Anda di halaman 1dari 30

“ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PEJALAN KAKI

TERHADAP KEGIATAN INFORMAL DI JALUR


PEDESTRIAN JALAN BULUNGAN BLOK M”

MUHAMMAD FAHRI PRATAMA

20170202009

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS ESA UNGGUL

JAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan ruang lingkup penelitian yang berkaitan dengan
penelitian. Penelitian ini berjudul “Analisis Tingkat Kepuasan Pejalan Kaki
Terhadap Kegiatan Informal Di Jalur Pedestrian Jalan Bulungan Blok M”

1.1 Latar Belakang

Jalur pedestrian merupakan suatu fasilitas umum yang berfungsi sebagai


jalur khusus yang diperuntukkan untuk ruang sirkulasi bagi pejalan kaki. Sarana
jalur pedestarian bagi pejalan kaki semakin dibutuhkan untuk mengatisipasi
pergerakan manusia dalam menjalankan aktivitasnya. Jalur pedestrian dapat
menampung aktifitas masyarakat disekitarnya, menurut Budiharjo (1997)
disamping mempunyai fungsi utama sebagai tempat sirkulasi pejalan kaki juga
mempunyai fungsi lain yaitu sebagai wadah yang mampu mewadahi aktifitas yang
ada perkotaan itu sendiri, yaitu ruang terbuka untuk melakukan kontak sosial,
rekreasi bahkan perdagangan di ruang terbuka. Salah satu contohnya yaitu jalur
pedestrian Jalan Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan yang merupakan kawasan
pusat bisnis dan pusat perbelanjaan, tingginya intesitas masyarakat yang
berkegiatan di jalur pedestrian membuat munculnya beragam kegiatan sektor
informal yang terdapat pada jalur pedestrian di kawasan jalan Bulungan Blok M,
mulai dari pedagang yang menggunakan sepeda, gerobak, hingga mendirikan
tenda untuk menjajakan jualannya.

Ruang publik memberikan akses untuk pengguna dalam kegiatan di suatu


kawasan. Oleh karena itu perlu perhatian khusus dalam penyediaan ruang publik,
terutama pada Jalan Bulungan yang merupakan jalan kolektor dan terdapat jalur
pedestrian yang bukan hanya sebagai sirkulasi untuk pejalan kaki, juga di jalur
pedestrian tersebut terdapat berbagai kegiatan sektor informal. Kelengkapan
fasilitas pendukung jalur pedestrian dan area pedestrian yang luas sering kali
menjadi faktor utama dalam kenyamanan pengguna jalan. Rappoport dan Mouden
(1987) menjelaskan bahwa semua aktivitas termasuk aktivitas pedestrian
mengandung empat hal yaitu : (a) Aktivitas yang sebenarnya yaitu: berjalan,
makan, dan lain-lain, (b) Cara melakukan yaitu: berjalan di jalur pedestrian,
makan di rumah, dan lain-lain, c) Aktivitas tambahan terkait dalam satu kesatuan
sistem aktivitas seperti: berjalan sambil melihat etalase toko (window shopping),
(d) Makna dari aktivitas yaitu menghayati lingkungan. Kegiatan di dalam jalur
pedestrian sangat didukung oleh fasilitas fisiknya. Harris dan Dines (1988)
menyatakan bahwa fasilitas pendukung jalur pedestrian adalah semua elemen
yang ditempatkan secara kolektif pada suatu lansekap jalan untuk kenyamanan,
kesenangan, informasi, kontrol sirkulasi, dan perlindungan pengguna jalan.
Elemen ini harus merefleksikan karakter dari lingkungan setempat dan menyatu
dengan sekitar. Kriteria elemen yang digunakan meliputi: bahan yang mudah
didapat, kuat terhadap cuaca, mudah dalam perawatan, mudah dalam perbaikan,
kuat dan aman bagi pengguna jalan maupun lingkungan sekitarnnya.

Kawasan Blok M sebagai pusat kegiatan sekunder dengan fungsi


pengembangan stasiun terpadu dan titik perpindahan beberapa moda
transportasi, merupakan kawasan dengan tingkat kepadatan tinggi dengan tata
guna lahan campuran (mixe-used). Kawasan mixed-use adalah keberadaan
variasi kegiatan yang berbeda seperti tinggal, bekerja, belanja, dan bermain
yang jaraknya berdekatan dan dapat dicapai melalui berjalan kaki. Tetapi menurut
penelitian Gota et al (2010) berjudul “Walkability Surveys in Asian Cities”,
Jakarta sebagai ibu kota dan kota terbesar di Indonesia termasuk dalam kategori
tidak walkable atau tidak ramah berjalan kaki. Di Indonesia pada umumnya, dan
di Jakarta pada khususnya, masalah pejalan kaki belum sepenuhnya terselesaikan.
Hal ini dikarenakan perencanaan pejalan kaki sebagai bagian dari elemen kota
tidak dilakukan secara menyeluruh, dalam arti tidak terkait dengan elemen kota
lainnya. Ruang kota Jakarta tidak cocok untuk pergerakan pejalan kaki, karena
pejalan kaki terpaksa berebut jalur dengan kendaraan dan PKL, serta pengendara
sepeda motor yang suka mengambil alih jalur pedestrian dan menggunakannya
sebagai tempat parkir. Jalur pedestrian merupakan komponen terpenting dalam
meningkatkan mobilitas pejalan kaki untuk mencapai tujuannya. Sesuai Perda
Provinsi DKI No 1 Tahun 2030 mengenai RTRW 2030 Pasal 147, menyatakan
bahwa kawasan Blok M perlu dilakukan perbaikan lingkungan fasilitas komersial
melalui penataan sarana dan prasarana pejalan kaki dan tempat parkir.

Salah satu permasalahan pada jalur pedestrian di kawasan Jalan Bulungan


Blok M yaitu keberadaan kegiatan sektor informal seperti pedagang kaki lima
pada area jalur pedestrian. Pada area ini intensitas kegiatan sektor informal lebih
tinggi pada saat waktu pulang kerja sekitar jam 17.00-21.00 WIB. Pada siang hari
kegiatan sektor informal cenderung lebih sedikit dikarenakan kegiatan pada jam
tersebut lebih terfokus di dalam bangunan. Munculnya permasalahan pada jalur
pejalan kaki di kawasan tersebut salah satunya adalah keberadaan pedagang kaki
lima pada area jalur pejalan kaki, sehingga mengurangi kualitas jalur pejalan kaki
yang seharusnya aman dan nyaman bagi pengguna jalur pejalan kaki. Sehingga
penting untuk mengetahui pengaruh keberadaan pedagang kaki lima terhadap
kualitas jalur pedestrian Jalan Bulungan, mengidentifikasi kegiatan informal yang
terjadi dan perspektif pejalan kaki terhadap fenomena tersebut. Penelitian ini
diharapkan dapat mengembangkan dan memberikan usulan terhadap fenomena
yang terjadi pada area jalur pedestrian, dan mengetahui parameter kenyamanan
yang diinginkan pejalan kaki saat melintas di jalur pedestrian Jalan Bulungan
Blok M, sekaligus mengetahui apakah kegiatan pejalan kaki dan kegiatan sektor
informal dapat berlangsung secara bersamaan di dalam Jalur pedestrian Jalan
Bulungan Blok M.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dipilihnya kawasan Jalan Bulungan


Blok M dikarenakan memiliki masalah serta potensi dari sisi letak, kondisi fisik
dan aksesibilitas, serta penggunaan jalur pedestrian yang belum efektif
dikarenakan munculnya kegiatan sektor informal yang memengaruhi tingkat
kepuasan pejalan kaki dalam menggunakan fasilitas tersebut. Adapun rumusan
masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi fisik jalur pedestrian di kawasan Jalan Bulungan Blok


M?
2. Apa saja kegiatan informal yang terdapat di jalur pedestrian Jalan
Bulungan Blok M?
3. Bagaimana kepuasan pejalan kaki terhadap kegiatan informal yang
terdapat di jalur pedestrian Jalan Bulungan Blok M?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hasil dari latar belakang dan rumusan masalah yang telah
dijelaskan di atas maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi kondisi fisik jalur pedestrian pada ruas Jalan Bulungan


Blok M
2. Mengidentifikasi kegiatan informal yang tedapat di jalur pedestrian Jalan
Bulungan Blok M
3. Menganalisis tingkat kepuasan pejalan kaki terhadap kegiatan informal
yang terdapat di jalur pedestrian Jalan Bulungan Blok M

1.4 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat.


Manfaat penelitian ini dibagi menjadi tiga yaitu manfaat akademis, manfaat
praktis dan manfaat bagi peneliti. Manfaat penelitian ini adalah:

1.4.1 Manfaat Akademis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran


dan kajian sistematis mengenai persepsi pejalan kaki terhadap kualitas
jalur pedestrian serta kegiatan di dalamnya, yang nantinya dapat
digunakan sebagai referensi dalam upaya perencanaan dan pengembangan
jalur pedestrian di Jalan Bulungan, Blok M dimasa yang akan datang.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan


mengenai standar dan kualitas jalur pedestrian, potensi kegiatan yang
terjadi pada jalur pedestrian, hingga perspektif pejalan kaki dalam
pengembangan jalur pedestrian di Jalan Bulungan, Blok M, Jakarta
Selatan.

1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti

Hasil dari penelitian ini sangat bermanfaat bagi peneliti, karena


peneliti dapat mengetahui bagaimana kualitas jalur pedestrian yang baik
menurut perspektif pengguna jalan dengan melakukan observasi lapangan,
melakukan analisis dan pengolahan data, penyajian data sebagai bagian
dari proses penelitian. Selain itu, melalui penelitian ini diharapkan peneliti
dapat berpikir secara sistematis dan memberikan pemahaman terhadap
konsep-konsep baru mengenai jalur pedestrian, sektor informal, dan
pejalan kaki.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian akan membahas ruang lingkup wilayah,


materi dan substansi yang akan dilakukan untuk penelitian ini, sebagai berikut
ruang lingkup penelitian

1.5.1 Ruang Lingkup Wilayah

Ruang lingkup yang akan dibahas pada penelitian ini meliputi ruang
lingkup wilayah yang menjelaskan batasan-batasan wilayah yang dipilih sebagai
objek penelitian, serta ruang lingkup materi yang menjabarkan batasan materi
yang akan dianalisis. Jalan Bulungan merupakan salah satu ruas jalan yang berada
di Kelurahan Keramat Pela, Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Administrasi
Jakarta Selatan. Jalan Bulungan memiliki panjang 750 meter, yang berbatasan
dengan:

 Sebelah Timur : Jalan Iskandarsyah


 Sebelah Barat : Jalan Sampit
 Sebelah Utara : Jalan Falatehan
 Sebelah Selatan : Jalan Melawai

Lokasi penelitian didasarkan oleh pengamatan peneliti yang menemukan


bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat kegiatan informal, terutama kegiatan
perdagangan dan penyalahgunaan jalur pedestrian sebagai tempat parkir yang
menghambat arus pejalan kaki saat melintasi ruas jalan tersebut.

Untuk mengetahui letak lebih jelasnya mengenai orientasi wilayah


penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1 Peta Orientasi Wilayah Studi.

1.5.1 Ruang Lingkup Substansi

Dalam penelitian ini dibatasi dengan batasan materi sehingga


permasalahan yang dibahas akan lebih ke fokus masalahnya. Pembahasan
berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan yang dijabarkan dalam ruang
lingkup substansi. Berikut ini batasan substansi pada penelitian yaitu:
1. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu
 Mengidentifikasi kondisi fisik jalur pedestrian pada ruas Jalan
Bulungan Blok M
 Mengidentifikasi kegiatan informal yang tedapat di jalur
pedestrian Jalan Bulungan Blok M
 Menganalisis tingkat kepuasan pejalan kaki terhadap kegiatan
informal yang terdapat di jalur pedestrian Jalan Bulungan Blok
M
2. Wilayah studi penelitian yaitu Jalan Bulungan yang berada di
Kelurahan Keramat Pela, Kecamatan Kebayoran Baru, Kota
Administrasi Jakarta Selatan
3. Penelitian ini difokuskan terhadap kondisi fisik jalur pedestrian dan
kegiatan informal di dalamnya, serta korelasi antara tingkat kepuasan
pejalan kaki terhadap kegiatan informal yang terjadi di jalur
pedestrian Jalan Bulungan, Blok M.
Gambar 1.1 Peta Orientasi Wilayah Studi Jalan Bulungan, Blok M Jakarta Selatan

Sumber: Hasil Analisis, 2021

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada Bab ini akan menjelaskan mengenai kajian tentang karakteristik pedestrian, perilaku
pejalan kaki serta kegiatan informal yang terjadi didalamnya berdasarkan teori – teori maupun
kajian pustaka yang berkaitan untuk mendukung pemahaman peneliti dalam melakukan analisa
penelitian sehingga peneliti dapat mengemukakan gagasan – gagasan berdasarkan teori dan
kajian pustaka yang sudah ada sebelumnya. Bab ini berisi landasan teori pedestrian, pejalan
kaki, aktivitas dijalur pedestrian, review sebelumnya, kerangka berfiki dan kerangka konsep.

2.1 Pedestrian
2.1.1 Pengertian Jalur Pedestrian

Istilah pedestrian berasal dari bahasa Latin pedesterpedestris yaitu orang


yang berjalan kaki atau pejalan kaki. Pedestrian juga berasal dari kata pedos
bahasa Yunani yang berarti kaki sehingga pedestrian dapat diartikan sebagai
pejalan kaki atau orang yang berjalan kaki. sedangkan jalur atau jalan yaitu
media di atas bumi yang memudahkan manusia dalam tujuan berjalan. Sehingga
jalur pedestrian mempunyai arti pergerakaan manusia dari satu tempat ke tempat
lain dengan moda berjalan kaki. Jalur pejalan kaki yang fungsinya sebagai jalur
sirkulasi bagi pejalan kaki, terkadang dimanfaatkan untuk aktivitas lain. Aktivitas
tersebut mendukung keberadaan jalur pejalan kaki selama tidak menimbulkan
masalah dan mengganggu aktivitas berjalan. Menurut Shirvani (1985)
Jalur pedestrian merupakan daerah yang menarik untuk kegiatan sosial,
perkembangan jiwa dan spiritual, misalnya untuk bernostalgia, pertemuan
mendadak, berekreasi, bertegur sapa dan sebagainya. Jadi jalur pedestrian adalah
tempat atau jalur khusus bagi orang berjalan kaki. Jalur pedestrian pada saat
sekarang dapat berupa trotoar, pavement, sidewalk, pathway, plaza dan mall.
Sistem pedestriaan kota yang tertata dengan baik dapat memberi dampak
yang baik pula untuk mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan serta
meningkatkan kualitas lingkungan dan udara, karena berkurangnya polusi
kendaraan dan tentunya harus dapat menampung setiap kegiatan pejalan kaki
dengan lancar dan aman. Persyaratan ini perlu dipertimbangkan di dalam
perancangan jalur pedestrian. Agar dapat menyediakan jalur pedestrian yang
dapat menampung kebutuhan kegiatan-kegiatan tersebut maka perancang perlu
mengetahui kategori perjalanan para pejalan kaki dan jenis-jenis titik simpul
yang ada dan menarik bagi pejalan kaki.
Menurut Murtomo dan Aniaty (1991) jalur pedestrian di kota-kota besar
mempunyai fungsi terhadap perkembangan kehidupan kota, antara lain adalah:
a. Pedestrianisasi dapat menumbuhkan aktivitas yang sehat sehingga
mengurangi kerawanan kriminalitas
b. Pedestrianisasi dapat merangsang berbagai kegiatan ekonomi sehingga
akan berkembang kawasan bisnis yang menarik
c. Pedestrianisasi sangat menguntungkan sebagai ajang kegiatan promosi,
pameran, periklanan, kampanye dan lain sebagainya
d. Pedestrianisasi dapat menarik bagi kegiatan sosial, perkembangan jiwa
dan spiritual
e. Pedestrianisasi mampu menghadirkan suasana dan lingkungan yang
spesifik, unik dan dinamis di lingkungan pusat kota
f. Pedestrianisasi berdampak pula terhadap upaya penurunan tingkat
pencemaran udara dan suara karena berkurangnya kendaraan bermotor
yang lewat
Fungsi jalur pedestrian yang sesuai dengan kondisi kawasan Jl. Bulungan
Blok M Jakarta Selatan adalah jalur pedetrian dapat merangsang berbagai
kegiatan ekonomi sehingga akan berkembang kawasan bisnis yang menarik,
menguntungkan sebagai sarana promosi dan dapat menarik bagi kegiatan sosial
serta pengembangan jiwa dan spiritual.
2.1.1 Jenis Jalur Pedestrian
Jalur pejalan kaki terbagi menjadi dua menurut jenisnya, yaitu : jalur pejalan kaki
didalam bangunan dan jalur pejalan kaki diluar bangunan. Mengenai jalur pejalan kaki diluar
bangunan ditinjau dari jenis dan bentuk menurut (Danisworo, 1991 dalam Rahadi, 2003),
pedestriaan ways terdiri dari 5 jenis yaitu : Trotoar, Plasa, Mall, Zebra Cross dan Jembatan
Penyeberangan Orang.
Tabel 2.1
Jenis Pedestrian Ways

