Anda di halaman 1dari 25

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1.

Masyarakat Berpenghasilan Rendah


Masyarakat berpenghasilan rendah yang selanjutnya disingkat MBR adalah

masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat


dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah (Pasal 1 Angka 24 UU Nomor 1
Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman). Masyarakat
berpenghasilan rendah yang selanjutnya disebut MBR adalah masyarakat yang
mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah
untuk memperoleh sarusun umum (Pasal 1 Angka 14 UU Nomor 20 Tahun 2011
Tentang Rumah Susun).
Pertambahan penduduk daerah perkotaan mengakibatkan kebutuhan sarana
dan pasarana perkotaan semakin meningkat terutama kebutuhan perumahan.
Mengingat pengadaan perumahan daerah perkotaan sangat terbatas, masalah
pemenuhan kebutuhan perumahan sampai saat ini masih sulit dipecahkan,
terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Di lain pihak, kebutuhan
perumahan daerah perkotaan selalu meningkat dengan pesat (Panudju, 2009).
Manakala kita bicara tentang perumahan bagi masyarakat berpenghasilan
rendah, potret yang terbayang dan muncul di benak kepala biasanya adalah
perumahan yang padat, kacau balau tidak teratur, kotor, merusak atau menodai
citra kota (Budihardjo, 1987). Menurut Sumarwanto (2014) potret masyarakat

Universitas Sumatera Utara

berpenghasilan rendah ini tercermin dari kondisi sosial ekonomi dalam


kehidupannya dan ditunjukkan dengan kondisi perumahan masyarakat diberbagai
wilayah. Baik di perdesaan maupun di perkotaan masih dalam kondisi yang tidak
layak. Di pedesaan banyak dijumpai rumah penduduk berdinding kayu, beratap
daun dan berlantai tanah. Ketidaklayakan rumah mereka juga terlihat dari kondisi
prasarana, sarana dan utilitas yang masih belum memadai bagi kelangsungan
hidup mereka. Khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin
yang menghuni perumahan dan tempat-tempat yang tidak layak, mereka hidup
dengan keterpaksaan di kampung-kampung kumuh, di kolong-kolong jembatan,
pinggiran rel kereta api, bantaran sungai, pasar, dan fasilitas-fasilitas umum
lainnya yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, kenyamanan, dan
keselamatan hidupnya.
Lebih lanjut Turner (1968) dalam Hutapea (2012) menyatakan bahwa
terdapat kaitan antara kondisi ekonomi dengan tingkat prioritas kebutuhan
perumahan pada setiap manusia. Bagi masyarakat golongan berpenghasilan
rendah, terdapat 3 tingkat prioritas kebutuhan perumahan yaitu :
1. faktor jarak menjadi prioritas utama
2. faktor status lahan dan rumah menjadi prioritas kedua
3. faktor bentuk dan kualitas rumah menjadi prioritas ketiga
Menurut Wijaya dalam Budihardjo (2009) pembangunan permukiman bagi
masyarakat berpenghasilan rendah bukan merupakan usaha yang terisolisir.
Karena, pembangunan tersebut mempunyai multiplier effect yang besar, baik
peningkatan industri dan jasa kota maupun penyediaan lapangan kerja baru.

10

Universitas Sumatera Utara

Dalam pembangunannya, usaha-usaha baru yang bersifat mendasar perlu


dipikirkan untuk memberi landasan kerja yang mantap. Pertama, nilai dan sikap
masyarakat terhadap permukiman dan perumahan perlu ditinjau. Rumah harus
dibangun sekali dan baik untuk selamanya tidak merupakan kebutuhan pokok
yang mendesak, di samping tidak sesuai dengan realita kemampuan masyarakat.
Permukiman merupakan kepentingan bersama semua anggota masyarakat, bukan
hanya Pemerintah. Pemerintah hanya membantu mempermudah masyarakat
memelihara permukimannya di kota. Pemerintah perlu memikirkan untuk
memberi pembinaan dan penerangan yang luas tentang peranan masyarakat dalam
pembinaan lingkungan; antara lain pembuangan sampah dan penghematan
pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk membeli dan memiliki tempat tinggal
yang layak.
Kedua, untuk membuat permukiman baru yang terjangkau oleh masyarakat
berpenghasilan rendah memerlukan beberapa kombinasi dan kebijaksanaan untuk
di satu pihak menekan biaya dan di lain pihak meningkatkan daya beli masyarakat
berpenghasilan rendah. Harga tanah semakin tinggi di daerah yang mendekati
pusat kota, maka perkampungan yang dekat pusat kota tetapi yang parah keadaan
perumahannya diremajakan dengan pembanguna flat bertingkat 4 atau maksimum
6 dengan tangga kaki.
Menurut Panudju (2009) dalam menentukan prioritas kebutuhan rumah,
masyarakat golongan berpenghasilan rendah cenderung meletakkan prioritas
utama pada lokasi rumah yang berdekatan dengan tempat yang dapat memberikan
kesempatan kerja. Tanpa kesempatan kerja yang dapat menopang kebutuhan

