Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PERMUKIMAN KUMUH DAN LIAR


DOSEN PENGAMPU : Prof. Dr. H. Triyono, M.Pd

DI SUSUN OLEH :

RIKA AYU SEKAR SARI ( 2012200002 )

Program Studi PPKn

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

UNIVERSITAS WIDYA DHARMA


KLATEN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Permukiman kumuh dan liar" tepat waktu.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas dosen pada mata kuliah PKLH.
Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan
bagi pembaca tentang perkembangan peserta didik.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak selaku
dosen mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi
kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permukiman kumuh dan liar memang tumbuh pesat di kota-kota besar di


Indonesia, bahkan di Kota Metropolitan seperti Jakarta. Tidak terkecuali kota
besar nomor 4 di Indonesia, yang juga merasakan hal serupa, yaitu Kota
Medan. Gambar di bawah ini adalah beberapa contoh pemandangan yang dapat
dijumpai di Kota Medan.
Permukiman kumuh bukan hanya terdapat di daerah pinggiran kota, tetapi
dapat juga berada di tengah kota—yang disebut dengan kampung kota.
Permukiman kumuh ini disebut sebagai permukiman liar (ilegal) apabila
berada di bangunan-bangunan atau tanah-tanah milik negara yang bukan untuk
permukiman, seperti di pinggiran sungai, di bantaran rel kereta api, di bawah
jalan layang, di taman-taman kota dan lahan terbuka hijau lainnya.
Permukiman liar, secara umum didefinisikan sebagai suatu kawasan
permukiman yang terbangun pada lahan kosong “liar” di kota baik milik
swasta maupun pemerintah, tanpa hak yang legal terhadap lahan dan/atau izin
dari penguasa yang membangun, didiami oleh orang sangat miskin yang tidak
mempunyai akses terhadap pemilikan lahan tetap. Istilah permukiman liar
sesungguhnya dimulai sejak masa pembangunan yang diprakarsai negara
Barat, sekitar kehadiran tulisan Charles Abrams dan John Turner, terutama
sekali sekitar Konferensi Habitat tahun 1976 di Vancouver, Canada (Srinivas,
2007).
Sulitnya menangani masalah permukiman kumuh dan liar ini antara lain
disebabkan oleh, pertama, highrise building (bangunan tinggi) akan ditangani
oleh penghuni yang tergusur, memerlukan biaya besar, karena biaya yang
digunakan bukan hanya untuk membangun kamar tidur saja. Kedua,
peremajaan lingkungan kumuh, yang merupakan proyek yang besar (large
project). Harga harus dipertimbangkan dengan matang dan harus dipikirkan
masak-masak karena menyangkut banyak orang yang akan digusur atau
dimukimkan kembali. Ketiga, adanya dualisme antara peremajaan lingkungan
dengan penataan lingkungan. Penghuni rumah kumuh biasanya masih lebih
senang tinggal di rumah kumuhnya daripada di Rumah Susun Sewa
(Rusunawa). Keempat, banyak peremajaan lingkungan kumuh yang tidak
melalui survei sosial (social survei) tentang karakteristik penduduk yang akan
tergusur. Kelima, banyak peremajaan lingkungan kumuh yang kurang
memperhatikan kelengkapan lingkungan seperti taman, tempat terbuka, tempat
rekreasi, sampah, pemadam kebakaran dan tempat bermain anak. Karena hal
tersebut memerlukan biaya besar. Keenam, tenaga yang bergerak pada
program peremajaan lingkungan kumuh tidak profesional. Ketujuh,
penggusuran (squater clearance) sering diartikan jelek, padahal pemerintah
berusaha meremajakan lingkungan dan memukimkan penduduk ke lingkungan
yang lebih baik. Kedelapan, keterbatasan lahan (land shortage). Dalam
melaksanakan peremajaan lingkungan kumuh harus memilih lokasi yang tepat
dan disesuaikan dengan tujuannya dan konsumen yang akan
menempati. Kesembilan, belum kuatnya dana pembangunan perumahan (no
housing finance). Kesepuluh, kebersamaan antarwarga masih minim. Guna
memahami dan merumuskan kebijakan masa depan, perlu lebih dahulu
memahami berbagai upaya pengembangan perumahan dan permukiman yang
selama ini telah dilaksanakan dengan memberikan evaluasi singkat. Akan
nampak pula bahwa kebijakan di bidang perumahan dan permukiman yang
telah dilakukan, dirumuskan dengan mengedepankan kepentingan politik dan
bukan kepentingan sektoral.
Dalam UUD 1945 pasal 38 H ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman dijelaskan mengenai Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam
hal Perumahan. Hak dan kewajiban tersebut adalah (1) setiap warga negara
mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan / atau memiliki
rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur; (2)
Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk
berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud permukiman kumuh dan liar?
2. Dimana saja permukiman kumuh dan liar terjadi?
3. Mengapa permukiman kumuh dan liar terjadi?
4. Faktor apa saja yang menyebabkan permukiman kumuh terjadi di kota
besar?
5. Bagaiman cara mengatasi permukiman kumuh dan liar?
6. Apa dampak permukiman kumuh?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Apa yang dimaksud dengan permukiman kumuh dan liar?

