Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERENCENAAN WILAYAH DAN


KOTA DI INDONESIA DALAM ASPEK PENANGANAN KUMUH
Dosen pengampu

NUR SYAM AKSA S,S.T,M.SI

Disusun Oleh:

Nama : Muhammad Fahrul Rasyid

NIM : 60800121026

Prodi : Teknik Perencanaan Wilayah & Kota


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul sejarah perkembangan dan perencanaan wilayah
dan kota dalam aspek penanganan kumuh tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi
tugas mata kuliah Sejarah Perkembangan Kota. Selain itu, penulis juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Sejarah Perkembangan dan
Perencanaan Wilayah Kota.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya mengucapkan terima kasih pada


semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Barru, 22 Oktober 2021

Muhammad Fahrul Rasyid


BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Perkembangan jumlah penduduk di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun


ke tahun dan merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi,
yaitu sekitar 1,45% per tahun dan menempati posisi ke enam setelah Laos (2,3% per tahun),
Filipina (2,0% pertahun), Brunei Darussalam (1,9% per tahun), Malaysia (1,8% per tahun),
Kamboja (1,8% per tahun). Dengan pertumbuhan penduduk yang dapat dikategorikan relatif
tinggi dan bila tidak diiringi dengan kebijakan pemerintah maka berpotensi menimbulkan
berbagai dampak negatif salah satu diantaranya adalah meningkatnya permukiman kumuh.
Berdasarkan perkiraan, jumlah penduduk Indonesia di tahun 2020 akan mencapai
271.066.400 jiwa (Badan Pusat Statistik, 2017). Selain itu, lokasi tinggal penduduk di
Indonesia akan mengalami pergeseran yang memicu terjadinya urbanisasi, yang diperkirakan
mencapai 67,66% penduduk akan tinggal di perkotaan di tahun 2025 (gambar 1). Apabila
fenomena ini terus terjadi, maka berpotensi menimbulkan persoalan baru di pedesaan, yaitu
peran desa sebagai lumbung pangan nasional akan terganggu. Sedangkan di perkotaan akan
timbul berbagai persoalan sosial, diantaranya adalah persoalan permukiman penduduk.

Definisi permukiman menurut Undang-Undang No. 4 tahun 1992, tentang Perumahan


dan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik di
kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Selain itu, tingkat urbanisasi di Indonesia mencapai ± 1,7 per tahun, dan ± 23% adalah
penduduk kota yang masih tinggal di kawasan permukiman kumuh. Definisi tentang
lingkungan kumuh adalah “Permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan
bangunan, tingkat kepadatan bangunan tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan
prasarana yang tidak memenuhi syarat” (Undang -Undang No.1 Tahun 2011). Data tahun
2014, luas kawasan permukiman kumuh di Indonesia mencapai 38.431 Ha dengan jumlah
kawasan kumuh mencapai 3.193 kawasan. Hal ini tentu bukan merupakan kabar yang
menggembirakan, namun merupakan tantangan bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan
tempat tinggal yang layak bagi penduduk khususnya di perkotaan.

I.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Pengertian Pemukiman Kumuh
2. Penyebab Munculnya Pemukiman Kumuh
3. Cara Mengatasi Pemukiman Kumuh
I.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pemukiman kota
2. Untuk mengetahui penyebab munculnya pemukiman kumuh
3. Untuk mengetahui cara mengatasi pemukiman kumuh
BAB II
PEMBAHASAN

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman


a. Pengertian rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal/ hunian dan
sarana pembinaan keluarga.
b. Yang dimaksud dengan perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal/hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan.
c. Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung
(kota dan desa) yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Rumah merupakan bagian yang
tidak dapat dilihat sebagai hasil fisik yang rampung semata, melainkan merupakan proses
yang berkembang dan berkaitan dengan mobilitas sosial-ekonomi penghuninya dalam suatu
kurun waktu.
Seperti kebanyakan wajah permukiman di Indonesia banyak kita jumpai permukiman
penduduk yang sering disebut kampung. Adapun pengertian kampung identik dengan suatu
wilayah
yang terdapat di pedesaan dan berada pada kondisi yang terpenuhi kebutuhan masyarakatnya
dengan sarana dan prasarana yang layak. Kampung merupakan lingkungan suatu masyarakat
yang sudah mapan, yang terdiri dari golongan berpenghasilan rendah dan menengah dan pada
umumnya tidak memiliki prasarana, utilitas dan fasilitas sosial yang cukup baik jumlah
maupun kualitasnya dan dibangun di atas tanah yang telah dimiliki, disewa atau dipinjam
pemiliknya.
II.1 Pemukiman Kumuh
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman, tidak mengenal adanya istilah kawasan kumuh, yang ada Permukiman kumuh
dan Perumahan kumuh. Menurut UU Nomor 1 Tahun 2011 Permukiman kumuh adalah
permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan
bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak
memenuhi syarat, (Pasal 1 Angka 13 UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman). Sedangkan Perumahan kumuh adalah perumahan yang mengalami
penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian.
Permukiman kumuh sering dilihat sebagai suatu kawasan yang identik dengan
kawasan yang apatis, kelebihan penduduk, tidak mencukupi, tidak memadai, miskin, bobrok,
berbahaya, tidak aman, kotor, di bawah standar, tidak sehat dan masih banyak stigma negatif
lainnya. Dari beberapa kesan yang timbul dari permukiman kumuh dapat
disimpulkan definisi dari permukiman kumuh itu sendiri, terdapat beberapa definisi yang
diungkapkan oleh para ahli, berikut penjelasannya: Permukiman kumuh yaitu permukiman
yang padat, kualitas konstruksi rendah, prasarana, dan pelayanan minim adalah
pengejawantahan kemiskinan. Sedangkan menurut Parsudi Suparlan, permukiman kumuh
adalah permukiman atau perumahan orang- orang miskin kota yang berpenduduk padat,
terdapat di lorong-lorong yang kotor dan merupakan bagian dari kota secara keseluruhan,
juga biasa disebut dengan wilayah pencomberan atau semerawut.

Menurut Khomarudin lingkungan permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai


berikut:
a. Lingkungan yg berpenghuni padat (melebihi 500 org per Ha)
b. Kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah
c. Jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya dibawah standart
d. Sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan
e. Hunian dibangun diatas tanah milik negara atau orang lain dan diluar perundang-
undangan yang berlaku.
Gambaran lingkungan kumuh adalah :
a. Lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya
berdesakkan
b. Luas rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni
c. Rumah hanya sekedar tempat untuk berlindung dari panas dan hujan
d. Hunian bersifat sementara dan dibangun di atas tanah bukan milik penghuni
e. Lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur tanpa perencanaan
f. Prasarana kurang (mck, air bersih, saluran buangan, listrik, jalan lingkungan)
g. Fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan)
h. Mata pencaharian yang tidak tetap dan usaha non formal
i. Pendidikan masyarakat rendah.
II.2 Penyebab Munculnya Pemukiman Kumuh
Munculnya kawasan permukiman kumuh merupakan satu indikasi kegagalan program
perumahan yang terlalu berpihak pada produksi rumah langsung terutama bagi masyarakat
golongan ekonomi menengah ke atas, dan prioritas program perumahan pada rumah milik
dan mengabaikan mengabaikan potensi rumah sewa. Secara umum, penyebab munculnya
kumuh dapat berasal dari kondisi fisik dan non fisik penduduk bersangkutan. Kondisi fisik
secara jelas dapat dilihat dari kondisi lingkungan penduduk yang rendah serta status
kepemilikan lahan yang ilegal, sedangkan non fisik yaitu berkaitan dengan kemampuan
ekonomi dan budaya penduduk tersebut. Namun, dalam penelitian ini tidak akan dibahas
mengenai status legal tanah karena lebih pada peran masyarakat dalam mengatasi kumuh.
Untuk menyelesaikan masalah kumuh yang demikian, tidak hanya dengan perbaikan fisik
tetapi juga dengan mengubah pola pikir masyarakatnya dengan pemberdayaan.
Permukiman kumuh yang muncul salah satunya terjadi karena ketidakmerataan
pembangunan dan ekonomi yang terpusat pada daerah perkotaan sehingga menyebabkan
adanya migrasi dari desa ke kota. Menurut Ramadlan penyebab tingginya resistensi dari
penghuni permukiman kumuh untuk tetap berada pada lokasi semula adalah jarak yang dekat
antara permukiman dengan pusat-pusat lapangan kerja yang akan digeluti. Sebagian besar
lokasi permukiman kumuh berada ditempat strategis pusat kota, dekat pergudangan, tepi
sungai, belakang pertokoan, atau dipinggiran kota. Kondisi lingkungan di bawah standar
dengan sarana dan prasaran yang kurang memadai tidak menjadi masalah bagi penghuninya,
namun faktor penentu yang penting yaitu dekat dengan tempat kerja khususnya seperti
pekerja pasar, bangunan, maupun buruh industri.
Penyebab munculnya permukiman kumuh adalah sebagai berikut:
1) Pertumbuhan kota yang tinggi yang tidak diimbangi oleh tingkat pendapatan
yang cukup
2) Keterlambatan pemerintah kota dalam merencanakan dan membangun prasarana (terutama
jalan) pada daerah perkembangan permukiman baru. Seiring dengan kebutuhan perumahan
yang meningkat maka masyarakat secara swadaya memecah bidang tanah dan membangun
permukiman tanpa didasari perencanaan tapak (site plan) yang memadai. Akibatnya bentuk
dan tata letak kavling tanah menjadi tidak teratur dan tidak dilengkapi prasarana dasar
permukiman.
Muta’ali mengatakan bahwa penyebab adanya permukiman kumuh dibatasi dalam hal
faktor-faktor yang memicu perkembangan permukiman kumuh tersebut, yaitu :
1) Faktor Ekonomi
Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, faktor jarak antara lokasi rumah dengan
tempat kerja menempati prioritas utama. Faktor kejelasan status kepemilikan rumah menjadi
kualitas kedua, sedangkan bentuk dan kualitas bangunan tetap menempati prioritas yang
paling rendah.
2) Faktor Geografi
Faktor geografi dalam hal ini meliputi letak dan ketersediaan lahan. Lahan diperkotaan
untuk perumahan semakin sulit diperoleh dan semakin mahal, hal ini tentu saja diluar
keterjangkauan sebagian besar anggota masyarakat.
3) Faktor Psikologis
Kebutuhan kehidupan manusia tidak hanya sekedar kebutuhan fisik saja
namun juga kebutuhan psikis seperti kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk
aktualisasi diri, dan kasih sayang untuk sesama. Kebutuhan rasa aman bagi penghuni
permukiman kumuh dinilai sangat penting, mereka betah tinggal dipermukiman kumuh
karena merasa aman dan terlindungi. Permukiman kumuh semakin berkembang terutama di
wilayah padat penduduk, seperti pendapat Sunarti The upgrading included physical
improvements of houses and infrastructures. Without displacing, it was found that people felt
more comfortably and safely. Permukiman kumuh berasosiasi dengan kualitas lingkungan
permukiman buruk, ketidaknyamanan penduduk terhadap keamanan, dan kondisi sarana dan
prasarana lingkungan tidak sesuai standar. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya penuaan
bangunan dan pemadatan bangunan. Permukiman kumuh terjadi karena kebutuhan tempat
tinggal dan sarana prasarana pendukung kehidupan manusia tidak sebanding dengan jumlah
penduduk yang semakin meningkat serta terbatasnya lahan permukiman.

II.3 Kriteria Permukiman Kumuh


Menurut Avelar et al. karakteristik permukiman kumuh mempunyai kondisi
perumahan dengan kepadatan tinggi dan ukuran unit perumahan relatif kecil, atap rumah di
daerah kumuh biasanya terbuat dari bahan yang sama dengan dinding. Karakteristik
pemukiman kumuh yang paling menonjol adalah kualitas bangunan rumahnya yang tidak
permanen, dengan kerapatan bangunan yang tinggi dan tidak teratur, prasarana jalan yang
sangat terbatas kalaupun ada berupa gang-gang sempit yang berliku-liku, tidak adanya
saluran drainase dan tempat penampungan sampah, sehingga terlihat kotor. Menurut
Deliana permukiman kumuh dapat dilihat berdasarkan kondisi fisik, sosial, dan ekonomi dan
dapat dipastikan kondisi fisiknya tidak sesuai dengan standar rumah yang layak huni serta
kondisi sosial ekonomi yang tidak mendukung. Dari kondisi fisik dapat dilihat bagaimana
kualitas bangunannya, kepadatan bangunan, dan kondisi sarana dan prasarana permukiman.
Pendapat A.A. Laquaian, mengemukakan beberapa karakteristik daerah kumuh, yaitu:

1. Permukiman tersebut dihuni oleh penduduk yang padat dan berjubel karena adanya
pertumbuhan penduduk alamiah maupun migrasi yang tinggi dari pedesaan.
2. Perkampungan tersebut dihuni oleh warga yang berpenghasilan rendah atau berproduksi
subsistem yang hidup di bawah garis kemiskinan.
3. Perumahan di permukaan tersebut berkualitas rendah atau masuk dalam kategori kondisi
rumah darurat (substandart housing conditions), yaitu bangunan rumah yang terbuat dari
bahan-bahan tradisional, seperti bambu, kayu, alang-alang, dan bahan sepat hancur lainnya.
4. Kondisi kesehatan dan sanitasi yang rendah, perkampungan miskin memang
selalu ditandai oleh persebaran penyakit menular dan lingkungan fisik yang
jorok.
5. Langkanya pelayanan kota (urban service) seperti air minum, fasilitas MCK,
listrik, sistem pembuangan kotoran dan sampah, dan perlindungan kebakaran.
6. Pertumbuhannya tidak terencana sehingga penampilan fisiknya tidak teratur dan
terurusdalam hal bangunan, halaman, dan jalan-jalan, sempitnya ruang antar
bangunan,terbuka sama sekali.
7. Penghuni permukiman miskin ini mempunyai gaya hidup pedesaan karena sebagian besar
penghuninya merupakan migran dari pedesaan yang masih mempertahankan pola kehidupan
tradisional, seperti hubungan-hubungan yang bersifat pribadi dan gotong royong.
8. Munculnya perilaku menyimpang seperti pencurian, pelacuran, kenakalan, perjudian dan
kebiasaan minum-minuman keras sebagai ciri lainnya perkampungan miskin tersebut. Tetapi
karena permukiman lapisan masyarakat lainnya juga terjadi pola-pola perilaku menyimpang
tersebut, maka kurang tepat kiranya bila hal itu dijadikan sebagai ciri khas permukiman
miskin.
Tingkat permukiman kumuh kota dapat diukur dengan variabel – variabel yang
menyebabkan kekumuhan. Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
kriteria permukiman kumuh merupakan kriteria yang digunakan untuk menentukan kondisi
kekumuhan pada perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Kriteria perumahan kumuh dan
permukiman kumuh ditinjau dari Kondisi fisik bangunan dan sarana prasarana, yaitu :
a. Kondisi bangunan
b. Jalan lingkungan
c. Penyediaan air minum
d. Drainase lingkungan
e. Pengelolaan air limbah
f. Pengelolaan persampahan
g. Proteksi kebakaran
Berdasarkan beberapa kriteria permukiman kumuh di atas, yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu kriteria permukiman kumuh menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat karena ini merupakan kriteria terbaru dan telah disahkan oleh pemerintah.
Adapun kriteria menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ditinjau dari:
1. Bangunan gedung.
Bangunan gedung merupakan bangunan rumah sebagai tempat tinggal bagi
penghuninya. Kriteria kekumuhan ditinjau dari bangunan gedung yaitu:
a. Ketidakteraturan Bangunan
Ketidakteraturan bangunan merupakan bangunan permukiman yang tidak memenuhi
ketentuan tata bangunan dalam Rencana Detil Tata Ruang dan Rencana Tata Bangunan
Lingkungan, paling sedikit pengaturan bentuk, besaran, perletakan, dan tampilan bangunan
pada suatu zona. Ketidakteraturan bangunan juga ditinjau dari ketidak memenuhan ketentuan
tata bangunan dan tata kualitas lingkungan dalam RTBL mengenai pengaturan blok
lingkungan, kapling, bangunan, ketinggian dan elevasi lantai, konsep identitas lingkungan,
dan wajah jalan.
b. Tingkat kepadatan bangunan
Tingkat kepadatan bangunan yang tinggi yang tidak sesuai dengan
ketentuan keteraturan bangunan yang tinggi yang tidak sesuai dengan ketentuan rencana tata
ruang seperti Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maupun Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
yang melebihi Rencana Detil Tata Ruang (RDTR).
c. Kualitas bangunan yang tidak memenuhi syarat
Kualitas bangunan yang tidak memenuhi syarat yaitu kondisi bangunan gedung
permukiman yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis. Adapun persyaratan teknis yang
dimaksud yaitu mengenai pengendalian dampak lingkungan, keselamatan bangunan gedung,
kesehatan bangunan gedung, kenyamanan bangunan gedung.dan pembangunan bangunan
gedung diatas atau dibawah tanah, air, maupun sarana dan prasarana umum.
2. Jalan lingkungan
Kriteria kekumuhan ditinjau dari jalan lingkungan yitu jaringan jalan lingkungan tidak
melayani seluruh lingkungan permukiman, dan kualitas permukaan jalan lingkungan yang
buruk yaitu terjadi kerusakan pada permukaan jalan sehingga mengganggu kenyamanan
aksesibilitas lingkungan permukiman.
3. Penyediaan air minum
Kriteria kekumuhan ditinjau dari penyediaan air minum yaitu ketidaktersediaan akses
aman air minum yaitu kondisi dimana penduduk di lingkungan permukiman tidak dapat
mengakses air minum yang memenuhi standar kesehatan, dan tidak terpenuhinya kebutuhan
air minum setiap individu dalam lingkungan permukiman yaitu 60 liter/hari.
4. Drainase lingkungan
Kriteria kekumuhan ditinjau dari drainase lingkungan yaitu drainase lingkungan tidak
mampu mengalirkan limpasan air huan sehingga menimbulkan genangan dengan tinggi lebih
dari 30 cm selama lebih dari 2 jam dan terjadi lebih dari 2 kali setahun, ketidaktersediaan
drainase baik saluran tersier maupun saluran lokal, drainase lokal tidak terhubung dengan
sistem drainase perkotaan pada hierarki di atasnya sehingga menyebabkan air tidak dapat
mengalir dan menimbulkan genangan, drainase lingkungan permukiman tidak terpelihara
dengan baik sehingga pada saluran drainase terjadi akumulasi limbah padat dan cair,
kontruksi drainase lingkungan yang buruk yaitu berupa galian tanah tanpa material pelapis
maupun kontruksi yang telah rusak.
5. Air limbah
Kriteria pengelolaan ditinjau dari air limbah yaitu sistem dan sarana prasarana
pengelolaan air limbah yang tidak sesuai dengan standar teknis yang berlaku yaitu tidak
memiliki sistem yang memadahi seperti kakus/kloset yang terhubung dengan tangki septik
baik secara individual maupun komunal, tidak tersedianya sistem pengolahan air limbah
setempat atau terpusat.
6. Pengelolaan persampahan
Kriteria kekumuhan ditinjau dari pengelolaan persampahan yaitu prasarana dan sarana
persampahan tidak sesuai dengan persyaratan teknis seperti tempat sampah dengan pemilahan
sampah pada skala domestik atau rumah tangga, tempat pengumpulan sampah dengan sistem
3R (reduce, reuse, recycle), gerobak atau truk sampah pada skala lingkungan, tempat
pengolahan sampah terpadu pada skala lingkungan. Sistem pengelolaan persampahan yang
tidak memenuhi persyaratan teknis pada lingkungan permukiman yaitu pewadahan dan
pemilahan domestik, pengumpulan lingkungan, pengangkutan lingkungan, dan pengolahan
lingkungan. Tidak terpeliharanya sarana dan prasarana pengelolaan persampahan sehingga
terjadi pencemaran lingkungan sekitar oleh sampah, baik sumber air bersih, tanah, maupun
jaringan drainase.
7. Proteksi kebakaran
Kriteria kekumuhan ditinjau dari proteksi kebakaran yaitu kondisi dimana
ketidaktersediaan pasokan air yang diperoleh dari sumber alam dan buatan, jalan lingkungan
yang memudahkan masuk keluarnya kendaraan pemadam kebakaran, sarana komunikasi
untuk pemberitahuan terjadi kebakaran, data tentang sistem proteksi kebakaran lingkungsn
mudah diskses.
II.4 Perubahan Lingkungan Permukiman Kearah Kekumuhan
II.4.1 Fenomena Kekumuhan Lingkungan Permukiman
Seiring dengan pertumbuhan kehidupan manusia baik ekonomi, sosial maupun budaya
maka manusia berkeinginan untuk memiliki kehidupan dan status yang lebih baik yaitu
dengan mengadakan perubahan-perubahan, seperti gaya hidup dan bentuk hunian yang
mereka tinggali. Pertumbuhan berarti pula berubah baik bentuk dan ukurannya. Tidak
dimungkinkan pertumbuhan ukuran dengan tidak menyebabkan perubahan bentuk fisiknya.
Dengan bertambahnya jumlah penghuni rumah dan dengan bertambahnya penghasilan
mereka membuat ruang-ruang baru. Perubahan hunian ini akan merubah wajah suatu hunian.
Hal ini akan berpengaruh pada penyediaan fasilitas sarana prasarana lingkungan yang harus
bertambah juga jika jumlah permukiman bertambah. Selain hal tersebut di atas, faktor
kemiskinan juga sangat berpengaruh pada kualitas lingkungan fisik permukiman. Karena
dana yang terbatas dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, maka
masyarakat kurang mampu tidak dapat memperbaiki maupun memelihara bangunan rumah
hunian mereka. Yang akan berakibat pada kekumuhan lingkungan permukiman. Menurut
Constantinos A. Doxiadis dalam bukunya An Introduction To The Science Of Humman
Settlementa menyebutkan bahwa mempelajari tentang kawasan Perumahan Permukiman
tidak hanya mempelajari area terbangun dan area terbuka saja tetapi juga fungsi dari kawasan
tersebut. Oleh karenanya dalam mempelajari tentang perumahan permukiman atau fungsinya,
kita juga harus mengetahui hubungan kawasan tersebut dengan lingkungan sekitar di luar
kawasan tersebut dan mengetahui jalur transportasi yang menghubungkan kawasan tersebut
dengan kawasan lainnya. Karena aktifitas disekitar kawasan permukiman juga sangat
mempengaruhi fungsi dari permukiman.
II.4.2 Bentuk Perubahan Lingkungan
Permukiman Kearah Kekumuhan Ada dua pendekatan dalam menangani lingkungan
kumuh ini menurut Drs. Komarudin, MA (1997: 85) yaitu:
1. Penggunaan/pemindahan teknologi (technological transfer) dan
2. Penangannan sendiri (self reliant technology)
Dalam kaitannya dengan dua hal tersebut diatas ada tujuh belas hal sulitnya menangani
masalah lingkungan permukiman ini:
1.High rise building (bangunan tinggi) yang akan ditangani oleh penghuni yang tergusur,
memerlukan biaya yang besar karena biaya yang digunakan bukan hanya untuk membangun
kamar tidur saja.
2.Peremajaan lingkungan kumuh, yang merupakan proyek yang besar (large project). Jadi
harga dipertimbangkan dengan matang dan harus dipikirkan masak-masak karena
menyangkut banyak orang yang akan digusur atau dimukimkan kembali,
3.Adanya dualisme antara peremajaan lingkungan dengan penataan lingkungan. Penghuni
rumah kumuh biasanya masih lebih senang tinggal di rumah kumuhnya daripada di rumah
sewa bertingkat (rusunawa).
4.Banyak peremajaan lingkungan kumuh yang tidak melalui survey sosial (social survey)
tentang karakteristik penduduk yang akan tergusur.
5.Banyak peremajaan lingkungan kumuh yang kurang memperhatikan kelengkapan
lingkungan seperti taman, tempat terbuka, tempat rekreasi, sampah, pemadam kebakaran dan
tempat bermain anak. Karena hal tersebut memerlukan biaya besar.
6. Tenaga yang bergerak di dalam program peremajaan lingkungan kumuh tidak profesional.
7.Penggusuran (squater clearance) sering diartikan jelek, padahal pemerintah berusaha
meremajakan lingkungan dan memukimkan penduduk ke lingkungan yang lebih baik.
8.Keterbatasan lahan (land shortage). Dalam melaksanakan peremajaan lingkungan
kumuh harus memilih lokasi yang tepat dan disesuaikan dengan tujuannya dan konsumen
yang akan menempati.
9.Belum kuatnya dana pembangunan perumahan (no housing finance).
10.Perlu lingkungan hidup yang baik (the nice environment).
11.Perlu diciptakan kebersamaan antar warga.
12.Belum berkembangnya prinsip relationship. Dalam melakukan peremajaan lingkungan
kumuh, harus dilakukan pendekatan yang manusiawi tanpa kekerasan.
13.Sulitnya menegakkan hukum (upholding the law) Akan diperlukan waktu yang lama untuk
mengubah pola hidup masyarakat kumuh untuk dibawa ke lingkungan permukiman yang
teratur.
14.Perlu adanya informasi kepemilikan, di lingkungan kumuh masyarakat merasa memiliki
rumah tapi di lingkungan yang baru mereka harus menyewa, jadi perlu diadakan penyuluhan
yang terus menerus.
15.Mawas diri (knowing our limit) Jika dana terbatas hendaklah jangan mengadakan
peremajaan secara besar-besaran. Mungkin bisa diadakan pendekatan dengan dua tahap yaitu
penataan lingkungan dan peremajaan pada bagian yang sangat kumuh.
16.Perlu koordinasi terpadu, dimana semua instansi terkait harus mensukseskan program
peremajaan lingkungan kumuh ini.
17. Pengelola program peremajaan lingkungan kumuh ini harus berpandangan obyektif dan
luas serta harus melihat kepentingan pemerintah dan masyarakat yang bersangkutan.

II.5. Strategi Penanganan Permukiman Kumuh


Bentuk-bentuk penanganan permukiman kumuh yang telah dilaksanakan ada
beberapa bentuk antara lain:
1. Pengertian Perbaikan Permukiman
Kondisi perumahan kampung digolongkan sebagai perumahan marginal, tidak
memenuhi standar yang berlaku. Namun penghuninya, sesungguhnya, tidak bersifat pasif
terhadap lingkungan perumahannya, Moris. Secara sadar atau tidak, penghuni memberi
tanggapan terhadap tempat tinggalnya dengan mengerahkan segenap sumber daya (fisik,
sosial, ekonomi) guna memenuhi kebutuhan rumah yang sesuai norma. Ada usaha yang
dapat dilakukan penghuni terhadap rumahnya,yaitu:
a.Usaha memenuhi kebutuhan ketika penghuni merasakan kekurangan pada rumahnya.
Bentuk tindakan dapat berupa pindah rumah juga dapat berupa perubahan atau penambahan
terhadap rumahnya. Jadi penghuni secara aktif menimbulkan perubahan terhadap keadaan
rumahnya atau diistilahkan sebagai housing adjustment.
b.Usaha penghuni sebagai tanggapan atas tekanan akibat berbagai kekurangan pada rumah,
dengan cara melakukan perubahan pada dirinya tanpa merubah rumahnya. Dalam hal ini
penghuni bersifat pasif atau diistilahkan sebagai housing adaptation.
2. Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman.
Menurut UU No. 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman, peningkatan kualitas
permukiman dapat berupa kegiatan-kegiatan: perbaikan atau pemugaran; peremajaan dan
pengelolaan/pemeliharaan yang berkelanjutan. Program peningkatan kualitas perumahan dan
permukiman yang selama ini menjadi perhatian pemerintah adalah kawasan perumahan dan
permukiman yang termasuk kategori kawasan kumuh, yang ditandai antara lain dengan
kondisi prasarana dan sarana yang tidak memadai baik secara kualitas dan kuantitas,
kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah, kondisi sosial budaya masyarakat, dan
kondisi lingkungan yang rawan bencana, penyakit dan keamanan. Dalam UU Nomor 4 tahun
1992 tentang “Perumahan dan Permukiman” ditegaskan bahwa penataan perumahan dan
permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil, dan merata, kebersamaan dan
kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, ketergantungan, dan kelestarian lingkungan
hidup. Penataan perumahan dan permukiman bertujuan:
a. Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka
peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
b. Mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan sehat, aman,
serasi, dan teratur.
c. Memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional.
d. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidang-bidang
lain.
Bentuk-bentuk perbaikan lingkungan permukiman berdasarkan PU. Cipta Karya,
terdapat beberapa bentuk usaha pelaksanaan perbaikan permukiman, yaitu sebagai berikut :
1. Pemugaran rumah, diartikan pengembalian keadaan fisik seperti semula.
2. Program Perbaikan Kampung (KIP); KIP merupakan program yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas kehidupan dan penghijauan masyarakat melalui perbaikan lingkungan
secara fisik. Tujuan utamanya adalah perbaikan kesehatan lingkungan kampung. Komponen
dasarnya adalah perbaikan infrastruktur kawasan seperti jalan kendaraan, jalan setapak,
saluran drainase, MCK dan sebagainya.
3. Perbaikan lingkungan kawasan pasar (MIP); perbaikan lingkungan kawasan pasar adalah
perbaikan permukiman disekitar pasar, yang dilakukan sebagai akibat dari tambahan beban
yang diterima masyarakat sekitar pasar karena tidak memiliki sarana pendukung seperti
saluran drainase, tempat parkir, tempat sampah, los-los yang tidak teratur serta tidak
memenuhi syarat/kurang berfungsi. Pasar dan masyarakat pasar adalah satu kesatuan yang
saling membutuhkan baik yang positif maupun negatif.
4. Pembangunan perumahan; merupakan salah atau bentuk peremajaan kota dengan cara
membangun perumahan melalui penataan kampung kumuh secara fisik agar dapat
menampung lebih banyak penghuni atau pihak lain yang membutuhkan. Keuntungan dari
program ini adalah relatif cepat dan segera terlihat hasilnya.
5. Konsolidasi lahan; merupakan kegiatan terpadu untuk menata kembali pola kepemilikan
tanah di suatu wilayah yang kurang/tidak teratur.
6. Pengembangan lahan terkendali; merupakan upaya penataan lanjut dalam rangka
pengembangan tata ruang kota, khususnya bagian wilayah kota secara lebih implementatif,
bila perlu melalui pemindahan/pengembangan daerah pinggir kota. Secara umum
pengembangan lahan terkendali bertujuan untuk mendorong iklim partisipasif dalam
pembangunan dengan melibatkan potensi dan keinginan masyarakat terutama swasta,
pengusaha kecil dan konsumen.
7. Pembangunan rumah susun; membangun lingkungan hunian secara keseluruhan dengan
tujuan untuk menata kembali suatu kawasan kota, baik secara fisik maupun fungsional dan
keuntungan ekonomisnya.
Mengatasi masalah permukiman tidak terbatas pada perbaikan lingkungan fisik namun
juga perlu penanaman kesadaran akan pentingnya lingkungan sehat dan tertata. Salah satu
model penanganan kawasan permukiman kumuh adalah dengan konsep peremajaan dan
pembangunan bertumpu pada masyarakat yang terbagi dalam:
1. Konsep Peremajaan
Peremajaan permukiman kota adalah segala upaya dan kegiatan pembangunan yang
terencana untuk mengubah/memperbaharui suatu kawasan terbangun di kota yang fungsinya
sudah merosot atau tidak sesuai dengan perkembangan kota. Sehingga kawasan tersebut
dapat meningkat kembali fungsinya dan menjadi sesuai dengan pengembangan kota.
Peningkatan fungsi dalam peremajaan kota dimaksudkan untuk memperbaiki tatanan sosial
ekonomi di kawasan bersangkutan agar lebih mampu menunjang kehidupan kota secara lebih
luas. Peremajaan harus dapat memecahkan kekumuhan secara mendasar, karenanya tidak
hanya memberi alternatif pengganti lain yang pada kenyataanya dapat menimbulkan
kekumuhan di tempat lain dan menjadikan beban baru bagi masyarakat, tetapi peremajaan
harus tanpa menggusur dan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat secara umum.
Sehingga peremajaan yang antara lain dengan perbaikan fisik dipakai sebagai suatu alat untuk
peningkatan taraf hidup, yang sekaligus memperbaiki pula kondisi fisik kota sejalan dengan
program nasional penanggulangan kemiskinan.
2. Pembangunan Bertumpu Pada Masyarakat.
Pembangunan yang bertumpu pada kelompok masyarakat secara umum dapat
dikatakann sebagai metode, proses, pendekatan dan bahkan pranata pembangunan yang
meletakkan keputusan-keputusannya berdasarkan keputusan masyarakat. Tujuan dari
pendekatan ini yaitu agar hasil pembangunan dapat diterima oleh masyarakat penghuni
kawasan tersebut sesuai dengan kegiatan yang telah mereka laksanakan. Dalam pendekatan
ini, partisipasi masyarakat menjadi faktor penting dalam proses perencanaan dan perancangan
program pembangunan. Dua hal dapat ditarik dari pendekatan untuk permukiman. Pertama,
metode partisipasi merupakan metode penting karena dengan metode inilah keputusan-
keputusan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dapat diambil.
Kedua, karena pendekatan partisipatif dalam konteks ini adalah bersifat langsung, pengertian
masyarakat selalu diartikan kelompok yang langsung memiliki kepentingan dengan proses
pembangunan permukiman yang terkait. Karena itu, seringkali pendekatan Pembangunan
Bertumpu Pada Masyarakat dilakukan untuk pembangunan yang bersifat lokal dan
berorientasi pada kepentingan-kepentingan lokal. Keberhasilan suatu pembangunan yang
melibatkan swadaya masyarakat yaitu adanya keberlanjutan finansial untuk pembangunan.
Setelah tidak ada bantuan pemerintah masyarakat mampu memelihara hasil pembangunan
untuk generasi yang akan datang. Namun, dalam penelitian ini tidak membahas lebih lanjut
mengenai keberlanjutan finansial karena lingkup penelitian yaitu terbatas pada peran
masyarakat dalam perbaikan secara fisik dan peningkatan partisipasi masyarakat.
a. Komunitas yang Berkelanjutan
Menurut Marsden dalam Arimurti ada tiga bentuk permodelan komunitas
berkelanjutan. Namun, dalam penelitian ini menggunakan model interpretasi kedua melihat
konteks yang lebih luas yakni merepresentasikan kelompok atau pemangku kepentingan yang
meliputi pemerintah, perusahaan, dan komunitas.
b. riangluasi antara pemangku kepentingan,
yakni pemerintah, perusahaan, dan komunitas digunakan untuk mengidentifikasi
keberlanjutan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. Interaksi antara pemangku
kepentingan juga mempengaruhi permintaan dan penawaran sumber daya yang berkontribusi
terhadap keseluruhan aktivitas.
c. Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)
Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) merupakan salah satu institusi/lembaga
masyarakat yang berbentuk paguyuban, dengan kedudukan sebagai pimpinan kolektif di
tingkat Desa/Kelurahan, yang bertanggung jawab menjamin keterlibatan semua lapisan
masyarakat, dalam proses pengambilan keputusan secara partisipatif yang kondusif. BKM
sebagai organisasi masyarakat di tingkat Desa/Kelurahan dengan berhimpun sesama warga
setempat yang dipilih oleh masyarakat secara langsung melalui pemilihan umum dan
bertumpu pada keputusan tertinggi ada ditangan anggota. Tujuan BKM adalah membangun
modal sosial (capital social) dengan menumbuhkan kembali nilai-nilai kemanusiaan, ikatan-
ikatan sosial dan menggalang solidaritas bersama masyarakat untuk saling bekerjasama demi
kebaikan, kepentingan dan kebutuhan bersama yang akan memperkuat keswadayaan
masyarakat.
d.Proposisi
Peran Kelompok Masyarakat dalam Penanganan Permukiman Kumuh
1. Merancang dan melaksanakan program pembangunan.
Tujuan dari BKM itu sendiri yaitu memandirikan masyarakat, sehingga masyarakat
diharapkan mampu merancang dan melaksanakan pembangunan yang telah disusun. Kegiatan
ini disesuaikan dengan kebutuhan penduduk di wilayah studi, apa saja yang perlu diperbaiki
dan apa saja yang perlu dibangun guna memenuhi kebutuhan dasar bersama.
2. Peningkatan keterampilan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan.
Untuk meningkatkan kemampuan dasar kelompok masyarakat ini melakukan pelatihan,
misal pelatihan penggunaan software komputer, dan pelatihan yang lainnya. Peningkatan
keterampilan ini sesuai dengan peran kelompok masyarakat secara umum.
3. perbaikan Lingkungan
Perbaikan lingkungan dalam BKM ini sesuai dengan peran kelompok masyarakat
secara umum yaitu peran dalam meningkatkan kualitas lingkungan. Kegiatan ini dapat
dilakukan dengan menyusun action plan serta melaksanakan kerja bakti.
4. Perbaikan lingkungan
Perbaikan lingkungan dalam BKM ini sesuai dengan peran kelompok masyarakat
secara umum yaitu peran dalam meningkatkan kualitas lingkungan. Kegiatan ini dapat
dilakukan dengan menyusun action plan serta melaksanakan kerja bakti.
5. Peningkatan partisipasi
Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat perlu dilakukan diskusi.
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Beberapa hal penting yang direkomendasikan untuk menyelesaikan persoalan
permukiman kumuh di perkotaan adalah sebagai berikut : Pertama, mengimplementasikan
pendekatan yang didasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Kedua,
mengakomoadasi secara komprehensif tentang tata guna lahan. Ketiga, mengelola mobilitas
penduduk yang mengarah pada pemerataan antara desa dan kota. Keempat, pemanfaatan
energi terbarukan secara optimal. Kelima, menginisiasi kegiatan yang berdampak pada
peningkatan ekonomi perkotaan. Keenam, merancang skema terbaik yang terkait dengan
aspek sosial, Ketujuh, menyediakan aksesibilitas yang menjangkau di perdesaan dan
perkotaan.

III. 2 Saran
Diharapkan dengan adanya pengetahuan tentang adanya kawasan kumuh diperkotaan,
kita sebagai mahasiswa dapat memberi solusi yang baru yang dapat menyelesaikan
permasalahan masyarakat yang berada di kawasan kumuh agar dapat hidup sebagaiman
mestinya, baik dalam hal kesehatan lingkungan maupun kesehatan badan.
DAFTAR PUSTAKA

Abegunde, A.A. The Role Of Community Based Organisations In Economic Development In


Nigeria: The case of Oshogbo, Osun state, Nigeria. International NGO Journal Vol. 4, Th
2009:236-253.

Komarudin. 1997. Menelusuri Pembangunan Perumahan Permukiman. Jakarta: Yayasan


Realestate Indonesia.

Muta’ali, Lutfi dan Arif Rahman Nugroho. 2016. Perkembangan Program Penanganan
Permukiman Kumuh di Indonesia dari Masa ke Masa. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Peningkatan


Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh.

Sunarti. 2014. Slum Upgrading Without Deplacement at Danukusuman Sub District


Surakarta City. International Transaction Journal Management, applied Scince, and
Technology. Vol 5. No 3. Hal 213-225

Sadyohutomo, M. 2008. Manajemen Kota dan Wilayah. Jakarta : Bumi Aksara.

Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Anda mungkin juga menyukai