Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Lahan pemukiman adalah lahan bagian permukaan bumi yang di huni manusia
meliputi segala sarana dan prasarana yang menjunang kehipuannya yang menjadi satu
kesatuan tempat tinggal yang bersangkutan. Dari deretan lima kebutuhan hidup manusia
pangan, sandang, permukiman, pendidikan dan kesehatan, nampak bahwa permukiman
menempati posisi yang sentral, dengan demikian peningkatan permukiman akan
meningkatkan pula kualitas hidup.
..............................................................Kota merupakan sebuah tempat atau wilayah yang identik dengan p
pendidikan.Selain itu,kota juga erat kaitannya dengan tingkat permukiman penduduknya yang
sangat padat (tinggi).Kota sebagai pusat kegiatan masyarakat menuntut para pelaku kegiatan
untuk bermukim di daerah perkotaan.Hal inilah yang menyebabkan permukiman penduduk di
daerah kota menjadi sangat padat.Sehingga mau tidak mau daerah permukiman penduduk di
perkotaan menjadi semakin berkembang pesat, baik itu secara vertikal maupun secara
horizontal.Perkembangan secara vertikal maksudnya ialah menyebabkan banyaknya
bangunan-bangunan permukiman penduduk yang sangat tinggi,baik itu berupa rumah susun
maupun apartemen.Sedangkan yang dimaksud perkembangan secara horizontal ialah
menyebabkan perubahan lahan-lahan pertanian menjadi lahan permukiman warga.
Konflik pemanfaatan lahan sebagian besar disebabkan oleh adanya pengalihfungsian
lahan.Kota yang semakin hari semakin padat penduduk dan permukimannya mendorong
masyarakat untuk mencari solusi dengan mencari lokasi lain di daerah luar
perkotaan,sehingga mengakibatkan terjadinya perluasan wilayah kota menuju ke pinggiran
kota.
Dalam hal ini konflik dapat mempengaruhi ketidak selarasan masyarakat satu dengan
masyarakat lain baik desa maupun kota, begitu juga antara individu dan masyarakat serta
keluarga. Secara tradisional, bagaimanapun, cara yang lebih disukai untuk mengatasi konflik
adalah melalui cara informal karena biasanya orang tidak memiliki uang untuk melibatkan
negara atau pihak lain.
Tata-kelola pemerintah yang kurang baik juga dapat memicu pertumbuhan permukiman
kumuh. Pemerintah seringkali tidak mengakui hak masyarakat miskin dan melibatkan mereka
dalam proses perencanaan. Hal ini justru mendukung pertumbuhan permukiman kumuh.
Respon pemerintah yang lamban dalam menanggapi urbanisasi juga memicu pertumbuhan
kumuh.
Urbanisasi membutuhkan perumahan yang terjangkau yang justru tidak mampu disediakan
pemerintah atau swasta. Karena ketidak tersediaan hunian terjangkau, masyarakat miskin
mencari peluang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya akan hunian dengan menempati
tanah dan membangun gubuknya, atau menyewa rumah petak yang ada tanpa mempedulikan
status tanahnya.
Dalam mengatasi lingkungan kumuh dapat dilaksanakan ola hidup bersih,jangan melakukan
pembuangan samah sembarangan, dan dengan melakukan pendekatan yang pernah dilakukan
didaerah Surabaya, Thailand dan negara lainnya.

B.Rumusan Masalah
1. Apa pengertian lahan pemukiman?

