Anda di halaman 1dari 8

BAB II

KAJIAN
2.1 KAJIAN KONSEP PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN
Pengertian perumahan secara umum adalah gabungan dari beberapa rumah,baik yang
dikembangkan oleh pemerintah maupun swasta dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan
hunian. Perumahan juga memiliki kesan bangunan yang dibangun secara formal dengan ijin yang
jelas. Beberapa perumahan terkadang dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang lengkap yang
dikelola oleh pemerintah maupun pengembang. Selaras dengan rumah, perumahan juga sebagai
sebagai suatu cerminan dan pengejawantahan dari diri pribadi manusia, baik secara perorangan
ataupun dalam suatu kesatuan dan kebersamaan dengan lingkungan alamnya dan dapat juga
mencerminkan taraf hidup, kesejahteraan, kepribadian, dan peradaban manusia penghunianya,
manyarakat ataupun suatu bangsa, sehingga perumahan tidak hanya dilihat sebagai wadah fisik atau
sekedar lindungan, tetapi merupakan bagian dari kehidupan komunitas dan keseluruhan lingkungan
sosial Perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang akan terus berlanjut dan
meningkat seiring dengan pertambahan penduduk, dinamika kependudukan dan tuntutan ekonomi
serta sosial budaya yang berkembang. Perumahan sesungguhnya berkaitan erat dengan industrialisasi,
aktivitas ekonomi, dan pembangunan. Keberadaan perumahan juga ditentukan oleh perubahan sosial,
ketidakmatangan sarana hukum, politik dan administratif serta berkaitan dengan kebutuhan akan
pendidikan. Bagi sebuah lingkungan perkotaan, kehadiran perumahan merupakan salah satu aspek
penentu keberlanjutan kota. Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar struktur lingkungan perkotaan
terdiri dari perumahan. Permasalahan yang menyangkut perumahan akan berdampak pada masalah
perkotaan secara menyeluruh. Dengan kata lain, baik dan buruknya sistem perkotaan dapat dilihat dari
baik buruknya lingkungan tempat tinggal.
Fungsi Perumahan tidak hanya sebagai wadah secara fisik untuk tempat berlindung yang
dilengkapi sarana dan prasarana, tetapi juga merupakan bagian dari kehidupan suatu komunitas.
Beberapa fungsi perumahan, antara lain dapat digambarkan sebagai suatu cerminan dan
pengejawantahan dari diri pribadi manusia, baik secara pribadi maupun dalam satu kesatuan
lingkungan alam. Selain itu perumahan dapat mencerminkan taraf hidup masyarakat, kesejahteraan,
kepribadian, dan peradaban manusia sebagai penghuninya.
Pengertian Permukiman Secara umum, permukiman adalah gabungan antara beberapa rumah
yang telah dilengkapi dengan sarana dan prasana dasar. Perbedaan mendasar antara perumahan dan
permukiman terdapat pada adanya unsur manusia dan masyarakat sebagai aspek sosial yang
menghidupkan lingkungan tersebut. Permukiman berdasarkan maknanya dapat diartikan sebagai
tempat bermukim manusia yang menunjukkan tujuan tertentu seperti memberikan kenyamanan pada
penghuninya termasuk orang yang datang ke tempat tersebut. Permukiman berasal dari kata ”human
settlement” yang mengandung pengertian suatu proses bermukim. Kata tersebut mengandung unsur
dimensi waktu dalam prosesnya. Permukiman merupakan suatu kesatuan wilayah dimana suatu
perumahan berada, sehingga lokasi dan lingkungan perumahan tersebut sebenarnya tidak akan pernah
dapat lepas dari permasalahan dan lingkup keberadaan suatu permukiman. Permukiman menjelaskan
andil fisik terbesar dari lingkungan buatan dan menempati sebagian besar ruang perkotaan. Unsur-
unsur permukiman menjadi lima yaitu unsur alam (tanah, air, udara, hewan dan tumbuhan), lindungan
(shells), jejaring (network), manusia dan masyarakat, sehingga secara ringkas permukiman adalah
paduan antara unsur manusia dengan masyarakatnya, alam dan unsur buatan. Permukiman yang
diciptakan dan dikembangkan dapat menjadi sarana bagi kehidupan yang penuh ketakwaan dan
keimanan, menimbulkan rasa aman dan nyaman, menjamin kesehatan jasmani dan rohani,
meningkatkan keakraban serta menciptakan hubungan sosial dan pergaulan yang bermutu.
Permukiman terbentuk dari kesatuan isi dan wadahnya. Kesatuan antara isi yaitu manusia sebagai
penghuni dengan wadah yaitu lingkungan huniannya akan memberntuk suatu komunitas yang secara
bersama dapat membentuk suatu permukiman yang mempunyai dimensi yang sangat luas. Batas dari
permukiman biasanya berupa batas geografis yang ada di permukaan bumi, misalnya wilayah atau
benua yang dipisahkan oleh lautan. Selama hidupnya, manusia selalu menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan berbagai halangan yang ditemuinya. Dalam penyesuainnya dengan lingkungan dan
halangan yang ditemui, manusia selalu berubah dan berkembang serta menciptakan berbagai bentuk
fungsi yang merupakan dimensi ketiga dalam kehidupan manusia. Untuk menciptakan fungsi tersebut
membutuhkan waktu dan dalam suatu lingkungan permukiman, untuk dapat melangsungkan
kehidupannya manusia membutuhkan empat dimensi. Di dalam dua elemen permukiman yaitu isi dan
wadah didalamnya terdapat beberapa unsur yang menyusunnya diantaranya:
1. Alam

