KAJIAN TEORI
2.1.
10
11
Permukiman Kumuh
12
Terlihat jelas bahwa kata permukiman mengandung unsur dimensi waktu dalam
prosesnya (Suparno dan Marlina, 2005).
Pengertian permukiman menurut Undang-undang No. 1 Tahun 2011 Pasal 1
tentang perumahan dan kawasan permukiman, permukiman adalah bagian dari
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang
kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan pedesaan.
Rumah adalah suatu bangunan dimana manusia tinggal dan melangsungkan
kehidupannya. Menurut Sarwono dkk
dan
pengaturannya
sangat
dipengaruhi
oleh budaya
lingkungannya.
Hierarki kebutuhan menurut Maslow terlihat dalam gambar 2.1. menunjukkan
tingkat intensitas dan arti penting dari kebutuhan dasar manusia. Pada tingkat
terbawah, rumah memberikan perlindungan terhadap gangguan alam dan
binatang, berfungsi sebagai tempat istirahat, tidur, dan pemenuhan fungsi badani.
Pada tingkat di atasnya, rumah harus bisa menciptakan rasa aman sebagai tempat
menjalankan kegiatan ritual, penyimpanan harta milik yang berharga dan
menjamin hak pribadi (Budihardjo, 1987).
13
14
15
berbagai fasilitas kota; dan tidak diingini kehadirannya oleh publik (kecuali yang
berkepentingan) (Titisari dan Kurniawan, 1999 dalam Hutapea, 2012).
Permukiman kumuh adalah lingkungan hunian yang kualitasnya sangat tidak
layak huni. Ciri-ciri permukiman kumuh antara lain berada pada lahan yang tidak
sesuai dengan peruntukan/tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi dalam
luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, serta
kualitas bangunan yang sangat rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang
memadai dan membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghidupan
penghuninya (Budihardjo, 1987).
Permukiman kumuh mengacu pada aspek lingkungan hunian atau komunitas.
Permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang
telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk baik secara fisik, sosial
ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak mungkin dicapainya kehidupan yang
layak bagi penghuninya, bahkan dapat pula dikatakan bahwa para penghuninya
benar-benar dalam lingkungan yang sangat membahanyakan kehidupannya. Pada
umumnya permukiman kumuh memiliki ciri-ciri tingkat kepadatan penduduk
yang sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar, seperti
halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan, ruang
terbuka/rekreasi, fasilitas pelayanan kesehatan dan perbelanjaan (Masrun, 2009
dalam Hutapea, 2012).
Lingkungan permukiman kumuh, secara estimologis dapat dibedakan
menjadi dua yaitu slum dan squatter. Pengertian dari keduanya adalah :
(Budihardjo, 1997 dalam Sulaiman, 2005)
16
a. slum yaitu kawasan kumuh tetapi sah sebagai sebagai daerah permukiman
b. squatter yaitu permukiman kumuh liar, yang menenempati lahan tidak
ditetapkan untuk kawasan hunian, misalnya di sepanjang rel KA, pinggir
sungai, pembuangan sampah dan sebagainya
2.2.3. Penyebab Utama Tumbuhnya Permukiman Kumuh
Tumbuhnya permukiman kumuh merupakan akibat dari urbanisasi, migrasi
yang tinggi, masyarakat berbondong-bondong datang ke kota untuk mencari
nafkah. Hidup di kota sebagai warga dengan mata pencaharian terbanyak pada
sektor informal. Pada dasarnya pertumbuhan sektor informal bersumber pada
urbanisasi penduduk dari pedesaan ke kota, atau dari kota satu ke kota lainnya.
