Anda di halaman 1dari 10

Tugas Ujian Akhir Semester

Kajian Pengembangan Perkotaan


Sekolah Kajian Stratejik dan Global

BANDUNG CREATIVE CITY FORUM (BCCF) SEBAGAI UPAYA KOLABORATIF


MEWUJUDKAN NILAI PUBLIK MASYARAKAT BANDUNG

Nama:
NPM:
Mata Kuliah: Sejarah Perkembangan Perkotaan
Dosen: Prof. Gunawan Tjahjono

UNIVERSITAS INDONESIA
2021
Abstrak

Kota kreatif menjadi sebuah fenomena yang mulai marak muncul diberbagai kota di dunia.
Salah satu kunci utama daripada kota kreatif ialah perlunya kolaborasi antara pemerintah
lokal dengan masyarakat, terlebih dengan dunia usaha dan media. Kota Bandung menjadi
salah satu pencetus pertama kota kreatif di Indonesia, dimana Bandung Creative City Forum
(BCCF) telah menjelma menjadi sebuah inkubator besar dalam mengkolaborasikan
kerjasama dan inisiatif baik dari pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan media. Kolaborasi
ini pada akhirnya memang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan akan nilai publik daripada
sebuah kota kreatif, yakni bagaimana konsep kota kreatif Bandung memenuhi kebutuhan
pelayanan publik dan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat Kota Bandung.
Artikel ini akan mengulas bagaimana konsep kolaborasi yang dibawa oleh Bandung Creative
City Forum (BCCF) ditinjau dari perspektif nilai publik atau public value Mark H. Moore
dan bagaimana keduanya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Bandung.

Keyword : kolaborasi, BCCF, kota kreatif, nilai publik


PENDAHULUAN

Kota merupakan sebuah wahana besar dengan karakteristik beranekaragam, penduduk


dengan bermata pencaharian yang berbeda-beda, serta kebutuhan yang kompleks. Kota
sendiri sekarang telah menjelma menjadi sebuah kanvas kreativitas, dimana kebijakan
pembangunan perkotaan sendiri tidak hanya berfokus pada bagaimana membangun
infrastruktur yang baik saja, melainkan juga berbicara tentang bagaimana memfasilitasi
kebutuhan-kebutuhan kreativitas warga masyarakatnya.

Konsep kota kreatif sendiri muncul pada tahun 1995 dimana Charles Landry dan
Franco Bianchini menerbitkan “The Creative City” yang menjelaskan sebuah gagasan konsep
Kota Kreatif yang merupakan respon terhadap permasalahan atau krisis urban yang dihadapi
oleh beberapa kota di dunia. Landry dan Bianchini (1995) menganjurkan beberapa hal yang
perlu dilakukan untuk menuju predikat kota kreatif, antara lain sebagai berikut :

1. Mengubah rintangan menjadi krativitas


2. Menciptakan lebih banyak lagi individu-individu kreatif
3. Menggunakan katalisator berupa ruang kreatif baik fisip maupun non-fisik
4. Menyeimbangkan kosmopolitanisme dan lokalisme kota
5. Partisipasi masyarakat yang tidak hanya sekedar slogan
6. Penyediaan layanan dan infrastruktur yang baik
7. Manajemen birokrasi yang praktis dan efektif

Konsep kota kreatif ini memiliki relevansi dengan kebutuhan masyarakat perkotaan
yang kian hari kian kompleks. Oleh karena itu, perlu adanya suatu strategi khusus
pengembangan kota kreatif yang dapat menyasar pada kebutuhan masyarakat perkotaan itu
sendiri. Menurut Carta (2007) untuk menumbuhkan perilaku kreatif dalam perekonomian
kota diperlukan dukungan dari semua elemen baik pemerintah, pelaku ekonomi, maupun
masyarakat. Sehingga, konsep kota kreatif ini pada akhirnya tidak hanya menjadi tugas dan
tanggungjawab pemerintah lokal saja, akan tetapi membutuhkan konsep kolaborasi antara
warga masyarakat dengan pemerintah.