Jenis Pejalan Pengertiaan Fungsi Karakteristik


Kaki
Trotoar Jalur pejalan kaki yang dibuat Berjalan kaki  Memiliki arah yang jelas
terpisah dari jalur kendaraan dipinggir jalan yang  Lokasi ditepi jalan raya yang
umum, biasanya terletak d ila lui k e n dapat dilalui kendaraan
com m it to u s e r
bersebelahan atau berdekatan.  Memiliki permukaan rata
Fasilitas ini harus aman daraan  Lebar trotoar antara 1,50-2,00
terhadap bahaya kendaraan m
bermotor dan memiliki
permukaan datar

Plasa Merupakan jalur pejalan kaki Berjalan kaki yang  Memiliki ruang yang lapang
yang bersifat rekreatif dan sifatnya santai dan  Tersedianya fasilitas untuk
dapat dimanfaatkan untuk rekreatif. pejalan kaki
mengisi waktu luang.  Lebar atau luasan bervariasi
Letaknya terpisah sama sekali  Area bebas kendaraan
dari jalur kendaraan bermotor.
Mall Jalur pejalan kaki yang Berjalan kaki  Letaknya pada area
dimanfaatkan untuk berbagai khususnya pada perbelanjaan atau
aktivitas selain berjalan kaki. kawasan perdagangan.
Diantaranya untuk berjualan, perbelanjaan.  Biasanya memiliki plasa kecil
duduk santai, kegiatan window  Memiliki fasilitas pejalan
shopping dsb. kaki.
 Lebar atau luasan bervariasi
 Area bebas kendaraan
Zebra cross Jalur pejalan kaki yang Tempat khususnya  Posisinya biasanya menyilang
dipergunakan sebagai jalur memutuskan secara pada jalan dan biasnya
menyebrangan untuk mengatasisementara pergerakan dilengkapi traffic light.
dan menghindari konflik antara kendaraan agar  Memiliki lebar2,00-4,00 m.
pejalan kaki dengan kendaraan. terhindar dari  Ditempatkan pada interval
kecelakaan. tertentu khusunya pada area
rawan konflik pergerakan
pejalan kaki dan kendaraan.
Jembatan Jalur pejalan kaki yang Tempat berjalan  Merupakan jembatan
Penyeberanga n digunakan sebagai jalur yang kaki yang penyeberangan antar
Orang aman dari pergerakan menghubungkan bangunan
kendaraan dan letaknya pada bangunan di atasnya.  Merupakan sirkulasi pejalan
ketinggian tertentu di atas kaki yang menerus
permukaan tanah.  Bebas dari pergerakan
kendaraan.
Sumber : (Danisworo, 1991 dalam Rahadi, 2003)
Menurut (Danisworo, 1991 dalam Rahadi, 2003), jalur pedestrian dari bentuknya, berupa :
1. Selaras, adalah jalur pejalan kaki yang beratap, tanpa dinding pembatas pada salah satu atau
kedua sisinya.
2. Gallery, adalah selaras lebar yang biasanya digunakan untuk suatu kegiatan tertentu
3. Jalur pejalan kaki yang tidak terlindungi atau tak beratap
4. Gang, adalah yang relatif sempit, terbentuk oleh bangunan yang padat.

2.1.2 Persyaratan Jalur Pedestrian


Menurut Rubenstein (1992), jalur pedestrian mempunyai syarat dalam perancanganya
agar memberi kesempatan kepada penggunanya melakukaan berbagai macam kegiatan
dengan semua keleluasaan geraknya. Syarat rancangan jalur pedestrian, antara lain:
1. Kondisi permukaan bidang :
Permukaan bidang harus kuat dan stabil, datar dan tidak licin, material yang umum
digunakan adalah : paving block, batu bata, beton, ubin, wafel, batako, batu alam atau
kombinasi diantaranya.

2. Dimensi :
Ukuran lebar jalur pedestrian bervariasi disesuaikan dengan jumlah dan type trafik atau
lalulintas dan kelas jalan.
Ukuran lebar minimal sekitar 122 cm untuk jalan satu arah
Ukuran lebar minimal sekitar 165 cm untuk jalan dua arah
Tabel 2.2
Dimensi Jalur Pedestrian Berdasarkan Kelas Jalan

Kelas Jalan Lebar Jalan Lebar Jalur Pedestrian


(m) (m)
1 20 7
2 15 3,5
3 10 2
Dimensi Jalur Pedestrian Berdasarkan Daerah atau Lingkunganya

Lingkungan Lebar Jalur Pedestrian


(m)
Pertokoan 5
Perkantoran 3,5
Perumahan 3
Sumber : Rubenstein (1992)

Sedangkan lebar minimum trotoar tanpa pemabatas adalah 1,5 meter. Hal ini untuk dapat
memberikan keleluasaan sebagai berikut :
 Trotoar mampu untuk melayani fungsi kolektor, mengakomodasi volume pedestrian
dan pergerakan berputar dari properti yang berdampingan
 Memberikan kesempatan bagi pedestrian dengan tongkat, bawaan atau kantong
berbelanjaan, atau penggunaan kursi roda atau alat bantu lain untuk saling berjalan
atau berlalu.
 Memberikan ruang untuk mengantri bagi pedestrian pada sudut-sudut jalan maupun
jalur penyeberangan.
 Memberikan ruang untuk 2 orang berjalan berdampingan maupun saling melewati.
 Memberiakn ruang bagi anak-anak dengan sepeda roda tiga, gerbong atau kereta
dorong, Sketers, maupun permainan atau aktivitas lain, lebar bersih tersebut harus
bebas dari semua pohon atau tanaman, tanda-tanda, tombol-tombol utilitas hydrat,
parkir, dan perabotan jalan lainya.
Menurut Rubenstein (1992), dimensi ruang pejalan kaki yang dibutuhkan untuk jalur
c o m m it t o u se r
berkapasitas minimal 2 orang adalah 1 ,5 0 m e t er . U ntuk jalur pejalan kaki
berkapasiats 3
orang minimal dibutuhkan dimensi 2 meter. Menurut Kostof (1992), ketinggian jalur
pedestrian 18 inc (± 46cm) di atas permukaan jalan kendaraan, dengan pertimbangan :
 Secara simbolis pejalan kaki akan merasa lebih penting dan aman apabila kendaraan
berada dibawah dunia pejalan kaki.
 Mobil dapat menanjak atau menerobos ketinggian 15 cm dengan mudah, maka tinggi
jalur pedestrian harus lebih besar dari pada radius ban mobil 10 – 15 inc (± 26 - 38 cm).
Aktivitas pedestrian memiliki lingkup dan kompleksitas pergerakan yang lebih dari pada jenis
transportasi lainya. Suatu ruang harus memiliki kualitas tinggi yang memberikan tempat luas
dari aktivitas pejalan kaki, serta lingkungan yang bebas dari konflik dengan lalu lintas.
Keadaan tersebut akan menciptakan pergerakan yang lancar, kegiatan sosialisasi, serta
kenyamanan bagi pejalan kaki.
2.1.3 Fasilitas Prasarana Pedestrian
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman
Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, penyeberangan
bagi pejalan kaki yang efektif dilakukan melalui penataan berbagai elemen pejalan kaki antara
lain, informasi yang dibutuhkan (rambu-rambu atau petunjuk bagi pejalan kaki) yang dapat
dilihat dan diakses seperti tanda lalulintas, tanda tempat penyeberangan (termasuk tempat
penyeberangan bagi pejalan kaki yang mempunyai keterbatasan fisik). Fasilitas
penyeberangan yang benar harus dibuat dengan memperhatikan jarak pandang atau
aksesibilitas yang tepat, durasi atau waktu yang dapat dipergunakan oleh pejalan kaki, dan
ukuran aman lalulintas yang diperoleh pejalan kaki untuk melintasi. Fasilitas penyeberangan
jalur pedestrian yang benar memiliki syarat sebagai berikut :
1. Penyeberangan Zebra
 Dipasang di kaki persimpangan tanpa alat pemberi isyarat lalu lintas atau di ruas jalan
 Apabila persimpangan diatur dengan lampu pengatur lalu lintas, pemberi waktu
penyeberangan bagi pejalan kaki menjadi satu kesatuan dengan lampu pengatur lalu
lintas persimpangan.
 Apabila persimpangan tidak diatur dengan lampu pengatur lalu-lintas, maka kriteria
batas kecepatan kendaraan bermotor adalah <40 km/jam.
2. Marka untuk penyeberangan
Marka jalan untuk penyeberangan pejalan kaki dinyatakan dalam bentuk:
 Zebra cross,yaitu marka berupa garis-garis utuh yang membujur tersusun melintang
jalur lintas.
 Marka, berupa 2 garis utuh melintang jalur lalu lintas.
Ketentuan teknis yang mengatur tentang marka penyeberangan pejalan kaki adalah sebagai
berikut :
 Garis membujur tempat penyeberangan orang harus memiliki lebar 0,30 meter dan
panjang sekurang-kurangnya 2,50 meter
 Celah diantara garis-garis membujur mempunyai lebar sama atau maksimal 2 kali
lebar garis membujur tersebut.
 Dua garis utuh melintang tempat penyeberangan pejalan kaki memiliki jarak antar
garis melintang sekurang-kurangnya 2,5 meter dengan lebar garis melintang 0,30
meter.
 Tempat penyeberangan orang ditandai dengan Zebra Cross.
 Apabila arus lalulintas kendaraan dan arus pejalan kaki cukup tinggi, tempat
penyeberangan orang dilengkapi dengan alat pemberi isyarat lalulintas.
2.1.4 Elemen Jalur Pedestrian
Menurut Shirvani (1985), perencanaan kota pedestrian sebagai fasilitas pejalan kaki
harus dipertimbangkan karena merupakan bagian dari ruang terbuka. Ruang terbuka adalah
semua lansekap, hardscape, taman dan ruang rekreasi di area perkotaan. Karena ruang terbuka
bersifat publik maka dapat berfungsi sebagai ruang pendukung kegiatan sehingga memicu
pergerakan massa. Ruang publik diperuntukan untuk publik yang didukung adanya elemen-
elemen ruang yang dapat memberikan kenyamanan bagi penggunanya, elemen-elemen jalur
pedestrian tersebut menurut Rubenstein (1992), meliputi :
1. Paving adalah ubin atau bahan hamparan yang rata. material paving meliputi : beton,
batu, bata, batu dan aspal. Pemilihan ukuran, pola, warna dan tekstur yang tepat akan
mendukung suksesnya sebuah desain jalur pedestriaan di kawasan perdagangan
maupun plasa.
2. Kriteria lampu penerangan di jalur pejalan kaki menurut Departemen Pekerjaan Umum
Direktur Jendral Bina Marga tahun 1999 mengenai Perencanaan Jalur Pejalan Kaki Pada
Jalan Umum, yaitu :
a. Ditempatkan pada jalur penyeberangan jalan.
b. Pemasangan bersifat tetap dan bernilai struktur.
c. Cahaya lampu cukup terang sehingga apabila pejalan kaki melakukan
penyeberangan bisa terlihat pengguna jalan baik di waktu gelap atau malan hari.
d. Cahaya lanpu tidak membuat silau pengguna jalan lalulintas kendaraan.
Menurut Rubenstein (1992), lampu digunakan sebagai penerangan di waktu malam hari
ada beberapa tipe, yaitu :
a. Lampu tingkat rendah, yaitu ketinggian dibawah pandangan mata dan berpola
terbatas dengan daya kerja rendah.
b. Lampu mall dan jalur pejalan kaki yaitu ketinggian 1 – 1,5 m, serba guna berpola
pencahayaan dan berkemampuan daya kerja cukup.
c. Lampu dengan maksud khusus, yaitu mempunyai ketinggian rata-rata 2-3 m, yang
digunakan untuk daerah rekreasi, komersial, perumahan dan industri.
d. Lampu parkir dan jalan raya, yaitu mempunyai ketinggian 3-5 m, digunakan untuk
daerah rekreasi, industri dan komersial jalan raya.
e. Lampu dengan tiang tinggi, yaitu mempunyai ketinggian atara 6-10 m,digunakan
untuk penerangan bagi daerah yang luas, parkir, rekreasi dan jalan layang.
3. Sign, diperlukan untuk menunjukkan identitas toko/kantor, rambu lalu lintas, identitas
daerah perdagangan, dan memberi lokasi atau aktifitas.
4. Bangku, untuk memberikan ruang istirahat bila lelah berjalan. Dan memberi waktu bagi
pejalan kaki untuk menikmati suasana lingkungan sekitarnya. Bangku dapat terbuat dari
logam, kayu, beton atau batu.
5. Tanaman peneduh, untuk pelindung dan penyejuk pedestriaan. Kriteria tanaman yang
diperlukan untuk jalur pedestriaan adalah :
a. Memiliki ketahanan terhadap pengaruh udara maupun cuaca.
b. Bermassa daun padat
c. Jenis dan bentuk pohon berupa angsana, akasia besar, bougenville, dan teh-tehan
pangkas.
6. Telepon, biasanya disediakan bagi pejalan kaki jika ingin berkomunikasi dan sedapat
mungkin didesain untuk menarik perhatiaan pejalan kaki.
7. Kios, shelter dan kanopi, keberadaanya dapat menghidupkan suasana pada jalur
pedestriaan sehingga tidak monoton. Khususnya kios untuk aktivitas jual beli, bila
sewaktu-waktu dibutuhkan oleh pejalan kaki. Shelter dibangun dengan tujuan
melindungi terhadap cuaca, angin dan sinar matahari. Kanopi digunakan untuk
mempercantik wajah bangunan dan dapat memberikan perlindungan terhadap cuaca.
8. Tempat sampah diletakkan di jalur pedestrian agar jalur pedestrian tetap bersih.
Sehingga kenyamanan pejalan kaki tetap terjaga.

2.1.2 Karakteristik Jalur Pedestrian

Karakteristik jalur pedestrian terbagi menjadi beberapa bagian antara lain:


1. Kebutuhan Pedestrian

Dalam penciptaan area pedestrian hal yang perlu diperhatikan adalah


bahwa area tersebut harus memberi kesempatan bagi pedestrian untuk
mengembangkan rasa sosialisai, rekreasi, dan kebebasan. Untuk itu
diperlukan adanya rasa aman, nyaman, dan kemudahan akses, sebagai
berikut:
a. Rasa Aman

Pedestrian perlu mendapatkan perlindungan dari kecelakaan lalu


lintas kendaraan, ancaman kriminal, dan bahaya ancaman fisik yang
lain. Kecelakaan lalu lintas adalah merupakan ancaman yang perlu
diperhatikan secara sungguh-sungguh. Selain itu perlu perlindungan
dari kecelakaan jatuh karena tersandung atau adanya perbedaan
ketinggian antara permukaan elemen jalan.

b. Rasa Nyaman

Pergerakan pedestrian tidak akan terpisahkan dengan keadaan


lingkungannya. Banyak para pejalan kaki berjalan sambil berekreasi.
Untuk itu mereka membutuhkan lingkungan yang nyaman. Rasa
nyaman akan timbul bila lingkungannya menarik, menyenangkan,
terpelihara, dan memberi kesempatan untuk terjadinya outdoor
activities. Lingkungan akan memberi rasa nyaman bila dilengkapi
dengan elemen-elemen yang memungkinkan kegiatan pedestrian
untuk berjalan, berdiri, dan duduk secara bebas.

c. Kemudahan Akses

Pedestrian berbeda dengan pengendara mobil. Tanpa tergantung


jenis kelamin, umur, dan kemampuan fisik pengendara mobil bisa
berjalan dengan kecepatan dan jarak yang sama. Tidak demikian bagi
pedestrian, kemampuan mereka berjalan akan tergantung kepada jenis
kelamin, umur, dan kondisi fisik. Anak muda akan mampu berjalan
lebih cepat dan lebih jauh daripada orang tua. Oleh karena itu
lingkungan bagi pedestrian harus dibuat semudah mungkin bagi
berbagai golongan dan kondisi pedestrian.

2. Dimensi Pedestrian

a. Dimensi Badan

Ukuran badan pedestrian ditentukan oleh lebar bahu dan tebal


tubuh. Menurut observasi yang dilakukan oleh Fruin (1971)
menyatakan bahwa 99% manusia berukuran lebar bahu sekitar 52,5
cm dengan tolerasnsi 3,8 cm, dan tebal tubuh sekitar 33 cm.
selanjutnya ia merekomendasikan untuk memakai ukuran sekitar 45,7
cm x 61 cm atau ekuivalen dengan ellips seluas 0,21 m 2 untuk
memberi kesempatan bergerak bebas dengan kondisi membawa
bawaan di tangan kanan dan kiri. Untuk orang Indonesia dimensi
tersebut mestinya sudah amat memadai.
Gambar 2.1 Ukuran Badan Pedestrian

Sumber: Fruin, 1971; Neufert, 1980

b. Teritori Bubbles

Pedestrian mempunyai ruang pribadi yang terbentuk antara


seorang pejalan kaki dengan orang lain di depannya di dalam suatu
kerumunan orang. Apabila kapasitas rendah dan ruang longgar maka
pedestrian bebas memilih ruang yang nyaman untuk menghindari
terjadinya kontak dengan orang lain. Bila kapasitas semakin padat
maka kebebasan pedestrian untuk berjalan, belok, memperlambat
langkah, maupun berhenti semakin berkurang, dan ruang pribadi juga
semakin mengecil. Ruang yang terbentuk antara satu pedestrian
dengan yang lainnya ini oleh Untermann (1984) disebut sebagai
Teritori Bubbles (Territory Bubbles). Ruang ini menggelembung
dalam bentuk telur dengan sebagian besar ruang berada di dekat si
pedestrian yang bersangkutan. Besarnya bervariasi tergantung
kepadatan kerumunan orang, yaitu antara jarak pandang ke depan
sejauh 183 cm untuk situasi padat seperti berjalan di pusat pertokoan,
dan membesar sampai 1.067 cm untuk situasi yang longgar, seperti
berjalan-jalan di taman.

c. Jarak Ruang

Di dalam area pedestrian jarak ruang diperlukan untuk


berkomunikasi jika seseorang sedang dalam keadaan duduk atau
sedang berdiri. Jarak ruang tersebut akan semakin mengecil seiring
dengan meningkatnya intensitas ruang atau meningkatnya mutual
interest antara seseorang dengan yang lain, dan sebaliknya. Jarak
ruang juga bisa dipengaruhi oleh pandangan, pendengaran,
bahu/pundak, rasa, dan rabaan yang bervariasi. Secara umum jarak
ruang bisa dibagi menurut keperluannya, sebagai berikut: jarak ruang
yang diperlukan untuk hubungan intim (0-45 cm), jarak hubungan
pribadi (45-130 cm), jarak hubungan sosial (130-375 cm), dan jarak
hubungan publik (>375 cm) (Edward T. Hall dalam Gehl, 1987).

d. Ruang Pandang

Manusia mempunyai kemampuan pandang dalam memperkirakan


kecepatan, jarak, dan arah dari orang lain dalam kegiatan berjalan.
Kemampuan ini membuat pedestrian bisa menangkap berbagai
informasi visual, termasuk rambu lalu lintas, kemungkinan
bertubrukan dengan orang lain yang berpapasan, dan sebagainya.
Ruang pandang manusia berbentuk sudut mulai dari 3 derajat sampai
dengan 70 derajat dengan sudut tertinggi yang masih dalam batas
nyaman sebesar 60 derajat. Untuk mengamati hal-hal yang detail
sudut pandang berkisar antara 3-5 derajat. Untuk mengamati orang
lain mulai kepala sampai kaki diperlukan jarak pandang sejauh 2,1
meter.

e. Ruang Untuk Mendahului dan Bersimpangan

Ruang yang diperlukan bagi pedestrian di dalam arus pejalan kaki


adalah fungsi dari kepadatan jumlah pejalan kaki. Bila kepadatan
meningkat maka pedestrian dipaksa untuk mempertahankan pola
ruang yang telah ada untuk keperluan pergerakan. Agar pergerakan
bisa dilakukan dengan baik minimum ruang yang tersedia seluas 2,3
m2. Bila kurang dari itu pedestrian harus mengatur kembali
posisinya. Pada keadaan yang padat pedestrian cenderung untuk
mengurangi longiudinal spacing mereka daripada lateral spacingnya
yang bisa menyebabkan bersenggolan dengan orang disampingnya.
Pada arus pertemuan maka papasan akan bertambah sulit bila
kecepatan pedestrian meningkat. Menurut Fruin (1971) probability
untuk saling bertubrukan atau bersenggolan adalah 100% pada
situasi luas ruang per pedestrian hanya 1,4 m2. Untuk luas
selebihnya probability menurun tajam sampai 65%, dan pada luas
3,25 m2 menjadi 50% dan selebihnya kemungkinan menjadi 0%.

3. Kegiatan Berjalan
a. Kecepatan berjalan

Kecepatan berjalan kaki pada keadaan tidak terhalang normalnya


adalah sekitar 4,8 km per jam, atau sekitar 79,25 m per menit,
meningkat sedikit untuk laki-laki dan sebaliknya untuk perempuan.
Penurunan kecepatan bisa dikarenakan jalannya menanjak atau
terhalang oleh kerumunan orang lain, tanda lalu lintas, atau halangan
lain. Halangan tersebut bisa memperlambat sekitar 25%.

b. Jarak Tempuh

Jarak tempuh pejalan kaki yang masih memadai untuk dilakukan


adalah sekitar 400-500 meter. Untuk anak kecil, orang tua, dan orang
cacat mempunyai jarak tempuh yang lebih pendek. Gehl (1987)
menyatakan bahwa jarak tempuh yang masih mmemadai untuk
dilakukan selain diukur dengan physical distance juga dengan
experience distance. Pada gambar di bawah ini, jarak A yang
sebetulnya sama jauhnya dengan jarak B (500 m) akan terasa lebih
jauh, karena rutenya lurus tanpa variasi dan absennya titik-titik yang
menarik perhatian

c. Rute Naik Turun

Secara umum pedestrian tidak menyukai pergantian ketinggian


pada rute yang dijalani, karena jalan menanjak dan menurun akan
terasa lebih menguras energi dan mengganggu irama langkah. Gehl
(1987) menyarankan apabila hal ini harus dilakukan, maka lebih baik
dimulai dengan langkah menurun daripada langkah menanjak.
Dengan begini paling tidak pedestrian diajak memulai perjalanan
dengan tidak usah mengeluarkan tenaga ekstra.

4. Kegiatan Berdiri
Kegitan berdiri meliputi beberapa hal sebagai berikut:

a. Tempat Untuk Berdiri

Pedestrian pada umumnya suka mengamati orang-orang lain, oleh


karena itu mereka cenderung memilih tempat yang terlindung dari
pandangan orang lain maupun arus pejalan kaki atau lalu lintas
kendaraan agar bisa secara aman melakukan pengamatan. Tempat
seperti ini biasanya ada di dekat street funiture atau tempat-tempat
teduh di sepanjang tembok bangunan.

b. Elemen Pendukung Untuk Berdiri

Secara umum pedestrian cenderung menyukai berdiri di dekat


elemen lingkungan seperti kolom, pohon, tiang lampu, dan
sebagainya. Hal ini dikarenakan orang tidak mau dirinya terekspose
seperti apabila mereka harus berdiri sendirian di tempat yang kosong
dan terbuka. Elemen-elemen tersebut mempunyai ruang “imaginary”
yang bisa melindunginya. Selain itu tempat yang disukai untuk
berdiri adalah yang terdapat elemen penyangga yang bisa digunakan
untuk bersandar, bertopang, dan sebagainya. Selain itu kebutuhan
fasilitas pejalan lain yang berdasarkan Direktorat Bina Teknik Kota
Direktorat Jenderal Bina Marga tahun 1995, fasilitas pejalan kaki
harus direncanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Pejalan kaki harus mencapai tujuan dengan jarak sedekat mungkin,


aman dari lalu lintas yang lain dan lancar.

2. Terjadinya kontinuitas fasilitas pejalan kaki yang menghubungkan


daerah yang satu dengan yang lain.

3. Apabila jalur pejalan kaki memotong arus lalu lintas yang lain
harus dilakukan pengaturan lalu lintas, baik dengan lampu pengatur
ataupun dengan marka penyeberangan, atau tempat penyeberangan
yang tidak sebidang. Jalur pejalan kaki yang memotong jalur lalu
lintas berupa penyeberangan (Zebra Cross), marka jalan dengan
lampu pengatur lalu lintas (Pelican Cross), jembatan penyeberangan
dan terowongan.

4. Fasilitas pejalan kaki harus dibuat pada ruas-ruas jalan di


pertokoan atau pada tempat-tempat dimana volume pejalan kaki
memenuh syarat atau ketentuan-ketentuan untuk pembuatan fasilitas
tersebut.

5. Jalur pejalan kaki sebaiknya ditempatkan sedemikian rupa pada


jalur lalu lintas yang lainnya, sehingga keamanan pejalan kaki lebih
terjamin.

6. Dilengkapi dengan rambu atau pelengkap jalan lainnya, sehingga


pejalan kaki leluasa untuk berjalan, terutama bagi pejalan kaki yang
tuna daksa.

7. Perencanaan jalur pejalan kaki dapat sejajar, tidak sejajar atau


memotong jalur lalu lintas yang ada.

8. Jalur pejalan kaki harus dibuat sedemikian rupa, sehingga apabila


hujan permukaannya tidak licin, tidak terjadi genangan air serta
disarankan untuk dilengkapi dengan pohon-pohon peneduh.

9. Untuk menjaga keamanan dan keleluasaan pejalan kaki, harus


dipasang kerbjalan sehingga fasilitas pejalan kaki lebih tinggi dar
permukaan jalan.

Adapun fasilitas pejalan kaki dapat dipasang dengan kriteria


sebagai berikut:
1. Fasilitas pejalan kaki harus dipasang pada lokasi-lokasi dimana
pemasangan fasilitas tersebut memberikan manfaat yang maksimal,
baik dari segi keamanan, kenyamanan ataupun kelancaran perjalanan
bagi pemakainya.

2. Tingkat kepadatan pejalan kaki, atau jumlah konflik dengan


kendaraan dan jumlah kecelakaan harus digunakan sebagai factor
dasar dalam pemilihan fasilitas pejalan kaki yang memadai.

3. Pada lokasi-lokasi/kawasan yang terdapat sarana dan prasarana


umum.

4. Fasilitas pejalan kaki dapat ditempatkan disepanjang jalan atau


pada suatu kawasan yang akan mengakibatkan pertumbuhan pejalan
kaki dan biasanya diikuti oleh peningkatan arus lalu lintas serta
memenuhi syarat- syarat atau ketentuan-ketentuan untuk pembuatan
fasilitas tersebut. Tempat-tempat tersebut antara lain:

a. Daerah-daerah industri.
b. Pusat perbelanjaan
c. Pusat pertokoan
d. Sekolah
e. Terminal bus
f. Perumahan
g. Pusat hiburan

5. Fasilitas pejalan kaki yang formal terdiri dari beberapa jenis


sebagai berikut:

1) Jalur Pejalan Kaki yang terdiri dari:

A. Trotoar
B. Penyeberangan
 Jembatan Penyeberangan
 Zebra Cross
 Pelican Cross
 Terowongan

C. Non Trotoar

2) Pelengkap Jalur Pejalan Kaki yang terdiri dari:

A. Lapak Tunggu
B. Rambu
C. Marka
D. Lampu Lalu Lintas
E. Bangunan Pelengkap

2.2 Pejalan Kaki

Pejalan kaki merupakan orang atau sekelompok orang yang melakukan


pergerakan dengan berjalan kaki (termasuk pengguna kursi roda) dengan
menggunakan jalur khusus seperti trotoar, selasar, maupun bagian dari badan jalan.

Dirjen Perhubungan Darat (1999 : 205) menyatakan bahwa pejalan kaki adalah
suatu bentuk transportasi yang penting di daerah perkotaan. Pejalan kaki merupakan
kegiatan yang cukup esensial dari sistem angkutan dan harus mendapatkan tempat
yang selayaknya. Pejalan kaki pada dasarnya lemah, mereka terdiri dari anak-anak,
orang tua, dan masyarakat yang berpenghasilan rata-rata kecil.

Perjalanan dengan angkutan umum selalu diawali dan diakhiri dengan berjalan
kaki. Apabila fasiliats pejalan kaki tidak disediakan dengan baik, maka masyarakat
akan kurang berminat menggunakan angkutan umum. Hal yang perlu diperhatikan
dalam masalah fasilitas adalah kenyamanan dan keselamatan, serta harus diingat
bahwa para pejalan kaki bukan masyarakat kelas dua.

Pejalan kaki sering dijumpai, baik hanya untuk jalan-jalan maupun untuk suatu
kebutuhan dengan pertimbangan untuk menghemat biaya transportasi ataupun
pertimbangan jarak yang dekat. Pejalan kaki mempunyai hak untuk mendapatkan
kenyamanan menggunakan jalan, sesuai dengan PP No. 43 Tahun 1993 Tahun 1993
Bab 1 Pasal 2 Ayat 11, yang menyatakan bahwa hak utama adalah untuk
didahulukan sewaktu menggunakan jalan. Oleh karena itu pemerintah membuat
prasarana jalan untuk kendaraan bermotor maupun pejalan kaki.

Menurut Dirjen Perhubungan Darat (1999:1) pejalan kaki adalah bentuk


transportasi yang penting di perkotaan. Pejalan kaki terdiri dari:

a.Mereka yang keluar dari tempat parkir mobil menuju tempat tujuan

b. Mereka yang menuju atau turun dari angkutan umum sebaghian besar
masih memerlukan kegiatan berjalan kaki

c. Mereka yang melakukan perjalanan kurang dari 1 kilometer (km),


sebagian besar dilakukan dengan berjalan kaki

Melihat pentingnya sarana untuk pejalan kaki, maka perlu disediakan fasilitas
untuk keselamatan pejalan kaki. Karena adanya hubungan yang erat ataupun
konflik antara pejalan kaki dengan kendaraan bermotor, maka fasilitas yang
diberikan kepada pejalan kaki terletak di pinggir jalur jalan kendaraan.
Secara umum pejalan kaki memiliki karakter:

a. Berada pada sisi jalan dengan jalur tertentu.

b. Pejalan kaki secara perorangan atau berkelompok.

c. Pejalan kaki bergerak dengan cepat pada jam-jam puncak kegiatan,


akan tetapi menjadi pergerakan perlahan cenderung santai pada obyek
wisata atau suasana rileks.

d. Pria umumnya berjalan lebih cepat dari wanita.

e. Pada kondisi memungkinkan pejalan kaki akan menggunakan jalur


pintas.

f. Pejalan kaki yang membawa barang bawaan akan memiliki


keterbatasan dalam pergerakannya.

Pola perjalanan atau pergerakan adalah macam/aneka ragam perjalanan yang


dilakukan pejalan kaki dalam melakukan aktivitas sehari-hari misalnya ke sekolah,
ke tempat belanja, kantor dan lain-lain. Pemilihan rute, moda/jenis angkutan,
kepentingan perjalanan juga mempengaruhi pola perjalanan penduduk.

Jarak tempuh pejalan kaki terkait dengan waktu berlangsungnya aktifitas pejalan
kaki. Jarak tempuh juga terkait dengan kenikmatan berjalan antara lain dengan
penyediaan area berjalan kaki yang berkualitas. Juga terkait dengan cuaca. Cuaca
semakin buruk memperpendek jarak tempuh. Orang enggan berjalan pada ruang
terbuka, terkait waktu siang atau malam hari juga berpengaruh. Dalam suasana
normal, pejalan kaki masih nyaman bergerak pada jarak:

a. Jarak kurang dari 300 meter merupakan jarak yang cukup mudah
dicapai dan menyenangkan.

b. Jarak lebih dari 450 meter pada cuaca tertentu dan suasana
arsitektur.

c. Jarak diatas 450 meter , orang lebih suka menggunakan kendaraan.

Dalam model pemilihan rute pejalan kaki sangat diperlukan untuk mengetahui
faktor-faktor yang terdapat didalamnya. Proses pemilihan rute bertujuan memodel
perilaku pelaku pergerakan dalam memilih rute yang menurut pemakai jalan
merupakan rute terbaiknya. Proses pemilihan rute atau Trip Assignment adalah
pergerakan antara dua zona yang didapat dari tahap sebaran pergerakan untuk moda
tertentu yang didapat dari pemilihan mode dibebankan ke rute tertentu yang terdiri
dari ruas jaringan jalan tertentu.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemilihan rute adalah sebagai berikut:

a. Faktor Tata Guna Lahan


Dalam proses pemilihan rute, kondisi tata guna lahan akan sangat berpengaruh
dalam menentukan potensi besaran atau jumlah orang yang akan pergi ke suatu
zona ataupun yang berasal dari suatu zona.

b. Faktor Perilaku Pengguna Jaringan Jalan

Perilaku pengguna jaringan jalan adalah perilaku umum orang pada saat yang
bersangkutan menggunakan jaringan jalan (berupa memilih rute perjalanan) dalam
melakukan perjalanannya dari tempat asal dari tempat tujuan. Perilaku orang dalam
memilih rute akan sangat tergantung dari persepsi yang bersangkutan tentang
perjalanan itu sendiri, yaitu perjalanan tersebut harus mudah dan menyenangkan.

c. Faktor Struktur Jaringan Jalan

Struktur jaringan jalan adalah tata letak ataupun konfigurasi ruas-ruas jalan dalam
membentuk jaringan. Makin banyak ruas yang ada untuk membentuk jaringan maka
makin komplek struktur jaringan jalan. Bagi pengguna jalan faktor struktur jaringan
jalan sangat mempengaruhi perilaku rute. Makin besar ataupun makin rumit
struktur jaringan maka berarti makin banyak pula alternatif rute yang tersedia bagi
pemenuhan perjalannya. Hal ini berarti bahwa perjalanan akan lebih tersebar di
banyak ruas, yaitu arus lalu lintas akan tersebar atau arus yang timbul pada masing-
masing ruas akan kecil. Demikian juga sebaliknya.

d. Faktor Kondisi Fisik Ruas Jalan

Kondisi ruas jalan adalah kondisi fisik objektif dari ruas yang bersangkutan,
terutama ditinjau dari seberapa mudah suatu ruas dilewati oleh pengguna jalan
seperyi kondisi permukaan jalan.

2.3 Aktivitas di Jalur Pejalan Kaki

2.1.5 Aktivitas di Jalur Pedestrian


Manurut Rapoport (1977), aktivitas yang termasuk berjalan kaki mengandung 4
(empat) komponen, yakni :
 Aktivitas yang sebenarnya, misalnya berjalan di jalur pedestriaan, makan di rumah
 Cara melakukan, misalnya berjalan di jalur pedestriaan, makan dirumah
 Aktivitas tambahan, yakni terkait dan merupakan bagian dari satu kesatuaan
dalam sistem aktivitas, misalnya berjalan sambil melihat-lihat etalase toko.
 Makna dari aktivitas tersebut, misalnya untuk menghayati lingkungan.
Klasifikasikan aktivitas di jalur pejalan kaki menurut Rapoport (1977), sebagai
berikut :
1. Aktivitas pedestriaan
 Dinamis : melakukan aktivitas berjalan kaki
 Statis : yakni duduk, berdiri, bersandar, makan,
bermain Aktivitas pedestrian lain yang diperbolehkan
adalah :

 Aktivitas pedestrian lain yang diperbolehkan adalah


:
 Interaksi Sosial
Aktivitas sosial antar pengguna kawasan, seperti : berbincang-bincang,
mendengarkan, memperhatikan, duduk, makan minum.
 Sirkulasi bagi Difabel
Aktivitas sirkulasi para penyandang cacat dari satu tempat ke tempat lainnya.
Hal ini berarti bahwa, jalur pedestriaan bukan hanya sekedar sebagai salah satu ruang
sirkulasi dan transportsi, tetapi lebih dari itu juga berfungsi sebagai ruang interaksi
masyarakat dengan sistem trasnportasi jalan raya dan transportasi di jalur pejalan kaki,
yang dapat berhubungan dengan moda dan alat tranportasi lainya.
2. Aktivitas lain di jalur pedestriaan : Segala bentuk aktivitas yang terdapat di jalur
pedestrian.
 Parkir
Menurut Warpani (1990), parkir adalah menghentikan kendaraan di suatu tempat
yang bersifat sementara atau cukup lama.
 Pedagang Kaki Lima.
Menurut McGee dan Yeung (1977), PKL mempunyai pengertian sebagai orang-orang
yang menjajakan barang dan jasa untuk dijual di tempat yang merupakan ruang
untuk kepentingan umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar.

Jalur pejalan kaki merupakan bagian dari sistem sirkulasi perkotaan secara
keseluruhan yang sekaligus merupakan elemen penting dalam perancangan kota.
Adanya jalur pedestrian membuat kota tidak hanya berorientasi pada keindahan
semata, karena kenyamanan merupakan pertimbangan utama dalam perencanaan
jalur pejalan kaki. Di dalam jalur pejalan kaki tidak hanya aktivitas para pejalan
kaki yang ditemukan tetapi terdapat aktivitas-aktivitas lain, yaitu:

a. Pedagang Kaki Lima

Secara umum pedagang kaki lima (PKL) adalah orang-orang yang berdagang
sebagai kelompok golongan ekonomi lemah, yang berjualan barang kebutuhan
sehari-hari, dengan modal yang relatif kecil, yang berjualan di tepi jalan yang
lebarnya lima kaki. Lokasi yang dipilih umumnya adalah trotoar, depan toko atau
berkelompok pada pusat kegiatan tertentu.

Karakter pedagang kaki lima (PKL) memiliki cirri sebagai berikut:

1. Pedagang dapat menetap maupun berpindah-pindah

2. Sebagian pedagang juga berfungsi sebagai produsen.

3. Menggunakan perlengkapan yang sederhana, seperti: pikulan, kereta dorong,


stand yang tidak permanen serta bongkar pasang, maupun dengan menggelar
barang dagangan.

4. Modal relatif kecil terkadang juga merupakan hasil pinjaman atau sekedar
tenaga penjual.

5. Tidak memiliki standar kualifikasi barang.

6. Skala usaha kecilsering membentuk usaha keluarga.

7. Barang yang diperjual belikan bias berupa barang baru maupun barang bekas,
dan dalam pelaksanaan perdagangan berciri tradisional diikuti tawar menawar
harga.

8. Pada kondisi tertentu sering menggunakan fasilitas umum sehingga rawan


terkena penertiban.

c. Penggunaan Lahan Parkir

Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat
sementara (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996). Fasilitas lahan parkir
dibangun berasamaan dengan pembangunan gedung untuk memfasilitasi
kendaraan pengguna gedung. Pemilihan lahan parkir yang dibuat menurut
penempatannya dikelompokkan sebagai berikut:

1. Parkir di badan jalan (On street parking)


Tempat yang biasanya paling jelas dan biasanya paling cocok bagi pengemudi
kendaraan bermotor untuk memarkirkan kendaraannya ialah di tepi jalan, akan
tetapi parkir seperti ini mempunyai banyak kerugian, pertama arus lalu lintas
sepanjang jalan menjadi terhambat yang akhirnya menimbulkan kemacetan dan
kelambatan pada seluruh kendaraan. Pada kondisi parkir yang berhimpit akan
lebih terlihat penurunan kelancaran lalu lintasnya. Parkir di jalan juga
mengakibatkan peningkatan jumlah kecelakaan akibat gerakan membuka pintu
mobil, tingkah pengendara sepeda motor yang tidak menentu, dan pejalan kaki
yang muncul diantara kendaraan parkir. Penggunaan jalur pejalan kaki sebagai
lahan parkir juga sering terjadi akibat badan jalan yg tidak dapat menampung
kendaraan bermotor yang parkir.

2. Parkir di luar badan jalan (Off street parking)

Dikebanyakan kawasan pusat kota, parkir di pinggir jalan sangat dibatasi


sehingga diperlukan penyediaan fasilitas di luar daerah jalan. Ada beberapa
klasifikasi parkir di luar daerah jalan yaitu, pelataran parkir dipermukaan tanah,
garasi bertingkat, garasi bawah tanah, gabungan, garasi mekanis dan drive in
(F.D. Hoobs, 1995). Pedoman perencanaan untuk parkir off street didasarkan
pada ukuran kendaraan rencana, luas lahan parkir, kapasitas parkir, serta tata
letak kendaraan untuk memudahkan kendaraan masuk dan keluar parkir.

2.4 Review Penelitian Terdahulu


Berikut ini merupakan beberapa penelitian yang dapat dijadikan sebagai pembanding
antara penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya.
Tabel 2.1 Review Penelitian Terdahulu
Judul Penelitian Peneliti Tujuan Peneliti Metode Lokasi Penelitian
Penelitian
Pola Spasial Reza Fauzi, Dr. Mengetahui Metode Jln. Jenderal
Pemanfaatan Jalur Ir. Dermawati, pengaruh Deskriptif Sudirman, Jakarta
Pejalan Kaki Oleh MTA, dan Dr. keberadaan kuantitatif
Kegiatan Sektor Ir. Nurhikmah pedagang kaki  
Informal Budi H, MT  lima terhadap
kualitas jalur
pejalan kaki, dan
mengidentifikasi
pola dan waktu
penyebaran
kegiatan sektor
informal pada area
jalur pejalan kaki.
Tingkat Andi Purnomo Mengidentifikasi Metode Kota Semarang
Kenyamanan Jalur dan Moch keramaian yang Deskriptif
Pedestrian Di Fathoni timbul akibat kuantitatif
Kawasan Simpang Setiawan keberadaan
Lima Kota pedagang kaki
Semarang lima terkadang
Berdasarkan membuat
Persepsi Pengguna beberapa orang
merasa kurang
nyaman untuk
melaluinya.
Kajian Anggar Pratitis Mengkaji Kombinasi Jalan Pahlawan,
Perkembangan fenomena kuantitatif dan Semarang
Aktivitas Sosial perkembangan kualitatif
Dan Rekreasi Di aktivitas sosial
Jalur Pedestrian dan rekreasi di
jalur pedestrian
dengan melihat
hubungan yang
ditimbulkan
antara aktivitas
dan ruang.
Sumber: Hasil Analisis, 2021

2.5 Kerangka Berpikir

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir


Terdapat kegiatan informal di pedestrian Jalan Bulungan
Latar Belakang Blok M menyebabkan ketidakefektifan jalur fungsi
pedestrian

Rumusan Masalah 1. Bagaimana kondisi fisik jalur pedestrian di kawasan Jalan Bulungan
Blok M?
2. Apa saja kegiatan informal yang terdapat di jalur pedestrian Jalan
Bulungan Blok M?
3. Bagaimana kepuasan pejalan kaki terhadap kegiatan informal yang
terdapat di jalur pedestrian Jalan Bulungan Blok M?

Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi kondisi fisik jalur pedestrian pada ruas Jalan Bulungan
Blok M
2. Mengidentifikasi kegiatan informal yang tedapat di jalur pedestrian Jalan
Bulungan Blok M
3. Menganalisis tingkat kepuasan pejalan kaki terhadap kegiatan informal
yang terdapat di jalur pedestrian Jalan Bulungan Blok M

Proses Analisa
Analisa yang digunakan dalam mencapai tujuan studi adalah dengan
menganalisa kondisi pedestrian serta menganalisis tingkat kepuasan pejalan
kaki terhadap kegiatan informal yang terdapat di jalur pedestrian Jalan
Bulungan Blok M

Memberikan gambaran dan kajian sistematis mengenai persepsi pejalan kaki


Hasil terhadap kualitas jalur pedestrian serta kegiatan di dalamnya, yang nantinya
dapat digunakan sebagai referensi dalam upaya perencanaan dan
datang.

Sumber: Hasil Analisis, 2021

2.6 Kerangka Konsep


Gambar 2.3 Kerangka Konsep
Jalur Pedestrian

Fisik Non Fisik

Fasilitas
Fasilitas Utama Citra/Visual
Pendukung

Material
Vegetasi Aksesibilitas
Pedestrian

Lampu Keamanan
Halte
Penerangan Pejalan Kaki

Aktivitas
Ramp Tempat Duduk
Informal

Pagar
Guiding Block
Pengaman

Tempat Sampah

Marka, Rambu,
Signage

Sumber: Hasil Analisis, 2021

Anda mungkin juga menyukai