 Geologi
Merupakan kondisi batuan dimana permukiman berada. Setiap permukiman memiliki sifat dan
karakter geologi yang berbeda satu dengan lainnya karena memiliki kondisi dan letak geografis yang
berbeda.

 Topografi
Merupakan kemiringan suatu wilayah yang ditentukan oleh letak dan kondisi geografis wilayah
tersebut.

 Tanah
Tanah berfungsi sebagai media untuk meletakkan bangunan (rumah) dan menanam tanaman atau
bercocok tanam yang dapat digunakan untuk menopang kehidupan yaitu mencukupi kebutuhan
pangan. Tanah juga memiliki ciri dan karakter yang berbeda.

 Air
Air merupakan sumber utama kehidupan dan vital sepanjang kehidupan masih berlangsung, tidak
hanya untuk manusia tetapi juga makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuhan
2. Manusia
Manusia berperan sebagai pelaku utama kehidupan selain hewan, tumbuhan dan makhluk
lainnya. Manusia membutuhkan membutuhkan berbagai hal untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya, yaitu kebutuhan biologis yang meliputi ruang, udara, temperatur dan lain-lain, perasaan dan
persepsi, kebutuhan emosional serta kebutuhan nilai-nilai moral.
3. Masyarakat
Masyarakat merupakan kesatuan sekelompok orang (keluarga) dalam suatu permukiman yang
membentuk suatu komunitas tertentu. Terdapat beberapa permasalahan yang terjadi di dalam
masyarakat yang mendiami suatu permukiman diantaranya:
a) Kepadatan dan komposisi penduduk
b) Kelompok sosial
c) Adat dan kebudayaan
d) Pengembangan ekonomi
e) Pendidikan
f) Kesehatan
g) Hukum dan administrasi
4. Bangunan (Rumah)
Bangunan atau rumah merupakan wadah bagi manusia (keluarga). Pada prinsipnya bangunan
bangunan yang dapat digunakan sepanjang operasional kehidupan manusia dapat dikategorikan sesuai
fungsinya masing-masing seperti:
a) Rumah pelayanan masyarakat (contohnya sekolah, rumah sakit dan lain sebagainya)
b) Fasilitas rekreasi atau hiburan
c) Pusat perbelanjaan/perdagangan dan pemerintahan
d) Industri
e) Pusat transportasi
5. Networks
Networks merupakan suatu sistem baik buatan maupun alam yang menyediakan fasilitas
untuk operasional suatu wilayah permukiman. Pada sistem buatan, tingkat pemenuhannya bersifat
relatif di mana antara satu permukiman dengan yang lainnya tidak harus sama. Salah satu sistem yang
diperlukan di wilayah perkotaan adalah jaringan air bersih, di mana jaringan air bersih ini bersifat
mutlak mengingat air dari sumur biasanya sudah tercemar dengan limbah industri maupun limbah
rumah tangga. Beberapa sistem buatan yang diperlukan dalam suatu wilayah antara lain:
a) Sistem jaringan air bersih
b) Sistem jaringan listrik
c) Sistem transportasi
d) Sistem komunikasi
e) Drainase dan air kotor
f) Tata letak fisik.
Perumahan dan permukiman memiliki pengertian yang berbeda. Perumahan memiliki makna yang
lebih menunjuk kepada obyek, yang dalam hal ini merupakan unit hunian. Sifat dan karakter
permukiman lebih kompleks, karena mencakup suatu batasan wilayah yang lebih luas dari
perumahan. Permukiman terbentuk dari adanya kesatuan antara manusia dan lingkungannya.
Permukiman merupakan satu kesatuan unsur tempat tinggal yang didalamnya terdapat unit yang lebih
mikro yaitu perumahan, lingkungan dan masyarakat. Permukiman berdasarkan maknanya dapat
diartikan sebagai tempat bermukim manusia yang menunjukkan tujuan tertentu seperti memberikan
kenyamanan pada penghuninya termasuk orang yang datang ke tempat tersebut. Permukiman berasal
dari kata ”human settlement” yang mengandung pengertian suatu proses bermukim. Kata tersebut
mengandung unsur dimensi waktu dalam prosesnya. Oleh karena itu dalam pembangunan perumahan
harus juga diketahui dan diteliti keadaan dan kondisi permukiman dimana perumahan itu akan
dibangun. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui studi kelayakan terlebih 9 dahulu, sehingga
pembangunan perumahan akan sesuai dengan arah perkembangan kota yang sudah direncanakan.
2.2 KAJIAN KONSEP KOTA LAYAK HUNI
Livable City Kota layak huni atau Livable City adalah dimana masyarakat dapat hidup
dengan nyaman dan tenang dalam suatu kota. Menurut Hahlweg (1997), kota yang layak huni adalah
kota yang dapat menampung seluruh kegiatan masyarakat kota dan aman bagi seluruh masyarakat.
Menurut Evan (2002), konsep Livable City digunakan untuk mewujudkan bahwa gagasan
pembangunan sebagai peningkatan dalam kualitas hidup membutuhkan fisik maupun habitat sosial
untuk realisasinya. Dalam mewujudkan kota yang layak huni atau Livable City harus mempunyai
prinsipprinsip dasar. Prinsip dasar ini harus dimiliki oleh kota-kota yang ingin menjadikan kotanya
sebagai kota layak huni dan nyaman bagi masyarakat kota. Menurut Lennard (1997), prinsip dasar
untuk Livable City adalah tersediannya berbagai kebutuhan dasar masyarakat, fasilitas umum dan
sosial, ruang dan tempat publik, aman, mendukung fungsi ekonomi, sosial, dan budaya, serta sanitasi
lingkungan dan keindahan lingkungan fisik. Menurut Douglass (2002), dalam Livable City dapat
dikatakan bertumpu pada 4 (empat) pilar, yaitu: (1) meningkatkan sistem kesempatan hidup untuk
kesejahteraan masyarakat, (2) penyediaan lapangan pekerjaan, (3) lingkungan yang aman dan bersih
untuk kesehatan, kesejahteraandan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi, dan (4) good
governance.
Menurut Conti et al (2016) dalam buku berjudul Oxford Big Ideas Humanities and Social
Sciences, pengukuran kota layak huni (livable city) dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
berdasarkan faktor objektif dan faktor subjektif. Faktor objektif adalah hal-hal yang dapat diukur dan
dinyatakan dalam angka sedangkan faktor subjektif adalah hal-hal yang bersifat pribadi, emosional
dan spiritual, dan tidak dapat dengan mudah diukur atau dinyatakan sebagai angka. Faktor objektif
yang paling penting dalam pengukuran kota layak huni (livable city) meliputi iklim, kualitas
lingkungan, infrastruktur, keamanan dan stabilitas, serta akses kesehatan dan pendidikan.
Konsep livable city memiliki indikator-indikator dari berbagai lingkup wilayah, baik di
tingkat dunia maupun Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) indikator adalah
sesuatu yang dapat menjadi petunjuk atau keterangan. Indikator livable city menjadi petunjuk dan
tolak ukur dalam menilai suatu kota yang layak huni. Indikator livable city di Indonesia dapat dilihat
dari Most Livable city Index (MLCI) dari IAP tahun 2009, 2011, dan 2014. Indikator-indikator
tersebut digunakan untuk mengukur kelayakan huni kota- kota di Indonesia. Indikator-indikator yang