Hal ini disebabkan oleh lahan pertanian di mana mereka tinggal, sudah terbatas,
bahkan kondisi desapun tidak dapat lagi menyerap angkatan kerja yang terus
bertambah, sedangkan yang migrasi dari kota ke kota lain, kota tidak lagi mampu
menampung, karena lapangan kerja sangat terbatas. Akhirnya dengan adanya
pemanfaatan ruang yang tidak terencana di beberapa daerah, terjadi penurunan
kualitas lingkungan bahkan kawasan permukiman, terutama di daerah perkotaan
yang padat penghuni, berdekatan dengan kawasan industri, kawasan bisnis,
kawasan pesisir dan pantai yang dihuni oleh keluarga para nelayan, serta di
bantaran sungai, dan bantaran rel kereta api (Marwati, 2004 dalam Mulia, 2011).
Menurut Komarudin (1997) penyebab utama lingkungan kumuh antara lain :
1. urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah
17
18
urbanization (urbanisasi), dengan adanya daya tarik pusat kota maka akan
menyebabkan arus migrasi desa ke kota maupun dari luar kota ke pusat kota.
Kaum urbanisasi yang bekerja di pusat kota ataupun masyarakat yang
membuka usaha di pusat kota, tentu saja memiliki untuk tinggal di
permukiman di sekitar pusat kota. Hal ini juga akan menyebabkan
pertumbuhan perumahan permukiman di kawasan pusat kota
19
permukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat
mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas
keterjangkauan) baik membeli atau menyewa
20
21
kepadatan bangunan dengan KDB yang lebih besar dari yang diijinkan,
dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi (lebih dari 500 jiwa per ha)
Siswono (1991) dalam Sulaiman (2005) membagi lingkungan kumuh dalam lima
kelompok :
22
1. berada pada lokasi yang sangat strategis dalam mendukung fungsi kota yang
menurut rencana kota dapat dibangun untuk komersial atau pelayanan
masyarakat kota yang baik
2. lokasinya yang kurang strategis dalam mendukung fungsi kota dan memberi
pelayanan kepada masyarakat kota. Meskipun dalam rencana kota untuk
dijadikan kawasan komersial namun kurang memiliki potensi
3. lokasinya kurang strategis dan menurut rencana kota hanya boleh dibangun
untuk perumahan
4. permukiman kumuh yang berada pada lokasi yang menurut rencana kota tidak
diperuntukkan bagi perumahan
5. permukiman kumuh yang berada pada lokasi yang berbahaya, yang menurut
rencana kota disediakan untuk jalur pengaman, seperti bantaran sungai, jalur
jalan kereta api dan jalur tegangan listrik
2.3.
merupakan RTH yang memiliki fungsi utama untuk membatasi interaksi antara
kegiatan masyarakat dengan jalan rel kereta api. Berkaitan dengan hal tersebut
perlu dengan tegas menentukan lebar garis sempadan jalan kereta api di kawasan
perkotaan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang
penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan).
23
Obyek
Tanaman
Bangunan
> 11 m
> 20 m
Lengkung dalam
> 23 m
> 23 m
Lengkung luar
> 11 m
> 11 m
Tabel 2.1. Lebar Garis Sempadan Rel Kereta Api (Sumber : Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008)
2.4.
Di
daerah
perkotaan,
tidak
tersedianya
perumahan
yang
cukup
dalam
proses
pembebasan
tanah
untuk
perumahan.
Kebijksanaan mengenai tata guna tanah di daerah perkotaan (urban and policy)
masih belum didukung oleh peraturan perundangan yang memadai (Cosmas
dalam Budihardjo, 2009).
Lahan publik merupakan aset yang dimiliki oleh populasi kota dan
hendaknya dimanfaatkan oleh populasi tersebut. Sayangnya saat ini lahan yang
24
perbelanjaan, lahan parkir, hotel mewah dan lapangan golf, alih-alih taman kota,
sekolah, taman bermain, pasar rakyat, dan perumahan murah yang sangat
diperlukan oleh kota-kota kita (Sumarwanto, 2014).
Salah satu cara jitu mengurangi biaya lahan untuk perumahan bagi kalangan
berpenghasilan rendah adalah menggunakan lahan publik, yang dapat disewakan
oleh badan pemerintah yang memilikinya, atau ditetapkan sebagai lahan berhak
guna bagi perumahan komunitas berpenghasilan rendah. Ini dapat direncanakan
dan dibangun dengan berbagai strategi maupun bentuk kemitraan (Thomas
A.Keer-AHCR, 2009) dalam Sumarwanto (2014).
2.5.
elemen pembentuk kota. Secara fisik, kondisi kampung di kota-kota besar saat ini
pada umumnya sangat buruk. Hal ini terutama dipicu karena masalah kepadatan.
Tingginya angka kepadatan penduduk di kampung-kampung di perkotaan
membawa berbagai dampak negatif bagi kondisi kampung tersebut, yaitu :
(Suparno dan Marlina, 2005)
1. kehidupan sosial yang tidak teratur
2. tingkat ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang rendah
3. kurangnya infrastruktur
25
sub kelompok komunitas, pola permukiman tipe ini berbentuk cluster, terdiri
dari beberapa unit atau kelompok unit hunian, memusat pada ruang-ruang
penting, seperti penjemuran, ruang terbuka umum, masjid dan sebagainya
(Gambar 2.2.)
Gambar 2.2. Pola Permukiman Sub Kelompok Komunitas (Sumber : Ahyat, 2012)
face to face, pola permukiman tipe ini berbentuk linier, antara unit-unit hunian
sepanjang permukiman dan secara linier terdapat perletakan pusat aktivitas
yaitu tambatan perahu atau dermaga, ruang penjemuran, pasar dan sebagainya
(Gambar 2.3.)
26
2.6.
27
program Pro Rakyat Klaster IV yang berfokus pada penataan kawasan kumuh
(Mungkasa, 2012).
Terlihat pada era tahun 2000, program yang dilaksanakan terbagi dalam 2
(dua) kategori yaitu yang bersifat menyeluruh dan fokus aspek fisik saja. Selain
itu, perubahan yang terjadi tidak terlihat benang merahnya, kemungkinan karena
kegiatan yang bersifat proyek dan tidak didukung oleh ketersediaan payung
kebijakan penanganan permukiman kumuh (Mungkasa, 2012).
Sementara Kementerian Perumahan Rakyat pada tahun 2010 meluncurkan
kegiatan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis
Kawasan (PLP2K-BK) dengan pendekatan Tridaya (manusia, lingkungan,
ekonomi), kesesuaian dengan tata ruang, penyediaan Prasarana, Sarana dan
Utilitas (PSU), dan keterpaduan dengan sektor lain. Kegiatan ini didukung dengan
kegiatan bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) berupa penyediaan
stimulan peningkatan kualitas (PK) dan pembangunan baru (PB) bagi rumah
tangga kumuh, kegiatan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa),
dan disediakan skema pembiayaan melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan
Perumahan (FLPP) (Mungkasa, 2012).
Pada prinsipnya KIP (Kampoeng Improvement Program) bertujuan untuk
memperbaiki kondisi lingkungan secara menyeluruh. KIP ini dikembangkan
dengan 3 program, yaitu : (Suparno dan Marlina, 2005)
1. program perbaikan lingkungan (bina lingkungan)
2. program pengembangan manusia (bina manusia)
3. program pengembangan ekonomi (bina usaha)
28
Berdasarkan tujuan KIP, contoh contoh kegiatan yang dapat dilakukan pada KIP
adalah sebagai berikut : (Suparno dan Marlina, 2005)
1. perbaikan jalan masuk ke lingkungan
2. perbaikan jalan untuk pejalan kaki
3. perbaikan saluran drainase
4. perbaikan saluran pembuangan
5. penyediaan air bersih
6. penyediaan MCK
7. pengadaan fasilitas sosial sebagai tambahan (misal fasilitas kesehatan, dll)
8. penyuluhan kesehatan kepada warga
Secara keseluruhan, program-program yang dilaksanakan tidak sepenuhnya
dapat membantu usaha penataan dan perbaikan permukiman kumuh. Poerbo
dalam Komarudin (1997) berpendapat program-program yang dijalankan
pemerintah masih cenderung bersifat top down, serta kurang mampu menggali
aspirasi dan karakteristik dari masyarakat itu sendiri. Selain itu, banyaknya proyek
peremajaan permukiman kumuh yang tidak didahului oleh survei sosial
merupakan penyebab lainnya. Karakteristik masyarakat yang perlu dikenali,
antara lain : aspek sosial, sumber daya manusia, ekonomi (mata pencaharian),
alam, dan fisik seperti kondisi fisik rumah dan lingkungan, dan lain sebagainya
(Lestari, 2006).
29
2.7.
Diagram Kepustakaan
Permukiman Kumuh
Doxiadis, 1968; Yudohusodo, 1991;
Silas, 1996; Komarudin, 1997;
Budihardjo, 1997; Kuswartojo, 2005
Permukiman
Rapoport, 1969; Doxiadis, 1969 & 1971;
Turner, 1972; Budihardjo, 1987; Suparno
dan Marlina, 2005; Budihardjo, 2009
Budaya Bermukim
Rapoport 1969
Daya Beli
Yudohusodo 1991; Komarudin
1997
Permukiman Di
Pinggiran Rel
Kereta Api
30
2.8.
dipergunakan
untuk segala
aktivitas.
Hasil
penelitian
sesuai
dengan
keinginan
dan
kemampuan
pemukim
tanpa
adalah milik bersama. Karena keterbatasan lahan, rumah tinggal dibangun sesuai
dengan keinginan dan kemampuan pemukim tanpa mempertimbangkan faktor
keamanan, kesehatan dan persyaratan-persyaratan lingkungan permukiman yang
layak untuk hunia. Luasan rumah tinggal masih bervariasi sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan jumlah penghuni.
2.8.2. Dampak Urbanisasi Terhadap Permukiman Kumuh (Slum Area) di
Daerah Perkotaan, Waston Malau, 2013
Urbanisasi menyebabkan laju pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah
perkotaan sehingga menimbulkan beragam permasalahan, salah satu diantaranya
adalah semakin banyaknya permukiman kumuh (slum area) pada lahan-lahan
kosong di daerah perkotaan seperti bantaran sungai, bantaran rel kereta api, taman
kota, maupun di bawah jalan layang. Penghuni permukiman kumuh (daerah slum)
adalah sekelompok orang yang datang dari desa menuju kota dengan tujuan ingin
mengubah nasib. Mereka umumnya tidak memiliki keahlian dan jenjang
pendidikan yang cukup untuk bekerja di sektor industri di perkotaan. Mereka
hanya bisa memasuki sektor informal dengan penghasilan yang rendah, sehingga
tidak mampu mendiami perumahan yang layak.
Angka kelahiran dan urbanisasi merupakan dua faktor utama yang
menyebabkan pertambahan penduduk yang pesat di daerah perkotaan.
Pertambahan penduduk yang pesat ini mengakibatkan terjadinya sejumlah
permasalahan di daerah perkotaan, salah satu diantaranya adalah munculnya
permukiman kumuh atau daerah slum (slum area) yaitu daerah yang sifatnya
kumuh dan tidak beraturan yang terdapat di daerah perkotaan. Penghuni
32
permukiman kumuh (daerah slum) adalah sekelompok orang yang datang dari
desa menuju kota dengan tujuan ingin mengubah nasib. Mereka tidak memiliki
keahlian dan jenjang pendidikan yang cukup untuk bekerja di sektor industri di
daerah perkotaan, sehingga akhirnya memasuki sektor informal. Akibatnya
mereka berada dalam kehidupan ekonomi yang miskin karena hanya memiliki
penghasilan yang rendah tetapi harus berhadapan dengan biaya hidup yang tinggi
dikota.
33