Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberi kita taufiq
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah yang berjudul “Pemukiman
Penduduk”. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kami
khususnya, dan segenap pembaca umumnya. Penulis menyadari bahwa paper ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah bersusah payah membantu hingga terselesaikannya penulisan makalah ini.
Semoga semua bantuan dicatat sebagai amal sholeh di hadapan Allah SWT. Amin.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Fenomena rumah sewa atau biasa disebut rumah kontrakan telah menjamur di
berbagai tempat, salah satunya di kawasan kumuh yang banyak dijumpai diperkotaan.
Berbagai dampak negatif ditimbulkan oleh fenomena kontrakan di permukiman kumuh.
Pemerintah bukan tidak memiliki solusi dalam mengatasi fenomena tersebut, namun
realisasinya pemerintah kebingungan untuk mengatasi masalah tersebut. Kompleksitas
pembenahan permukiman kumuh adalah dari segi sosial masyarakat dan meningkatnya
kebutuhan akan perumahan yang menjadi penghambat penanganan fenomena kontrakan di
permukiman kumuh milik penduduk yang kini sudah dibilang tidak mengindahkan lagi.
Rumah kontrakan merupakan salah satu bagian terpenting dari fenomena perumahan
di Indonesia, terlebih di kalangan berpendapatan rendah. Namun, perumahan yang ditempati
oleh masyarakat berpendapatan rendah biasanya berkualitas buruk. (Hoffman dkk, 1991: 181)
atau lazimnya berada di permukiman kumuh. Bahkan penyewa berpenghasilan rendah
biasanya menyewa kontrakan yang tidak memiliki fasilitas toilet sendiri, sehingga mereka
biasa berbagi fasilitas toilet dengan penyewa lainnya. The World Development Report
mengatakan hanya 35% tempat tinggal di Jakarta memiliki akses air bersih. (dari jumlah
tersebut, 20% lewat sistem air bersih kota dan 15% membeli air dari penjual air). (Lee, 1996:
586)
Pemerintah bukan tidak memiliki solusi dalam mengatasi fenomena tersebut, namun
hal yang mengherankan adalah, banyak permukiman kumuh yang akan didisiplinkan ternyata
memiliki sertifikat tanah dan bangunan yang resmi, bahkan sertifikat hak milik yang
sebenarnya keluar jika rumah tersebut layak huni. Sehingga pemerintah aparatpun
kebingungan untuk menangani permukiman kumuh tersebut.
Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya, salah satu kriteria yang perumahan yang
layak huni adalah bebas dari polusi dan tersedia akses air bersih. (Surtiani, 2006: 41) Namun
di permukiman kumuh, hal tersebut sangat sulit didapati, di mana permukiman kumuh tidak
bebas dari polusi, terutama polusi udara, serta akses air bersih yang jarang mereka dapatkan.
Tak jarang untuk memenuhi kegiatannya sehari-hari, penduduk permukiman kumuh di
bantaran sungai menggunakan air sungai yang kotor demi memenuhi kebutuhan mereka akan
air.
Menurut Kepala Bidang Sarana-Prasarana Lingkungan Hidup Suku Dinas
Perencanaan Kota Jakarta Selatan, Mahruri, kompleksitas permasalahan pembenahan wilayah
permukiman kampung kumuh adalah dari segi sosial masyarakat. Dia mengatakan,
kebanyakan warga yang tinggal di kawasan kumuh adalah pendatang, sementara bentuk
permukiman yang dibangun berupa bedeng-bedeng kontrakan. Hal ini menyebabkan
pemerintah kesulitan untuk menata bangunan secara fisik dan lebih fokus pada lingkungan.
(Syailendra, 2012)
Struyk dkk. (dalam Hoffman dkk, 1991: 191) menyimpulkan definisi gubuk dan petak
–yang merupakan ciri rumah di permukiman kumuh –yang diungkapkan oleh Nelson (dalam
Hoffman dkk, 1991: 191) dengan Representative Survey of Households in Urban Areas, yaitu
terdapat 16 % penyewa tinggal di tempat kumuh, 5% Gubuk dan 16% petak. Ini
menunjukkan angka masing-masing 2 % dan 4% dari penduduk kota. Disamping fakta
seperempat jumlah rumah di jakarta adalah rumah kontrakan dan lebih dari setengahnya
adalah gubuk dan petak.
Tentu saja jumlah tersebut lebih banyak daripada survei tersebut. Hal tersebut
didukung oleh data UNESCO, pada tahun 2010 ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia saat ini
masih tinggal di rumah tidak layak huni. PBB juga memperkirakan bahwa jumlah penduduk
kumuh akan berlipat ganda dalam 25 tahun. Sedangkan kebutuhan rumah baru penduduk
dunia saat ini sudah mencapai angka 200 juta unit, sementara angka pertambahan rumah
sekitar 3 juta per tahun. (Anshari, 2010) Hal ini tentunya sangat genting, mengingat sebagai
negara berkembang yang menuju ke tahap negara maju, Indonesia perlu memperbaiki segala
sektor, seperti juga sektor perumahan di tengah kebutuhan perumahan yang makin
meningkat.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh fenomena ini sangat pelik, salah satunya adalah
premanisme yang tentu saja berbahaya dan akan mengganggu ketenangan masyarakat. Maka
diperlukan solusi yang nyata dalam menangani fenomena ini, sehingga dapat menekan,
bahkan mengatasi secara menyeluruh masalah yang ditimbulkan oleh kontrakan di
permukiman kumuh. Dalam makalah ini, saya akan mengupas faktor-faktor yang
menyebabkan munculnya rumah kontrakan di permukiman kumuh, kemudian dampak yang
ditimbulkan oleh fenomena kontrakan di permukiman kumuh, dan solusi yang tepat untuk
mengatasi fenomena tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Faktor Munculnya Fenomena Kontrakan di Permukiman Kumuh yang Tidak Lagi
Mengindahkan Lingkungan (PEMUKIMAN PENDUDUK)
Saat ini, diperlukan solusi konkret dalam mengatasi fenomena tersebut. Salah satu
solusi yang telah direalisasikan pemerintah adalah Rumah susun sewa sederhana (Rusunawa).
Pembangunan rumah sewa sederhana diarahkan kepada tiga kebijaksanaan dasar yaitu
Penyediaan rumah sewa oleh sektor non formal perseorangan, Pembangunan rumah sewa
sederhana berdasarkan azas swadaya, dengan pengerahan sumber daya masyarakat setempat
dan dengan pemberian subsidi yang diusahakan sekecil mungkin (Yudohusodo, 1997).
Pembangunan rumah susun memiliki tujuan untuk menata kembali suatu kawasan kota, baik
secara fisik maupun fungsional dan keuntungan ekonomisnya (Surtiani, 2006: 61)
Pemerintah telah membuat suatu undang-undang dalam Repelita V tahun 1989 – 1994
untuk memperbaiki kualitas dan menambah jumlah perumahan yang disewakan, dan
Pemerintah juga telah menyadari perlunya pendekatan untuk pengembangan permukiman,
seperti memfasilitasi proses pembangunan perumahan yang sudah ada, dan perlunya
pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta dalam menangani sektor perumahan sewa.
(Hoffman dkk, 1991: 182).
Pemerintah telah memiliki tindakan nyata, yaitu melakukan sedikit pembangunan
perumahan untuk masyarakat kalangan bawah, memberikan subsidi pinjaman kepada
peminjam tertentu, dan insentif kepada pengembang swasta yang memberikan membangun
perumahan murah. (Lee, 1996: 585)
Dalam membantu ketersediaan hunian bagi masyarakat miskin, Pemerintah
diharapkan membangun permukiman secara gratis, baik dalam bentuk Rusunami maupun
rumah tidak bersusun, meskipun sederhana namun layak huni, agar ekonomi mereka
terbangun dan tidak perlu khawatir akan kehilangan tempat tinggal.
Untuk masyarakat menengah ke bawah, diberikan kredit kepemilikan rumah susun
yang berbunga rendah atau disubsidi, diharapkan masyarakat mampu memiliki kesadaran
untuk tinggal di permukiman yang layak huni. Antusias masyarakat untuk mendapatkan
pinjaman sangat besar, terbukti pada penelitian Michael Hoffman bahwa rumah tangga yang
tidak memiliki surat tanah resmi hampir sama antusiasnya dengan mereka yang memiliki
surat tanah resmi dalam hal keinginan mendapat pinjaman. (Lee, 1996: 587) sehingga kredit
kepemilikan rumah susun yang berbunga rendah atau disubsidi sangat efektif.
Tentu saja realisasi solusi tersebut harus memperhatikan 5 elemen, yaitu Alam,
Manusia, Masyarakat, Bangunan, dan Jaringan (Doxiadis, 1968: 5) Sehingga penyediaan
permukiman layak huni harus diimbangi dengan penyediaan fasilitas yang layak bagi
masyarakat yang tinggal di tempat tersebut, yaitu tidak terganggu oleh polusi (air, udara,
suara), tersedia air bersih, memiliki kemungkinan untuk perkembangan pembangunannya,
mempunyai aksesibilitas yang baik, mudah dan aman mencapai tempat kerja, tidak berada
dibawah permukaan air setempat dan mempunyai kemiringan rata-rata. (Surtiani, 2006: 122)
Selain itu, dalam merealisasikannya secara bertahap, penduduk permukiman kumuh
harus direlokasi ke tempat yang lebih baik terlebih dahulu, sehingga kawasan permukiman
kumuh yang lama dapat diremajakan dan diganti menjadi bangunan yang layak huni. Tentu
tindakan relokasi haruslah manusiawi dan perlu dilakukan pendekatan terhadap masyarakat,
agar masyarakat tidak kaget dengan kebijakan tersebut.
Suatu pemukiman dapat dikatakan layak jika memenuhi standart yang sudah
ditetapkan. Namun, ada kalanya ketetapan standatr dari berbagai badan yang berkaitan
maupun pemerintah berbeda-beda. Pada umumnya, dalam hunian layak terdapat fasilitas-
fasilitas meliputi penyediaan air bersih, penyaluran air kotor, sanitasi, pembuangan limbah
padat, drainase dan jalan lingkungan. Penggunaan air bersih diperlukan terutama dalam
aktivitas memasak, mencuci, mandi dengan jumlah kurang-lebih 60 liter per orang per hari.
Penyediaan air bersih dapat dilakukan dengan oleh pihak pemerintah/swasta berupa
sambungan langsung ke rumah atau keran umum. Bagi pemukiman di luar daerah pelayanan
dapat menggunakan sumur air tanah dangkal. Masalah sanitasi air ini berpengaruh terhadap
dampak kesehatan seperti penyakit kulit dan perut. Di sisi lain, air kotor diartikan sebagai
buangan rumah tangga dan tinja. Penyaluran dapat melalui saluran kota ke instalasi
pengolahan air limbah atau diolah secara individual dengan system cubluk atau septic tank.
Ketiadaan fasilitas pengolahan air kotor ini dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti
penyakit perut.
Limbah padat biasanya berupa sampah rumah tangga terutama yang berasal dari
kegiatan dapur. Bahan organik cukup dominan jumlahnya dalam sampah, sehingga bentuk
sampah umumnya basah dengan sifat membusuk. Penanganan sampah ini harus dilakukan
secara rutin agar tidak menimbulkan lingkungan kotor, bau tidak sedap dan tentu saja
penyakit. Disamping itu fasilitas drainase juga mutlak tersedia dalam suatu pemukiman,
karena tingkat penyerapan air hujan oleh tanak di kota relative kecil. Jika drainase ini tidak
ada akan menimbulkan lingkungan becek dan dipastikan akan terjadi banjir, jika hujan terus-
menerus datang. Dan terakhir, Jalan lingkungan sangat dibutuhkan sebagai sarana hubungan
lokal antar warga masyarakat. Selain itu penting sebagai penghubung dengan daerah luar.
Semakin kompleksnya pengaturan masalah pemukiman di perkotaan, memunculkan
standart baku lainnya berupa fasilitas lainnya demi memenuhi kritetia sebagai hunian layak.
Selain fasilitas pembuangan dan akses air bersih, yang perlu dimiliki demi kejelasan sebuah
pemukiman ialah kepastian akan hak penguasaan lahan berupa surat peryataan dan bukti
sertifikat atau dokumen kepemilikan lainnya, sehingga dapat diketahui kejelasan kepemilikan
lahan dan mencegah sengketa. Selain itu, pemukiman layak ditandai pula dengan adanya
kejelasan ketahan rumah atau pemukiman. Dari indicator tersebut, dapat diketahui bagaimana
struktur rumah, lokasi rumah dibangun dan material bangunan yang digunakan. Pemukiman
atau hunian yang layak harus memiliki struktur yang sudah permanen, lokasi yang nyaman
dan akses ke lingkungan luar yang lancar serta dibangun dengan menggunakan bahan
bangunan dan material yang berkualitas baik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
Dari apa yang sudah dipaparkan diatas diharapkan pemerintah agar lebih tegas dan
lebih memperketat dalam pembangunan pemukiman penduduk yang kini sudah menjamur
hingga ke perkotaan. Salah satunya adalah mengenai pembangunan rumah susun yang
memiliki tujuan untuk menata kembali suatu kawasan kota, baik secara fisik maupun
fungsional dan keuntungan ekonomisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Andi. 2010. “Rumah Itu Bernama Indonesia” Dalam National Geographic
Indonesia.http://fotokita.net/cerita /129829517400_0004390/rumah-itu-bernama-indonesia.
Diunduh Selasa, 11 Desember 2012
Ari. 2007. “Fenomena Perumahan Kumuh di Badung” dalam Balipost (online) http://
http://www.balipost.com/BaliPostcetak/2007/9/17/b20.htm diunduh Rabu, 12 Desember 2012
Bapedda Grobogan. 2012. “Isu Pembangunan Perumahan dan Permukiman”. Dalam Website
Bapedda Grobogan http://bappeda.grobogan.go.id/info-pembangunan/89-isu-dan-
permasalahan-pembangunan-perumahan-dan-pemukiman.html. Diunduh Selasa, 11
Desember 2012.
Fachrozi, Irzan. 2012. “Fenomena Kaum Pendatang Di Sawangan Depok Studi Kasus: Kel.
Sawangan Lama Rt. 004/Rw.001” dalam http ://bentukdanisi.blogspot.com /2012/07/riset-
kecil-tentang-para-pendatang-di_26.html. Diunduh Rabu, 12 Desember 2012
Hoffman, M. L., dkk. 1991. “Rental Housing in Urban Indonesia” dalam jurnal HABITAT
INTL. Vol. 15 No.12 Hlm. 181 – 206. Washington DC: The Urban Institute.