ABSTRAK
Kota merupakan pusat pertumbuhan dalam menjalankan berbagai kegiatan. Kota selalu mengalami
pertumbuhan tergantung dari kebutuhan penghuninya. Semakin berkembang suatu kota maka akan
semakin banyak penghuni yang akan bertambah. Pengalaman ini menyebabkan lahirnya
pemukiman kumuh di Kota Semarang. Pada tahun 2017 di Semarang terdapat 15 kecamatan yang
totalnya berjumah 62 titik lokasi kawasan pemukiman kumuh. Hal ini akan bertambah 1,5% tiap
tahunnya. Situasi ini akan menjadi hal buruk jika tidak dikontrol dan tidak diawasi oleh Pemerintah
Kota Semarang. Dalam hakikatnya memiliki suatu pemukiman layak merupakan hak setiap warga
negara yang dapat digunakan untuk tempat tinggal atau hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung peri kehidupan dan penghidupan. Penelitian ini bersifat kualitatif, sumber data yang
dapat diperoleh dalam penelitian ini menggunakan cara wawancara, observasi, dan mencatat
dokumen yang mendukung penelitian. Dari permasalahan ini, penulis mencoba untuk mempelajari
secara lebih dalam tentang pelaksanaan pengaturan pemukiman kumuh dilihat dari aspek hukum
dan aspek sosiologis. Artikel ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut, bagaimana
Pemerintah Kota Semarang menangani masalah pemukiman kumuh ini. Tujuan dari penelitian ini
untuk mencari latar belakang dalam melaksanakan kebijakan pengendalian, untuk mengetahui
dasar-dasar hukum yang digunakan dalam penanganan pelaksanaan pengendalian, perencanaan
akhir, dan untuk menilai kebijakan dan pelaksanaan pengendalian ini sesuai dengan peraturan
hukum yang ada.
Kata Kunci: Penegakan hukum, pengendalian pemukiman kumuh
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kota Semarang adalah Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah. Letak Kota Semarang sendiri
berada pada jalur pantai utara yang sangat strategis. Kota Semarang merupakan salah satu kota
yang masih menjunjung tinggi peninggalan sejarah yang sangat multikultur. Hal ini terlihat dari
keberadaan bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Semarang, antara lain: Kota Lama, Masjid
Besar Kauman, Lawang Sewu, Tugu Muda, Gereja Blenduk, Gereja Gereformeerd, dan Klenteng
Sam Poo Kong. Sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang memiliki luas sekitar
373,7 km2 yang meliputi 16 kecamatan dan 177 kelurahan dan diperkirakan memiliki jumlah
penduduk sekitar 1,63 juta pada tahun 2017.
Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas
pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan
dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman
kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat.
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan
perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang
kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Suatu pemukiman dapat
terhindar dari kondisi kumuh dan tidak layak huni jika pembangunan perumahan sesuai dengan
standar yang berlaku, salah satunya dengan menerapkan persyaratan rumah sehat. Sedangkan
pengertian dari permukiman kumuh sendiri adalah permukiman yang tidak layak huni karena
ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta
sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Kemiskinan merupakan salah satu penyebab
timbulnya pemukiman kumuh di kawasan perkotaan. Pada dasarnya kemiskinan dapat
ditanggulangi dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan, peningkatan
lapangan pekerjaan, dan pendapatan kelompok miskin serta peningkatan pelayanan dasar bagi
kelompok miskin. Peningkatan pelayanan dasar ini dapat diwujudkan dengan peningkatan air
bersih, sanitasi, penyediaan serta usaha perbaikan perumahan dan lingkungan pemukiman pada
umumnya.
Pada umumnya pemukiman kumuh (slum area) banyak dijumpai di perkotaan seperti
halnya di Kota Semarang. Permasalahan pemukiman kumuh di Kota Semarang bukan merupakan
suatu hal yang asing. Masalah pemukiman kumuh di Kota Semarang sudah terjadi sejak tahun
1960-an. Menurut Surat Keputusam Walikota Semarang No. 050/801/2014 tentang Penetapan
Lokasi Lingkungan Perumahan dan Pemukiman Kumuh Kota Semarang terdapat 15 kecamatan
yang totalnya berjumah 62 titik lokasi kawasan pemukiman kumuh. Setiap tahunnya di Kota
Semarang selalu tumbuh dan berkembang 1 kawasan pemukiman kumuh baru. Pemerintah Kota
Semarang masih memiliki tugas besar dimana masih banyak pemukiman-pemukiman kumuh di
Kota Semarang. Pemukiman kumuh ini biasanya sebagian besar berada di bantaran sungai dan
fasilitas umum/sosial (seperti: kuburan, lapangan, tanah negara) dimana semua bangunan itu
didirikan secara permanen maupun semi permanen, luas pemukiman tersebut pun bervariasi.
Kajian dari penelitian ini adalah bagaimana Pemerintah Kota Semarang menangani
permasalahan pemukiman kumuh sehingga dapat tercipta penataan kota yang dicita-citakan.
Peneliti akan meneliti dan mengupas lebih dalam sebuah artikel ilmiah yang berjudul: “Tinjauan
Yuridis Pelaksanaan Penertiban Pemukiman Kumuh di Kota Semarang”. Penelitian ini
bersifat kualitatif, sumber data yang dapat diperoleh dalam penelitian ini menggunakan cara
wawancara (interview), observasi, dan mencatat dokumen yang mendukung penelitian.
Melihat kondisi seperti uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan dan sekaligus
menfokuskan masalah pada hal berikut (1) Bagaimana kebijakan Pemerintah Kota Semarang
dalam penertiban pemukiman kumuh di Kota Semarang? (2) Bagaimana penegakan hukum yang
dilakukan Pemerintah Kota Semarang dalam melaksanaan penertiban pemukiman kumuh di Kota
Semarang? (3) Bagaimana tinjauan hukum dalam proses pelaksanaan penertiban pemukiman
kumuh di Kota Semarang?. Adapun manfaat penelitian ini antara lain sebagai berikut (1)
Mengetahui kebijakan Pemerintah Kota Semarang dalam menentukan pelaksanakan penertiban
pemukiman kumuh di Kota Semarang. (2) Mengetahui penegakan hukum yang dilakukan
Pemerintah Kota Semarang dalam melaksanaan penertiban pemukiman kumuh di Kota Semarang.
(3) Mengetahui tinjauan hukum terhadap seluruh proses pelaksanaan penertiban pemukiman
kumuh.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan antara lain (1) Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi
Pemerintah Kota Semarang dalam melakukan kebijakan penertiban terhadap pemukiman kumuh
yang berada di Kota Semarang. (2) Untuk mengetahui dasar-dasar hukum apa saja yang digunakan
oleh Pemerintah Kota Semarang dalan menangani pelaksanaan penertiban pemukiman kumuh di
Kota Semarang. (3) Untuk mengetahui sudahkan perencanaan, kebijakan dan pelaksanaan
penertiban terhadap pemukiman kumuh tersebut sesuai dengan aturan hukum yang ada.
KAJIAN TEORI
Pengertian Pemukiman
Pemukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya. Perumahan memberikan kesan
tentang rumah beserta prasarana dan sarana lingkungannya. Perumahan menitikberatkan pada
fisik, atau benda mati yaitu houses dan land settlement. Pemukiman yang berasal dari kata “to
settle” atau berarti menempati atau mendiami ini berkembang menjadi sebuah proses yang
berkelanjutan, yaitu pemukiman tidak menetap, semi menetap dengan pemukiman sementara atau
musiman. Perumahan didefinisikan pula sebagai satu ciri rumah yang disatukan di sebuah kawasan
petempatan. Di dalam satu unsur perumahan terdapat beberapa sub unsur rumah-rumah dengan
segala kemudahan fisikal seperti kedai-kedai, sekolah dan lain-lain. Di kawasan perumahan,
masyarakat hidup berkelompok dan bersosialisasi antara satu sama yang lain (Sumaryono, 2006).
Pengertian Kumuh
Kumuh adalah keadaan yang mengandung sifat-sifat keusangan, banyak ditujukan kepada
keadaan guna lahan atau zona atau kawasan yang sudah sulit diperbaiki lagi, jadi yang telah baik
dibongkar, tapi juga dapat ditujukan kepada keadaan yang secara fisik masih cukup baik belum
tua, tetapi sudah tidak lagi memenuhi berbagai standar kelayakan (Handoyo, 2009).
Pengertian, Karakter Pemukiman Kumuh
Secara umum, pemukiman kumuh (slum area) diartikan sebagai suatu kawasan
pemukiman atau pun bukan kawasan pemukiman yang dijadikan sebagai tempat tinggal yang
bangunan-bangunannya berkondisi sub-standar atau tidak layak yang dihuni oleh penduduk miskin
yang padat. Kawasan yang sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai daerah pemukiman di
banyak kota besar, oleh penduduk miskin yang berpenghasilan rendah dan tidak tetap diokupasi
untuk dijadikan tempat tinggal, seperti: bantaran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah
kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, dan di bawah jembatan. Beberapa ciri-ciri daerah kumuh
menurut Rikhwanto (2009) antara lain:
1) Dihuni oleh penduduk yang padat, baik karena pertumbuhan penduduk akibat kelahiran
maupun karena adanya urbanisasi
2) Dihuni oleh warga yang berpenghasilan rendah dan tidak tetap, atau berproduksi sub-
sistem yang hidup di bawah garis kemiskinan
3) Rumah-rumah yang merupakan rumah darurat yang terbuat dari bahan-bahan bekas
dan tidak layak
4) Kondisi kesehatan dan sanitasi yang rendah, biasanya ditandai oleh lingkungan fisik yang
jorok dan mudahnya tersebar penyakit menular
5) Langkanya pelayanan kota seperti: air bersih, fasilitas MCK, listrik, dan sebagainya
6) Pertumbuhannya tidak terencana sehingga penampilan fisiknya pun tidak teratur dan tidak
terurus, seperti: jalan yang sempit, halaman rumah tidak ada, dan sebagainya
7) Kuatnya gaya hidup “pedesaan” yang masih tradisional
8) Ditempati secara ilegal atau status hukum tanah yang tidak jelas (bermasalah)
9) Biasanya ditandai oleh banyaknya perilaku menyimpang dan tindak kriminal.
Penduduk di pemukiman kumuh tersebut memiliki persamaan, terutama dari segi latar
belakang sosial ekonomi pendidikan yang rendah, keahlian terbatas dan kemampuan adaptasi
lingkungan (kota) yang kurang memadai. Kondisi kualitas kehidupan ini yang mengakibatkan
semakin banyaknya penyimpangan perilaku penduduk penghuninya. Terjadinya perilaku
menyimpang, karena sulitnya mencari atau menciptakan pekerjaan sendiri dengan keahlian dan
kemampuan yang terbatas, selain itu juga karena menerima kenyataan bahwa impian yang mereka
harapkan mengenai kehidupan di kota tidak sesuai dengan yang diharapkan dan tidak dapat
memperbaiki kehidupan masyarakat.
Masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh pada umumnya terdiri dari golongan-
golongan yang tidak berhasil mencapai kehidupan yang layak, sehingga tidak sedikit masyarakat
yang menjadi pengangguran, gelandangan dan pengemis yang sangat rentan terhadap terjadinya
perilaku menyimpang dan berbagai tindak kejahatan. Kondisi kehidupan yang sedang mengalami
benturan antara perkembangan teknologi dengan keterbatasan potensi sumber daya yang tersedia
juga ikut membuka celah timbulnya perilaku menyimpang dan tindak kejahatan dari para penghuni
pemukiman kumuh tersebut. Kecenderungan terjadinya perilaku menyimpang (deviant
behaviour) ini juga diperkuat pola kehidupan kota yang lebih mementingkan diri sendiri atau
kelompoknya yang sering bertentangan dengan nilai-nilai moral dan norma-norma sosial dalam
masyarakat. Keadaan seperti itu cenderung menimbulkan masalah-masalah baru yang
menyangkut:
1) Masalah persediaan ruang yang semakin terbatas terutama masalah pemukiman untuk
golongan ekonomi lemah dan masalah penyediaan lapangan pekerjaan di daerah perkotaan
2) Masalah perilaku menyimpang sebagai akibat dari adanya kekaburan atau ketiadaan norma
pada masyarakat migran di perkotaan. Disamping itu juga pesatnya pertumbuhan
penduduk kota dan lapangan pekerjaan di wilayah perkotaan mengakibatkan semakin
banyaknya pertumbuhan pemukiman-pemukiman kumuh yang menyertainya dan
menghiasi areal perkotaan tanpa penataan yang berarti.
Peraturan Perundang-undangan yang Mendasari Pelaksanaan Penertiban Pemukiman
Kumuh
Beberapa Peraturan Perundang-undangan yang mendasari pelaksanaan terhadap
penertiban pemukiman kumuh, seperti yang tersebut di bawah ini:
SIMPULAN
Berdasarkan data dan pengamatan serta menganalisa dari pelaksanaan penertiban pemukiman
kumuh di Kota Semarang maka dalam hal ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1) Kebijakan yang di tempuh oleh Pemerintah Kota Semarang dalam mengatasi pemukiman
kumuh, dengan membentuk sebuah Tim Penertiban Pemukiman Kumuh yang di putuskan
dalam bentuk Surat Keputusan Walikota Semarang Nomor 050/801/2014 Tentang
Penetapan Lokasi Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Kota Seamarang
2) Mejalankan langkah yang dianggap dapat memberikan rasa keadilan bagi warga yang
terkena penertiban seperti dengan langkah Preemtif dan Preventif yaitu melalui pendekatan
terhadap tokoh masyarakat dan pencegahan terhadap gangguan terjadinya permasalahan
lebih lanjut
3) Tinjaun hukum mulai dari kebijakan sampai pada pelaksanaan penertiban pemukiman
kumuh dapat disimpulkan bahwa kebijakan dan aturan hukum yang berlaku telah
dilaksanakan sebagai mana mestinya.
SARAN
1) Melakukan peningkatan inventarisasi status aset lahan baik milik publik, perusahaan
maupun perorangan
2) Melakukan kontrol oleh instansi tingkat paling bawah secara tegas, ketat agar perluasan
hunian liar dapat dihentikan
3) Untuk menegakkan supremasi hukum sebaiknya permukiman liar harus dihilangkan
namun perlu dicarikan jalan keluar yang tidak menimbulkan konflik
4) Menyeleksi orang yang akan masuk ke kota, baik yang memiliki tujuan pasti atau orang
datang menetap sama sekali tidak memiliki tujuan
5) Sesuai dengan RUTRK, strategi yang perlu dilakukan untuk mengatasi permukiman
kumuh yang legal adalah dengan program rumah susun, perbaikan kampung, dan
konsolidasi tanah
6) Saatnya Pemkot mulai membuat aturan (Perda) yang berhubungan dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) dan Rancangan Umum Tata Ruang Kota (RUTRK). Multi fungsi
ruang publik Kota Semarang mengharuskan semua pihak yang merasa memiliki jangan
terlena.
DAFTAR PUSTAKA
Sumaryono. 2006. Pemukiman dan Perumahan Sehat. Jakarta: Gramedia.
Handoyo, Subroto. 2009. Menatap Masa Depan dengan Lingkungan Sehat. Surabaya: Usaha
Nasional.
Rikhwanto, Imam. 2009. Aturan Tata Kota Suatu Wilayah Perkotaan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Mandanao, Misbah. 2007. Hidup Sehat Bersama Anak Cucu Kita. Yogyakarta: Pusaka Utama.