Anda di halaman 1dari 32

“Identifikasi Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Preferensi

Bermukim Masyarakat DKI Jakarta di Bintaro Jaya”

AGBAL DWI SANDINA


20170202008

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JAKARTA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan permukiman di suatu wilayah terjadi karena permukiman baru


dibangun sebagai wadah untuk menampung pertambahan penduduk yang berdampak
pada peningkatan kebutuhan perumahan, industri dan aktivitas komersial. Pada
pembangunan perumahan pada dasarnya dimulai dari perpindahan penduduk ke pusat
kota, kemudian secara alami menyebar ke pinggiran kota (Ahmadi 2005). Wilayah yang
letaknya berbatasan langsung dengan kota metropolitan, perkembangan permukiman
dapat dipengaruhi oleh pemekaran kota (urban sprawl). Akibat pembangunan yang
pesat serta harga lahan yang mahal, lahan permukiman di pusat kota metropolitan
menjadi sangat terbatas. Hal tersebut menyebabkan kota tidak mampu lagi untuk
menampung kegiatan penduduknya. Kemudian akibat wilayah administratif yang
terbatas, maka terjadilah perkembangan wilayah yang menjalar ke daerah pinggiran
kota atau yang disebut juga dengan urban fringe.

Perkembangan penduduk DKI Jakarta sudah sangat terbatas dalam


ketersediaan lahan kota yang jumlah penduduk nya saat ini mencapai 10,56 Juta
penduduk, hal ini menimbulkan semakin sulitnya memperoleh lahan karna kepadatan
penduduk, selanjutnya membuat harga lahan terus meningkat, oleh karna harga lahan
meningkat sementara penduduk kota tetap memerlukan hunian yang mengakibatkan
lokasi hunian bergeser ke arah pinggiran kota, sehingga harus dilakukan
pengembangan wilayah perkotaan yaitu kawasan permukiman di wilayah pinggiran.
Pinggiran kota adalah alternatif masyarakat DKI Jakarta mencari lahan yang luas untuk
lokasi bermukim dengan mempertimbangkan jangkauan akses menuju ke lokasi dan
fasilitas yang memadai seperti kawasan stategis Bintaro Jaya yang akses menuju
Jakarta kurang lebih 12 Km dan untuk akses menuju jalan tol lingkar luar kurang lebih
3 Km.

Bintaro Jaya merupakan salah satu kota mandiri yang terletak di Kota Tangerang
Selatan yang di kelola PT Jaya Real Property Tbk sebagai pengembang. Pada Kota
Tangerang Selatan sendiri merupakan sebuah kota baru yang resmi dibentuk pada
tahun 2008 yang digolongkan sebagai urban fringe karena menurut salah satu ciri dari
kawasan urban fringe adalah kawasan tersebut menjadi sasaran para pengembang
untuk dikembangkan, dan kawasan tersebut merupakan daerah yang diinvasi oleh
penduduk perkotaan yang juga berkarakter sosial perkotaan. Bintaro Jaya yang terletak
di kawasan Kota Tangerang Selatan tumbuh menjadi salah satu kota penyangga DKI
Jakarta karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Provinsi DKI Jakarta.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Selatan tahun 2011-2031,
tekanan sosial ekonomi dan urbanisasi yang terjadi di Kota Tangerang Selatan
menciptakan kawasan hunian baru yang parsial.

Bintaro Jaya yang letaknya berdekatan di selatan kota Jakarta ini juga
merupakan kota satelit pertama yang dibangun dengan komitmen awal untuk
membangun suatu komunitas pemukiman yang didukung dengan fasititas penunjang
seperti area bisnis, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan transportasi yang baik. Saat ini
Bintaro Jaya berkembang begitu pesat yang di akibatkan dari urban sprawl yang terjadi
di DKI Jakarta. Bintaro Jaya yang mengawali dengan konsep “Kota Taman” seiring
berjalannya waktu mengubah konsep awal yaitu Kota Taman menjadi “The Professional
City”. Perubahan konsep kawasan secara keseluruhan tersebut kemudian berdampak
pada perubahan bentuk-bentuk klaster perumahan sebelum dan sesudah adanya
pergantian konsep tersebut. Bentuk klaster perumahan yang saat masih mengusung
konsep “Kota Taman” yang lebih sederhana, kini dengan konsep baru maka bentuk
klaster perumahan juga dibuat lebih modern.

Banyak faktor-faktor yang mendukung Bintaro Jaya itu menjadi kota yang penuh
kemewahan. Kota baru Bintaro Jaya saat ini mampu menjadi daerah yang penuh
dengan fasilitas mewah, elite, bangun, megah, mandiri dan sebagainya. Seperti
berdirinya sekolah elite :

 Global Jaya International School


 Sekolah Pembangunan Jaya
 Universitas Pembangunan Jaya
 British International School
 Mentari International School Bintaro
 Sekolah Al-Azhar Bintaro
 Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
 Sekolah Tunas Indonesia
 BPK Penabur
 Sekolah Dahlia
 Yayasan Perguruan Al-Muhajiddin
 Homeschooling Kak Seto (HSKS)

Selain itu Bintaro Jaya memiliki beberapa rumah sakit elite : RS Premier Bintaro
(Ramsay Health Care), RS Ichsan Medical Center (IMC) dan yang terbaru RS Pondok
Indah. Beberapa pusat pembelanjaan megah dan mewah diantaranya : Plaza Bintaro
Jaya, Lotte Mall, Carrefour, Pasar Modern Bintaro Jaya, Electronic City, Ace Hardware,
Hero Emerald Bintaro, Bintaro Trade Center, Bintaro Entertainment Center, Bintaro
Jaya Xchange, Bintaro Baby Shop, Pasar Modern sektor 2, Heritage factory outlet, Hari
Hari pasar swalayan, Giant Hypermarket CBD Bintaro Jl. Boulevard Sektor 7, Giant
Hypermarket Bintaro, Superindo dan Bintaro 9 Walk pusat aneka kuliner di Bintaro Jaya
Sektor IX. Kini Bintaro Jaya terbagi pada beberapa sektor. Dan beberapa wilayah yang
juga termasuk kedalam kawasan Bintaro : Boulevard Bintaro Jaya, Jendral Sudirman,
MH. Thamrin, Dr.Sam Ratulangi, Wahid Hasyim, Cut Mutia, Cut Nyak Dien, Menteng
Utama, Senayan Utama, Kasuari, Rajawali, Elang, Maleo, Taman Makam Bahagia, dan
Titihan. Seiring berjalannya konsep baru, maka wilayah terbaru tidak menggunakan
sistem sektor, tetapi dengan distrik, yaitu: Menteng, Permata, Puri, Emerald,
Kebayoran, Discovery. Kawasan yang tidak masuk kedalam daerah Bintaro Jaya :
Tegal Rotan, Jombang Raya, Pondok Betung, dan Taman Makam Bahagia.

