Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberi kita taufiq

dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah yang berjudul “Pemukiman

Penduduk”. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,

beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan

menuju jalan yang terang benderang.

Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kami

khususnya, dan segenap pembaca umumnya. Penulis menyadari bahwa paper ini masih jauh

dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan

untuk menuju kesempurnaan makalah ini.

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua

pihak yang telah bersusah payah membantu hingga terselesaikannya penulisan makalah ini.

Semoga semua bantuan dicatat sebagai amal sholeh di hadapan Allah SWT. Amin.

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Fenomena rumah sewa atau biasa disebut rumah kontrakan telah menjamur di
berbagai tempat, salah satunya di kawasan kumuh yang banyak dijumpai diperkotaan.
Berbagai dampak negatif ditimbulkan oleh fenomena kontrakan di permukiman kumuh.
Pemerintah bukan tidak memiliki solusi dalam mengatasi fenomena tersebut, namun
realisasinya pemerintah kebingungan untuk mengatasi masalah tersebut. Kompleksitas
pembenahan permukiman kumuh adalah dari segi sosial masyarakat dan meningkatnya
kebutuhan akan perumahan yang menjadi penghambat penanganan fenomena kontrakan di
permukiman kumuh milik penduduk yang kini sudah dibilang tidak mengindahkan lagi.
Rumah kontrakan merupakan salah satu bagian terpenting dari fenomena perumahan
di Indonesia, terlebih di kalangan berpendapatan rendah. Namun, perumahan yang ditempati
oleh masyarakat berpendapatan rendah biasanya berkualitas buruk. (Hoffman dkk, 1991: 181)
atau lazimnya berada di permukiman kumuh. Bahkan penyewa berpenghasilan rendah
biasanya menyewa kontrakan yang tidak memiliki fasilitas toilet sendiri, sehingga mereka
biasa berbagi fasilitas toilet dengan penyewa lainnya. The World Development Report
mengatakan hanya 35% tempat tinggal di Jakarta memiliki akses air bersih. (dari jumlah
tersebut, 20% lewat sistem air bersih kota dan 15% membeli air dari penjual air). (Lee, 1996:
586)
Pemerintah bukan tidak memiliki solusi dalam mengatasi fenomena tersebut, namun
hal yang mengherankan adalah, banyak permukiman kumuh yang akan didisiplinkan ternyata
memiliki sertifikat tanah dan bangunan yang resmi, bahkan sertifikat hak milik yang
sebenarnya keluar jika rumah tersebut layak huni. Sehingga pemerintah aparatpun
kebingungan untuk menangani permukiman kumuh tersebut.
Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya, salah satu kriteria yang perumahan yang
layak huni adalah bebas dari polusi dan tersedia akses air bersih. (Surtiani, 2006: 41) Namun
di permukiman kumuh, hal tersebut sangat sulit didapati, di mana permukiman kumuh tidak
bebas dari polusi, terutama polusi udara, serta akses air bersih yang jarang mereka dapatkan.
Tak jarang untuk memenuhi kegiatannya sehari-hari, penduduk permukiman kumuh di
bantaran sungai menggunakan air sungai yang kotor demi memenuhi kebutuhan mereka akan
air.
Menurut Kepala Bidang Sarana-Prasarana Lingkungan Hidup Suku Dinas
Perencanaan Kota Jakarta Selatan, Mahruri, kompleksitas permasalahan pembenahan wilayah
permukiman kampung kumuh adalah dari segi sosial masyarakat. Dia mengatakan,
kebanyakan warga yang tinggal di kawasan kumuh adalah pendatang, sementara bentuk
permukiman yang dibangun berupa bedeng-bedeng kontrakan. Hal ini menyebabkan
pemerintah kesulitan untuk menata bangunan secara fisik dan lebih fokus pada lingkungan.
(Syailendra, 2012)
Struyk dkk. (dalam Hoffman dkk, 1991: 191) menyimpulkan definisi gubuk dan petak
–yang merupakan ciri rumah di permukiman kumuh –yang diungkapkan oleh Nelson (dalam
Hoffman dkk, 1991: 191) dengan Representative Survey of Households in Urban Areas, yaitu
terdapat 16 % penyewa tinggal di tempat kumuh, 5% Gubuk dan 16% petak. Ini
menunjukkan angka masing-masing 2 % dan 4% dari penduduk kota. Disamping fakta
seperempat jumlah rumah di jakarta adalah rumah kontrakan dan lebih dari setengahnya
adalah gubuk dan petak.
Tentu saja jumlah tersebut lebih banyak daripada survei tersebut. Hal tersebut
didukung oleh data UNESCO, pada tahun 2010 ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia saat ini
masih tinggal di rumah tidak layak huni. PBB juga memperkirakan bahwa jumlah penduduk
kumuh akan berlipat ganda dalam 25 tahun. Sedangkan kebutuhan rumah baru penduduk
dunia saat ini sudah mencapai angka 200 juta unit, sementara angka pertambahan rumah
sekitar 3 juta per tahun. (Anshari, 2010) Hal ini tentunya sangat genting, mengingat sebagai
negara berkembang yang menuju ke tahap negara maju, Indonesia perlu memperbaiki segala
sektor, seperti juga sektor perumahan di tengah kebutuhan perumahan yang makin
meningkat.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh fenomena ini sangat pelik, salah satunya adalah
premanisme yang tentu saja berbahaya dan akan mengganggu ketenangan masyarakat. Maka
diperlukan solusi yang nyata dalam menangani fenomena ini, sehingga dapat menekan,
bahkan mengatasi secara menyeluruh masalah yang ditimbulkan oleh kontrakan di
permukiman kumuh. Dalam makalah ini, saya akan mengupas faktor-faktor yang
menyebabkan munculnya rumah kontrakan di permukiman kumuh, kemudian dampak yang
ditimbulkan oleh fenomena kontrakan di permukiman kumuh, dan solusi yang tepat untuk
mengatasi fenomena tersebut.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana fenomena munculnya fenomena kontrakan di permukiman kumuh yang


tidak lagi mengindahkan lingkungan untuk dilihat?
2. Seperti apa dampak dari fenomena kontrakan di permukiman kumuh yang tidak lagi
mengindahkan lingkungan untuk dilihat?
3. Apa solusi untuk mengatasi fenomena kontrakan di permukiman kumuh yang tidak
lagi mengindahkan lingkungan untuk dilihat?
4. Bagaimana bentuk ketersediaan fasilitas pemukiman sebagai indikasi pemukiman
layak huni?

 1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bagaimana fenomena munculnya fenomena kontrakan di


permukiman kumuh yang tidak lagi mengindahkan lingkungan untuk dilihat.
2. Untuk mengetahui seperti apa dampak dari fenomena kontrakan di permukiman
kumuh yang tidak lagi mengindahkan  lingkungan untuk dilihat.
3. Untuk mengetahui apa solusi untuk mengatasi fenomena kontrakan di permukiman
kumuh yang tidak lagi mengindahkan lingkungan untuk dilihat
4. Untuk mengetahui bagaimana bentuk ketersediaan fasilitas pemukiman sebagai
indikasi pemukiman layak huni.

 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Faktor Munculnya Fenomena Kontrakan di Permukiman Kumuh yang Tidak Lagi
Mengindahkan Lingkungan (PEMUKIMAN PENDUDUK)

Munculnya kontrakan di permukiman kumuh tentu disebabkan oleh beberapa faktor,


salah satunya adalah motivasi masyarakat untuk memiliki tempat tinggal yang sangat tinggi.
Tempat tinggal yang diinginkan dan ideal tentu saja dekat dengan fasilitas umum dan tempat
mereka mengais rejeki. Otomatis masyarakat berlomba-lomba untuk mempunyai rumah
dengan kriteria tersebut. Namun untuk sebagian kecil masyarakat yang tidak mampu untuk
membeli rumah, atau mengontrak rumah dengan harga yang tinggi menyebabkan mereka
memilih untuk mendirikan rumah secara liar, atau mengontrak rumah yang secara liar
didirikan.
Urbanisasi merupakan faktor utama dari fenomena permukiman kumuh. Salah satu
bukti adalah perantau di RT/RW 004/001, Sawangan Lama, Depok. Di sana fenomena
Urbanisasi telah menjadi hal yang lumrah, bahkan karena mereka biasanya membentuk
komunitas yang didasari kesamaan kampung halaman dan tinggal di satu kontrakan yang
sama. Selain itu mereka juga banyak mengajak sanak saudaranya untuk ikut bekerja atau
sekedar ikut tinggal di kawasan tersebut. Sebagian mereka juga bisa tahan tinggal di
kontrakan yang kurang layak huni karena mereka lebih senang untuk mengumpulkan uang
mereka untuk di kampung halaman mereka dibandingkan hidup bermewah-mewahan di
kampung rantauan (Fachrozi, 2012).
Persebaran penduduk yang tidak merata dari desa ke kota juga menjadi titik balik
peningkatan angka urbanisasi. Dalam sebuah riset, disebutkan bahwa sebagian besar penyewa
dari kalangan menengah ke bawah adalah para pendatang dari pedesaan. (Hoffman dkk,
1991: 185) Selain itu, pesatnya angka pertumbuhan penduduk terutama di kota-kota besar,
baik disebabkan oleh urbanisasi maupun kelahiran tidak sebanding dengan penyediaan sarana
perumahan. Permasalahan ini tidak hanya menjadi isu pada kota-kota di pulau jawa, tetapi
kota-kota di pulau lain yang sudah menunjukkan gejala serupa. (Bapedda Grobogan, 2012)
Kemiskinan juga menjadi salah satu penyebab seseorang menyewa kontrakan di
permukiman kumuh, mereka tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli rumah, atau
menyewa rumah yang layak huni, sehingga mereka memilih untuk mengontrak rumah yang
lebih terjangkau dengan kantong mereka, tak lain adalah kontrakan yang berada di
permukiman kumuh. Rumah–rumah kecil dibangun oleh orang-orang yang melihat peluang
tersebut akibat keterbatasan lahan dan minimnya dukungan finansial tiap keluarga dalam
membangun rumah dengan luas yang sesuai dengan kebutuhan. (Latief, Tanpa Tahun)
Kemudian rumah tersebut dikontrakan dengan harga murah dan sangat terjangkau bagi warga
miskin, meskipun rumah yang dikontrakan tersebut semi permanen (bahkan tidak permanen)
dan tidak layak huni.
Daya jangkau terhadap berbagai fasilitas termasuk fasilitas umum dan tempat bekerja
juga menjadi salah satu faktor mengapa muncul permukiman kumuh, terutama di pusat kota.
Hal itu karena lebih memudahkan jangkauan masyarakat menuju ke tempat kerja.
Ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap di pusat kota juga menjadi daya tarik
masyarakat untuk tinggal di kawasan tersebut. (Surtiani, 2006: 2) Para migran, dalam
memenuhi tempat tinggalnya mereka cenderung bermukim pada daerah-daerah yang
mempunyai tingkat pencapaian yang mudah ke pusat-pusat pelayanan. (Fachrozi, 2012)
Pemahaman masyarakat atas hunian yang layak masih kurang. Pemerintah telah
menawarkan berbagai macam solusi permukiman, bahkan Perumnas dalam Website BUMN
mengungkapkan berbagai program, di antaranya Rumah susun sederhana sewa (Rusunawa),
Rumah susun sederhana milik (Rusunami), Rumah tidak bersusun, dan Peremajaan kawasan
permukiman kumuh. Namun berbagai solusi tersebut masih belum menuai hasil yang
signifikan. Seperti rumah susun yang merupakan bangunan bertingkat, masyarakat masih
merasa bila mereka belum tinggal di rumah bila tidak berada di atas tanah secara langsung.
Sementara rumah susun tidak berada di atas tanah secara langsung sehingga mereka lebih
senang tinggal di permukiman kumuh, meskipun mereka harus merasakan berbagai dampak
negatifnya.
Pemerintah yang kurang fokus menangani masalah permukiman kumuh menjadi salah
satu faktor, tak jarang banyak oknum aparat yang sering melakukan tindakan penggusuran
kawasan kumuh di suap oleh masyarakat permukiman kumuh agar tidak digusur. Jikalau
digusur, masyarakat yang bermukim di kawasan kumuh tidak tahu kemana lagi harus tinggal,
otomatis mereka akan bergelandangan menjadi Tuna Wisma, ataupun membangun rumah
lagi secara illegal di kawasan lain yang akan menimbulkan kekumuhan. Tak jarang juga
mereka yang digusur membentuk kawasan kumuh yang bersifat semi permanen di kawasan
yang sama setelah lepas dari pengawasan aparat.
Penyuapan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat saat akan digusur, para pemilik
kontrakan di kawasan kumuh bahkan menyuap oknum pemerintahan untuk membuatkan
sertifikat tanah dan bangunan, bahkan sertifikat hak milik yang resmi, sehingga bangunan
tersebut menjadi legal dan tak bisa ditertibkan. Hal ini membuat permukiman kumuh makin
menjamur, dan makin banyak kontrakan bertebaran di kawasan kumuh.

2.2 Dampak dari Fenomena Kontrakan di Permukiman Kumuh

Dari faktor-faktor tersebut, banyak dampak yang ditimbulkan oleh fenomena


kontrakan di permukiman kumuh, salah satunya adalah kondisi lingkungan yang memburuk
dan berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat yang tinggal di sana. Menurut Kepala Dinas
Perumahan dan Gedung Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, Novizal, Permukiman kumuh
sirkulasi udaranya buruk, karena sinar matahari yang masuk terhalang oleh atap yang saling
bertemu di sela-selanya, sehingga hal tersebut tidak baik bagi kesehatan. (Rachmita, 2012)
Padahal permukiman yang baik seharusnya memiliki sirkulasi udara yang baik dan cahaya
dengan mudah masuk untuk memberikan penyegaran agar daerah tersebut tidak gelap di
siang hari dan dapat membunuh kuman penyakit.
Daerah kumuh memiliki drainase yang buruk, contoh di daerah Pancuran, Salatiga,
kondisi drainasenya sebagian besar tidak dapat berfungsi dengan maksimal karena tidak
adanya maintenance yang baik. Drainase-drainase kota bertemu pada kawasan ini karena
letaknya dibawah aspal jalan. Karena tidak adanya pemeliharaan rutin maka banyak drainase
yang tersumbat karena sampah pasar. Pada saat musim hujan turun air meluap demikian juga
sampah yang menyumbat. Hal ini menyebabkan lingkungan kawasan permukiman ini
menjadi kotor. (Surtiani, 2006: 125 – 126). Hal tersebut dapat berdampak buruk bagi
lingkungan, yang tentu akan berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat yang tinggal di
daerah tersebut.
Dampak lain yang dapat menimpa permukiman kumuh, terutama yang berada di
kawasan bantaran sungai adalah resiko bencana. Salah satu bencana yang dapat terjadi adalah
banjir bandang yang bisa datang kapan saja. (Tim Ekspedisi Ciliwung Kompas, 2009).
Contoh kasus adalah banjir bandang di Situ Gintung yang menghanyutkan permukiman yang
berada di bantaran sungai. Sebenarnya kerugian atas bencana tersebut dapat di hindari bila
daerah bantaran sungai bersih dari bangunan, termasuk rumah-rumah penduduk. Tak hanya
banjir bandang saja yang dapat menimpa permukiman kumuh, namun juga banjir yang
disebabkan oleh meluapnya air sungai. Kasus ini banyak terjadi di Jakarta dan juga di sekitar
Sungai Bengawan Solo. Tentu saja banjir tersebut sangat merugikan masyarakat, mulai dari
berhentinya aktivitas ekonomi, pendidikan, dan timbul beberapa penyakit.
Potensi lain yang dapat ditimbulkan oleh permukiman kumuh adalah terjadinya
kebakaran yang serius. Karakteristik hunian yaitu kondisi rumah yang tidak sehat baik
pencahayaan, udara dan toilet serta bersifat temporer, dimana tidak diperbaiki dengan baik.
Hal ini sangat rentan terhadap kebakaran (Surtiani, 2006: v) Jarak antar rumah sangat rapat
dan menjadikannya rawan jika kebakaran terjadi, api akan sangat cepat menjalar dari satu
rumah ke rumah yang lain. Hal tersebut diperparah dengan kondisi jaringan jalan di
permukiman kumuh yang sangat sempit. Padahal jalan yang ideal paling tidak harus bisa
dilewati oleh kendaraan roda empat, hal ini berkaitan dengan kepentingan akses kendaraan
pemadam kebakaran, untuk bantuan pemadaman kebakaran secepatnya. (Surtiani, 2006: 125)
Tak hanya dampak yang disebabkan oleh kondisi permukiman itu sendiri, namun juga
dampak yang ditimbulkan oleh kondisi sosial, seperti munculnya premanisme di tengah
masyarakat. Rata-rata pemilik rumah kontrakan membangun banyak rumah kontrakan di
permukiman kumuh, sedangkan para penyewa seringkali tidak membayar uang sewa dengan
tepat waktu dikarenakan lupa, atau kebutuhan ekonomi lain yang mendesak. Tak jarang ada
penyewa yang bersih kukuh tidak ingin membayar uang sewa kepada pemilik kontrakan
sehingga sang pemilik kontrakan menempuh jalur kekerasan untuk menagih uang sewa. Rata-
rata penyewa yang tidak tepat waktu membayarkan uang kontrakan adalah yang tinggal di
gubuk. 10% diantara pemilik kontrakan di permukiman kumuh bahkan pernah mengusir
penyewa, rata-rata setelah 3 bulan tidak membayar uang sewa.(Hoffman dkk, 1991: 196)
Dalam pengusiran atau penagihan hutang tersebut, preman sering dikerahkan untuk menjadi
debt collector agar penyewa mau membayar uang sewa kontrakannya. Segala cara dilakukan
agar uang sewa tersebut terbayarkan pada saat itu juga, termasuk melakukan kekerasan
pengusiran paksa, dan penganiayaan. Jika tindakan premanisme ini dibiarkan, maka angka
kriminalitaspun semakin meningkat.
Meskipun banyak dampak negatif yang timbul dari adanya fenomena kontrakan di
permukiman kumuh, namun jumlahnya akan semakin bertambah bila tidak ditangani dengan
serius. Banyaknya oknum aparat yang mudah untuk disuap tentu saja akan menambah jumlah
permukiman kumuh yang dilegalkan. Oknum tersebut tidak hanya berada di lapis atas, namun
juga oknum lapis bawah yang jumlahnya cukup banyak dan dapat dikatakan sangat
terorganisir. Banyak yang memaklumi hal tersebut sebagai hal lumrah, namun ini adalah
suatu tindakan yang mencerminkan bahwa birokrasi di Indonesia sangat kotor dengan yuridis
yang sangat lemah.
Pertambahan jumlah kebutuhan akan perumahan menyebabkan jumlah permukiman
kumuh bisa bertambah. Untuk Indonesia sendiri, kebutuhan rumah masyarakatnya pun
diperkirakan sekitar 4 persen dari total kebutuhan rumah penduduk dunia. Hasil sensus
penduduk nasional yang diumumkan baru-baru ini menunjukkan jumlah populasi Indonesia
bertambah 35,5 juta orang dibandingkan tahun 2000 yang lalu. Luas lahan permukiman
kumuh berdasarkan hasil pendataan pemerintah terus bertambah setiap tahunnya. Saat ini
luasnya bahkan telah mencapai angka 57.000 ha. Luas lahan permukiman kumuh itu
bertambah 3.000 ha dari angka 54.000 ha pada 2005. (Anshari, 2010)
Selain itu, pertambahan tersebut juga disebabkan oleh adanya pemilik kontrakan yang
menambah investasi di dunia properti dengan memiliki lebih dari satu unit kontrakan (rata-
rata memiliki 5,6). Mereka lebih banyak menyewakat gubuk dibandingkan rumah petak (7
berbanding 4) dan unit petak 10% lebih luas daripada gubuk. (Hoffman, dkk, 1991: 197) Hal
ini mengindikasikan bahwa para pemilik kontrakan yang berinvestasi pada penyediaan rumah
kontrakan cenderung membuat permukiman kumuh baru, mengingat lahan yang ada sangat
sedikit dan mereka memanfaatkan hal tersebut untuk membuat Gubuk dan Petak kecil, agar
pemasukkan yang mereka terima lebih banyak.

2.3 Solusi untuk Mengatasi Fenomena Kontrakan di Permukiman Kumuh

Saat ini, diperlukan solusi konkret dalam mengatasi fenomena tersebut. Salah satu
solusi yang telah direalisasikan pemerintah adalah Rumah susun sewa sederhana (Rusunawa).
Pembangunan rumah sewa sederhana diarahkan kepada tiga kebijaksanaan dasar yaitu
Penyediaan rumah sewa oleh sektor non formal perseorangan, Pembangunan rumah sewa
sederhana berdasarkan azas swadaya, dengan pengerahan sumber daya masyarakat setempat
dan dengan pemberian subsidi yang diusahakan sekecil mungkin (Yudohusodo, 1997).
Pembangunan rumah susun memiliki tujuan untuk menata kembali suatu kawasan kota, baik
secara fisik maupun fungsional dan keuntungan ekonomisnya (Surtiani, 2006: 61)
Pemerintah telah membuat suatu undang-undang dalam Repelita V tahun 1989 – 1994
untuk memperbaiki kualitas dan menambah jumlah perumahan yang disewakan, dan
Pemerintah juga telah menyadari perlunya pendekatan untuk pengembangan permukiman,
seperti memfasilitasi proses pembangunan perumahan yang sudah ada, dan perlunya
pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta dalam menangani sektor perumahan sewa.
(Hoffman dkk, 1991: 182).
Pemerintah telah memiliki tindakan nyata, yaitu melakukan sedikit pembangunan
perumahan untuk masyarakat kalangan bawah, memberikan subsidi pinjaman kepada
peminjam tertentu, dan insentif kepada pengembang swasta yang memberikan membangun
perumahan murah. (Lee, 1996: 585)
Dalam membantu ketersediaan hunian bagi masyarakat miskin, Pemerintah
diharapkan membangun permukiman secara gratis, baik dalam bentuk Rusunami maupun
rumah tidak bersusun, meskipun sederhana namun layak huni, agar ekonomi mereka
terbangun dan tidak perlu khawatir akan kehilangan tempat tinggal.
Untuk masyarakat menengah ke bawah, diberikan kredit kepemilikan rumah susun
yang berbunga rendah atau disubsidi, diharapkan masyarakat mampu memiliki kesadaran
untuk tinggal di permukiman yang layak huni. Antusias masyarakat untuk mendapatkan
pinjaman sangat besar, terbukti pada penelitian Michael Hoffman bahwa rumah tangga yang
tidak memiliki surat tanah resmi hampir sama antusiasnya dengan mereka yang memiliki
surat tanah resmi dalam hal keinginan mendapat pinjaman. (Lee, 1996: 587) sehingga kredit
kepemilikan rumah susun yang berbunga rendah atau disubsidi sangat efektif.
Tentu saja realisasi solusi tersebut harus memperhatikan 5 elemen, yaitu Alam,
Manusia, Masyarakat, Bangunan, dan Jaringan (Doxiadis, 1968: 5) Sehingga penyediaan
permukiman layak huni harus diimbangi dengan penyediaan fasilitas yang layak bagi
masyarakat yang tinggal di tempat tersebut, yaitu tidak terganggu oleh polusi (air, udara,
suara), tersedia air bersih, memiliki kemungkinan untuk perkembangan pembangunannya,
mempunyai aksesibilitas yang baik, mudah dan aman mencapai tempat kerja, tidak berada
dibawah permukaan air setempat dan mempunyai kemiringan rata-rata. (Surtiani, 2006: 122)
Selain itu, dalam merealisasikannya secara bertahap, penduduk permukiman kumuh
harus direlokasi ke tempat yang lebih baik terlebih dahulu, sehingga kawasan permukiman
kumuh yang lama dapat diremajakan dan diganti menjadi bangunan yang layak huni. Tentu
tindakan relokasi haruslah manusiawi dan perlu dilakukan pendekatan terhadap masyarakat,
agar masyarakat tidak kaget dengan kebijakan tersebut.

2.4 Ketersediaan Fasilitas  Sebagai indikasi Pemukiman Layak Huni

Suatu pemukiman dapat dikatakan layak  jika memenuhi standart yang sudah
ditetapkan. Namun, ada kalanya ketetapan standatr dari berbagai badan yang berkaitan
maupun pemerintah berbeda-beda. Pada umumnya, dalam hunian layak terdapat  fasilitas-
fasilitas meliputi penyediaan air bersih, penyaluran air kotor, sanitasi,  pembuangan limbah
padat, drainase dan jalan lingkungan. Penggunaan air bersih diperlukan terutama dalam
aktivitas memasak, mencuci, mandi  dengan jumlah kurang-lebih 60 liter per orang per hari.
Penyediaan air bersih dapat dilakukan dengan oleh pihak pemerintah/swasta berupa
sambungan langsung ke rumah atau keran umum. Bagi pemukiman di luar daerah pelayanan
dapat menggunakan sumur air tanah dangkal. Masalah sanitasi air ini berpengaruh terhadap
dampak kesehatan seperti penyakit kulit dan perut. Di sisi lain, air kotor diartikan sebagai
buangan rumah tangga dan tinja. Penyaluran dapat melalui saluran kota ke instalasi
pengolahan air limbah atau diolah secara individual dengan system cubluk atau septic tank.
Ketiadaan fasilitas pengolahan air kotor ini  dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti
penyakit perut.
Limbah padat  biasanya berupa sampah  rumah tangga terutama  yang berasal dari
kegiatan dapur. Bahan organik cukup dominan jumlahnya dalam sampah, sehingga bentuk
sampah umumnya basah dengan sifat membusuk. Penanganan sampah ini  harus dilakukan
secara rutin agar tidak menimbulkan lingkungan kotor, bau tidak sedap dan tentu saja
penyakit. Disamping itu fasilitas drainase juga mutlak tersedia dalam suatu pemukiman,
karena tingkat penyerapan air hujan oleh tanak di kota relative kecil. Jika drainase ini tidak
ada akan menimbulkan lingkungan becek dan dipastikan akan terjadi banjir, jika hujan terus-
menerus datang. Dan terakhir, Jalan lingkungan sangat dibutuhkan sebagai sarana hubungan
lokal antar warga masyarakat. Selain itu penting sebagai penghubung dengan daerah luar.
Semakin kompleksnya pengaturan masalah pemukiman di perkotaan, memunculkan
standart baku lainnya berupa fasilitas lainnya demi memenuhi kritetia sebagai hunian layak.
Selain fasilitas pembuangan dan akses air bersih, yang perlu dimiliki demi kejelasan sebuah
pemukiman ialah kepastian akan hak penguasaan lahan berupa surat peryataan dan bukti
sertifikat atau dokumen kepemilikan lainnya, sehingga dapat diketahui kejelasan kepemilikan
lahan dan mencegah sengketa. Selain itu, pemukiman layak ditandai pula dengan adanya
kejelasan ketahan rumah atau pemukiman. Dari indicator tersebut, dapat diketahui bagaimana
struktur rumah, lokasi rumah dibangun dan material bangunan yang digunakan. Pemukiman
atau hunian yang layak harus memiliki struktur yang sudah permanen, lokasi yang nyaman
dan akses ke lingkungan luar yang lancar serta  dibangun dengan menggunakan bahan
bangunan dan material yang berkualitas baik.

 
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Fenomena Rumah Kontrakan telah menjamur di berbagai tempat, salah satunya di


kawasan kumuh yang banyak dijumpai diperkotaan. Munculnya Kontrakan di permukiman
kumuh disebabkan oleh beberapa faktor yaitu motivasi masyarakat untuk memiliki rumah,
urbanisasi, kemiskinan, strategisnya suatu hunian, kurangnya pemahaman masyarakat
terhadap permukiman layak huni, pemerintah kurang fokus menangani masalah permukiman
kumuh, dan oknum aparat yang disuap. Dampak yang ditimbulkan oleh fenomena kontrakan
di permukiman kumuh yaitu memburuknya kondisi lingkungan berdampak bagi kesehatan
masyarakat, resiko bencana munculnya tindakan premanisme, makin banyak oknum aparat
yang disuap, bertambahnya permukiman kumuh.
Diperlukan solusi yang nyata dalam menangani fenomena ini, sehingga dapat
menekan, bahkan mengatasi secara menyeluruh masalah yang ditimbulkan oleh kontrakan di
permukiman kumuh. Antara lain mendukung memaksimalkan kebijakan pemerintah yang
sudah ada (rumah susun), membangun permukiman secara gratis untuk masyarakat miskin,
memberikan kredit kepemilikan rumah susun yang berbunga rendah atau disubsidi untuk
masyarakat menengah ke bawah. Tentu saja realisasi solusi tersebut harus memperhatikan
fasilitas yang akan diberikan pada permukiman yang menjadi solusi tersebut, dan melakukan
pendekatan yang manusiawi dalam merealisasikan kebijakan tersebut.

3.2 Saran

Dari apa yang sudah dipaparkan diatas diharapkan pemerintah agar lebih tegas dan
lebih memperketat dalam pembangunan pemukiman penduduk yang kini sudah menjamur
hingga ke perkotaan. Salah satunya adalah mengenai pembangunan rumah susun yang
memiliki tujuan untuk menata kembali suatu kawasan kota, baik secara fisik maupun
fungsional dan keuntungan ekonomisnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Andi. 2010. “Rumah Itu Bernama Indonesia” Dalam National Geographic
Indonesia.http://fotokita.net/cerita /129829517400_0004390/rumah-itu-bernama-indonesia.
Diunduh Selasa, 11 Desember 2012

Ari. 2007. “Fenomena Perumahan Kumuh di Badung” dalam Balipost (online) http://
http://www.balipost.com/BaliPostcetak/2007/9/17/b20.htm diunduh Rabu, 12 Desember 2012

Bapedda Grobogan. 2012. “Isu Pembangunan Perumahan dan Permukiman”. Dalam Website
Bapedda Grobogan http://bappeda.grobogan.go.id/info-pembangunan/89-isu-dan-
permasalahan-pembangunan-perumahan-dan-pemukiman.html. Diunduh Selasa, 11
Desember 2012.

Doxiadis, Constantinos A. 1968. Ekistics: an Introduction to the Science of Human


Settlement. New York: Oxford University Press.

Fachrozi, Irzan. 2012. “Fenomena Kaum Pendatang Di Sawangan Depok Studi Kasus: Kel.
Sawangan Lama Rt. 004/Rw.001” dalam http ://bentukdanisi.blogspot.com /2012/07/riset-
kecil-tentang-para-pendatang-di_26.html. Diunduh Rabu, 12 Desember 2012

Hoffman, M. L., dkk. 1991. “Rental Housing in Urban Indonesia” dalam jurnal HABITAT
INTL. Vol. 15 No.12 Hlm. 181 – 206. Washington DC: The Urban Institute.

Anisa. 2015. Makalah Pemukiman Penduduk. http://4shared.blogspot.com. Diakses pada:


Sabtu, 4 Agustus 2018
Istavita Utama. 2018. Makalah Pemukiman Penduduk. http://underpapers.blogspot.com.
Diakses pada: Sabtu, 4 Agustus 2018

Anda mungkin juga menyukai