11

Universitas Sumatera Utara

sehari-hari, sulit bagi mereka untuk dapat mempertahankan hidupnya. Status


pemilikan rumah dan lahan menempati prioritas kedua, sedangkan bentuk maupun
kualitas rumah menjadi prioritas terakhir. Yang terpenting bagi mereka adalah
tersedianya rumah untuk berlindung dan istirahat dalam upaya mempertahankan
hidupnya.
Begitu juga Santoso (2002) dalam Kurniasih (2007) yang mengungkapkan bahwa
rumah bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah adalah : (Hutapea, 2012)
1. dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk mendapatkan
pekerjaan, minimal pekerjaan di sektor informal
2. kualitas fisik rumah dan lingkungan, tidak penting sejauh masih dapat
menyelenggarakan kehidupan
3. hak-hak penguasaan khususnya hak milik atas tanah dan bangunan, tidak
penting. Yang penting adalah tidak diusir atau digusur, sesuai dengan cara
berpikir mereka bahwa rumah adalah sebuah fasilitas
2.2.

Permukiman Kumuh

2.2.1. Pengertian Permukiman


Permukiman ialah sebagai

suatu tempat bermukim manusia yang

menunjukkan suatu tujuan tertentu. Permukiman sudah seharusnya memberikan


kenyamanan kepada penghuninya (termasuk orang yang datang ke tempat
tersebut). Apabila dikaji dari segi makna, permukiman berasal dari terjemahan
kata human settlements yang mengandung pengertian suatu proses bermukim.

12

Universitas Sumatera Utara

Terlihat jelas bahwa kata permukiman mengandung unsur dimensi waktu dalam
prosesnya (Suparno dan Marlina, 2005).
Pengertian permukiman menurut Undang-undang No. 1 Tahun 2011 Pasal 1
tentang perumahan dan kawasan permukiman, permukiman adalah bagian dari
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang
kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan pedesaan.
Rumah adalah suatu bangunan dimana manusia tinggal dan melangsungkan
kehidupannya. Menurut Sarwono dkk

dalam Budihardjo (2009) perumahan

merupakan sekelompok rumah. Setiap perumahan memiliki sistem nilai serta


kebiassan sendiri yang berlaku bagi warganya. Sistem nilai tersebut berbeda
antara satu perumahan dengan yang lain, tergantung pada daerah ataupun keadaan
masyarakat setempat. Menurut Rapoport (1969) rumah adalah suatu bentuk
fenomena budaya

dan

pengaturannya

sangat

dipengaruhi

oleh budaya

lingkungannya.
Hierarki kebutuhan menurut Maslow terlihat dalam gambar 2.1. menunjukkan
tingkat intensitas dan arti penting dari kebutuhan dasar manusia. Pada tingkat
terbawah, rumah memberikan perlindungan terhadap gangguan alam dan
binatang, berfungsi sebagai tempat istirahat, tidur, dan pemenuhan fungsi badani.
Pada tingkat di atasnya, rumah harus bisa menciptakan rasa aman sebagai tempat
menjalankan kegiatan ritual, penyimpanan harta milik yang berharga dan
menjamin hak pribadi (Budihardjo, 1987).

13

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow (Sumber : Budihardjo, 1987)

Menurut Doxiadis (1971) dalam Ahyat (2012) permukiman adalah paduan


antara unsur alam, manusia dengan masyarakatnya, dan unsur buatan berupa
naungan dan networking. Menurut Turner (1972) dalam Batudoka (2005) rumah
adalah bagian yang utuh dari permukiman, dan bukan hasil fisik sekaligus tetapi
merupakan sebuah proses yang terus berkembang dan terkait dengan mobilitas
ekonomi penghuninya dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, yang
terpenting dari rumah adalah dampak terhadap penghuni, bukan wujud dan
standar fisiknya.
Buku yang berjudul An Introduction to the Science of Human Settlements
(1969) oleh dalam Hutapea (2012) Doxiadis menyebutkan bahwa mempelajari
tentang kawasan perumahan permukiman tidak hanya mempelajari area terbangun
dan area terbuka saja tetapi juga fungsi dari kawasan tersebut. Oleh karenanya
dalam mempelajari tentang perumahan permukiman atau fungsinya, kita harus

14

Universitas Sumatera Utara

mengetahui hubungan kawasan tersebut dengan lingkungan di sekitar luar


kawasan tersebut dan mengetahui jalur transportasi yang menghubungkan
kawasan tersebut dengan kawasan lainnya, karena aktifitas di sekitar kawasan
permukiman juga sangat mempengaruhi fungsi dari permukiman.
2.2.2. Pengertian Permukiman Kumuh
Menurut Yudohusodo (1991) permukiman kumuh adalah suatu kawasan
dengan bentuk hunian yang tidak berstruktur, tidak berpola (misalnya letak rumah
dan jalannya tidak beraturan, tidak tersedianya fasilitas umum, prasarana dan
sarana air bersih, MCK) bentuk fisiknya yang tidak layak misalnya secara reguler
tiap tahun kebanjiran. Keberadaan kawasan permukiman kumuh diperkotaan
dapat menjadi masalah serius bagi masyarakat maupun pemerintah, baik ditinjau
dari aspek keruangan, estetika, lingkungan dan sosial.
Lingkungan permukiman kumuh menurut Komarudin (1997) didefinisikan
sebagai lingkungan permukiman yang berpenghuni padat (melebihi 500 orang per
Ha), kondisi sosial ekonomi rendah, jumlah rumah yang sangat padat dan
ukurannya dibawah standar, prasarana lingkungan hampir tidak ada atau tidak
memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, dibangun di atas tanah negara atau
tanah milik orang lain, dan diluar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Johan Silas, seorang pakar dalam bidang arsitektur dan permukiman kumuh
menjelaskan bahwasanya kriteria pokok untuk menemukan permukiman
kumuh/marjinal adalah: bila berada di lokasi yang ilegal, dengan keadaan fisiknya
yang sub standar; penghasilan penghuni amat rendah (miskin), tak dapat dilayani

15

Universitas Sumatera Utara

berbagai fasilitas kota; dan tidak diingini kehadirannya oleh publik (kecuali yang
berkepentingan) (Titisari dan Kurniawan, 1999 dalam Hutapea, 2012).
Permukiman kumuh adalah lingkungan hunian yang kualitasnya sangat tidak
layak huni. Ciri-ciri permukiman kumuh antara lain berada pada lahan yang tidak
sesuai dengan peruntukan/tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi dalam
luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, serta
kualitas bangunan yang sangat rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang
memadai dan membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghidupan
penghuninya (Budihardjo, 1987).
Permukiman kumuh mengacu pada aspek lingkungan hunian atau komunitas.
Permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang
telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk baik secara fisik, sosial
ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak mungkin dicapainya kehidupan yang
layak bagi penghuninya, bahkan dapat pula dikatakan bahwa para penghuninya
benar-benar dalam lingkungan yang sangat membahanyakan kehidupannya. Pada
umumnya permukiman kumuh memiliki ciri-ciri tingkat kepadatan penduduk
yang sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar, seperti
halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan, ruang
terbuka/rekreasi, fasilitas pelayanan kesehatan dan perbelanjaan (Masrun, 2009
dalam Hutapea, 2012).
Lingkungan permukiman kumuh, secara estimologis dapat dibedakan
menjadi dua yaitu slum dan squatter. Pengertian dari keduanya adalah :
(Budihardjo, 1997 dalam Sulaiman, 2005)

16

Universitas Sumatera Utara

a. slum yaitu kawasan kumuh tetapi sah sebagai sebagai daerah permukiman
b. squatter yaitu permukiman kumuh liar, yang menenempati lahan tidak
ditetapkan untuk kawasan hunian, misalnya di sepanjang rel KA, pinggir
sungai, pembuangan sampah dan sebagainya
2.2.3. Penyebab Utama Tumbuhnya Permukiman Kumuh
Tumbuhnya permukiman kumuh merupakan akibat dari urbanisasi, migrasi
yang tinggi, masyarakat berbondong-bondong datang ke kota untuk mencari
nafkah. Hidup di kota sebagai warga dengan mata pencaharian terbanyak pada
sektor informal. Pada dasarnya pertumbuhan sektor informal bersumber pada
urbanisasi penduduk dari pedesaan ke kota, atau dari kota satu ke kota lainnya.
Hal ini disebabkan oleh lahan pertanian di mana mereka tinggal, sudah terbatas,
bahkan kondisi desapun tidak dapat lagi menyerap angkatan kerja yang terus
bertambah, sedangkan yang migrasi dari kota ke kota lain, kota tidak lagi mampu
menampung, karena lapangan kerja sangat terbatas. Akhirnya dengan adanya
pemanfaatan ruang yang tidak terencana di beberapa daerah, terjadi penurunan
kualitas lingkungan bahkan kawasan permukiman, terutama di daerah perkotaan
yang padat penghuni, berdekatan dengan kawasan industri, kawasan bisnis,
kawasan pesisir dan pantai yang dihuni oleh keluarga para nelayan, serta di
bantaran sungai, dan bantaran rel kereta api (Marwati, 2004 dalam Mulia, 2011).
Menurut Komarudin (1997) penyebab utama lingkungan kumuh antara lain :
1. urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah

17

Universitas Sumatera Utara

2. sulitnya mencari pekerjaan


3. sulitnya mencicil atau menyewa rumah
4. kurang tegasnya pelaksanaan peraturan perundang-undangan
5. program perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik
rumah (misalnya tarif sewa rumah makin tinggi)
6. disiplin warga yang rendah
Penyebab adanya permukiman kumuh menurut Nawagamuwa dan Viking (2003)
dalam Hutapea (2012) adalah :
1. karakter bangunan yaitu umur bangunan yang sudah terlalu tua, tidak
terorganisasi, ventilasi, pencahayaan dan sanitasi yang tidak memenuhi syarat
2. karakter lingkungan yaitu tidak ada open space (ruang terbuka hijau) dan tidak
tersedia fasilitas untuk rekreasi keluarga, kepadatan penduduk yang tinggi,
sarana prasarana yang tidak terencana dengan baik
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa permukiman kumuh
ialah permukiman yang kondisi lingkungannya tidak layak untuk dihuni dan
lokasinya yang berada di lahan milik negara (berstatus ilegal). Penyebab
timbulnya permukiman kumuh menurut para ahli diantaranya disebabkan oleh
tingkat pertumbuhan dan perpindahan penduduk, masyarakat berpenghasilan
rendah, serta tingginya harga tanah dan kurangnya lahan untuk permukiman.
Menurut Doxiadis (1968) dalam Hutapea (2012) disebutkan bahwa pertumbuhan
permukiman kumuh dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

18

Universitas Sumatera Utara

growth of density (pertambahan penduduk), dengan adanya pertambahan


jumlah penduduk yaitu dari kelahiran dan adanya pertambahan jumlah
keluarga, maka akan membawa masalah baru. Secara manusiawi mereka ingin
menempati rumah milik mereka sendiri. Dengan demikian semakin
bertambahlah jumlah hunian yang ada di kawasan permukiman tersebut yang
menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman

urbanization (urbanisasi), dengan adanya daya tarik pusat kota maka akan
menyebabkan arus migrasi desa ke kota maupun dari luar kota ke pusat kota.
Kaum urbanisasi yang bekerja di pusat kota ataupun masyarakat yang
membuka usaha di pusat kota, tentu saja memiliki untuk tinggal di
permukiman di sekitar pusat kota. Hal ini juga akan menyebabkan
pertumbuhan perumahan permukiman di kawasan pusat kota

2.2.4. Karakteristik Permukiman Kumuh


Menurut

Kuswartojo dkk (2005) permukiman kumuh yaitu permukiman

yang padat, kualitas konstruksi rendah, prasarana, dan pelayanan permukiman


minim adalah pengejawantahan kemiskinan. Meskipun ada pengecualian dan
keadaan khusus, pada umumnya kita sepakat kalau kita memformulakan bahwa di
permukiman kumuhlah masyarakat miskin tinggal. Ini terutama kita jumpai di
kawasan perkotaan.
Karakteristik permukiman kumuh menurut Silas (1996) dalam Hutapea (2012)
adalah sebagai berikut :

19

Universitas Sumatera Utara

keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, rata-rata 6


m/orang. Sedangkan fasilitas kekotaan secara langsung tidak terlayani karena
tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan permukiman yang ada,
maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya

permukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat
mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas
keterjangkauan) baik membeli atau menyewa

manfaat permukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga


murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi

Menurut Sinulingga (2005) dalam Hutapea (2012) ciri-ciri kampung/permukiman


kumuh terdiri dari :
1. penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/Ha. Pendapat para ahli perkotaan
menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80
jiwa/Ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang
dibangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis, psikologis dan
perlindungan terhadap penyakit
2. jalan-jalan sempit dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya,
kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang
sudah bersinggungan satu sama lain
3. fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalan-jalan
tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan
tergenang oleh air

20

Universitas Sumatera Utara

4. fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya


yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah
5. fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur
dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan
6. tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada umunya tidak
permanen dan malahan banyak sangat darurat
7. pemilikan hak atas lahan sering legal, artinya status tanahnya masih
merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa
Menurut Turner (1976) dalam Mulyati (2008) permukiman Spontan
merupakan salah satu alternatif pemecahan yang mereka lakukan yaitu
permukiman yang tidak teratur, tidak legal baik tanah, rumah, atau keduanya.
Biasanya merupakan rumah gubuk dengan fasilitas yang tidak memadai tata letak
fisiknya, ciri pemilikannya atau lokasinya.
Gambaran lingkungan kumuh menurut Komarudin (1997) yaitu lingkungan
permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya berdesakan, luas
rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni, rumah hanya sekedar tempat
berlindung dari panas dan hujan, hunian bersifat sementara dan dibangun di atas
tanah yang bukan milik penghuni, lingkungan dan tata permukimannya tidak
teratur tanpa perencanaan, prasarana kurang (mck, air bersih, saluran buangan,
listrik, jalan lingkungan, fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai
pengobatan), mata pencaharian tidak tetap dan usaha non-formal, serta pendidikan
masyarakat rendah.

21

Universitas Sumatera Utara

Menurut Yudohusodo (1991) dalam bukunya yang berjudul Rumah Untuk


Seluruh Rakyat, perumahan liar tumbuhnya agak jauh dari jalan kendaraan, di
pinggir-pinggir sungai dan bantaran sungai, di sepanjang jalan kereta api, di
sekitar pasar dan stasiun kereta api, dan di daerah rendah yang sering kebanjiran.
Daerah-daerah tersebut pada umumnya adalah berupa tanah yang belum
dipergunakan, ditinggalkan atau yang tidak diawasi oleh pemegang haknya.
Penghuninya merupakan pendatang dari pedesaan dan kota-kota lainnya,
berpenghasilan rendah bahkan sangat rendah. Mereka tinggal di gubuk-gubuk dari
bahan-bahan yang tidak tahan lama dan bahan-bahan bekas, tetapi kadang-kadang
terdapat pula bangunan permanen yang cukup baik. Lingkungan permukiman
kumuh mempunyai karakteristikk sebagai berikut :

kondisi fisik lingkungan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan


kesehatan, yaitu kurangnya atau tidak tersedianya prasarana, fasilitas dan
utilitas lingkungan. Walaupun ada, kondisinya sangat buruk dan disamping
itu, tata letak bangunan tidak teratur.

kondisi bangunan yang sangat buruk serta bahan-bahan bangunan yang


digunakan adalah bahan bangunan yang bersifat semi permanen.

kepadatan bangunan dengan KDB yang lebih besar dari yang diijinkan,
dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi (lebih dari 500 jiwa per ha)

fungsi-fungsi kota yang bercampur dan tidak beraturan

Siswono (1991) dalam Sulaiman (2005) membagi lingkungan kumuh dalam lima
kelompok :

22

Universitas Sumatera Utara

1. berada pada lokasi yang sangat strategis dalam mendukung fungsi kota yang
menurut rencana kota dapat dibangun untuk komersial atau pelayanan
masyarakat kota yang baik
2. lokasinya yang kurang strategis dalam mendukung fungsi kota dan memberi
pelayanan kepada masyarakat kota. Meskipun dalam rencana kota untuk
dijadikan kawasan komersial namun kurang memiliki potensi
3. lokasinya kurang strategis dan menurut rencana kota hanya boleh dibangun
untuk perumahan
4. permukiman kumuh yang berada pada lokasi yang menurut rencana kota tidak
diperuntukkan bagi perumahan
5. permukiman kumuh yang berada pada lokasi yang berbahaya, yang menurut
rencana kota disediakan untuk jalur pengaman, seperti bantaran sungai, jalur
jalan kereta api dan jalur tegangan listrik
2.3.

Garis Sempadan Rel Kereta Api


Penyediaan RTH (Jalur Hijau) pada garis sempadan jalan rel kereta api

merupakan RTH yang memiliki fungsi utama untuk membatasi interaksi antara
kegiatan masyarakat dengan jalan rel kereta api. Berkaitan dengan hal tersebut
perlu dengan tegas menentukan lebar garis sempadan jalan kereta api di kawasan
perkotaan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang
penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan).

23

Universitas Sumatera Utara

Obyek

Jalan Rel Kereta Api


terletak di :
a. Jalan rel kereta api
lurus

Tanaman

Bangunan

> 11 m

> 20 m

b. Jalan rel kereta api


belokan/lengkungan
-

Lengkung dalam

> 23 m

> 23 m

Lengkung luar

> 11 m

> 11 m

Tabel 2.1. Lebar Garis Sempadan Rel Kereta Api (Sumber : Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008)

Penggunaan Tanah Negara Untuk Hunian

2.4.
Di

daerah

perkotaan,

tidak

mengakibatkan tumbuhnya slums

tersedianya

perumahan

yang

cukup

dan semi slums yang pada gilirannya

menimbulkan berbagai masalah sosio ekonomis. Di samping itu padatnya


penduduk di kota akan mengakibatkan semakin kurang memadainya fasilitas
permukiman seperti jalan dan prasarana lainnya. Salah satu masalah utama yang
menghambat pembangunan perumahan di daerah perkotaan ialah kurang
tersedianya tanah yang siap dibangun dan terus menigkatnya harga tanah serta
kesulitan-kesulitan

dalam

proses

pembebasan

tanah

untuk

perumahan.

Kebijksanaan mengenai tata guna tanah di daerah perkotaan (urban and policy)
masih belum didukung oleh peraturan perundangan yang memadai (Cosmas
dalam Budihardjo, 2009).
Lahan publik merupakan aset yang dimiliki oleh populasi kota dan
hendaknya dimanfaatkan oleh populasi tersebut. Sayangnya saat ini lahan yang

24

Universitas Sumatera Utara

dimiliki pemerintah cenderung dilihat sebagai komoditas yang dapat dipasarkan


tinimbang sebagai lahan untuk kepentingan bersama, sehingga penjualan atau
penyewaan seringkali diberikan

kepada penawar tertinggi untuk pusat

perbelanjaan, lahan parkir, hotel mewah dan lapangan golf, alih-alih taman kota,
sekolah, taman bermain, pasar rakyat, dan perumahan murah yang sangat
diperlukan oleh kota-kota kita (Sumarwanto, 2014).
Salah satu cara jitu mengurangi biaya lahan untuk perumahan bagi kalangan
berpenghasilan rendah adalah menggunakan lahan publik, yang dapat disewakan
oleh badan pemerintah yang memilikinya, atau ditetapkan sebagai lahan berhak
guna bagi perumahan komunitas berpenghasilan rendah. Ini dapat direncanakan
dan dibangun dengan berbagai strategi maupun bentuk kemitraan (Thomas
A.Keer-AHCR, 2009) dalam Sumarwanto (2014).
2.5.

Bentuk Pola Permukiman Kumuh di Indonesia


Apabila dikaji berdasarkan strukturnya, kampung merupakan salah satu

elemen pembentuk kota. Secara fisik, kondisi kampung di kota-kota besar saat ini
pada umumnya sangat buruk. Hal ini terutama dipicu karena masalah kepadatan.
Tingginya angka kepadatan penduduk di kampung-kampung di perkotaan
membawa berbagai dampak negatif bagi kondisi kampung tersebut, yaitu :
(Suparno dan Marlina, 2005)
1. kehidupan sosial yang tidak teratur
2. tingkat ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang rendah
3. kurangnya infrastruktur

25

Universitas Sumatera Utara

4. tataguna lahan yang tidak teratur


5. kondisi rumah yang kurang sehat
Permukiman mempunyai berbagai pola yang umum terjadi akibat berbagai faktor
yang mempengaruhi, antara lain: (Ahyat, 2012)

sub kelompok komunitas, pola permukiman tipe ini berbentuk cluster, terdiri
dari beberapa unit atau kelompok unit hunian, memusat pada ruang-ruang
penting, seperti penjemuran, ruang terbuka umum, masjid dan sebagainya
(Gambar 2.2.)

Gambar 2.2. Pola Permukiman Sub Kelompok Komunitas (Sumber : Ahyat, 2012)

face to face, pola permukiman tipe ini berbentuk linier, antara unit-unit hunian
sepanjang permukiman dan secara linier terdapat perletakan pusat aktivitas
yaitu tambatan perahu atau dermaga, ruang penjemuran, pasar dan sebagainya
(Gambar 2.3.)

26

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3. Pola Permukiman Face to face (Sumber : Ahyat, 2012)

2.6.

Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatasi Permukiman Kumuh


Program pemerintah dalam penanganan permukiman kumuh telah dimulai

sejak tahun 1969 melalui Program Perbaikan Kampung (Kampoeng Improvement


Program/KIP) dan berakhir tahun 1989. Kemudian dilanjutkan dengan
Pembangunan Perumahan Berbasis pada Kelompok (P2BPK) sepanjang periode
1989-2000. Pada saat bersamaan juga dilaksanakan KIP Komprehensif (19982002) yang telah mengadopsi aspek modal manusia dan modal sosial. Program
sejenis juga dilaksanakan dengan menambahkan aspek modal ekonomi yaitu
Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) pada tahun 1999, dan
Community-Based Initiatives for Housing and Local Development (COBILD)
(2000-2003). Pada tahun 2004 diluncurkan Neighborhood Upgrading and Shelter
Sector Project (NUSSP) yang mengadopsi aspek fisik, sosial, manusiadan
ekonomi, dan kegiatan Urban Renewal

yang fokus pada aspek fisik berupa

pembangunan rumah susun, peremajaan kawasan dan penataan lingkungan.


Kegiatan terbaru yang dicanangkan oleh presiden pada tahun 2011 adalah

27

Universitas Sumatera Utara

program Pro Rakyat Klaster IV yang berfokus pada penataan kawasan kumuh
(Mungkasa, 2012).
Terlihat pada era tahun 2000, program yang dilaksanakan terbagi dalam 2
(dua) kategori yaitu yang bersifat menyeluruh dan fokus aspek fisik saja. Selain
itu, perubahan yang terjadi tidak terlihat benang merahnya, kemungkinan karena
kegiatan yang bersifat proyek dan tidak didukung oleh ketersediaan payung
kebijakan penanganan permukiman kumuh (Mungkasa, 2012).
Sementara Kementerian Perumahan Rakyat pada tahun 2010 meluncurkan
kegiatan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis
Kawasan (PLP2K-BK) dengan pendekatan Tridaya (manusia, lingkungan,
ekonomi), kesesuaian dengan tata ruang, penyediaan Prasarana, Sarana dan
Utilitas (PSU), dan keterpaduan dengan sektor lain. Kegiatan ini didukung dengan
kegiatan bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) berupa penyediaan
stimulan peningkatan kualitas (PK) dan pembangunan baru (PB) bagi rumah
tangga kumuh, kegiatan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa),
dan disediakan skema pembiayaan melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan
Perumahan (FLPP) (Mungkasa, 2012).
Pada prinsipnya KIP (Kampoeng Improvement Program) bertujuan untuk
memperbaiki kondisi lingkungan secara menyeluruh. KIP ini dikembangkan
dengan 3 program, yaitu : (Suparno dan Marlina, 2005)
1. program perbaikan lingkungan (bina lingkungan)
2. program pengembangan manusia (bina manusia)
3. program pengembangan ekonomi (bina usaha)

28

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan tujuan KIP, contoh contoh kegiatan yang dapat dilakukan pada KIP
adalah sebagai berikut : (Suparno dan Marlina, 2005)
1. perbaikan jalan masuk ke lingkungan
2. perbaikan jalan untuk pejalan kaki
3. perbaikan saluran drainase
4. perbaikan saluran pembuangan
5. penyediaan air bersih
6. penyediaan MCK
7. pengadaan fasilitas sosial sebagai tambahan (misal fasilitas kesehatan, dll)
8. penyuluhan kesehatan kepada warga
Secara keseluruhan, program-program yang dilaksanakan tidak sepenuhnya
dapat membantu usaha penataan dan perbaikan permukiman kumuh. Poerbo
dalam Komarudin (1997) berpendapat program-program yang dijalankan
pemerintah masih cenderung bersifat top down, serta kurang mampu menggali
aspirasi dan karakteristik dari masyarakat itu sendiri. Selain itu, banyaknya proyek
peremajaan permukiman kumuh yang tidak didahului oleh survei sosial
merupakan penyebab lainnya. Karakteristik masyarakat yang perlu dikenali,
antara lain : aspek sosial, sumber daya manusia, ekonomi (mata pencaharian),
alam, dan fisik seperti kondisi fisik rumah dan lingkungan, dan lain sebagainya
(Lestari, 2006).

29

Universitas Sumatera Utara

2.7.

Diagram Kepustakaan

Permukiman Kumuh
Doxiadis, 1968; Yudohusodo, 1991;
Silas, 1996; Komarudin, 1997;
Budihardjo, 1997; Kuswartojo, 2005

Permukiman
Rapoport, 1969; Doxiadis, 1969 & 1971;
Turner, 1972; Budihardjo, 1987; Suparno
dan Marlina, 2005; Budihardjo, 2009

Masyarakat Berpenghasilan Rendah


Turner 1968; Budihardjo, 1987;
Santoso, 2002; Panudju, 2009

Budaya Bermukim
Rapoport 1969

Daya Beli
Yudohusodo 1991; Komarudin
1997
Permukiman Di
Pinggiran Rel
Kereta Api

Gambar 2.4. Diagram Kepustakaan

30

Universitas Sumatera Utara

2.8.

Studi Kasus Sejenis

2.8.1. Kajian Luas Rumah Tinggal Masyarakat Berpenghasilan Rendah di


Kawasan Pusat Kota, Ahda Mulyati, 2008
Permukiman masyarakat berpenghasilan rendah merupakan kampung, yang
umumnya terletak di sekitar pusat kota, mempunyai kepadatan tinggi tanpa
halaman yang cukup, serta prasarana fisik lingkungan yang kurang memadai.
Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia selain sandang, pangan dan
kesehatan, dan berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat bermukim, sebagai proses
yang berlanjut, sebagai shelter, mesin kehidupan, tempat bercengkerama,
menjamu sahabat, mendidik anak, bekerja dan berprestasi, sebagai aset dan modal
kehidupan. Karena keterbatasan lahan, ruang terbuka merupakan ruang yang
paling dominan

dipergunakan

untuk segala

aktivitas.

Hasil

penelitian

menunjukkan : Sesuai dengan fungsinya ruang-ruang publik sebagai ruang multi


fungsi merupakan ruang yang paling dominan dimanfaatkan untuk kegiatankegiatan dalam menunjang kehidupan pemukim, dibuat tanpa pembatas karena
ruang-ruang adalah milik bersama; karena keterbatasan lahan, rumah tinggal
dibangun

sesuai

dengan

keinginan

dan

kemampuan

pemukim

tanpa

mempertimbangkan faktor keamanan, kesehatan dan persyaratan-persyaratan


lingkungan permukiman yang layak untuk hunian; luasan rumah tinggal masih
bervariasi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan jumlah penghuni.
Sesuai dengan fungsinya ruang-ruang publik yang multi fungsi merupakan
ruang yang paling dominan dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang
menunjang kehidupan pemukim, dibuat tanpa pembatas karena ruang-ruang
31

Universitas Sumatera Utara

adalah milik bersama. Karena keterbatasan lahan, rumah tinggal dibangun sesuai
dengan keinginan dan kemampuan pemukim tanpa mempertimbangkan faktor
keamanan, kesehatan dan persyaratan-persyaratan lingkungan permukiman yang
layak untuk hunia. Luasan rumah tinggal masih bervariasi sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan jumlah penghuni.
2.8.2. Dampak Urbanisasi Terhadap Permukiman Kumuh (Slum Area) di
Daerah Perkotaan, Waston Malau, 2013
Urbanisasi menyebabkan laju pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah
perkotaan sehingga menimbulkan beragam permasalahan, salah satu diantaranya
adalah semakin banyaknya permukiman kumuh (slum area) pada lahan-lahan
kosong di daerah perkotaan seperti bantaran sungai, bantaran rel kereta api, taman
kota, maupun di bawah jalan layang. Penghuni permukiman kumuh (daerah slum)
adalah sekelompok orang yang datang dari desa menuju kota dengan tujuan ingin
mengubah nasib. Mereka umumnya tidak memiliki keahlian dan jenjang
pendidikan yang cukup untuk bekerja di sektor industri di perkotaan. Mereka
hanya bisa memasuki sektor informal dengan penghasilan yang rendah, sehingga
tidak mampu mendiami perumahan yang layak.
Angka kelahiran dan urbanisasi merupakan dua faktor utama yang
menyebabkan pertambahan penduduk yang pesat di daerah perkotaan.
Pertambahan penduduk yang pesat ini mengakibatkan terjadinya sejumlah
permasalahan di daerah perkotaan, salah satu diantaranya adalah munculnya
permukiman kumuh atau daerah slum (slum area) yaitu daerah yang sifatnya
kumuh dan tidak beraturan yang terdapat di daerah perkotaan. Penghuni

32

Universitas Sumatera Utara

permukiman kumuh (daerah slum) adalah sekelompok orang yang datang dari
desa menuju kota dengan tujuan ingin mengubah nasib. Mereka tidak memiliki
keahlian dan jenjang pendidikan yang cukup untuk bekerja di sektor industri di
daerah perkotaan, sehingga akhirnya memasuki sektor informal. Akibatnya
mereka berada dalam kehidupan ekonomi yang miskin karena hanya memiliki
penghasilan yang rendah tetapi harus berhadapan dengan biaya hidup yang tinggi
dikota.

33

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai