Anda di halaman 1dari 5

RESENSI BUKU PERCIKAN MASALAH ARSITEKTUR PERUMAHAN PERKOTAAN

30 JULI 2021

Akhirnya sampe juga di bab perumahan, ini baru yang kutunggu-tunggu dan memang pada akhirnya
banyak titik terang mulai muncul saat mulai baca bab ini. Hahahaha. Di bab ini dibagi menjadi 5 sub-
bab yaitu: 1. Perumahan, Bukan dirumahkan 2. Perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rencah
3. Papan untuk Para Papa 4. Jati Diri Lingkungan Perumahan 5. Perumahan Lingkungan Hidup.

Pada sub-bab pertama, hal yang dibahas mengenai kekeliruan cara pandang dan konsep
penanganan permasalahan perumahan di Indonesia, karakteristik dari perumahan di Indonesia, dan
instrumen hibrida sebagai salah satu aktor pengadaan perumahan di Indonesia.

Menurut penulis, adanya kekeliruan cara pandang permasalahan perumahan di Indonesia


dikarenakan masalah perumahan seringkali hanya dipandang dalam bentuk fisik semata. Sisi lain dari
perumahan seperti aspek paguyuban, kekentalan komunitas, aspirasi, persepsi, dan harapan
penghuninya lepas dari pengamatan.

Selain itu, konsep penanganan masalahan perumahan di Indonesia menggunakan kacamata


kelompok minoritas menengah-elit menyebabkan berbagai masalah ikutan seperti rumah sederhana
yang dibangun secara swadaya oleh penduduk kota miskin dinilai tidak memenuhi syarat untuk
dikategorikan sebagai “rumah”. Akibatnya, perhitungan kekurangan rumah menjadi membengkak
dan biaya pembangunan rumah baru menjadi mahal karena harus berwujud pada bangunan yang
serba permanen. Maka daripada itu, perlulah kita memahami karakteristik perumahan di Indonesia
dan menggunakan itu sebagai kacamata dalam membuat konsep penanganan perumahan yang lebih
tepat sasaran.

Penulis menyatakan ada 3 karakteristik perumahan di Indonesia; 1. Berdasarkan instrumen


pembangunannya perumahan di Indonesia itu aktif dan dinamis mengikuti perubahan sosial dan
ekonomi dari penghuninya. 2. Dapat memiliki fungsi ganda sebagai wahana untuk menambah
penghasilan. 3. Sebagai ruang perwujudan akan identitas dari penghuninya. Maka daripada itu,
pembangunan perumahan di Indonesia seyogyanya dibangun dengan prinsip partisipatif, tidak
dibuat dengan fungsi yang kaku hanya sebagai hunian, dapat dikembangkan oleh penghuni
rumahnya, dan dapat mencerminkan identitas budaya dari penghuninya.

Dan pada bagian akhir dari sub bab ini, penulis menerangkan peran kelompok “Hibrida” yang
menjadi salah satu aktor penting yang patut diperhatikan dalam penyediaan perumahan di
Indonesia. Kelompok Hibrida merupakan organisasi privat non profit yang berfungsi sebagai
penyedia hunian bagi masyarakat, dimana di luar negeri sering disebut dengan Housing Association.
Kelompok hibrida ini biasanya berciri sosial atau keagamaan nirlaba. Adanya kelompok ini
memungkinkan untuk pengadaan hunian yang dapat menggalakan potensi swadaya masyarakat.
Keberadaan kelompok ini juga dapat memperingan kinerja dari pemerintah untuk lebih berfokus di
pembuatan program dan penyusunan kebijakan yang lebih terpadu, sedangkan urusan operasional
bisa dilimpahkan ke kelompok tersebut.

Pada Sub-Bab kedua, penulis membahas permasalahan perumahan bagi masyarakat rendah di
Indonesia. Masalah pertama yang dibahas berupa perlunya pembangunan rumah tipe kecil dengan
sasaran untuk masyarakat berpendapatan rendah. Hal ini dikarenakan adanya urbanisasi yang masif
di Indonesia yang menyebabkan pertumbuhan permukiman marginal di area perkotaan.
Permasalahan kedua adalah rendahnya keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan perumahan
masyarakat berpenghasilan rendah (perlu difoto). Penulis menjabarkan salah satu solusinya adalah
dengan membuat peraturan yang memungkinkan pihak swasta untuk mengikutkan membangun
rumah masyarakat berpenghasilan rendah setiap membangun rumah masyarakat kelas menengah
dan atau rumah mewah. Seperti halnya kebijakan yang pernah diimplementasikan oleh Menpera
Cosmas Batubara yang mewajibkan setiap perusahaan real estate membangun 6 rumah mbr tiap
membangun 3 rumah menengah dan 1 rumah mewah.

Permasalahan ketiga, pengadaan perumahan di Indonesia berdasarkan diagram 1 lebih menekankan


pada komoditi dan kurang menjelaskan peran penting perumahan sebagai kebutuhan sosial
terutama yang berjaitan dengan kesejahteraan. Masyarakat seperti yang digambarkan di diagram 2,
pembangunan massal yang diprakarsai oleh sector formal (pemerintah dan swasta) kurang
menggugah kegiatan yang padat karya.

Berdasarkan tulisan ini saya agak menyetujui pernyataan penulis. Kenapa agak? Karena menurut
saya pemerintah sudah berusaha untuk membuat kegiatan padat karya pada program pembangunan
perumahan khususnya pada pembangunan perumahan MBR dan pembangunan rumah pasca
bencana. Namun, permasalahannya program padat karya yang dicanangkan pemerintah tidak dapat
meningkatkan kesejahtaraan masyarakat karena pada program tersebut masyarakat cenderung
dibayar dengan biaya rendah dan kurangnya pemberdayaan untuk pengembangan
kapasitas/keterampilan masyarakat. Pengembangan kapasitas/keterampilan ini menurut saya
penting, apalagi jika pengembangan kapasitasnya dapat membuat pembangunan menjadi jauh lebih
efisien atau memiliki nilai yang lebih berkat craftmanship. Hal ini dapat meningkatkan tingkat
kesejahteraan masyarakat menjadi jauh lebih baik.

Selanjutnya, ada 3 permasalahan lain yang dijabarkan penulis. Pertama, actor pembangunan
(pemerintah, swasta, hibrida, dan masyarakat) yang tidak sinergis dan cenderung berkutat sendiri-
sendiri. Kedua, pembangunan fasilitas sosial (seperti lapangan, taman, dsb) bagi masyarakat
berpendapatan rendah kurang diperhatikan. Ketiga, perlunya memperhatikan pembangunan rumah
sesuai dengan konteks ekonominya dimana masyarakat berpendapatan rendah lebih cenderung
memilih lokasi hunian yang dekat dengan tempat mereka bekerja. Penulis menyertakan argumennya
di diagram 3 pada buku ini.

Pada Sub-Bab Ketiga, penulis menjabarkan mengenai akar masalah dari munculnya permukiman
kumuh dan bagaimana cara yang pantas untuk menyikapi isu tersebut. Penulis beranggapan bahwa
permukiman kumuh itu bukanlah penyakit pada perkotaan namun merupakan gejala yang lebih
besar yaitu kemiskinan di perkotaan karena ketidakmampuan kaum papa dalam merebut lahan
secara “halal” melawan pihak-pihak yang lebih kuat.

Menurut penulis, ada 4 cara untuk menangani isu tersebut. Pertama, perlu adanya keseimbangan
yang selaras antara kehidupan kaum papa dan kaum punya. Cara tersebut sebenarnya sudah
dilakukan oleh nenek moyang kita sejak zaman dulu, seperti adanya konsep magersari dimana
bendara gusti menyediakan sebagian lahannya untuk abdi dalemnya. Di zaman sekarang perlu cara
yang lebih relevan dengan konteksnya, salah satu cara yang baik seperti kebijakan Menpera Cosmas
Batubara.

Kedua, cara yang bisa dilakukan adalah dengan ojo ndakik-ndakik utawa kegeden angan nek arep
gawe omah kanggo wong marginal. Sakmadyone wae rapopo. Saya setuju dengan pendapat ini, dan
menurut saya hal yang paling penting adalah memastikan rumah yang dibangun dapat
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri dan memastikan livelihood mereka menjadi
lebih baik.

Ketiga, penerapan konsep land sharing dan subsidi silang yang layak diterapkan. Konsep ini
dilakukan sebagaimana negara maju membantu negara berkembang, atau dari saya mungkin yang
lebih mudah diingat seperti cara raja memberikan lahannya untuk abdi dalemnya. Namun di poin ini,
saya menegaskan jika penerapan konsep ini perlu dilandasi oleh konsep keamanan bermukim
supaya hak tenurial (hak bermukim) dari kaum papa dapat terjamin lebih baik.

Keempat, menurut saya ini yang paling dibutuhkan oleh Indonesia. Iya, adanya keterpaduan antar
actor (pemerintah, swasta, hibrida, dan masyarakat) yang mengurusi perumahan. Dalam perkara ini
keempat aktor harus sepakat jika permasalahan dalam perumahan itu perlu diselesaikan mengingat
rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia.

Pada Sub-bab empat, buku ini menjelaskan tentang jati diri lingkungan perumahan yang didalamnya
menjelaskan mengenai konsep tentang rumah, kesenjangan antara perencana dan pengguna,
hierarki kebutuhan, rasa ruang, serta sarana dan prasarana lingkungan.

Pada bagian konseo tentang rumah, penulis mengkutip dari kata-kata dari Pedro Arrupe dimana
rumah itu bukan hanya sebagai shelter atau tempat berlindung manusia namun juga sebagai ruang
sosial dari penghuninya. Mengacu pada kata-kata tersebut, penulis menambahkan gambaran konsep
tentang rumah lainnya menurut Hayward adalah:

1. Rumah sebagai pengejawentahan diri


2. Rumah sebagai wadah keakraban
3. Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi
4. Rumah sebagai akar dan kesinambungan
5. Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari
6. Rumah senagai jaringan sosial
7. Rumah sebagai struktur fisik

Menurut penulis, aktor-aktor yang terlibat dalam menangani permasalahan perumahan hanya
memperhatikan konsep nomor 7 saja melupakan aspek lainnya yang tidak kalah penting. Saya setuju
disini dan bisa dilihat sendiri di rumah anda seperti apa. Hahahaha

Bagian kedua tentang kesenjangan antara perencana dan pengguna membahas tentang bangunan
yang direncanakan oleh perencana seringkali tidak sesuai dengan karakteristik atau konteks dari
pengguna. Hal ini diakibatkan oleh ketiadaan peran serta penghuni dalam merencanakan rumah dan
lingkungan perumahannya.

Bagian ketiga tentang hierarki kebutuhan menjelaskan bahwa dalam bertempat tinggal manusia
memiliki tingkatan akan kebutuhan yang dipenuhi. Argumen penulis mengacu pada diagram
kebutuhan Maslow (nanti difoto ya biar ada gambarnya) yang membagi kebutuhan menjadi 5
elemen, kebutuhan fisiologi, rasa aman, kebutuhan sosial, harga diri, dan aktualisasi diri. Tingkatan
paling bawah merupakan kebutuhan fisiologi dan yang tertinggi adalah aktualisasi diri dimana
semakin dimana secara tingkatan yang paling bawah merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi
oleh kebanyakan orang.

Hal ini juga berlaku pada rumah masyarakat lapisan bawah, menurut penulis mengacu dari Buku
Toward a Human Architecture yang ditulis oleh Gans bahwa masyarakat lapisan bawah masyarakat
tidak terlalu menuntut rumah yang indah, unik, permanen akan tetapi lebih mengharapkan
tersedianya ruang yang memadai untuk memenuhi aktivitas kehidupan mereka. Penulis juga
menambahkan memang sewajarnya memaknai rumah itu bukan dilihat sebagai produk akhir, namun
sebagai proses yang menerus.

Menurut saya, memang itu adalah hal yang terjadi di permukiman kumuh. Pada awalnya masyarakat
yang tinggal disana hanya menginginkan rumah yang bisa mewadahi untuk kehidupan mereka atau
istilahnya untuk tidur dan bekerja lah. Tapi seiring berjalannya waktu, rumah mereka ini berkembang
menjadi lebih baik menyesuaikan budget yang dipunya. Apalagi jika mereka tinggal di tanah yang
sudah di sertifikatkan oleh pemerintah, transformasi rumahnya dari waktu ke waktu menjadi jauh
lebih baik dan terus berkembang menyesuaikan kondisi sosial dan ekonomi mereka. Hasil akhirnya
pun juga tak pernah saya lihat. Karena semakin lama semakin berkembang ora karuan, kayak yang
awalnya dari rumah biasa jadi kos 3 lantai. Gila kan? Hahaha

Bagian keempat, yang dijelaskan di buku ini adalah rasa ruang. Menurut penulis rasa ruang yang
dimaksud adalah adanya identitas pada rumah. Identitas pada rumah tersebut akan memunculkan
sense of place yang tidak ditemui di rumah atau daerah perumahan lainnya. Identitas tersebut dapat
muncul berupa atribut fisik pada bangunan dan atau lingkunagnnya, aktivitas dan perilaku
manusianya, konsepsi pada tata ruang lingkungan tersebut. Diagram yang Menyusun rasa ruang
nanti aku foto dan masukan sini wkwk.

Bagian kelima adalah sarana dan prasarana lingkungan dari perumahan. Kedua elemen tersebut
sering terabaikan padahal memiliki peran penting dalam kelayakan hidup manusia. Sarana
lingkungan meliputi:

-Pelayanan sosial (social service): sekolah, klinik, rs, dll

-Fasilitas sosial (social facility): tempat ibadah, pasar, warung, lapangan olahraga, dll

Sedangkan prasarana merupakan infrastruktur penunjang lingkungan perumahan seperti air bersih,
jembatan, jaringan listrik, jaringan internet, dll. Sarana dan prasana ini seringkali masih banyak
belum terpenuhi terutama pada lingkungan perumahan kelas bawah. Walaupun seringkali juga
ditemui kendala seperti ini ditemui di permukiman kelas menengah. Hehehe

Pada Sub-Bab Kelima, dijelaskan mengenai permasalahan yang muncul pada perumahan modern
sekarang ini. Dimana terdapat empat bagian yang dijelaskan pada sub-bab ini yaitu; Meremehkan
Intuisi dan Akal Sehat, Kepekaan Tipis, Bunuh Diri Ekologis, serta Magersari dan Heuvelterrein.

Bagian pertama mengenai meremehkan intuisi dan akal sehat dijelaskan bahwa pada zaman
sekarang pembangunan rumah sudah melenceng jauh terhadap kearifan nenek moyang dan kita
cenderung untuk meremehkannya, padahal pembangunan perumahan yang kita lakukan hanya
memaknai rumah sebagai fisik semata dan melupakan konteks sosial, lingkungan, bahkan kebutuhan
dari pemilik rumah itu sendiri yang seharusnya menjadi pertimbangan penting dalam membangun
perumahan.

Bagian kedua menceritaikan tentang rendahnya kepekaan manusia zaman sekarang terhadap
lingkungan. Hal itu muncul dikarenakan obsesinya terhadap hal modern, padahal sesuatu yang
modern tersebut justru merusak lingkungan. Contohnya seperti lapangan berpaving, got berbeton
yang lebih didambakan oleh manusia ketimbang lapangan berumput, got dari galian tanah.

Bagian ketiga penulis menceritakan bahwa pembangunan di masa sekarang yang cenderung
eksploitatif akan mengantarkan kita ke jurang kehancuran lingkungan. Seyogyanya manusia harus
mawas diri terutama bagi yang berkecimpung di bidang perencanaan dan pembangunan rumah
masal, yang berskala besar, agar tidak menjadi biang malapetaka.
Bagian keempat penulis menceritakan tentang keberadan perumahan yang mempengaruhi
lingkungan sosialnya. Perumahan yang ada di zaman sekarang cenderung muncul secara sporadis
dan menyiratkan ketimpangan antar satu dengan yang lainnya. Sering kita lihat scene-scene di
perkotaan Indonesia yang memperlihatkan secara nyata perbedaan antara perumahan elit dan
kampung kumuh di perkotaan. Kedua hal itupun juga sering kali terletak bersebelahan dan terlihat
sangat ironis.

Maka daripada itu, kiranya sudah saatnya pemerintah daerah dan pusat mulai memfokuskan untuk
menyiasati perolehan lahan supaya tidak dibiarkan bergantung pada pasar bebas dengan persaingan
yang tanpa kendali. Selain itu pemerintah juga perlu berfokus terjadap penyediaan hunian yang
sesuai dengan kebutuhan dan konteks, sarana dan prasarana pendukung khususnya bagi masyarakat
berpendapatan rendah yang mana mereka merupakan kaum rentan yang tidak dapat
menyelenggarakannya sendiri. Pengawasan dalam pembangunan juga perlu diperhatikan supaya
tujuan pembangunan dapat tercapai dengan efektif.

Overall menurut saya buku ini banyak menceritakan isu-isu perumahan secara mendasar dan
menariknya buku ini ditulis di tahun 1987 tapi isu-isunya masih relevan sampai sekarang. Jadi
menurut saya penting sekali untuk membaca buku ini terutama jika pengen mendalami isu-isu dasar
dari perumahan di Indonesia.

Namun permasalahan dari buku ini, banyak hal yang ditulis pateng kececer gitu dan perlu ditata lagi
untuk menjadikan narasi yang lebih runut. Apakah karena pembawaan buku ini dari kejulidan
penulis ya makanya pating kececer? Hahaha. Yang terpenting nanti saya akan coba kerangkai lagi
tentang apa yang ditulis dalam buku ini menjadi sebuah narasi yang runut perbagiannya.

Anda mungkin juga menyukai