terbentuk dalam konsep livable city telah ada pada lingkup dunia maupun Indonesia. Pertama, pada
lingkup dunia indikator terbentuk mulai dari berbagai index, survey, dan penelitian di beberapa
negara. Indikator livable city yang terbentuk melalui survey dan index yaitu :
1. Mercer’s Quality of Living Index (Mercer, 2012) yang memiliki kelompok indikator
politik dan lingkungan sosial (political & social environment), pertimbangan medis dan
kesehatan (medical & health consideration), lingkungan sosial budaya (socio-cultural
environment), pendidikan dan sekolah (school & education), ekonomi (economic
environment), transportasi dan fasilitas publik (public services & transport), rekreasi
(recreation), barang-barang kebutuhan (consumer goods), perumahan (housing), serta
lingkungan alam (natural environment).
2. Monocle’s Most Liveable Cities Index(Monocle, 2013) yang memiliki 11
indikatorkeamanan/ kriminal (safety/ crime), medis (medical care), iklim (climate),
konektivitasinternasional (international connectivity),trasnportasi publik (public
transportation),kualitas arsitektur (quality of architecture), dan rekreasi (recreation).
3. LKYSPP’s Global Liveable Cities Index(World’s Major Cities, 2013) yang memiliki
kelompok indikator keamanan dan stabilitas (domestic security & stability), kualitas
hidup (quality of life), lingkungan yang ramah dan berkelanjutan (environmental
friendless & sustainability), pemerintah yang baik dan kepemimpinan yang efektif (good
governance& effective leadership), ekonomi yang baik dan kompetitif (economic
vibrancy& competitiveness).
4. EIU’s Global Liveability Index (EIU,2014) yang memiliki lima indikator utama,yaitu
stabilitas (stability), kesehatan(healthcare), lingkungan dan budaya (culture&
environment), pendidikan (education), serta infrastruktur (infrastructure).
5. Indikator di European Union (Zuidema & Gert De Roo, 2009), yaitu realita sosial-politik
(socio politic reality), koordinasi (coordination), dan ambisi yang ditinjau kembali
(ambition revisited).Selanjutnya, indikator yang terbentuk melalui penelitian-penelitian di
dunia dapat diketahui bahwa terdapat penelitian yang menjelaskan, merumuskan, dan
menggunakan indikator livable city. Metode yang digunakan pada setiap penelitian
berbeda-beda. Pertama, penelitian yang menjelaskan kondisi livability di Kota Penang-
Malaysia adalah Making a City Livable (2011) oleh: Chan Huan. Kedua, penelitian yang
merumuskan indikator yaitu An Evaluation Aproach for Livable Urban Environments
(2013) oleh Chia-Li Chiang dan Jeng-Jong Liang sertaPlanning Healthy, Liveable, and
Sustainable Cities: How Can Indicators Inform Policy? oleh: Melanie Lowe, Carolyn
Whitzman, dkk memilikitujuan untuk merumuskan indikator sesuai dengan kondisi
negaranya masing-masing. Ketiga, penelitian yang menggunakan indikator livable city
yang telah ada untuk menguji kota-kota di dunia adalah A Summary of the Liveability
Ranking and Overview 2014 oleh The Economist Intelligence Unit Limited.
2.3 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2021
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 12 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN
PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN ayat 2, 3, dan 4 :