Pemukiman liar adalah pemukiman yang dibangun secara tidak resmi


(liar) pada lahan kosong di kota yang merupakan milik pemerintah maupun
swasta, yang didiami oleh orang yang miskin karena tidak mempunyai
akses terhadap pemilikan lahan tetap. Sedangkan permukiman kumuh
adalah Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni yang
ditandai dengan ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan
yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak
memenuhi syarat. (UU No.1 Tahun 2011 tentang PKP). Kondisi relasi
sosial dan kekerabatan relatif tinggi sebagai perwujudan keberadaan
komunitasnya (Rindarjono, 2012). Karakteristik permukiman kumuh
digambarkan dengan tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan
masyarakat penghuninya yang rendah (Budiharjo, 2011). Permukiman
kumuh atau slum merupakan kondisi permukiman dengan kualitas buruk
dan tidak sehat, tempat perlindungan bagi kegiatan marjinal serta sumber
penyakit epidemik yang akhirnya akan menular ke wilayah perkotaan (UN
Habitat, 2010).
2. Dimana permukiman kumuh dan liar terjadi?

Kita bisa mengambil contoh permukiman kumuh dan liar yang terjadi
di negara kita yaitu negara indonesia. Permukiman kumuh semakin lama
semakin meluas di Indonesia. Menurut survei Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PU-Pera) serta Pemerintah Daerah
(Pemda), luasan kawasan kumuh di perkotaan seluruh Indonesia mencapai
38.431 Ha pada periode Oktober 2014. Sedangkan data Susenas 2013,
jumlah rumah tangga kumuh perkotaan mencapai 12,1%atau 9,6 juta
rumah tangga. Ini merupakan tantangan besar pemerintah karena targetnya
nol persen kawasan kumuh sampai dengan 2019. Peningkatan permukiman
kumuh lebih banyak disebabkan adanya urbanisasi yang terus menerus

terjadi. Urbanisasi yang tidak terkontrol ini mengakibatkan kurangnya


lokasi hunian di perkotaan. Sehingga untuk keberlanjutan hidup para urban
(penduduk kota) tinggal di daerah-daerah yang tidak layak huni. Fenomena
ini umumnya terjadi di daerah perkotaan, terutama kota-kota besar.

Contoh gambar permukiman kumuh dan liar :


Nah diatas adalah contoh permukiman kumuh dan liar yang terjadi
mungkin di daerah jakarta, dan terjadi di dekat real kereta selain bahaya ini
juga termasuk pemukiman liar tanpa izin.

3. Mengapa permukiman kumuh dan liar terjadi?


Permukiman kumuh dan liar (ilegal) ada karena kaum miskin tidak
mampu atau dapat menjangkau pasar lahan dan perumahan formal. Banyak
yang menghadapi hambatan dan mengakses perumahan dan lahan karena
waktu, biroaksi, dan kesulitan lainnya yang ada.
Pemukiman kumuh terjadi juga karena kebutuhan tempat tinggal dan
sarana prasarana pendukung kehidupan manusia tidak sebanding dengan
jumlah penduduk yang semakin mengikat serta terbatasnya lahan
pemukiman.
Lebih ringkasnya, penyebab utama tumbuhnya lingkungan kumuh menurut
Khomarudin (1997) antara lain adalah:

 Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat


berpenghasilan rendah.
 Sulit mencari perkerjaan.
 Sulitnya mencicil atau menyewa rumah.
 Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-undangan.
 Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah.
 Disiplin warga yang rendah
 Kota sebagai pusat perdagangan yang menarik bagi para pengusaha dan
kaum pendatang.
 Semakin sempitnya lahan pemukiman karena dinamika penduduk dan
semakin tingginya harga tanah maupun bangunan.

4. Faktor apa saja yang menyebabkan permukiman kumuh terjadi di


kota besar?
A. Faktor-faktor fisik penyebab perukiman kumuh
1. Kondisi kepadatan bangunan
Kepadatan bangunan merupakan total seluruh bangunan di bagi luas
wilayah (unit/ha). Ciri kepadatan bangunan dapat diidentifikasi melalui
jumlah bangunan yang tinggi, sesak dan padat serta bangun terlihat dominan
dikawasan hunian. Parameter kepadatan secara kuantitatif mengacu pada
jumlah populasi per hektar. Pada permukiman kumuh tingkat kepadatan
bangunan mencapai 250 atau lebih perhektarnya dan memiliki ukuran yang
kecil-kecil (Rindarjono, 2012:27). Hasil penelitian terdahlu yang dilakukan
oleh Zulkarnaini dan Sari (2019: 179) terkait dengan kepadatan bangunan,
menyatakan bahwa kepadatan bagunan di daerah permukiman kumuh
tepatnya yang berada di Kota Bukittinggi dikategorikan tinggi karena
banyak dijumpai masyarakat migran. Hasil penelitian lainnya dilakukan di
Kelurahan Bagan Deli Belawan Kota Medan memiliki kepadatan tinggi
yakni dengan rata-rata setiap gang dihuni sepuluh sampai dua puluh lima
KK dengn total ada 199 KK yang tinggal di lorong masjid. Banyaknya
jumlah penduduk membuat semakin meningkatnya ruang untuk bermukim,
sedangkan kondisi lahan sangat terbatas sehingga tidak ada jarak antar
bangunan, terjadi selanjutnya adalah pemadatan bangunan (densification)
yang mengakibatkan kawasan tersebut jadi kumuh dikarenakan rumah
sangat padat dan dibangun secara berdekatan (Putra & Andriana, 2017:473).
Hasil tersebut di atas sesuai dengan karakteristik permukiman kumuh oleh
Peraturan Menteri PekerjaannUmum dan Perumahan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 02/PRT/M/2016 tentang peningkatan kualitas perumahan
kumuh dan permukiman kumuh yang menyatakan bahwa permukiman
kumuh dapat ditinjau dari tingginya jumlah kepadatan bangunan yang tidak
sesuai dengan perencanaan penataan ruang.
2. Kondisi Drainase
Drainase adalah prasarana yang memiliki fungsi untuk menyalurkan air
yang belebihan dari suatu tempat ke badan air penerima. Drainase perkotaan
adalah drainase di wilayah kota yang berfungsi mengelola atau
mengendalikan air permukaan, sehingga tidak mengganggu dan/atau
merugikan masyarakat. (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
12/PRT//2014). Karakteristik permukiman kumuh dapat dilihat dari kondisi
drainase lingkungannya (PERMEN PU NO 2 Tahun 2016). Pengendalian
air yang ada di permukaan agar masyarakat tidak terganggu disebut
drainase. Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh (Silvia, 2017: 7)
terkait kondisi drainase di permukiman kumuh yang berada dikawasan
Gempong Pangong Kecamatan Johan Pahlawan menyatakan bahwa kondisi
drainase yang ada masih memiliki kualitas yang kurang baik, masih terlihat
sampah yang dan menyebabkan genangan baik di dalam drainase maupun di
badan jalan saat intensitas hujan tinggi. Hasil penelitian lainnya menyatakan
hal yang hampir sama yaitu system drainase tidak ada dan system
pengendalian banjir juga tidak ada di daerah Belitung Selatan dikarenakan
tidak ada jarak antar bangunan serta sempitnya sempadan jalan hingga tidak
bisa dibangun selokan yang berfungsi sebagai drainase lingkungan.
(Wimardana & Setiawan, 2016:168). Hal tersebut juga serupa dengan hasil
penelitian yang dilakukan (Putra & Andriana: 2017:475) mengatakan bahwa
rendahnya kualitas lingkungan permukiman pada daerah penelitiannya yaitu
di Bagan Deli Belawan Kota Medan terutama pada saluran drainase yang
dipakai masyarakat untuk membuang sisa buangan rumah tangga sehingga
saluran jadi kotor dan menyumbat. Keadaan seperti ini dikarenakan
masyarakat tidak memiliki tempat membuang sampah. Penelitian lainnya
juga dilakukan oleh Crysta & Budisusanto (2017:392) terkait kondisi
drainase di permukiman kumuh Keputih Kota Surabaya dengan hasil bahwa
kualitas drainase daerah yang diteliti teridentifikasi memiliki kualitas yang
buruk, hal ini di sebabkan hampir dari seluruh lokasi tersebut tidak terdapat
saluran drainase sehinga terputusnya hubungan dengan sistem drainase
lainnya sehingga akibatnya air akan tergenang saat hujan deras.
3. Jaringan Air Bersih
Kebutuhan manusia yang sangat penting salah satunya adalah air.
Kebutuhan rumah tangga harus terlayani oleh air bersih. Aman dikonsumsi
dan memenuhi standar kesehatan merupakan syarat dari air bersih. Jaringan
air bersih perkotaan di Indonesia pada umumnya dilayani oleh PAM.
Berdasarkan standar (SNI 03-1733-2004), setiap 250 orang dapat
menggunakan satu kran umum. Kapaasitas minimal 30 L/orang untuk setiap
harinya. Hasil penelitian terdahulu terkait jaringan air bersih di daerah
pemukiman kumuh Kelurahan Bagan Deli Belawan Kota Medan ditemukan
bahwa tidak terdapat fasilitas air PDAM sehingga warga menggunakan
sumur bor, bagi masyarakat yang tidak mempunyai sumur bor dengan
terpaksa harus membeli dari warga yang mempunyai sumur dengan harga
6000/jam (Putra & Andriana, 2017:475). Hasil penelitian Crysta &
Budisusanto (2017:392) terkait kondisi jaringan air bersih dipermukiman
kumuh Kelurahan Keputih Kota Surabaya pada daerah penelitiannya yang
terdentifikasi memiliki kualitas yang buruk, dikarenakan tidak adanya
saluran pipa untuk mencukupi kebutuhan air, karena legalitas tanah yang
tidak bisa didirikan jaringan PDAM. Penelitian lainnya dilakukan oleh (Asa,
2015: 52) yang dilakukan di Kelurahan Panggungrejo Kota Pasuruan
dengan hasil sebagian besar responden tidak terlayani oleh PDAM, yaitu
sebesar 66 KK dari total 91 responden. Warga yang tidak memiliki PDAM
memperoleh air dengan cara membelinya dari warga yang memiliki PDAM
dengan harga RP.500, 00 /drigen 30 L. Keperluan mencuci dan mandi
warga menggunakan sumur dan air laut.
4. Jaringan Air Limbah
Limbah dapat digolongkan menjadi 2 yakni limbah cair dan limbah
padat. Limbah yang bersumber dari air sisa buangan rumah tangga maupun
limpahan air hujan yang tidak terserap tanah disebut limbah cair.
Pengelolaan limbah cair yang tepat harus dialirkan melalui sumur resapan
dan harus diperhatikan agar tidak mencemari sumber air bersih. Limbah
padat merupakan limbah yang berasal dari kakus dan harus dibuang ke
dalam septic tank. Hasil penelitian terdahulu terkait jaringan air limbah di
daerah permukiman kumuh Kelurahan Keputih Kota Surabaya sebagian
besar masih memiliki pengelolaan air limbah yang buruk, hal tersebut
karena tidak memiliki septic tank baik secara individual maupun komunal
untuk penampungan limbah, kondisi MCK baik pribadi maupun MCK
umum tidak memenuhi standard dan dalam kondisi yang buruk. (Crysta &
Budisusanto 2017:392). Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Asa
(2015:54) di permukiman kumuh Kelurahan Panggungrejo Kota Pasuruan
menunjukkan mayoritas masyarakat belum memiliki MCK yang permanen
yakni 51 jiwa atau 56% dan hanya 23 jiwa yang memiliki MCK pribadi
yang terhubung septic tank atau 25%, sedangkan 17 jiwa atau 19%
menggunakan MCK bersama. Berkaitan dengan tidak adanya lahan untuk
membangun MCK pribadi yang ada septictanknya. Masyarakat banyak yang
kurang sadar arti penting adanya MCK, banyak masyarakat yang membuang
air besar sembarangan seperti di pantai, tanah kosong, maupun tambak.
5. Persampahan
Sampah merupakan barang buangan dari sisa rumah tangga. Sampah
dibedakan menjadi dua yaitu sampah organik contohnya dedaunan, sisa
makanan, buahan dan sebagainya serta sampah non organic contohnya
kaleng, kaca, plastik, keramik. Prosedur pengelolaan sampah dikerjakan
menurut tahapannya, mulai dari sampah dibuang ke tong sampah
selanjutnya di angkut dengan gerobak sampah ke TPS (Tempat Pembuangan
Sampah Sementara) dan setelah itu dipindahkan ke TPA (Tempat
Pembuangan Akhir). Hasil penelitian terdahulu terkait kondisi persampahan
di permukiman kumuh Kelurahan Keputih Kota Surabaya ditemukan
mempunyai mutu yang jelek, dikarenakan banyak masyarakat yang tak
memiliki tong sampah dan sarana prasarana sampah yang tidak terpelihara
dengan baik (Crysta & Budisusanto 2017:392). Hasil dari penelitian lainnya
mengatakan bahwa pengangkutan sampah oleh petugas kebersihan hanya
dilakukan seminggu sekali sehingga sampahnya menumpuk dan
mengeluarkan bau yang tidak sedap. Warga akhirnya membuang sampah
sembarangan yakni disekitar rumah mereka atau membuangnya ke laut,
fenomena ini terjadi di pemukiman kumuh Kelurahan Bagan Deli Belawan
Kota Medan. (Putra & Andriana, 2017:475). Hasil penelitian diatas sejalan
dengan karakteristik permkiman kumuh yang tertulis di dalam Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 02/PRT/M/2016 terkait peningkatan kualitas tehadap perumahan
kumuh dan permukiman kumuh yang digunakan sebagai ciri-ciri kumuh
dapat dilihat melalui cara pengelolaan sampahnya yakni sarana prasarana
sampah yang tidak tepat dengan syarat yang berlaku seperti tempat sampah
skala rumahan dan skala lingkungan.
6. Jaringan Jalan
Prasarana jalan mepunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Jalan memiliki fungsi utama agar memudahkan mobilitas
kendaraan dan manusia. Fungsi penting jalan adalah jalur untuk evakuasi
darurat. Sistem tingkatan jalan dikelompokkan menjadi enam macam, yakni
jalan lokal perimer, jalan lokal sekunder, jalan kolektor primer, jalan
kolektor sekunder, jalan arteri primer, jalan arteri sekunder. Menurut SNI
03-6891-2004. Mengenai tata cara perencanaan lingkungan daerah
perkotaan, menjelaskan tentang penggunan jalan sesuai klasifikasinya yaitu
pertama Damija (daerah milik jalan), yang ke dua Damaja (daerah manfaat
jalan) dan yang ke tiga Dawasja (daerah pengawasan jalan).

B. Faktor Sosial, Ekonomi Dan Budaya


1. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana dalam menciptakan
situasi proses belajar mengajar dengan tujuan membuat peserta didik aktif
dalam pengembangan potensinya untuk mempunyai kepribadian, akhlak
mulia, kekuatan spiritual, pengendalian diri, kecerdasan, keagamaan,
ataupun keterampilan yang dibutuhkan bagi peserta didik itu sendiri,
masyarakat dan Negara. Pendidikaan dapat membantu manusia
mendapatkan ilmu dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan
berkompetisi dengan yang lainnya.
2. Migrasi Masuk
Perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain dengan tujuan
menetap ataupun tinggal sementara didarah yang baru disebut migrasi.
Masyarakat migran yang baru datang tanpa bekal dalam hal pengetahuan,
keterampilan dan modal akan menempati ruangruang terbuka yang illegal
yang secara umum dalam kondisi yang kumuh.
3. Pendapatan
Pendapatan adalah banyaknya uang yang didapat pekerja baik dari sektor
formal maupun sektor informal dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan
bersama pada suatu keluarga. Mayoritas penghuni permukiman kumuh
pada umumnya memiliki pendapatan kecil, hal ini dikarenakan masyarakat
memiliki akses yang terbatas dari lapangan pekerjaan. Rendahnya tingkat
pendapatan masyarakat otomatis akan mempengaruhi kemampuan
membeli masyarakat tersebut. Faktor pendapatan memiliki pengaruh
terhadap terbentuknya permukiman kumuh juga dikarenakan
ketidakmampuan penghuni untuk memperbaiki kualitas bangunan dan
lingkungan permukimannya. Penduduk yang memiliki pendapatan rendah
biasanya hanya bisa membangun rumah dalam kondisi yang minim. Disisi
lain bertambahnya jumlah pendatang mengakibatkan pemerintah tidak
mampu menyediakan permukiman yang layak sehingga masyarakat yang
tidak memiliki banyak modal akan memilih tinggal di tempat yang tidak
layak dan illegal seperti bantaran rel kereta api, pinggir sungai, dan tempat
yang tidak layak lainnya.
5. Bagaiman cara mengatasi permukiman kumuh dan liar?
Berikut ini terdapat beberapa cara mengatasi permukiman kumuh, yaitu
sebagai berikut:

Waktu Yang Tepat Untuk Menanggulani Pemukiman Kumuh

Berbicara tentang waktu yang tepat dalam membenahi pemukiman


kumuh,waktu yang tepat adalah dimana pihak pemerintah sudah siap
terhadap pemindah lokasian pemukiman tersebut ketempat yang layak
huni seperti rumah susun, dan lainya. Serta terjalin komunikasi yang baik
dan sepaham dari pemerintah terhadap masyarakat pemukiman penduduk
yang akan di pindah lokasikan ke tempat yang lebih layak.

Solusi Yang Tepat Untuk Menanggulani Pemukiman Kumuh

Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah dalam menanggulani


pemukiman kumuh, sebagai berikut:

1. Membangun rumah susun. Dengan adanya rumah susun, baik Rusunawa


maupun Rusunawi, masyarakat yang masih tinggal dipemukiman kumuh
ini dapat tinggal di rumah susun ini. Terutama dapat menghemat lahan
pemukiman.
2. Program perbaikan kampung.
3. Melalui program penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP).
Diarahkan untuk pembangunan jalan lingkungan dan tempat mandi,
cuci, kakus (MCK) dipemukiman serta pembangunan dan perbaikan
drainase. Tetapi hal ini belum didukung oleh biaya yang memadai.
Sehingga tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
4. Program RPIJM (program jangka menengah). Kondisi saat ini program
tidak aktif, akibatnya kurang rencana strategis Renstra (program bidang
cipta karya). Program ini berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar
masyarakat seperti air bersih, sanitasi dan  pengolahan persampahan
serta drainase.
5. Memberikan penyuluhan tentang dampak tinggal di pemukiman kumuh
ini. Minimnys sosialisasi yang di lakukan pemerintah berdampak
timbulnya masalah. Salah satunya adalah mewabahnya penakit. Karena
kebanyakan pemukiman ini lingkunganya kotor sehingga tidak terlepas
darii penyakit. Maka daripada itu pemerintah harus dapat memberikan
penyuluhan tentang dampak yang ditimbulkan dari pemukiman kumuh
ini agar masyarakat bisa sadar dan peka terhadap bahayanya tinggal di
pemukiman kumuh.
Upaya yang dilakukan pemerintah kota dalam menangani
masalah-masalah pemukiman kumuh belum maksimal dan masih
banyak lagi yang perlu dibenahi, terlebih sosialisasi terhadap
masyarakat. Bisa kita ambil contoh dari bapak Jokowi sewaktu
menjabat menjadi walikota Jakarta dengan cara meninjau langsung
tempat yang dianggap kumuh lalu memberikan sosialisasi secara
kekeluargaan merupakan cara yang cukup moderen dalam
penanggulangan pemukiman kumuh.

6. Apa dampak permukiman kumuh?

Pemukiman kumuh dapat mengakibatkan berbagai dampak, baik dari


segi sosial, segi pemerintahan, segi kesehatan, segi lingkungan, dan
lainya.

1. Dari segi pemerintahan. Pemerintah dianggap dan dipandang tidak


cakap dan tidak peduli dalam menangani pelayanan terhadap
masyarakat.
2. Dari segi sosial. Dimana sebagian masyarakat pemukiman kumuh
adalah masyarakat dengan berpenghasilan rendah dan dengan
kemampuan ekonomi menengah kebawah dianggap sebagai sumber
ketidakteraturan dan ketidakpatuhan terhadap norma-norma sosial.
3. Daerah ini sering dipandang potensial menimbulkan banyak masalah
perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya berbagai macam
perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial
lainya. Kecenderungan terjadinya perilaku menyimpang (deviant
behaviour).
4. Wajah perkotaan menjadi memburuk dan kotor, planologi penertiban
bangunan sukar dijalankan.
5. Berpotensi mendukung terjadinya bencana  seperti banjir dan
kebakaran.
6. Dari segi kesehatan banyak penyakit yang ditimbulkan akibat pola 
hidup yang tidak sehat.
7. Dari segi lingkungan . Lingkungan kotor, semrawut, bau dan becek
karena tidak tersedianya sarana dan utilitas, selain itu berkurangnya
tempat resapan air atau ruang terbuka hijau akibat pembangunan
pemukiman pada ruang yang ilegal.

BAB III
KESIMPULAN

Permukiman kumuh adalah tempat tinggal/hunian yang kotor. Beragam


upaya dan program dilakukan untuk mengatasinya, namun masih saja banyak
kita jumpai permukiman masyarakat miskin di hampir setiap sudut kota yang
disertai dengan ketidaktertiban dalam hidup bermasyarakat di perkotaan.
Misalnya yaitu, pendirian rumah maupun kios dagang secara liar di lahan-lahan
pinggir jalan sehingga mengganggu ketertiban lalu lintas yang akhirnya
menimbulkan kemacetan jalanan kota.
Masyarakat miskin di perkotaan itu unik dengan berbagai problematika
sosialnya sehingga perlu mengupas akar masalah dan merumuskan solusi
terbaik bagi kesejahteraan mereka. Dapat dijelaskan bahwa bukanlah kemauan
mereka untuk menjadi sumber masalah bagi kota namun karena faktor-faktor
ketidakberdayaanlah yang membuat mereka terpaksa menjadi ancaman bagi
eksistensi kota yang mensejahterahkan.
Dalam perkembangan suatu kota, sangat erat kaitannya dengan mobilitas
penduduknya. Masyarakat yang mampu, cenderung memilih tempat huniannya
keluar dari pusat kota. Sedangkan bagi masyarakat yang kurang mampu akan
cenderung memilih tempat tinggal di pusat kota, khususnya kelompok
masyarakat urbanisasi yang ingin mencari pekerjaan dikota. Kelompok
masyarakat inilah yang karena tidak tersedianya fasilitas perumahan yang
terjangkau oleh kantong mereka serta kebutuhan akan akses ke tempat usaha,
menjadi penyebab timbulnya lingkungan pemukiman kumuh di perkotaan.
Latar belakang lain yang erat kaitannya dengan tumbuhnya permukiman
kumuh adalah akibat dari ledakan penduduk di kota-kota besar, baik karena
urbanisasi maupun karena kelahiran yang tidak terkendali. Lebih lanjut, hal ini
mengakibatkan ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk dengan
kemampuan pemerintah untuk menyediakan permukiman-permukiman baru,
sehingga para pendatang akan mencari alternatif tinggal di permukiman kumuh
untuk mempertahankan kehidupan di kota.
DAFTAR PUSTAKA

1. http://kotaku.pu.go.id:8081/wartaarsipdetil.asp?
mid=7590&catid=2&
2. https://perkim.id/kawasan-kumuh/pengertian-dan-karakteristik-
permukiman kumuh/
3. https://kelasips.com/permukiman-kumuh/
4. file:///C:/Users/acer/Downloads/38202-Article%20Text-53450-
1-10-20210128.pdf

Anda mungkin juga menyukai