan terhadap
kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY peningkatan kesejahteraan petani secara
dan Jawa Timur, sejak Orde Baru pasti keseluruhan tidak signifikan. Peningkatan
memasok penduduk perantau ke Jakarta pendapatan petani disebabkan bukan karena
dalam jumlah besar. Kita tidak memiliki data pengelolaan yang tepat dari
yang pasti, berapa besaran pasokan perantau pengurus/manajemen kawasan agropolitan,
pada setiap kabupaten di Jakarta dan namun lebih disebabkan karena kreativitas
sekitarnya. Namun dari kisah “mudik corona” dan kerja keras petani sendiri secara
pada awal April, dapat diketahui bahwa sudah individual (Ningrum & Setiawan, 2017). Dua
60an ribu pemudik pulang ke Jawa Tengah, 42 peneliti itu juga menunjukkan bahwa
ribu di antaranya berasal dari Kabupaten pemerintah tidak serius
Wonogiri. Di DIY, pada awal Mei 2020, mengimplementasikan kebijakan agropolitan.
tercatat 85 ribu pemudik dari Jabodetabek, Rencana kegiatan pembangunan dan
sebagian besar dari Gunungkidul. Orang tahu pengembangan kawasan agropolitan dalam
juga bahwa perantau Gunungkidul di jangka panjang tidak dijalankan karena
Jabodetabek sejak lama memiliki Ikatan terhentinya dukungan (dana, orang, alat) dari
Keluarga Gunungkidul, yang tentu karena pusat. Studi Gizdy Chalifa di tempat yang
jumlah perantaunya sangat besar. sama juga menunjukkan bahwa setelah
Dari besaran perantau kita dapat berjalan 16 tahun, kawasan agropolitan
pahami bahwa semakin banyak perantau ke Cianjur tidak berkembang signifikan.
kota besar berarti kondisi kabupaten-desa Kendalanya yaitu benih komoditas tertentu
semakin miskin. Dengan kalimat lain, terkadang sulit didapatkan, gangguan hama
semakin miskin suatu daerah-desa, maka penyakit dan pencurian, penggunaan bahan
semakin besar arus urbanisasi ke kota. Dari kimia yang masih tinggi, kurangnya
sinilah, solusi “Indonesia centris” bisa pengetahuan petani akan pengolahaan produk
dimulai, dengan membangun dan memperkuat yang tidak sesuai permintaan (reject), fasilitas
daerah dan desa. Bagaimana caranya? packing house yang terlalu jauh, pasar produk
Kita bisa melakukan penelitian olahan yang sedikit, kurangnya pertemuan
terhadap proyek agropolitan sebagai salah antar stakeholder kawasan agropolitan, petani
satu bentuk ruralisasi. Proyek agropolitan belum mengerti sistem kawasan agropolitan,
yang sudah berjalan lama di daerah tetap tidak kurangnya monitoring dan evaluasi dari
bermakna besar sebagai ruralisasi, tidak pemerintah, sarana dan prasarana yang rusak
menghasilkan perubahan penting seperti yang (Chalifa, Gizdy; Syamsiah, 2019)
terjadi di Kabupaten Jepara. Program Kesimpulan serupa juga dihasilkan
agropolitan yang gagal telah diteliti oleh oleh Baiq Diana Amalia Murty dan kawan-
banyak sarjana. Dengan meneliti di Kulon kawan yang telah meneliti program
Progo, Bambang Trihartanto Suroyo dan agropolitan Kecamatan Sembalun Lombok

158
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

Timur. Masterplan agropolitan sudah ditinggalkan dulu. Pengalaman Jepara dan


disiapkan, tetapi pengembangan kawasan daerah lain yang relevan bisa dipelajari untuk
belum sepenuhnya dapat diimplementasikan dasar dan model ruralisasi di banyak
dengan baik yang disebabkan kurangnya kabupaten dan desa di Indonesia. Korporasi
sosialisasi program sehingga menyebabkan rakyat di sektor agrikultur yang
sikap resisten petani terhadap beberapa dikonsolidasikan oleh desa bisa menjadi
program pengembangan, tidak dilibatkannya kekuatan pertama. Kekuatan kedua adalah
petani dalam perumusan program sehingga kaum borjuis lokal yang menggerakkan
petani kurang memiliki komitmen dalam industrialisasi pertanian dan perdesaan.
melaksanakan program pengembangan Kekuatan ketiga bisa borjuis nasional yang
(Diana, Murty, & Domai, 2016). perlu dikemas dengan pola shareholding
Penelitian Isnaeni Agustina (2017) dengan kabupaten, borjuis lokal, desa,
juga menunjukkan bahwa pengembangan maupun korporasi rakyat. Jika kaum borjuis
agropolitan Ciwidey Kabupaten Bandung tidak hadir, maka pemerintah kabupaten bisa
membuahkan hasil positif dan negartif. menghadirkan perusahaan daerah untuk
Demikian pendapatnya: menggerakkan industrialisasi perdesaan dan
“Hasil evaluasi untuk karakteristik fisik pertanian. Pemerintah pusat memberikan
menunjukkan bahwa hasil pembangunan dukungan kapasitas, regulasi, infrastruktur
fisik Kawasan Ciwidey berdampak pada dan pendanaan, yang melamapaui pendekatan
kemudahan transportasi dan pengiriman proyek dari atas.
hasil pertanian, peningkatan hasil produksi Melampaui agropolitan, kita bisa
pertanian, dan mampu memberi branding belajar dari kisah Kabupaten Jepara, pantai
produk olahan pertanian sebagai oleh-oleh utara Jawa Tengah, yang memiliki tradisi
khas Kawasan Agropolitan Ciwidey. Untuk ekonomi-politik lokal sangat kuat dan mandiri
karakteristik sosial, pengembangan sejak lama. Bukan berarti bahwa Jepara tidak
kawasan agropolitan Ciwidey berdampak
memasok perantau ke Semarang maupun
pada peningkatan hasil pertanian karena
terdapat penguatan kelembagaan petani
Jabodetabek, namun industri mebel (kecil,
melalui manajemen partisipatif. Namun, sedang dan besar) yang kondang, membuat
untuk karateristik ekonomi, pengembangan kemakmuran lokal Jepara lebih baik dari dari
agropolitan berdampak pada penurunan kabupaten-kabupaten lain. Pada tahun 1971
hasil produksi sawah karena ada petani Jepara adalah salah satu kabupaten termiskin
yang beralih dalam komoditas yang di Jawa Tengah, tetapi di era reformasi, sudah
ditanam sejalan dengan adanya perluasan dekat dengan pendapatan per kapita regional
kemitraan dengan pengusaha retail. Jika (Schiller, 1996, 2007). Penelitian tahun 2007
dibiarkan, hal ini akan memberikan dampak menunjukkan, sebanyak 15.271 unit produksi
negatif dan mengancam ketahanan pangan
telah diidentifikasi di Jepara, yang
kawasan agropolitan Ciwidey sehingga
perlu ada intervensi dari pemerintah,
memperkerjakan sekitar 170.000 orang.
organisasi agribisnis, koperasi atau Kegiatan tersebut menghasilkan pendapatan
lembaga swadaya masyarakat untuk yang cukup besar, yaitu nilai tambah antara
memberikan pemahaman bagi para petani Rp 11.900 - 12.300 miliar/tahun (sekitar Euro
mengenai agropolitan yang berkelanjutan.” 1 miliar/tahun), atau Rp 70 - 78
(Agustina & Artiningsih, 2017) juta/pekerja/tahun. Konsumsi kayu bulat di
Penulis tidak bermaksud melakukan Kabupaten Jepara adalah sebesar 1,5 hingga
generalisasi atas sejumlah penelitian tentang 2,2 juta m³/tahun, dengan kata lain, 9 m³ kayu
agropolitan di atas, tetapi penulis bermaksud bulat dapat menyokong pekerjaan 1 pekerja
melakukan interpretasi kritis terhadap tetap selama satu tahun (Jean-Marc Roda, dkk.
agropolitan dengan menggunakan hasil 2007). Industri mebel tentu tidak sendirian,
penelitian mereka. Jika program agropolitan tetapi juga mendorong pertumbuhan sektor
di sejumlah tempat tidak berhasil secara lain, baik pertanian, industri, perdagangan,
gemilang, tentu kejadian yang sama juga bisa dan jasa. Ekonomi lokal yang hidup-dinamis
terjadi di tempat-tempat lain, karena itu tentu menambah lapangan pekerjaan,
pendekatan program yang seragam untuk sekaligus menekan urbanisasi dan kemiskinan
seluruh tempat. Karena itu penulis Jepara. Data tahun 2019, menunjukkan bahwa
berpendapat bahwa konsep agropolitan bisa Jepara memiliki angka kemiskinan terendah
keempat dari 35 kabupaten/kota di Jawa

159
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

Tengah, yakni 6,6%, setelah Kota Semarang bukan berarti perluasan aglomerasi perkotaan
(3,98%), Kota Salatiga (4,76%) dan Kota ke ranah desa, bukan pula proyek-proyek dari
Pekalongan (6,66%). Dengan demikian, atas seperti proyek agripolitan, tetapi dalam
Jepara memiliki kemakmuran tertinggi dan bentuk industrialisasi perdesaan yang berbasis
kemiskinan terendah di antara kabupaten- pada emansipasi lokal. Pemerintah kabupaten,
kabupaten lain di Jawa Tengah. Satu strip di borjuis lokal, desa, dan petani menjadi pemain
bawah Jepara adalah Kabupaten Kudus yang penting dan utama dalam emansipasi itu.
dikenal dengan “kota kretek”, kemudian Pengalaman Jepara sebagai kabupaten paling
Kabupaten Semarang, Kabupaten Sukoharjo, makmur di Jawa Tengah bisa menjadi contoh
dan seterusnya. ruralisasi yang melampui pendekatan proyek
Secara sosiologis, masyarakat Jepara dari atas. Penulis juga merekomendasikan
sangat berakar pada pedesaan Jawa, dengan kepada ilmuwan tentang pentingnya
ikatan sosial yang kuat antara pengusaha di penelitian empirik yang mendalam tentang
kota dan petani di desa atau produsen kayu ruralisasi seperti kisah Jepara, yang bisa
dari berbagai hutan rakyat (Roda, et.al, 2007) ditempuh dengan studi komparatif dengan
Struktur sosial semacam ini bisa mengurangi daerah-daerah lain, sehingga pengetahuan
eksploitasi pengusaha lokal terhadap petani di ruralisasi dari sudut lokal bisa menjadi lebih
desa. Kondisi ekonomi yang hidup, kuat dan kaya, sekaligus berguna untuk rekomendasi
mandiri Jepara juga diperkuat dan masyarakat kebijakan pemerintah.
yang dapat membatasi negara dan membuat
pemerintah negara lokal menjadi lebih
responsif terhadap kepentingan masyarakat DAFTAR PUSTAKA
lokal (Schiller, 1996, 2007).
Dari sudut ekonomi, Jepara memberi Agustina, I., & Artiningsih, A. (2017).
pelajaran tentang industrialisasi dan "Evaluasi Implementasi Masterplan
Kawasan Agropolitan Ciwidey
kewirausahaan lokal. Ini adalah ekonomi riil,
berbasis pada produksi lokal, bukan sekadar Menggunakan Logic Models". Jurnal
Wilayah dan Lingkungan, 5(1), 1.
produksi subsisten seperti petani dan
kerajinan berskala kecil seperti di Bantul. https://doi.org/10.14710/jwl.5.1.1-10
Ekonomi produktif lokal ini bukan hanya Anderson, K. (2011). Marx at the Margins: On
dekat dengan rakyat, tetapi juga lebih kuat Nationalism, Ethnicity, and Non-
ketimbang ekonomi konsumtif maupun Western Societies By Kevin B.
ekonomi kreatif yang berpusat di sektor Anderson. Global Discourse, 2(2), 174–
pariwisata. Di masa pandemi corona, ekonomi 182.
kreatif di sektor pariwisata mengalami https://doi.org/10.1080/23269995.2011.
kelumpuhan total, sedangkan ekonomi 10707921
produktif lokal masih tetap bertahan kuat. Ban, C. (2020). Beyond Social Science
Naturalism: The Case for Ecumenical
Interpretivism. Critical Review.
KESIMPULAN DAN SARAN https://doi.org/10.1080/08913811.2020.
Artikel ini mengambil kesimpulan 1729482
singkat bahwa urbanisasi yang berkembang Bevir, M., & Blakely, J. (2018). Why Political
sangat kokoh menjadi urbanisme mengandung Science Is an Ethical Issue. Political
paradoks dan kontradiksi: pembusukan kota di Studies, 66(2), 425–441.
balik kekayaan dan kemegahan, sekaligus https://doi.org/10.1177/0032321717723
juga pemiskinan desa. Karena desa miskin 503
maka terjadi arus migrasi penduduk ke kota, Bevir, M., & Blakely, J. (2020). Naturalism
yang semakin memperparah pembusukan and its Inadvertent Defenders. Critical
kota. Review, 1–13.
Atas dasar kesimpulan itu, artikel ini https://doi.org/10.1080/08913811.2019.
mengakhir dengan saran, bahwa untuk 1730592
kepentingan Indonesia centris yang lebih Brenner, N. (2014). Implosions/Explosions:
merata, adil dan makmur, maka urbanisasi Towards a Study of Panetary
harus digeser menjadi ruralisasi. Ruralisasi Urbanization. Berlin: Jovis Verlag

160
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

GmbH. Theory of Capitalist Urbanization.


Chalifa, Gizdy; Syamsiah, N. (2019). Oxford, UK: Blackwell.
Identifikasi Kendala Pengelolaan Joga, N. (2019). Mengelola Urbanisasi
Kawasan Agropolitan Kabupaten Berkelanjutan. Investor Daily. Diambil
Cianjur. Agroinfo Galuh, 6, No. 1. dari
Chigbu, U. E. (2015). Ruralisation: a tool for https://investor.id/opinion/mengelola-
rural transformation. Development in urbanisasi-berkelanjutan
Practice, 25(7), 1067–1073. Krause, M. (2013). The Ruralization of the
https://doi.org/10.1080/09614524.2015. World. Public Culture, 25(2 70), 233–
1071783 248. https://doi.org/10.1215/08992363-
Childe, V. Gordon. (1950). “The Urban 2020575
Revolution”. The Town Planning Lefebvre, H. (2003). The Urban Revolution.
Review Vol. 21, No. 1. Minneapolis: University of Minnesota
Diana, B., Murty, A., & Domai, T. (2016). Press.
"Implementasi Program Pengembangan Lewis, B. D. (2014). Urbanization and
Kawasan Agropolitan Sembalun Economic Growth in Indonesia: Good
Kabupaten Lombok Timur" J-PAL. 7:2 News, Bad News and (Posible) Local
Elnagi, M., Hassan, E., Pitoyo, A. J., & Mada, Government Mitigation. Regional
U. G. (2017). "Urbanization and Studies, January.
Economic Development in Indonesia". Lipton, M. (1977). Why Poor People Stay
Populasi, 25. Poor: Urban Bias in World
Firman, T. (2004). New town development in Development. London: Temple Smith.
Jakarta Metropolitan Region: a Mahi, A. H. (2007). Agropolitan: Teori dan
perspective of spatial segregation. Aplikasi. Jakarta: Graha Ilmu.
Habitat International, 28(3), 349–368.
Midgley, J. (1995). Social Development: The
https://doi.org/10.1016/S0197-
Developmental Perspective in Social
3975(03)00037-7
Walfare. London-Thousand Oaks-New
Friedmann, J. (1985). Political and technical Delhi: Sage.
moments in development: agropolitan
Nguyen, H. M., & Nguyen, L. D. (2018). The
development revisited. Environment and
relationship between urbanization and
Planning D: Society and Space, 3(2),
economic growth. International Journal
155–167.
of Social Economics, 45(2), 316–339.
https://doi.org/10.1068/d030155
https://doi.org/10.1108/ijse-12-2016-
Friedmann, John, & Douglass, M. (1975). 0358
Agropolitan Development: Towards A
Ningrum, S., & Setiawan, T. (2017). Quo
New Strategy for Regional Planning in
Vadis Kebijakan Agropolitan di
Asia. Los Angeles, Ca: School of
Indonesia. Jurnal Manajemen
Architecture and Planning, University of
Pelayanan Publik, Vol. 1(No. 1).
California Los Angeles.
Padawangi, R. (2018). Kota Sosial: Aspirasi
Geertz, C. (1963). Agricultural Involution:
Transformasi Perkotaan di Asia.
The Process of Ecological Change in
Jakarta: RUJAK dan FES.
Indonesia. Berkeley, CA: University of
California Press. Plant, R. (2010). The Neo-liberal State.
London: Oxford University Press.
Hardiansah, E. (2015). Pengantar Edisi
Khusus 55 Tahun Pendidikan Planologi: Raveesh, S. (2014). Ruralisation: A Step
Pembangunan Kota Inklusif di Era Towards Balanced Growth. Asian
Desentralisasi. Jurnal Perencanaan Journal of Multidiciplinary Studies,
Wilayah dan Kota, 26(1), 1–6. 2(1), 37–44.
https://doi.org/10.5614/jpwk.2015.26.1. Roda, J.-M. et. a. (2007). Atlas Industri Mebel
1 Kayu di Jepara Indonesia. Bogor:
Harvey, D. (1985). The Urbanization of Center for International Forestry
Capital: Studies in the History and Research.

161
MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020): 145-162

Rustandi, E., & Pranoto, S. (2007). (https://www.worldbank.org/en/news/press-


Agropolitan: Membangun Ekonomi release/2019/10/03/indonesia-bold-
Perdesaan. Bogor: Crestpent. reforms-needed-to-realize-urban-
Schiller, J. (1996). Developing Jepara: State potential)
and Society in New Order Indonesia.
Clayton, Victoria: Center of Southeast
Asian Studies, Monash University.
Schiller, J. (2007). Masyarakat Sipil di Jepara:
Mudah Terpecah Tapi Inklusif. In H. S.
Nordholt & G. van Klinken (Ed.), Politik
Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Scott, J. (1976). The Moral Economy of the
Peasant: Rebellion and Subsistence in
Southeast Asia. Yale: Yale University
Press.
Smith, D. N. (2013). Marx at the Margins: On
Nationalism, Ethnicity, and Non-
Western Societies , by Kevin B.
Anderson. Chicago: University of
Chicago Press, 2010. Rethinking
Marxism, 25(1), 130–134.
https://doi.org/10.1080/08935696.2012.
711107
Sumawinata, S. (2004). Politik Ekonomi
Kerakyatan. Jakarta: Gramedia.
Suroyo, B. T., & Handayani, W. (2014).
Pengembangan Kawasan Agropolitan di
Kabupaten Kulon Progo, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.
25, No. 3.
Tichelman, F. (1980). The Social Evolution Of
Indonesia: The Asiatic Mode Of
Production And Its Legacy. The Hague:
Martinus.
Tilly, C. (Ed.). (1975). The Formation of
National State in Western Europe.
Princeton: Princeton University Press.
United Nations. (2006). World Urbanization
Prospects: The 2005 Revision
Population Database (UN, ed.). New
York.
Wedeen, L. (2020). Anti-Naturalism and
Structure in Interpretive Social Science.
Critical Review, 1–8.
Wilbur, A. (2013). "Growing a Radical
Ruralism: Back-to-the-Land as Practice
and Ideal". Geography Compass, 7:2.
Woods, M. (2011), Rural, London: Routledge.
Yglesias, M. (2012, Maret 19). The Mixed-Up
Politics of Urbanism.

162

Anda mungkin juga menyukai