Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jakarta ialah kota metropolitan terbesar di Indonesia. Sebagai kota

terbesar, Jakarta memiliki daya tarik bagi masyarakat untuk mencari

peruntungan. Banyaknya penduduk yang bermigrasi menjadikan

pertumbuhan Jakarta sangatlah pesat. Pesatnya pertumbuhan berakibat pada

timbulnya banyak permasalahan pemukiman. Permasalahan yang sering

kali dijumpai yaitu berkurangnya lahan sebagai tempat tinggal. Kemudian,

munculnya pemukiman kumuh di berbagai sudut kota. Berdasarkan data

Badan Statistik pada 2015 jumlah penduduk DKI Jakarta sebesar 10,18 juta.

Kepadatan penduduknya mencapai 15.663 jiwa/kilometer persegi, angka

tersebut naik 0,93% dari tahun sebelumnya dengan kepadatan 15.518

jiwa/kilometer persegi.
2

Berdasar data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, persentase

penduduk miskin pada September 2018 mencapai 3,55 persen. Tingkat

kemiskinan tersebut, mencakup sejumlah 372,26 ribu orang. Trisno

Nugroho Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia DKI Jakarta

menjelaskan tiga kota dengan kemiskinan tinggi di DKI Jakarta yaitu

Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat. Sekitar 12 persen atau

27 ribu penduduk Kepulauan Seribu dalam kemiskinan (dipetik dari

https://www.indopos.co.id/read/2018/12/07/157922/tiga-daerah-miskin-

ibu-kota/ diakses pada 25 Maret 2019 22:13).

Sebagai langkah penataan kota, Pemerintah Provinsi (Pemprov)

DKI Jakarta melakukan penggusuran terhadap masyarakat yang tinggal di

pemukiman kumuh. Keseriusan Pemprov Jakarta dalam melakukan

penataan kota dengan mencanangkan terbebas dari pemukiman kumuh pada

2019. Dengan itu, penggusuran pemukiman-pemukiman kumuh menjadi

solusi mencapai tujuan tersebut. Berdasar laporan Lembaga Bantuan

Hukum (LBH) Jakarta, 2015 telah terjadi 113 kasus penggusuran secara

paksa yang dilakukan Pemprov DKI. Penggusuran banyak terjadi di wilayah

Jakarta Utara dan Jakarta Timur, masing-masing 31 kasus. Kemudian

disusul Jakarta Pusat sejumlah 23 kasus, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan

dengan masing-masing 14 kasus. Sepanjang Oktober 2017 hingga

September 2018 telah terjadi 71 titik penggusuran yang terdiri dari hunian

dan unit usaha.


3

Solusi utama Pemprov DKI bagi korban penggusuran penduduk di

pemukiman kumuh yaitu merelokasi ke rumah susun sederhana sewa

(rusunawa). Pembangunan rusunawa ialah salah satu upaya penyediaan

hunian yang layak bagi korban gusur dan kebakaran serta masyarakat

berpenghasilan rendah. Selain itu, hadirnya rusunawa sebagai solusi

mengatasi terbatasnya lahan di kota besar. Pembangunan rusunawa

dilakukan dengan tujuan meningkatkan kualitas lingkungan pemukiman

melalui peremajaan, pemugaran, dan relokasi. Lebih lanjut, pembangunan

rusunawa dinilai positif dalam mengurangi kekumuhan perkotaan.

Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,

rumah susun sederhana sewa adalah “bangunan gedung bertingkat yang

dibangun dalam satu lingkungan, merupakan satuan yang masing-masing

dapat dimiliki dan digunakan, terutama untuk tempat hunian yang

dilengkapi bagian bersama, di mana masyarakat dapat menyewa di lokasi

tersebut dengan masa waktu tertentu dari pengembang.” Rusunawa salah

satu program pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dengan mengurangi kekumuhan kota dan menciptakan hunian

yang layak.

Sebagaimana tujuan pembangunan rusunawa, dalam perencanaanya

harus diperhatikan secara meyeluruh. Pamungkas (2010), hal yang perlu

menjadi diperhatikan antara lain “latar belakang penghuni akan kebutuhan

tinggal di dalam lingkungan tersebut, kebutuhan dan kebiasaan fisik, sosial,

ekonomi serta kebiasaan perilaku penghuninya karena hal tersebut akan


4

mempengaruhi perilaku penghuni menciptakan lingkungan tinggal yang

nyaman atau tidak nyaman.”

Lebih lanjut, keterbatasan kemampuan pelayanan yang diberikan

pengelola rusunawa dalam memenuhi kebutuhan penghuninya juga akan

memengaruhi kondisi kepuasan tinggal penghuninya. Dengan itu, penghuni

harus melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Hasil adaptasi dari

perilaku penghuni tersebut akan membawa dampak terhadap kenyamanan

lingkungan tinggal unit hunian baik dampak yang baik maupun dampak

yang buruk (Pamungkas, 2010).

Relokasi masyarakat dari pemukiman kumuh ke rusunawa tidak

hanya membawa dampak positif. Banyak dari korban gurur yang

dipindahkan ke rusunawa kehilangan mata pencahariaanya. Hal tersebut

berakibat sulitnya korban gusur yang menghuni rusunawa kesulitan untuk

membayar uang sewa rusunawa hingga memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Seharusnya relokasi masyarakat ke rusunawa tidak hanya menyediakan

bangunan secara fisik saja. Tetapi juga memberikan solusi dan pengelolaan

penghuninya.

Pada 2016 LBH Jakarta melakukan penelitian kesejahteraan korban

gusur yang tinggal di rusunawa. Survei penelitian dilaksanakan terhadap

250 orang penghuni rusun dengan karakteristik kepala keluarga (orang yang

menjadi pencari nafkah utama di dalam keluarga, baik laki-laki ataupun

perempuan). Para informan merupakan korban penggusuran paksa sebelum

menjadi penghuni rusun. Berdasarkan hasil wawancara LBH terhadap para


5

korban penggusuran yang kini menjadi penghuni rusunawa di Jakarta,

ditemukan bahwa sebagian besar laki-laki di dalam keluarga kehilangan

pekerjaannya pasca penggusuran.

Banyak pula warga mengaku terpaksa bergantung kepada pasangan

perempuannya yang sebelumnya sebagian besar tidak bekerja, tetapi

sekarang bekerja demi untuk menutupi kebutuhan rumah tangga. Hasil

survei tersebut juga menunjukkan terdapat penurunan jumlah warga yang

bekerja tetap, yaitu pada angka 33,4 persen sebelum digusur menjadi 29,3

persen setelah menghuni rusun. Hal yang sama terjadi pada kelompok warga

pekerja tidak tetap yang semula berjumlah 58,4 persen menjadi 57,3 persen

(dipetik dari https://jakutnews.com/survei-lbh-korban-penggusuran-makin-

miskin-setelah-pindah-ke-rusun/ diakses pada 25 Maret 2019 22:19).

Selain itu, banyak penghuni rusunawa korban penggusuran yang

menunggak pembayaran berbulan-bulan. Kasus tersebut banyak dialami

warga gusuran Kampung Pulo yang tinggal di Rusun Jatinegara Barat.

Sedangkan masa sewa rusun sudah akan jatuh tempo, syarat untuk

mendapatkan Surat Perpanjangan Sewa adalah pelunasan tunggakan

sebelumnya. Masalahnya, banyak dari penghuni korban gusuran Kampung

Pulo merupakan masyarakat ekonomi rendah. Beberapa penghuni juga

mengaku lebih merasa bahagia saat tinggal di tempat sebelumnya (dipetik

darihttps://www.cnnindonesia.com/nasional/2017110108373520252612/w

arga-gusuran-tercekik-biaya-rusun-sepeninggal-ahok diakses pada 24 April

2019).
6

Setiap orang mengharapkan memiliki hunian yang nyaman dan

aman. Menurut Rapopport (2001), rumah memiliki tiga kualitas dimensi

yaitu: atribut yang terkait dengan lokasi, nilai intrinsik dari rumah dan nilai

ekstrinsik dari lingkungan sekitar. Konsep kesejahteraan menghuni

merupakan evaluasi kepuasan secara menyeluruh sisi kehidupan individu

tak terkecuali tempat tinggalnya (Hagerty & Veenhoven, 2003; Oswald,

1997). Menurut (Diener, Scollon, & Lucas, 2009) kesejahteraan dalam

menghuni ialah sebuah konsep yang luas, mencakup respon emosional,

kepuasan terhadap tempat, dan kepuasan hidup secara global. Ibem &

Amole (2013) dalam penelitiannya di rusunawa menyebutkan kesejateraan

menghuni atau yang disebut housing well-being dipengaruhi oleh kualitas

unit hunian, lokasi, layanan serta manajemen pengelola, dan karakteristik

sosial-ekonomi lingkungan. Dengan itu, kesejahteraan secara umum ialah

perasaan puas terhadap tempat tinggal secara lengkap dan menyeluruh.

Rusunawa sebaiknya memenuhi standar dan kriteria layak huni agar

tercipta keamanan dan kenyamanan bagi penghuninya, misalnya dari sisi

kesehatan, keamanan, cukup ruangan, dan cukup akses (Ettinger dalam

Widyawati, 2007). Pembangunan rusunawa bisa dikatakan berhasil apabila

penghuninya merasa puas tinggal di dalamnya dan bisa berkembang dalam

meningkatkan kondisi sosial ekonominya (Quality of Life).

Pamungkas (2010), penelitiannya tentang kepuasan tinggal

berdasarkan respon penghuni rusunawa Cokrodirjan Kota Yogyakarta

menunjukkan sarana prasarana yang tidak memadai berakibat turunnya


7

produktivitas penghuninnya. Kualitas hunian yang tidak sesuai dengan

harapan penghuninya berdampak pada perkembangan psikologis yang tidak

baik. Pemanfaatan fasilitas bersama yang tidak digunakan secara optimal

akan berdampak pada konflik sosial antar penghuni rusunawa. Kemudian,

pengelolaan rusunawa yang tidak memenuhi kepentingan penghuni

rusunawa berdampak pada ketidakpedulian penghuni rusunawa terhadap

aturan tinggal di rusunawa tersebut.

Kepuasan penghuni terhadap rumah tinggalnya didefinisikan

sebagai kondisi terpenuhinya seluruh harapan individu yang terkait dengan

rumah tinggalnya (Dekker, 2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi

tingkat kepuasan penghuni terhadap rusun yang ditinggali, menurut Morris

& Winter (dalam James III, 2007), merupakan hasil dari interaksi

karakteristik individual dengan karakteristik fisik rumah yang dihuninya.

Karakteristik personal suatu individu memunculkan harapan, harapan

tersebut bervariasi karena dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, pendidikan

dan struktur keluarga. Penghuni rusun kemudian membandingkan

harapannya dengan kondisi lingkungan fisik di mana mereka tinggal, seperti

luas bangunan, tipe bangunan, tarif sewa dan lama kontrak. Penelitian yang

sama juga dilakukan oleh Pamungkas (2010), bahwasannya respon

penghuni rusunawa selalu diikuti harapan-harapan untuk mendapatkan

kenyamanan tinggal di lingkungannya. Kenyamanan yang didapatkan dari

tinggal di rusunawa berdampak pada peningkatan kualitas hidup sebagai

bentuk kesejahteraan psikologis dalam menghuni. Apabila kondisi harapan


8

dengan kenyataan tidak sesuai, penghuni dapat mengalami defisit normatif.

Defisit normatif inilah yang mempengaruhi tingkat kepuasan dan dapat

meningkatkan kemungkinan untuk pindah ke lokasi lain (James III, 2008).

Hal tersebut menandakan belum munculnya kesejahteraan psikologis

penghuni dalam menghuni tempat tinggalnya.

Ketidakpuasan penghuni rusunawa terjadi di beberapa rusun. Salah

satu penelitian terkait rusunawa dilakukan Setiadi (2014) di lakukan di

rusunawa Cengkareng dan Kemayoran. Hasilnya terindikasi adanya

ketidakpuasan dalam beberapa aspek pengelolaan dua rusunawa tersebut.

Ketidakpuasan tersebut disebabkan beragam hal, seperti kebijakan kenaikan

tarif sewa, kualitas bangunan rusun yang tidak memenuhi standar, lokasi

rusun yang jauh dari tempat kerja kebanyakan penghuni, dan pemeliharan

oleh pengelola tidak optimal. Ketidakpuasan yang merupakan faktor

menuju kesejahteraan psikologis juga muncul di rumah susun sederhana

sewa di beberapa lokasi seperti, rusunawa Martubung Medan, rusunawa

Sleman-Yogyakarta.

Selain itu, hubungan dengan penghuni lainnya menjadi salah salah

satu indikator menuju kesejahteraan psikologis dalam menghuni. Sosial

kapital, relasi sosial atau menjadi bagian dari suatu komunitas, dan rasa

percaya pada penghuni lainnya mendorong munculnya kesejahteraan dalam

menghuni rusunawa (Herrukami, Sri, & Legowo, 2017 ). Selain itu, sosial

kapital, menjadi bagian dari suatu komunitas, dan rasa percaya akan

membantu penghuni untuk beradaptasi. Penelitian yang sama, Setiadi


9

(2015) menyebutkan bahwa kualitas hubungan dengan tetangga sesama

penghuni rusunawa memiliki korelasi yang kuat dengan kepuasan

menghuni.

Kehidupan bertetengga menjadi salah satu faktor menuju

kesejahteraan dalam menghuni di rusunawa. Kehidupan bertetangga yang

positif akan menggambarkan afeksi positif pada komunitas tinggalnya.

Varady (dalam Grzeskowiak dkk., 2006) juga menerangkan komunitas

dalam hunian yang memiliki afeksi negatif cenderung disebabkan karena

kepadatan yang tinggi. Campagna (2016) menunjukkan bahwa kepadatan

dan kualitas hunian menyebabkan tekanan pada penghuninya. Studi ini

semakin menguatkan temuan Douthitt, Macdonald, & Mullis (1992) yang

menyebutkan rumah sebagai salah satu faktor non-ekonomi menuju

kesejahteraan psikologis menghuni.

Bagi masyarakat korban relokasi, pemindahan ke rusunawa

merupakan masalah yang sulit. Pada awal masuk rusunawa membutuhkan

adaptasi, dari yang semula tinggal di rumah tapak pindah ke hunian vertikal.

Kemudian, banyak yang kehilangan mata pencahariaanya, sehingga harus

kembali memmulihkan ekonominya. Penghuni juga harus membangun lagi

hubungan sosial dengan penghuni lainnya yang berasal dari berbagai latar

belakang.

Menurut Lara dan Bakker (2012), mengukur kepuasan penghuni

tidaklah mudah dan sangat dinamis. Kepuasan penghuni sangat bergantung

pada latar belakang, pengalaman serta kebutuhan personal sang penghuni.


10

Lingkungan tempat tinggal akan memberikan kesejahteraan psikologis,

kesejahteraan sosial dan kesejahteraaan fisik karena meperlihatkan

bagaimana proses berfikir, merasakan, dana apa yang harus dilakukan

terhadap masalah yang ada di tempat tinggal. Banyaknya permasalahan

yang timbul dari tempat tinggal menunjukkan bahwa tempat tinggal

bukanlah diciptakan sekedar untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.

Akan tetapi, harus adanya upaya dari penghuninya dalam melanjutkan

kehidupannya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyadari pentingnya menggali

lebih dalam kesejahteraan psikologis dalam menghuni korban penggusuran

yang tinggal di rusunawa. Maka peneliti ingin melihat kesejahteraan

psikologis dalam menghuni pada korban penggususran yang tinggal di

rusunawa dengan judul “Kesejahteraan Psikologis Dalam Menghuni Pada

Korban Penggusuran Di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa)

Jakarta”

B. Rumusan Masalah

Beracuan latar belakang yang telah dipaparkan di atas dapat

dirumuskan permasalahan penelitian ini yaitu bagaimana kesejahteraan

psikologis dalam menghuni pada warga korban penggusuran di rumah susun

sederhana sewa (rusunawa) di daerah DKI Jakarta?


11

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan mengetahui kesejahteraan

psikologis dalam menguni pada warga korban penggusuran di rumah susun

sederhana sewa (rusunawa) di daerah DKI Jakarta.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis

dan praktis. Berdasarkan tujuan di atas diharapkan penelitian ini

memberikan manfaat teoritis dan praktis. Untuk manfaat teoritis, penelitian

ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap kajian psikologi.

Kemudian, manfaat praktis dari penelitian sebagai masukan pada

pemerintah untuk melibatkan pendapat masyarakat sebelum melakukan

penggusuran.
12

DAFTAR PUSTAKA

Campagna, G. (2016). Linking crowding, housing inadequacy, and perceived


housing stress. Journal of Environmental Psychology, 45, 252–266.
Dekker, Karien, Sjoerd De Vos, Sako Musterd, and Ronald Van Kempen. (2011).
“Residential Satisfaction in Housing Estate in European Cities.” Housing
Studies, from Science Direct @EBSCO.
Diener, E., Napa Scollon, C., & Lucas, R. E. (2009). The Evolving Concept of
Subjective Well-Being: The Multifaceted Nature of Happiness (pp. 67–100).
Douthitt, R. A., Macdonald, M., & Mullis, R. (1992). The relationship
between measures of subjective and economic well-being: A new look.
Social Indicators Research, 26(4), 407–422.
Grzeskowiak, M. S., Sirgy, M.J., Lee, D. J., & Claiborne, C. B. (2006). Housing
well-being: Developing and validating a measure. Social Indicators
Research, 79, 503-541.

Hagerty, M. R., & Veenhoven, R. (2003). Wealth and happiness revisited: Growing
national income does go with greater happiness. Social Indicators Research,
64, 1-27.

Herrukami, S. R., Sri, S., & Legowo, M. (2017 ). Social Capital and Subjective
Well-Being of Public Rental Apartement Occupants . Jurna Bina Praja ,
321-333.
Ibem, E. O., & Amole, D. (2013). Subjective life satisfaction in public housing in
urban areas of Ogun State, Nigeria. Cities, 35, 51–61.

James III, Russel N. (2007). “Multifamily Housing Characteristics and Tenant


Satisfaction.” Journal of Performance of Constructed Facilities@ASCE.

James III, Russel N. (2008). "Impact of Subsidized Rental Housing Characteristics


on Metropolitan Residential Satisfaction." Journal of Urban Planning and
Development @ASCE.

Laili Fuji Widyawati, (2007), Perubahan Kualitas Hidup Pasca Huni Penghuni
Rumah Susun Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakbar (Tesis) PWK
Undip.
13

Lara, T. dan Bekker, M. C. (2012). Resident satisfaction as a project quality


measure: the case of nova vida housing project, Angola. Journal of
Contemporary Management, 9, 364-381.

Pamungkas. (2010). Kriteria kepuasan tinggal berdasarkan respon penghuni


Rusunawa Cokrodirjan Kota Yogyakarta. (Tesis tidak diterbitkan). Program
Studi Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas
Diponegoro, Semarang.

Rapoport, A. (2001). Theory, culture and housing, housing. Theory and Society, 47,
145-165.

Setiadi, Harri A. 2014. "Persepsi Tingkat Kepuasan Penghuni Terhadap Atribut


Rumah Susun Sewa Kemayoran." Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum,
Volume 6 Nomor 1.

Setiadi, Harri, A. (2015). “Analisis Faktor Berpengaruh Terhadap Kepuasan


Penghuni Rumah Susun Sewa: Studi kasus Rumah Susun Sewa Kemayoran.
Jurnal Permukiman, Vol. 1 No. 1, 19-36.
14

Anda mungkin juga menyukai