Kota Bandung sejak awal sudah mencitrakan dirinya sebagai kota kreatif mengingat
ada banyak sekali potensi-potensi yang telah dikembangkan, mulai dari pariwisata, sektor
perdagangan, urban design, social project, dsb. Pengembangan kota kreatif Bandung
tentunya tidak hanya melibatkan peranan pemerintah saja, melainkan juga dari masyarakat,
salah satunya ialah melalui peranan Bandung Creative City Forum. Oleh karena itu, artikel
ini mengulas bagaimana nilai publik dapat muncul dengan berkembangnya konsep Bandung
Kota Kreatif yang didorong melalui kolaborasi integral dan spasial antara pemerintah dengan
masyarakat.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini didesain dalam bentuk penelitian kepustakaan (Library research)


menggunakan berbagai sumber kepustakaan sebagai sumber data penelitian (Darmalaksana,
W. 2020). Penelitian ini juga menggunakan pendekatan teknik deskriptif, yaitu suatu bentuk
penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik
fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia (Creswell,2007). Fenomena itu bisa
berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan
antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya. Pendekatan deskriptif merupakan
penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu pendapat yang
berkembang. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dirancang untuk memperoleh
informasi tentang status suatu gejala saat penelitian dilakukan. Dalam penelitian deskriptif
tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan. Penelitian yang bersifat deskriptif,
bertujuan menggambarkan secara tepat suatu sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau
kelompok-kelompok tertentu dalam suatu masyrakat.
PEMBAHASAN

Teori Nilai Publik/Public Value

Munculnya konsep nilai publik dilatarbelakangi oleh sebuah ketidakpercayaan bahwa


pemerintah dapat menyelesaikan semua permasalahan melalui tangannya sendiri. Dalam arti,
sebagai manajer sektor publik yang mengurusi berbagai macam hal berkaitan dengan
pelayanan publik untuk masyarakat, pemerintah tidak bisa mendasarkan langkah dan
kebijakannya hanya dengan pertimbangan mereka sendiri, akan tetapi perlu adanya suatu
kerjasama/kolaborasi agar apa yang dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh masyarakat.

Mark H. Moore (1990) mulai mengembangkan ide-ide nilai publik dengan


mendasarkan pada suatu strategi organisasional yakni Trilogi Strategi. Menurut konsep ini,
tugas manajer publik dianalogikan hampir sama dengan tugas manajer sektor swasta, yakni
harus dapat menciptakan nilai ekonomis bagi stakeholder; para manajer publik diharapkan
menciptakan nilai publik dalam program yang dijalankan. Lebih lanjut, Spano (2009)
menjelaskan bahwa nilai publik dapat tercapai bilamana layanan yang dihasilkan oleh
organisasi sektor publik memenuhi kebtuhan penduduk, sehingga semaki tinggi kepuasan
masyarakat, semakin besar nilai publik yang diciptakan.

Munculnya konsep nilai publik menjadi jawaban atas upaya dalam membangun
sebuah kerangka kerja konseptual untuk manajer sektor publik dalam membantu mereka
untuk memahami tantangan strategis dan pilihan kompleks yang dihadapi, dengan cara yang
mirip seperti nilai pasar yang telah memberikan tujuan kepada manajer sektor swastanya. Ide-
ide pengembangan nilai publik yang dicetuskan oleh Moore hadir dengan menyoroti 3 (tiga)
isu utama, yaitu: peran pemerintah dalam masyarakat. Pemerintah bukan hanya seorang
pengatur, layanan penyedia, dan jaring pengaman sosial saja, tetapi pembentuk nilai publik
dan pembentuk pro-aktif dari masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya;
peran manajer pemerintah. Bukan hanya sebagai pegawai pasif, tetapi sebagai pengurus aset
publik yang berkewajiban membantu pemerintah untuk menemukan apa yang bisa dilakukan
dengan dipercayakan kepada kantor mereka, serta memikirkan responsif keburukan dari
pengguna dan warga negara; teknik yang dibutuhkan oleh manajer publik. Menjadi sarana
pembantu bagi pemerintah agar menjadi lebih mudah beradaptasi dalam perubahan materi
dan kondisi sosial, perubahan kebutuhan dan aspirasi politik.
Berbicara mengenai nilai publik itu sendiri, nilai publik dapat diartikan sebagai
sebuah pemikiran dan tindakan strategis oleh para pembuat kebijakan publik dan manajer,
dalam menghadapi kompleksitas dan penghematan atau sebuah sarana populer untuk
mengevaluasi efektivitas dan efisiensi pelayanan publik (Moore, 1995). Ini menyediakan
sebuah kerangka kerja inklusif untuk memeriksa kinerja administrasi publik pada proses
penciptaan nilai publik bagi warga (Kelly et all, 2002: Alford dan O’Flynn). Nilai publik itu
sendiri berasal dari keyakinan, aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk
mempertahankan dan mensejahterakan kehidupan fisik dan kejiwaannya (Islamy, 2007:120).