Alasan utama perpindahan penduduk dari DKI Jakarta ke daerah pinggiran kota
seperti Bintaro Jaya adalah karena masalah perumahan dan kenyamanan lingkungan
(Haning Romdiati, dan Mita Noveria, 2006). Selain itu, hal tersebut didukung pula oleh
berkembangnya sarana dan prasarana permukiman, transportasi serta memadainya
jaringan jalan yang menghubungkan antara DKI Jakarta dengan Bintaro Jaya.
1.2 Rumusan Masalah

Kota sebagai terminal jasa dan distribusi barang dan pusat kegiatan wilayah
sekelilingnya tidak terlepas dari berbagai persoalan terhadap proses perkembangan
dan pertumbuhan kota itu sendiri seperti penyebaran penduduk, ketersediaan lapangan
kerja, lingkungan pemukiman, transportasi dan lain sebagainya. Pengembangan
perumahan dilakukan di pinggiran kota atau wilayah pengembangan kota. Pinggiran
kota DKI Jakarta selain Kota Tangerang Selatan dengan Bintaro Jaya, memiliki wilayah
lain yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta meliputi Bogor, Depok, Tangerang
dan Bekasi. Atau biasa disebut (BODETABEK) yang masing - masing wilayah memiliki
daya tarik tersendiri. Seperti hal nya pada Bintaro Jaya yang memiliki konsep saat ini
“The Professional City” yang memiliki tujuan menciptakan gaya hidup baru yang lebih
ditekankan pada lingkungan yang baik.

Perkembangan Bintaro Jaya saat ini semakin meluas, dengan mengembangkan


kawasan hunian, komersial serta fasilitas yang memadai di luas 2.000 hektar, serta
dengan rencana pengembangan untuk Central Bisnis Distrik (CBD) yang akan
dibangun di lahan yang masih tersisa sekitar 600 Hektar. Hal ini dapat berdampak
positif bagi DKI Jakarta untuk mengurangi beban khususnya di kawasan Central Bisnis
Distrik (CBD). Dengan hal ini Bintaro Jaya menciptakan kawasan pemukiman dengan
kualitas hunian yang terjangkau, kenyamanan untuk dihuni dan berkelanjutan bagi
masyarakat dari berbagai wilayah khususnya DKI Jakarta yang berdekatan langsung
dengan Bintaro Jaya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor yang
mempengaruhi perkembangan kawasan permukiman dan preferensi bermukim
masyarakat DKI Jakarta, dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apa faktor yang mempengaruhi Bintaro Jaya dalam perkembangannya menjadi


kawasan pemukiman ?
2. Apa faktor yang mempengaruhi preferensi bermukim masyarakat DKI Jakarta di
Bintaro Jaya?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:


a) Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi Bintaro Jaya dalam
perkembangannya menjadi kawasan pemukiman.
b) Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi preferensi bermukim masyarakat
DKI Jakarta di Bintaro Jaya.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik


manfaat akademis, manfaat praktis, dan juga manfaat bagi peneliti.

1.4.1 Manfaat Akademis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan


kajian yang sistematis mengenai faktor - faktor apa yang mempengaruhi
preferensi bermukim masyarakat DKI Jakarta di Bintaro Jaya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi warga DKI
Jakarta yang ingin memiliki hunian yang nyaman dan lingkungan yang baik serta
mendorong kemajuan Kota Tangerang Selatan ini khususnya pada Bintaro Jaya.

1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti

Hasil dari penelitian ini sangat bermanfaat bagi peneliti, karena melalui
penelitian ini diharapkan peneliti dapat berpikir secara sistematis dan mampu
memberikan pemahaman mengenai konsep-konsep baru, serta mengenai
pengambilan keputusan untuk memecahkan suatu masalah.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

1.5.1 Ruang Lingkup Wilayah

Bintaro Jaya yang berada di dua kecamatan di Kota Tangerang Selatan


yaitu Kecamatan Pondok Aren dan Ciputat Timur.

Adapun pertimbangan pemilihan Bintaro Jaya sebagai lokasi penelitian adalah


Bintaro Jaya memiliki potensi yang baik sebagai penyangga kota DKI Jakarta
yang saat ini sudah tidak bisa menampung penduduk lagi khususnya pendatang
1.5.2 Ruang Lingkup Substansi

Ruang lingkup penelitian untuk menjelaskan batasan substansi yang akan


dibahas dalam penelitian ini sehingga tidak terlalu jauh dari kajian masalah yang
dipaparkan oleh peneliti, maka pembahasan pada penelitian ini akan dibatasi
oleh hal sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi Bintaro Jaya dalam


perkembangannya menjadi kawasan pemukiman dan faktor yang
mempengaruhi preferensi bermukim masyarakat DKI Jakarta di Bintaro Jaya.
b. Penelitian ini difokuskan di beberapa sektor Bintaro Jaya yang paling banyak
permukiman dan paling diminati warga pendatang. Untuk faktor bekembang
di lihat dari semua sektor yang ada serta lingkungan dan fasilitas yang ada.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perumahan dan Permukiman


Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Perumahan
Permukiman, perumahan didefinisikan sebagai sekelompok rumah dengan lingkungan
hidup atau lingkungan hidup yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana. Secara
fisik, rumah adalah suatu lingkungan yang terdiri dari serangkaian unit hunian di mana
penghuninya dapat saling berinteraksi. Permukiman biasanya disebut perumahan dan
sebaliknya. Rumah memberikan kesan rumah beserta prasarana dan sarana
lingkungannya. Yang dimaksud dengan "permukiman" atau pendudukan atau
eksplorasi berarti bahwa permukiman berkembang menjadi suatu proses yang
berkesinambungan, yaitu permukiman tidak tetap, semi permukiman, dan permukiman
sementara atau musiman. Tempat tinggal juga didefinisikan sebagai salah satu sisi dari
area perumahan. Didalam unsur perumahan terdapat beberapa sub unsur rumah-
rumah dengan segala kemudahan fisikal seperti kedai-kedai, sekolah dan lain lain. Di
kawasan perumahan, masyarakat hidup berkelompok dan bersosialisasi antara satu
sama lain (Sastra M., 2007).
Perumahan dan permukiman memiliki pengertian yang berbeda karena
pengertian permukiman lebih luas dibandingkan dengan rumah yang memiliki harta
benda yang mencakup batas wilayah yang lebih luas (Wahyuni Lasniah, 2010).
Permukiman ada karena adanya kesatuan antara manusia dan lingkungan. Menurut
Wahyuni Lasniah (2010), faktor-faktor yang membentuk kesatuan antara lain:

