Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah Susun


2.1.1 Pengertian Rumah
Rumah merupakan kebutuhan primer untuk manusia, dan itu sudah ada pada
zaman dahulu, yang mana manusia pada saat itu menggunakan gua sebagai
tempat tinggal, tempat berlindung dari panas dan hujan, tempat melakukan
berbagai macam aktifitas, dan tempat berlindung dari gangguan hewan buas.
Semakin berkembangnya zaman, dan kebutuhan manusia semakin kompleks,
maka terjadilah revolusi rumah, yang mana pada awalnya manusia dahulu tinggal
di gua beralih ke rumah tunggal, dan semakin lama pertumbuhan jumlah rumah
semakin banyak dan semakin padat.
Pengertian rumah menurut Budihardjo dalam Hadiyanuar antara lain:
 Rumah sebagai simbol dan pencerminan tata nilai selera pribadi
penghuninya atau dengan kata lain sebagai pengejawantahan jati diri.
 Rumah sebagai wadah keakraban diamana rasa memiliki, kebersamaan,
kehangatan, kasih dan rasa aman tercipta didalamnya.
 Rumah sebagai tempat kita menyendiri dan menyepi, yaitu sebagai tempat
melepaskan diri dari dunia luar, tekanan dan tegangan, rumah sebagai tempat
untuk kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam
untaian proses ke masa depan.
 Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari, rumah sebagai pusat
jaringan sosial.
 Rumah sebagai struktur fisik dalam arti rumah adalah bangunan.
Rumah tinggal sebagai sebuah bangunan dengan segala fungsi yang
dimilikinya dapat mempertemukan berbagai kebutuhan manusia yang berbeda-
beda, bersifat unik dan memiliki jenjang ketingkatan dari tingkat rendah hingga
tinggi. Abraham Maslow, seorang ahli psikologi, ada lima tingkatan dari
kebutuhan manusia yang dimulai dari kebutuhan tingkat terbawah (lower needs)
hingga pada tingkat kebutuhan teratas (higher needs). Dimulai dari kebutuhan
fisiologis sampai pada puncaknya adalah kebutuhan untuk perwujudan diri/self-
actualization needs. (Bahri dalam Maslow, 2005)
Tingkat kebutuhan yang telah disebutkan tadi, berawal dari tingkatan
rendah, dan apabila tingkatan terendah tadi akan dialami penggunaya dan
penggunanya sendiri tidak sesuai dengan hal itu, pengguna akan merasa jenuh
karena menginginkan tingkatan yang lebih tinggi, salah satu contohnya adalah:
apabila ada hunian yang mana didalamnya terdapat penggunya yang tidak sesuai
dengan kuantitas atau daya tampung hunian terhadap penggunyanya, dari segi
kebutuhan memang sudah ada, akan tetapi kebutuhan tersebut sangatlah kurang.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1992 Tentang


Perumahan dan Permukiman mendefinisikan bahwa :
1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hu
niandan sarana pembinaan keluarga.
2. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana
dan sarana lingkungan.
3. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Gambar 2.1 Permukiman Horizontal


(sumber economy.okezone.com/read/2013)

Permukiman horizontal yang tertera pada gambar 2.1 memperlihatkan begitu


tidak kondusifnya penataan pemukiman pada suatu wilayah/daerah, dari segi
estetika juga tidak begitu enak dipandang, lanskap pada wilayah/daerah tersebut
terlihat tidak tertata dengan rapi. Disamping itu permukiman horizontal
cenderung akan mengakibatkan pemakaian lahan secara besar-besaran, yang
nantinya akan mengurangi lahan terbuka hijau. Apabila dibandingkan antara
permukiman horizontal dengan permukiman vertikal, permukiman horizontal
akan memakan banyak lahan dibandingkan permukiman vertikal, selain itu dari
segi biaya pembangunan permukiman vertikal akan lebih murah dibandingkan
dengan permukiman horizontal (Joerni Makmoerniaty, 2010).
Selain itu perkembangan kota secara horizontal semakin mempersempit ruang
terbuka/lahan hijau serta berdampak pada kondisi kemiskinan penduduk yang
semakin lama semakin memburuk. Kecenderungan penduduk untuk memilih
tinggal di kota pada saat ini maupun tahun-tahun mendatang akan
mempengaruhi kehidupan kota besar dalam segala sisi, salah satunya kurangnya
kebutuhan akan tempat tinggal dan ruang publik (Ahmad Tardiyana dalam
Sustainable Construction, 2007). Berkaitan dengan permukiman horizontal dan
permukiman vertikal, keduanya sebenarnya memiliki nilai positif dan negatif,
akan tetapi pada kenyataannya pada masa sekarang ini banyak lahan yang
digunakan untuk pemukiman horizontal, sehingga muncul permasalahan sulit
untuk memenuhi kebutuhan primer (tempat tinggal). Kawasan/wilayah yang
dikategorikan kumuh dan masyarakatnya kebayakan dari golongan menengah
kebawah, permukiman yang ada sungguh tidak sesuai, dan jauh berbeda dengan
pemukiman horizontal yang dikategorikan elit, yang masyarakatnya kebanyakan
dari golongan menengah keatas. Kalau sebagian dari permukiman horizontal
dirubah menjadi permukiman vertikal, golongan masyarakat menengah keatas
bisa memilih alternatif seperti apartemen, dan bagaimana nasib dari masyarakat
golongan menengah kebawah, mungkin salah satunya dengan disediakannya
rumah susun, yang mana rumah susun juga merupakan permukiman vertikal.

2.1.2 Pengertian Rumah Susun


Menurut UU No.20 tahun 2011 Rumah susun adalah bangunan gedung
bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-
bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun
vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan
digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi
dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

2.1.3 Persyaratan Rumah Susun


Pembangunan rumah susun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
primer/rumah yang layak bagi masyarakat pada suatu daerah/kawasan, dengan
meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah yang terbatas. Menurut Undang-
undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2011 tentang rumah susun :
1. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan
satuan- satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

2. Penyelenggaraan rumah susun adalah kegiatan perencanaan, pembangunan,


penguasaan dan pemanfaatan, pengelolaan, pemeliharaan dan perawatan,
pengendalian, kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran
masyarakat yang dilaksanakan secara sistematis, terpadu, berkelanjutan, dan
bertanggung jawab. Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki
secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.

3. Satuan rumah susun yang selanjutnya disebut sarusun adalah unit rumah
susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama
sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.

4. Tanah bersama adalah sebidang tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan
yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya
berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin
mendirikan bangunan.

5. Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak
terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-
satuan rumah susun.

6. Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun
melainkan bagian yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk
pemakaian bersama.

2.1.4 Jenis-Jenisrumah Susun


Macam-macam jenis rumah susun berdasarkan undang-undang Republik
Indonesia nomor 20 tahun 2011 terdiri dari 4 jenis, yaitu :
1. Rumah susun umum adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk
memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
2. Rumah susun khusus adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk
memenuhi kebutuhan khusus.
3. Rumah susun negara adalah rumah susun yang dimiliki negara dan berfungsi
sebagai tempat tinggal atau hunian, sarana pembinaan keluarga, serta
penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.
4. Rumah susun komersial adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk
mendapatkan keuntungan.
Berbagi macam jenis rumah susun yang telah ditetapkan oleh undang-
undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2011, yang sesuai dengan
perancangan rumah susun sederhana di Kota kediri adalah rumah susun umum,
karena perancangan ini memang ditujukan untuk masyarakat yang
berpenghasilan rendah

2.2 Manajemen Proyek


2.2.1 Pengertian Manajemen Proyek

Sebelum mengemukakan apa arti dari Manajemen Proyek, terlebih dahulu


akan mengetahui arti dari Manajemen dan Proyek itu. Menurut Haming dan
Nurnajamuddin (2011:76) kata manajemen memiliki 2 makna, yaitu sebagai
posisi dan sebagai proses. Sebagai posisi manajemen berarti seorang atau
sekelompok orang yang bertanggung jawab melakukan pengkajian,
penganalisaan, perumusan keputusan, dan penggambilan inisiatif atas tindakan
yang sesuai atau yang terbaik di dalam sebuah organisasi. Sebagai proses,
manajemen adalah sinomin dari administrasi yang memiliki arti sebagai fungsi
dari perencanaan, pengkoordinasian, dan penggerakan aktivitas dari sebuah
organisasi.

Menurut Husen (2009:4), pengertian proyek adalah sebagai


berikut:“gabungan dari sumber-sumber daya seperti manusia, material, peralatan
dan modal/biaya yang dihimpun dalam suatu wadah organisasi sementara untuk
mencapai sasaran dan tujuan.

”Dan Menurut Haming dan Nurnajamuddin (2001:77), pengertian proyek


adalah sebagai berikut:“mendefinisikan bahwa proyek adalah sebuah rencana
yang disiapkan dengan sebaik-baiknya untuk menangani pembuatan suatu
produk baru, atau suatu bisnis baru dari sebuah perusahaan.

”Menurut Husen (2009:4), menyatakan bahwa: “manajemen proyek


adalah penerapan ilmu pengetahuan, keahlian dan keterampilan, cara teknik
yang terbaik dan dengan sumber daya yang terbatas, untuk mencapai sasaran dan
tujuan yang telah ditentukan agar mendapatkan hasil yang optimal dalam hal
kinerja biaya, mutu dan waktu, serta keselamatan kerja.

”Menurut Sarno (2012:1), menyatakan bahwa:“manajemen proyek adalah


suatu proses merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan dan mengontrol
sumber daya perusahaan dengan sasaran jangka pendek untuk mencapai goal
objective yang spesifik.”

2.2.2 Fase dalam Manajemen Proyek


Bakhtiyar,dkk., (2012:56), manajemen proyek dilakukan dalam tiga tahap,
yaitu:
1. Perencanaan (Planning)
Kegiatan perencanaan mencakup penetapan sasaran, mendefinisikan
proyek dan organisasi tim.
2. Penjadwalan (Schedulling)
Kegiatan ini menghubungkan antara tenaga kerja, uang dan bahan yang
digunakan dalam proyek.
3. Pengendalian (Controlling)
kegiatan ini mencakup pengawasan sumber daya, biaya, kualitas dan
budget jika perlu merevisi, mengubah rencana, menggeser atau
mengelola ulang sehingga tepat waktu dan biaya.

2.2.3 Tujuan Manajemen Proyek


Menurut Soeharto (Ismael, 2013:48), tujuan dari adanya proses
manajemen proyek, yaitu:
1. Agar semua rangkaian kegiatan tersebut tepat waktu, dalam hal ini tidak
terjadi keterlambatan penyelesaian proyek.
2. Biaya yang sesuai, maksudnya agar tidak ada biaya tambahan lagi di luar
dari perencanaan biaya yang telah direncanakan.
3. Kualitas sesuai dengan persyaratan.
4. Proses kegiatan sesuai persyaratan.

2.2.4 Network Planning


Menurut Herjanto (2008:359) Network Planning adalah salah satu model
yang banyak digunakan dalam penyelenggaraan proyek, yang dapat
memberikan informasi tentang kegiatan-kegiatan yang ada dalam diagram
jaringan kerja itu. Pada prinsipnya Network Planning tersebut digunakan
untuk merencanakan penyelesaian berbagai macam pekerjaan/proyek. Dengan
adanya Network Planning, proyek dapat menyusun perencanaan penyelesaian
proyek dengan waktu dan biaya yang paling efisien.
2.2.5 Prinsip Dasar Network Planning
Dalam sebuah pelaksanaan proyek konstruksi ataupun lainnya, haruslah
direncanakan dengan matang. Untuk merencanakan pekerjaan harus
mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Mengelola sebuah proyek dalam milestone, meleston menyatakan suatu
peristiwa atau kondisi yang menandai penyelesaian sekelompok tugas
yang saling berhubungan atau penyelesaian suatu tahapan dari sebuah
proyek.
2. Menelusuri perkembangan yang terjadi pada sebuah proyek yang sedang
dilaksanakan.
3. Menetapkan dan menjadwalkan sumber daya yang ada.

2.2.6 Keuntungan Metode Network Planning


Menurut Prasetya dan Lukiastuti (2009:34), metode network planning
sangat membantu manajemen proyek dalam melakukan hal-hal sebagai
berikut:
1. Perencanaan suatu proyek yang kompleks.
2. Schedulling pekerjaan-pekerjaan sdemikian rupa dalam urutan yang
praktis dan efisien.
3. Mengadakan pembagian kerja dari tenaga kerja dan dana yang tersedia.
4. Menentukan trade-off (kemungkinan pertukaran) antara waktu dan
biaya.
5. Menentukan probabilitas penyelesaian suatu proyek tertentu.

2.2.6 Penyusunan Diagram Network


Untuk mempermudah penyelesaian proyek secar keseluruhan diperlukan
adanya suatu digram yang menunjukkan urutan pekerjaan. Dalam metode ini
dikenal simbol-simbol sebagai berikut:
1. Simbol dan Notasi dalam Network Planning
Tabel 1
Simbol dan Notasi dalam Network Planning

Misalnya, A dan B adalah dua kegiatan yang berasal dari peristiwa i dan
berakhir pada peristiwa j, seperti contoh pada gambar di bawah ini. Keadaan
ini sulit dibedakan oleh komputer, karena kedua kegiatan itu dibaca sebagai
kegiatan i-j. Untuk itu, diperlukan bantuan dummy, seperti pada Gambar 2.1.b
atau Gambar 2.1.c, sehingga jelas dapat dibedakan penyeburan dari masing-
masing kegiatan. Didalam hal analisis manual, penggunaan grammatical
dummy dapat diabaikan, sehingga contoh seperti pada Gambar 2.1.a bisa saja
dipakai.

Gambar 2.3 Contoh Penggunaan Grammatical Dummy


Logical dummy dipergunakan untuk memperjelas hubungan antar kegiatan.
Misalnya terdapat hubungan seperti pada Gambar 2.2.a. Hubungan ini dapat
dibaca bahwa kegiatan D dan E dapat dimulai setelah kegaitan A, B, dan C
selesai. Maksud sesungguhnya, kegiatan D dapat dimulai setelah kegiatan A
dan B selesai, sedangkan kegiatan E dapat dimulai setelah kegiatan A, B, dan
C selesai. Untuk menggambarkan logika ini, diperlukan suatu dummy yang
dapat yang dapat memperjelas maksud tersebut, seperti terlihat pada Gambar
2.2.b.

Gambar 2.4 Contoh Penggunaan Logical Dummy


2.2.7 Perhitungan Waktu Proyek

Salah satu hal penting dalam analisis proyek adalah mengetahui kapan
proyek dapat diselesaikan. Untuk menjawab hal itu, perlu diketahui lebih
dulu waktu yang diperlukan untuk masing-masing kegiatan, hubungannya
dengan kegiatan lain, serta kapan kegiatan-kegiatan tersebut dimulai dan
berakhir. Berdasarkan diagram network yang telah tergambar, maka
terbentuk jalur-jalur penyelesaian proyek dimulai dari kejadian awal sampai
kejadian paling akhir. Jalur-jalur tersebut biasa disebut lintasan. Dari sekian
banyak lintasan yang terjadi, dibutuhkan sejumlah waktu yang berbeda yang
dihasilkan dari penjumlahan durasi setiap kegiatan yang dilaluinya.
Dalam perhitungan waktu proyek dikenal beberapa istilah, sebagai
berikut.
a. Earliest activity start time (ES), menunjukkan saat paling awal suatu
kegiatan dapat dimulai.
b. Earliest activity finish time (EF), menunjukkan saat paling awal selesainya
suatu kegiatan.
c. Latest activity start time (LS), menunjukkan saat paling lambat suatu
kegiatan harus dimulai,
d. Latest activity finish time (LF), menunjukkan saat paling lambat suatu
kegiatan harus sudah selesai.
Perhitungan waktu proyek dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama
menghitung ES dan EF, dan tahap kedua menghitung LS dan LF. Perhitungan
ES dan EF dilakukan secara maju (forward pass), yaitu dimulai dari kegiatan
awal (peristiwa saat dimulainya proyek) sampai ke kegiatan terakhir
(peristiwa saat berakhirnya proyek). EF untuk suatu kegiatan sama dengan
ES ditambah dengan waktu untuk melaksanakan kegiatan tersebut, atau
EFx = ESx + tx
Sementara, perhitungan LS dan LF dilakukan secara mundur (backward
pass), yang dirumuskan sebagai berikut:
LSx = LFx - tx
Perhitungan dimulai dari kegiatan terakhir (dimana EF = LF) menuju ke
kegiatan pertama (dimana ES = LS = 0).
Perhitungan waktu proyek bisa dilakukan dengan bantuan diagram
jaringan kerja. Pada diagram jaringan kerja, posisi yang dipergunakan untuk
menunjukkan ES, LS, EF, dan LF dari suatu kegiatan X yang berasal dari
peristiwa i dan berakhir pada peristiwa j sebagai berikut.

LSx t LFx
i ESx X j
EFx

Gambar 2.5 Contoh Gambar Diagram Jaringan Kerja

2.2.8 Metode Network Planning

 Critical Path Method (CPM)


Menurut Haming dan Nurnajamuddin (2014:86), Critical Path Method
(CPM) atau Metode Jalur Kritis merupakan diagram kerja yang memandang
waktu pelaksanaan kegiatan yang ada dalam jaringan bersifat unik (tunggal)
dan deterministic (pasti), serta dapat diprediksi karena ada pengalam
mengerjakan pekerjaan yang sama pada proyek sebelumnya.

Karakteristik dan cara membaut diagram CPM, yaitu sebagai berikut.


1. Kegiatan dilambangkan oleh lingkaran kecil (node).
2. Hubungan presidensi dilambangkan oleh garis panah.
3. Nama (simbol) kegiatan dan waktu pengerjaannya dinyatakan
dalam lingkatan (node) dari kegiatan.

4. Penulisan waktu-waktu jaringan memakai teladan.

2.3 Pekerjaan Sub Struktur


2.3.1 Pile Cap
Pile Cap merupakan bagian dari struktur pondasi yang biasanya disebut
sebagai kepala tiang yang memiliki nilai efisiensi dari perencanaan kelompok
tiang guna menjaga daya dukung pondasi dari tanah kedudukannya. Fungsi dari
Pile Cap adalah untuk menerima beban dari kolom yang kemudian akan terus
disebarkan ke Bore Pile serta untuk menahan gaya geser dari pembebanan yang
ada. Pile Cap ini bertujuan agar lokasi kolom berada dititik pusat pondasi
sehingga tidak menyebabkan beban tambahan pada pondasi.
Bentuk dari Pile Cap juga bervariasi dengan bentuk segitiga, persegi, dan
persegi panjang. Jumlah Bore Pile yang diikat pada Pile Cap berbeda tergantung
kebutuhan atas beban yang akan diterimanya, terdapat juga Pile Cap dengan
pondasi tunggal.
Proyek House Of Roman ini PT. Jagat Konstruksi menggunakan 6 ( enam )
jenis Pile Cap, yaitu:
 Persegi yang mengikat 1 ( satu )
 Bore PilePersegi yang mengikat 3 ( tiga ) Bore Pile
 Persegi yang mengikat 4 ( empat ) Bore Pile
 Persegi panjang yang mengikat 2 ( dua ) Bore Pile
 Persegi panjang yang mengikat 4 ( empat ) Bore Pile
 Persegi panjang yang mengikat 5 ( lima ) Bore Pile

Suatu pondasi tiang umumnya terdiri lebih dari satu tiang atau disebut tiang
kelompok. Tiang kelompok ini biasanya disatukan oleh kepala tiang yang juga
disebut pile cap atau poer.

Pile cap tersebut biasanya dibuat dari beton bertulang, dituangkan langsung
pada tanah kecuali jika tanah bersifat ekspansif. Pile cap untuk konstruksi
lepas pantai sering dicetak dari form baja. Pile cap tersebut mempunyai suatu
reaksi yang merupakan sederet beban terpusat (tiang pancang). Perencanaan
pile cap juga mempertimbangkan beban kolom dan momen dari setiap tanah
yang mendasari pile cap (jika poer berada di bawah permukaan tanah), dan
berat pile cap.

Dalam perhitungan, poer dianggap/dibuat kaku sempurna sehingga :


 Bila beban-beban yang bekerja pada kelompok tiang tersebut
menimbulkan penurunan maka setelah penurunan bidang poer tetap akan
merupakan bidang datar.
 Gaya-gaya yang bekerja pada tiang berbanding lurus dengan penurunan
tiang-tiang tersebut.

Anggapan bahwa setiap tiang pancang di dalam sebuah kelompok


mengangkut beban yang sama mungkin hampir benar bila hal berikut
dipenuhi :
 Pile cap bersentuhan dengan tanah
 Tiang pancang semuanya tegak lurus
 Beban diletakkan pada pusat kelompok tiang pancang
 Kelompok tiang pancang adalah simetris.
Umumnya, jarak antar tiang dalam kelompok berkisar antara 2,5D sampai
3D. Dimana D adalah diameter atau lebar tiang pancang. Ketentuan ini
berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
 Bila jarak antar tiang s < 2,5D kemungkinan tanah di sekitar kelompok
tiang akan naik terlalu berlebihan karena terdesak oleh tiang-tiang yang
dipancang terlalu berdekatan. Selain itu dapat menyebabkan
terangkatnya tiang-tiang di sekitarnya yang telah dipancang lebih
dahulu.
 Bila jarak antar tiang s > 3D akan menyebabkan perencanaan menjadi
tidak ekonomis sebab akan memperbesar ukuran/dimensi dari poer, jadi
memperbesar biaya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, telah direkomendasikan pola-pola


kelompok tiang pancang sebagaimana ditampilkan pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.6 Pola susunan tiang pancang; (s = minimum pile spacing)


(sumber : Teng, Wayne C., Foundation Design)
2.3.2 Metode Pelaksanaan pekerjaan Pile cap
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pile cap (yang menumpu pada
tiang pancang) dan sloof (yang menghubungkan antar pile cap) adalah sistem form
work-nya. Penggunaan form work untuk pile cap dan sloof, telah mengalami
kemajuan terhadap penggunaan form kayu yang harus dibongkar lagi setelah beton
selesai dicor. Hal ini tidak praktis, karena harus menunggu pembongkaran form
work tersebut. Oleh karena itu, telah banyak digunakan form work yang sifatnya
permanen yaitu menggunakan pasangan bata. Pelaksanaan pile cap dan sloofdiawali
dengan pemotongan kepala tiang pancang. Selanjutnya dimulai dengan pemasangan
bekisting menggunakan pasangan batako. Pemasangan tulangan dilakukan secara
manual di lokasi. Sistem form work permanen seperti ini, akan sangat
menguntungkan lagi jika sloof dihubungkan dengan lantai beton karena pengecoran
lantai beton dapat dilakukan sekaligus pada saat mengecor sloof.

Anda mungkin juga menyukai