2. Bagaimana konflik pemanfaatan lahan pemukiman?

3. Bagaimana konflik yang terjadi di masyarakat?

4. Bagaimana akibat yang di timbulkan adanya konflik lahan pemukiman?

5. Bagaimana cara mengatasi konflik lahan pemukiman?

C.Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian lahan pemukiman.
2. Untuk mengetahui konflik pemanfaatan lahan pemukiman.
3. Untuk mengetahui konflik yang terjadi dalam masyarakat.
4. Untunk mengetahui akibat yang di timbulkan adanya koflik lahan pemukiman.
5. Untuk mengetahui cara mengatasi konflik lahan pemukiman.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Lahan Pemukiman
Pengertian dasar permukiman dalam UU No.1 tahun 2011 adalah bagian dari
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai
prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain
dikawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.
Permukiman merupakan suatu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Dari deretan lima kebutuhan hidup manusia pangan, sandang, permukiman,
pendidikan dan kesehatan, nampak bahwa permukiman menempati posisi yang sentral,
dengan demikian peningkatan permukiman akan meningkatkan pula kualitas hidup.
Saat ini manusia bermukim bukan sekedar sebagai tempat berteduh, namun lebih dari
itu mencakup rumah dan segala fasilitasnya seperti persediaan air minum, penerangan,
transportasi, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Pengertian ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Sumaatmadja (1988) sebagai berikut:
“Permukiman adalah bagian permukaan bumi yang dihuni manusia meliputi segala
sarana dan prasarana yang menunjang kehidupannya yang menjadi satu kesatuan dengan
tempat tinggal yang bersangkutan”.
Awal dibangunnya tempat tinggal semata-mata untuk memenuhi kebutuhan fisik,
selanjutnya pemilikan tempat tinggal berkemban fungsinya sebagai kebutuhan psikologis,
estetika, menandai status sosial, ekonomi dan sebagainya. Demikianlah makna
permukiman yang ada pada masyarakat pada saat ini.

B. Konflik Pemanfaatan Lahan Pemukiman


 Konflik didesa dan dikota
Kota merupakan sebuah tempat atau wilayah yang identik dengan pusat kegiatan
ekonomi dan pendidikan.Selain itu,kota juga erat kaitannya dengan tingkat permukiman
penduduknya yang sangat padat (tinggi).Kota sebagai pusat kegiatan masyarakat
menuntut para pelaku kegiatan untuk bermukim di daerah perkotaan.Hal inilah yang
menyebabkan permukiman penduduk di daerah kota menjadi sangat padat.Sehingga mau
tidak mau daerah permukiman penduduk di perkotaan menjadi semakin berkembang
pesat, baik itu secara vertikal maupun secara horizontal.Perkembangan secara vertikal
maksudnya ialah menyebabkan banyaknya bangunan-bangunan permukiman penduduk
yang sangat tinggi,baik itu berupa rumah susun maupun apartemen.Sedangkan yang
dimaksud perkembangan secara horizontal ialah menyebabkan perubahan lahan-lahan
pertanian menjadi lahan permukiman warga.
Konflik pemanfaatan lahan sebagian besar disebabkan oleh adanya pengalihfungsian
lahan.Kota yang semakin hari semakin padat penduduk dan permukimannya mendorong
masyarakat untuk mencari solusi dengan mencari lokasi lain di daerah luar
perkotaan,sehingga mengakibatkan terjadinya perluasan wilayah kota menuju ke
pinggiran kota.
      Akibat dari padatnya permukiman penduduk di daerah kota,menyebabkan banyaknya
muncul pengembangan perumahan menuju ke daerah pinggiran kota atau wilayah
pedesaan.Namun seringkali pengembangan lahan permukiman di wilayah pedesaan
tersebut justru menimbulkan konflik,baik itu berupa konflik sosial maupun konflik
lingkungan.Menurut seorang ahli yang bernama Risyanto (2003) terdapat tujuh (7) faktor
yang memicu berkembangnya permukiman penduduk di daerah pinggiran kota,yakni
faktor demografi (kepadatan penduduk),aksesibilitas lokasi,ketersediaan lahan
terbuka,harga tanah,kelengkapan fasilitas sosial ekonomi,kondisi sosial ekonomi,dan
perkembangan pembangunan perumahan baru.Dan dengan berkembangnya permukiman
baru maka akan diikuti pula dengan muncul dan berkembangnya pusat-pusat bisnis
baru,seperti halnya pertokoan dan pasar swayalan.Semakin meluasnya permukiman
penduduk maka memicu pula berkembangnya warung makan,pedagang eceran,dan
penjual jasa lainnya.Dengan kondisi yang demikian maka akan menimbulkan pula
dampak terhadap kehidupan penduduk dan kualitas lingkungan,baik itu dari segi
fisik,biotik,maupun dari segi sosial ekonomi.
Menurut seorang tokoh ahli yang bernama Lestari (2009) beliau menuturkan defisini
alih fungsi lahan atau yang lazimnya disebut konversi lahan.Konversi lahan adalah
perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti
yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap
lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.Alih fungsi lahan ini juga diartikan sebagai
perubahan untuk penggunaan lain yang disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis
besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin hari
semakin bertambah jumlahnya meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih
baik.
       Kebutuhan lahan untuk kegiatan berupa nonpertanian akan cenderung terus
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur
perekonomian.Alih fungsi lahan pertanian sangat sulit untuk dihindari akibat dari
kecendrungan tersebut.Beberapa contoh kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi
pengalihfungsian lahan,maka dalam waktu yang tidak lama lahan sekitarnya juga akan
beralih fungsi secara progresif (maju).Menurut seorang tokoh ahli yang bernama Irawan
dalam Irsalina (2009) beliau menjelaskan bahwasanya pengalihfungsian lahan secara
progresif disebabkan oleh dua (2) faktor yakni yang pertama sejalan dengan
pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan,maka
aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk diadakannya
pengembangan industri dan permukiman.Hal tersebut kemudian mendorong
meningkatnya jumlahnya permintaan lahan oleh investor lain,sehingga harga lahan di
sekitarnya kemudian meningkat.Faktor kedua yakni peningkatang harga selanjutnya
dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan.Menurut seorang ahli
yang bernama Winoto dalam Irsalina,beliau menuturkan bahwasanya lahan pertanianlah
yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah.Hal tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor sebagai berikut.
1)    Daerah persawahan terdapat banyak lokasinya yang berdekatan dengan daerah
perkotaan.
2)    Kepadatan penduduk di daerah desa yang memiliki agroekosistem dominan sawah
pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan agroekosistem lahan
kering,sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi.
3)    Pembangunan prasarana dan sarana permukiman dan lahan industri cenderung
berlangsung cepat di wilayah dengan topografi datar,dimana pada wilayah dengan
topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya di dominasi oleh
persawahan.
4)    Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya.Infrastruktur wilayah persawahan
pada umumnya jauh lebih baik daripada wilayah lahan kering.
Konflik di perkotaan yang disebabkan oleh banyak factor ada beberapa yaitu : 
• Heterogenitas etnis, budaya dan agama dari pemukim perkotaan sering membuat
mereka bersaing secara agresif untuk sumber daya yang memadai di kota-kota.
• Kemiskinan di kalangan penduduk kota yang sering menyebabkan tingginya tingkat
kejahatan perkotaan dan kenakalan.
• Orang yang berasal dari status sosial yang kurang beruntung, seringkali rentan terhadap
pelecehan dan penangkapan oleh polisi.

 Konflik Lingkungan Kumuh


Menurut definisi UN-Habitat, rumah tangga dalam permukiman kumuh (slum
household) adalah kelompok individu yang tinggal di bawah satu atap di daerah
perkotaan yang tidak mempunyai salah satu dari indikator berikut:
1. Rumah yang kokoh, yang dapat melindungi penghuninya dari kondisi cuaca yang
ekstrim
2. Ruang huni yang cukup, yang berarti tidak lebih dari 3 orang menghuni 1 ruang
bersama
3. Akses yang mudah ke air bersih (aman) dalam jumlah yang cukup dan harga yang
terjangkau,
4. Akses ke sanitasi yang memadai, dalam bentuk toilet pribadi atau MCK bersama
5. Kepastian atau rasa aman bermukim (secure tenure), yang dapat melindungi
penghuninya dari penggusuran paksa.
Permukiman kumuh bukan fenomena baru. Beberapa istilah permukiman kumuh di
negara lain adalah barios (Venezuela), favela (Brazil), katchi abadi (Pakistan), basti
(Bangladesh), kampung kumuh (Indonesia), skidrow (UK), ghetto (USA), shanty town.
Banyak permukiman kumuh mempunyai sejarah panjang di kota-kota dunia, terutama
pada tahun-tahun
awal terjadinya urbanisasi dan industrialiasi dimana terjadi migrasi besar-besaran
penduduk desa ke kota. Permukiman kumuh adalah salah satu cara masyarakat miskin
mengatasi persoalan perumahan yang terjangkau.
Dari pengamatannya di beberapa negara di Amerika Latin di tahun 1960-an, John
Turner menyebutkan permukiman ini sebagai permukiman mandiri (autonomous
settlement), dimana pemecahan masalah dilakukan oleh masyarakat sendiri sesuai
kemampuan mereka sendiri (Turner 1976). Ada dua alasan mengapa permukiman kumuh
tetap berkembang:
1. Pertumbuhan Penduduk
Tingkat pertumbuhan penduduk dunia di perkotaan semakin tinggi. Pertumbuhan ini
dapat berasal melalui migrasi dari perdesan ke perkotaan, migrasi antar kota, maupun
pertumbuhan penduduk alami. Beberapa faktor terjadinya mirgasi ke kota adalah karena
faktor dorong dan tarik. Faktor dorong misalnya terjadinya bencana alam atau perubahan
ekologi yang mengakibatkan berkurangnya peluang kerja, sedangkan faktor tarik ke kota
karena adanya peluang kerja lebih baik, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang baik.
Penghasilan yang rendah dari bidang pertanian merupakan faktor lain yang
menyebabkan migrasi ke kota. Perubahan iklim yang terjadi sekarang ini sangat
mempengaruhi masa dan hasil panen. Banyak petani terlilit hutang dan kehilangan tanah,
serta terpaksa mencari lapangan kerja lain di kota.
Migrasi ke kota juga merupakan strategi hidup masyarakat perdesaan. Seringkali
migrasi terjadi secara temporer dan rutin, di mana masyarakat desa pergi ke kota dan
mencari peluang kerja dengan menjadi pedagang kaki lima atau berjualan di warung.
Setelah mengumpulkan sejumlah uang, mereka akan kembali ke desa.
2. Tata-kelola pemerintahan (governance)
Tata-kelola pemerintah yang kurang baik juga dapat memicu pertumbuhan
permukiman kumuh. Pemerintah seringkali tidak mengakui hak masyarakat miskin dan
melibatkan mereka dalam proses perencanaan. Hal ini justru mendukung pertumbuhan
permukiman kumuh. Respon pemerintah yang lamban dalam menanggapi urbanisasi juga
memicu pertumbuhan kumuh.
Urbanisasi membutuhkan perumahan yang terjangkau yang justru tidak mampu
disediakan pemerintah atau swasta. Karena ketidak tersediaan hunian terjangkau,
masyarakat miskin mencari peluang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya akan hunian
dengan menempati tanah dan membangun gubuknya, atau menyewa rumah petak yang
ada tanpa mempedulikan status tanahnya.
Sikap pemerintah terhadap urbanisasi bervariasi – ada yang membuat kebijakan ‘kota
tertutup’ (seperti Jakarta di tahun 1970-an), ada yang menggusur masyarakat miskin di
permukiman liar (masih terjadi di Indonesia), ada pula yang pasif dan cenderung
mendiamkan pertumbuhan permukiman spontan karena tidak mempunyai instrumen
untuk menanganinya.

C. Konflik yang Terjadi dalam Masyarakat


Konflik yang terjadi dimasyarakat dibedakan menjadi 3 macam, sebagai berikut:
1. Konflik Antarkelompok Sosial
Terjadinya mobilitas sosial di sebabkan oleh salah satu kelompok yang berusaha untuk
menguasai kelompok lain. Gejala ini antara lain tampak dari tuntunan baru dari suatu
kelompok sosial akan hak dan kewajibannya. Akibatnya terjadilah persaingan
antarkelompok sosial untuk merebut dominasi terhadap suatu kelompok sosial oleh
kelompok sosial lainnya. Akibatnya, stabilitas sosial goyah. Misalnya, terjadinya konflik
rasial. Pertentangan rasial itu bukan semata-mata disebabkan olehadanyan erbedaan ciri-
ciri badaniah, melainkan juga adanya bentrokan kepentingan sosial.
2. Konflik Antarkelas Sosial
Adanya mobilitas sosial menyebabkan masuknya individu-individu ke dalam kelas-
kelas tertentu. Hal ini berarti akan membawa perubahan dalam kelas-kelas, baik kelas
tingging, kelas menengah, maupun kelas rendah. Dengan adanya keadaan seperti itu,
keseimbangan dalam masyarakat terganggu. Gangguan keseimbangan itu berkaitan
dengan kepentingan individu atau kelompok sehubungan dengan adanya orang baru atau
kelompok baru dalam suatu kelas sosial. Kepentingan- kepentingan yang dimaksud
adalah daat berua kepentingan ekonomi, politik ataupun kepentingan sosial yang lain.
Contoh konflik kepentingan sosial ekonomi antarara pedagang dengan penduduk asli dan
konflik antar majikan dan buruh dalam suatu perusahaan. Ada umumnya buruh selalu
menghendaki adanya peningkatan kesejahteraan.
3. Konflik Antargenerasi
Adanya mobilitas sosial dapat menyebabkan pergeseran hubungan antargenerasi yang
satu dengan generasi yang lain. Akibatnya terjadilah suatu permasalahan, yang satu ingin
mempertahankan nilai lama, sedangkan yang lain ingin mengubahnya. Contoh dalam
rencana masuknya pendidikan seksualitas dalam pengajaran di sekolah. Rencana ini
menimbulkan perbedaan pendapat antargenerasi tua dan generasi muda.
Sebagai akibatnya adanya mobilitas sosial, maka terjadilah konflik yang dapat
mengancam stabilitas sosial, tetapi disisi lain konflik dapat membawa bentuk stabilitas
sosial. Konflik yang ditimbulkan mobilitas sosial dapat mendorong warga untuk
mengadakan penyesuaian terhadap perubaha-perubahan yang ada sehingga stabilitas
sosial daat ditegakkan. Misalnya, kalau ada individu atau kelompok yang sedang konflik
itu selesai, biasanya masing-masing akan mawas diri. Akhirnya, justru mereka saling
mengenal pribali masing-masing dan mereka masing-masing akan mengadakan
penyesuaian dan menjaga jangan sampai terjadi benturan.
Kota sebagai pusat kegiatan selalu berkembang, baik dalam perkembangan fungsi dan
peranannya maupun perkembangan fisik kotanya. Masalah-masalah yang timbul sebagai
akibat dari perkembangan kota meliputi masalah kependudukan, baik kuantitas maupun
kualitas, masalah sosial ekonomi, masalah lingkungan permukiman, masalah administrasi
pemerintahan, dan koordinasi pembangunan. Di samping itu, terjadi juga perkembangan
di bidang transportasi dan komunikasi. Jalan-jalan menjadi lebar dan jaringannya pun
menjadi lebih padat. Di bidang komunikasi terjadi perkembangan jumlah dan jangkauan
jaringan saluran telepon serta pemancar-pemancar radio dan televisi.
Konflik adalah pertentangan atau pertikaian akibat dari suatu hal yang.Dinamika
konflik-konflik ini dibedakan oleh dua situasi dan dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Sebagai contoh, di pedesaan telah banyak terjadi konflik perebutan lahan
perkebunan antara masyarakat desa satu dengan masyarakat desa yang lain. Selain di
pedesaan konflik juga sering terjadi di perkotaan seperti konflik karena harta kekayaan
keluarga, permasalahan kebutuhan dan lain-lain. Dalam hal ini konflik dapat
mempengaruhi ketidak selarasan masyarakat satu dengan masyarakat lain baik desa
maupun kota, begitu juga antara individu dan masyarakat serta keluarga. Secara
tradisional, bagaimanapun, cara yang lebih disukai untuk mengatasi konflik adalah
melalui cara informal karena biasanya orang tidak memiliki uang untuk melibatkan
negara atau pihak lain.
Namun, berbeda di daerah perkotaan di mana masyarakat terdiri dari orang-orang dari
budaya yang berbeda. Daerah perkotaan juga mendapat konsentrasi besar orang yang
mewakili kepentingan yang berbeda dan persaingan yang ketat untuk sumber
daya. Sejarah pertumbuhan kota-kota juga memaksakan mereka untuk konflik lebih
daripada di daerah pedesaan.Sebagai contoh, kolonialisme menyebabkan perkembangan
kota yang paling besar yang dimodelkan sesuai dengan kebutuhan pemerintah
kolonial. Untuk sebagian besar, daerah pedesaan ditinggalkan sendirian di mana mereka
tidak mengganggu kepentingan pemerintah kolonial. Adapula kasus tanah dan
penyediaan layanan karena pemukiman baik di pedesaan dan perkotaan terkena
dampak. Dampaknya adalah, bagaimanapun, sebagian besar di daerah perkotaan di mana
dalam kebanyakan kasus struktur yang ada hancur atau di mana struktur baru diciptakan.

D. Akibat yang di Timbulkan Adanya Konflik Lahan Pemukiman


Adapun beberapa dampak tersebut,antara lain adalah sebagai berikut.
1)    Muncul dan berkembangnya komunitas dadakan
Muncul dan berkembangnya komunitas dadakan maksudnya disini ialah munculnya
orang-orang baru dan permukiman baru di sekitar permukiman yang sudah ada,sehingga
menyebabkan ketidakteraturan dan menjadi padat.
2)    Meningkatnya pencemaran atau polusi
Meningkatnya pencemaran (polusi) maksudnya disini ialah meningkatnya tingkat
pencemaran baik itu pencemaran udara,air,tanah,dan lainnya seiring dengan pertumbuhan
permukiman pendudukyang tidak terkendali dan jumlah sampah yang dihasilkan semakin
banyak.
3)    Muncul dan berkembangnya daerah-daerah kumuh (slum area) di perkotaan
Munculnya dan berkembangnya daerah kumuh di wilayah perkotaan ini diakibatkan oleh
ketidakmampuan penduduk membeli tanah dengan harga yang sangat mahal.
4)    Menghilangnya lahan pertanian yang subur
Menghilangnya lahan pertanian yang subur ini disebabkan oleh karena terjadinya alih
fungsi lahan dari lahan berkualitas baik dan produktif menjadi lahan permukiman.
5)    Menyebabkan meningkatnya kriminalitas
Tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi sebagai akibat dari pertumbuhan
permukiman mendorong terjadinya kriminalitas dan tindak kejahatan.
6)    Meluasnya wilayah permukiman ke daerah pinggiran kota
Dengan meluasnya wilayah permukiman ke daerah pinggiran kota mengakibatkan
terjadinya kesenjangan kondisi sosial ekonomi penduduk,sehingga memunculkan
kecemburuan sosial.

E. Cara Mengatasi Konflik Lahan Pemukiman.


Manfaat peningkatan permukiman kumuh untuk kota adalah:
- Meniningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kota termasuk mengatasi masalah
illegalitas, hambatan mengakses jasa pelayanan kota, akses ke kredit dan perlindungan
sosial bagi kelompok masyarakat rentan.
- Mendorong pengembangan ekonomi peningkatan permukiman kumuh dapat mendorong
sumberdaya ekonomi yang ada.
- Menjawab isu kota tentang penurunan kualitas lingkungan, peningkatan sanitas,
penarikan investasi dan menurunkan tingkat kejahatan.
- Meningkatan kualitas kehidupan. Peningkatan permukiman kumuh meningkatkan
kualitas kehidupan komunitas dan kota secara keseluruhan dengan memberikan kejelasan
status kewargakotaan, peningkatkan kualitas hidup, meningkatkan keamanan dan
kepastian tinggal.
- Meningkatkan penyediaan hunian bagi masyarakat miskin dengan keterlibatan
Masyarakat merupakan cara paling efektif karena dapat dilakukan dalam skala besar
dengan biaya rendah.
 Belajar dari Program Peningkatan Permukiman Kumuh Kampung Improvement
Program (KIP) –Indonesia
Program Kampung Improvement Program (KIP) dipelopori Indonesia di kota Jakarta
dan Surabaya pada tahun 1969 dan menjadi program nasional di kota-kota Indonesia
dengan dukungan Bank Dunia. Pada awalnya dilakukan secara top-down tapi dalam
perkembangannya semakin melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Di Jakarta lebih dari 500 kampung yang meliputi 3.8 juta penduduk diperbaiki melalui
KIP. Namun kritik utama terhadap KIP di Jakarta adalah lokasi yang sudah diperbaiki
justru menjadi sasaran pengembangan pusat bisnis. Harga tanah meningkat setelah KIP
dan menjadikan proyek pengembangan pusat bisnis menjadi sangat mahal.
Di Surabaya, program KIP berhasil dikembangkan menjadi KIP Komprehensif yang
melibatkan masyarakat melalui pendekatan Tri-Daya (sosial, ekonomi dan fisik
lingkungan) dan mengupayakan ijin bangunan dan sertifikasi tanah. Pemerintah Daerah
Surabaya bekerja sama dengan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS)
dalam pengembangan konsep dan program ini. Keterlibatan masyarakat diwujudkan
dalam bentuk pengorganisasian Dewan atau Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
koperasi untuk kredit mikro dan dana bergulir. Program KIP Surabaya berhasil
mendapat penghargaaan The Aga Khan Award for Architecture (1986), the UNEP Award
(1990), the Habitat Award (1991). Program KIP Surabaya banyak ditiru oleh kota dan
negara lain, seperti Pekalongan, Solo dan Thailand. Bahkan program di Thailand menjadi
lebih besar dan berhasil. Program KIP di Indonesia masih dilanjutkan di Surabaya. Di
tingkat nasional program semacam ini diadopsi dengan beragam nama tergantung
kemasan proyek dan donor misalnya Peningkatan Kualitas Kampung, Bedah Kampung,
NUSSP, P2KP dsb yang dilakukan oleh instansi penerima bantuan. Belum ada kebijakan-
strategi dan rencana aksi penanganan permukiman kumuh yang disepakati bersama
secara nasional.
Peran Pemerintah Daerah untuk program peningkatan kualitas permukiman kumuh
menjadi semakin besar setelah otonomi daerah. Beberapa kota berhasil melakukan
program peningkatan permukiman kumuh dengan pendekatan yang komprehensif dan
mensinergikan sumber daya yang ada misalnya Surabaya, Solo dan Pekalongan. Bahkan
kota Pekalongan dan Solo sudah pernah mendapatkan predikat ‘Good Practice’ dari
panitia Dubai Award for Best Practices in Improving the Living Environment tahun 2008.
 Program Baan Mankong – Thailand
Community Organizations Development Institute (CODI) adalah organisasi publik
independen yang dibentuk pemerintah Thailand (dibawah Kementerian Pembangunan
Sosial) pada tahun 2000 dengan menggabungkan Urban Community Development
Office (UDCO) dan Rural Development Fund (RDF).
Menurut Somsook Boonyabancha, Direktur Eksekutif CODI (2000-2009), CODI
justru belajar dari program KIP Indonesia dan mengembangkannya sesuai dengan
kebutuhan dan budaya masyarakat Thailand. Program Baan Mankong, yang berarti
‘secure housing’ atau perumahan aman, diluncurkan pada tahun 2003. Program ini
menempatkan komunitas dan jaringannya sebagai pusat dari proses pengembangan solusi
yang komprehensif untuk masalah tanah dan perumahan di kota-kota Thailand. Sistem
perencanaan konvensional yang top-down digantikan dengan pengelolaan program
berbasis masyarakat, di mana masyarakat menjadi pelaksana kegiatan yang mereka
rencanakan dan prakarsai, dengan dukungan dari sistem jaringan komunitas, LSM,
akademisi dan institusi pendidikan.
 Ada 5 strategi yang diterapkan dalam program Baan Mankong:
1) peningkatan permukiman kumuh yang disebut in-situ,
2) reblocking atau land readjustment,
3) land sharing di mana ada perjanjian sewa atau perjanjian pemanfaatan tanah antara
pemilik tanah dengan masyarakat,
4) rekonstruksi atau pembangunan kembali dan
5) relokasi. Untuk scaling-up proyek ini digunakan
 4 pendekatan yaitu:
- Proyek uji coba yang dapat menjadi percontohan dan dikunjungi mereka yang ingin
belajar dari pengalaman proyek tersebut,
- Pengembangan pusat pembelajaran di beberapa kota yang sudah berhasil melakukan
peningkatan kualitas permukiman kumuh,
- Peresmian proyek yang dapat dikunjungi dan dilihat banyak orang,
- Pertukaran pengalaman antar pelaku pembangunan permukiman kumuh Langkah ke
Depan.
Kelompok Kerja Permukiman Kumuh Indonesia untuk mendukung Asia Pacific
Ministerial Conference on Housing and Urban Development (APMCHUD) telah
mengidentifikasikan beberapa bidang yang perlu mendapat perhatian untuk peningkatan
permukiman kumuh, yaitu:
1. Pengembangan sektor informal dan bisnis mikro
2. Perkuatkan peran perempuan dan organisasi masyarakat dalam peningkatan
permukiman kumuh
3. Pengembangan kebijakan dan program berbasis komunitas
4. Peningkatan peran serta masyarakat dan pendekatan skala kota untuk penanganan
permukiman kumuh
5. Perkuatan sistem pembiayaan peningkatan permukiman kumuh Hasil Kelompok Kerja
merekomendasikan perlunya dukungan bagi Pemerintah Daerah yang melakukan
peningkatan kumuh skala kota, peningkatan peran Pemerintah sebagai ‘pemberdaya’
(enabler) dan perkuatan sistem peningkatan permukiman kumuh berbasis komunitas.
Di tingkat nasional perlu ada kebijakan strategi mengenai peningkatan permukiman
kumuh dan road-map bagaimana tujuan yang telah dicanangkan dalam RPJMN 2025
dapat dicapai. Mudah-mudahan dengan adanya Slum Alleviation Policy and Action Plan
(SAPOLA) yang didukung Cities Alliance di tahun 2011 dapat segera dirumuskan suatu
kebijakan dan rencana aksi yang disepakati bersama para pemangku kepentingan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Lahan pemukiman adalah lahan bagian permukaan bumi yang di huni manusia
meliputi segala sarana dan prasarana yang menjunang kehipuannya yang menjadi satu
kesatuan tempat tinggal yang bersangkutan. Oleh karena itu, terjadinya konflik lahan
pemukiman atas lingkungan kumuh, pengalihan fungsi kota dan desa.
Akibat dari padatnya permukiman penduduk di daerah kota,menyebabkan banyaknya
muncul pengembangan perumahan menuju ke daerah pinggiran kota atau wilayah
pedesaan.Namun seringkali pengembangan lahan permukiman di wilayah pedesaan
tersebut justru menimbulkan konflik,baik itu berupa konflik sosial maupun konflik
lingkungan.
Cara mengatasi berbagai konflik lahan pemukiman kota berhasil melakukan program
peningkatan permukiman kumuh dengan pendekatan yang komprehensif dan
mensinergikan sumber daya yang ada misalnya Surabaya, Solo dan Pekalongan. Bahkan
kota Pekalongan dan Solo sudah pernah mendapatkan predikat ‘Good Practice’ dari
panitia Dubai Award for Best Practices in Improving the Living Environment tahun 2008.

B. Saran

Sebaiknya masyarakat kota maupun desa lebih mementingkan kebersihan lingkungan,


lebih menjaga lahan pemukiman dengan baik sehingga tidak dapat menimbulkan hal yang
negatif. Konflik lahan pemukiman hanya menimbulkan masyarakat kurang perdulian
terhadap lingkungan. Somoga masyarakat mauun pembaca bisa menyadari hal adanya
konflik pemanfaatan lahan pemukiman.
DAFTAR PUSTAKA
Soegimo, Dibyo. 2007. Geografi untuk SMA Kelas XII. Jakarta :Widyadara.

Wardiyatmoko, K. 1999. Geografi SMU 2. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai