Anda di halaman 1dari 6

FAKTOR PENYEBAB SLUM AREA DI KAWASAN CILIWUNG

1. PENDAHULUAN
Keberadaan permukiman di sekitar sungai di Jakarta sudah ada sejak 40
hingga 50 tahun yang lalu. Rumah-rumah itu dibangun para pendatang yang ingin
bekerja di Jakarta, tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Mereka ingin
mengontrak atau membeli rumah di luar kawasan sungai, tetapi terkendala
pendapatan yang terbatas. Pilihan satu-satunya adalah membangun rumah dan
tinggal di tepi sungai. Lokasi itu umumnya tidak bertuan. Pemerintah DKI Jakarta
sejak dulu sudah memberikan solusi untuk para penghuni pemukiman kumuh di
bantaran sungai Ciliwung ini. Khusus untuk para penghuni atau warga di bantaran
Sungai Ciliwung sudah direncanakan pertama kali akan direlokasikan ke Rumah
Susun Subsidi di dareah Tebet. Sementara itu warga pemukiman di bantaran
Sungai Ciliwung sendiri menolak untuk direlokasi ke tempat yang disediakan oleh
Pemerintah sehingga sampai saat ini mereka masih menetap di bantaran Sungai
Ciliwung. Padahal, rumah yang dibangun tanpa izin dan membuat pinggiran
Sungai Ciliwung menjadi kotor dan kumuh (Amira Wati, 2018).
Kota sebagai wadah konsentarsi penduduk serta berbagai kegiatan
perkotaannya tumbuh dan berkembang semakin cepat dan luas seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk yang tinggi setiap tahunnya. Berkaitan akan hal
tersebut terdapat berbagai macam penyebab yang menjadi faktor pendorong
adanya laju pertumbuhan penduduk, yakni peningkatan jumlah penduduk
berdasarkan natalitas maupun perpindahan penduduk dari desa ke kota atau yang
lebih dikenal dengan urbanisasi (Dika Ardiana Fitri, 2021). Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik Tahun 2015, tingkat urbanisasi di Indonesia mencapai
53,3% dan pada tahun 2020 megalami peningkatan menjadi 56,7% dan
diproyeksikan akan meningkat sebesar 60,0% pada tahun 2025. Bertambahnya
jumlah penduduk secara tidak terkendali dan terkonsentrasinya penduduk di
daerah perkotaan menjadi konsekuensi dari hal tersebut.
Perumahan dan permukiman adalah dua hal yang tidak dapat kita pisahkan
dan berkaitan erat dengan aktivitas ekonomi, industrialisasi dan pembangunan.
Permukiman dapat diartikan sebagai perumahan atau kumpulan rumah dengan
segala unsur serta kegiatan yang berkaitan dan yang ada di dalam pemukiman.
Permukiman dapat terhindar dari kondisi kumuh dan tidak layak huni jika
pembangunan perumahan sesuai dengan standar yang berlaku (Amira Wati,
2018).

2. PEMBAHASAN
Faktor yang berpengaruh dalam turunnya kualitas permukiman adalah
tingkat ekonomi masyarakat yang masih rendah; lingkungan fisik, biologi, sosial
dan budaya setempat yang belum mendukung; tingkat kemajuan teknologi
pembangunan perumahan masih terbelakang; serta belum konsistennya
kebijaksanaan pemerintah dalam tata guna lahan dan program pembangunan
perumahan untuk rakyat (Keman, 2005).
Faktor penyebab munculnya kawasan kumuh (slum) dapat dibagi menjadi
dua, yaitu faktor yang bersifat langsung dan faktor yang bersifat tidak langsung
(Santosa, 2012). Faktor-faktor yang bersifat langsung yang menyebabkan
munculnya kawasan kumuh adalah faktor fisik (kondisi perumahan dan sanitasi
lingkungan). Faktor lingkungan perumahan yang menimbulkan kekumuhan
meliputi kondisi rumah, status kepemilikan lahan, kepadatan bangunan, koefisien
dasar bangunan (KDB). Faktor sanitasi lingkungan yang menimbulkan
permasalahan meliputi kondisi air bersih, mandi cuci kakus (MCK), pengelolaan
sampah, pembuangan air limbah rumah tangga, drainase, dan jalan. Faktor-faktor
yang bersifat tidak langsung adalah faktor-faktor yang secara langsung tidak
berhubungan dengan kekumuhan, tetapi faktor-faktor ini berdampak terhadap
faktor lain yang terbukti menyebabkan kekumuhan. Faktor-faktor yang dinilai
berdampak tidak langsung terhadap kekumuhan adalah faktor ekonomi
masyarakat, sosial, dan budaya masyarakat.
1. Faktor-faktor fisik penyebab pemukiman kumuh
A. Kondisi rumah
Dalam pengertian yang luas, rumah tinggal bukan hanya sebuah bangunan
(struktural), melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat
kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan. Rumah harus
menjamin kepentingan keluarga, yaitu untuk tumbuh, memberi kemungkinan
untuk hidup bergaul dengan tetangganya; lebih dari itu, rumah harus memberi
ketenangan, kesenangan, kebahagiaan dan kenyamanan pada segala peristiwa.
Dalam permukiman ini terdapat berbagai macam ukuran rumah-rumah yang di
tempati warga, sebagai salah satu contoh kondisi rumah salah satu warga yang
berada di bantaran sungai Ciliwung, RT 11 RW 04 Desa Manggarai. Warga ini
mempunyai luas rumah 2 x 4 meter dengan 2 lantai (Amira Wati, 2018).

Gambar 1. Ukuran rumah permukiman kumuh salah satu warga


B. Kondisi kepadatan bangunan
Kepadatan bangunan merupakan total seluruh bangunan di bagi luas
wilayah (unit/ha). Ciri kepadatan bangunan dapat diidentifikasi melalui jumlah
bangunan yang tinggi, sesak dan padat serta bangun terlihat dominan dikawasan
hunian. Parameter kepadatan secara kuantitatif mengacu pada jumlah populasi per
hektar. Pada permukiman kumuh tingkat kepadatan bangunan mencapai 250 atau
lebih perhektarnya dan memiliki ukuran yang kecil-kecil (Rindarjono, 2012).
Jarak antara rumah atau hunian satu dengan lainnya sangat berdekatan,
yaitu berukuran sekitar 1 meter. Hal ini menyebabkan sirkulasi yang sangat
kurang baik untuk mereka beraktivitas dalam menggunakan akses jalan
dikarenakan ukuran sirkulasi jalan yang sangat sempit dan hanya bisa dilewati
oleh satu orang saja dan apabila ada dua orang yang melewati jalan sirkulasi
tersebut atau yang di sebut jalan gang, harus memiringkan badan sehingga bisa
cukup untuk dilewati dua orang pejalan kaki, sedangkan untuk kendaraan roda
dua atau empat jalan ini tidak bisa dilalui (Amira Wati, 2018).

Gambar 2. Kondisi gang permukiman kumuh di bantaran Ciliwung-Manggarai


C. Status kepemilikan lahan
Seiring peningkatan arus urbanisasi di Jakarta. Para penghuni di bantaran
sungai ciliwung mencapai 700.000 orang yang di antaranya memiliki pekerjaan
yang bervariatif, antara lain pemulung, buruh bangunan, pedagang kaki lima, dan
ada pula sebagai tuna susila. Untuk status pemilikan tanah dan bangunan, para
penghuni pemukiman kumuh ini mengakui bahwa tidak memiliki surat resmi dan
bahkan mereka menguruk tanah kali untuk dijadikan lahan (Amira Wati, 2018).
D. Kondisi air bersih
Kebutuhan manusia yang sangat penting salah satunya adalah air.
Kebutuhan rumah tangga harus terlayani oleh air bersih. Aman dikonsumsi dan
memenuhi standar kesehatan merupakan syarat dari air bersih. Jaringan air bersih
perkotaan di Indonesia pada umumnya dilayani oleh PAM. Berdasarkan standar
(SNI 03-1733-2004), setiap 250 orang dapat menggunakan satu kran umum.
Kapaasitas minimal 30 L/orang untuk setiap harinya. Sarana sanitasi lingkungan
yang teridentifikasikan berupa air bersih ketersediaannya sudah cukup memadai
ditinjau dari pengertian air bersih yang berlaku di masyarakat bantaran sungai
Ciliwung, di mana air bersih yang dimaksud adalah hanya air yang digunakan
untuk memasak dan minum; karena kebanyakan masyarakat telah memiliki sumur
pompa atau berlangganan dengan PDAM. Tetapi apabila air bersih yang
dimaksud termasuk air untuk mencuci dan mandi, yang masih bertumpu kepada
keberadaan air sungai, maka ketersediaan sanitasi lingkungan berupa air bersih
masih kurang mencukupi (Nugroho,
E. Fasilitas MCK (mandi, cuci, kaskus)
Dalam permukiman kumuh bantaran Ciliwung ini juga terdapat fasilitas
umum untuk warga seperti MCK atau toilet umum yang dirasa kurang layak dan
tidak memadai di mana hanya terdapat satu MCK untuk 16 RT atau seluruh
warga. Selain itu terdapat jamban atau toilet gantung di setiap RT (Amira Wati,
2018).
F. Pengelolaan sampah
Sampah merupakan barang buangan dari sisa rumah tangga. Sampah
dibedakan menjadi dua yaitu sampah organik contohnya dedaunan, sisa makanan,
buahan dan sebagainya serta sampah non organic contohnya kaleng, kaca, plastik,
keramik. Prosedur pengelolaan sampah dikerjakan menurut tahapannya, mulai
dari sampah dibuang ke tong sampah selanjutnya di angkut dengan gerobak
sampah ke TPS (tempat pembuangan sampah sementara) dan setelah itu
dipindahkan ke TPA (tempat pembuangan akhir) (Dika Ardiana Fitri, 2021).
Tempat pembuangan sampah sementara (TPSS) keberadaannya relatif
sangat jauh, sehingga mereka memanfaatkan sungai dan badan sungai sebagai
sarana pembuangan sampak Secara umum masyarakat membuang sampah
langsung ke sungai Ciliwung dengan cara membungkus dengan plastik, di mana
hal ini dilakukan untuk memudahkan pengangkatan sampah di pintu air
Manggarai yang dianggapnya sebagai TPSS (Nugroho,
G. Drainase
2. Drainase adalah prasarana yang memiliki fungsi untuk menyalurkan air yang
belebihan dari suatu tempat ke badan air penerima. Drainase perkotaan adalah
drainase di wilayah kota yang berfungsi mengelola atau mengendalikan air
permukaan, sehingga tidak mengganggu dan/atau merugikan masyarakat.
(Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 12/PRT//2014). Kondisi drainase
bantaran Ciliwung semakin memburuk akibat sistem drainase dan pola
penggunaan lahan yang kurang baik di daerah hilir, yang menyebabkan
kontribusi aliran permukaan dari daerah hilir sebesar 57,56 persen sedangkan
dari daerah hulu dan tengah berkontribusi sebesar 42,44 persen. Selain itu,
rumah-rumah liar yang dibangun di bantaran sungai Ciliwung menyebabkan
erosi dan penyempitan sungai Ciliwung (KLH, 2012).

Anda mungkin juga menyukai