a. Alam, alam yang Tentunya hal ini berdampak besar pada lokasi dimana kita
membangun bangunan, kita harus memperhatikan kondisi yang ada, kemiringan lahan
akan mempengaruhi keamanan dan kenyamanan lokasi serta terhindar dari bahaya.
b. Manusia merupakan partisipan utama dalam keberadaan permukiman atau
perumahan, karena perumahan merupakan kebutuhan fisiologis manusia. Persepsi
manusia mempengaruhi tipe rumah.
c. Masyarakat, merupakan sekelompok orang dalam suatu pemukiman yang
membentuk komunitas tertentu. Masyarakat juga akan membentuk kelompok-kelompok
sosial dengan cara-cara budaya tertentu, yaitu melalui pembangunan ekonomi,
kesehatan dan pendidikan.
d. Rumah, tidak hanya bangunan saja namun juga fasilitas sosial seperti perdagangan,
rekreasi, pusat perbelanjaan ,kesehatan, fasilitas pendidikan dan sebagaimya.
e. Jaringan, Jaringan terkait permukiman mengacu pada adanya sistem operasi
pendukung untuk kegiatan seperti jaringan air bersih, jaringan listrik, dan drainase.
Rumah merupakan salah satu kebutuhan terpenting umat manusia, karena mendukung
keberlangsungan hidup manusia. Selain itu, manusia juga harus memperhatikan
pembentukan unsur yang menyatu tetapi saling melengkapi dengan unsur yang
berbeda. Menurut Undang-Undang Nomor 1 tentang Perumahan dan Permukiman
tahun 2011, perumahan didefinisikan sebagai kumpulan rumah yang merupakan bagian
dari permukiman perkotaan dan pedesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana,
dan utilitas untuk mencapai tujuan sebagai berikut: rumah yang layak huni. Permukiman
adalah bagian dari lingkungan hidup yang terdiri dari lebih dari satu unit rumah yang
memiliki prasarana, sarana, utilitas umum, dan kegiatan penunjang fungsional lainnya
di perkotaan atau perdesaan.
Permukiman merupakan konstruksi perumahan yang lebih formal, dengan aturan
yang jelas, karena terbentuk pola yang teratur. Kawasan tersebut memerlukan
pelayanan dan keutuhan permukiman yang dirancang sebelum berpenghuni, artinya
sebelum menjadi permukiman. Perumahan formal semacam ini dibangun bersamaan
dengan organisasi pembangunan, dan dibangun secara terus menerus atau sendiri-
sendiri, tetapi semuanya diatur dan dikendalikan oleh aturan (Kuswartojo, 2010)..

2.2 Teori Mobilitas Tempat Tinggal


John Turner mengajukan teori perpindahan penduduk (penduduk) pada tahun
1968. Menurut Turner, ada beberapa dimensi pergerakan yang sejajar dengan
pergerakan penduduk ini. Misalnya, ukuran lokasi, ukuran tempat tinggal, ukuran siklus
hidup, ukuran pendapatan (Hadisabari) Yunus, 2004). Ukuran tempat mengacu pada
tempat tertentu di kota yang dianggap oleh individu atau sekelompok orang sebagai
tempat yang paling cocok untuk hidup dengan cara mereka sendiri. Keadaan diri ini
paling ditekankan dalam pendapatan dan siklus hidup. Posisi dalam konteks ini erat
kaitannya dengan keterpencilan tempat kerja (akses kerja).
Pandangan ini sering disebut sebagai "ruang geografis". Ukuran rumah
berkaitan dengan inspirasi individu atau masyarakat terhadap tipe dan tipe rumah yang
ada. Karena pentingnya aspek perumahan ini, John Turner membatasi dirinya pada
aspek "gudang". Pandangan individu tentang memiliki rumah selalu terkait dengan
tingkat pendapatan dan siklus hidup. Misalnya, orang berpenghasilan rendah memilih
hanya untuk menyewa atau bernegosiasi karena mereka cocok dengan tingkat
pendapatan mereka. Dimensi siklus hidup menggambarkan tahap di mana seseorang
memulai kehidupan yang mandiri. Dengan kata lain, semua kebutuhan dasar 100%
didukung oleh pendapatan.
Secara umum, semakin panjang siklus hidup, semakin besar "pendapatan" dan
semakin jelas hubungan dengan dua dimensi sebelumnya. Dimensi pendapatan
menekankan pembahasan tentang ukuran pendapatan yang diperoleh per unit waktu.
Misalkan semakin lama seseorang tinggal di kota, semakin stabil posisinya sebagai
karyawan dan semakin tinggi pendapatannya per satuan waktu. Menurut Turner (1968)
oleh Hadi Sabari Yunus (2004), perilaku penduduk dalam menentukan tempat tinggal
juga dipengaruhi oleh kelas sosial, sebagaimana disebutkan pada bagian latar
belakang. Kelas-kelas sosial tersebut adalah:
1. Bridgeheaders: golongan yang baru datang di kota dengan kemampuan ekonomi
yang masih rendah dan lebih senang bertempat tinggal di lokasi yang dekat dengan
tempat kerjanya (pusat kota atau CBD) dengan maksud supaya pengeluaran untuk
transportasi bisa dihemat.
2. Consolidators: golongan yang sudah agak lama tinggal di daerah perkotaan dengan
kemampuan ekonomi yang semakin meningkat. Pada golongan ini, mereka cenderung
memilih tempat tinggal yang berada di pinggiran kota yang menurutnya menjanjikan
beberapa kenyamanan bertempat tinggal antara lain kondisi lingkungan masih terjaga
dengan lebih baik, polusi masih sangat sedikit, harga rumah relatif jauh lebih murah,
sedikit peraturan-peraturan yang membatasi kegiatannya sehari-hari, kepadatan
penduduk yang relatif rendah, kepadatan lalu lintas rendah sehingga terbebas dari
kemacetan, pemandangan alam relatif belum banyak terusik dan udara yang segar
sangat berperan sebagai faktor-faktor golongan ini.
3. Status seekers: golongan yang sudah lama tinggal di daerah perkotaan dengan
kemampuan ekonomi yang sudah sangat mapan dan kuat sehingga membuat golongan
ini memilih rumah dengan tipe yang modern dan mewah sebagai wujud dari status
sosialnya dalam masyarakat.

2.3 Pinggiran Kota


Wilayah pinggiran kota ataupun dalam bahasa inggrisnya diucap urban fringe,
Smith dalam( Yunus, 1987) mendefinisikan selaku sesuatu daerah yang terletak pada
lahan terbangun namun letaknya di luar batasan administrasi kota. Pryor dalam( Yunus,
2008) menarangkan kalau wilayah pinggiran kota ataupun urban fringe masih jadi
bagian yang berbatasan langsung dengan permukiman kota utama. Menurut
Phillips( dalam Harliani, 2013) proses pengkotaan ke wilayah pinggiran terjalin pada
saat pusat kota telah tidak bisa menampung aktivitas penduduk sebab keterbatasan
lahan. Proses pengkotaan ini umumnya diiringi dengan terdapatnya pembangunan
perumahan, revisi akses infrastruktur, dan revisi mutu raga serta area daerah pinggiran
kota.

Menurut Bourne( dalam Hanief, 2014) pergantian keadaan raga yang terjalin di wilayah
pinggiran diakibatkan sebab ekspansi batasan kota, pembaharuan di pusat kota,
ekspansi jaringan infrastruktur serta jaringan transportasi, tumbuhnya bermacam
aktivitas industri, perumahan serta fasilitas tamasya ataupun wisata.

Kawasan pinggiran kota mempunyai ciri yang berbeda dengan pusat kota, bagi Dirjen
Penyusunan Ruang( dalam Aditama, 2015) daerah pinggiran kota mempunyai kriteria
kawasan semacam: Ada permukiman berskala kecil ataupun besar dengan kepadatan
kombinasi antara kepadatan besar serta rendah, Harga lahan masih cenderung rendah,
Ada aksesibilitas berbentuk jaringan jalur mengarah pusat kota, Akses mengarah kota
inti atau pusat kota masih terbatas.
2.3.2 Laju dan Pola Perkembangan Permukiman

Menurut Wirth( dalam Kostof, 1991: 37) berpendapat jika kota merupakan
permukiman senantiasa dalam skala besar serta cenderung mempunyai
kepadatan yang besar dan terdiri dari orang dan juga kepribadian yang bertabiat
heterogen. Sebaliknya Mumford( dalam Kostof, 1991: 37) pula mengemukakan
kalau kota merupakan tempat yang memiliki energi tarik penduduk yang besar
sehingga memunculkan kepadatan ataupun konsentrasi permukiman yang besar
di dalamnya Kota ialah suatu yang dinamis, maksudnya kota hadapi
pertumbuhan dari waktu ke waktu. Bagi Zahnd( 1999: 23), pertumbuhan kota
tidak terjalin secara abstrak, maksudnya pertumbuhan kota berlangsung dalam 4
ukuran ialah keadaan ruang yang berkaitan dengan produk, waktu yang
berkaitan dengan proses pertumbuhan, sikap manusia dalam menggunakan
ruang dan kegiatan yang terdapat dalam ruang. Bagi Zahnd( 1999: 25) ada 3
metode pertumbuhan dasar di dalam kota, ialah:
1. Perkembagan Horizontal
Pertumbuhan horizontal merupakan pertumbuhan yang metode
perkembangannya menuju ke luar, maksudnya wilayah yang hadapi
pertumbuhan terus menjadi luas. Pertumbuhan ini selalu terjalin di pinggir
kota, dimana lahan masih lebih murah serta dekat dengan jalur raya yang
menuju ke kota sehingga menimbulkan pertumbuhan daerah pinggiran
kota.
2. Pertumbuhan Vertikal
Pertumbuhan vertical merupakan pertumbuhan yang metode
perkembangannya menuju ke atas, maksudnya wilayah hadapi
pembangunan secara vertical ataupun dengan kata lain ketinggian
bangunan pada sesuatu wilayah hadapi kenaikan.
3. Pertumbuhan interstial
Bagi Harlow( dalam Zahnd, 1999: 24), sebutan“ interstisial” berasal
dari sebutan interstice/ interstitial yang berfokus pada sesuatu
proses( metode) kepadatan ataupun dengan kata lain pertumbuhan
interstial merupakan pertumbuhan yang metode perkembangannya
menuju ke dalam maksudnya jumlah lahan terbangun di sesuatu wilayah
terus menjadi meningkat. Pertumbuhan ini kerap terjalin di wilayah pusat
kota dan wilayah antara pusat kota serta pinggiran dimana telah ada
batas wilayah yang jelas sehingga cuma dapat dipadatkan.

Definisi pola pertumbuhan permukiman terdiri dari 3 kata dasar


ialah pola, pertumbuhan, serta permukiman terencana. Bagi Kamus Besar
Bahasa Indonesia( dalam Meifinta, 2013) kalau pola merupakan foto yang
digunakan buat contoh, corak, sistem, wujud yang senantiasa, campuran
watak kecenderungan yang khas, data wujud pengorganisasian, metode
penataan, pedoman, kerangka, metode serta usaha. Bila berhubungan
dengan kalimat pola pertumbuhan permukiman terencana merupakan
corak ataupun wujud pertumbuhan permukiman terencana yang diamati
secara time series.
Menurut Hartson( dalam Koestoer, 2001), pola pertumbuhan
perkotaan dipecah jadi 3, ialah( a) Pola linear, dimana wujud kotanya
menjajaki jaringan jalur;( b) Pola kantong, dimana timbul kota- kota di
dekat kota induk yang bertabiat mengelompok;( c) Pola Hierarki, dimana
terdapat hierarki kota- kota di dekat kota induk yang mempunyai pola
tertib. Bagi Koestoer( 2001: 9) kalau wujud kota bergantung pada
keadaan raga yang dipunyai oleh sesuatu kota. Kota yang mempunyai
hambatan raga hendak tumbuh menjajaki hambatan raga tersebut
sehingga mempunyai pola yang tidak tertib. Berikut pola- pola universal
pertumbuhan perkotaan :
Sumber: Branch (dalam Koestoer, 2001, p.126)

2.3.2 Faktor Perkembangan Permukiman Pinggiran Kota


Dikatakan oleh Yunus( 1999: 124- 125) jika dari waktu ke waktu sejalan
dengan sering meningkatnya jumlah penduduk perkotaan dan meningkatnya
tuntutan kebutuhan kehidupan dalam aspek- aspek politik ekonomi, sosial,
budaya, serta teknologi sudah menyebabkan meningkatnya aktivitas penduduk
perkotaan serta perihal tersebut berdampak pada meningkatnya kebutuhan
ruang kekotaan yang besar. Oleh sebab ketersediaan ruang di dalam kota
senantiasa serta terbatas, hingga secara alamiah terjalin pemilihan alternatif
dalam penuhi kebutuhan ruang untuk tempat tinggal serta peran fungsi- fungsi
senantiasa hendak mengambil ruang di wilayah pinggiran kota. Sebagaimana
dikatakan oleh Bintarto( 1983: 63- 66) kalau, indikasi terdapatnya perembetan
kota bisa nampak dari kenampakan raga kota ke arah luar yang diarahkan oleh
terjadinya zone- zone meliputi daerah- daerah: awal, zona yang melingkari sub
urban serta ialah wilayah peralihan antara desa kota( sub urban fringe), kedua
zona batasan luar kota yang memiliki sifat- sifat mirip kota( urban fringe), serta
ketiga merupakan zona terletak antara wilayah kota serta desa yang diisyarati
dengan pemakaian tanah kombinasi( Rural- Urban- Fringe). Kejadian
perembetan kenampakan raga kota kearah luar selaku wujud pemekaran kota
mempunyai ciri dengan arah pemekaran yang berbagai macam, terdapat yang
kokoh serta terdapat pula yang lemah, Blumen feld dalam Angotti( 1993: 3)
menjelaskan jika, perkembangan penduduk akibat urbanisasi sudah memacu
pertumbuhan daerah kota ke pinggiran, keadaan ini didukung dengan
meningkatnya daerah yang mempunyai karakteristik kekotaan.
Ruswurm, 1980 dalam Yunus( 2004: 131), menjelaskan jika, aspek aspek
utama yang pengaruhi pertumbuhan pinggiran kota ialah: 1) Perkembangan
penduduk( population growth); 2) persaingan mendapatkan lahan( competition
for land); 3) hak- hak kepemilikan( property right); 4) aktivitas“
developers”( developers activities); 5) perencanaan( planning controls); 6)
pertumbuhan teknologi( technological development); 7) area raga( physical
environement). Dari kejadian pertumbuhan tersebut, hingga yang bisa dilihat
merupakan banyaknya terjalin pergantian baik secara raga ataupun non raga.
Wilayah pinggiran kota, Bar- Gal, 1987 dalam Kustur( 1997: 4), berkata kalau,
selaku wilayah urban fringe. Wilayah ini diisyarati oleh bermacam ciri, semacam
kenaikan harga tanah yang ekstrem, pergantian raga pemakaian tanah,
pergantian komposisi penduduk serta tenaga kerja, dan bermacam aspek sosial
yang lain.
Sehubungan dengan harga tanah, Chapin dalam Jayadinata( 1999: 28)
menggolongkan nilai tanah dalam 3 kelompok ialah yang memiliki: 1) nilai
keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi, serta yang bisa dicapai
dengan jual- beli tanah di pasar leluasa; 2) niai kepentingan universal, yang
berhubungan dengan pengaturan buat warga universal dalam revisi kehidupan
warga; 3) nilai sosial, yang dinyatakan dengan sikap yang berhhubunngan
dengan pelestarian, tradisi, keyakinan, serta sebagainya berkaitan
dengan( sebidang tanah yang dipelihara, aset, pusaka serta sebagainya)
Tingkatan urbanisasi yang besar, bawa akibat untuk pertumbuhan wilayah
pinggiran kota, serta sudah mengganti ekstrem daerah permukiman desa- kota
perihal itu disebabkan terdapatnya kebutuhan penampungan untuk penduduk
pendatang ataupun penduduk lama yang mau mencari“ keleluasaan”. Kebutuhan
hendak perumahan untuk penduduk serta belum lagi penyediaan ruang terbatas
untuk kawasan industri menjadikan pergantian pola pemakaian tanah yang
siginifikan, paling utama daerah permukiman.
Sebagaimana yang didefinisikan oleh Spencer ( 1979: 112), sebagian alibi
yang mendesak perpindahan penduduk ke wilayah pinggiran kota: 1) Pemakaian
tanah buat permukiman di kota bersaing dengan tanah lain yang lebih komersil,
sehingga tanah yang ada buat permukiman terus menjadi menurun; 2) Penduduk
kota terus menjadi bertambah jumlahnya; 3) Fasilitas transportasi mengarah
pinggiran kota jadi lebih baik serta fleksibel, sehingga membolehkan penduduk
serta perusahaan- perusahaan pindah lebih jauh dari pusat- pusat bisnis( kota),
menyebar ke pinggiran kota menjajaki jalan transportasi; 4) Orang- orang kota
menginginkan tempat tinggal yang lebih luas serta tenang, sebab mereka
merasa kalau tempat tinggal di kota sangat padat serta sesak; 5) Pemerintah
sudah menolong penduduk buat mengusahakan pemilikan rumah yang menarik
dengan ketentuan pembayaran yang ringan di wilayah pinggiran kota.

Proses perkembangan kota yang mengaitkan perpindahan penduduk dari


pusat kota ke wilayah pinggiran sebagaimana ditafsirkan di atas, lebih
membuktikan proses alamiah, daripada terencana, pertumbuhan ini ialah
sesuatu indikasi sub- urbanisasi prematur serta tidak terencana, sehingga
menghasilkan ekspansi kota yang liar serta tidak tertib, dan tidak terkontrol.
Evers( 1986: 29- 31) mengemukakan kalau, indikasi pertumbuhan ekspansi kota
yang secara terencana ataupun tidak direncanakan( alami), berimplikasi pada
berubahnya konsep guna tanah selaku indikasi baru di pinggiran kota paling
utama untuk penduduk asli. Saat sebelum terdapatnya proses pergantian guna
lahan selaku wujud ekspansi kota, nilai tanah ditatap dari segi gunanya ialah
lahan pertanian. Dengan terbentuknya pertumbuhan serta pemekaran kota ke
pinggiran, hingga konsep tanah berganti memiliki nilai komersial selaku“ benda”
yang bisa diperjual belikan sebagaimana benda komoditas. Perihal ini ada
keterkaitan dengan meningkatnya permintaan serta harga tanah di posisi
besangkutan, paling utama pada tanah yang mempunyai letak strategis
semacam di dekat jalan transportasi.

2.4 Preferensi Bermukim


Preferensi tinggal merupakan kemauan ataupun kecenderungan seorang
buat tinggal ataupun tidak tinggal di sesuatu tempat yang dipengaruhi oleh
variabel- variabel semacam keadaan permukiman, transportasi, lapangan
pekerjaan serta lain- lain (Christella, 2008). Variabel yang digunakan untuk
mengukur preferensi tinggal merupakan selaku berikut (Yan et angkatan
laut(AL), 2015) :
1. Pendapat tentang keadaan permukiman dikala ini
2. Keindahan sesuatu permukiman
3. Keadaan permukiman yang dianggap ideal
Bagi Morris serta Winter dalam Lee( 2005), preferensi bermukin bisa
dimaksud selaku kemauan warga dalam memastikan opsi mereka buat tinggal.
Preferensi tinggal dibedakan jadi aspirasi tinggal serta harapan tinggal. Aspirasi
tinggal didefinisikan selaku kemauan warga buat tinggal ataupun nilainilai yang
berorientasi pada kemauan seorang dalam menempuh kehidupan tinggal
tersebut di masa depan, sebaliknya harapan tinggal merupakan evaluasi realistis
yang dinilai dari keadaan tinggal mereka di masa depan.
Pemilihan hunian disesuaikan dengan preferensi kawasan yang
mengaitkan uraian ciri orang serta lingkungannya. Opsi yang terdapat, baik area
raga ataupun area sosial, ataupun alibi ekonomi serta alibi yang lain cuma
diterapkan apabila orang tersebut memiliki peluang memilah, bila tidak memiliki
peluang, hingga mencuat masalah- masalah area. Kala area yang di idamkan
tidak bisa diseleksi, kehidupan orang hendak terpengaruhi dari metode mereka
menyesuaikan diri, kurangi ketidakcocokan, serta melaksanakan kegiatan
tertentu yang sangat susah.
Amos Rapoport( 1977: 82) menyatakan jika:“ Keputusan terhadap posisi
kerapkali terpaut dengan ciri hunian, status, prestite, homogenitas sosial,
penghijauan, topografi, serta pemikiran, keamanan, sekolah yang baik, dan
inspirasi tentang campuran pemakaian serta pelaksanaan kepribadian area serta
ikatan sosial yang berkaitan erat dengan tingkatan serta status sosialnya.
Norman W. Heimstra serta Leslie H. Mc. Farlins dalam Kurniasih( 2005),
membagikan kriteria posisi dimana seorang hendak merasa sesuai tinggal pada
sesuatu tempat selaku berikut:
1. Jika perumahan eksternal jadi suatu ekspansi dari rumah semacam
personal ruang, privacy, serta territoriality. Posisi dekat unit hunian
dipandang selaku sesuatu kesatuan dari rumah( sense of localism)
2. Zona perumahan menampilkan kerangka ekspansi serta bertautan
dengan lapisan jalinan sosial yang melayani selaku sumber kepentingan
buat kenyamanan.
3. Mencermati 5 faktor kenyamanan area permukiman ialah:
a. Kepadatan area permukiman( neighborhood density)
b. Akses ke fasilitas( accessibility of facilities)
c. Rumah penghuni( responsdent’ s home)
d. Kecocokan sosial( social compality)
e. Tingkatan pemeliharaan perumahan( neighborhood maintenance
tingkat)
Sikap manusia dalam memastikan tempat tinggalnya pula dipengaruhi
oleh strata sosial antara lain; kalangan yang baru tiba di kota dengan keahlian
ekonomi yang masih rendah, kalangan yang telah cukup lama tinggal di wilayah
perkotaan dengan keahlian ekonomi yang terus menjadi bertambah, serta
kalangan yang telah lama tinggal di wilayah perkotaan dengan keahlian ekonomi
yang telah sangat mapan( Turner dalam Alvarado, Donath,& Bohme, 2009).
Orang yang berlatar balik ekonomi menengah keatas, cenderung hendak
memilah posisi yang mempunyai keunggulan dibandingkan dengan posisi lain,
misalnya keunggulan fasilitas, prasarana, serta sebagainya. Sebaliknya orang
yang berlatar balik ekonomi menengah kebawah, cuma memikirkan metode
supaya bisa mempunyai tempat tinggal tanpa banyak memperhitungkan
keunggulan di wilayah dekat tempat tinggalnya( Turner dalam Milstead, 2012).
Dampaknya warga hendak membiasakan opsi yang ada dengan preferensi
individu yang dimilikinya, dalam memilah area tempat tinggalnya( Rapoport
dalam Usta, 2010).

2.4.1 Faktor Yang Mempengaruhi Preferensi Bermukim


Aksesibilitas menurut( Luhst 1997) ialah energi tarik sesuatu posisi
disebabkan akan mendapatkan kemudahan dalam pencapaiannya dari
bermacam pusat aktivitas semacam pusat perdagangan, pusat pembelajaran,
wilayah industri, jasa pelayanan perbankan, tempat tamasya, pelayanan
pemerintahan, jasa handal serta apalagi ialah perpaduan antara seluruh aktivitas
tersebut. Evaluasi dari aksesibilitas dapat berbentuk jarak dari Central Business
Distrik ataupun CBD, kemudahan menemukan pelayanan dari transportasi
universal yang mengarah posisi bersangkutan ataupun dapat pula dilihat dari
lebar jalan ialah terus menjadi kecil lebar jalan sesuatu lahan, hingga berarti
aksesibilitas dari tempat yang bersangkutan kurang baik.
Secara universal, bagi Bourne( 1975), Drabkin( 1980) dalam Malla
Paruntung( 2004), serta Catanese serta Synder( 1989), ada sebagian aspek
yang mempengaruhi terhadap pemilihan tempat tinggal untuk seseorang orang
ataupun suatu keluarga antara lain merupakan:
1. Aksesibilitas ke pusat kota: jalan raya utama, sekolah, serta tempat
wisata.
2. Karkteristik fisik serta area permukiman: keadaan jalan, pedestrian,
pola jalan serta ketenangan.
3. Sarana serta pelayanan: mutu dari utilitas, sekolah, polisi serta
pemadam kebakaran, ketersediaan air bersih.
4. Area sosial: permukiman bergengsi, komposisi sosial ekonomi, etnis
serta demografi.
5. Ciri site rumah: luas tanah, luas bangunan, jumlah kamar, serta
bayaran pemeliharaan.
6. Area yang aman, bebas dari kebisingan, polusi serta terbebas dari
kemacetan kemudian lintas.
7. Harga tanah ataupun rumah yang murah.
Menurut Christella( 2008), faktor- faktor yang pengaruhi pemilihan tempat
tinggal ialah:
1. Keadaan Permukiman
Keadaan permukiman hendak pengaruhi prefrensi tinggal seorang,
terus menjadi baik mutu perumahan, hingga terus menjadi besar pula
kepuasan seorang buat tinggal di kawasan tersebut.
2. Transportasi
Permukiman ataupun perumahan selayaknya bisa membagikan
sarana buat pertukaran benda serta jasa, sehingga menyebabkan
terbentuknya pergerakan benda serta orang. Oleh sebab itu, preferensi
tinggal hendak dipengaruhi oleh transportasi yang terdiri dari ketersediaan
transportasi, keadaan jalur serta pelayanan universal angkutan universal.
3. Lapangan Pekerjaan
Kota- kota pada biasanya bisa meningkatkan lapangan pekerjaan,
perihal tersebut secara langsung hendak berakibat pada tertariknya
pekerja dari luar kawasan tersebut buat bermigrasi.

Tiap rumah tangga mempunyai kebutuhan serta kemauan hendak


perumahan yang berbeda, yang sebagian besar didetetapkan oleh status sosial.
Pergantian dalam siklus rumah tangga ataupun siklus kerja menimbulkan
pergantian hendak kebutuhan perumahan. Bila kepribadian perumahan dikala ini
tidak cocok dengan kebutuhan warga, hingga perihal ini bisa menimbulkan
ketidakpuasan. Bagi Boumeester( 2011), preferensi tinggal didetetapkan oleh 4
aspek ialah keadaan tempat tinggal, keadaan area, keadaan demografi serta
keadaan sosial ekonomi.

2.5 Metode Analisis


Meninjau jenis penelitian yang relevan dengan penelitian bidang perumahan dan
permukiman menurut Darjosanjoto (2006), penelitian yang akan dilakukan ini termasuk
sebagai penelitian korelasional. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
kualitatif, karena masalah yang akan diteliti merupakan permasalahan yang bersifat
sosial dan dinamis serta menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif,
seperti wawancara, dokumentasi gambar, catatan lapangan dan sebagainya. Tujuan
utama penelitian kualitatif menurut Sujarweni (2014) adalah untuk memahami
fenomena atau gejala sosial dengan cara memberikan pemaparan berupa
penggambaran yang jelas tentang fenomena atau gejala sosial tersebut dalam bentuk
rangkaian kata yang pada akhirnya akan menghasilkan sebuah teori.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu :
1. Dokumentasi/Arsip, pengumpulan data studi literatur yang dilakukan dengan
mempelajari teori-teori yang berhubungan dengan preferensi bermukim yang diperoleh
dari buku-buku, karya tulis peneliti pendahulu dan media informasi lainnya untuk
mendukung pembahasan dalam penelitian.
2. Observasi, pendekatan langsung ke penduduk di permukiman kawasan penelitian
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi preferensi bermukim penduduk di
kawasan tersebut. Tujuan dari observasi lapangan untuk mendapatkan gambaran fisik
dari permukiman tersebut.
3. Wawancara (Kuisioner), wawancara dengan kuisioner tertutup yaitu melakukan tanya
jawab kepada penduduk di lokasi penelitian. Wawancara ini bertujuan untuk memahami
dan mengetahui kondisi masyarakat, lingkungan, serta faktor preferensi bermukim
penduduk di kawasan penelitian

2.3 Review Penelitian Terdahulu


Review penelitian terdahulu merupakan salah satu upaya untuk mengurangi
plagiarisme, yaitu membandingkan penelitian yang diteliti dengan penelitian terdahulu.
Pada kegiatan mereview penelitian terdahulu tersebut, peneliti mengambil lima
penelitian terdahulu agar peneliti mengetahui perkembangan terbaru.
Tabel 2.1 Review Penelitian Terdahulu

Lokasi dan Publikasi


Metode
No. Judul Peneliti Tujuan Penelitian Tahun
Penelitian
Penelitian
1. Faktor - Faktor Cut Dhaifina Mengidentifikasi Metode Permukiman di Fakultas
Yang Malahati faktor-faktor yang kualitatif kawasan Teknik
Mempengaruhi Ir. Dwi Lindarto mempengaruhi kampung susuk Universitas
Preferensi Hadinigroho, MT preferensi (Jl. Abdul Hakim), Sumatera
Bermukim Di bermukim Kelurahan Utara
Kawasan KP. masyarakat di Selayang I,
Susuk Medan kawasan kampung Kecamatan
(Studi Kasus : susuk Medan Medan Selayang,
Perumahan Medan. 2015
Classic Residence)
2. Identifikasi Isnaini Yuli Mengidentifikasi Data spasial Kota Yogyakarta, MATRA, Vol.
Preferensi Puspita1, Ayu preferensi dan eksplorasi 2018 1, No. 1
Bermukim Candra Kurniati, bermukim data kuesioner
Masyarakat Di Prof. Djoko masyarakat
Kawasan Sujarto terhadap
Perkotaan perkembangan
Yogyakarta (KPY) kawasan perkotaan
Yogyakarta yang
semakin
berkembang setiap
tahunnya.
3. Pengaruh Faktor Erlana Citra Putri Tujuan dari Metode Pinggiran selatan Arsitektura,
Preferensi Kharisma, Galing penelitian ini pendekatan Kota Surakarta. Vol. 15, No.1,
Bermukim Yudana, Winny adalah bagaimana deduktif. Yaitu 2017
Masyarakat Dalam Astuti pengaruh faktor jenis
Memilih Hunian preferensi penelitian
Perumahan bermukim kuantitatif.
Lokasi dan Publikasi
Metode
No. Judul Peneliti Tujuan Penelitian Tahun
Penelitian
Penelitian
Terhadap Kondisi masyarakat dalam
Fisik Lingkungan memilih hunian
Di Pinggiran perumahan
Selatan Kota terhadap kondisi
Surakarta fisik lingkungan
pinggiran selatan
Kota Surakarta.
4. Preferensi Novita Ratni Penelitian ini Melakukan Mataram. 2019 Jurnal
Bermukim bertujuan Analisis Universitas
Penghuni mengidentifikasi Statistik Brawijaya
Perumahan Formal karakteristik Deskripsif,
Di Kawasan Urban kawasan Urban Analisis Faktor
Fringe Kota Fringe Kota
Mataram. Mataram. Dan
mengetahui faktor-
faktor apa saja
yang
mempengaruhi
preferensi
bermukim penghuni
perumahan formal
di kawasan Urban
Fringe Kota
Mataram.
5. Faktor - Faktor Chrissanto Alex Penelitian ini metode Kecamatan Jurnal
Yang Saputra bertujuan deskriptif dan Mapanget. 2018 Perencanaan
Mempengaruhi mengidentifikasi analisa Wilayah dan
Masyarakat Dalam karakteristik menggunakan Kota Vol 5. No
Memilih Lokasi masyarakat pendekatan 2 (2018)
Hunian Peri Urban memilih lokasi kualitatif.
Lokasi dan Publikasi
Metode
No. Judul Peneliti Tujuan Penelitian Tahun
Penelitian
Penelitian
( Studi Kasus hunian Peri Urban
Perumahan Griya Kota Manado dan
Paniki Indah menganalisis faktor
- faktor apa saja
yang
mempengaruhi
masyarakat dalam
memilih lokasi
hunian di daerah
pinggiran kota
khususnya
Perumahan Griya
Paniki Indah.
2.4 Kerangka Berpikir

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Latar Belakang Wilayah yang letaknya berbatasan langsung dengan kota metropolitan, perkembangan
permukiman dapat dipengaruhi oleh pemekaran kota (urban sprawl).

a. Apa faktor yang mempengaruhi Bintaro Jaya berkembang dalam kawasan


Rumusan Masalah
pemukiman?
b. Apa faktor yang mempengaruhi preferensi bermukim masyarakat DKI Jakarta di
Bintaro Jaya?

a) Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi Bintaro Jaya berkembang dalam kawasan


Tujuan Penelitian
pemukiman.
b) Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi preferensi bermukim masyarakat DKI
Jakarta di Bintaro Jaya.

Proses Analisa Menggunakan metode kualitatif, menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif,
seperti wawancara, dokumentasi gambar, catatan lapangan dan sebagainya

Faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi bermukim masyarakat DKI Jakarta di


Hasil Bintaro Jaya
2.5 Kerangka Konsep/Literature Mind Map

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Preferensi Bermukim

Kondisi Pemukiman Transportasi Lapangan Pekerjaan

Keterjangkauan
Jarak perumahan ke
Fisik Bangunan tempat tujuan
perjalanan

Efisiensi Jarak
Biaya transportasi ke
Harga tempat tujuan
perjalanan

Kenyamanan dalam
Luas mencapai ke tempat
tujuan perjalanan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Paradigma Penelitian


Pendekatan yang digunakan dalam penelitian dengan menggunakan metode
pendekatan kualitatif (qualitative research). Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007: 4)
mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati.
Penelitian kualitatif ini secara spesifik lebih diarahkan pada penggunaan metode
deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode untuk penelitian status sekelompok
manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas
peristiwa pada masa sekarang dan tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifatsifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma penelitian rasionalistik,
yang mana paradigma pendekatan rasionalistik menekankan pada pemahaman
menyeluruh melalui konseptualisasi teoritis dan penelitian kepustakaan, sebagai
metode tes, menganalisis hasil, dan membahas masalah penelitian untuk menarik
kesimpulan dan interpretasi (Moleong 2017)

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


3.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dimulai dari bulan Januari 2021 hingga
Agustus 2021, yang meliputi tahap persiapan, tahap identifikasi, tahap pengolahan
data, tahap analisis dan laporan akhir.
3.2.1 Tempat Penelitian
Pada penelitian kali ini dilaksanakan di Bintaro Jaya yang berada di Kota
Tangerang Selatan dan berdekatan dengan DKI Jakarta..

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi merupakan subjek yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan
sebelumnya oleh peneliti. Adapun yang menjadi populasi di penelitian ini adalah Bintaro
Jaya.
3.3.2 Sampel
Sampel terdiri atas bagian populasi yang dapat dipergunakan sebagai subjek
penelitian melalui sampling. Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi dalam
menetapkan sampel yaitu, pertama representatif dimana sampel dapat mewakili
populasi yang ada serta kedua sampel harus cukup banyak. Menurut (Notoatmojo
2010), sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih untuk menjadi subjek dalam
sebuah penelitian atau sebagai jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi.
Sampel dalam penelitian ini adalah Sektor I – IX yang berada di Bintaro Jaya.

3.3.3 Teknik Sampling


Teknik sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat
mewakili populasi. Teknik sampling merupakan cara-cara yang digunakan dalam
pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang sesuai dari keseluruhan subjek
penelitian. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive
sampling. Menurut Sugiyono (2016) purposive sampling adalah teknik pengambilan
sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Alasan menggunakan teknik
Purposive Sampling adalah karena tidak semua sampel memiliki kriteria yang sesuai
dengan fenomena yang diteliti. Oleh karena itu, penulis memilih teknik Purposive
Sampling yang menetapkan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria tertentu
yang harus dipenuhi oleh sampel-sampel yang digunakan dalam penelitian ini.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah
dengan mengunakan teknik pengamatan (observasi), wawancara, dokumentasi dan
catatan lapangan. Peneliti dapat 44 menyesuaikan teknik pengumpulan data yang
digunakan dengan keadaan di tempat penelitian. Menurut Sugiyono teknik
pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena
tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik
pengumpulan, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar
data yang ditetapkan (Sugiyono, 2009:308).
Peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data dalam penelitian ini,
yakni, pengamatan (observasi), wawancara (interview), dan dokumentasi.

1. Pengamatan (Observasi) Observasi menurut Sutopo (1996:59) digunakan


untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau
lokasi, dan benda, serta rekaman gambar. Sementara itu, Hadari (1991:100)
mengartikan observasi adalah pengamatan atau pencatatan secara sistemik
terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Observasi sendiri
menurut Burhan Bungin (2012:190-191) ada dua tipe, yakni observasi tidak
langsung dan observasi partisipan. Observasi tidak langsung adalah
observasi dimana seorang peneliti tidak masuk ke dalam masyarakat
tersebut. Bisa saja ia hanya melihat dengan sepasang matanya mengenai
kegiatan dan benda-benda budaya atau dibantu dengan alat-alat lain seperti
kamera. Sedangkan observasi partisipan adalah pengamatan langsung
dengan melibatkan 45 diri dalam kegiatan masyarakat yang diteliti. Dalam
penelitian ini, observasi yang digunakan adalah observasi tidak langsung.

2. Wawancara (interview) Wawancara adalah mengumpulkan data mengenai


sikap dan kelakuan, pengalaman, cita-cita, dan harapan manusia seperti
dikemukakan oleh responden atas pertanyaan-pertanyaan peneliti atau
pewawancara (Jacob Vredentbregt, 1979:88). Wawancara digunakan
sebagai teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti melalui
serangkaian kegiatan tanya-jawab atas beberapa pertanyaan yang kemudian
memberikan data atas masalah yang sedang diteliti oleh peneliti. Menurut
Burhan Bungin (2012:67) ada dua tipe wawancara, yaitu wawancara
terstruktur dan wawancara mendalam. Penelitian ini menggunakan
wawancara mendalam, karena dengan wawancara mendalam bisa digali
mengenai apa yang tersembunyi di sanubari seseorang, apakah yang
menyangkut masa lampau, masa kini, maupun masa depan.

3. Dokumentasi Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.


Dokumentasi bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental
dari seseorang. Dalam penelitian kualitatif, dokumentasi merupakan
pelengkap dari penggunaan teknik observasi dan wawancara yang digunakan
dalam penelitian kualitatif. Hasil pengumpulan data dari wawancara dan
observasi akan lebih kredibel 46 atau dapat dipercaya apabila didukung
dengan dokumentasi (Sugiyono, 2009: 329). Dokumentasi dalam penelitian
ini adalah fotofoto atau gambar-gambar dan arsip mengenai serangkaian
kegiatan yang dilakukan peneliti saat berada di lapangan.

3.4 Variabel Penelitian


Pada penelitian ini telah ditentukan variabel, indikator, dan parameter
untuk mengukur preferensi masyarakat dalam memilih hunian.

Tabel 3.1 Variabel Penelitian


Variabel Indikator Parameter
Preferensi pemelihan  Kebutuhan Abraham Maslow
pemukiman Fisiologis dalam Budihardjo (1987)
 Kebutuhan Rasa
Aman
 Kebutuhan Sosial
 Perekonomian
 Aktualisasi Diri

3.5 Langkah Penelitian


Adapun langkah-langkah analisis data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu
sebagai berikut :

1. Perumusan Masalah
Langkah awal dalam penelitian ini adalah dengan melakukan identifikasi terhadap
permasalahan dan isu strategis yang akan diangkat. Selanjutnya, akan disusun
rancangan penelitian untuk menjawab permasalahan penelitian
2. Studi Literatur
Tahap kedua dalam peneitian ini adalah melakukan studi literatur. Studi literatur
digunakan untuk mendapatkan instrumen penelitian, baik berupa indikator maupun
variabel. Literatur yang dikumpulkan berkaitan dengan teori-teori yang berkaitan
dengan lingkup pembahasan dari penelitian. Beberapa contoh literatur yang digunakan
adalah buku, jurnal, artikel, konsep, studi kasus, dan hal-hal lainnya yang dapat menjadi
pustaka.
3. Pengumpulan Data
Proses pemilihan, pemusatan perhatian, transformasi data yang muncul catatan di
lapangan yang mencakup kegiatan mengikhtisarkan hasil pengumpulan data selengkap
mungkin, dan memilah-milahkannya ke dalam satuan konsep, kategori atau tema
tertentu. Dalam kaitan ini peneliti menajamkan analisis, menggolongkan atau
pengkategorisasian ke dalam tiap permasalahan melalui uraian singkat, mengarahkan,
membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sehingga kesimpulan-
kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
4. Penyajian Data
Setelah data diperoleh, kemudian dilakukan kegiatan yang mencakup mengorganisasi
data dalam bentuk tertentu sehingga terlihat sosoknya secara lebih utuh. Penyajian
data dapat berbentuk bentuk uraian naratif, bagan, diagram alur dan lain sejenisnya
atau bentuk-bentuk lain. Dalam kaitan ini peneliti menyusun data yang relevan sehingga
menjadi informasi yang memiliki makna tertentu
5. Penarikan Kesimpulan
Setelah tahap analisa dilakukan selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan adalah
untuk mencari atau memahami makna/arti, keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur
sebab akibat atau proposisi. Dalam penarikan kesimpulan peneliti menggunakan
pendekatan berpikir induktif yaitu pemikiran yang berangkat dari fakta-fakta atau
peristiwa-peristiwa khusus kemudian dari fakta-fakta yang khusus tersebut ditarik
generalisasi - generalisasi yang mempunyai sifat umum.

Anda mungkin juga menyukai