Bandung Creative City Forum (BCCF)

Bandung Creative City Forum (BCCF) merupakan sebuah forum dan organisasi lintas
komunitas kreatif yang dideklarasikan dan didirikan oleh berbagai komunitas kretif di Kota
Bandung pada tanggal 21 Desember 2008. BCCF sendiri memiliki tujuan untuk dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan komunitas kreatif di Kota
Bandung khususnya. Hal ini sesuai dengan yang tertuang didalam Anggaran Dasar Pendirian
BCCF Tahun 2012 sebagai berikut :

1. Menjadi wadah penguatan masyarakat madani (civil society) yang mandiri dan tidak
terafiliasi baik langsung atau tidak langsung dengan organisasi massa atau partai
politik manapun, baik ditingkat lokal atau nasional.
2. Menjadi forum komunikasi, koordinasi, dan usaha bagi perseorangan atau badan
usaha atau komunitas kreatif di Bandung
3. Menjadi forum bersama untuk memberikan daya tawar lebih besar dalam penguatan
ekonomi bagi para anggota, pelaku ekonomi/industri kreatif dan Kota Bandung
sekitarnya
4. Menambah daya dorong pengembangan dan pemberdayaan potensi kreatif warga
Banudng dan sekitarnya
5. Memperkenalkan Bandung sebagai kota kreatif terdepan baik di tingkat nasional,
regional, dan internasional
6. Menjalin kerjasama baik ditingkat nasional atau internasional untuk kepentingan
pengembangan dan pembangunan ekonomi/industri kreatif di Bandung
7. Mengembangkan kreativitas sebagai upaya untuk pemberdayaan ekonomi daam
rangka peningkatan kualitas hidup masyarakat sipil, kelestarian ekosistem, dan
penghargaan terhadap keanekaragaman budaya.
Konsep Kolaborasi BCCF

Dalam perjalanannya, BCCF hadir untuk membantu pemfasilitasan kreativitas


masyarakat Bandung. Dalam hal ini, melalui perspektif nilai publik dapat disimpulkan bahwa
masyarakat Kota Bandung yang memiliki potensi akan daya kreativitas yang tinggi memiliki
kebutuhan bagaimana kreativitas tersebut dapat difasilitasi kemudian bermanfaat sekaligus
berkontribusi bagi pembangunan Bandung itu sendiri.

Menurut Healey (2006), kekuatan kolaboratif muncul jika (1) adanya perpaduan
pemikiran melalui proses komunikatif dan interaktif dalam pemecahan masalah maupun
penyusunan rencana, (2) ada komitmen yang sama dari semua pihak, kemitraan yang tidak
berhierarkis serta semua pihak memiliki peran yang sama, dan (3) adanya sumberdaya.

Berkaitan dengan itu, pemerintah Kota Bandung telah mendorong berkembangnya


BCCF untuk memiliki peranan besar dalam mengembangkan konsep kota kreatif. Melalui ini,
muncul kaitan erat lintas dimensi berkaitan dengan proses perumusan kebijakan terkait kota
kreatif, dalam arti telah muncul komitmen bersama akan tanggungjawab kolektif
mewujudkan konsep Bandung sebagai kota kreatif.

Hal ini sesuai dengan tujuan penciptaan nilai publik (public value creation) yang
didasarkan pada asumsi bahwa nilai publik dapat tercapai ketika proses pengambilan
keputusan didasarkan atas adanya suatu hubungan yang erat antara dimensi institusi, politik,
dan korporat untuk memastikan adanya komitmen bersama diantara pihak-pihak terkait
dalam keselarasan untuk mencapai tujuan bersama.

Menurut Moore, nilai publik dapat dicapai apabla kegiatan organisasi mendapat
dukungan formal dan politik yang kuat, karena semakin kuat dukungan politik, semakin besar
kemungkinan tercapainya nilai publik yang diharapkan. Hal inilah yang kemudian dimainkan
oleh BCCF yang terus berusaha melebarkan sayap jangkauan, networking, serta pengaruhnya.
BCCF telah menempatkan diri menjadi think-tank utama pemerintah Kota Bandung dalam
hal pengembangan kota kreatif, sehingga usulan-usulan BCCF akan menjadi pertimbangan
utama pemerintah kota.

Dari sisi masyarakat, BCCF telah banyak memberikan kontribusi terhadap


pemenuhan nilai publik kebutuhan masyarakat dalam hal kreativitas. Masyarakat Kota
Bandung menjadi lebih terfasilitasi daya kreativitasnya mengingat BCCF telah menjelma
menjadi inkubator komunitas kreatif di kota tersebut, sehingga segala kebutuhan mulai dari
brainstorming & exploring idea, pendampingan atau mentoring, pengembangan jasa &
produk, dan telah berbicara mengenai hilirasasi produk dan ide kreativitas. Pada akhirnya,
masyarakat Kota Bandung merasa terbantukan penyaluran ide dan peranannya melalui BCCF
ini. Singkat kata, adanya BCCF ini dengan sendirinya telah memperkuat posisi masyarakat
sipil dalam peranannya berkaitan dengan kebijakan pembangunan perkotaan.

Doxiadis (1970) menganggap bahwa pemukiman merupakan tempat manusia untuk


hidup dan melakukan aktivitas yang dapat mendukung penghidupannya (livelihood).
Pemukiman, dalam hal ini Kota Bandung, dibentuk dari proses dialektis antara the content
atau manusia dan objek yang mendiami kota dan the container alam yang ada disekitarnya.
BCCF merupakan salah satu wujud dialektis tersebut, yakni bagaimana manusia berupaya
untuk mengoptimalkan the container dengan tidak memandangnya dari sudut pandang
geometris arsitektural semata, melainkan mencoba untuk melampauinya dengan melihat
potensinya untuk memberdayakan elan kreatif masyarakat yang hidup di dalamnya. Dengan
demikian, BCCF mampu menjadi saluran aspirasi masyarakat Kota Bandung (the content)
dalam upayanya untuk mendefinisikan ruang hidupnya (the container).

KESIMPULAN

Proses munculnya kolaborasi kolektif pada dasarnya dapat dimulai dari masyarakat
itu sendiri. Artinya, masyarakat sebenarnya dapat memberdayakan diri mereka sendiri
melalui cara mereka sendiri. Kemunculan Bandung Creative City Forum atau BCCF telah
membuktikan bahwa masyarakat dapat memenuhi nilai publik mereka sendiri dengan cara
memberdayakan diri mereka sendiri. Pada akhirnya, peranan mereka dapat berpengaruh pada
aspek kebijakan pembangunan.

Konsep inilah yang kemudian dapat mengilhami kemunculan konsep-konsep


pemenuhan nilai publik tanpa campur tangan pemerintah, yang mana masyarakat melalui
penguatan peranan sipilnya mampu berbicara dan bertindak lebih dalam perumusan apapun
terkait dengan aspek manajerial perkotaan. BCCF yang telah berdiri sejak tahun 2008 telah
mencerminkan adanya aspek kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat dalam
memajukan kota Bandung.
DAFTAR REFERENSI

Alford, John. (2009). Making Sense of Public Value: Concepts, Critiques and Emergent
Meanings. International Journal of Public Administration, 32: 171-191.

Aritenang, A. (2012). The City of Bandung: Unfoldingthe Process of a Creative City.


Journal Munich Personal RePEc Archive.

Creswell, J. W., Hanson, W. E., Clark Plano, V. L., & Morales, A. (2007). Qualitative
research designs: Selection and implementation. The counseling psychologist, 35(2), 236-
264.

Darmalaksana, W. (2020). Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka dan Studi


Lapangan. Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Doxiadis, C. A. (1970). Ekistics, the science of human settlements. Science, 170(3956), 393-


404.

Fitriyana, F. Pengembangan Bandung Kota Kreatif Melalui Kekuatan Kolaboratif Komunitas.


Journal Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan.

Inoguchi, Takashi, dkk. Kota dan Lingkungan : Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan
Ekologi. 2017. Jakarta : Penerbit LP3ES.

LP3ES. 2012. Pembangunan Inklusif : Prospek dan Tantangan Indonesia. Jakarta : Penerbit
LP3ES.

Meynhardt, Timo. (2009). Public Value Inside :What Is Public Value Creation? International
Journal of Public Administration. 32: 192-219.

Miranti M. 2009. Kota Kreatif (Creative City) Penelusuran terhadap Konsep Kota Kreatif
melalui Pengamatan Studi Kasus. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Teknik. Universitas
Indonesia : Depok.

Prayudi, dkk. (2017). Analysis of the Development of Bandung as Creative City.


International Journal of Scientific & Engineering Research, Vol 8 Issue 9.

Srinivas, Hari. (2017). Manajemen Lingkungan Perkotaan : Kemitraan Bersinambungan.


Talbot, Colin. (2009). Public Value-The Next “Big Thing” in Public Management.
International Journal of Public Administration, 32: 167-170.

Anda mungkin juga menyukai