 (Ayat 2) Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas
pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman,
pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan
kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta
peran masyarakat.

 (Ayat 3) Kawasan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan.

 (Ayat 4) Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari Permukiman, baik
perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum
sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.

2.4 RTRW Kota Manado 2014-2034


Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kota adalah tujuan yang ditetapkan pemerintah daerah kota
yang merupakan perwujudan visi dan misi pembangunan jangka panjang kota pada aspek keruangan,
yang pada dasarnya mendukung terwujudnya ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif,
dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Kebijakan Penataan
Ruang Wilayah Kota adalah arahan pengembangan wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
kota guna mencapai tujuan penataan ruang wilayah kota dalam kurun waktu 20 (dua puluh) tahun.
Kebijakan penataan ruang kota Manado:
1. pengendalian perkembangan kegiatan budi daya, pencegahan kerusakan lingkungan,
pelestarian lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan pembangunan kota yang
berkelanjutan;
2. pembangunan dan pengembangan pariwisata di kota yang terpadu dan mencakup seluruh
aspek fungsi ruang yang ada;
3. pengembangan dan peningkatan kawasan perdagangan dan jasa pada pusat aktivitas
perekonomian diseluruh wilayah kota;
4. pembangunan dan pengembangan infrastruktur yang bertaraf internasional untuk
meningkatkan peran dan fungsi kota di lingkup regional; dan peningkatan fungsi kawasan
untuk pertahanan dan keamanan negara.
Stategis untuk pembangunan:

 mengembangkan kawasan strategis kota dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup;
 menetapkan dan mengembangkan RTH minimal 30 % dari luas wilayah kota yang meliputi
minimal 20 % RTH publik dan minimal 10 % RTH privat;
 menetapkan kawasan reklamasi 16 % milik pemerintah kota dengan fungsi ruang terbuka
hijau, ruang terbuka non hijau, dan untuk fasilitas sosial, fasilitas ekonomi dan fasilitas
penunjang pariwisata;
Sistem Pelayanan Pusat Kota.
Pusat perdagangan dan jasa, perkantoran dan pariwisata skala regional kota berlokasi di : 1.
Kelurahan Pinaesaan; 2. Kelurahan Calaca; 3. Kelurahan Wenang Utara; 4. Kelurahan Wenang
Selatan; 5. Kelurahan Sario Tumpaan; 6. Kelurahan Sario Utara; dan 7. Kawasan Reklamasi.
Sistem Jaringan Transportasi Darat

 Pengembangan transportasi umum penyeberangan dengan pembangunan dan pengembangan


lokasi jetti atau halte pantai sebagai pusat pergantian antar moda angkutan sungai ke angkutan
pesisir pantai : a) di pusat kota (kompleks pelabuhan lama) di wilayah Kecamatan Wenang.
 Rencana pembangunan dan pengembangan jalan bebas hambatan di wilayah kota yang
menghubungkan antara kawasan pusat kota di wilayah Kecamatan Wenang dan kawasan
bandar udara Sam Ratulangi di wilayah Kecamatan Mapanget.
Rencana pembangunan dan pengembangan infrastruktur di wilayah kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 huruf d, meliputi :
a) sistem penyediaan air minum kota;
b) sistem pengelolaan air limbah kota;
c) sistem drainase kota;
d) sistem persampahan kota;
e) penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jalan pejalan kaki; dan
f) jalur evakuasi bencana.
Kawasan Peruntukan Perumahan Pasal 39
1. Pengembangan kawasan peruntukan perumahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a,
meliputi :
A. perumahan dengan kepadatan sangat tinggi (KDB lebih besar dari 75%) meliputi perumahan
di Kecamatan Wenang, Sario, Singkil, dan Tuminting dengan luas kurang lebih 266 Ha;
B. perumahan dengan kepadatan tinggi (KDB 60%-75%) meliputi perumahan di sebagian
Kecamatan Wanea dan sebagian Kecamatan Tikala dan Kecamatan Paal Dua, dengan luas
kurang lebih 577 Ha; 33
C. perumahan dengan kepadatan sedang (KDB 45%-59%) meliputi perumahan di sebagian
Kecamatan Wanea, sebagian Kecamatan Tikala dan Kecamatan Paal Dua, dan Kecamatan
Malalayang, sebagian Kecamatan Mapanget dengan luas kurang lebih 600 Ha; dan
D. perumahan dengan kepadatan rendah (KDB 30%-44%) meliputi perumahan di sebagian
Kecamatan Mapanget, Kecamatan Bunaken dan Kecamatan Bunaken Kepulauan dengan luas
kurang lebih 667 Ha.
2. Pengembangan perumahan diarahkan secara vertikal berupa rumah susun, kondominium dan
apartemen, di Kecamatan Sario, Kecamatan Wanea, Kecamatan Wenang, Kecamatan Singkil, dan
Kecamatan Tuminting dan Kecamatan Malalayang.
Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa pada pusat-pusat pelayanan lingkungan sebagaimana
tertuang dalam rencana struktur ruang, terdiri atas :
1. pengembangan kawasan perdagangan dan jasa di kawasan PPK yang berlokasi di kawasan Pusat
Kota yang ada di Kecamatan Malalayang, Kecamatan Sario, Kecamatan Wenang dan Kecamatan
Tuminting 35 mencakup pusat-pusat perbelanjaan utama seperti kompleks pertokoan dan mall, pasar,
bank, dan pelayanan-pelayanan jasa lainnya yang berskala wilayah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) huruf a.

2.5\`1 KAJIAN KONSEP RESILIENT CITY


Resilience secara bahasa dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk kembali pada
kondisi semula ketika menghadapi tantangan atau kondisi yangterpuruk. Konsep resiliencepertama
kali digunakan pada ilmu ekologi pada tahun 1973. Semenjak itu, konsep resilience mulai ditransfer
ke berbagai bidang dan dispilin ilmu seperti ilmu ekonomi, kesehatan/psikologi, keruangan,
komunitas, dll. Konsep resilience itu pun ditransfer ke dalam konsep pengembangan dan pengelolaan
kota, yaitu dengan apa yang telah disebut sebagai Resilient City
Konsep Resilient City sejalan dengan Undang – Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang yang menjelaskan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, berlandaskan wawasan nusantara
dan ketahanan nasional dengan terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pecegahan dampak
negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Hal ini dikarenakan konsep Resilient City
bertumpu pada membangun sistem dan kapasitas kota untuk beradaptasi terhadap datangnya bencana.
Menurut Wildavsky, resilience adalah konsep agar suatu sistem lebih tahan terhadap bencana, bukan
hanya dengan kebal terhadap perubahan, tetapi juga bagaimana sistem bisa bangkit kembali,
memitigasi, dan pulih dari bencana.Lebih lanjut, UU 26 Tahun 2007 menyebutkan bahwa
pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan
rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Dalam
kaitannya dengan Resilient City, perumusan pola ruang dalam RTRW maupun RDTR perlu
memperhatikan bagaimana penempatan suatu zona baik lindung maupun budi daya tertentu yang
rawan terhadap bencana tidak hanya dimasukkan sebagai salah satu zona rawan bencana, tetapi perlu
juga untuk dieksplorasi terkait potensi –potensi yang ada di dalamnya, terutama sebagai solusi bagi
kota itu sendiri.
Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 juga menyebutkan pengendalian pemanfaatan ruang
sebagai upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang dimana dalam hal ini termasuk pengendalian
terhadap adanya kemungkinan bencana untuk meminimalkan resiko bencana dan dampak negatifnya.
Pesatnya pertumbuhan penduduk di sebagian besar wilayah perkotaan di Indonesia yang menekan
eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan terus menimbulkan berbagai persoalan sebagai impact
dari pemenuhan kebutuhan penduduk yang membutuhkan ruang. Hal ini kerap berpeluang melampaui
daya dukung dan daya tamping lingkungan yang mengarah pada munculnya bencana–bencana akibat
ulah manusia yang menempati suatu kota. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengendalian
pemanfaatan ruang yang merupakan suatu upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang serta menjamin
tercapainya tujuan dan sasaran rencana tata ruang wilayah perkotaan melalui melalui penetapan
peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi. Hal ini sesuai
dengan konsep Resilient City yang menggunakan berbagai alat pengendalian untuk mencangkup tiga
aspek utama ketangguhan kota yaitu mitigasi, adaptasi, dan inovasi untuk terwujudnya pembangunan
kota yang berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai